ISTANA PULAU ES
Cipt: Kho Ping Ho
Serial
Bu Kek Sian Su (5)
Episode 1
Kebiasaan
lama (tradisi) yang dilanggar akan menimbulkan kutuk dan malapetaka bagi si
pelanggar, demikian pendapat kuno. Padahal hakekatnya, semua itu tergantung
daripada kepercayaan. Bagi yang percaya mungkin saja pelanggaran akan
dihubungkan dengan sebab terjadinya suatu halangan. Sebaliknya bagi yang tidak
percaya, juga tidak apa-apa dan andaikata terjadi suatu halangan, hal ini
dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran tradisi.
Betapapun juga, apa yang terjadi di Khitan,
yang menimpa Kerajaan Khitan oleh semua rakyatnya dianggap sebagai kutuk para
dewata oleh karena dosa besar yang telah dilakukan oleh Sang Ratu mereka!
Kerajaan Khitan mengalami kemerosotan hebat sekali. Musim dingin amat lama dan
hebat menimpa kerajaan ini, hasil buruan amat kurang, hasil cocok tanam buruk,
penyakit menular, wabah yang aneh-aneh menimpa rakyat Khitan dan semua ini
diperburuk dengan bentrokan-bentrokan, yang timbul di antara Para bangsawan
sendiri yang memperebutkan kedudukan, di antara rakyat sendiri yang keadaannya
amat miskin, dan perselisihan dengan suku bangsa lain karena memperebutkan air
dgn daerah subur!
Semua ini adalah kutukan dewa! Demikian
anggapan kaum tua di Khitan. Terkutuk oleh dewa karena pelanggaran hebat yang
dilakukan oleh Sang Ratu Yalina, yaitu ibunda Raja Talibu yang sekarang menjadi
Raja Khitan. Di dalam cerita MUTIARA HITAM telah diceritakan betapa Ratu
Yalina itu diam-diam menjadi isteri pendekar Sakti Suling Emas, bahkan secara
rahasia pula telah melahirkan dua orang bayi kembar, laki-laki dan perempuan.
Menurut kebiasaan lama bangsa itu, bayi kembar laki perempuan setelah dewasa
harus dikawinkan, akan tetapi Ratu Yalina kembali melanggar, tidak menjodohkan
kedua anaknya. Yang laki-laki, yaitu Raja Talibu sekarang ini, dijodohkan
dengan Puteri Mimi puteri Panglima Khitan. Sedangkan anaknya yang perempuan,
yaitu Kam Kwi Lan atau terkenal di dunia kang-ouw sebagal pendekar sakti
Mutiara Hitam, menikah dengan Tang Hauw Lam murid Bu-tek Lo-jin dan kini suami
isteri itu malah meninggalkan Khitan dan merantau entah ke mana.
Nah, semenjak Ratu Yalina bersama suaminya Si
Pendekar Suling Emas, pergi pula meninggalkan Khitan atas kehendak Suling Emas
untuk bertapa di puncak puncak Pegunungan Go-bi maka mulailah tampak hari-hari
buruk menimpa Kerajaan Khitan! Hal ini bukan sekali-kali karena rajanya, yaitu
Raja Talibu, kurang memperhatikan kerajaannya, atau berlaku lalim terhadap
rakyatnya. Sama sekali tidak! Raja Talibu agaknya mewarisi watak ayahnya, Si
Pendekar Sakti Suling Emas, hatinya tidak keras seperti watak Ibunya. Dia
tenang dan sabar mencinta rakyatnya dan memerintah dengan keadilan. Akan tetapi
sepandai-pandainya seorang raja, dia hanya seorang manusia juga dan apakah
kekuasaan seorang manusia yang dapat dilakukan oleh seorang Raja Talibu
terhadap bencana-bencana alam berupa musim dingin panjang disusul musim kering
yang menghabiskan air serta tanah yang tidak berhasil menjadi subur? Apakah
yang dapat ia lakukan terhadap ketamakan dan nafsu para bangsawan yang saling
bermusuhan? Dia hanya dapat menggunakan kekuasaannya untuk meredakan keadaan,
untuk mengadili segala perkara dengan bijaksana, namun tidak berdaya menahan
lajunya kemunduran kerajaannya!
Raja Talibu dengan isterinya, Puteri Mimi yang
cantik jelita, hanya mempunyai seorang anak perempuan mungil dan cantik jelita
seperti ibunya, lincah nakal dan penuh keberanian seperti watak neneknya. Anak
ini diberi nama Puteri Maya dan pada waktu itu telah berusia sepuluh tahun.
Karena ayah bundanya adalah keturunan pendekar-pendekar yang berilmu tinggi,
biarpun dia seorang puteri raja, semenjak kecil Maya suka sekali dengan ilmu
silat. Raja Talibu sebagai putera pendekar Suling Emas dan Ratu Yalina yang juga
memiliki ilmu silat luar biasa, tentu saja tidak melarang puterinya belajar
ilmu silat. Sebaliknya ia sendiri malah menggembleng puterinya itu dengan ilmu
silat tinggi sehingga Puteri Maya menjadi seorang anak perempuan yang gagah
berani dan suka pergi berburu sejak kecil, malah dia mempunyai pasukan pengawal
sendiri yang menemaninya pergi berburu binatang buas. Biarpun usianya baru
sepuluh tahun. Puteri Maya berani menghadapi seekor biruang seorang diri saja,
merobohkan binatang itu dengan anak panah atau dengan sebatang tombak panjang!
Pada suatu pagi yang cerah, Puteri Maya sudah
tampak berkeliaran di dalam hutan di sebelah barat kota raja Khitan. Seperti
biasa, kalau dia sedang berburu binatang di dalam hutan, dia berpakaian pria
yang ringkas sehingga memudahkannya untuk bergerak di dalam hutan-hutan liar
itu, apalagi jika bertemu binatang dan melakukan pengejaran atau pertempuran
dengan binatang buas. Dan seperti biasa pula, pada pagi hari itu juga, Maya
jauh meninggalkan para pengawalnya, hal yang selalu membuat para pengawal
menjadi khawatir dan diam-diam merasa jengkel. Namun tidak pernah mereka
mengeluh karena sesungguhnya para pengawal, seperti hampir semua orang di
Khitan, amat sayang kepada puteri yang cantik jelita ini. Kesayangan semua orang
inilah yang membuat Maya memiliki watak manja dan selalu ingin dipenuhi
permintaannya!
Selagi ia menyelinap di antara pohon-pohon
mengintai dan mencari binatang buruan, tiba-tiba ia dikejutkan derap kaki kuda.
Hampir saja ia membentak marah karena disangkanya itu derap kaki kuda para
pengawalnya. Ia marah karena suara berisik tentu saja mengganggunya, membikin
takut binatang-binatang hutan yang tentu akan lari dan bersembunyi. Akan tetapi
kemarahannya berubah menjadi keheranan dan ia cepat bersembunyi di balik pohon
ketika melihat bahwa yang datang
bukanlah pasukan pengawalnya, melainkan
pasukan pilihan ayahnya yang mengangkut perlengkapan perang!
Setelah pasukan itu lewat dan menghilang ke
jurusan barat, Maya masih berdiri di tempat persembunyiannya sambil termenung
heran memikirkan hal itu. Ayahnya telah beberapa hari pergi meninggalkan istana
dan menurut ibunya, ayahnya sedang menyelidiki keadaan di perbatasan barat
karena ada kabar bahwa bangsa Yucen sedang bergerak di sana, ada tanda-tanda
bahwa bangsa itu mempunyai niat tidak baik terhadap Kerajaan Khitan dan
daerahnya. Akan tetapi, mengapa ayahnya belum kembali dan sekarang malah
pasukan ayahnya mengirim perbekalan perang? Apakah akan terjadi perang dengan
bangsa Yucen? Ia harus pulang dan bertanya kepada ibunya. Hilanglah nafsunya
untuk berburu lagi dan dia lalu berlari kembali menjumpai para pengawalnya
memerintahkan mereka untuk pulang ke kota raja.
Setelah tiba di istana Maya bergegas lari
memasuki kamar ibunya dan betapa kagetnya ketika ia menyaksikan ibunya sedang
duduk termenung dengan muka muram dan mata merah bekas menangis. Juga tadi ia
melihat bahwa para tentara telah bersiap-siap melakukan penjagaan di kota raja.
Apakah yang terjadi?
Maya menubruk ibunya. "Ibunda....! Apakah
yang terjadi? Mengapa pasukan Ayah membawa perlengkapan perang? Mengapa
pasukan-pasukan menjaga kota raja? Mengapa Ibu berduka dan menangis?"
Puteri Mimi memeluk dan mencium muka anaknya,
kemudian berkata perlahan, "Kutukan dewa....! Kutukan dewa menimpa kita....!
Ah, aku pun ikut berdosa dan engkau.... Anakku, semoga para dewa melindungimu
dan tidak menimpakan kemarahannya kepadamu. Engkau tidak berdosa....!"
Puteri itu tak dapat menahan keluarnya air mata.
"Eh, Ibu! Ada apakah?" Maya yang
berhati keras dan tabah itu mendesak ibunya, sepasang matanya bersinar-sinar
penuh kemarahan karena ia ingin tahu siapa yang menyebabkan ibunya berduka.
Biar dewa sekalipun akan dilawannya kalau dewa membuat ibunya berduka!
Puteri Mimi yang cantik jelita itu menghela
napas. Wajahnya yang berkulit halus dan biasanya berwarna kemerahan, kini pucat
dan alisnya berkerut tanda bahwa hatinya diliputi kegelisahan.
"Seharusnya Ayahmu menikah dengan Mutiara
Hitam. Hal ini sudah dikehendaki para dewa semenjak mereka berdua belum lahir.
Akan tetapi, ahhh.... nenekmu menghendaki lain. Ayahmu dikawinkan dengan orang
lain. Tentu saja dewa menjadi marah dan sekaranglah tiba kutukannya menimpa
keluarga kita." Kembali puteri ini menangis.
"Ibu, kutukan apakah itu? Apa yang
terjadi?"
"Semenjak nenekmu, Ratu Yalina,
meninggalkan Khitan bersama kakekmu, negara kita selalu dirundung kemalangan.
Bencana alam dan perselisihan antara bangsawan mengakibatkan penderitaan, namun
semua itu masih belum seberapa, masih dapat diatasi oleh kebijaksanaan ayahmu.
Akan tetapi sekarang.... ahh, beberapa orang bangsawan memberontak dan
bersekutu dengan suku bangsa Yucen, ada yang menyeberang kepada suku bangsa
Mongol dan Mancu, ada pula yang bersekutu dengan Kerajaan Sung dan kini mereka
itu mengepung kita. Ayahmu sendiri berusaha menginsyafkan mereka dan mengajak
damai bangsa Yucen, namun agaknya sia-sia belaka maka jalan satu-satunya
hanyalah mempertahankan Negara Khitan."
Muka Maya menjadi merah, kedua tangannya
dikepalkan. "Mengapa berduka, Ibu? Kalau musuh datang kita lawan!"
Melihat sikap puterinya, di dalam tangisnya
Puteri Mimi tersenyum dan merangkulnya. "Engkau mewarisi sifat-sifat nenek
dan kakekmu.... akan tetapi.... musuh terlalu banyak dan terlalu kuat.
Betapapun juga, benar katamu, Anakku, kita akan melawan!"
Hati Ratu ini dibesarkan oleh sikap puterinya.
Ia tidak tahu bahwa pada waktu itu, bangsa Mongol sudah menjadi bangsa yang
amat kuat dan bangsa ini mulai memperkembangkan sayapnya bagaikan gelombang
besar datang menelan segala sesuatu yang merintang di depannya!
Benar seperti yang dikatakan Puteri Mimi
kepada anaknya. Raja Khitan memang sedang berusaha keras untuk menghindarkan
perang. Pelbagai usaha dilakukannya, akan tetapi para bangsawan Khitan yang
memberontak itu tidak mau mendengar, dan bangsa Yucen yang bergerak dari barat
itu pun tidak mau diajak damai. Melihat keadaan yang amat mendesak, bahwa
perang takkan dapat dihindarkan. Raja Khitan mengadakan rapat pertemuan dengan
para panglima.
"Jalan sudah buntu! Kita adalah bangsa
yang besar dan biarpun selama ini kita mengalami nasib malang, namun semangat
kita tak pernah padam! Kalau memang mereka menghendaki perang, apa boleh buat,
kita terpaksa mengadakan perlawanan. Hanya aku menyesal sekali akan kebodohan
bangsa Yucen, terutama para. bangsawan Khitan yang memberontak. Tidakkah mereka
melihat datangnya bahaya hebat yang akan melanda kita semua? Bangsa Mongol
jelas sekali memperlihatkan sikap hendak merajai seluruh daratan! Biarlah, kita
akan mengadakan perlawanan!" Raja ini lalu mengutus pengawal untuk
mendatangkan bala bantuan dari kota raja, membawa perlengkapan perang dan
diam-diam ia pun menulis sepucuk surat kepada isterinya.
"Bahaya besar mengancam kemusnahan
kerajaan kita, Isteriku. Akan tetapi, kalau memang para dewa menghendaki
demikian, biarlah aku musnah bersama kerajaanku. Aku akan mempertahankan
kerajaan yang diberikan oleh leluhur kepadaku itu dengan jiwa ragaku! Akan
tetapi engkau Isteriku, dan puteri kita Maya, jangan ikut menjadi korban.
Bawalah puteri kita itu ke Pegunungan Gobi, carilah ayah bundaku yang bertapa
disana, minta perlindungan!" Demikian antara lain isi surat Raja ini
kepada isterinya. Dan surat inilah yang membuat Puteri Mimi menangis, penuh
cinta kasih dan keharuan kepada suaminya yang begitu gagah perkasa sehingga
dalam menghadapi bahaya besar, tidak menyuruh dia pergi mencari pertolongan
melainkan menyuruh dia dan anaknya pergi menyelamatkan diri, dan dengan sifat
penuh kejantanan menghadapi bahaya seorang diri!
"Aduh, Suamiku tercinta," demikian
Puteri Mimi mengeluh, "Lupakah engkau bahwa aku pun anak dan keturunan
Panglima Khitan yang setiap saat siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk
membela negara? Tidak, aku pun akan menjaga kerajaan dan merupakan benteng
pertahanan terakhir. Kalau kerajaan runtuh, bukan hanya engkau, aku pun harus
ikut runtuh pula! Biarlah anak kita yang akan kuusahakan agar menyingkir dan
menyelamatkan diri." Diam-diam Puteri Mimipun sudah mempunyai rencana dan
menantilah dia akan perkembangan dengan hati gelisah namun tetap bersikap
tenang.
Perang tak dapat dihindarkan lagi.
Pasukan-pasukan penjaga di garis terdepan sudah mulai bentrok dengan
pasukan-pasukan musuh. Dalam keadaan seperti itu, seorang panglima tua Khitan
menghadap Raja Talibu dan berkata,
"Pihak musuh amat kuat, apalagi hamba
mendapat laporan dari para penyelidik bahwa dari utara, bala tentara yang besar
dari Mongol telah bergerak datang. Keadaan amat terdesak mengapa sejak dahulu
Paduka tidak mengirim utusan ke Go-bi-san mohon bantuan Ayah Bunda Paduka?"
Raja Talibu menggeleng kepalanya dengan sikap
tegas. "Paman Panglima, kalau aku melakukan hal itu, aku akan menjadi
manusia tak berguna selama hidupku! Aku menerima kerajaan dari ayah bundaku,
apakah hanya untuk dinikmati saja? Apakah aku harus bersikap seperti seorang
anak kecil yang menerima benda mainan dari orang tua, kemudian kalau benda itu
menjadi rusak lalu kusuruh betulkan orang tuaku? Tidak, Paman, itu bukan sikap
seorang pahlawan! Diserahi kerajaan bukan semata untuk menikmatinya dan bersenang-senang,
melainkan diikuti pula dengan tanggung jawab! Orang tuaku telah mengundurkan
diri bertapa, tidak mengecap kesenangan sedikit pun dari kerajaan, kini
kerajaan terancam masa mereka yang harus susah payah pula, biarpun ayah bundaku
merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi apakah
artinya dua orang saja menghadapi gelombang barisan Yucen, dan Mongol dan
puluhan bahkan ratusan laksa orang jumlahnya? Kita lawan sendiri, dan
persoalannya hanyalah hidup, atau mati, dan urusan itu bukanlah wewenang kita
untuk menentukan!"
Panglima tua itu kagum mendengar pendirian
rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika Panglima ini menyampaikan pendapat
raja itu kepada para perwira dan perajurit, mereka pun bersorak. menyatakan
hendak mempertahankan negara sampai dengan napas terakhir!
Perang terjadi di perbatasan barat dengan
dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga banyaklah korban yang jatuh
di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang makin dekat selama
tiga hari setelah perang berlangsung. Dan sepak terjang barisan Mongol yang
menyerbu ke selatan itu amatlah ganas seperti segerombolan harimau kelaparan.
Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja Talibu.
Betapa bodohnya mereka, bangsa Khitan dan
Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang sendiri satu kepada yang
lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa gendewanya, naik ke
atas kereta perang, dengan pakaian perang yang membuatnya nampak gagah perkasa.
Untuk dapat membawa kereta perangnya ke tengah medan pertempuran, raja ini
harus merobohkan banyak musuh dan kusirnya sudah beberapa kali diganti karena
roboh binasa. Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta
perangnya dapat tiba di tengah medan laga, di tempat yang amat tinggi. Raja
Talibu lalu meloncat di atas kereta perangnya, gendewa di tahgan kiri, topi
perangnya sudah terlepas dalam, pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu
sehingga rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar
suaranya mengguntur seperti auman singa di padang pasir.
"Wahai seluruh bangsa Yucen dan Khitan,
dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu mencari
kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa Mongol yang
akan menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih baik kita bersatu sebagai
dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol daripada kita seperti dua ekor
anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa serombongan serigala sudah datang
hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling berperang
sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat
sekali."
Suara Raja Talibu ini amat nyaring dan
seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi ragu-ragu. Memang para
penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat bangsa
Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah berada di
depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang
dengan bangsa Khitan. Akan tetapi sekarang Raja Khitan yang gagah perkasa itu
bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja Yucen dan
pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan.
Sementara itu perang itu dihentikan dulu.
Namun, keraguan orang-orang Yucen ini
mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak terduga-duga
sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan besar. Perang
hebat terjadi dan biarpun belum diadakan persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen
berjuang bahu-membahu untuk melawan barisan Mongol. Perang mati-matian itu
berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena jumlah barisan Mongol
lebih besar dan juga anggauta tentara mereka lebih kuat, biarpun pihak Mongol
kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan Yucen dapat terbasmi dan
hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk setelah raja dan
panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur setelah tubuhnya
penuh luka dan tak dapat bergerak lagi, Raja ini tewas sebagai seorang gagah
perkasa, tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka dan mandi
darahnya sendiri!
Kematian tidak dapat terhindar dari setiap
orang manusia, namun banyak macam kematian, dipandang oleh mata dan
dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian
Raja Talibu merupakan sebuah diantara kematian yang terhormat, kematian seorang
jantan dan tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama
sebagai putera seorang pendekar besar seperti Suling Emas dan seorang ratu
besar seperti Ratu Yalina.
Andaikata ayah bunda ini melihat kematian
puteranya agaknya kedukaan mereka akan terhibur oleh kebanggaan!
Sebagian para perajurit Khitan yang melarikan
diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja ketika mendengar
berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama para
panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktuwaktu pasti
akan tiba. Berita kematian Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan muka
pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini menahan tangisnya di depan
para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri pertahanan kota
raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi, diterima
dengan kemarahan.
"Kalau aku melarikan diri mana aku patut
menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya
untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu dengan
tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan Khitan!"
Maka gemparlah kota raja. Sebagian ada yang
melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan pasukan-pasukan yang
setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal, yaitu pengawal Puteri
Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek
puteri itu di Pegunungan Go-bi. Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau
meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya yang biasanya memanjakannya itu membentak.
"Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau adalah
keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan Raja Talibu yang gagah
perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?"
"Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku pun
akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas kematian Ayah!"
"Bodoh! Kalau kau tinggal di sini, engkau
pun akan mati."
"Aku tidak takut mati!"
Ratu Mimi menahan tangisnya dan merangkul
puterinya, menciumi sambil berkata, "Itulah soalnya. Anakku. Engkau tidak
boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa di sini, siapakah kelak yang
membalaskan kematian ayahmu dan ibumu?
Engkau masih kecil, tenagamu belum ada artinya
untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu
baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku,
dan doa Ibumu selalu menyertaimu".Ucapan ini membuat Maya tak dapat
membantah lagi. Biarpun dia masih kecil, namun ia cerdik dan tabah. Dengan
tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari keluar dan
ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Go-bi-san. Setelah
puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu, bukan karena takut
menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka karena perpisahan
dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari kemudian, kota raja Khitan direbut
pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang dengan gigih
mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia. Akan
tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh dan
gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih memegang pedang dan surat
suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena pada saat terakhir ia
melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!
Pasukan Mongol membasmi Khitan, merampas
wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas harta benda dan membakar
rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas habis-habisan. Gegerlah
Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari kiamat dan berakhirnya
Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa
akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya
menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi suami isteri akan tetapi
telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan
mungkin benar demikian bagi yang percaya.
Malapetaka hebat yang menimpa Kerajaan Khitan
itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan oleh Maya yang telah
melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas orang
pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal bernama
Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi besar dan berwatak bengis.
Lima belas orang pengawal ini kelihatannya
melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya dari kota raja yang terancam
bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka terdapat perasaan tidak
senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota
raja. Semua keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka, akan tetapi mereka,
lima belas orang ini tidak dapat melindungi keluarga mereka sendiri karena
harus melarikan Maya. Dan mereka dapat membayangkan dengan hati perih betapa
malapetaka. tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada pelindungnya. Duka dan
sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada
Puteri Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi
sebab celakanya. Kalau mereka tidak Pergi mengawal puteri ini, tentu mereka
akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari
mengungsi!
Malam pertama, ketika rombongan ini mengaso
dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak perubahan, hanya mereka itu
bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak cakap. Namun pemimpin
mereka, sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa puas. Hal ini
dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun merasa tidak senang harus
meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan dikawininya.
Demikian pula malam ke dua, hanya kelihatan
para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling berbisik-bisik. Namun semua
itu pun lewat tanpa peristiwa sesuatu sehingga ketika pada keesokan harinya
mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san yang amat jauh, hati Bhutan
sudah agak lega.
Akan tetapi, ketika pasukan ini mendengar berita
dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja sudah diserbu musuh
dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan jatuh, meledaklah
rasa ketidakpuasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan Bhutan sendiri
mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah pucat.
"Habis semua....!" Demikian antara
lain pengungsi itu bercerita. "Mereka itu datang seperti badai mengamuk.
Pasukan kita yang mempertahankan, bersama Sang Ratu, digilas habis dan tewas
semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki
dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan, diperkosa seperti
segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena
diperkosa banyak orang di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, di mana saja sehingga
jerit mereka memenuhi angkasa."
"Semua wanita, katamu?" Bhutan
bertanya, suaranya gemetar.
"Ya, semua! Bahkan yang tua-tua juga!
yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli kaya atau miskin, bangsawan
atau rakyat jelata. Habis semua perempuan diperkosa, habis semua pria dibunuh.
Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan orang-orang tua yang berkeliaran dan
kelaparan kehilangan keluarga...."
"Ibuku....! Bagaimana....?"
Tiba-tiba Maya menjerit.
Orang yang bercerita itu menarik napas panjang
dan menengadah ke langit.
"Sang Ratu telah gugur, akan tetapi, demi
semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan teringat betapa ratu itu
tewas dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh luka, tewas sebagai seorang
gagah perkasa.... hebat sekali, dan agaknya semangatlah yang memimpin semua
perlawanan gigih...."
"Aihhh.... ! Ibu....!" Maya menjerit
dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.
"Diammm!" Bhutan tiba-tiba
menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat kaget dan heran sekali
mengapa panglima itu berani membentaknya seperti itu. Semua pasukan memandang
dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat pemimpin mereka kini
pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat mereka terpaksa
meninggalkan keluarga mereka seperti sekumpulan domba ditinggalkan untuk
menjadi mangsa serigala-serigala buas.
"Mengapa engkau menangis? Ditangisipun
tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun isteriku, ibuku,
keluargaku!" Dan Panglima ini lalu menangis biarpun tidak mengeluarkan
suara, hanya mengeluarkan air mata yang menetes turun di kedua pipinya. Juga
para anggauta pasukan yang empat belas orang banyaknya itu semua kelihatan
termangu-mangu penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing yang tentu telah
menjadi korban pula.
"Kita besok melakukan perjalanan, bukan
ke Go-bi-san, akan tetapi membalas dendam kita, membakari rumah-rumah dusun
yang sudah menjadi jajahan orang Mongol." demikian kata Bhutan dengan
wajah bengis. Anak buahnya bersorak gembira. Biarpun mereka berduka, akan
tetapi kini ada jalan untuk melampiaskan duka dan kemarahan mereka biarpun
kepada dusun-dusun! Hal itu berarti mereka akan dapat memperkosa wanita-wanita
seperti isteri-isteri dan keluarga mereka diperkosa, dapat membunuh orang-orang
seperti keluarga mereka dibunuh, dapat merampok seperti rumah mereka dirampok!
"Akan tetapi, aku harus kalian antarkan
ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di Go-bi-san!" Maya berseru kaget
dengan mata terbelalak.
Bhutan tersenyum mengejek. "Mulai sekarang
tidak ada lagi yang mengharuskan aku! Engkau tidak boleh lagi memerintahku,
bahkan engkau harus tunduk dan menurut segala kehendakku!" Para anak
buahnya bersorak mengejek.
Maya meloncat bangun, mengepal kedua tinjunya
dan memandang marah.
"Akan tetapi, apa kalian hendak
memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan! Engkau
harus taat kepadaku!"
"Ha-ha-ha, puteri yang manis! Engkau akan
kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun lagi engkau akan menjadi
seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku. Bukankah begitu
kawan-kawan?" kata Bhutan yang terhimpit kedukaan berubah menjadi bengis
dan kejam. Anak buahnya bersorak menyatakan setuju.
"Keparat, kau....!" Maya maju dan
mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu, akan tetapi biarpun sejak
kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki sembarangan,
melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki kepandaian. Dia
menangkis terus menangkap lengan kecil itu, memutar dan mendorong sehingga
tubuh Maya terlempar dan roboh telentang. Terdengar suara ketawa para pasukan
pengawal.
"Ha-ha-ha, engkau tidak boleh galak lagi,
Nona kecil!" kata mereka.
Maya meloncat bangun lagi, akan tetapi
lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan tangan panglima ini diayun.
"Plak-plak-plak-plak" kedua pipi Maya ditampari sampai menjadi merah
dan terasa panas!
"Dengar kau, Maya! Ketahuilah bahwa
engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya diaku anak, anak
angkat!"
Biarpun kedua pipinya terasa panas dan
sakit-sakit dan hatinya lebih panas dan sakit lagi mendengar ucapan itu dia
terbelalak kaget dan heran. "Apa.... apa, kaubilang....?"
"Duduklah dan dengar baik-baik agar kau
tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati segala perintahku
karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat menyelamatkanmu. Kerajaan
Khitan sudah hancur, keluarga Raja sudah tewas semua. Engkau memang bukan anak
Raja Khitan, mana mungkin Raja Khitan dapat memperoleh keturunan? Dia, telah
terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina melakukan pelanggaran,
keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau sekarang meniadi
runtuh!"
"Mengapa begitu?" Air mata Maya
mengucur lagi. "Ceritakanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang telah teriadi?
Ceritakan tentang keluargaku...."
"Bukan keluargamu, hanya keluarga
jauh."
"Kalau begitu, ceritakan siapa aku, siapa
orang tuaku!" Maya makin bingung dan karena ingin sekali mendengar
penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya bahwa dia tadi
ditampar.
Para perajurit yang juga belum mendengar
riwayat raja mereka dengan jelas, hanya mendengar berita angin saja, kini juga
berkumpul dan mendengarkan penuturan Bhutan yang agaknya tahu akan riwayat itu.
"Dosa pertama dilakukan oleh Ratu
Yalina." Bhutan mulai bercerita. "Ratu Yalina yang dijunjung tinggi
oleh bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah menikah, ternyata
melakukan pelanggaran karena diam-diam melakukan hubungan cinta dengan Pendekar
Suling Emas. Dari hubungan gelap, yang mendatangkan kutuk para dewa atas bangsa
Khitan itu, terlahirlah anak kembar, lakilaki dan perempuan."
"Anak kembar laki-laki dan perempuan
harus dijadikan suami isteri!" Seorang anggauta pasukan pengawal yang
sudah berusia empat puluh tahun lebih berkata.
Bhutan mengangguk. "Mestinya demikian.
Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan dosa pertama itu, melanjutkan
dengan dosa ke dua yang lebih berat lagi dan yang agaknya membuat para dewa
memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak kembar itu, yang perempuan
adalah pendekar wanita Mutiara Hitam yang sekarang merantau bersama suaminya
entah ke mana. Adapun yang laki-laki adalah mendiang Raja Talibu kita yang
menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa itu tidak bisa
memperoleh keturunan. Biarpun aku tidak tahu di mana adanya Mutiara Hitam, akan
tetapi aku yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai keturunan!"
"Tapi aku.... aku, adalah anak raja dan
Ratu Khitan!" Maya berteriak.
"Heh-heh, itu adalah dugaanmu saja, anak
manis!" Bhutan berkata tertawa.
"Sesungguhnya bukan demikian. Engkau
adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi, ibumu adalah puteri bangsawan
rendahan yang menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika melahirkan
engkau dan ayahmu sudah tewas pula dalam perang. Raja Talibu yang agaknya
hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau sebagai
anak!Memang jarang ada yang tahu, akan tetapi aku tahu akan itu semua,
manis!"
"Tidak....! Tidak....!" Maya
menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya rombongan itu
melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh Bhutan yang
memimpin rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke Go-bi-san, melainkan
ke timur!
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sengsara
rasa hati Maya, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Kalau dia melarikan
diri, selain sukar sekali karena ia selalu diawasi, juga ia akan dapat pergi ke
manakah? Lebih sengsara lagi hatinya ketika terpaksa ia harus menyaksikan
pasukan yang tadinya menjadi pengawalnya yang setia itu kini berubah menjadi
segerombolan serigala buas yang tidak mengenal perikemanusiaan, merampok
dusun-dusun yang mereka lalui, membunuh, memperkosa dan membakar rumah sambil
bersorak-sorak! Dara sekecil ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang
mengerikan itu, menyaksikan wanita-wanita yang menjerit-jerit diperkosa dan
kemudian dibunuh. Sampai habis air mata ditumpahkan dalam tangis Maya dan dalam
waktu sebulan saja ia telah berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati
keras seperti baja, ditempa oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan
mengerikan. Kalau dahulu ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi
pendiam, jarang bicara, jarang pula makan atau tidur kalau tidak terpaksa
sekali sehingga mulailah tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat, akan tetapi wajah
seperti topeng mati dan sikapnya dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya
terbentuklah watak yang keras dan dingin pada jiwa dara cilik ini.
***
Pergolakan hebat yang terjadi di utara itu
bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan menjadi awal pergolakan hebat yang
menjalar ke selatan. Pada masa itu di selatan juga terjadi pergolakan hebat,
perebutan kekuasaan yang menimbulkan perang di mana-mana.
Suku bangsa Yucen tadinya adalah suku bangsa
yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu ketika Ratu Yalina masih memegang
tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan menjadi lemah, bangsa Yucen
membalas dendam, memberontak dan dibantu pula secara diam-diam oleh Kerajaan
Sung dari selatan. Di samping itu, serbuan liar dari bangsa Mongol yang mulai berkembang,
membuat Khitan hancur.
Bangsa Yucen "mendapat hati" dan
mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin. Sebentar saja Kerajaan
Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya Kerajaan Sung, menuntut
agar Kerajaan Sung mengirim "upeti" setiap tahun!
Keadaan yang demikian itu menyedihkan hati
seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung. Menteri ini bernama Kam Liong dan
dia bukan lain adalah putera sulung dari pendekar Sakti Suling Emas! Bahkan
Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya telah mewarisi kepandaian ayahnya,
juga telah mewarisi senjata pusaka ayahnya yang berupa sebatang suling emas dan
sebuah kipas. Kaisar amat percaya kepada Menteri Kam Liong, bukan hanya karena
menteri ini! adalah putera pendekar besar Suling Emas, melainkan terutama
sekali karena Menteri ini memang amat pandai dan bijaksana, juga amat setia
kepada negara. Menteri Kam Liong prihatin dan berduka sekali.
Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi amat menggelisahkan hatinya. Dia
mendengar akan keadaan Khitan yang terancam hebat oleh bangsa Yucen dan Mongol.
Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran tangan bangsa Yucen untuk
bersama-sama menyerang dan mengeroyok Kerajaan Khitan. Betapa tidak akan sedih
hatinya kalau ingat bahwa Raja Khitan adalah adik tirinya sendiri? Raja Talibu
di Khitan adalah putera Suling Emas pula sehingga merupakan saudara seayah
dengannya, berlainan ibu. Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia adalah seorang
Menteri Kerajaan Sung. dan adik tirinya itu adalah Raja Khitan! Dia harus bersetia
kepada negaranya sendiri.
Menteri yang bijaksana ini tidak mempunyai
anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid yang amat disayangnya. muridnya
mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah perkasa pula. Muridnya itu kini pun
mempunyai kedudukan tinggi di dalam kerajaan, yaitu menjadi seorang panglima
muda yang diperbantukan kepadanya. Ketika pergolakan di utara terjadi dia
mengatur rencana dengan muridnya itu, kemudian mengutus muridnya mengerjakan
tugas penyelidikan atas persetujuan Kaisar, ke utara.
Hal yang menyedihkan hati Menteri Kam Liong
yang setia, bukan hanya pergolakan di utara yang ia tahu amat pentingnya bagi
perdamaian di negara Sung sendiri, akan tetapi terutama sekali melihat
kelemahan Sung sebagai akibat tidak cakapnya Kaisar mengemudikan pemerintahan.
Kaisar tidak memperhatikan urusan pemerintahan, hanya tenggelam dalam
kesenangan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir
cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar mereka bernyanyi, melihat
mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok. Biarpun Kaisar masih
ada namun sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan selir-selir tercantik
dan tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang kebiri) yang
mendampingi Kaisar dan para selir siang malam! Berkali-kali Kam Liong
memperingatkan, namun Kaisar hanya teringatkan untuk waktu singkat saja,
kemudian lupa lagi dan berenang dalam kesenangan seperti biasa. Peringatan yang
selalu diajukan Kam Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan kebencian
saja di hati para pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan Kaisar untuk
mengeduk keuntungan pribadi sebanyak mungkin. Hanya karena mereka tahu bahwa
Kam Liong merupakan menteri yang dipercaya oleh Kaisar, memiliki pengaruh dan
kekuasaan besar, juga memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan, maka para
thaikam dan pembesar lain yang membencinya tidak berani turun tangan
mengganggunya. Hal ini diketahui pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak
peduli karena yang diprihatinkan selalu hanyalah keadaan negara.
Pagi hari itu, Menteri Kam Liong termenung di
dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi akan tetapi ia sampai lupa minum
sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya tertekan dan ia membayangkan dengan
hati penuh duka betapa keluarga adiknya. Raja Khitan terancam bahaya hebat. Dia
sudah memberi nasihat kepada Kaisar agar jangan memusuhi Khitan, akan tetapi
Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar dan para thaikam, menjawab bahwa
kesempatan baik tiba di mana Kerajaan Sung dapat mempergunakan tenaga bangsa
Yucen untuk merampas kembali wilayah yang dahulu dikuasai bangsa Khitan! Dia
berduka sekali, mengenangkan keadaan keluarga ayahnya yang cerai-berai itu.
Ayahnya sendiri , tak pernah terjun ke dunia ramai, tekun bertapa bersama
isterinya, bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang menjadi Raja Khitan, Raja
Talibu, kini terancam bahaya. Saudara kembar Raja itu, adiknya Si Mutiara Hitam
Kam Kwi Lan, kini entah berada di mana karena adiknya yang seorang ini suka
sekali merantau, apalagi setelah menikah dengan Tang Hauw Lam, pendekar yang
suka pula merantau. Mungkin suami isteri itu kini sedang merantau ke dunia
barat lewat Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah terikat oleh tugasnya
sebagai Menteri Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai mati.
"Aaahhhh...." ia teringat akan
tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan mengeluh.
"Pantaslah Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri dari
pergaulan ramai karena sesungguhnya, makin banyak kita mengikatkan diri dengan
urusan dunia, makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang tidak
mempunyai turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau
demikian, apa artinya hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian?
Bukankah semua itu dipelajari untuk dapat dipergunakan dalam dunia? Biarlah
bukankah Ayah dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan gelombang batin yang
amat bernilai harganya?"
Pada saat itu, seorang pengawal datang
memasuki ruangan dan memberi hormat lalu melaporkan bahwa ada seorang tamu pria
muda mohon menghadap Sang Menteri.
Atas pertanyaan Menteri, Pengawal itu
menjawab. "Hamba tidak mengenalnya, Taijin, akan tetapi dia mendesak untuk
diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh
lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya, membawa pedang di punggung dan
sikapnya seperti seorang pendekar.
"Namanya?"
"Maaf, Taijin. Ketika hamba tanyakan dia
hanya mengatakan bahwa Taijin akan mengenalnya kalau sudah bertemu dan dia
tidak memberitahukan namanya."
Menteri Kam Liong yang sedang kesal hatinya
itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. Ah, tentu seorang di antara mereka yang
masih muda dan ingin sekali mendapatkan kedudukan di kota raja, pikirnya.
Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang kepadanya. Kembali ia menghela
napas. Betapa banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut dan
lemah ini. Pembesarpembesar tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu memberi
suapan banyak tentu akan "ditolong" memperoleh kedudukan tinggi!
Ingin ia memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi
tiba-tiba kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan
kecelik dan biarlah dia menerima bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak
"menyogok", hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimaki-makinya, kalau
perlu dibekali tamparan sebelum diusir pergi!
"Suruh dia masuk!" ia berkata
pendek.
Sejenak pengawal itu memandang bingung. Masuk
ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang Menteri? Biasanya, apabila menerima tamu,
tamu itu disuruh menanti di kamar tamu yang berada di ruangan luar!
"Cepat! Tunggu apalagi?" Menteri Kam
Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak. Sang Pengawal terkejut,
memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa hari itu majikannya
demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong terkenal sebagai atasan dan
majikan yang lemah lembut dan halus terhadap anak buahnya.
Menteri Kam Liong sudah mendengar langkah kaki
ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan berhenti di depan pintu. Hemm, seorang
yang pandai ilmu silat, pikirnya heran. Mengapa seorang ahli silat ingin
bertemu dengannya? Ingin melamar pekerjaan pengawal? Tanpa menoleh, sambil
minum teh dari cangkirnya, ia berkata tenang. "Masuklah!"
Langkah kaki ringan itu memasuki kamarnya,
lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara yang nyaring itu bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Menteri
Kam Liong?"
Hemm, bocah ini sama sekali tidak mempunyai
suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak berlebihan menghormatinya seperti
biasa dilakukan orang, malah terdengar agak kurang ajar dan tidak memandang
kedudukannya yang tinggi! Dengan cangkir the masih di depan mulut, Menteri Kam
Liong menoleh sambil berkata.
"Siapa engkau? Katakan keperluanmu!"
Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan laki-laki itu.
Seorang pemuda yang amat tampan dan bersikap
gagah sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar amat tajam. Jelas bukan
seorang pemuda sembarangan! Juga wajah ini.... serasa pernah ia mengenalnya,
akan tetapi ia tidak ingat di mana dan kapan. Tanpa mengalihkan pandang matanya
dari wajah tampan itu, Menteri Kam Liong yang mulai tertarik, meletakkan
cangkir tehnya di atas meja lalu memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan
mendesak, "Siapakah engkau?"
Pemuda tampan itu lalu menjura dan memberi
hormat, suaranya terdengar gembira dan penuh perasaan. "Harap Twako sudi
memberi maaf kalau siauwte mengganggu. Siauwte adalah Kam Han Ki...."
Menteri Kam Liong mencelat bangkit dari tempat
duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat, jauh bedanya dari sikapnya yang
lemah lembut, "Han Ki...? Engkau putera mendiang Paman Kam Bu Sin yang
lenyap bertahun-tahun itu....?"
Pemuda yang bernama Kam Han Ki itu mengangkat
mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya "kakak tua" itu dengan
wajah berseri lalu mengangguk. "Benar, Twako. Saya adalah Kam Han Ki adik
sepupu Twako sendiri."
"Ah, Adikku....! Apa saja yang telah
terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah, Adikku....!" Menteri itu
melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat menjatuhkan diri berlutut
dengan penuh perasaan terharu.
Duduklah, Han Ki. Duduklah. Haiii!
Pelayan!" Menteri itu memanggil pelayan yang datang berlarian, lalu
memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.
"Twako, manakah Twaso (Kakak ipar)? Ijinkan
Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana keponakan-keponakan saya?"
Pemuda itu menghentikan pertanyaannya ketika
melihat wajah kakak misannya itu menjadi muram. Menteri Kam Liong menghela
napas dan berkata,
"Aku hidup sendiri Adikku. Twa-somu telah
meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat, dan kami tidak
mempunyai anak."
"Ahhh...., maaf, Twako."
"Tidak apa, Adikku. Sekarang ceritakan
pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya tentu ada lima belas tahun
engkau hilang. Ke mana saja engkau? Berita tentang dirimu yang terakhir amat
mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan dilarikan Siang-mou Sin-ni
iblis betina itu!"
Han Ki mengangguk-angguk, lalu berkata,
"Benar, seperti yang Twako katakan. Iblis betina Siang-mou Sin-ni membawa
saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan." Kemudian Han Ki menceritakan
pengalamannya.
Ketika berusia sebelas tahun. Kam Han Ki
mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah putera Kam Bu Sin. adik tiri Suling
Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke tiga. Kedua orang encinya yang
bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah pergi ikut bersama Kauw Bian
Cinjin, paman kakek mereka untuk bertapa dan belajar ilmu di puncak
Tai-liang-san (baca cerita MUTIARA HITAM).
Dalam keadaan terluka karena pukulan-pukulan
beracun, Kam Han Ki yang berusia sebelas tahun itu dibawa iblis betina
Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum), menuju ke Pegunungan
Ta-liang-san. Wanita iblis itu lalu mengisap darah Kam Han Ki yang dianggap
mempunyai darah yang bersih dan sumsum yang murni. Akan tetapi, iblis betina
ini tidak tahu bahwa Han Ki telah minum obat beracun dingin milik kakek sakti
Bouw Lek Couwsu (baca cerita MUTIARA HITAM). Sehingga ketika ia menyedot
darah anak itu, ia roboh terkena racun obat itu. Han Ki segera menggunakan
jarum menusuk dada Si Iblis Betina sampai menembus jantungnya dan tewaslah
Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi sebelum roboh tewas, iblis betina itu berhasil
pula memukul Han Ki sehingga anak ini roboh pingsan dengan tulang iga patah-patah!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan
nyawa Kam Han Ki, muncullah kakek dewa Bu Kek Siansu yang memondongnya dan
membawanya pergi dari tempat itu. Dan dibawa ke sebuah guha di lembah Sungai
Cin-sha dan diobati. Setelah sembuh, Bu Kek Siansu menggembleng Han Ki yang
sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi itu dengan ilmu-ilmu yang tinggi.
Selama dua tahun pemuda itu diajar teori-teorl ilmu silat yang hebat, kemudian
disuruh berlatih sampai sempurna seorang diri di guha itu dengan pesan bahwa
kalau belum sempurna tidak boleh keluar guha. Juga dia diajar cara, bersamadhi
dan menghimpun sin-kang.
"Dengan dasar teori yang selama ini
kuajarkan kepadamu, engkau membutuhkan waktu belasan tahun untuk menyempurnakan
latihan-latihanmu, Han Ki. Setelah sempurna, baru pergilah kau ke kota raja dan
carilah twakomu Kam Liong. Dialah pengganti orang tuamu dan selanjutnya, dia
yang akan membimbingmu." Demikian pesan kakek dewa itu yang lalu pergi
menghilang tak pernah muncul lagi.
Han Ki adalah seorang anak yang berhati keras
dan berkemauan teguh.
Biarpun kadang-kadang ia merasa tersiksa
sekali harus hidup menyendiri di tempat sunyi itu, namun ia terus berlatih
dengan rajin sampai sepuluh tahun lamanya!
Setelah ia keluar dari guha itu, dia telah
menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun! Dengan sebatang pedang
yang sengaja ditinggalkan Bu Kek Siansu untuknya, mulailah pemuda itu terjun ke
dunia ramai dan sekaligus mengguncangkan dunia kang-ouw karena kepandaiannya
yang tinggi. Beberapa kali ia bertemu dengan perampok jahat, namun dengan mudah
saja penjahat-penjahat itu ditaklukkannya. Namun, karena teringat akan pesan
gurunya, dalam perantauannya itu akhirnya Kam Han Ki tiba di kota raja dan
langsung mencari twakonya yang sebelumnya ia selidiki di kota raja dan
mendengar bahwa Kam Liong telah menjadi seorang menteri!
Mendengar cerita itu, berulang kali Kam Liong
menarik napas panjang.
"Aihh, Adikku, engkau sungguh beruntung
sekali dapat menjadi murid Bu Kek Sian su! Apakah setelah beliau pergi
meninggalkanmu, tidak pernah datang lagi menjengukmu?"
"Tidak, Twako. Suhu adalah seorang
manusia yang sakti dan aneh, yang muncul dan pergi pada saat-saat yang sama
sekali tidak terduga manusia. Karena saya mematuhi pesannya, maka saya datang
menghadap Twako untuk menghambakan diri."
"Ahhh, Adikku yang baik. Jangan berkata
demikian. Bahkan andaikata aku tahu engkau telah menjadi seorang pemuda yang
berkepandaian tinggi, tentu akan kucari karena pada saat ini aku sungguh
membutuhkan bantuan orang yang pandai dan boleh kupercaya penuh. Adikku Han Ki,
maukah engkau membantuku?"
"Tentu saja, Twako. Mulai sekarang, saya
hanya menanti perintah Twako, disuruh apa saja saya akan taat. Twako saya
anggap sebagai pengganti orang tua saya, demikian pula pesan Suhu Bu Kek
Siansu."
"Bagus, Han Ki! Ah, betapa lega rasa
hatiku dengan kedatanganmu yang sama sekali tidak pernah kumimpikan ini....
Adikku, terimalah secawan arak ini dariku untuk mengucapkan selamat datang
kepadamu!" Menteri itu lalu menuangkan arak ke dalam sebuah cawan sampai
penuh betul, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, cawan yang penuh arak itu
terlempar ke atas, berputar-putar cepat sekali akan tetapi araknya tidak tumpah
sedikit pun!
"Terimalah, Adikku!"
"Terima kasih, Twako!" Han Ki yang
maklum bahwa kakaknya sedang mengujinya, menjadi gembira. Ia mendorongkan
tangan kirinya ke arah cawan yang berputaran di udara itu. Cawan menjadi miring
dan isinya tumpah, akan tetapi tumpahnya langsung memasuki mulutnya sampai
cawan itu menjadi kering, lalu ia menyambar cawan itu dan meletakkannya di atas
meja.
"Sayang meja ini agak kotor terkena arak
dan kuwah, Twako. Biarlah saya membersihkannya!" Han Ki menggebrak meja
dan.... semua mangkok dan cawan beterbangan ke udara! Cepat Han Ki menyambar
sebuah kain pembersih menggosok meja dengan gerakan yang cepatnya bukan main
sehingga meja menjadi bersih, kemudian ia mengangkat meja itu menerima mangkok
piring dan cawan yang meluncur turun, disambutnya dengan baik sehingga semua
barang itu tidak ada yang tumpah, setelah itu ia meletakkan meja kembali di
depannya.
"Bagus. kau hebat, Adikku!" Menteri
Kam Liong girang sekali, kemudian tiba-tiba ia memegang tangan adiknya.
Kam Han Ki merasa betapa dari telapak tangan
kakaknya itu keluar getaran hebat yang makin lama makin panas. Ia tahu bahwa
itulah penyaluran tenaga sin-kang yang amat kuat, maka cepat ia pun mengerahkan
sin-kangnya, menerima tekanan kakaknya dengan muka tidak berubah. Menteri itu
merasa betapa tiba-tiba tangan adiknya yang ia pegang dan remas itu menjadi
dingin seperti salju dan betapa wajah pemuda itu sama sekali tidak berubah. Ia
kagum bukan main dan barulah ia merasa yakin bahwa Bu-Kek Siansu benar-benar
telah berlaku murah hati kepada adiknya ini, dan yakin bahwa pemuda ini dapat
membantunya meringankan beban yang amat berat terasa olehnya pada waktu itu.
Akan tetapi hatinya masih belum puas mengingat betapa pentingnya tugas yang
hendak ia serahkan kepada Han Ki.
"Adikku yang baik, marilah ikut bersamaku
ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!" katanya setelah ia melepaskan
tangannya. Han Ki bangkit dan mengikuti menteri itu pergi ke lian-bu-thia.
Para penjaga hanya dapat melihat dengan mata
melongo saja betapa kini pemuda yang menjadi tamu itu "bertanding!"
dengan hebatnya melawan Sang Menteri. Han Ki menggunakan pedangnya, sedangkan
Menteri Kam Liong menggunakan sepasang senjatanya yang selama ini belum pernah
terkalahkan, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas.
Diam-diam Kam Han Ki kagum bukan main.
Kakaknya yang sudah setengah tua itu ternyata amat hebat. Permainan suling emas
dengan ilmu silat pedang Pat-sian Kiam-sut dirangkai dengan ilmu kipas Lo-hai
San-hoat benar-benar lihai sekali. Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa)
adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang cepat dan memiliki jurus-jurus
berbahaya, kini dimainkan dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar
emas sungguh menakjubkan.
Adapun Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau
Lautan) juga hebat main, selain gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok
jalan darah, juga kalau kipas dikebutkan, angin menyambar keras mengacaukan
gerakan lawan.
Namun Han Ki tidak percuma melatih diri selama
belasan tahun seorang diri di dalam guha tidak percuma menjadi murid Bu Kek
Siansu karena ilmu pedangnya juga amat tinggi. Ilmu pedangnya mempunyai dasar
gerakan Hong-in-bun-hoat yaitu gerakan ilmu silat yang dilakukan seolah-olah
"menulis" huruf-huruf indah di udara, dan karena semua limu silat
yang dimainkan oleh kedua kakak beradik ini berasal dari satu sumber, maka
mereka dapat saling mengenal jurus lawan dan dapat mengimbanginya. Seratus
jurus telah lewat dan diam-diam Menteri Kam Liong kagum dan girang sekali. Pada
waktu itu, jarang ada lawan, apalagi masih begini muda, yang dapat
menandinginya sampai seratus jurus tanpa terdesak sedikit pun, bahkan dalam hal
tenaga sin-kang, adiknya ini malah lebih kuat daripadanya!
"Gu Toan, hebat tidak kepandaian Adikku
ini?" Tiba-tiba Menteri Kam Liong berseru gembira sambil meloncat ke
belakang menghentikan serangannya, menoleh kepada seorang laki-laki setengah
tua yang berpunggung bongkok dan yang sejak tadi menonton dengan mata
terbelalak dan mulut celangap, melongo, dengan penuh kekaguman.
Si Bongkok yang bernama Gu Toan itu
membungkuk-bungkuk sehingga tubuhnya menjadi makin bongkok, mulutnya berkata.
"Hebat.... hebat.... hamba belum pernah menyaksikan yang sehebat itu,
Taijin...."
Diam-diam Han Ki terkejut. Seorang pelayan
mengapa dapat menilai pertandingan ilmu silat tinggi yang tak dapat diikuti
pandangan mata sembarangan orang? Agaknya Menteri Kam Liong maklum akan
keheranan hati adiknya maka ia lalu berkata sambil menunjuk ke arah orang
bongkok itu.
"Jangan pandang ringan orang ini, Han Ki.
Gu Toan ini adalah pelayanku selama belasan tahun dan biarpun dia tidak
langsung menjadi muridku, namun dari melihat saja dia telah dapat menguasai
dasar-dasar ilmu silat yang kumainkan. Sayang dia sudah tua dan ketika kecil
tidak dilatih, padahal dia memiliki bakat yang lebih besar daripada bakatku
sendiri. Pula, di dunia ini sukar dicari orang yang lebih setia daripada Gu
Toan!"
Gu Toan kelihatan malu-malu dan berkali-kali
ia menjura. "Taijin terlalu memuji hamba, terlalu memuji hamba....!Ah,
Kongcu benar-benar memiliki ilmu pedang yang tiada keduanya di dunia ini."
"Gu Toan, ketahuilah bahwa pemuda ini
adalah adikku sendiri, adik sepupu yang mulai sekarang kuangkat menjadi
pengawal pribadiku!"
"Ahh, selamat datang, Kongcu!"
pelayan itu berseru girang dan melihat sinar matanya, Han Ki diam-diam
membenarkan pendapat kakaknya. Memang pelayan bongkok ini memiliki sinar mata
yang hebat, penuh kecerdikan. juga penuh kesetiaan.
Kembali kakak beradik in! duduk berdua di
kamar Sang Menteri dan mulailah Menteri Kam Liong menceritakan semua urusan
yang memberatkan hatinya.
"Yang memberatkan hatiku adalah dua
persoalan." Menteri itu bercerita. "Pertama adalah kekuasaan suku
bangsa Yucen yang makin besar. Aku merasa curiga dengan keadaan mereka, oleh
karena itu diam-diam aku menyuruh muridku sendiri untuk menyelundup dan bekerja
disana sebagai seorang perwira."
Han Ki tertarik sekali dan merasa kagum akan
kecerdikan twakonya dan keberanian murid twakonya itu. "Akan tetapi telah
beberapa lama ini dia tidak memberi kabar, bahkan aku khawatir sekali
kalau-kalau terjadi sesuatu dengan kurir yang sering kali menghubungkan dia dan
aku, mengirim berita-berita. Karena itu, engkau harus mewakili aku menyelidiki
ke sana, Adikku. Tidak mungkin kalau aku sendiri yang pergi ke sana, karena
mereka sudah mengenalku. Aku sendiri akan berangkat ke Khitan menyelidiki
keadaan kakak misanmu yang menjadi Raja Khitan."
Menteri itu lalu memperkenalkan Raja Talibu
yang juga merupakan putera Suling Emas sehingga Han Ki makin tertarik hatinya.
Segera ia menyanggupi tugas yang dibebankan kepadanya.
Akan tetapi, karena dia diangkat sebagai
pengawal Menteri Kam Liong, tentu saja dia harus diperkenalkan dengan para
pembesar lain, juga bahkan dihadapkan kepada Kaisar oleh Menteri Kam Liong.
Kaisar merasa suka bertemu dengan Han Ki,
kagum melihat pemuda yang lemah-lembut, tampan dan gagah perkasa itu. Apalagi
ketika Kaisar mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah adik sepupu sendiri dari
menterinya yang setia, kepercayaannya bertambah dan ia menerima Han Ki dengan
gembira. Bahkan memberi ijin kepada pemuda itu untuk "melihat-lihat"
keadaan di sekeliling istana, mengagumi taman bunga istana yang amat indah itu.
Setelah menghaturkan terima kasih, Han Ki lalu
memasuki taman, meninggalkan twakonya yang masih bercakap-cakap dengan Kaisar
mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda ini kagum bukan main. Taman itu amat
luas, pula amat indahnya sehingga dia merasa seolah-oleh tersesat ke alam sorga
di dalam mimpi. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan bunga-bunga yang
demikian banyak macamnya, serba indah, bangunan indah dalam taman dan
burung-burung yang dipelihara dalam sangkar beraneka warna.
Saking tertariknya, pemuda yang selama
hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian indahnya, sampai lupa
diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang, yaltu taman
puteri yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar berduri yang
tinggi. Namun bagi Han Ki tentu saja pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika
menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh lebih indah lagi, dengan
bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung
berkilauan agaknya terbuat daripada perak dan emas, ia mengenjot tubuhnya dan
melompati pagar bunga mawar. Dia sampai berdiri bengong dan menahan napas
menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang tumbuh di tempat ini pun
bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah seperti
permadani dari beludru? Seperti dalam mimpi ia berjalan terus, melangkah ke
arah sekumpulan bangunan yang dicat merah. Tiba-tiba telinganya mendengar suara
wanita menjerit-jerit kebingungang bahkan lalu mendengar wanita menangis? Cepat
ia menyelinap di antara pohon bunga, berlompatan mendekati suara yang datangnya
dari balik kelompok bangunan. Ketika ia tiba di situ dan memandang dari tempat
sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak berkedip memandang ke depan
dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali. Kalau tadi ia kagum dan merasa
dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia terpesona menyaksikan seorang
dara jelita yang kecantikannya seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba
membeku? Seorang dara jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di
bawah pohon, dihibur oleh empat orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa
orang di antara wanita-wanita itu ada yang sibuk menjentikkan jari tangan
sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.
"Kalau dia tidak mau kembali dan terbang
pergi.... ah bagaimana?" Dara cantik yang berpakaian indah itu terisak.
Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya
mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu
pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon,
mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!
"Tenanglah, Siocia, kalau kita tidak
dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun," seorang di
antara empat pelayan itu menghibur.
"Apakah tukang kebun dapat terbang? Mana
bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang (Kaisar) mengetahui, tentu
tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap kemarahan Hong-houw
(Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya." Dara itu menangis lagi.
Han Ki merasa kasihan sekali. Belum pernah ia
mengalami perasaan seperti ini. Mengapa, ia tiba-tiba merasa kasihan sekali
kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum dan apa
urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian gelisah
dan melihatnya menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memandang ke
arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang indah
sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia bahwa
Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas dan kini merasa
bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.
Terdorong oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi
nekat lalu dia melompat keluar dan berkata, "Harap Siocia tidak khawatir,
saya akan menangkap burung itu!"
Dara berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan
jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun menutup mulut saking kaget dan
herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka, menjadi heran, hanya mengangkat
pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas pohon. Burung itu terkejut
dan terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin
bertiup dari telapak tangannya dan burung itu tertahan terbangnya, lalu
disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat turun.
"Nah, ini dia, Siocia, sudah dapat saya
tangkap, kembali."
Dara itu girang bukan main, lupa akan
keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan seorang di antara
pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu sudah
aman berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah lima orang wanita itu
memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah
sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia melihat sinar kagum jelas
sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.
"Eh, orang muda, apakah kau pandai
terbang?" seorang di antara empat pelayan bertanya.
"Apakah engkau tukang kebun baru?"
tanya yang ke dua.
Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah
yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak pandai
terbang dan bukan tukang kebun."
Kini puteri itu memutar tubuh dan memandang ke
arah wajah Han Ki, penuh kemarahan dan bibir yang merah itu merekah, lalu
terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.
"Kalau engkau bukan tukang kebun,
bagaimana engkau bisa berada di sini?"
Han Ki tak gentar menghadapi pandang mata para
penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip menghadapi serangan pedang dan
golok. Namun kini, mata yang memancar keluar dari sepasang mata indah itu
membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!"
"Aku.... aku...., melihat-lihat taman dan
melompati pagar bunga mawar!"
"Aihh! Orang muda yang kurang ajar!"
Seorang di antara para pelayan membentak. "Kau bicara seenaknya saja di
depan seorang puteri Kaisar!"
Han Ki terkejut sekali, akan tetapi
perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang untuk
bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih.
"Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak
tahu.... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini...."
Aneh sekali. Kini puteri itu tersenyum simpul,
matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar, kemudian ia berkata,
"Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini, engkau akan
dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini
"Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya
yang telah menangkap kembali burung yang terlepas."
"Tidak, Siocia. Saya tidak membutuhkan
hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena betapa pun indah
sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak bersedih?
Sungguhpun begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin
bebas...."
Sepasang alis yang kecil panjang hitam seperti
dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa jantungnya tertusuk oleh
sinar mata itu. "Engkau bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kaukatakan
bahwa tentu saja burung itu ingin bebas kemudian kau mencelanya sebagai burung
bodoh! Apa maksudmu?" Puteri itu memandang tajam dan kembali jantungnya
berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya
itu benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.
"Dia bodoh sekali, Siocia. Kalau saya
menjadi dia, saya.... saya akan merasa bahagia sekali dikurung dalam sangkar
dan berada di sini selamanya!" Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu
bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.
Kembali sepasang mata itu terangkat dan
sepasang mata indah itu melebar. "Mengapa?"
"Karena.... karena setiap hari akan dapat
melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia...."
"Alihhh....!" Puteri jelita itu
membuang muka, wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya, mata
seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata
kelinci terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum
malu, tersipu-sipu!
"Weh-weh, kau laki-laki kurang ajar! Kau
bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini, kata seorang pelayan, juga tiga
orang yang lain marah-marah. "Siapa sih engkau berani mati seperti
ini?"
Han Ki menjawab tanpa mengalihkan pandang
matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia bukan menjawab Si Pelayan
melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu. "Saya bernama Kam Han Ki,
pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya diperkenankan
oleh Hongsiang untuk melihat-lihat Taman, akan tetapi telah tersesat ke sini,
harap Siocia sudi memaafkan."
"Oohhh....! Kau.... kau.... adik sepupu
Menteri Kam?" Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari pandang
matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah,
kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka. Sang Puteri dapat
menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak.
"Mau apa kalian tersenyum-senyum?"
Empat orang pelayan itu menunduk akan tetapi
tetap tersenyum dan seorang di antara mereka yang paling berani lalu berkata,
"Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang rendah, Siocia.
Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah perkasa, malah
pandai terbang melebihi burung. Hemm ...."
Puteri itu tersipu-sipu akan tetapi memaksa
diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona karena wajah puteri itu
makin dipandang makin mempesona lalu berkata lirih.
"Kam-taihiap, sebaiknya engkau lekas
pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan
mendapat malu. Harap suka pergi dan.... terima kasih atas bantuanmu tadi."
Han Ki mengangguk, merasa kecewa sekali harus
pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kehadirannya di
situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia berkata,
"Maaf....!" lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar
bunga mawar dengan kedua kaki lemas. Mengapa. hatinya seperti hilang dan
semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang lemas saja yang
pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri.
Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan
bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar
dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.
"Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki telah
berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah kepalang,
biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?"
Sunyi sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri
itu berkata lirih.
"Namaku.... Hong Kwi...."
"Terima kasih!" Han Ki berkata
dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati pagar.
Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru,
"Dia.... dia menghilang. Jangan-jangan
dia.... setan....!"
Puteri itu tertawa, suara tawanya seperti
nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali. "Hushhh! Bukan
menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Tai-hiap, seorang
pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang
memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja....!"
"Hebat.... Betulkah, Siocia?
Hi-hihik!" para pelayan tertawa.
"Hushh! Apa ketawa? Kusuruh cambuk kau,
seribu kali!" Sang Puteri menghardik.
Akan tetapi empat orang pelayan itu masih
terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang sudah dapat mengetahui rahasia
hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil berlutut. "Hati hamba
sekalian gembira sekali, Siocia, jangankan dicambuk seribu kali, biar selaksa
kali hamba terima!"
Tentu saja mereka hanya bergurau karena kalau
betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali atau seribu kali, baru dua puluh
kali saja kulit-kulit tipis punggung dan pinggul mereka tentu akan pecah-pecah
dan nyawa mereka melayang!
Demikianlah, semenjak saat itu, hati Han Ki
tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita. Puteri ini adalah puteri
Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita. Dan semenjak saat itu,
Han Ki selalu mencari kesempatan untuk tersesat atau lebih tepat
"menyesatkan diri" ke dalam taman terlarang sehingga dalam waktu
sebulan itu, beberapa kali ia "kebetulan" bertemu dengan Sung Hong
Kwi, puteri selir itu yang selalu ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat
sering datang ke taman untuk duduk termenung sambil memandang burung kuning dalam
sangkar! Kini puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada empat
orang pelayannya yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong
Kwi.
Pada saat malam terang bulan, Hong Kwi duduk
melamun di taman. Empat orang pelayan duduk tak jauh dari situ, berbisik-bisik
dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang mereka tahu sedang murung
memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hati tidak tampak.
Hong Kwi memandang ke arah burung kuning dalam
sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh. Dia tidak melihat burung di dalam
sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari bibirnya berbisik-bisik
"Mungkinkah....? Akukah yang seperti burung dalam sangkar? Bagaimana mampu
bebas dan terbang berdua dengan burung di luar sangkar? Ah! Kam-tai-hiap....!"
Seolah-olah mendengar jeritan hatinya,
tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki telah berdiri di hadapannya!
"Kam-taihiap....!" Hong Kwi terkejut
sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di tempat itu! Kalau
ketahuan, mereka berdua bisa celaka!
Akan tetapi sikap Han Ki tidak gembira seperti
biasa. Biarpun biasanya pertemuan antara mereka berdua. hanya lebih banyak
pertemuan pandang mata saja daripada percakapan, namun Han Ki selalu bersikap
gembira. Namun malam ini, di bawah sinar bulan, wajah yang tampan itu kelihatan
muram.
"Siocia...., saya datang.... untuk
berpamit...."
Dara jelita itu terkejut, mengangkat muka
memandang penuh selidiki. "Berpamit....? Kam-taihiap.... mengapa? Apa yang
terjadi? Engkau.... hendak pergikah?"
Pemuda itu hanya mengangguk, kemudian
memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata, "Bolehkah saya bicara
berdua saja denganmu, Siocia?"
"Ahhh.... tapi.... tapi...." Ia
meragu! lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil berkata lirih.
"Kalian pergilah sebentar." Empat orang pelayan itu saling pandang,
lalu tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu, mereka berlarian menjauh dan
bersembunyi di dalam bangunan kecil, agak jauh dari tempat itu.
"Tai-hiap, engkau hendak pergi ke
manakah?"
"Siocia, saya mendapat tugas dari Menteri
untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa Yucen....!"
"Aihhh....! Bangsa yang biadab
itu....!" Sang Puteri berseru kaget sekali.
"Karena itu, maka harus diselidiki
keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya harus berangkat besok
pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri menghadap Siocia untuk
berpamit."
"Kam-taihiap, berapa lamakah kau
pergi....?"
Han Ki menggeleng kepala. "Bagaimana saya
bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di sana dan.... hemmm, kalau saya sampai
tidak kembali menghadap Siocia itu berarti bahwa saya tentu tewas di sana....
eh! Siocia .... ! Siocia ....!"
Han Ki cepat menubruk dan merangkul dara itu
yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan mendengar ucapannya itu. Dia merangkul
leher dara itu penuh kasih sayang, penuh kemesraan, lalu memondongnya dan
memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam. Ia tahu bahwa dara itu hanya
pingsan karena kaget, maka perlahan-lahan ia mengurut belakang kepalanya.
Muka itu tengadah, agak pucat namun bibirnya
masih merah segar. Pernapasan merasa lega sekali dan tanpa disadarinya ia
menunduk mencium dahi yang putih halus itu. Sang Puteri sadar dan berteriak
ketika mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya dicium.
"Ahhh, Kam-taihiap....!" Ia merintih
dan kedua lengannya merangkul leher.
"Hong Kwi.... Hong Kwi....?" Han Ki
juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan mereka yang seolah-olah
terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan berpisah! Ia menjadi terharu,
bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka ketahui
siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir mereka bertemu
dalam sebuah ciuman mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa sadar, seolah-olah
ada tenaga gaib yang mendorong mereka karena selama hidup mereka belum pernah
berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati, seluruh keharuan,
seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang seolah-olah takkan pernah
terlepas lagi itu mereka terisak, naik sedu-sedan dari dada mereka, ke
tengorokan.
Mereka terengah-engah, terbuai oleh gelombang
asmara yang hebat, baru melepaskan ciuman setelah napas tak tertahan lagi,
saling rangkul seolah-olah tak hendak melepaskan lagi.
"Hong Kwi....!"
"Koko....! Kam-koko....!"
Entah berapa lama mereka saling rangkul, entah
berapa kali mereka saling berciuman. Tiada bosan-bosannya Han Ki mencium dahi,
alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher wanita yang dicintanya, seolah-olah
hendak menghisap semua itu dan menyimpannya ke dalam lubuk hatinya. Mereka lupa
diri, lupa waktu,lupa keadaan.
"Siocia....!" Suara pelayan
menyadarkan mereka. "Hamba mendengar suara peronda....!"
Puteri itu melepaskan diri dari atas pangkuan
Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang lengan Han Ki yang kuat. "Koko....
bagaimana dengan kita....? Ahh, Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku
pergi.... mari kita minggat malam ini juga...."
Han Ki menutup mulut itu dengan ciuman mesra,
tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini kelihatan oleh pelayan yang cepat
membuang muka dengan sungkan.
"Hushhh, jangan berkata demiklan,
kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali membawa jasa dan tentang
masa depan kita, harap jangan khawatir.... Twako Kam Liong tentu akan
membantuku dan engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat akan kedudukan dan
jasa Menteri, kiranya pinangan itu takkan ditolak oleh Hongsiang. Nah, selamat
berpisah, manisku. Itu peronda datang...." Han Ki melepaskan pelukannya
dan hendak meloncat pergi.
"Koko ....! Ahh, Koko....!" Puteri
itu merintih. Han Ki meloncat kemibali, memberi ciuman yang mesra sekali yang
seolah-olah menghisap hati dara itu, kemudian tanpa menoleh ia sudah meloncat
cepat lenyap dari situ. Untung bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat
sehingga munculnya peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena peronda-peronda
itu tidak melihat atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat dan berani mati
karena asmara itu. Para peronda memberi hormat kepada Puteri Sung Hong Kwi yang
telah menguasai hatinya dan tanpa mengeluarkan kata-kata dara itu kembali ke
kamarnya diikuti empat orang pelayannya yang diam-diam saling towel saling
cubit dan menutupi senyum dengan tangan mereka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kam
Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh Menteri Kam
Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja bangsa Yucen untuk menyusul Khu Tek San,
yaitu murid Menteri Kam Liong yang diselundupkan ke Kerajaan bangsa Yucen.
Adapun Menteri Kam Liong sendiri tak lama
kemudian juga pergi seorang diri setelah mendapat perkenan Kaisar, pergi ke
Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya yang ia tahu terancam perang besar
dengan bangsa Yucen, bahkan barisan Sung sendiri atas pimpinan
panglima-panglima perbatasan yang sudah disetujui oleh Kaisar juga membantu
bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali, apalagi karena ia pun
tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu mengintai daerah-daerah
perbatasan!
***
Maya berjalan seperti kehilangan semangat
bersama pasukan pengawal yang kini telah berubah menjadi perampok-perampok,
menjadi serigala-serigala haus darah yang amat kejam di bawah pimpinan Bhutan.
Anak perempuan yang usianya baru sepuluh atau sebelas tahun ini menderita
tekanan batin yang bukan main hebatnya. Pertama-tama tentang keadaan dirinya
yang ternyata bukanlah puteri Raja dan Ratu Khitan, melainkan keponakan mereka,
dan bahwa ayah bundanya telah tewas. Hal ini saja sudah membuat ia berduka
bukan main, sungguhpun andaikata dia benar puteri Raja dan Ratu, mereka ini pun
sekarang telah tewas. Ke dua, menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan
pasukan itu benar-benar mengerikan sekali. Ke tiga, memikirkan keselamatannya
sendiri yang terancam malapetaka hebat.
Malam itu, gerombolan yang dipimpin Bhutan
mengaso di sebuah hutan dan mereka itu berpesta-pora dan mabuk-mabukan karena
baru saja mereka membasmi sebuah dusun. Di antara suara ketawa-tawa mereka
terdengar jerit dan rintih wanita-wanita yang mereka culik dan mereka seret ke
dalam hutan itu. Ada di antara mereka yang sekaligus membawa dua orang wanita
dan mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus.
Maya tidak melihat itu semua, tidak mendengar itu semua. Sudah terlalu sering
ia mendengar dan melihat hal-hal mengerikan itu sehingga biarpun kini mata dan
telinganya terbuka, namun yang tampak olehnya hanya api unggun di depannya.
Diam-diam dia telah mempersiapkan diri. Di
dalam perampokan-perampokan itu, ia menemukan sebuah pisau belati yang runcing
dan tajam. Disembunyikannya pisau itu di balik bajunya, diselipkan di ikat
pinggang sebelah dalam. Dan ia selalu mencari akal untuk melarikan diri. Mereka
sedang mabok-mabokan dan memperkosa wanita rampasan. Kalau saja Bhutan malam
itu tidak menjaganya, tentu ia akan dapat melarikan diri di dalam hutan yang
gelap itu. Mereka sedang mabok dan sedang mengganggu para wanita. Kalau dia
lari, tentu takkan ada yang tahu. Jantungnya sudah berdebar karena dia tidak
melihat Bhutan yang tadi rebah-rebahan tidak jauh dari situ.
Akan tetapi harapannya membuyar ketika
tiba-tiba terdengar suara ketawa Bhutan. Suara ketawa yang serak.
"Ha-ha-ha, engkau kelihatan manis sekali di dekat api unggun. Kulit
wajahmu kemerahan. Wahai, puteriku jelita! Engkau seperti bukan kanak-kanak
lagi, heh-heh-heh!" Maya merasa muak dan mau muntah ketika muka Bhutan
yang didekatkan itu mengeluarkan bau arak dan daging busuk!
Jantung Maya berdebar tegang. Ia, tahu bahwa
orang yang paling dibencinya ini sedang mabok. Dari pandang mata, sikap dan
ucapannya, Maya merasa bahwa ada bahaya mengancamnya, bahaya yang selama ini
amat ditakutinya. Biasanya Bhutan hanya merayu dan memujinya dengan kata-kata
saja, akan tetapi sekali ini agaknya dia, mempunyai niat lain.
"Pergi dan jangan ganggu aku!" Maya
membentak marah.
"Ha-ha-ha, Maya yang manis! Tadinya aku
hendak menunggu satu dua tahun sampai engkau lebih matang. Akan tetapi aku
tidak sabar menunggu sekian lamanya dan engkau.... hemm, engkau sudah cukup
matang, engkau seperti setangkai kuncup kembang yang sudah merekah, marilah,
Maya manis!" Bhutan yang kini sudah berubah seperti seekor anjing
kelaparan itu menangkap tangan Maya dan menarik tubuh anak perempuan itu
sehingga roboh ke dalam pelukannya. Bhutan tertawa-tawa dan memondong tubuh
Maya yang meronta-ronta, membawanya ke balik gerombolan pohon kembang di mana
terdapat tilam rumput hijau yang lunak. Tak jauh dari situ terdapat mayat
seorang wanita yang baru saja menjadi korban kebuasan Bhutan. Manusia kejam ini
telah memperkosa wanita rampasan itu, kemudian membunuhnya karena wanita itu
tidak memuaskan hatinya dan dalam kehausan nafsu yang bernyala-nyala, Bhutan
teringat akan Maya dan kini membawa anak perempuan yang meronta-ronta itu ke
situ tanpa mempedulikan mayat yang menjadi korban kebuasannya.
Sambil tertawa-tawa dan dengan nafsu makin
menyala-nyala, agaknya makin terbangkit oleh perlawanan Maya yang
meronta-ronta, Bhutan melempar tubuh Maya ke atas rumput di mana dara cilik itu
terbanting roboh telentang, kemudian Bhutan menubruk dan menindihnya. Maya
menggerakkan kepala ke kanan kiri untuk mengelakkan ciuman-ciuman Bhutan yang
menjijikkan. Biarpun semenjak tadi Maya meronta-ronta dan menjerit-jerit
seperti seorang yang tidak berdaya dan yang hanya bisa menjerit dan menangis,
namun sesungguhnya diam-diam anak ini telah mempersiapkan seluruh urat tubuhnya
dengan perhitungan seorang ahli silat. Ketika melihat lowongan, yaitu kedua
tangan Bhutan menjambak rambutnya, agaknya untuk memaksa Maya agar tidak dapat
menggerakkan kepala mengelak, kemudian mencium mulut gadis cilik itu penuh
nafsu, saat itulah yang dinanti-nanti Maya. Ia mengatupkan mulutnya ,kuat-kuat
sehingga yang dicium Bhutan hanya sepasang bibir yang bersembunyi, dan
tiba-tiba tangan kanan Maya bergerak, menikamkan pisau belati tepat, ke ulu
hati Bhutan dan miring ke kiri, ke arah jantung, sedangkan tangan kirinya yang
kecil itu menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah mata lawan. Biarpun Maya
merasa muak dan jijik, namun dengan kekuatan hatinya ia dapat menekan
perasaannya itu dan dapat melakukan serangan mendadak secara tepat sekali.
Pekik yang keluar dari mulut Bhutan merupakan
raungan binatang buas yang direnggut nyawanya. Tusukan jari-jari kecil pada
kedua matanya dan rasa sakit pada dadanya membuat Bhutan secara otomatis
membawa tangannya ke mata dan dada. Saat yang hanya beberapa detik ini cukup
bagi Maya untuk meronta. dan keluar dari tindihan tubuh Bhutan, kemudian
meloncat pergi lalu berlari cepat memasuki tempat gelap. Bhutan meloncat
bangun, meraung lagi, berusaha mengejar namun roboh terguling, berkelojotan dan
dari kerongkongannya terdengar bunyi mengorok seperti babi disembelih. Akhirnya
ia tewas tak jauh dari mayat wanita yang telah dibunuhnya.
Akan tetapi perhitungan Maya meleset. Dia
tidak memperhitungkan pekik yang keluar dari mulut Bhutan ketika ia melakukan
penikaman. Pekik itu menarik perhatian dan mengejutkan beberapa orang anak buah
gerombolan yang berada tidak jauh dari tempat itu! Mereka kaget dan
meninggalkan wanita korban mereka yang sudah setengah mati, lalu meloncat ke
tempat terdengarnya suara, pekikan. Tentu saja merasa terkejut melihat tubuh
Bhutan berkelojotan dan lenyapnya Maya. Mereka berteriak-teriak dan tak lama
kemudian, empat belas orang bekas pengawal itu telah mengejar Maya!
Akhirnya Maya yang kelelahan dan kehabisan
tenaga karena memang tubuhnya sekarang telah menjadi lemah akibat tidak
terpelihara dengan baik, makan dan tidur tidak teratur, tertangkap oleh
gerombolan itu di luar sebuah dusun menjelang pagi. Empat belas pasang tangan
memperebutkannya, dan seorang di antara mereka cepat,berkata,
"Heh, kawan-kawan jangan bodoh!
Kalau diperebutkan begitu, dia akan mampus.
Sayang sekali kalau begitu!
Lebih baik dia dirawat dan kita pelihara
baik-baik. Dia dijadikan milik kita bersama. Ingat, dia bukan kembang sembarang
kembang, harus diperlakukan penuh kelembutan. Ha-ha-ha!"
Mendengar ini, yang lain-lain setuju dan
sambil tertawa-tawa mereka menggandeng tangan Maya yang sudah babak belur itu.
"Nah, ini ada dusun, melihat
bangunan-bangunannya lumayan juga. Bocah ini masih terlalu kecil, kita pelihara
dulu sampai menjadi segar dewasa. Lihat, dia sudah hampir mati kelelahan. Lebih
baik kita mencari bunga di dusun itu dan berpesta-pora!" terdengar suara
seorang di antara mereka. Setelah Bhutan tewas, empat belas orang itu merupakan
gerombolan tanpa pimpinan yang tentu saja menjadi lebih buas seperti
srigala-srigala tanpa bimbingan.
Sambil bersorak-sorak, empat belas orang itu
menyerbu dusun. Dua orang penjaga di pintu pagar dusun, mereka bunuh tanpa
banyak cakap lagi. Mulailah lagi perbuatan jahat dan penuh kebuasan melanda
dusun itu. Penduduknya yang terkejut karena tak menyangka akan diserbu pada
pagi hari itu, menjadi geger! Ada sebagian penduduk yang nekad melakukan
perlawanan, namun tentu saja mereka itu bukan tandingan gerombolan bekas
pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mulailah
terjadi pembunuhan, disusul perampokan, pembakaran dan perkosaan. Mulailah
terdengar pekik-pekik mengerikan, pekik kematian dicampur dengan jerit-jerit
penuh ketakutan, jerit-jerit para wanita yang diperlakukan semaunya oleh
gerombolan itu. Sementara itu Maya tidak mendapat kesempatan untuk lari karena
sewaktu para gerombolan menyerbu dusun, kaki tangannya dibelenggu kuat-kuat dan
dia dipaksa menunggu mereka dalam keadaan tidak dapat bergerak, hanya sepasang
matanya yang lebar menyaksikan semua kekejian yang terjadi di dusun itu.
Seperti biasa pula pada akhir penyerbuan
sebuah dusun, para gerombolan ini menyeret wanita yang mereka pilih, ada yang
sibuk mengumpulkan benda-benda berharga, ada yang minum arak sampai mabok dan
di antara asap rumah-rumah yang masih menyala, mereka tertawa-tawa dan
berkumpul di dekat tumpukan mayat-mayat, memandang rumah terbakar, ada yang
mulai mengganggu wanita di depan mata kawan-kawannya, ada yang
bernyanyi-nyanyi, menyanyikan lagu kemenangan barisan tentara Khitan. Semua ini
terjadi dengan hiruk-pikuk dan Maya terpaksa harus menonton semua yang terjadi
di depan mata karena ia berada di tengah-tengah antara mereka. Belenggunya
sudah dilepas dan dia menjadi muak dan pening. Di belakangnya, tiga orang
gerombolan sedang mengganggu tiga orang wanita yang menjerit-jerit di antara
suara ketawa mereka, di depannya juga ada dan di kanan kiri,
gerombolan-gerombolan itu tertawa-tawa, minum-minum dan mengamat-amati hasil
rampokan mereka dengan gembira!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda banyak
sekali mendatangi dusun yang terbakar itu. Empat belas orang gerombolan bekas
pengawal menjadi terkejut. Akan tetapi mereka sudah terlalu mabok, mabok oleh
arak dan mabok nafsu sehingga mereka terlambat untuk mengetahui bahwa yang
datang adalah pasukan musuh, pasukan bangsa Yucen yang berjumlah lima puluh
orang! Tahu-tahu mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang banyak jumlahnya itu
dan terjadilah perang tanding yang berat sebelah. Biarpun gerombolan bekas
pengawal ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu sudah
setengah mabok dan jumlah mereka kalah banyak. Mereka melakukan perlawanan
gigih dan mengamuk. Melihat kesempatan ini, Maya berusaha untuk melarikan diri.
Ia meloncat, akan tetapi sebuah tamparan seorang pengawal terdekat membuat ia
roboh terpelanting dan pingsan di antara tumpukan mayat!
Perang kecil yang berat sebelah itu
berlangsung tidak terlalu lama. Biarpun mengorbankan beberapa orang anak
buahnya, namun pasukan Yucen akhirnya berhasil membunuh empat belas orang
gerombolan bekas pengawal Khitan itu. Mayat mereka malang-melintang dan
bertumpuk-tumpuk di antara mayat-mayat bekas korban mereka, penduduk dusun dan
wanita-wanita muda yang mereka perkosa. Sisa pasukan Yucen lalu pergi
meninggalkan dusun itu yang kini berubah menjadi tempat yang mengerikan sekali.
Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah api yang masih memakan atap-atap
rumah. Tampak di sana-sini muncul beberapa orang penduduk yang berani datang
untuk mengambil dan mengungsikan barang-barang mereka, akan tetapi tak seorang
pun berani mendekati tumpukan mayat empat belas orang gerombolan yang merubah
dusun itu menjadi neraka bagi penduduknya.
Tak lama kemudian, dari arah barat tampak dua
orang berjalan ke arah dusun itu. Dari jauh sudah tampak bahwa mereka adalah
seorang laki-laki dan seorang wanita, yang laki-laki berkulit hitam sekali dan
yang wanita berkulit putih, akan tetapi tubuh wanita itu tinggi, bahkan lebih
tinggi sedikit dibandingkan dengan laki-laki berkulit hitam itu. Kalau dilihat
dari dekat, tentu orang akan terheran-heran melihat pakaian dan wajah mereka
yang berbeda jauh dari penduduk umumnya. Laki-laki itu tinggi kurus, kulitnya
hitam arang, rambutnya yang keriting ditutup sorban kuning, tubuh atas tidak
berbaju hanya dilibat kain kuning yang sudah dekil, tubuh bawah memakai celana
hitam sampai di bawah lutut, kakinya tidak bersepatu. Sederhana sekali pakaian
dan sikapnya, namun wajahnya membayangkan kewibawaan besar dengan sepasang mata
yang tajam seperti mata pedang tetapi juga menyeramkan dan liar itu bergerak ke
sana-sini.
Si Wanita tidak kalah anehnya. Wajahnya
berbentuk seperti laki-laki itu, kening lebar, mata lebar, hidung mancung
sekali dan besar, dagu runcing sehingga dia memiliki kecantikan yang aneh dan
khas. Telinganya memakai hiasan cincin besar, rambutnya terurai sampai ke
punggung. Tubuhnya tinggi besar, nampak kuat seperti tubuh pria namun
gerak-geriknya yang lemah-lembut menandakan bahwa dia benar-benar seorang
wanita. Memakai baju berlengan pendek dan celana panjang sampai ke kaki
berwarna biru, akan tetapi di luar bajunya, ia memakai sutera kuning yang
panjang dilibat-libatkan di tubuh. Lengan kirinya yang berkulit putih
kemerahan, bukan putih kekuningan seperti kulit wanita pribumi, memakai sebuah
gelang emas yang besar dan tebal. Demikian pula kedua pergelangan kakinya
dihias gelang kaki terbuat dari pada emas sehingga kadang-kadang kalau kedua
kaki berganti langkah, gelang-gelang itu beradu dan menimbulkan suara
berdencing nyaring. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan mereka
berjalan berdampingan tanpa berkata-kata, memasuki dusun itu dan
menggeleng-geleng kepala menyaksikan rumah-rumah terbakar dan mayat-mayat
bertumpukan dan berserakan.
Ketika tiba di tumpukan mayat empat belas
orang bekas pengawal Khitan dan wanita-wanita serta penduduk, mereka berhenti
dan bicara dalam bahasa India.
"Bukankah pakaian mereka itu menunjukkan
bahwa mereka, pasukan pengawal Khitan?" kata Si Wanita.
"Agaknya begitulah," jawab yang
laki-laki suaranya parau dan dalam. "Manusia di mana-mana sama saja,
sekali diberi kesempatan, lalu berlumba saling membunuh."
Keduanya sudah akan melangkah pergi lagi
ketika tiba-tiba terdengar rintihan yang keluar dari tumpukan mayat.
"Ha! Seorang anak perempuan!"
Laki-laki itu berkata dan matanya mengeluarkan sinar aneh, kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan. Angin yang kuat menyambar ke arah tumpukan mayat
dan.... sebagian mayat yang bertumpuk di atas terlempar seperti daun-daun
kering tertiup angin. Tampaklah kini seorang anak perempuan yang merintih tadi
bangun dan berusaha melepaskan diri dari himpitan mayat-mayat. Anak ini adalah
Maya yang tadi pingsan kemudian tubuhnya tertindih banyak mayat!
"Aihh! Anak siapa ini?" Wanita itu
meloncat maju mendahului Si Laki-laki, gerakannya cepat sekali seperti terbang
dan sekali sambar ia telah mencengkeram punggung baju Maya dengan tangan kiri
dan mengangkat tubuh Maya ke atas sambil dipandangnya penuh perhatian. Lagak
wanita itu seperti seorang wanita sedang memeriksa seekor kepiting yang hendak
dibelinya di pasar!
"Haiii! Kesinikan anak itu! Dia milikku
karena akulah yang menemukannya, ,aku yang pertama membongkar tumpukan mayat
yang menimbunnya!" Laki-laki itu berseru, melangkah maju.
"Tidak!" Wanita itu memondong Maya
dan meloncat menjauhi. "Aku yang lebih dulu mengambilnya. Anak ini
hebat....!" ia mengelus pipi, memeriksa mata, rambut dan mulut Maya.
"Anak hebat....! Ah, manis, siapakah namamu?" tanyanya dalam bahasa
Han.
Biarpun dia seorang puteri Khitan, namun sejak
kecil ia diajar bahasa Han di samping bahasa Khitan, maka Maya lalu menjawab,
"Namaku Maya. Kalian siapakah?" Anak ini lupa akan kesengsaraannya
karena heran menyaksikan dua orang aneh yang tadi bicara dalam bahsa yang tak
dimengertinya, juga yang mempunyai wajah asing, hidung panjang dan pakaian yang
aneh pula.
"Maya? Bagus sekali! Nama yang bagus
sekali!" Wanita itu berseru girang dan menciumi kedua pipi Maya. Anak itu
mencium bau kembang yang aneh, wangi namun memuakkan baginya, akan tetapi dia
tidak melawan dan membiarkan mukanya dihujani ciuman oleh wanita itu. "Kau
cocok denganku! Hebat! Engkau tentu suka menjadi kekasihku bukan? Maya, engkau
tentu anak Khitan!" Wanita itu kini menggunakan bahasa Khitin dan Maya
menjawab dalam bahasa itu juga, suaranya berubah girang. "Benar, aku
adalah Puteri Maya, puteri.... Raja dan Ratu Khitan!"
"Apa....?" Laki-laki itu meloncat
maju. "Puteri Khitan? Hayo, Dewi, berikan padaku anak itu. Aku yang berhak!
Dia berdarah raja, dan tampaknya dia memang memiliki darah murni.
Berikan!"
"Tidak!" Wanita itu memondong Maya
dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mengepal tinju, mukanya merah
menentang dan matanya bersinar-sinar merah kepada laki-laki berkulit hitam itu.
"Mahendra! Belum puaskan engkau dengan darah beberapa orang anak yang
telah kauhisap habis? Engkau penghisap darah anak yang tiada puasnya! Tidak,
anak ini adalah milikku. Engkau tidak boleh mengganggu Maya! Dia punyaku dan
kalau engkau memaksa aku akan membunuhmu."
Laki-laki itu yang disebut Mahendra, tertawa
bergelak sehingga ngeri hati Maya melihatnya. Muka yang hitam itu kelihatan
lebih hitam lagi setelah tertawa dan nampak deretan gigi yang putih mengkilap!
"Ha-ha-ha-ha! Nila Dewi, engkau
mengancamku berkali-kali seolah-olah aku ini hanya seekor semut yang mudah mati
diinjak! Aku memang haus akan darah anak perempuan, akan tetapi hal itu
hanyalah karena aku belum menemukan anak yang darahnya cocok untuk
menyempurnakan ilmuku. Kalau aku sudah mendapatkan darah seorang anak seperti
Maya ini, tentu aku selanjutnya takkan butuh darah lagi. Berikanlah, sayang.
Malam nanti terang bulan, kita dapat berkasih-kasihan. Kalau ada aku di sini,
masa engkau butuh belaian seorang bocah seperti itu lagi? Ha-ha-ha!"
"Mahendra, aku tidak main-main. Maya ini
milikku dan habis perkara!". Nila Dewi mulai mencium-cium dan
mencucup-cucup kulit leher dan pipinya. Gilakah perempuan ini, pikirnya.
"Ha-ha-ha, kalau begitu, sebaiknya kita
bertanya kepada Maya agar dia yang memilih." Mahendra memandang Maya dan
berkata dalam bahasa Khitan, "Eh, Maya anak manis, dengarlah. Kalau engkau
memilih aku, terus terang saja aku akan mengambil darahmu untuk obat, akan
kuisap habis dan engkau akan mati seketika tanpa merasa terlalu nyeri.
Sebaiknya kalau engkau memilih Nila Dewi, dia akan menjadikan engkau kekasihnya
untuk menuruti nafsu berahinya yang selalu berkobar tak pernah padam. Engkau
akan dibelai, diperas dan perlahan-lahan engkau pun akan mati! Memilih aku berarti
mati seketika tanpa banyak menderita, memilih dia berarti akan mau sekerat demi
sekerat dan banyak menderita!"
"Phuaahhh, bohong!" Nila Dewi
menjerit marah. "Memilih dia mati seperti seekor ayam disembelih,
sedangkan memilih aku, hemmm.... akan mengalami kenikmatan dunia. Andaikata
mati, mati dalam kenikmatan, bukankah itu bahagia sekali! Kau memilih aku, ya
Maya? Memilih aku, anak manis?" Nila Dewi mendekatkan mukanya dan mencium
bibir Maya, mengecupnya lama-lama sampai tersedak-sedak kehabisan napas baru
dilepaskan. Kini Maya menjadi takut sekali, hatinya dicengkeram rasa ngeri yang
hebat. Kiranya dia terjatuh kedalam tangan dua orang asing yang entah gila
entah memang berwatak Seperti iblis! Kalau tahu begini, jauh lebih baik dia
pingsan di bawah tumpukan mayat-mayat itu!
"Hayo pilih, pilih siapa engkau.
Maya?" Laki-laki berkulit hitam itu mendesak dan melangkah maju.
Maya memandang mereka bergantian dengan mata
terbelalak. Bagaimana dia bisa memilih? Keduanya sama menyeramkan dan memilih
yang manapun berarti dia akan mati! Kematian di tangan laki-laki itu sudah
pasti, darahnya akan disedot habis. Dia bergidik ngeri. Akan tetapi biarpun dia
tidak dapat membayangkan bagaimana akan mati di tangan wanita itu, namun ia
sudah membayangkan kengerian yang membuat ia bergidik dan menggigil. Dia
dijadikan kekasih! Apa artinya ini?
Kedua orang itu memang bukan manusia-manusia,
lumrah. Keduanya adalah saudara seperguruan, murid-murid seorang sakti di
Pegunungan Himalaya. Keduanya memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tinggi,
akan tetapi mempunyai keahlian yang khusus, yaitu membuat pedang yang ampuh.
Guru mereka, bertapa di Himalaya itu memang seorang ahli membuat senjata ampuh,
di samping memiliki kesaktian yang tinggi. Ketika mereka, kakak beradik seperguruan
ini mulai tergoda nafsu berahi di tempat sunyi itu dan melakukan pelanggaran
hubungan kelamin, gurunya marah-marah dan mengusir mereka. Mahendra dan Nila
Dewi melarikan diri ke tempat asal mereka, yaitu di India Utara. Akan tetapi,
di tempat ini pun mereka terkenal sebagai manusia-manusia iblis yang tidak
segan melakukan pembunuhan dan perbuatan-perbuatan keji, menculik anak-anak,
sehingga akhirnya mereka dimusuhi pemerintah dan kembali melarikan diri. Sekali
ini mereka lari ke Nepal dan di negara ini mereka berdua, berkat kepandaian
mereka yang tinggi, diangkat menjadi empu-empu pembuat pusaka kerajaan. Di
tempat ini mereka dapat bertahan sampai puluhan tahun karena Raja Nepal selalu
menyediakan segala kebutuhan mereka, anak-anak kecil untuk dihisap darahnya
oleh Mahendra, anak-anak dan dara-dara jelita untuk dijadikan kekasih Nita Dewi
yang mempunyai kesukaan aneh sekali, yaitu suka bermain cinta dengan wanita
muda cantik!
Sampai berusia empat puluh tahun lebih, kedua
orang saudara seperguruan ini masih menjadi kekasih, kadang-kadang bermain-main
cinta dengan mesra, akan tetapi kadang-kadang bercekcok sebagai dua orang musuh
besar, bahkan tidak jarang mereka bertanding mati-matian!
Akan tetapi, selalu Mahendra yang mengalah
karena diam-diam Mahendra benar-benar jatuh cinta kepada adik seperguruannya
ini. Karena cintanya yang besar maka dia pun tidak mengganggu kesukaan
kekasihnya yang membagi cintanya dengan anak-anak perempuan cantik.
Kehidupan di Nepal membosankan dua orang
manusia iblis ini. Apalagi ketika mendengar bahwa di timur terjadi pergolakan
perang antar suku, mereka lalu meninggalkan Nepal untuk menonton keramaian. Di
mana terjadi perang, di sana akan banyak ditemukan korban-korban mereka!
"Memilih siapa, anak manis?" Nila
Dewi bertanya, suaranya halus lemah-lembut dan penuh kasih sayang sehingga
sejenak Maya terpengaruh, membuat dia hampir merangkul wanita itu. Akan tetapi
dia teringat dan mulailah anak yang memiliki keberanian luar biasa dan yang
sudah berhasil mendinginkan hatinya yang tegang itu memutar otaknya. Kalau
memilih Mahendra, berarti terus mati dan tidak ada kesempatan menyelamatkan
diri. Dia harus hidup. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan dalam hidupnya!
Kalau dia memilih Nila Dewi, berarti akan ada kesempatan baginya untuk
melarikan diri.
"Aku memilih Nila Dewi!" katanya
lantang.
Nila Dewi girang sekali, sambil memondong Maya
dia menari-nari berputaran. Maya merasa heran dan juga kagum karena tarian Nila
Dewi sungguh indah. Tubuhnya dapat bergerak-gerak lemah-gemulai, pinggangnya
meliak-liuk seperti tubuh ular dan sepasang gelang pada kakinya saling beradu
menimbulkan irama seperti musik yang mengiringi tariannya!
"Anak manis! Anak baik! Kekasihku....
aihh, engkau memilih aku, hi-hik!" Nila Dewi menunduk kembali mencium
mulut ,Maya, tangan kiri memondong, sedangkan jari-jari tangan kanannya
menggerayangi Maya. Maya terkejut sekali dan merasa betapa semua bulu di
tubuhnya bangun berdiri penuh kengerian. Sungguhpun wanita ini tidak
menjijikkan seperti Bhutan, akan tetapi perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi
wanita, namun belaian-belaiannya sungguh mengerikan hatinya, memuakkan dan
menimbulkan jijik dan takut.
Tiba-tiba Mahendra melompat cepat dan Maya
merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi berhenti, tubuh wanita itu menjadi
lemas kemudian roboh bersama dia!
"Mahendra, engkau pengecut
curang....!" Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan tetapi roboh
lagi. Mahendra tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat
Maya yang melihatnya membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila
Dewi telah duduk bersila dekat pohon, kedua lengan ditelikung ke belakang dan
diikat kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan
membelainya, penuh nafsu berahi yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra
telah menyerangnya dan menotok wanita itu roboh terkulai lemas dan tidak dapat
melawan lagi!
Timbul rasa takutnya dan ia hendak lari. Akan
tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah menangkapnya, kemudian menggunakan
sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan tangannya, bahkan tali pengikat
kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh Mahendra untuk menggantung tubuh
Maya dari cabang pohon. Tali itu diikatkan pada cabang pohon sehingga tubuh
Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah dan kedua tangannya terikat
ke belakang punggung!
"Mahendra!" Nila Dewi yang duduk
bersila di bawah pohon itu berteriak. "Kalau engkau membunuh Maya, aku
bersumpah untuk membunuhmu!"
Mahendra tertawa, mengeluarkan sebuah mangkok
tanah dan sebatang pisau belati yang tajam sekali dari balik baju yang melibat
tubuhnya, berkata, "Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak akan
membunuhnya, betapapun ingin aku menyedot habis darahnya melalui leher dengan
jalan menggigit urat lehernya dan menyedot sampai tubuhnya kering, betapa ingin
aku membelah kepalanya dan makan otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga.
Akan tetapi aku ingat akan kebutuhanmu. Tidak, aku tidak akan membunuhnya, maka
kukeluarkan pisau dan mangkok ini. Aku hanya akan mengambil darahnya semangkok
untuk kuminum, dia tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya.
Boleh bukan?"
"Keparat kau! Iblis kau! Awas kalau
sampai dia cacat!" Nila Dewi mencaci-maki.
"Tenanglah, kekasihku. Aku akan
mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak cacad. Aku hanya
menginginkan semangkok darah dan.... sedikit sumsumnya. Kalau kukerat sedikit
punggungnya, kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah darahnya,
kemudian lukanya kuobati, dia tidak akan cacad, heh-heh!"
"Jahanam sialan engkau!" Nila Dewi
memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa Mahendra tidak
akan membunuh Maya.
Dapat dibayangkan betapa ngerinya hati Maya
mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Khitan itu. Ia meronta-ronta
seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua tangannya.
"Heh-heh. merontalah kuat-kuat Anak
manis. Agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!" Mahendra
melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih! Maya
sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta
tiada gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi
ia sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi
bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong
dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun
memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat
harapan lagi.
"Siluman jahat, apa yang
kaulakukan?" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat
bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua
yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga
ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua buah benda,
yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata, yang sebuah
lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.
"Harrggghhh....!" Mahendra
menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang. Tali yang
menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu
kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini
tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan
menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu kemudian bergulingan. Kedua tangan dan
kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki
tangannya.
Sementara itu, Mahendra menyerang pendatang
itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di tangan kiri.
Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan cepat, juga
mendatangkan angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat
sekali. Namun berkali-kali Mahendra mengeluarkan seruan kaget dan karena
laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan membalas dengan
serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas tanda sin-kang
yang amat kuat!
Siapa pria setengah tua yang perkasa dan
sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia bukan lain adalah Menteri Kam
Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong pergi
seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka
hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan
telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau bangsa, Mongol. Betapa
adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa
puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Go-bi-san mencari
kakek dan neneknya. Kalau saja waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat
kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul ke Go-bi-san mengunjungi
ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi Go-bi-san terlalu jauh dan dia
harus segera kembali ke selatan berhubung dengan gawatnya keadaan sebagai
akibat pergolakan di utara ini. Maka dengan hati tertekan kedukaan, Menteri Kam
Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan
itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang anak perempuan secara
kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya, karena memang anak Raja Khitan itu
tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu tentulah anak pelarian para
pengungsi yang dusunnya dilanda perang.
Diam-diam Kam Liong terkejut bukan main ketika
mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan main. Terpaksa ia
harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat mendesak lawannya.
Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali dan karena Mahendra
berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh, makin lama dua orang yang bertanding
ini makin menjahui tempat di mana Maya berusaha melepaskan ikatan kaki
tangannya.
"Maya kekasihku, jangan pergi. Aku akan
melindungimu." Nila Dewi berkata. lembut sambil berusaha pula membebaskan
ikatan kedua tangannya. Akan tetapi totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas
dan jalan darahnya tidak lancar maka diam-diam ia memaki Mahendra dan kemudian
memejamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau jalan darahnya sudah
pulih, sekali renggut saja tentu akan putus tali pengikat tangannya. Maya agaknya
mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului
nenek itu untuk melepaskan diri dan lari.
Kalau di sebelah sana tampak berkelebatnya dua
bayangan orang bertanding dengan seru, di sini terjadi pula perlombaan yang tidak
kalah menegangkan, yaitu Maya berlumba melawan Nila Dewi untuk lebih dulu
membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti bahwa kalau dia kalah dalam
perlumbaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan kesempatan untuk melarikan,
karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding dengan orang gagah yang
menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari! Untung bagi Maya bahwa
Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa anak ini
tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu kuat, berbeda
dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata terbelalak
memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga untuk memulihkan jalan
darah berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua kakinya. Akhirnya ia berhasil
melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat bangun dan dengan kedua tangan
masih terikat di belakang ia melarikan diri.
"Robohlah....!" Tiba-tiba terdengar
suara Nila Dewi nyaring dan bagaikan didorong tenaga mujijat Maya terguling
roboh! Ia cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya
wanita ini tadi telah menggunakan sin-kang untuk menendangnya dari jarak jauh,
akan tetapi penggunaan sin-kang ini melenyapkan tenaga yang sudah mulai
terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang pohon. Melihat
ini, Maya tidak mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun
dan lari lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!
"Berhenti.... ahhhh, kekasihku, tega
engkau meninggalkan aku....?" Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa
menengok Maya terus lari secepatnya.
Sementara itu, pertandingan antara Kam Liong
dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati dan mangkok tanah
menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau menangkis dengan kepretan
ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan
mangkok tanah pada Kam Liong. Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari
tangan kiri terbuka.
"Brakkk!" Mangkok itu pecah
berkeping-keping.
"Mampuslah!" Mahendra berseru dan
segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam Liong. Pendekar
ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh
atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan
seperti seorang nelayan melempar jaring ikan!
Cepat ia mengelak, namun kain itu digerakkan
secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk "menjaringnya"!
Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan
kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih dan
dia telah memegang suling emas dan kipasnya.
"Suling Emas....!" Mahendra
terkejut, meloncat ke belakang dan.... melarikan diri seperti orang ketakutan
melihat setan.
Kam Liong tidak mengejar, sejenak memandang
suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh kagum. Nama ayahnya,
Pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga orang hitam
aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan! Ia cepat meloncat ke
tempat di mana anak tadi digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali
wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan menghimpun kekuatan dalam. Ia
merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil melarikan
diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya. Dia tidak mengenal dua orang
India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya menolong
anak perempuan itu dan setelah anak, perempuan itu berhasil menyelamatkan diri,
dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam
Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu,
melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di selatan.
Di dalam perjalanan pulang ini, selain berduka
atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya Raja Talibu,
berprihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat juga Kam
Liong merasa gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi duri dalam
daging baginya. Perjalanannya ke utara telah menghasilkan
pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang
desas-desus bahwa di antara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk
memusuhi Khitan, termasuk pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat
Suma Kiat adalah putera tunggal mendiang
bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas. Namun semenjak
mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu (baca ceritaMUTIARA
HITAM) sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari keluarga
keturunan Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat bahwa Suma Kiat masih
saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan berkat
usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat
panglima dalam, pasukan pertahanan pemerintah. Memang Suma Kiat bukan seorang
sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang, amat tinggi mewarisi
ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk
persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma
Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma, menjadi seorang
bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia dalam gedungnya
di kota raja, Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal
ini sebagian besar adalah karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap
kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi
daripadanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula.
Kini Suma Kiat telah menjadi seorang setengah
tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah.
Ia telah menikah dengan seorang wanita
bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya ini bernama Suma
Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan lemah-lembut seperti
Ibunya. Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan
filsafat, diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari pendekar besar Suling Emas,
maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia digembleng ilmu silat
oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi
dari ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma,
yang agaknya menurun dan mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu
berahi dan berwatak mata keranjang!
Selain puteranya sendiri, Suma Kiat juga
mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan keluarganya,
seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan Lee. Anak ini
mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biarpun bakatnya tidak
sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra namun berkat kerajinannya, dia pun
memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali dalam ilmu silat karena Siangkoan
Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu mengumpulkan ilmu-ilmu
silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia
pun diberi pekerjaan di kantor menjadi seorang "bangsawan" kecil,
tidak lagi menjadi seorang pelayan.
Banyak hal terjadi sebagai akibat perbuatan
keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun tangan dan membuatnya
gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun yang lalu ketika
Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru berusia kurang lebih
dua puluh tahun.
Pada suatu hari, Suma Hoat diantar oleh
Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang merupakan sebuah di
antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping kesukaannya mengujungi
tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi dan menari
kemudian memilih yang tercantik di antara mereka untuk diajak bersenang-senang.
Dengan menunggang kudanya yang berbulu putih
dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan tampan dan gagah perkasa. Pakaiannya
serba indah, terbuat daripada sutera halus, rambutnya yang hitam panjang itu
dihias dengan hiasan berupa seekor naga emas bertabur batu kemala, gagang
pedangnya yang terbuat dari emas menghias punggungnya, wajahnya yang berkulit
putih berseri-seri dengan sepasang mata lebar dan lincah pandangnya, bibirnya
selalu tersenyum. Banyak wanita akan terguncang hatinya apabila melihat pemuda
bangsawan yang tampan ini membalapkan kuda putihnya. Didampingi pemuda
Siangkoan Lee yang buruk rupa, Suma Hoat kelihatan lebih tampan lagi.
Para wanita cantik di rumah-rumah hiburan yang
semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda Suma) ini, berkumpul di jendela
loteng dan melambai-lambaikan saputangan sutera yang harum, melontarkan senyum
memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas senyuman mereka dan tidak berhenti
karena memang sekali ini tidak ingin menghibur hati dengan wanita-wanita cantik
itu, melainkan hendak pergi berburu binatang buas di hutan. Pula, ia sudah
mulai bosan dengan wanita-wanita cantik yang akan menghibur pria manapun juga
asal yang beruang itu, bosan dengan cinta yang diobral mereka, cinta kasih yang
dijual.
Dua orang pemuda itu membalapkan kuda mereka
keluar dari kota raja dan memasuki dusun-dusun menuju ke hutan yang besar. Di
sebuah dusun mereka mendengar keluh kesah rakyat tentang gangguan seekor
harimau besar yang sudah banyak mencuri kambing dan kerbau penduduk, bahkan
telah membunuh dua orang anak kecil. Mendengar ini, bangkit semangat Suma Hoat
untuk membunuh harimau itu.
"Kita harus dapat menangkapnya dan
membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!" demikian Suma
Hoat berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya, juga yang menjadi sutenya.
"Asal saja dia berani keluar dari tempat
sembunyiannya, Kongcu," jawab Siangkoan Lee yang masih menyebut
"kongcu" kepada suhengnya itu, mengingat akan kedudukan mereka.
Demikianlah, kedua orang muda itu menjelajah
hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang harimau. Telah sepekan lamanya
mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Harimau
besar yang dicari-carinya tidak tampak, Suma Hoat menjadi penasaran sekali. Dia
sampai lupa akan niatnya semula, yaitu berburu binatang. Banyak sudah selama
sepekan ini dia melihat binatang-binatang hutan, namun semua itu dibiarkannya
saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh perhatiannya dicurahkan untuk
mencari harimau yang telah mengganas di dusun-dusun sekeliling daerah
pegunungan itu.
Berkali-kali Siangkoan Lee membujuk kongcunya
untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis berkerut, Suma Hoat yang berkemauan
keras ini malah membentaknya.
"Sudah kukatakan bahwa sebelum berhasil
membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau pulang. Jangankan baru sepekan, biar
selama hidupku di sini aku tetap harus mencarinya sampai dapat!"
Siangkoan Lee yang meninggalkan pekerjaan
khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya, tetapi ia tidak berani membantah
lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau malam mereka pun mengintai, baru
kalau sudah lelah sekali tidur di bawah pohon saja sambil membuat api unggun.
Suma Hoat benar-benar mempunyai kemauan yang keras sekali dan pantang mundur
sebelum niatnya terpenuhi.
Pada pagi hari yang ke sembilan, dua orang
pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung, hutan yang tidak berapa besar akan
tetapi yang belum mereka datangi, berada di lereng dekat kaki bukit. Mereka
berjalan kaki menuntun kuda masing-masing sambil memandang tajam mencari-cari
kalau-kalau ada gerakan binatang yang mereka cari-cari.
Tiba-tiba mereka mendengar suara lapat-lapat,
jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma Hoat menoleh kepada Siangkoan koan Lee.
"Adakah engkau mendengar suara di sana?"
"Siangkoan Lee mengangguk. "Seperti
jerit seorang wanita."
"Benar! Kita menunggu apa lagi?
Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!" Cepat sekali Suma Hoat sudah
melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Setelah menuruni lereng, mereka tiba di jalan
umum yang datang dari timur dan dari atas sudah tampak oleh mereka sebuah
kereta terguling di pinggir jalan dan beberapa orang laki-laki yang berpakaian
pelayan dan pengawal malang-melintang di sekitar tempat itu. Jauh dari kereta
itu tampak serombongan orang sedang mengangkuti barang-barang dan di antara
mereka terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda dan
memangku seorang wanita yang meronta-ronta dan agaknya wanita itulah yang tadi
mengeluarkan jeritan.
"Bukan harimau yang menyerangnya,
Kongcu," kata Siangkoan Lee.
"Memang bukan, akan tetapi lebih jahat
daripada harimau. Mereka perampok keparat yang bosan hidup! Kaubasmi anak
buahnya, aku akan menolong wanita itu!"
Dua orang muda itu membedal kuda mereka dan
sebentar saja mereka sudah tiba di tempat itu. Siangkoan Lee sudah meloncat
turun dari kuda dan membentak
"Kalian perampok-perampok hina. Tahan
dulu!"
Para anak buah perampok yang sedang
tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi barang-barang berharga seperti
perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan berkayu-kayu, menjadi marah ketika
melihat Siangkoan Lee, seorang pemuda yang masih hijau dan kelihatannya tidak
menakutkan itu. Jumlah mereka ada sembilan orang, tentu saja mereka tidak
takut.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi
kurus dan kelihatan kuat terbukti dari bawaannya, yaitu sebuah peti yang berat
sekali, melangkah maju dan melotot kepada Siangkoan Lee, kemudian membentak,
"Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau apa?"
"Jawab dulu, apakah engkau ini telah
melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan pelayan itu?"
"Ha-ha-ha! Benar sekali! Tidak hanya
pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar telah menjadi mayat di dalam
kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan menggairahkan, menjadi bagian
tai-ong kami! Kau mau bagian? Jangan main-main! Para pengawal yang kuat itu
semua mampus oleh kami. Nih, terima bagianmu!" Tiba-tiba Si Tinggi Kurus
itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan Lee.
Peti yang beratnya lebih dari seratus kati itu
melayang ke arah Siangkoan Lee dan para anggauta gerombolan itu tertawa-tawa,
yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu akan roboh tertimpa peti dan gepeng
tubuhnya. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti dan mereka melongo ketika
melihat Siangkoan Lee menerima sambaran peti itu hanya dengan telapak tangannya
dan Si Pemuda kurus itu melontar-lontarkan peti itu ke atas seperti seorang
anak kecil mempermainkan sebuah bola karet, kemudian tangan itu mendorong maju,
peti melayang ke arah, Si Tinggi Kurus dengan kekuatan dahsyat.
"Ahhh....!" Perampok tinggi kurus
itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima peti, akan tetapi tak
tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya pecah tertimpa
peti yang berat!
Para perampok yang tinggal delapan orang itu
menjadi marah sekali. Mereka menurunkan bawaan masing-masing, mencabut senjata
lalu menerjang Siangkoan Lee seperti serombongan srigala mengamuk. Pemuda kurus
ini pun membentak keras dan mencabut sebatang golok melengkung yang amat tajam,
memutar golok menghadapi pengeroyokan delapan orang itu tanpa merasa gentar
sedikit pun. Ternyata olehnya bahwa para perampok itu bukanlah orang-orang
biasa, melainkan penjahat-penjahat kawakan yang pandai ilmu silat dan bertenaga
besar. Namun, Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan hebat dan sebagai murid
yang tekun dari Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu saja gerakannya selain
cepat juga mengandung tenaga sin-kang yang kuat.
Sementara itu, Suma Hoat membalapkan kudanya
melewati para anak buah perampok yang ia serahkan kepada sutenya, terus
mengejar kepala perampok yang melarikan wanita itu. Karena kepala rampok itu
menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa dan tangannya menggerayangi
tubuh wanita rampasannya, sambil mencium dan kelihatan makin gembira karena
wanita itu meronta-ronta, sebentar saja kuda Suma Hoat telah menyusulnya.
"Berhenti kamu keparat hina!" bentak
Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri menghadang di depan kuda
yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu. Kepala perampok yang
tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar. Kumis dan
jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia menjadi
marah sekali.
"Heh, siapa engkau bocah yang bosan
hidup?" bentaknya sambil melompat turun dan masih memondong wanita yang
kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat dengan mata terbelalak
seperti seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar matanya timbul harapan yang
tadinya sudah patah.
"Serrr....!" Jantung Suma Hoat
seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu. Tak disangkanya dia akan
melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita, manis dan berwajah
seperti bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor kepala perampok itu
tadi menggerayangi tubuh Si Jelita, apalagi mengingat betapa wajah menyeramkan
penuh cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu halus, bibir yang begitu
merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti mendidih.
"Binatang rendah!" ia memaki sambil
menunjuk ke arah muka kepala perampok itu. "Engkau tidak mengenal
Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat? Engkau telah merampok, membunuh orang
dan menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau mampus di tangan
Suma Hoat!"
"Heh-heh-heh! Aku Si Tangan Besi Ciu Ok
mana kenal segala macam bangsawan tukang korup? Kalau engkau sudah bosan hidup,
marilah!" Perampok itu melepaskan tubuh dara itu setelah menotok
punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas rumput.
"Kautunggulah sebentar, calon biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati baik-baik
betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!"
Akan tetapi Suma Hoat sudah menerjangnya
dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis, mengandalkan kekuatan tangannya.
Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena kedua tangannya amat kuat dan
keras seperti besi, hasil latihan ilmu Tiat-ciang-kang yang latihannya
menggunakan bubuk besi panas. Akan tetapi begitu ia menangkis, ia terpekik
kaget karena lengannya terasa sakit dan ia terhuyung ke belakang. Kudanya
kaget, meringkik dan lari.
"Kepala perampok laknat, kematianmu sudah
di depan mata!" Suma Hoat yang marah sekali itu sudah menerjang lagi
dengan pukulan-pukulan mautnya. Si Kepala Perampok adalah seorang ahli silat,
akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak dapat dibandingkan dengan Suma Hoat
yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat yang dimiliki kepala perampok ini
adalah ilmu silat kasar dan dia selama ini hanya mengandalkan kedua tangannya
yang kuat. Namun, bertemu dengan pemuda itu, seolah-olah kedua tangannya
bertemu dengan baja yang lebih keras lagi!
Setelah tiga kali menangkis dan tiga kali
terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan panas, kepala perampok itu memekik
keras dan mencabut keluar senjatanya berupa sehelai rantai baja yang ujungnya
dipasangi bola baja berduri. Cepat ia mengayun senjatanya menerjang lawan.
"Wuuut-wuut-wuuttt....!" Angin
menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya terputar-putar.
Namun dengan mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya
setelah menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia
menghadapi lawan yang bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke
kanan kiri dengan lincahnya menanti kesempatan baik.
Dara cantik yang tertotok dan rebah miring,
dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari mulutnya yang kecil terdengar
jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang dahsyat itu menyambar,
mengancam wajah yang halus tampan Si Pemuda penolongnya. Biarpun dara itu tidak
pandai ilmu silat, akan tetapi dia merasa heran mengapa pemuda tampan itu tidak
mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!
"In-kong (Tuan Penolong)...., pergunakan.
pedangmu....!" Akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatiran hatinya lagi
melihat betapa nyaris kepala pemuda itu dihantam bola berduri, begitu dekat
bola itu menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat. Aneh sekali, dara itu
sudah lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri, sebaliknya khawatir
kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.
Mendengar suara itu, Suma Hoat tersenyum
gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku, pikirnya gembira seperti
lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan kepandaiannya di depan
seorang dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah gerakannya, sekarang
tubuhnya berkelebat cepat sekali sehinga Si Kepala Rampok berkali-kali
berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma Hoat mendapat
kesempatan baik, ketika bola berduri menyambar ia menggunakan tangannya dari
samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola ke arah muka
penyerangnya.
"Prokkk! Adduuuuhhh....!" Tubuh
kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang dengan muka berubah menjadi
onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang tak lama kemudian.
Dara jelita itu memejamkan mata penuh
kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma Hoat cepat berlutut dan
sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari pengaruh totokan Si Kepala
Rampok. "Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si Keparat laknat
tewas."
Dara itu cepat menjatuhkan diri berlutut di
depan Suma Hoat, "In-kong telah menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi....
hu-hu-huuukkkk.... ayah bundaku telah terbunuh.... di dalam kereta....!”
Suma Hoat terkejut dan marah sekali.
"Mari kita lihat, temanku sedang membasmi kawanan perampok, perlu
bantuanku!" Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa meloncat ke atas
punggung kudanya yang tidak lari karena kuda itu sudah terlatih baik, kemudian membalapkan
kudanya ke arah pertempuran yang masih berlangsung dekat kereta.
Ternyata bahwa Siangkoan Lee dengan mudah
telah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan goloknya dan kini yang lima
orang masih mengeroyoknya mati-matian. Melihat ini Suma Hoat sambil memeluk
pinggang dara itu dengan lengan kiri, mencabut pedang dengan tangan kanan,
kudanya menyerbu, pedangnya berkelebat dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan
dan empat orang perampok roboh dan tewas. Siangkoan Lee berhasil merobohkan
perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan pedangnya lalu menurunkan
tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah kereta yang rebah
miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah bundanya.
Suma Hoat meloncat dekat kereta. Cepat ia mengeluarkan
tubuh seorang setengah tua yang terluka dadanya. Orang itu masih hidup dan
cepat pemuda ini mengeluarkan obat luka yang merah warnanya, mengobati luka itu
dan membalutnya. Ayah dara itu masih hidup biarpun terluka parah, akan tetapi
ibunya telah tewas karena tusukan pedang yang menembus jantungnya!
"Terima kasih.... Kongcu.... saya Ciok
Khun menghaturkan terima kasih kepadamu...."
"Paman hendak pergi ke manakah?"
Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk karena kasihan melihat dara
itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.
Dengan suara tersendat-sendat laki-laki itu
bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak jauh dari kota raja. Mereka,
suami isteri itu, hendak mengantarkan anak dara mereka yang bernama Ciok Kim
Hwa, yang hendak dljodohkan dengan putera bangsawan Thio di kota raja. Karena
itulah maka mereka berkereta membawa barang-barang berharga, dikawal oleh
pasukan bangsawan Thio yang menjemput mereka dan yang terbunuh semua oleh para
perampok.
"Siangkoan Lee, kau cepat antarkan Paman
Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota raja. Biar aku yang mengawal
Ciok-siocia, kata Suma Hoat. Siangkoan Lee mengangguk, maklum bahwa keadaan
orang yang terluka perlu perawatan dengan cepat dan bahwa kalau Si Nona ikut
dalam kereta, tentu nona itu akan berduka sekali menyaksikan jenazah ibunya.
Maka ia lalu mengumpulkan barang-barang yang berceceran, di masukkan
barang-barang itu ke dalam kereta, kemudian ia mengikat kudanya di depan dua
ekor kuda penarik kereta dan membalapkan kereta ke kota raja.
"Mari, Nona. Kau akan kukawal ke kota
raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa
ragaku."
Ucapan ini membuat wajah Si Dara Jelita
menjadi merah, akan tetapi kedukaannya terlalu besar sehingga mengurangi rasa
kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga dadanya ketika ia duduk atas
panggung kuda, di depan pemuda tampan yang telah menolongnya itu.
Selama hidupnya, baru pertama kali itu Suma
Hoat mengalami hal yang aneh dalam hatinya. Jantungnya berdebar luar biasa
sekali, rasa girang yang amat besar menyelimuti hatinya, dan di balik rasa
girang ini terselip rasa sakit di hatinya ,karena dara ini hendak dikawinkan
dengan orang lain! Kekecewaan yang amat keras dan aneh. Mengapa dia menjadi
begini? Tak dapat disangkal bahwa dia selalu tertarik oleh wajah cantik jelita,
akan tetapi selamanya dia tidak pernah menginginkan wanita yang menjadi milik
orang lain!
"Eh, Suma Hoat, kau ini
mengapakah?" Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri, tak
terasa lagi menjalankan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat tiba di
kota raja, tidak ingin dirampas kenikmatan dan kebahagiaan hatinya duduk
berdua di atas kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim Hwa ini!
Kereta yang dibalapkan Siangkoan Lee sudah
jauh sekali dan sudah tidak tampak, juga tidak terdengar derap kaki, kuda dan
roda kereta.... Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia bertanya
halus,
"Nona...." Ia meragu dan tidak
melanjutkan kata-katanya.
Dara itu menanti sebentar, karena lama pemuda
itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan berkata, "Ada apakah,
Inkong?"
Suma Hoat memejamkan mata karena tidak kuat
menyaksikan wajah yang begitu dekat dengannya, mencium bau harum yang keluar
dari rambut dan muka dara itu.
"Kenapa, In-kong?" tanya Kim Hwa
yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.
"Jadi.... Nona akan.... menikah dengan
pemuda keluarga Thio....?"
Wajah itu tiba-tiba menjadi merah sekali dan
cepat dipalingkan tidak berani menentang pandang mata Suma Hoat. Sampai lama
nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat merasa betapa tubuh didepannya itu
gemetar. Akhirnya terdengar nona itu menjawab lirih.
"Bu.... bukan pemuda, melainkan seorang
duda tua, adik dari Thio-taijin....!"
Suma Hoat mengangkat alisnya dan membelalakkan
matanya. "Seorang duda tua?"
Dara itu mengangguk dan menarik napas panjang.
"Kenapa engkau mau, Nona?"
Kim Hwa mengangkat muka memandang.
"Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua, In-kong? Yang melamar
adalah Thio-taijin untuk adiknya yang sudah mempunyai belasan orang anak, dan
yang telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya dapat
menolak....?" Kalimat terakhir itu mengandung isak dan Kim Hwa
menundukkan muka, kelihatan berduka sekali.
"Ah, kasihan engkau, Nona. Seorang dara
semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan seorang bandot tua!"
Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan Suma Hoat, Kim Hwa
terisak-isak menangis sesenggukan. Suma Hoat merasa makin kasihan. Dengan
gerakan halus ia menyentuh pundak yang bergoyang-goyang itu dan berkata,
"Jangan menangis, Nona, dan jangan
berputus asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan melindungimu dengan
seluruh jiwa ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga
Thio itu, kautolak saja dan aku yang akan melindungimu!”
Ucapan penuh semangat ini membuat Kim Hwa
menjadi terharu dan berterima kasih sekali sehingga tangisnya makin mengguguk.
Ketika Suma Hoat menghiburnya dengan mengelus rambut kepalanya yang hitam
panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan merebahkan kepalanya di atas dada Suma
Hoat! Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, tanpa kata-kata
namun keduanya yakin apa yang terjadi dengan perasaan hati masing-masing. Kuda
yang mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya tidak mau mengganggu
majikannya yang sedang dilanda asmara. Jari-jari tangan Suma Hoat yang
mengelus-elus rambut itu seolah-olah mengeluarkan getaran yang membuat Kim
Hwa memejamkan mata dengan sepasang pipinya, yang menjadi kemerahan.
Tiba-tiba kuda putih yang tadinya melangkah,
perlahan dan tenang, menghentikan langkahnya hidungnya kembang-kempis,
kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan keempat kakinya menggaruk-garuk
tanah.
"Eh, Pek-ma (Kuda Putih), ada
apakah?" Suma Hoat yang sedang diterbangkan ke angkasa kemesraan itu
terkejut, melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan cepat menyambar
kendali untuk menguasai kudanya.
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar suara
gerengan yang menggetarkan hutan itu, gerengan seekor harimau yang berada di
dalam gerumbulan dan yang kini keluar sambil memandang ke arah kuda.
"Celaka, In-kong....!" Kim Hwa
menjerit penuh kengerian dan kedua lengannya otomatis merangkul pinggang
pemuda itu, tubuhnya gemetar.
"Tenanglah, Nona. Aku memang sedang
mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kautunggu saja di sini sampai aku
selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini."
Tanpa menanti jawaban, Suma Hoat sudah
memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas punggung kuda putih yang juga berdiri
menggigil ketakutan. Ia menurunkan Kim Hwa yang berdiri dengan muka pucat di
dekat kuda, matanya terbelalak memandang ke arah harimau yang besarnya luar
biasa dan kepada penolongnya yang kini melangkah maju menghampiri harimau
dengan senyum tenang di wajahnya yang tampan!
Suma Hoat memandang harimau yang dihampirinya
itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun tidak berdaya menghadapi
pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa besarnya, sebesar anak
lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang angkuh dan memandang
rendah seperti sikap seorang raja besar!
"In-kong...., pedangmu.... gunakan
pedangmu....!" Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh kekhawatiran. Dara
ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan harimau akan
tetapi masih saja bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang melawan harimau
sebesar itu dengan tangan kosong, pikirnya, maka karena kekhawatirannya, ia
memaksa diri memperingatkan. Mendengar ini Suma Hoat menoleh dan tersenyum!
"Kim Hwa-moi, jangan khawatir. Dia ini
bagiku hanyalah seekor kucing...."
"Awas.... ah, In-kong....!" Kim Hwa
menjerit. Akan tetapi tanpa diperingatkan juga, telinga Suma Hoat yang
terlatih sudah mendengar gerakan harimau itu dan dengan mudah saja ia
menggerakkan tubuh ke kiri mengelak, dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi
harimau itu benar-benar berbeda dengan harimau-harimau biasa yang pernah
ditangkap dan dibunuh Suma Hoat dengan tangan kosong. Begitu tubrukannya luput
dan kakinya menyentuh tanah, tubuh harimau itu sudah membalik dengan cepat
sekali, kedua kaki depan mencakar dari kanan kiri dan kaki belakangnya
mengenjot tanah sehingga tubuhnya kembali sudah menerkam ke arah Suma Hoat!
"In-kong....!" Suara jerit Kim Hwa
mengandung isak.
Suma Hoat terkejut dan kagum menyaksikan
ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat besar itu. Timbul rasa sayangnya
dan ia hendak mengambil kulit binatang besar ini tanpa cacad.
Ketika tubuh yang menubruknya itu melayang ke
arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut harimau sehingga kembali tubrukan itu
luput dan sebelum harimau dapat membalik, Suma Hoat telah menangkap ekornya
yang panjang, mengerahkan tenaga dan.... tubuh harimau itu terangkat dan
diputar-putar di atas kepalanya! Harimau meronta-ronta dan menggereng-gereng
berusaha mencakar atau menggigit tangan kuat yang memegangi ekornya.
Penglihatan itu mengerikan dan menegangkan
sekali. "In-konggg....!" kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka
dengan kedua tangan, tidak tahan melihat perkelahian itu karena ia tidak mau
melihat tubuh penolongnya dicakar atau digigit sampai pecah-pecah kulitnya dan
berlumuran darahnya! Hal itu tentu akan terjadi karena penolongnya itu
terlampau berani, tidak mau menggunakan pedang membunuh binatang yang demikian
besar dan kuatnya!
Suma Hoat melepaskan ekor yang dipegangnya.
Tubuh harimau terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas tanah. Biasanya,
harimau yang terbanting seperti ini tentu akan pingsan dan menjadi lemah, maka
Suma Hoat tersenyum-senyum menghampiri Kim Hwa dan berkata, "Jangan
khawatir, dia...."
"In-konggggg....!" Kim Hwa menjerit
dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang terbanting itu tiba-tiba
sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat! Saat itu, perhatian Suma
Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak agak terlambat dan
kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya sehingga tubuhnya
terpelanting! Harimau menggereng marah dan menubruk tubuh lawan yang sudah
jatuh itu.
“In-konggggg....!" Jeritan Kim Hwa sekali
ini lemah sekali dan ia sudah terkulai, lemas dan roboh pingsan di atas
tanah!Suma Hoat dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila itu,
maka timbul kemarahannya. Ketika harimau menerkamnya ia menyambut dengan
sebuah tendangan yang mengenai perut harimau sehingga binatang itu terpental
ke samping,
kemudian sebelum harimau itu sempat
menyerangnya kembali, Suma Hoat sudah melompat ke atas punggungnya! Harimau
marah, meloncat-loncat, bergulingan, akan tetapi Suma Hoat tetap di atas punggungnya,
kemudian jari tangannya bergerak ke depan.
"Crapp!" Harimau mengeluarkan suara
gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua matanya yang sudah berlubang!
Suma Hoat melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya itu menerjang
ke depan secara ngawur. Binatang itu menjadi seperti gila saking nyeri dan
bingungnya, mukanya dicakarinya sendiri, menggereng-gereng, kemudian meloncat
ke depan sekuat tenaga.
"Desssss!" Kepala harimau itu,
menubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat.
Suma Hoat tidak mempedulikan lagi bangkai
harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh Kim Hwa yang menggeletak
pingsan di atas tanah.
"Kim Hwa....!" Ia memanggil dan
mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa tidak menjawab dan tubuhnya
lemas. Ketika Suma Hoat meraba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia
bahwa kegelisahan dan ketakutan membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia
akan terserang demam. Cepat ia pergi meninggalkan gadis yang pingsan itu untuk
mencari air karena dalam keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk
membasmi kepala dan dahinya.
Ia harus pergi agak jauh juga untuk mencari
air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung karena tidak membawa tempat air,
kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan jubah ke dalam air dingin, tiba-tiba
terdengar kudanya meringkik keras disusul jerit Kim Hwa!
"Hwa-moi....!" Suma Hoat berteriak,
menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan berlari cepat ke
tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia melihat kuda putihnya
sudah lari dan Kim Hwa sudah berdiri dan terbelalak ketakutan memandang ke arah
seekor harimau besar yang berdiri dekat sekali di depan dara itu! Suma Hoat
kaget dan heran, ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di
tempat tadi, tahulah dia bahwa harimau besar ke dua ini adalah harimau betina.
Kiranya ada dua ekor harimau, sepasang binatang buas yang amat besar yang telah
mengganggu dusun.
Tiba-tiba gadis itu menjerit dan hendak lari,
akan tetapi harimau menerkam ke depan dan dara itu roboh telentang.
"Hwa-moi....!" Dengan beberapa kali
loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya ekor harimau dan
direnggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.
"Breeeettt!" Baju Kim Hwa terbawa
oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang putih mulus itu. Suma
Hoat yang merasa khawatir dan marah sekali, mencabut pedang dan tampak sinar
berkelebat disusul muncratnya darah dari leher harimau yang hampir putus
terbabat pedang!
"Kim Hwa....!" Suma Hoat cepat
berlutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merintih dan membuka matanya. Ketika
melihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan jubah basah adalah
pemuda penolongnya, ia mengeluarkan jerit tertahan dan menangis.
"Diamlah, Moi-moi, diamlah manis....
syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja, tergores cakar harimau
laknat....!" Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas luka kecil itu.
Darah telah berhenti dan kini, seperti tak disadarinya, jari tangannya mengelus
kulit di seputar luka. Matanya tak pernah berkedip memandang wajah itu, dada
yang terbuka itu, leher itu dan ia terpesona.
Kim Hwa tadinya memejamkan matanya, kemudian
kesadarannya kembali dan mulailah dia merasa betapa dadanya tak tertutup lagi,
betapa tangan yang hangat menggetar-getar itu mengelus-elus dan membelainya. Ia
membuka matanya perlahan melihat wajah yang tampan, mata yang penuh kemesraan
itu memandangnya, dada yang bidang itu pun tak berbaju karena bajunya tadi
dipakai mencuci lukanya. Perasaan aneh dan mesra memenuhi rongga dada Kim Hwa.
Seperti disentakkan ia menangkap tangan yang mengelus dadanya, membawanya ke
depan hidung dan mulut, menciumi tangan pemuda yang telah dua kali
menyelamatkan nyawanya.
"Moi-moi....!" Suma Hoat tak dapat
menahan getaran hatinya dan ia menjatuhkan mukanya ke atas dada itu.
"Koko....!" Kim hwa terisak, memeluk
kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga dekat, dengan sinar mata
yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan napas terengah yang
saling meniup muka mereka, kemudian dua muka yang sama eloknya itu saling
mendekat, dua pasang lengan saling rangkul, saling mendekap.
"Moi-moi....!"
"Koko....!"
Mereka terisak, berciuman seperti tak sadar
lagi. Akhirnya Suma Hoat tersentak kaget. Belum pernah ia merasai seperti
ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan wanita cantik, akan tetapi mereka
itu wanita-wanita yang menjual cinta! Dan dia hanya menurutkan dorongan nafsu
belaka. Sekarang jauh sekali bedanya! Di samping nafsu yang bergolak dan
menindih membakar seluruh urat syaraf di tubuhnya, terdapat perasaan lain. Dia
tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia tidak ingin mengganggu dara ini, dia
menaruh kasihan dan kesayangan yang luar biasa. Dia rela mati untuk kebahagiaan
dara ini! Sungguh bedanya seperti bumi dengan langit dibandingkan dengan
wanita-wanita yang biasa dicintanya. Belaian jari tangan wanita ini pada
pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu lembut dan mesra dan ia
merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan ini, membuat ia terharu
sekali dan ketika ia mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu, kedua
mata Suma Hoat menjadi basah. Juga ia melihat Kim Hwa menitikkan air mata yang
berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun mulut yang merah dan panas
itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata berpandangan,
bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak berani
meyakinkan hatinya, maka ia berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.
"Moi-moi.... bolehkah....? Benarkah
ini....? Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu, menjadikan engkau milikku,
lahir batin, hati dan tubuhmu.... akan tetapi... engkau seorang gadis
terhormat.... bahkan calon isteri orang lain.... ahh, Moi-moi, katakanlah,
betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku memilikimu sehingga
kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela mati daripada
memaksamu, daripada menyusahkanmu.... Moi-moi, jawablah, bolehkah
aku....?" Suara Suma Hoat mengandung isak, bercampur rintihan hatinya dan
dua titik air mata membasahi pipinya.
Kim Hwa tersenyum, senyum penuh pengertian
yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta, senyum yang hanya dimiliki
seorang ibu terhadap anaknya, walaupun air matanya sendiri menetes-netes,
kemudian dara itu mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik air mata dari
pipi Suma Hoat, kemudian kedua lengan itu merangkul leher, mulutnya berbisik
lirih sekali.
"Suma-koko...., aku.... aku rela
menyerahkan jiwa ragaku kepadamu.... biarlah aku menikmati kebahagiaan sehari
ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku.... sebelum aku memasuki neraka
bersama laki-laki pilihan orang tuaku.... Koko.... cintailah aku.... aku
menyerah, serela-relanya demi Tuhan....!”
"Moi-moi...!" Suma Hoat memeluk dan mendekap,
kemesraan hatinya meluap.
"Koko....!" Kim Hwa terengah
menjerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan terlupa
oleh Suma Hoat. Dengan penuh kemesraan, dengan nafsu yang terkendalikan oleh
cinta murni, dengan pandang mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati
ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen
asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan
gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.
Sehari semalam mereka lupa diri, yang teringat
hanyalah orang yang dicintanya, yang tak pernah terpisah sekejap mata pun,
saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin, dan dalam keadaan
seperti itu, bagi mereka berdua yang ada hanyalah cinta kasih di antara
mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia ini terasa kosong dan yang ada
hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain di dunia ini
kecuali peluapan asmara, apalagikah yang dapat mereka ingat?
Sungguh patut dikasihani kedua orang muda ini.
Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya mengumpulkan wanita-wanita
cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan selir-selirnya yang
muda-muda dan cantik-cantik, seringkali bahkan dia tanpa sengaja menyaksikan
ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa orang selir di dalam taman atau di
dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila bercinta dengan selir-selir muda ini
tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak seorang pria yang haus
akan cinta. Sebagai putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita
yang menggodanya dan semenjak berusia enam belas tahun, Suma Hoat sudah
mencari-cari dan, mengejar-ngejar cinta. Namun, apa yang didapatnya di dalam
tubuh dan hati wanita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam
pelukannya? Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta nafsu. Wanita-wanita itu
sudah tidak mengenal cinta murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin
lagi berpisah, ingin hidup bersama selamanya, menempuh hidup berdua, suka sama
dinikmati, duka sama diderita! Kini, bertemu dengan Kim Hwa, dia menemukan
cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apabila dia terpesona dan
lupa diri, lupa segala! Yang teringat hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa
raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yahg harus disayangnya,
dihormatinya, dibelanya sampai mati!
Adapun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama
hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan dengan pria
kecuali dengan ayahnya. Namun, sebagai seorang dara terpelajar, dia maklum apa
artinya dijodohkan dengan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah
dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia
maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia
berduka dan putus asa. Kalau tidak kepada ayah bundanya, ingin dia membunuh
diri saja daripada setiap saat menderita batin, harus menurut dan tunduk
dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak
dicintanya. Kini, bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan
nyawanya, yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah menimbulkan cinta
kasihnya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan dorongan dan
rangsangan nafsu berahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila
ia menyerahkan diri bulat-bulat, penuh kerelaan dan kemesraan yang timbul dari
keputusasaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!
Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam
amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di seluruh alam ini,
keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas lagi
sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia telah
menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh
segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan kehidupan manusia
berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya tentu akan
terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak
menyenangkan. Manusia tidak dapat bergerak bebas menurutkan perasaan
hatinya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan
hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan
cinta! Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum,
kesusilaan, kebudayaan, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak
bisa hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu.
Akan terbentur dan.... gagal! Dalam segala hal, juga dalam cinta, manusia
harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan
memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.
Karena itu, sekali lagi, patut dikasihani
Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun
dan bersenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga
sehari semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam
rumput itu di mana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta
mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan
perjalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri
tanpa kendali.
Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka
masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh kemesraan. Kim Hwa
menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan
kirinya di leher Si Jelita, tangan kanan membelai-belai rambut, mengusap leher
dan pipi.
"Koko...." terdengar Kim Hwa berkata
lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh telinga
mereka.
"Hemmm....?" Jawaban ini mengandung
kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang. Memang cinta
kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki
dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan
tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu,
ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!
"Suma-koko, aku cinta padamu dengan
seluruh jiwa ragaku."
Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan
kata-kata mesra itu, lalu tersenyum.
"Aku pun cinta padamu, Hwa-moi. Entah
sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak
pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin
besarlah kebahagiaan hatiku."
Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan
pelukan.
"Koko, aku.... aku takut...." Dalam
kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.
"Jangan takut, Moi-moi, ada aku di
sampingmu, takut apakah?" Suma Hoat memperkuat pelukannya.
"Kalau sudah sampai di kota raja, aku....
ah, tentu akan dikawinkan...."
"Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan
melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku yang
berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Jangan
khawatir, engkau tentu akan menjadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!"
Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium
bibir pemuda itu. "Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan menjadi
isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia maupun di akhirat! Lebih
baik aku mati daripada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi
milikmu."
Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia
ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat segera
diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan
takkan terpisah lagi selamanya. Maka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota
raja!
Ketika akhirnya Suma Hoat menurunkan Kim Hwa
di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh bangsawan itu dan Ciok Khun
yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi,
keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan
Ciok Khun yang telah ditolong, juga tidak berani berkata apa-apa sungguhpun
hati ayah ini tidak enak karena puterinya menyusul demikian terlambat. Apa
saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah
menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang
tuanya.
***
"Taijin, mohon Paduka sudi menolong
hamba....!" Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri Kam
Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan yang
mengancam pencemaran nama keluarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah
dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota
raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.
"Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun
mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk Suma-kongcu!
Padahal, dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin. Kalau sampai
dibatalkan, bagaimana pendapat oraang akan nama baik keluarga
hamba?"
Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya. Dia
cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang banyak
mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu
dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, putera tunggal
adik misannya itu yang terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang dan
sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa
ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma tidak patut,
hendak merampas calon isteri orang lain!
"Hemmm, sungguh tidak benar perbuatan
itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada Suma-ciangkun
agar suka menarik kembali pinangannya dan minta maaf kepada Ciok Khun!"
Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri
berlutut. "Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi....
uhhh...."
"Apa lagi?" Menteri Kam Liong
membentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan
hatinya itu.
"Mengenai pinangan itu, kalau Taijin
mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi, sungguh hamba
sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...."
"Dia kenapa?" Menteri Kam Liong
mengerutkan alisnya.
"Dia.... setiap malam.... mengunjungi
Ciok Kim Hwa di kamarnya.... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?"
"Apa....!" Menteri itu menggebrak
meja dan bangkit berdiri. "Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan
menghadapinya setelah surat kukirim dan pinangan ditarik kembali. Kalau dia
masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!"
Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan
ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam Liong lalu menulis surat
setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hatinya. Berulang
kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak
patut.
Ketika menerima surat dari kakak misannya,
Panglima Suma Kiat mengepal-ngepal tinju dengan hati bingung. Dia ditangisi
Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilakukannya. Siapa
kira, kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani
membantah. Segera dikirimnya utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok
di gedung keluarga bangsawan Thio, membatalkan pinangan. Berita ini diterima
dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio. Akan tetapi,
diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang mengunci
pintu dan tidak mau makan, hanya menangis saja dalam kamar tertutup.
Ketika Suma Hoat pulang, dia disambut oleh
maki-makian ayahnya yang marah-marah dan menganggap puteranya itu membikin
malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika
mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena
teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya,
menangis, dan meninu-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur.
“Aku akan lari bersamanya!" Ia berkata seorang diri, matanya menjadi
merah dan liar. "Malam ini aku mengajak dia larl minggat! Itulah jalan
satu-satunya!"
Malam itu gelap sekali. Hujan turun
rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan
sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio. Menteri Kam Liong dijamu
penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang
usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong
diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga
Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa
di kamarnya.
Para penjaga sudah disiapkan bersembunyi di
sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma kongcu datang di
kamar itu seperti biasa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui
genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas
mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas
itu, mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya,
juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang
lihai itu.
Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga
cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih makan minum di ruangan
dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua
lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama adiknya di depan,
disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap
tenang sungguhpun hatinya panas, malu dan marah. Betapapun juga, Suma Hoat
adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama baiknya pula.
Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas
memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil membongkar genteng ia
membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan
pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan,
akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya,
menghiburnya dan membahagiakannya. Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa,
ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita
lain. Ia sudah menemukan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan
hidup, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air
hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali
ke dalam kamar. Ia menduga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil
menangis. Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan,
membuka kelambu dan.... pembaringan itu kosong! Matanya mencari-cari dan
seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan.... ia
tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya menggigil, matanya
terbelalak memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak
bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan
tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah
kakinya.
Suma Hoat memaksa kakinya melangkah, kakinya
menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak
mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya
menjerit. "Kekasihku, marilah.... kenapa kau tidak menyambut aku....?"
Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan,
pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibirnya
sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu
tergantung, tak bergerak.
"Kim Hwa....!" Jeritnya meledak dari
dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat Kim
Hwa yang masih tergantung!
Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam
Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan
berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang
tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.
"Kim Hwa anakku....!" Ciok Khun
berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak menubruk maju
karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.
"Suma Hoat....!" Kam Liong berseru
memanggil keponakannya dengan suara berat.
Suma Hoat bergerak perlahan, mengeluh lalu
berdongak. "Kim Hwa....!" Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan
sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa
gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap
kepalanya."Kim Hwa....! Kekasihku.... Isteriku.... kau.... kau.... aduh,
Kim Hwa.... mengapa kau membunuh diri....?" Suma Hoat menangis, mengguguk
diatas dada mayat kekasihnya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah
kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur
Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan
dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu
diselimutinya dan ia berkata lirih, "Kekasihku, engkau tentu lelah, ya?
Engkau mengantuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku
menjagamu...." Kemudian matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu
bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan, ia
menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan
merintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa,
dan terdengar keluhannya, "Kim Hwa, engkau.... engkau mati....? Ah, mana
bisa.... engkau.... aduuhhh.... engkau benar-benar mati? Kim Hwa....!"
Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara
itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.
Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia
mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat.
Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian
mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat
sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bangsawan Thio
dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong
merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa.
Suma Hoat siuman kembali, lalu menangis
mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya
kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai
akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi
memandang mesra melainkan terus terpejam.
"Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh
diri.... tidak! Engkau dibunuh" Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan
memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia
melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya
meluap.
"Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah
yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan
membalas dendam!" Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya bergerak
memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio adiknya.
"Bressss!" Tubuh Suma Hoat
terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis
oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata
bengis.
Suma Hoat terkejut bukan main, cepat
menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang
tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri
Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pekhunya, air matanya
bercucuran dan lututnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya
berkata serak.
"Pek-hu, harap bunuh saja saya yang
celaka ini...."
Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya
mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri
lagi. "Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah
perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!"
Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah
pembaringan dan tangisnya makin mengguguk. "Pek-hu...." Ia
terengah-engah."....lebih baik saya mati.... saya... mencinta Kim hwa....
mengapa Pek-hu melarang? Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah
saling mencintai Tuhan pun tidak melarangnya! Mengapa kalian mengganggu
kami....? Huhu-huuukkkk!" Suma Hoat menangis seperti anak kecil,
menunduk di depan uwanya.
Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan
tangan kiri menampar. "Plakk!" pipi kanan Suma Hoat ditatapnya
sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran.
Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang
dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini.
"Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki
sejati lebih mementingkan kebenaran daripada nyawa dan apapun juga di dunia
ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa ini
adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona
ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan perbuatanmu.
Mengerti?"
Pemuda itu terbelalak memandang pek-hunya,
penuh penasaran. "Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku,...." kami
saling mencinta dan bersumpah untuk...."
"Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa
tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa pupuk pihak
lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun
engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak
melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu
merupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih
dari itu, engkaulah yang menyebabkan kematian nona ini yang sudah terlanjur
mencintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak
berdosa? Hemm, biarlah peristiwa ini menjadi pelajaran pahit bagimu agar
tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai mengekang nafsu dan menyalurkannya
melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar
luas. Pergilah!"
Bentakan terakhir ini mengandung ancaman
hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia meloncat keluar melalui
langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun
menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng
suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.
“Perempuan....! Aku benci....! Cinta perempuan
palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun meninggalkan aku!
Aihhh, benci aku....! Benci aku....! Benci.... !” Suara itu makin menjauh.
Kam Liong menghela napas panjang, hatinya
penuh kekhawatiran kalau mengenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa
heran mngapa seorang pemuda yang ia tahu berwatak mata keranjang dan suka
mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta
seperti itu terhadap seorang gadis!
Melihat keluarga itu berduka dan berkabung,
Menteri Kam Liong pun berpamit, disepanjang jalan menyesali nasib keluarganya.
Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh saklt. Dia
diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa,
kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak setia, bercinta
palsu dan lain-lain.
Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit,
tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat
menyayang putera tunggalnya, tentu saja menjadi bingung dan mengundang semua tabib
yang ahli untuk mengobati puteranya.
Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari
tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar, tanpa membuka matanya ia
mengenangkan semua persitiwa yang menimpanya terkenang kembali kepada Kim Hwa.
Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, “Semua perempuan palsu cintanya, yang
murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!”
Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat
pembaringan. “Tidak semua perempuan palsu cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya
meminta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun.... kalau diberi
kesempatan....!” Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan
saputangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di
dadanya.
Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang
wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya kurang lebih tiga
puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa!
Muka yang halus itu kemerahan, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian,
mulutnya seolah-olah selalu menantang cium! Wanita yang matang, menggairahkan,
dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat! Wanita cantik jelita yang
tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan
kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang
seolah-olah hendak menelanjanginya!
“Kau.... siapakah....?” Suma Hoat bertanya
diam-diam kagum melihat wajah itu.
“Aku? Namaku Bu Ci Goat, aku.... baru setengah
bulan di sini, Aku selir ayahmu yang paling baru.”
“Oohhh....!” Tanpa disadari, seruan ini
mengandung kekecewaan.
“Mengapa? Tidak girangkah engkau mempunyai
seorang ibu muda baru seperti aku?” Bu Ci Goat mendekatkan mukanya hingga
hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali. Jantungnya
berdebar dan ia menegur.
“Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau
apa?”
Wanita itu tersenyum dari memegang tangan Suma
Hoat. “Engkau sakit, dan sudah sepatutnya aku menengok dan menjaga. Aku pun
seorang ahli mengobati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah saja obatnya!”
“Apa?”
“Ini....!” Berkata demikian, wanita itu
menarik tangan Suma Hoat dan merapatkan tangan pemuda itu ke dadanya,
sehingga terasalah oleh peniuda itu gumpalan daging yang hangat.
“Ahh.... jangan....!” Suma Hoat menarik
tangannya akan tetapi terkejut karena ternyata tangan yang memegangnya itu
amat kuat! Tahulah dia bahwa biarpun belum tentu wanita ini memiliki
kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!
“Mengapa tidak? Engkau menderita pukulan batin
akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya satu! Dan aku....
percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kaubuktikan sendiri!” Setelah
berkata demikian, wanita itu lalu merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan
membelainya, jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan itu telah membukai
pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri seperti telah terbuka sendiri
sehingga bagian tubuhnya yang menggairahkan tampak. Tanpa diketahuinya
bagaimana mula-mulanya karena kesadarannya belum pulih benar, Suma Hoat mendapatkan
dirinya dlpeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat,
serangan ciuman dan belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!
Ketika Suma Hoat mulai terangsang dan lupa
diri, seolah-olah menemukan pegangan baru setelah dirinya hanyut dalam
kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar menggairahkan,
berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan Kim Hwa.
Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah
Suma Kiat, ayahnya!
“Bocah setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri?
Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu! Engkau benar-benar mencemarkan nama
baik keluarga Suma. Pergi!. Hayo minggat dari sini! Engkau tidak patut menjadi
puteraku!”
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali dan ia
meloncat turun dari pembaringan, membereskan pakaiannya yang “dilucuti” oleh
Bu Ci Goat tadi.
Bu Ci Goat dengan tersenyum-senyum juga
membereskan pakaiannya kemudian menghampiri suaminya, memegang lengan Suma Kiat
dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil berkata, suaranya merayu,
“Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha untuk mengobati sakitnya, dia
menderita sakit rindu yang hebat....”
Wajah Suma Kiat yang tadinya marah dan
kemerahan itu, matanya yang beringas, menjadi lunak ketika ia menunduk dan
memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat dikasihinya, Ia
lalu berkata. “Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat. Kau tahu betapa
aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat cintamu kepadaku terbagi,
biarpun dengan puteraku!”
Menyaksikan semua ini, kemarahan Suma Hoat tak
dapat tertahanlagi. Ia lalu berkata nyaring, “Baik! Aku pergi! Aku muak melihat
semua ini! Muak hidup di neraka ini!” Pemuda itu lalu melompat keluar dari
kamarnya dan pergi. Semenjak saat itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah
ayahnya!
Dan mulai saat itu pula, di dunia kang-ouw
muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dengan kepandaiannya
yang hebat, dengan keberaniannya yang mendirikan bulu roma para penjahat. Akan
tetapi, di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda ini memiliki
kebiasaan yang keji sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita! Dia seringkali
terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis remaja,
siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat, dan hebatnya, sebagian
besar wanita-wanita itu tidak menolak kedatangan penjahat pemetik bunga yang
tampan, gagah dan memiliki kepandaian merayu wanita secara istimewa sekali
ini! Dialah Suma Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya,
bahwa wanita hanya lebih pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita
hanyalah sekedar alat pemuas nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang
dimulai dengan kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci
Goat dan ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam
dirinya! Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun
juga seorang pemerkosa nomor satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian,
terkenallah nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa
Pemerkosa!
Keadaan keluarga Suma inilah yang membuat hati
Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali, apalagi ketika ia melakukan
peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak
buahnya merupakan tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di utara yang
membujuk Kaisar, untuk memusuhi Khitan!
Seringkali menteri yang bijaksana ini
termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang sebagian memiliki
darah keturunan pendekar-pendekar hebat dan disegani di dunia kang-ouw seperti
pendekar sakti Suling Emas pendekar wanita Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara
Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi, juga terkenal sekali darah keturunan
orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka, seperti keturunan keluarga
Suma itu. Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena
dahulu di waktu mudanya. Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau
adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena cinta tidak dibalas, maka
dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesunnguhnya kepada
keturunan Suling Emas, hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki
kepandaian yang amat tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya
secara berterang. Karena kebenciannya kepada Raja Khitan yang juga merupakan
putera SuUng Emas, maka dia berusaha keras untuk menghancurkan Khitan.
***
Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia
empat puluh tahunan berlari seperti terbang cepatnya melalui padang-padang
rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan
gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri
bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai saputangan kuning.
Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Adapun yang wanita berwajah
cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga
membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jerih.
Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak
dapat disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.
Memang tepat sekali dugaan ini karena mereka itu adalah sepasang suami isteri
yang apabila disebut namanya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan
membuat tokoh-tokoh dunia hitam gemetar. “Laki-laki itu adalah pendekar yang
dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) “Tang Hauw Lam, sedangkan, wanita
itu adalah isterinya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia
bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!
Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda
jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami (baca cerita MUTIARA HITAM).
Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang diduga
oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang
paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan
barat. Mereka melewati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi
dunia barat dan hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti
arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik
mata berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala berwarna merah darah,
kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan suami isteri pendekar
selama belasan tahun ini selain menambah pengalaman mereka, juga memperdalam
ilmu kepandaian mereka.
Suami isteri yang saling mencinta dan rukun
ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat mereka kadang-kadang
melamun dan menghela napas panjang yaitu bahwa selama belasan tahun menikah,
mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan kekecewaan yang
kadang-kadang membuat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan
yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka
mencucurkan air mata!
Betapa indah pun keadaan dunia barat di
sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga kepada
tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya
yang aneh dan penuh bahaya, amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang memakan
waktu berbulan-bulan dan biarpun suami isteri ini merupakan orang-orang
gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar
ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh. Banyak mereka temui binatang liar
yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan Himalaya,
amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung
raksasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang
masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan
suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu sudah menjadi
korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.
Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini
melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu
hari mereka menyewa perahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam
pelayaran inilah, mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh
bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan berhasil menolong
dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak
itu. Anak-anak itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika mereka
menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil
mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang
perempuan bernama Ok Yan Hwa. Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu
diajak merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di atas
puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu
ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah
merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.
Demikianlah, ketika mereka mendengar
pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan nasib
kerajaan kakak kembarnya, yaitu Ratu Talibu di Khitan, lalu mereka berempat
berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suaminya
berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir hutan,
mereka berhenti dan Pek-kong-to. Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu
berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khi-kangnya.
“Ji Kun.... ! Yan Hwa....!” Hayo cepat kalian
menyusul ke sini!”
Mutiara Hitam berkata sambil menghela napas
panjang. “Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan berlumba,
seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?”
Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang
Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda! “Ha-ha-ha, mengapa
disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan!
Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku
melatih Ji Kun dan engkau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di
antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlumba saling mengalahkan
sehingga memperoleh kemajuan pesat.”
Mutiara Hitam mengerutkan keningnya. Hemm,
aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan. Jangan-jangan mereka akan
menyeret kita dalam persaingan dan percekcokan di antara mereka!”
“He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok?
Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimanapun juga, mana bisa aku menangkan
engkau?”Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga.
Hidup di samping suaminya yang selalu berwatak
jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah? “Sesukamulah, akan tetapi
engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun.”
“Tentu saja.... tentu....! Jangan khawatir,
mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam! Ilmu keturunan
keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!”
Pada saat itu, tampak dua titik hitam dan
kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang berlari
secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua
orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan berlumba lari,
berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di situ, Ji Kun menang
beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka cemberut
sungguhpun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!
“Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang
terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari kami!” Mutiara
Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki
daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam
menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apalagi ketika ia mendengar bahwa
Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja
dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat menahan
kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang muridnya
hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa
pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Pula,
merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia
menangis.
Setelah beberapa lama membiarkan isterinya
menangis di tempat sunyi seorang diri dan memesan kedua orang muridnya agar
jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri isterinya,
perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata
halus.
“Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Menurut
kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah kalau
ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur
sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang
Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di tangan, mempertahankan
kerajaan dengan titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak kembarmu
itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat
mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak
bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik dan
membikin gelisah mereka dengan tangismu?”
Mendengar ucapan suaminya ini, Mutiara Hitam
menghentikan tangisnya. Akan tetapi ketika menoleh memandang wajah suaminya
yang biasanya berseri itu kini muram pandang mata yang biasanya berseri itu
kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas
dada suaminya sambil menangis lagi.
Tang Hauw Lam memeluk tubuh isterinya,
mengelus-elus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. “Hemm, tenanglah....
tenang, isteriku. Lihat.... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah,
betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi
seorang laki-laki cengeng!”
Mutiara Hitam menghentikan tangisnya,
berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati menderita itu
dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal
tinju kiri dan berkata, “Aku harus membalaskan kematian mereka! Si
keparat bangsa Yucen!”
“Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, isteriku dan
pergunakanlah akal budl dan pertimbangan pikiranmu, jangan dikeruhkan oleh
nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak
dapat diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur dalam perang berbeda
dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan
balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh bangsa Yucen dan berusaha
membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai dengan
jiwa kapendekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahatan manusia. Di
dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang berperang
itu hanya memenuhi tugas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak
dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan
kerajaan dan pemerintah, bukan?”
Teringatlah Mutiara Hitam dan kemarahannya
mereda. “Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak muncul
membantu Kakak Talibu?” katanya perlahan.
“Agaknya aku dapat meraba pendirian Ga-hu dan
Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua adalah orang-orang yang telah
mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia, apalagi urusan kerajaan.
Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan sia-sia saja mereka
menyucikan diri? Pula, kerajaan telah, diserahkan kepada mendiang kakakmu,
Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua urusan kerajaan, maju mundurnya,
jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah dikehendaki oleh
Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati.
Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib putera kakakmu?
Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mempunyai seorang
puteri?”
“Benar!” Mutiara Hitam kelihatan bersemangat.
“Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan pengawal. Agaknya
Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar para
pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Go-bi-san!”Tang Hauw Lam
mengangguk-angguk. “Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya sudah
pasti bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Go-bi-san. Kalau
benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi
kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”
Akan tetapi Mutiara Hitam mengerutkan alisnya
dan menggeleng kepala. “Aku masih khawatir. Ayah dan Ibu tidak pernah
memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apakah
pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan mereka. Sebaiknya
kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di sana, sekalian klta menghadap
Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui. Aku sudah rindu kepada
mereka.”
“Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna
bagi pengalaman murid-murid kita,”
Suami isteri pendekar itu bersama dua orang
murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju ke barat, ke arah
Pegunungan Go-bi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang perjalanan
menuju ke Go-bi-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah di mana perang
terjadi dan mereka selalu menghindarkan diri dari perang ,antar suku itu, di
mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang mdnjadi kuat di samping bangsa
Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara dan timur.
***
Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang
berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia iblis dari India
ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok dan Mahendra sedang bertanding
mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat melarikan diri
dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki sebuah hutan yang
luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai lari dan napasnya
hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput,
terengah-engah. Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran
batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat kedua
tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua
pergelangan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus
dan ia bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu
mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat
memasuki hutan makin dalam. Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon
raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani berhenti sebentar untuk minum
jika dia melewati sebuah anak sungai kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya
asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam
hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan tiba di daerah padang rumput
yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki
gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya terkejut
sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat sembunyi, kemudian lari
hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi, mendadak berkelebat
bayangan banyak orang dan terasa olehnya angin menyambar-nyambar ketika
bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah
dikurung oleh beberapa orang aneh! Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut
karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan daripada sepasang
manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang
masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan
tetapi muka mereka rata-rata buruk dan menyeramkan! Yang pria banyak gundul
tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal menjadi satu
seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti
sekumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata
gendut biarpun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak
cacingan! Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya
yang sepanjang lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi.
Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan
telanjang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu
bergantungan seperti buah pepaya. Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan
kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit
kayu dan kulit binatang. Ada pula yang memakai hiasan kalung terbuat dari....
batu kerikil biasa! Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana
anak laki-laki mana anak perempuan karena rambut mereka dikelabang dan
melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang
berada di dalam rumah sakit gila!
Mereka itu mengurung Maya sambil
berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari memutarinya, mengeluarkan
suara aneh, akan tetapi ada sebagian katakata bahasa Khitan yang dapat ia
tangkap. “Kejar....! Tangkap....!” Mereka tertawa-tawa dan ada yang
menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi
bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak
kecil yang berada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya
mendengar suara, “Kejar dan tangkap!”, malah ada beberapa orang kakek dan nenek
aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira.
“Ikut.... Ikut....!” Mereka ini jugaa ikut
mengelilinginya dan bersorak-sorak.
“Kejar! Tangkap!”Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata
bahasa Khitan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main “kucing-tikus”,
yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau
ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan
kedudukannya menjadi kucing. Permainan anak kecil! Biarpun ia merasa heran
sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu
masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di
antara mereka, seorang wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan
gin-kangnya.
“Wusss!” Luput! Maya hampir tidak dapat
percaya. Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya
sehingga biarpun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya
karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari
mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di antara rombongan
orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat! Ia lalu menubruk ke
arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-lakl
ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak! Maya
menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai
nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga dia kagum
dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang gila yang memiliki
gin-kang istimewa!
Karena disoraki dan ditertawai, timbul
kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapapun ia mencoba menangkap, tangannya
selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menangkap,
apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah akalnya. Dia
melihat bahwa orang-orang tua ini berwatak seperti anak kecil, dan agaknya
kecerdikannyapun tidak akan lebih daripada seorang anak-anak biasa, anak-anak
yang lebih kecil daripadanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan permainan
seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!
“Lihat ular besar....!” Tiba-tiba Maya
berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke arah pohon di
depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat itulah Maya lalu menubruk
wanita yang buah dadanya panjang di dekatnya sambil tertawa, memegangi
lengannya dan berkata, “Tangkap....!”
Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian
tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu memeluk dan
menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan campuran. Kini
wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di antara
tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang lain.
Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka yang
berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi
berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang
tertawa-tawa.
“Tertangkap! Tertangkap!” mereka berteriak-teriak
dan mentertawakan Maya.
Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini
diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena gerakannya jauh
kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri
di tengah lingkaran dan mengangkat tangan kanan ke atas, yang kiri bertolak
pinggang, kemudian berkata nyaring. “Dengarlah kalian!” Aku adalah puteri Maya,
puteri dari Raja Khitan!”
Akan tetapi orang-orang itu hanya saling
pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong menggemaskan hati
Maya, dan seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari
kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab,
“Raja Khitan? Kami tidak kenal.Namamu Maya?”
“Benar!” jawab Maya kesal.
Orang-orang itu sudah berlarian lagi
mengitarinya sambil berteriak-teriak, “Kejar! Tangkap!”
Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia
mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti. “Dengar. Aku mempunyai permainan
yang lebih bagus dari ini.243”
Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo
bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang
agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih “cerdik” daripada
mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata, “Permainan apa?
“Yang jenderal berada di tengah dan....”
“Apa jenderal?” semua bertanya, termasuk
nenek-nenek berkalung.
“Jenderal.... ya jenderal! Goblok kamu!” Maya
membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan
senang dikatakan goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan
melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepatcepat
kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus
menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa,
kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?”
Ada di antara mereka yang belum mengerti,
sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa
dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru
itu. Melihat ini, lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa
akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya.... ledis dan apek
sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
“Nah, bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak
pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
“Berjongkok....!”
Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada
yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintahkan itu. Kemudian
berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang
dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam
keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan
perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
“Wah, tidak beres!” kata Maya. “Kalian jangan
tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik, baru berlumba menanti
perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?” Mereka semua
mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
“Awas, ya sekarang?” Maya bertolak plnggang
lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perintahnya atau
menahannya di tengah-tengah.
“Ber....“
Baru saja bilang “ber....“ semua orang sudah
terpelanting karena berlumba untuk berjongkok.
“....lari....!” Maya melanjutkan perintahnya.
Tentu saja orang-orang yang, tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi
kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa, Maya
sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan solah-tingkah mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam permainan
kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan
menganggap Maya sebagai anggauta keluarga mereka sendiri. Mereka bermain-main
di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk
pulang.
“Pulang? Pulang ke mana?” Maya bertanya.
Wanita tua berkalung menggandeng tangannya,
“Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!” Setelah berkata demikian, nenek ini
lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya. Maya
hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja.
Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah
bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki guha yang amat dalam,
merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang
aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan
pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan mereka, namun
mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di depan
guha, serombongan anjing srigala menyambut dengan liar dan menggonggong
berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan
binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan srigala-srigala yang liar
dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan
menyalak seperti anjing, gerombolan srigala itu mendekam ketakutan, kemudian
seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting
pohon. Gerombolan srigala itu pergi dengan patuhnya, seperti sekumpulan anjing
yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di perut gunung
itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan adalah buah-buahan
dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya enak.
Minumnya air biasa. Karena perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan
dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di
tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya
hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini diterima menjadi anggauta
keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal peradaban!
Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya
saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran mereka masih seperti
kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena
di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir
kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main
dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa
mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali, memilikl
keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia
biasa. Akan tetapi, biarpun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang
liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat! Dia benar-benar merasa heran
sekali dan pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah
yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah
itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang
sebaya dengannya.
“Dari mana kalian mempelajari gerakan yang
demikian ringan dan cepat?”
Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti
apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya mengajaknya
meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan
itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri,
kemudian menggandeng tangan Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam
perut gunung.
“Eh-eh, perlahan dulu.... wah, bisa jatuh
aku....!” Maya terengah-engah karena temannya itu berlari cepat sekali melalui
terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung guha itu dan yang
agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh
gunung itu.
“Makan itu!” Anak itu berkata sambil
menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di lereng tebing
yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya
sambil berkata, “Aku takut! Takut!” dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari
pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah?
Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di situ, sunyi
yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di tebing itu.
Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini?Ia memandang
ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya lebat
hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti pohon raksasa. Disuruh makan
itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan? Maya termenung dan memutar
otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat
sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang gin-kang mereka,
kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu
berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka, atau mungkin
sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka, agaknya
mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat
berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk
melarikan diri dari bahaya. Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang
belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon menyuruh dia makan itu lalu
melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan gin-kang
mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya
yang timbul dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya.
Makan apanya? Tentu buahnya ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan
karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya, maka dia yang
telah membawa Maya ke situ tentu saja takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon
itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing.
Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia
hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam
bukan main, dasarnya tidak tampak jauh di bawah pohon itu, curam dan licin,
rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing,
mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama
halnya jatuh dari langitl
Maya bergidik ngeri. Betapa mengerikan!
Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan? Setelah semua yang
pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin
Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil menghadapi bahaya maut
berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi
darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan sepasang
manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu? Tidak
seberapa!
Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia
alaminya, semua kengerian yang dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia
kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya
timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan
gin-kang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus mendatanginya.
Bahaya terpeleset yang dihadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan
diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau
hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan
mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni
tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi sedikit turun ke
bawah, kakinya yang meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari
pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau
batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan,
akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih dulu kekuatan akar atau
batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya karena sekali akar putus
atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak
tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak
menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki itu ditempuhnya
dalam waktu lebih dari dua jam! Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke
pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh keringat, kaki tangan
menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika memandang
ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang
berwarna merah!
Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya
tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika
tangannya meraba buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar
dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di
bawah. pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga
tempat ini merupakan tempat yang paling aman. Tanpa mempedulikan lagi
akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu
mengatakan “makan itu”? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa
keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar
itu, apalagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa
untuk meningkatkan gin-kangnya.Habislah lima butir buah itu dan Maya merasa
kenyang sekali. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena
perutnya terasa mulas sekali, makan lama makin hebat, melilit-lilit seperti
diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak
tertahan lagi rasa nyeri perutnya, cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang
gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar,
dia menguras perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya.
Setelah isi perutnya terkuras keluar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya,
akan tetapi kini tulang-tulang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku
jari, sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya
bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan
di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan.
Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan air yang
mengucur keluar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan
tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan
main. Setelah tubuh dan pakaiannya tercuci bersih, Maya kembali memanjat
pohon. Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat
dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan
meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya, dia harus makan buah pohon itu
karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya
amat lapar, tenaganya habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin
ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apalagi
kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat
menguntungkannya. Kalau dia jerih setelah menderita hebat akibat makan buah itu
sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu
dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi dengan
hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya kenyang dan tubuhnya terasa
enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benar-benar
ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali leblh tinggi daripada biasa!
Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga
malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan buah merah dan
minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawatir. Betapapun
bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka
rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali kepada mereka. Maya
mengambil lima butir buah merah, mengantunginya kemudian ia mencoba untuk
memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan
ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya! Bahkan ia dapat setengah berlari
memanjat naik, berpegang kepada lubang-lubang dan akar-akar di permukaan
dinding tebing, Hal ini adalah karena beberapa hal, Pertama memang khasiat
buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan dan
gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah daripada turun.
Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri, juga
yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya, kalau
naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh
pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya
telah tiba di atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang
tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi
begitu teringat kepada orang-orang aneh yang ,berada di dalam perut bukit,
lenyap kegembiraannya, terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti
kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?
Maya memasuki terowongan dan, berlari cepat
sekali Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak
tampak seorang pun, Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya dan
karena perutnya lapar sekali, makan buah mentah terus-menerus selama tiga hari
tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan
yang berada di ruangan itu. Daging panggang yang masih hangat, dan buah-buahan
lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui
terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima
orang itu semua berkumpul di depan guha dan bermain-main, bahkan kini rombongan
srigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain-main di situ,
“dipimpin” oleh seorang anak lakl-lakl memegang ranting pohon. Masih heran hati
Maya menyaksikan betapa binatang-binatang srigala yang buas dan yang di dunia ramai
merupakan binatang paling sukar dijanjikan kini lebih jinak daripada
anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan seorang
kanak-kanak! 999
Akan tetapi ketika ia memandang ke arah
orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut bukan main,
memandang terbelalak dan menahan napas. Di antara mereka itu ada yang sedang
menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk
menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya
itu bangkai seekor, binatang buruan tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi
jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang
dipanggang itu adalah.... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor
kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini
memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah.
Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
“Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak
girang. “Heeiii, Maya telah kembali!” Semua orang bersorak-sorak girang dan
menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan
membentak.
“Kenapa kalian membunuh orang ini?” Dia
menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada
lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
“Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!”
Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala.
Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang kuda,
telah membunuh seekor di antara srigala-srigala peliharaan mereka, maka
orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang
dagingnya!
“Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan
dagingnya....!” Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantungnya
ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin
yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi
dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya
oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan
makin ramailah mereka berteriak-teriak, ada yang seperti menangis sehingga
Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng
dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan
gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah
Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar.
Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari
memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas.
Agaknya semua orang itu berlumba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan
marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang
seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari. Sambil
menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda
yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke
punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu.
Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa.
Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar
saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan
terguling. Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat
betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut
mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan srigala
itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan larl
menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang
rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari
samping bukit muncul serombongan srigala lain, dan dari belakang pun
srigala-srigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku
begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah
terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanyalah
batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara
batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat
sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak
hendak memasuki guha yang amat kecil.
“Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor
srigala dari belakang!
“Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!” Maya menjadi marah, membalikkan
tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu
terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk! Kainggg.... kaingggg....!” Srigala ke
dua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir remuk. Segera dia
diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam guha kecil kemudian tumit
kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya
terlepas dan jatuh menutup guha kecil! Maya terus merangkak maju, makin lama
makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu
srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat
merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang
dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan
binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis
digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia
bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala yang
mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki
lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing
penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada
bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang
gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke
dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh.
Akan tetapi, keadaan di situ sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia
berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak
di situ. Ke manakah mereka? Tiba-tiba Maya mendapet pikiran bahwa mungkin
sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka umtuk melihat
bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti
bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengambil keputusan untuk
menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu
pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada
mereka, apalagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging manusia.
Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik dengan mereka
dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia
mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak
seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia
terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah. Kiranya
tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan hebatnya,
besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil buah
sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk....!”
Seketika wajah Maya menjadi pucat. “Celaka!”
serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya,
kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak,
agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di
dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon
yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya,
napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan.
Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua peristiwa itu.
Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar
biasa itu dia ketahui, orang orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan
“menghabiskan” buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah agaknya
maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil
semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun
yang masih pentil! Akibatnya, karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang
yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, pohon
itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah
terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat
orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat
begitu luar biasa. Teringat ini, Maya merabakantungnya. Ia merasa menyesal
sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi,
yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar
gerombolan srigala.
***
Berpikir
demikian teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar!
Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam
perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus
pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ,
tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan
tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang menanti di luar
guha?
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya
amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apalagi semenjak ia
berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah dia
keluar dari kota raja Khitan dan mengalami hal-hal yang amat menderita,
berputus asa menghadapi rintangan apapun juga. Setelah memikir-mikir, ia
mendapatkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala
itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta
bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering,
dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian
ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu
sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari
keluar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung
lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba
di pintu guha depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan srigala. Namun Maya
tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu srigala-srigala itu
lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat
seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu melengking-lengking
ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi
tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu.
Rombongan srigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong
kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri
secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun
sudah padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mengurahkan perhatiannya kepada
kemajuan gin-kangnya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari
secepat mugkin. Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali
mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu,
perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan
api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan srigala buas itu pasti
takkan mampu menyusulnya!
Dengan dada lapang Maya lari, rambutnya
berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang
muda!
***
Karena di utara bangsa Yucen terdesak
oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu
bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat
kedudukannya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya
adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah
ditundukkan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat
sekali sehingga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan
kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya persahabatan dan
persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus terdesak
makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Naiman
dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali,
dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil masih terus
terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan wilayah,
melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena itu,
perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia
harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan
perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh mayat
bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya
berani turun dari pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha
yang lembab dan dingin kotor sampai berhari-hari.
Pada suatu senja. Maya yang kini dalam
perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Go-bi yang penuh
dengan selingan padang pasir luas, merasa bingung ketika melihat dari sebuah
lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki bukit. Entah
berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak tepinya dan angin senja
menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak seperti laut! Ia
merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus
menyeberangi padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng
didengarnya dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang
kadang-kadang mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan
lenyap oleh padang pasir itu. Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang
yang kehabisan air dan persediaan makan yang kelaparan dan terutama sekali
kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-pimpah akan tetapi apabila didekati,
air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman tinggal di tempat itu dan setiap
saat siluman-siluman itu mengganggu manusia!
Maka Maya tidak berani ke selatan melalui
padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui pegunungan yang biarpun
amat sukar ditempuh, namun setidaknya sudah dikenalnya. Sejak kecil ia sudah
biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini
dikenalnya, tidak seperti padang pasir, yang gundul dan mengerikan itu. Malam
itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini
tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang
berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal manusia. Maka hatinya
menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah ia ke barat. Siapa
kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan
anak-anak bukit sehingga sampai matahari naik tinggi, belum juga ia sampai ke
tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangannya
dari puncak bukit.Ia menjadi girang ketika melihat sebuah bangunan tak jauh didepan.
Biarpun dia sudah lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher, namun
melihat bangunan itu, Maya melupakan kelelahannya dan berjalan lagi menuruni
lereng. Tentu di situlah dusun yang dilihatnya semalam dari puncak. Akan
tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang
dahulunya tentu besar, akan tetapi kini sudah rusak akibat perang lalu
ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah runtuh, lantainya berlumut dan
dindingnya menjamur. Biarpun demikian, lumayan untuk tempat mengaso di terik
panas membakar seperti itu.
Tiba-tiba Maya cepat memasuki bangunan,
menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu bobrok yang depannya
tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena hampir
saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu
cepat bukan main. Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang seorang
berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang lagi
adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti pembesar,
seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya, akan
tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka
seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani
bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua orang
itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka
berbisik-bisik.
“Benarkah dia sedang mendatangi ke sini?”
“Tidak salah,” jawab yang berpakaian perwira
Yucen. “Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua kali aku dan
kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lolos.”
“Akan tetapi yakin benarkah engkau bahwa dia
itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya?” Pemuda
muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.
“Betul dia! Memang dia pandai menyamar dan
selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik sehingga tidak
pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah orangnya.”
“Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku.
Akulah yang akan menangkapnya! pemuda muka kuda berbisik. Si Perwira Yucen
mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka kuda
dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke atas atap
yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur ke jalan
depan kuil.
Biarpun Maya hanya dapat mengintai melalui
lubang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca, dan tidak dapat
melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor kuda dari
derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini
berdebartegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat,
sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula
pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu
dengan gurunya! Apakah artinya semua itu?Setelah derap kaki kuda dekat benar
dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik keras dan
terdengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding Maya
menggunakan keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat
persembunyian di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang
dan mengintai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian
sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang
bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang memakai topi lebar itu
gagah dan gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya, mendapat
kenyataan, bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki
bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar
pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung ditangan pemuda itu
Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang
membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau menyerangku?”
Namun pemuda muka kuda itu tidak menjawab
dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar itu makin
terdesak. “Engkau.... engkau mengkhianati kerajaan....?” Laki-laki bertopi
lebar berseru, mencoba untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya, akan
tetapi pada saat itu, tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan kosong
karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak tangan
ke depan.
“Blukk! Aiihhhh....!” Laki-laki bertopi lebar
itu terpukul dadanya dan muntahkan darah segar, akan tetapi masih berusaha
membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh, goloknya
menyambar ke depan dari samping.
“Crokk!” Terdengar jerit mengerikan karena
lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas siku!
Maya menyaksikan semua itu tanpa berkedip.
Kalau hanya pemandangan seperti itu saja, dahulu ketika ia menjadi tawanan
gerombolan Bhutan, setiap hari dilihatnya, bahkan yang lebih dari itu pun! Akan
tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup,
menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan
amplop ke mulutnya.
“Crass!” Kembali golok menyambar dan lengan
kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan disambar oleh tangan kanan
Si Muka Kuda.
Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan masih
dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah, “Siangkoan
Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!”
Terpaksa Maya membuang muka ketika melihat
laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun golok dan.... memenggal
leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah
muncul sambil berkata, “Bawa kepalanya!”
Perwira Yucen ini dengan muka berseri girang
menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, memuji. “Sungguh
hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah
memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali
mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!”
“Aku hanya menjalankan tugas. Marilah!” kata
pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, bekas pelayan murid dan
juga pembantu Panglima Suma Kiat.Dua orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan
Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa
kepala yang masih meneteskan darah itu. Entah mengapa, hati Maya tertarik
sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang yang disebut Panglima Khu.
Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi lebar tadi adalah
utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya, tahu pula bahwa Si Muka
Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan Lee, dan kagum menyaksikan
betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih hendak melindungi
Khu-ciangkun dan bahkan hendak memusnahkan sampul suratnya! Dia tidak
mengerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak
suka bahkan membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang
belum pernah dilihatnya. Karena itu, melihat dua orang itu melangkah pergi,
diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu
terancam bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat perkembangannya dan
kalau mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari
bahaya
belakang Mengapa Siangkoan Lee berada di
tempat itu? Seperti kita ketahui, Siangkoan Lee adalah bekas pelayan yang
menjadi murid Panglima Suma Kiat. Setelah putera tunggal Panglima itu, Suma
Hoat, meninggalkan kota raja dan minggat karena patah hati, maka Siangkoan Lee
merupakan satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan
Siangkoan Lee ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dan kini tanpa
ragu-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak
berunding dan mengatur siasat dalam, menghadapi musuh-musuhnya.
Peristiwa yang terjadi mengenai keluarga Thio
di mana Menteri Kam Liong ikut campur, menambah rasa dendam dan tidak suka di
hati Suma Kiat, apalagi karena urusan itu mengakibatkan puteranya patah hati
dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah
berhasil menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluarga Raja Khitan!
Kini dia mulai mengintai dan ingin sekali menjungkalkan orang yang paling
dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong! Akhirnya
berkat kelicinannya dan penyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk
membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa kepergian seorang panglima
pembantu Menteri Kam Liong yang bernama Panglima Khu Tek San, bukanlah
ditugaskan menjaga tapal batas sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan
memasuki istana Yucen dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya
oleh Pemerintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata
di Yucen, bekerja demi kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi, dia
bekerja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh
kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!
Demikianlah, Suma Kiat lalu menugaskan
muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan agar supaya murid Menteri
Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya hal itu tentu akan memperuncing
hubungan antara Yucen dan Sung dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan
sekutunya, yaitu para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar
mereka dan sudah siap-siap untuk memberontak jika ada kesempatan.
Biarpun usianya masih muda, namun Siangkoan
Lee ternyata dapat bekerja dengan baik sekali. Dia tidak mau begitu saja secara
kasar menuduh Panglima Khu yang di Yucen amat dihormati sebagai seorang
panglima gagah perkasa yang selalu ikut berperang membela Yucen. Dia harus
dapat memperlihatkan bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu
bekerja sebagai mata-mata di Yucen, tentu ada satu cara dari panglima itu untuk
mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya. Menteri Kam Liong.
Akhirnya, setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui
bahwa memang ada seorang kurir yang menghubungkan guru dan murid itu. Dengan
petunjuk seorang perwira Yucen, akhirnya Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir,
memenggal kepalanya dan merampas suratnya, kemudian dengan bekal dua tanda
bukti ini berangkatlah dia ke perkemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di
tempat itu dalam operasi pembersihan. Raja Yucen disertai para panglima, di
antaranya Panglima Khu yang dipercaya!
Akan tetapi, sungguh Siangkoan Lee tidak
pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan masak dan dilakukan
dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan berusia
sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah menyaksikan semua
perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka sudah tiba di perkemahan di
waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap melalui perkemahan.
Maya menjadi bingung. Bagaimana dia harus
menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang manakah Panglima itu dan di
mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani menanggung bahayanya. Dengan
langkah lebar ia menghampiri beberapa orang tentara yang menjaga. Tiga orang
tentara itu tercengang keheranan ketika tiba-tiba dari tempat gelap muncul
seorang anak perempuan yang begitu cantik dan bersikap begitu tabah dan
berani.
“Eh, kau siapakah?”
“Aku adalah keponakan dari Khu-ciangkun. Harap
kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun nanti kumintakan hadiah dari
Paman Khu untuk kalian.”
Tiga orang anggauta tentara Yucen itu saling
pandang. Mereka terheran-heran dan ragu-ragu. Panglima Khu adalah seorang di
antara para panglima Yucen yang gagah perkasa dan dipercaya oleh Raja. Memang
semua orang tahu bahwa itu panglima berdarah Han, akan tetapi sepak terjangnya
sudah membuktikan kesetiaannya terhadap Kerajaan Yucen. Kini tiba-tiba muncul
seorang anak perempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka menolak dan mengusir
bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa anak ini betul keponakan
panglima gagah itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi, kalau membawa anak
ini menghadap Panglima Khu, andaikata anak itu membohong, tentu anak ini yang
akan dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam hutan pegunungan itu
tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu, akan tetapi segera
mereka berkata,
“Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi kalau
engkau membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!”
Apa boleh buat, pikir Maya. Dia beriktikad
baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin kalau pamrih baik dibalas hukuman
mati! “Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!”
Tiga orang tentara itu membawa Maya ke sebuah
kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga. Mereka menceritakan bahwa
anak ini mengaku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar menghadap.
“Hemm, kalian mencari penyakit,” kata dua
orang penjaga. “Akan tetapi, masuklah, Ciangkun sedang duduk sendiri, kalau
kalian dimaki jangan bersambat kepada kami.”
Maya diajak masuk dan ketika Maya melihat
seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat puluhan tahun,
bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah Panglima Khu. Maka ia
lalu berlari ke depan menjatuhkan diri dan berlutut dan berkata, “Paman
Khu.... saya mohon bicara empat mata dengan Paman mengenai surat bersampul
kuning dan laki-laki bertopi lebar!”
Mula-mula panglima itu terkejut dan
mengerutkan alis melihat tiga orang perajurit memasuki kemahnya membawa seorang
dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan gadis itu,
berubahlah sikapnya. “Pergilah!” katanya kepada tiga orang perajurit sambil
melempar beberapa mata uang ke arah, mereka. “Dan terima kasih sudah mengantar
keponakanku ke sini!”Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran
panglima itu. Setelah tiga orang perajurit yang kegirangan tadi menerima
hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu
sambil bertanya, “Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan
“anak baik engkau siapakah dan apa artinya
kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar Khu-ciangkun.” Perwira itu
memegang tangan Maya dan menariknya duduk di atas bangku di dekatnya sambil
memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak sembarangan, pikirnya.
“Ketahuilah, kalau engkau seorang Panglima
Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu malah lebih senang melihat
engkau mampus! Akan tetapi karena engkau panglima palsu dan tentu engkau
memusuhi Yucen, aku bersedia menolongmu.”
Terbelalak mata panglima itu. “Apa maksudmu?”
Ia berbisik dan menoleh keluar kemah. “Bicara perlahan.”
Maya juga cerdik dan tahu bahwa percakapan
mereka ini sama sekali tidak boleh didengar orang lain, maka ia lalu berkata,
“Aku adalah Puteri Maya puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah hancur oleh
bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang bertopi lebar
yang membawa sampul kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan sampul suratnya
dibawa oleh seorang yang bernama Siangkoan Lee. Kau akan dilaporkan....“
“Cepat! Kita harus pergi dari sini, sekarang
juga!” Panglima itu dengan gerakan cepat dan kuat telah menyambar tubuh Maya
dan dipondongnya.
“Engkau pergilah, aku.... biar aku lari
sendiri!”
“Tidak, Paduka. harus saya selamatkan!
Harus!” Panglima itu berkata dengan hati penuh keharuan dan ketegangan. Sungguh
mimpi pun tidak dia akan bertemu dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja
Khitan adalah adik tiri gurunya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan
gurunya sendiri yang harus dia selamatkan! Rahasianya sudah diketahui orang,
entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang bernama Siangkoan
Lee itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak perempuan
ini adalah puteri Kerajaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi
terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini, wajah panglima itu berubah.
“Terlambat....! Paduka.... jangan mengaku sebagai Puteri Khitan, tetap mengaku
keponakan.... keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir. Mengerti?”
Maya membelalakkan mata akan tetapi
mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan berterima kasih. Keputusan hatinya
untuk menolong panglima ini ternyata tidak sia-sia! Panglima ini seorang yang
gagah perkasa, yang dalam saat berbahaya itu lebih mementingkan keselamatannya
daripada keselamatan sendiri!
Dengan langkah tenang sambil menggandeng
tangan Maya, Panglima Khu berjalan keluar dan menuju ke perkemahan besar di
mana semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi terompet
tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran, panglima
dan perwira. Dengan sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa tempat itu sudah
dikurung oleh pasukan besar yang siap dengan senjata mereka, juga pasukan anak
buahnya sendiri sehingga diam-diam ia mengerti bahwa keadaan amat berbahaya
dan agaknya Raja yang telah mengetahui rahasianya telah siap menangkapnya.
Biarlah ia berkorban nyawa untuk negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang
digandengnya, dia menjadi bingung!
Para panglima telah siap semua berkumpul di
depan kemah Sri Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan mereka itu memandang
heran kepada Khu-ciangkun yang datang menggandeng seorang anak perempuan
cantik.
“Keponakan.... selirku!” jawab panglima ini
pendek ketika rekan-rekannya bertanya sehingga di sana-sini terdengar suara
ketawa.
Akan tetapi, mereka semua menjadi diam dan
bersikap menghormat ketika terdengar suara terompet dari dalam kemah, tanda
bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat dimulai. Tempat di depan kemah
itu telah menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan para
perajurit pengawal. Raja keluar dari kemah dengan.... menunggang kuda! Memang
Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau menghadapi para panglimanya den
bangsa Yucen merupakan bangsa yang paling ahli berperang di atas kuda.
Di belakang Raja tampak seorang laki-laki
bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.
“Khu-ciangkun....!” Tiba-tiba Raja
berseru keras memanggil.
“Hamba siap!” Khu-ciangkun melangkah maju dan
berlutut dengan sebelah kakinya dengan sikap gagah dan hormat. Maya terpaksa
ditinggalkannya di belakang dan anak itu memandang dengan hati tegang.
“Khu-ciangkun! Selama ini aku percaya
kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira, ternyata engkau
adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!”
Semua panglima saling pandang dan terdengar
suara mereka berisik sekali, karena tuduhan ini benar-benar amat hebat! “Ampun,
Tuanku, akan tetapi tuduhan yang tidak ada buktinya merupakan fitnah keji!”
Khu-ciangkun menjawab dengan suara tenang.
“Fitnah, ya?” Raja membentak dan memberi tanda
kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera membuka kantung dan melemparkan
sebuah benda diatas tanah. Benda itu adalah kepala orang! Semua orang memandang
dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja berkata lagi, “Orang she Khu!
Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghubungkan engkau dengan gurumu di
Kerajaan Sung! Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong. Hayo mengaku!”
Khu-ciangkun tetap tenang. “Yang penting
adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang yang mempunyai kepala
ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah buktinya, Tuanku?”
“Bukti lagi? Lihat ini! Surat Menteri Kam
Liong untukmu, keparat!” Raja itu mengeluarkan sebuah sampul kuning dari
sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
Akan tetapi, dalam suasana yang amat tegang
itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan Yucen yang
dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda dan mereka ini menyeret tubuh
dua orang anak yang meronta-ronta!
Apakah yang telah terjadi? Siapakah dua orang
bocah yang ditawan oleh pasukan Yucen itu? Mereka itu bukan lain adalah Can Ji
Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya. Bagaimanakah
mereka dapat tertawan pasukan Yucen?
Seperti telah dituturkan di bagian depan,
Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya, Pek-kong-to Tang Hauw Lam, bersama
kedua orang muridnya itu, setelah mendengar akan kehancuran Khitan dan
tewasnya raja dan ratu lalu bermaksud mengejar pasukan yang mengunnakan Maya
ke Go-bi-san.
Karena pengejaran itu dimaksudkan untuk
melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak tahu jalan mana
yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan lebih, maka
mereka melakukan perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa tidak sabar
menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru mereka, maka seringkali kedua
orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang melakukan penyelidikan setelah
memberi tahu bahwa mereka berdua akan mendahului ke atas bukit di depan atau
padang rumput di depan.
Pada sore hati itu, kembali dua orang anak itu
mendahului guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput yang luas. Tiba-tiba,
muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil tertawa-tawa. Dua orang
bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja bangsa Yucen yang di
dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan, ingin mempermainkan dua orang anak
ini.“Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik, berlututlah kalian dan minta ampun
kepada tuan-tuan besarmu, baru kami akan melepaskan kalian!” berkata seorang
di antara para panglima Yucen yang menunggang kuda.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak
yang sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Selain berani
dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua orang gurunya,
terutama sekali nama besar ibu gurunya. Siapa berani mengganggu mereka?
“Kalian ini berandal dari mana berani
mengganggu kami? Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak memberi ampun
lagi!” bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang. Juga Ok Yan Hwa bertolak
pinggang sambil membentak.
“Sungguh tak tahu diri, berani mengganggu
anak naga dan harimau!”
Dua orang anggauta pasukan itu tertawa-tawa
dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. “Ha-ha-ha, engkau anak naga, ya?
Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila?” Seorang di antara mereka menghampiri
Can Ji Kun.
“Wah, yang ini biarpun masih belum dewasa,
sudah cantik sekali!” Tentara ke dua menghampiri Ok Yan Hwa, tertawa-tawa dan
hendak mencolek pipi gadis cilik itu.
Tiba-tiba dua orang anak itu menerjang ke
depan, terdengar teriakan-teriakan keras dan dua orang anggauta pasukan itu
roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah rasanya, dihantam
oleh dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah semua pasukan, terkejut dan marah.
Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan membunuh, akan tetapi empat orang
panglima berseru, “Jangan bunuh! Biarkan kami menangkap harimau-harimau cilik
ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri Baginda. Siapa tahu mereka ini ada
gunanya kelak!”
Setelah berkata demikian, empat orang itu
mengeluarkan tali panjang yang melingkar-lingkar di lengan kiri mereka. Ujung
tali itu dibuat semacam lasso dan kini mereka berempat yang menunggang kuda
mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang tetap
diputar-putar. Dua orang anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi mereka
bingung ketika dikurung empat ekor kuda dan memandang tali berujung lasso yang
diputar-putar. Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa. Dara
cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso itu mengejarnya, ia menggulingkan
tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji Kun dapat
menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso menyambar.
Bahkan sampai berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke arah
mereka, namun dengan lincah sekali dua orang anak itu tetap dapat mengelak.
Empat orang Panglima Yucen ini menjadi
penasaran sekali. Mereka lalu berpencar menjadi dua rombongan dan mengeroyok
setiap anak dengan lasso mereka. Kini repotlah dua orang anak kecil itu dan
tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan tertangkap! Dua orang panglima
memegangi lengan setiap anak dan mengangkat tubuh anak itu di antara kuda
mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa
membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak minta tolong, hanya memaki-maki dan
meronta-ronta.
Sikap dua orang anak inilah yang menolong
mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak memperlihatkan sikap yang berani
luar biasa, tentu mereka dianggap anak-anak biasa dan sudah dibunuh. Kini para
panglima itu menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh kedua orang anak itu
dan merasa perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa itu kepada raja yang
kebetulan berada di perkemahan.Sementara itu, Khu Tek San yang melihat bahwa
bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia tidak dapat menyelamatkan
diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan untuk mengorbankan dirinya
dan tidak menyeret orang lain dalam pekerjaannya memata-matai Yucen.
Yang terpenting sekarang adalah berusaha
menyelamatkan diri Puteri Maya dan menyuruh puteri Kerajaan Khitan itu pergi
ke selatan menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan berita tentang
kematiannya. Maka ketika melihat keributan dengan datangnya panglima-panglima
yang menyeret dua orang anak itu, dia cepat berbisik kepada Maya,
“Engkau larilah sekarang, cepat!”
Akan tetapi Maya menggeleng kepala. “Aku hanya
mau lari kalau bersama engkau!”
Panglima she Khu itu memandang penuh kagum.
Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu Suling Emas, pikirnya. Masih
begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan!
Tiba-tiba Panglima Khu dikejutkan oleh suara
dua orang anak kecil yang diseret itu. Yang perempuan berkata galak.
“Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja
Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan mampus!”
“Guru kami, pendekar wanita sakti Mutiara
Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, tentu akan membalas dendam!”
kata anak laki-laki, sikap mereka berdua sedikit pun tidak takut dihadapkan
pada Raja Yucen.
Tentu saja Khu Tek San terbelalak memandang ke
arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal yang begini kebetulan
secara berturut-turut? Pekerjaan rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya,
dan kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam!
Mutiara Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik tirl suhunya pula, karena
itu, bukan hanya Maya yang harus diselamatkan, melainkan juga dua orang bocah
itu!
“Apa pun yang terjadi, aku harus berusaha
menyelamatkan mereka,” bisik Khu Tek San kepada Maya. “Kaularilah dalam
keributan ini!” Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini menggerakkan
tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu. Cepat bagaikan seekor
garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima muda yang memegangi dua
orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian Khu-ciangkun, maka
mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San
untuk menyambar tangan Can Ji Kun, anak laki-laki itu. Ketika ia hendak
menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak.
“Budak cilik! Aku tidak butuh pertolonganmu!”
Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di situ pula, tadi
menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik mendekatinya. Ia merasa makin kagum.
Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam keributan seperti yang
dipesankannya, malah menyusulnya meloncat ke depan untuk menolong dua orang
murid Mutiara Hitam!
Keadaan menjadi geger. “Kurung....!
Tangkap....!” Raja Yucen berteriak marah sekali dan Tek San bersama tiga orang
anak itu dikurung rapat oleh pasukan panglima yang telah menghunus senjata.
Tek San menjadi khawatir sekali. Bagi dia tidak takut mati di tangan
musuh-musuh ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak
itu?
“Sri Baginda Yucen....!” Ia berteriak lantang.
“Aku Khu Tek San sebagai seorang laki-laki sejati, telah mengaku kedosaanku
terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata terbuka!
Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah
Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biarpun kami
berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret nyawa beberapa orang
pengawalmu!”
Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali
membentak. “Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si Pengkhianat ini dan tiga orang
anak iblis itu!”
Tek San yang mengambil keputusan untuk
melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap menghadapi
pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali dan tak
dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu pun telah
bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya sehingga
mereka berempat beradu punggung menghadap ke empat penjuru! Bukan main,
pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar-benar
merupakan anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil
itu, menghadapi bahaya maut tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan
hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan sekali. Pengurungan
makin ketat dan sudah dapat dibayangkan bahwa betapapun gagahnya Khu Tek San
murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu banyaknya panglima, perwira
dan perajurit Yucen, tentu dia takkan menang.
“Tahannnn....!” tiba-tiba terdengar suara
melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.
Lengking nyaring ini disusul berkelebatnya
dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya terdengar
ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang diduduki Raja
Yucen dan bayangan ke dua menyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang
berada di sebelah kanan raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan suara
“ah-uh-ah-uh” disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang panglima
tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja semua
pasukan menjadi terkejut dan mengalihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga
orang bocah itu.
“Suhu....!” Ji Kun berteriak girang.
“Subo....!” Yan Hwa juga bersorak.
Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua
orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri seorang wanita
gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung dengan Raja ke belakang tubuh
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka
mengancam tengkuk. Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak
dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepala itu,
sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
“Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak,
Raja Yucen kubunuh!” Wanita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu
membentak.
“Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah
mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga!” Laki-laki di
samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. ”Dan penukaran ini sudah
cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang
gagah dan anak perempuannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami
tukar dengan dua puluh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!”
Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke
tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani
main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam
itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. “Hemm, kalian hanya menawan kami
tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?”
“Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah
panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di tangan kami kalau
penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa
mereka kepada tubuh masing-masing sambil menanti penukaran ini!” jawab
Pek-kong-to Tang Hauw Lam seenaknya.
“Bebaskan mereka. Raja Yucen menghardik dengan
muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga
orang anak itu mundur dengan kecewa.
“Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke sini!” Mutiara
Hitam berteriak. Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan gerakan indah
serta ringan mereka melayang ke atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati
mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang
lebih cepat lagi!
“Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk
Mutiara Hitam?” Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh
kagum. Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran
menyaksikan bocah perempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya,
mengalahkan kedua orang muridnya.
“Siapa engkau? Dan siapakah orang gagah di
bawah itu?”
Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu
menjura dengan hormat. “Teecu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat
kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima kasih atas
pertolongan Ji-wi.”
“Ahhh....!” Mutiara Hitam tercengang dan juga
girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha menolong
murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri! “Dan bocah ini....?”
“Dia adalah keponakan Sukouw sendiri, Puteri
Maya....!”
“Aihhh....!” Seruan Mutiara Hitam ini
mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya dan dipeluknya
anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih “menelikung” Raja Yucen.
“Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan kami!
Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?”
“Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman.
Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.”
Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu
bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu
berwatak angkuh! Dan dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek
San, maka ia menggeleng kepala dan berkata,
“Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin
pergi bersama Khu-ciangkun!”
Mutiara Hitam menghela napas panjang. Dia
adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil
keputusan tidak dirobah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponakannya,
tidak banyak berbantah lagi. Hatinya masih tetap keras dan angkuh.
“Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan
Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu) Kam Liong pun sama saja. Nah,
Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa
orang-orang Yucen tidak akan mengganggu perjalanan kalian.”
Khu Tek San memberi hormat, kemudian
menggandeng tangan Maya sambil berkata,
“Marilah kita pergi!” Keduanya melompat turun
dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani
menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak
melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda
yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang membunuh kurirnya.
Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa
yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh, Mutiara Hitam
melepaskan dengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang
panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya
tadi. Mutiara Hitam menjura kepada raja itu dan berkata,
“Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau
menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya
kakakku Raja Khitan di tangan kalian....”
“Ahhhh, tuduhan keji itu!” Raja Yucen
membentak marah. “Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang bahu-membahu
menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gugur! Bukan
kami yang membunuhnya!”
Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang,
kemudian Mutiara Hitam berkata,
“Siapapun yang membunuhnya, kakakku ini gugur
dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi,
kami tidak menanam permusuhan dengan siapa juga, dengan Raja Yucen pun tidak,
maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memusuhi kami dan
memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami!
Raja itu bersungut-sungut. “Musuh kami hanya
negara lain, bukan perorangan. Apa untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam?
Asal engkau tidak mengganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa kami
memusuhimu?”
“Bagus, dengan demikian kita sudah saling
mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda dan maaf sekali lagi!” Mutiara
Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji Kun,
kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
“Sialan!” Raja Yucen membanting-banting kaki.
“Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna
menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut
memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada
penyelesaian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung!” Raja itu mencak-mencak
dan marah-marah.
***
Karena sudah bertemu dengan keponakannya,
Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak melanjutkan
perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san di
mana terdapat sebuah guha besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat
tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih
terjadi di mana-mana.
Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di
Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget
dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya
tiba di depan guha di puncak Yin-san, dan melihat seorang kakek dan nenek
hidung mancung telah menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan mereka
dengan senyum mengejek.
“Kalian siapakah? Mau apa di sini?” Mutiara
Hitam membentak sambil memandang tajam. Karena sekali pandang saja ia dapat
mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia
menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu
tertawa. “Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun yang lalu,
pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!”
Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang
kepada isterinya dan berseru,
“Wah-wah-wah, bukankah kalian ini murid tukang
membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita
di Himalaya, bukan?”
Mutiara Hitam teringat dan dia bertukar
pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hitam
berkata, “Aihh, kebetulan sekali!”
“Heh-heh-heh!” Nenek India yang bernama Nila
Dewi terkekeh. “Memang kebetulan bagi kami akan tetapi tidak kebetulan bagimu,
Mutiara Hitam!”
Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya
berubah dingin dan dia berkata, “Kami sudah mengenal guru kalian, akan tetapi
tidak tahu siapa nama kalian?”
“Aku Nila Dewi dan dia ini Mahendra,” jawab
Si Nenek India.
“Maksud kedatangan kalian?”
Melihat sikap dingin penuh ancaman dari
Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata, “Wah, kami melihat sepak
terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami
kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benarbenar seperti
mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!”
“Mahendra, tidak perlu banyak menjilat.
Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat
kami?”
Mahendra tertawa, akan tetapi ketawanya ini
agak dipaksakan, untuk menutupi rasa gentarnya terhadap wanita sakti itu.
“Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa kehilangan murid
mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu. Banyak sekali calon-calon murid
baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang
bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti guha di puncak
ini!”
Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya
lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan plintat-plintut
direntang panjang itu. “Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan
kehendak kalian!”
“Mutiara Hitam, kami mencontoh perbuatanmu
terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan
kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan....“ Dua
orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!
“Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak
tingkah!” Mutiara Hitam membentak.
“Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah
suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari gantinya dan....“
“Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai
membadut dan pandai bicara sekarang! Eh, Hitam Jangkung! Kaukatakan, kalau
kami tidak mau memberikan murid-murid kami, lalu bagaimana?” Tang Hauw Lam
bertanya sambil tertawa.
“Kami pun tidak memberikan tempat ini!” jawab
Mahendra dan bernama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan guha.
Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar
akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang segolongan pertapa
Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang
membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik seperti
dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya masih
bersabar dan setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata mereka,
Mutiara Hitam lalu berkata,
“Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam
kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan.
Nah, coba kalian kalahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan
merintangi murid-murid kami kalian bawa.”
“Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah!
Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu,” kata Mahendra. “Dan kami
berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan
pergi tanpa banyak ribut lagi.”
“Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini
memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan membetulkan. Kalau
kami kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian
juga harus mengorbankan sesuatu.”
“Apa?” Nila Dewi menjerit. “Kau menghendaki
nyawa kami?”
“Bodoh! Kami tidak haus darah seperti kalian.
Kalau kalian kalah, kalian harus membuatkan sepasang pedang untuk kami,
sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat
dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu
untuk kami, karena tukang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan
tidak sanggup.”
Mahendra tertawa. “Wah, hebat logam itu, makin
menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagaimana
pertandingan ini diatur?”
Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua
orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang tinggi, akan
tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai atau
membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam
permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga mereka.
“Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan
ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali berhasil
menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sendiri yang akan
maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!”
Mahendra dan Nila Dewl saling pandang. Mereka
maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan tangan
kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu mencabut sepasang pisau
belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.
“Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani
engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan kosong?”
“Seorang gagah tidak akan menarik kembali
janjinya. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mahendra. Nah,
bersiaplah engkau!” Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan guha dan
mereka berhadapan. Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam
itu menekuk kedua lututnya, merendahkan diri dan kedua tangannya dipentang
lebar, pisau belati digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap keluar,
ketika ia menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa permukaan
pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.
“Sepasang senjata yang bagus!” Mutiara Hitam
memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan dahsyat.
Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh, pisau kirinya menangkis
lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara
Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian
dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua orang muridnya
untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton
dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai kepercayaan
sepenuhnya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju dan menentang untuk
menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa isterinya ingin
mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang ini tepat sekali karena dalam
hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap isterinya.
Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan
Mahendra dengan melukainya! Padahal, isteri nya sudah lama sekali merasa
penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka
dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu membuatnya
menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu
ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke timur. Mereka
baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi
dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India,
kemudian terus ke timur menyusuri pantai Sungai Brahma Putera. Ketika tiba di
perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunungan Himalaya di waktu
malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah
suara menggelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke
tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di atas tanah sawah
dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!
“Agaknya itulah yang disebut batu bintang!”
kata Mutiara Hitam.
“Jatuh begitu saja dari langit? Sungguh luar
biasa!” Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani sembarangan menghampiri
tanah yang mengeluarkan sinar itu. Baru pada keesokan harinya, berindap mereka
menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah
logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi girang
dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika mereka, sudah berada di
Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan
sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua ahli pedang tidak
sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih tetap
keras saja!
Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang
murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara Hitam dan suaminya. Dua
orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang yang sakti dan
agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan
sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.
Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra
masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh, cepat gerakan
sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar bergulung-gulung seperti
ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan setiap serangannya mengandung
tenaga sin-kang yang amat kuat. Namun, Mutiara Hitam menghadapinya dengan
ketenangan yang mengagumkan. Bermacam ilmu silat tangan kosong yang
lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang
(Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India
ini ternyata merupakan seorang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka
sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melindungi
tubuhnya dari sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi
dia terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya untuk
mengelak. Yang menjadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini
dengan ilmu silat tangan kosong.
Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini
mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan, suara
melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khi-kang Kim-kong-sim-im
yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.
Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan
sin-kang untuk melawan gerakan suara mujijat ini, Mutiara Hitam sudah
menerjangnya dan mainkan ilmu silat yang memiliki gaya tidak lumrah
dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari
ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga
Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun
tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di antara semua ilmu silat
tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!
Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi
bingung, kacau-balau gerakannya ketika angin menyambar-nyambar secara hebat
dari tubuh dan tangan Mutiara Hitam. Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus
saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan
Kilat). Tubuhnya berkelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran
tubuhnya itu, kedua tangan dan kakinya kadang-kadang menyambar secara tak
terduga-duga!
“Ciaaatttt!” Mutiara Hitam berseru, tangan
kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri
Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam pisaunya hanya
dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu mengandung
tenaga sin-kang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja dan ada bahayanya
pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke atas. Mutiara Hitam
tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat. Dia tadi
telah kena dipancing sehingga menekuk tengannya melindungi pisau, akan tetapi
kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehingga
seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana
terjadinya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang
cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
***
Bagus!
Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah!” Mahendra
membentak dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanannya. Mutiara Hitam
melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau itu dan
memeriksanya penuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan
amat kuat pula.
“Mahendra, bersiaplah engkau untuk mengakui
keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk membayar
taruhanmu!” Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu menerjang lawannya
dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung. Tubuh wanita itu
lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main,
namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula
berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan
Kosong Rontokkan Bunga) dari ketigabelas jurus ilmu silat sakti! Mahendra
berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak
dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula,
lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!
“Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam!” kata kakek
hitam itu penuh kagum.
Juga Nila Dewi yang mengikuti jalannya
pertandingan dengan seksama mengerti bahwa dia pun bukanlah tandingan Mutiara
Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata, “Kami tidak mendapat kesenangan
memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati kemenangan
pertandingan, biarlah kita menikmati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh.
Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlumba membuatkan
pedang terbagus untukmu.”
Tang Hauw Lam mengeluarkan dua butir bola
logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu kepada Nila Dewi
dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu, mereka
terbelalak dan membuat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat. Mulut
Mahendra berkata lirih, “Ya, Tuhan...., ini.... besi bintang putih....!”
Nila Dewi juga terbelalak, mukanya agak pucat
dan ia berkata, “Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat kehormatan
membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!”
Mutiara Hitam sejak tadi memandang penuh
perhatian dan kekaguman, kemudian ia berkata, “Apakah kalian hendak mengatakan
bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari buah benda bola logam ini?”
“Bisa? Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta
agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu kami membuat pedang!” kata Nila
Dewi.
“Benar.” Mahendra mengangguk-angguk. “Kami
minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu. Betapapun tinggi ilmu
kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan po-kiam, apalagi
menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena
itu, jangan mencampuri pekerjaan kami.”
Mutiara Hitam mengangguk-angguk. “Baik, aku
percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya harus seperti ini!” Mutiara
Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas tanah dan
menerangkan modelnya, ukurannya dan lain-lain, diperlihatkan oleh dua orang
India itu yang mengangguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali
pandang saja tahulah mereka pedang macam apa yang harus mereka bikin.
“Kalian boleh menggunakan dua buah guha di
kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu, akan tetapi
kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan pedang
itu?”
Mahendra dan Nila Dewi berpikir-pikir,
mengerutkan alis dan menghitung-hitung. “Untuk mempersiapkan tempat pembakaran
dan penempaan sih cukup beberapa hari saja.” kata Mahendra.
“Hemm, yang harus dipikirkan adalah cara
membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan dibentuk!” Nila Dewi
berkata sambil menimang-nimang logam bundar di tangannya.
“Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu kata
pula Mahendra, kemudian ia menoleh kepada Mutiara Hitam. “Kami minta waktu
tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam waktu seratus hari pedang ini belum
jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.”
Mutiara Hitam menghela napas dan mengangguk.
Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang aneh dan ia percaya bahwa
sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana
mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam,
ia pun mengharapkan agar mereka akan dapat berhasil membuat sepasang pedang
yang ia idam-idamkan. Dua buah benda putih itu amatlah anehnya, kalau
dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mujijat dalam kedua benda itu,
pada satu ujungnya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain
mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!
Sepasang guha yang dipergunakan oleh Mahendra
dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari guha yang ditinggali
Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga mereka tidak dapat
melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang membuat pedang itu. Mereka
hanya mendengar kadang-kadang suara klang-kling-klang seperti dua buah benda
keras beradu, kadang-kadang melihat cahaya api dari dalam guha-guha itu.
Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang itu telah
pergi meninggalkan guha tanpa pamit.
“Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat?”
Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.
“Benar, aku pun tidak percaya dua manusia
iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah logam keramat itu!” Ok Yan
Hwa juga berkata.
Mutiara Hitam menyapu wajah kedua orang
muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur, “Camkanlah dalam
kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan putih maupun
hitam, golongan bersih maupun sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan
dilanggar biar berkorban nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka akan
memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah daripada
tidak-memenuhi janji!”
Dua orang murid itu mundur dengan takut dan
tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin anehlah keadaan di
sepasang guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu malam, terdengarlah
jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang guha itu.
“Keparat!” Tang Hauw Lam yang biasanya
bersikap gembira dan tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya lebih
lama lagi “Mereka menculik anakanak!”
Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk bersila
dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah jeritan-jeritan itu
tidak didengarnya. “Eh, masa kita harus mendiamkan saja mereka menggangu
anak-anak? Mungkin membunuhnya!”
Mutiara Hitam menghela napas. “Bukankah kita
sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”
“Memang tidak mencampuri pekerjaan membuat
pedang. Akan tetapi kalau mereka membunuh anak-anak, tak dapat aku membiarkan
saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung
Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi!” Tang Hauw Lam
yang biasanya bergembira itu sudah bangkit berdiri dan membawa goloknya, siap
untuk mandatangi sepasang guha itu dan menyerbu.
“Nanti dulu, Suamiku!” Mutiara Hitam berkata,
suaranya penuh kesungguhan.
“Apakah engkau mau melanggar janji kita tidak
akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”
“Siapa mau mencampuri? Apa hubungannya
penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?” Tang Hauw Lam berhenti dan
menoleh kepada isterinya, penasaran.
“Apakah engkau lupa tentang dongeng yang
pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang hanya dapat dibikin
cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?”
Tang Hauw Lam sejenak memandang isterinya
dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya berubah pucat. “Kau....
kaumaksudkan.... anak-anak itu....?”
Mutiara Hitam mengangguk. “Mereka itu biarpun
mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan
berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh melakukannya juga,
tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh
kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku.”
Wajah Hauw Lam makin pucat. “Kalau begitu....
pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!”
Mutiara Hitam mengangguk. “Kalau benar dugaan
kita, begitulah. Maka kita harus lebih waspada lagi menjaga agar sepasang
pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu
menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminys sendiri agar tidak
menimbulkan malapetaka!”
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian
membentak dua orang muridnya agar tidur karena mereka itu masih mendengarkan
percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada keesokan
harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang guha itu dari
jauh dan berteriak.
“Mahendra! Aku tidak akan mencampuri
pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!”
Sunyi saja sepasang guha itu. Setelah Tang
Hauw Lam mengulangi pertanyaannya, terdengar suara Mahendra mengomel.
“Keparat! Dengan mengganggu samadhiku, engkau membikin aku ketinggalan sehari
oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!”
“Hanya tentang jeritan suara anak-anak
semalam....”
“Pek-kong-to! Kalau tidak melihat muka Mutiara
Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa kuanggap bahwa engkau mencampuri urusan
pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh engkau! Di dalam guha manusia
yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang tidak terdapat pada tubuh
mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah
logam ini dapat dicarikan! Apa lagi?”
Tang Hauw Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil.
“Sudah cukup!” katanya dan ia lari kembali ke guha di mana isterinya masih
duduk bersila dengan wajah yang muram.
“Benar sekali!” Hauw Lam berkata sambil
menjatuhkan diri dekat isterinya.
“Sungguh tidak kebetulan sekali kita yang
menemukan logam itu. Pedang sudah dibuat, sepasang pedang yang sifatnya jahat
sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita
harus membasmi pedang-pedang itu!”
“Benar, kita hanya menanti sampai sepasang
pedang itu jadi.”
Mulai hari itu, setiap hari terdengarlah
bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang guha, tanda bahwa dua orang India
itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua orang ini
memang aneh. Mereka sesungguhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu
saling berlumba tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlumba membuatkan
pedang untuk Mutiara Hitam, pedang yang sama bahannya, sama bentuknya pula.
Tentu saja mereka mulai berlumba untuk membuatkan pedang yang sebagus-bagusnya!
Memang cara mereka membuat pedang dari logam
putih itu amat menyeramkan. Setelah beberapa hari gagal membikin logam itu
mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik anak-anak
dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra menculik seorang anak
perempuan sedangkan Nila Dewi menculik seorang anak lakl-laki secara terpisah.
Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan Nila Dewl menculik anak laki-laki?
Sebetulnya keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra
mengira bahwa tentu Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun
menculik seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang “betina”
dengan menggunakan darah dan tubuh serorang anak perempuan. Demikian pula
dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu akan
membuat sebatang pedang “jantan” maka dia lalu membuat pedang “jantan” untuk
mengalahkan saingannya itu! Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak
mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang “betina” sedangkan Nila Dewi
membuat sepasang pedang “jantan”!
Anak yang mereka culik itu, mereka gantung
dengan kepala di bawah, kemudian mereka mengerat urat nadi untuk mengeluarkan
darah mereka. Dengan darah inilah logam itu “dicuci” dan direndam, kemudian
tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kwali besar untuk direbus
bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya,
setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini, logam
putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih tiga bulan kemudian, pagi-pagi
sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut mendengar suara beradunya senjata
yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali. Mereka cepat meloncat keluar
menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang mereka lihat? Mahendra dan Nila
Dewi sedang bertanding mati-matian mempergunakan dua batang pedang yang
mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar-nyambar. Dari jauh saja Mutiara
Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu merasai adanya getaran
pengaruh mujijat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat
indah buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara
Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Mahendra agak kecil
sedikit.
“Aihhh.... mengapa kalian? Jangan
berkelahi....!” Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai, akan
tetapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya
dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat
ke belakang.
“Jangan mencampuri!” Mahendra membentak.
“Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!”
“Manusia sombong! Pedang buatanku akan
menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu yang sombong!” Nila Dewi juga
menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.
“Cring-sing-tranggg....!” Bunga api
berhamburan menyilaukan mata dan kedua pedang itu terpental setiap kali
bertemu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
“Celaka...., tahan....!” Tang Hauw Lam berseru
dan meloncat maju dengan golok di tangan.
“Trang-trangggg.... aiihhh....!” Tang Hauw Lam
terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika goloknya tertangkis oleh dua
pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetok oleh dua tenaga bertentangan yang
amat kuat.
Mutiara Hitam juga menerjang maju, kini pedang
Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga ketika ia menerjang maju untuk memisahkan
dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan tetapi, kembali
sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali
telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mujijat
dan kerja sama yang mengherankan.
“Trak-trakkk!” Juga Mutiara Hitam menghadapi
kenyataan mujijat karena pedangnya yang jarang menemui tanding itu kini
tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang yang
sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata
kepada suaminya, “Kalau mereka sudah gila untuk saling bunuh, biarkanlah!”
Dan memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara
Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau dibiarkan, saling
menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau tidak dipisahkan,
mereka berdua membalik dan mengeroyok lawan yang mengganggu mereka! Tentu
saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk
menghentikan pertandingan mereka!
Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di
tempat itu dan dua orang anak ini memandang pertandingan dengan pandang mata
bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu. Selama ini kedua orang
murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara guru mereka tentang
sepasang pedang yang sedang dibuat secara aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra,
dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali memiliki pedang yang luar biasa
itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang itu jadi, melihat sinar pedang seperti
kilat, mereka makin kagum.
Pertandingan Nila Dewi dan Mahendra sudah
mencapai titik puncak yang berbahaya sekali. Mutiara Hitam dan suaminya
maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan roboh terluka, akan tetapi
karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis
berkerut.
“Cringggg!” sepasang pedang itu bertemu di
udara, tertolak keras dengan tiba-tiba
dan.... “Blesss....!
Blesss....!” pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya
pedang wanita itu menembus dada Mahendra. Keduanya terhuyung, melepaskan
pedang masing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh
terguling ke kanan kiri!
“Gila!” Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam
meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.
Mahendra memandang Mutiara Hitam dan tertawa!
“Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah rampung, Mutiara Hitam! Sepasang
Pedang Iblis! Disempurnakan dengan rendaman darah kami sendiri. Sepasang
Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!”
Nila Dewi terbelalak dan juga tertawa.
“Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam sepasang pedang ini. Sepasang
Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu bersaing....
ha-ha!”
Biarpun Mutiara Hitam dan Pek-kong-to adalah
suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak hal-hal aneh dan menyeramkan,
akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan
seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada
pedang “jantan” yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum
darah manusia, dan kepada pedang “betina” yang menancap di dada Nila Dewi.
“Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu?”
Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan perasaan jijik. “Tak enak
rasanya memegang kedua pedang itu.”
Mutiara Hitam mengangkat muka memandang
suaminya. “Apa? Engkau.... takut?”
Suaminya tersenyum. “Takut sih tidak,
hanya.... hemm, ngeri!” Ia memandang kepada dua mayat itu. “Sebaiknya kita
kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!”
“Tidak baik begitu!” Mutiara Hitam mencela.
“Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan kita. Kalau dikubur
kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?”
“Apa....? Kau sebatang dan aku sebatang?
Jangan-jangan setelah kita berdua masing-masing menyimpan sebatang, kita pun
akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka.” Hauw Lam menggeleng-geleng
kepala dan menggoyang-goyang tangan.
“Tahyul!” Mutiara Hitam mencela.“Memang mereka
ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan. Akan tetapi,
biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya.” Mutiara Hitam lalu
mencabut! sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua pedang
dan ke arah dada kedua buah mayat itu.
“Benar-benar Sepasang Pedang Iblis yang suka
minum darah.... !” Tang Hauw Lam berseru dengan muka pucat. Ternyata setelah
dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan dada
yang terluka dan ditembus podang itu pun tidak berdarah, seolah-olah semua
darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!
“Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan
harus disingkirkan!” Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba ia membentak
dua orang murid yang datang mandekat, “Ho, kalian mau apa?”
“Subo, berikan pedang betina kepada taecu!”
kata Ok Yan Hwa.
“Dan yang Jantan untuk teecu, Subo!” kata pula
Can Ji Kun.
Dua orang suami isteri itu saling pandang.
“Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?” Kemudian Mutiara Hitam berkata untuk
membantah sendiri ketahyulannya terhadap sifat sepasang pedang itu. “Karena
baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lubang-lubang dan hawa
panas oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya
menghisap.” Betapapun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti
sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan halus, bentuknya
sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang berbeda sedikit
besarnya. Ia mempertemukan ujung pedang yang runcing dan.... kedua pedang itu
tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba-tiba ada kekuatan aneh
yang membuat gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara
Hitam mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu
saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.
“Hemm, mengandung sembrani yang kuat....“
katanya perlahan. Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian
meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam
tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa kematian dua orang
India itu.
Tang Hauw Lam yang amat bijaksana dan amat
mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya berubah banyak
sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan. Isterinya sekarang
pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena sering
dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan melihat matanya
yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu secara
sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada suatu hari, selagi mereka beristirahat
di atas lereng dan mereka membiarkan dua orang murid bermain-main di padang
rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk
mendampingi isterinya dan berkata lirih.
“Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapakah?”
Kwi Lan yang seperti orang termenung itu,
menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, “Tidak apa-apa.”
Hauw Lam menghela napas, kemudian berkata
halus dan lirih. “Kita telah menjadi suami isteri selama belasan tahun, setiap
harl kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tubuhku
sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu. Engkau
membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian
saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat dari
getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar bahwa
pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen, melainkan bangsa Mongol.
Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak kembarmu,
bukan? Kedukaan yang membuat engkau menjadi dingin, tak pedulian, kejam....“
Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang
hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan menangis
tersedu-sedu. “Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko....?
Aihh.... l”
Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih
sayang dan membiarkan isterinya menangis sepuasnya untuk memberi jalan keluar
pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.
“Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau
tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bukan?”
Kembali Mutiara Hitam memandang suaminya
dengan muka basah air mata, sejenak sepasang matanya memandang penuh selidik.
Akan tetapi ketika ia melihat betapa suaminya memandang kepadanya penuh
pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.
“Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa
membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa men
jadl gila dikejar-kejar dendaml Aku..., aku
harus membalas dendam lnl, aku harus membunuh Raja Mongoll”
Tang Hauw Lam menarik napas, kemudian berkata
suaranya penuh kedukaan. “Aku mengerti, Isteriku. Biarpun keputusan hatimu Ini
sebenarnya jeliru, namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu betul apa
yang terjadi dalam hatimu.”
Mutiara Hitam merangkul suaminya. “Aihhh,
Lam-ko... selamanya engkau begini penuh pengertian terhadap aku, penuh kasih
sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh, lam-ko...
akan tetapi, kalau aku tldak membalas dendam kematlan kakakku, agaknya aku akan
menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu dlgoda bayangan Kakak
Talibu yang menuntut dlbalaskan kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa
selama beberapa malam ini... didatangi bayangan Kakak Talibu.... “ Mutiara
Hitam menangls lagi terisak-isak.
Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali.
Dia mengerti bahwa' memang ikatan batin dan
lkatan getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka Ia
mengeraskan hatinya dan bertanya.
“Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku dan
hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang katakanlah terus terang, apa yang
menjadi kehendak hatimu yang selama ini kautahan-tahan dan kautekan-tekan?”
Mutiara Hitam menyusut air matanya sampai
kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini seperti biasa, tenang dan
penuh kesungguhan. “Lam-ko, aku lngin pergi ke Mongol dan membunuh Raja
Mongoll”
Biarpun jantung Hauw Lam berdebar karena
maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh diri, namun ia
mengangguk dan berkata, “Balk sekali! Kapan kita berangkat, aku siap,
Isteriku.”
“Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan
membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang. kepadamu, Lamko. Aku harus
pergi sendiri!”
Berkerut sepasang alls Tang Hauw Lam ketika la
memandang tajam wajah lsterlnya. “Mengapa demikian, . Lan-mo1?”
“Ucusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini
merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan apI!”
Tang Hauw Lam tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha!
Mutiara Hitaml Apa kauklra aku lnl orang yang takut matl?”
“Jangan berkelakar. Lam-ko. Dalam urusan laln,
tentu saja aku leblh suka sehldup semati dl sampingmu. Akan tetapi urusan Ini
lain lagi, lnl merupakan urusan pclbadi bagiku dan aku tidak mau menarlk dirlmu
menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku ' juga menjadi korban
dalam urusan ini. Selain Itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan
murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap engkau suka memenuhi permohonanku
sekali ini, mati atau hidup aku aku akan berterima kasih sekali kepadam u.”
“Kwi Lan.... !” Hauw Lam menjadi kaget terharu
dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya tidak
main-main dan sudah mengambil keputusan tetap
yang takkan dapat dirubah lagi. .
Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh
kasih sayang. “Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagl aku
akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang
murid kita ke Gunung Merak dl sebelah utara kota raja Khitan, kaulngat tempat
yang dlsediakan untuk menjadi tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas?
Nah, kautunggulah aku dI sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kltabku,
juga Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesal tugasku di Mongol dan aku dapat
keluar dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., andaikata
aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kaupimpin balk-baik kedua orang
murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang
akhirat, Suamiku.”
“Lan-mol.... i” Sekali Ini . Hauw Lam yang
mencucurkan alr mata. Semalam ltu suaml lsteri ini mencurahkan kasih sayang
sepenuhnya karena mereka merase di dalam hati bahwa mungkin sekali
mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan
kali!
..Pada keesokan harinya, dengan mata bengkak
dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam
memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu menlnggalkan pesan.
“Aku mau pergi, mungkin lama sekali. Kalian
adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati semua perintah
suhu - kalian, belajar dengan tekun dan rajin sehingga kelak dapat menjadi
pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jangan
membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah
pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian, kalau sepergiku kalian tidak
menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan
kalau aku sudah mati, arwahku yang akan menghukum kalian. Mengerti?”
Dua orang murid itu menganggukangguk sambil
menangis sesenggukan karena mereka sudah mendengar bahwa
subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin
tidak kembalil Setelah berpelukan untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa
berkata-kata hanya sinar mata . mereka saja yang melepas seribu janji bahwa
dalam keadaan hidup ataupun matti mereka pastl akan saling berkumpul kembali,
Mutiara Hitam lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!
Tang Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya
disayat-sayat. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah
dari isterinya yang tercinta itu. Merantau ke negeri jauh berdua, menghadapi
bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka selalu berdua dan
bersatu hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang
amat berbahaya! Lemah seluruh tubuhnya dan kalau di situ tidak ada dua orang
muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini akan menangis
menggerunggerung.
Dia lalu mengajak kedua muridnya, mengumpulkan
kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang Iblis di pinggangnya,
kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju ke Bukit Merak di
Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam. Matahari seolah-olah
kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan keindahannya dan hatinya selalu
merasa kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan.
Namun ia tidak pernah mengeluh di depan kedua orang muridnya. Setelah tiba di
Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun,
akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang malam akan kembalinya
Mutiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur
karena kalau siang dia selalu menerawang ke jauh, kalau malam telinganya
seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus
sekali dan wajahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu
benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia
tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah? Masih hidupkah
isterinya? Ataukah sudah tewas?
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang
anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka ini adalah seorang yang
gembira selalu, tidak pernah marah, maka mereka itu amat manja terhadap
suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua orang
murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami isteri itu,
mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari Hauw Lam mereka
mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan, adapun
dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan tekanan agar rajin dan mengenal
disiplin. Kini setelah Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi
dan biarpun mereka masih tekun belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun
mereka itu kini sering kali bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru
mereka.
Hal ini adalah karena Tang Hauw Lam Juga sudah
seperti sebuah arca, kehilangan semangatnya sehingga dia pun tidak
mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu silat.
Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo
mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan melakukan tugas yang berbahaya
sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang ini selain
belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya Mutiara Hitam
yang amat diharap-harapkan.
***
“Mengapa Paduka tidak suka ikut bersama bibi
Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan ikut beliau, Paduka sama dengan ikut
orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat tinggi yang dimiliki
pendekar sakti Mutiara Hitam?” Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka
duduk beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.
Maya menarik napas panjang. Paman Khu, harap
jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya, aku bukanlah puteri Khitan aseli,
dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Mereka tidak mempunyai
keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah, maka aku
tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan
keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman Khu.”
Khu Tek San mengerutkan alisnya. Baru sekarang
ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi, anak sendiri ataukah anak angkat sama
saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan
kepada gurunya.
“Baiklah, Maya. Mulai sekarang, demi
keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai keponakanku. Marilah kita
melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu, adalah benteng
bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Setelah bertemu mereka,
perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang kuda.”
Berangkatlah mereka berdua dan karena biarpun
baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian lumayan, apalagi
setelah ia makan buah-buah merah yang biarpun kini khasiatnya sudah banyak
berkurang namun telah mempertinggi gin-kangnya, maka perjalanan itu dapat
dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah yang membuat
tubuh ringan itu hanya sementara, dan agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu
makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu ketahuan olehnya,
mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!
Mereka melewatkan malam di lereng bukit dan
pada keesokan harinya, sebelum tengah hari mereka telah tiba di daerah
penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia mengajak
Maya untuk mempercepat jalannya. Gembira hatinya akan bertemu dengan anak buah
pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi rekan-rekannya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan
penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat penjagaan, ia
segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa orang
panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap keren, bahkan seorang
panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.
“Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami
menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!” Panglima itu lalu memberi perintah
kepada anak buahnya. “Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!”
“Apa artinya ini....?” Khu Tek San hampir
tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri!
“Hemmm, Khu Tek San! Apakah engkau hendak
memberontak pula, melawan pasukan negara?” tanya panglima tinggi besar itu
dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka melakukan tugas
ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap, dengan wajah
murung.
“Aku tidak akan melawan. Silakan!” Khu Tek San
memberikan kedua lengannya yang segera dibelenggu dengan belenggu besi yang
kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San dengan mata terbelalak
tidak melawan ketika kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih
kecil. Hemm, agaknya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir
Khu Tek San. Kemudian ia memandang kepada tiga orang panglima itu dan berkata
lantang.
“Ong Ki Bu! Cong Hai dan engkau Kwee Tiang
Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian
adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal sepak
terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?”
Sejenak tiga orang panglima itu tidak menjawab
dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi besar itu, berkata,
“Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaat
perintah atasan! Engkau dituduh telah berkhianat terhadap negara, telah
menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri
Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena itu,
kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!”
“Apa....?” Khu Tek San membentak marah. “Aku
bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apapun juga! Akan tetapi, salah
atau tidak, seorang panglima baru akan menjalani hukuman setelah diperiksa di
pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui
pemeriksaan pengadilan?”
Kembali tiga orang panglima itu kelihatan
tidak enak sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara serak dan
terpaksa. Ong Ki Bu berkata, “Semua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San,
melainkan atas perintah.”
“Atas perintah siapa? Apakah Hong Siang
sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah dari Kaisar!”
“Kaisar tidak mengurus hal-hal ketentaraan di
perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?” jawab Ong Ki Bu yang agaknya
benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar segera
selasai. “Kalau engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah!”
Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan membaca dengan
suara lantang.
“Karena sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San
telah melakukan pengkhianatan terhadap negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan
Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal
batas, untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia
ditangkap!”
Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun
tidak kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan penasaran dan amarah.
“Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini, Ong-ciangkun?”
“Perintah atasan harus ditaati dan kiranya
tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah untuk menjalani
hukuman gantung,” Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buahnya dan
menunjuk ke depan. Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas
pohon bahkan telah tersedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang
telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan, tetapi ia mengenal betul
tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang gagah dan taat sehingga
tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mencelakakan dirinya. Yang benar
tentulah yang menjatuhkan perintah ini!
“Paman, kurasa ini pun hasil perbuatan
manusia bernama Siangkoan Lee itu....“ Tiba-tiba Maya berbisik. Anak ini sama
sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan
digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan
otaknya.
“Benar....! Kau benar....!” Panglima yang
gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di antara rantai belenggunya, berdiri
tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya
dan berkata dengan suara lantang.
“Aku Khu Tek San, sebagai, seorang panglima
yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan bunyi perintah dan
karena tidak diadakan pengadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri.
Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak
mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak disebut
untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas rekan yang baik,
sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam Liong!”
“Permintaanmu kuterima, Khu Tek San!”
Terdengar Ong-ciangkun mengguntur. “Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah menerima,
tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!”
Khu Tek San tersenyum dan wajahnya berseri
ketika ia memandang panglima tinggi besar itu. “Terima kasih! Terima kasih,
bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong, juga terima
kasih karena sikapmu ini membuktikan bahwa Panglima-panglima Sung masih
merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap
menerima hukuman!”
Khu Tek San melangkah maju menghampiri tali
gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak, bukan karena ngeri melainkan
karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!
Seorang perajurit yang menerima perintah,
sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke leher Khu Tek San,
kemudian ia mundur untuk menarik ujung tali dari belakang batang pohon bersama
tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka
lebar, siap menerima datangnya maut.
“Siaaappp!” terdengar aba-aba, lalu disusul
perintah untuk menarik ujung tali sehingga lubang gantungan akan menjerat leher
Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
“Krekkk!” Bukan tubuh Khu Tek San yang
tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba putus dan jatuh
ke bawah kaki Khu Tek San! Semua orang terheran lalu memandang ke atas dan
ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah duduk
menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi, Ong Ki
Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali melihat
betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di situ
terdapat banyak orang pandai!
Melihat, pemuda itu jelas datang hendak
menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang, karena hal
ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan melawan
perintah atasan, Maka ia berseru.
“Hei, Enghiong muda yang lancang! Harap jangan
mencampuri urusan. ketentaraan! Aku Khu Tek San dengan rela menjalani hukuman,
mengapa engkau gatal tangan mencampurinya?”
Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang
heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu tahun umurnya,
wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan biarpun
menghadapi pasukan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang saja.
“Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah
perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh kegagahan.
Akan tetapi, yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, melainkan hukum
rimba! Di mana ada aturannya seorang panglima yang sudah banyak jasanya
seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung di
dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang melakukan tugas rendah ini?”
“Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara
yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
hukuman ini. Engkau siapa?”
Pemuda itu melayang turun, gerakannya ringan
dan indah ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan tersenyum tenag!. “Aku
bernama Kam Han Ki....”
“Ohhh....!” Khu Tek San tak dapat
menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja ia
mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang semenjak
kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang tahu-taru
muncul dl situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani menentang
pasukan bala tentara Sung!
“Kami melaksanakan hukuman atas perintah
atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani mengatakan hukum
rimba?” Ong Ki Bu membentak marah.
“Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah
mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima adalah orang-orang gagah
perkasa seperti Khu-ciangkun, yang setia akan tugas dan melaksanakan perintah
atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kauperlihatkan,
atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu-ciangkun?
Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!”
Semua orang terkejut dan dengan muka merah saking
penasaran karena orang tidak mempercayai dirinya. Ong Ki Bu mengeluarkan
gulungan surat perintah dan membukanya di depan orang banyak sambil berseru
keras.
“Yang menjatuhkan perintah adalah Panglima
Besar Suma Kiat! Apakah masih tidak dipercaya lagi?”
“Hemm, hemm.... surat bisa dipalsukan. Dari
siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun?” Han Ki bertanya.
Ong-ciangkun melotot kepada Han Ki dan
membentak. “Orang muda, sudah puluhan tahun aku menjadi panglima! Apa kaukira
aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat perintah tulen atau palsu? Surat
ini tulen, apalagi yang membawa ke sini adalah murid dan pembantu Suma-goanswe
sendiri!”
“Di mana dia? Harap engkau suka memanggilnya!”
Han Ki mendesak.
Panglima itu menyuruh anak buahnya, akan
tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada. “Wah, dia.... dia sudah
pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!” Ong-ciangkun berkata heran.
Kam Han Ki lalu berkata, Ong-ciangkun,
Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah. Aku adalah adik
misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun adalah murid
dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari Menteri Kam Liong
yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Panglima Suma, harap kalian suka
mengindahkan perintahnya!” Han Ki mengeluarkan segulung surat pula.
Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu menerima dan
membaca surat perintah itu yang berbunyi :Menteri Kam Liong mengutus petugas
Kam Han Ki untuk menjemput dan memanggil pulang Panglima Khu Tek San ke kota
raja.
Wajah panglima tinggi besar itu berseri-seri
dan ia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Lega hatiku sekarang! Tentu saja aku lebih
mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah perintah beliau?
Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan perintah
Panglima Suma, tidak ada yang akan menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan Khu Tek
San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang
mengembalikan nyawamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu betapa tak senang hati
kami semua melaksanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang
kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?”
“Aku mengerti, Sahabat Ong, dan terima
kasih,” kata Khu Tek San dan setelah dilepas belenggu tangannya dan tangan
Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kam Han Ki sambil
berkata,
“Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih
atas bantuan Susiok (Paman Guru)!”
Kam Han Ki cepat mengangkat bangun orang yang
lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak misannya maka menjadi pula
murid keponakannya itu. “Khu-ciangkun harap jangan berlaku sungkan. Mari
kuantar ke kota raja bersama anak yang kautolong itu. Maya namanya, bukan?”
Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian,
kemudian menegur Khu Tek San.
“Paman Khu, dia masih begini muda, kenapa
Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak layak, membikin dia besar kepala
dan sombong saja!”
“Hushh, Maya, jangan berkata demikian! Dia
itu paman guruku!” kata Khu Tek San cepat-cepat.
“Hemm, aku berani bertaruh, kepandaiannya
tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?”
Khu Tek San merasa tidak enak sekali, dan Kam
Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan mata marah, akan tetapi ia pun
tidak berkata apa-apa, hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja yang
memaki, “Bocah nakal cerewet kau!”
Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San
dan para panglima, dia tidak mau cekcok dengan seorang anak perempuan! Maka
untuk menutupi kemendongkolan hatinya ia berkata, “Khu-ciangkun, harap engkau
suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa agar tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan yang jauh ke kota
raja.”
Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan dengan
suka hati para rekannya lalu mempersiapkan pakaian sipil untuk Khu Tek San,
bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka. Setelah berpamit dan
mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San, Kam Han Ki dan Maya
menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan.
Di sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas
pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa dia diutus oleh Menteri Kam
Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian
setelah menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi
bersama Maya.
“Aku mendengar cerita tentang Ciangkun dan
Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya. Hemm, ternyata hebat sekali
kakakku itu!” kata Han Ki. “Karena mendengar bahwa engkau telah pergi ke selatan,
maka aku cepat menyusul dan untung bahwa Kam-taijin telah waspada dan
membekali segulung surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku
harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan memaksa mereka melepaskanmu!”
“Memang telah terjadi hal-hal yang amat aneh.”
kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya, betapa kurirnya terbunuh oleh
orang yang bernama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa
rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong
Mutiara Hitam.
“Hebatnya, orang yang bernama Siangkoan Lee
itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk mencelakakanku! Akan tetapi....
hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia adalah murid
dan pembantu Suma-goanswe....” Khu Tek San mengakhiri ceritanya sambil
mengangguk-angguk.
“Kenapakah, Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe
musuhmu?” Han Ki bertanya.
Tek San menggeleng kepala. “Sesungguhnya bukan
aku yang mereka musuhi. Mereka memukul aku untuk melukai Suhu.”
“Ah, begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi
Menteri Kam? Mengapa?”
Kembali Tek San menggeleng kepala dan menarik
napas panjang. Hal itu adalah urusan keluarga, aku tidak berhak mencampuri.
Susiok tentu dapat bertanya kepada Suhu.”
“Keluarga Suma adalah keluarga Iblis! Tentu
saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman, Khu!” Maya yang
sejak tadi mendengarkan percakapan mereka, tiba-tiba berkata gemas.
Kam Han Ki yang masih marah kepada gadis
cilik, memandang dan berkata dengan suara dingin, “Huh, kau bocah tahu apa?”
Maya membalas pandangan Han Ki dengan mata
melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya, “Kalau aku bocah, apakah engkau
ini seorang kakek? Sombongnya, merasa diri sendiri paling tua dan paling
pandai!”
“Eh, Maya, jangan bersikap begitu kurang
ajarl” Khu Tek San cepat mencela bekas puteri Khitan itu. “Kam-susiok ini
adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti masih saudara misan dari
mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat,
memberi hormat dan minta maaf.”
Maya duduk di atas punggung kudanya, menoleh
ke arah Han Ki dan mencibirkan bibirnya! Akan tetapi karena ia tahu bahwa Khu
Tek San memandangnya dengan mata terbelalak marah, Ia lalu berkata, “Dia bukan
pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja
seperti kakek-kakek!”
“Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang
ajar seperti ini?” Khu Tek San membentak dengan muka merah.
“Paman Khu, aku tidak biasa bersikap
menjilat-jilat, apalagi terhadap seorang yang sombong seperti dia,”
“Maya!” Kembali Khu Tek San membentak, matanya
mengerling penuh kekhawatiran ke arah Han Ki.
“Sudahlah Khu-ciangkun. bocah seperti ini
memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah rusak karena terlalu dimanja,” Han
Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi sebenarnya pemuda ini merasa
betapa perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia menempiling kepala gadis
cilik yang menggemaskan itu.
Kedua pipi Maya menjadi merah saking marahnya
dan ia membusungkan dada menegakkan kepala ketika memandang Han Ki sambil
berkata, “Aku sudah rusak karena dimanja, ya? Dan kau sudah bobrok karena
sombong!”
“Maya!” Khu Tek San membentak marah. “Kenapa
sikapmu tiba-tiba berubah seperti ini? Engkau amat sopan dan hormat kepadaku,
mengapa kepada Kamsusiok....”
“Karena engkau seorang yang baik dan gagah,
Paman Khu. Dan dia ini.... hemm....”
“Dia pamanmu sendiri!” Khu Tek San
memperingatkan.
“Paman apa? Aku tidak mempunyai paman seperti
dia!”
“Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia
ini pamanmu sendiri!”
Maya mencibirkan bibirnya. “Aku pun bukan
puteri Raja Khitan....”
“Apa....?” Khu Tek San berseru heran, bahkan
Han Ki juga menoleh, memandang anak perempuan itu dengan alis berkerut. Memang
pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang
“terlalu” cantik jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu
galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
“Sesungguhnyalah, Paman Khu. Tadinya aku
tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk membuktikan bahwa aku
bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku sebenarnya bukan
Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanyalah seorang keponakan luar saja yang
diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah anak angkat saja!”
Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata,
“Biarpun demikian, berarti engkau adalah puteri Raja Khitan. Maya! Dan karena
itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia adalah
adik misan Raja Khitan! Selain itu, kalau tidak ada Kam-susiok ini, apakah,
kaukira kita dapat selamat?”
“Cukuplah, Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada
rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan menyusul rombongan
itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat di daerah sunyi ini,” kata Han
Ki.
“Baiklah, Susiok.” Khu Tek San lalu mengajak
Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan kudanya. Maya menurut dengan mulut
cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepada Han Ki semenjak pemuda
itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh, yang dianggapnya tidak
menaruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu
menyapu lewat begitu saja seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada
harganya untuk dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama sekali tidak
memperhatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!
Khu Tek San diam-diam merasa kagum sekali
ketika tak lama kemudian melihat bahwa benar-benar terdapat serombongan orang
di sebelah depan. Ia kagum akan ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi
susioknya itu. Hal ini saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu
memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!
Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati
rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di atas sebuah
kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah serombongan
piauwsu yang mengawal barang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari
tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias
lukisan sebatang golok dengan sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi
huruf “Gin-to Piauw-kiok” (Perusahaan Pengawal Golok Perak).
Melihat datangnya tiga orang penungang kuda,
tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada sudah menjaga kereta
dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik. Panglima she Khu
ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu “Golok Perak”, maka ia cepat
menjura dan berkata,
“Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke
manakah?”
Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika
mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun
tampak gagah perkasa, sedangkan Kam Han Ki biarpun membawa pedang di
punggungnya namun kelihatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut
menjadi anggauta perampok, apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka,
seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,
“Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to
Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk
istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke
manakah?”
Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja
mempergunakan nama “Istana kaisar” untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat
hendak merampok kereta, maka ia tersanyum dan berkata, “Harap Cu-wi tidak usah
khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi
menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata
dengan suara tegas, “Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena
sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan dari para
pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.”
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah
seorang panglima dan bahkan, seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di
kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya.
“Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan
tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan pembesar
mengirim sumbangan kepada Kaisar?”
***
“Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan
selatan!" Pimpinan piauwsui itu berseru heran. "Kota raja telah ramai
dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang di
antara puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan
menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada
Raja YucenT”
“Ouhhh....!”
“Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah.....”
Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya
dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda
itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya
tidak dikuasai Han Ki.
“Ahhh...., tidak apa-apa....“ Han Ki berkata,
ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar
keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya
berkeringat. “Mari.... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!”
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan
pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia
tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata,
“Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang
sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka
menyelamatkan barang-barang ini sampai ke istana. Sebaliknya kita melakukan
perjalanan bersama mereka.”
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak
ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk. Tujuh orang piauwsu itu girang
sekali ketika rmendengar pengakuaan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang
Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak
disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari
sepuluh orang itu.
Di sepanjang perjalanan, Maya mendapat
kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci
pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapap dia selalu
memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan
memperhatikan pemuda yang “dibencinya” itu sehingga delapan orang teman
seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu
menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat
perubahan hebat atas diri Han Ki. Pemuda itu kelihatan murung sekali dan
seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau
bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk
menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau
makan kalau tidak didesak-desak olehh Tek San yang juga merasa heran dan
khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu
malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah tidur, duduk melamun menggigit
kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat
kaki. Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh
lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka
sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain.
Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan
mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguhpun tak
permah ia dapat melihat air matanya.Memang amat berat penanggungan yang
diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak
dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya,
langsung memasuki jantung Menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya.
Hong Kwi, kekasihnya itu, akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan
wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya
menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia
seolah-olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis
biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia
akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia.
Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah
merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan
dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini, Hong Kwi sudah
dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen
sendiri! Bagaimana mungkin! ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya?
Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak
dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah berduka dan putus
harapan.
Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin
berduka, wajahnya selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati
Maya. Kini, melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati
gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan
terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han
Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun
panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begituu
bersedih den untuk bertanya, dia tidak berani. Sebagai seorang yang
berpengalarman, Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki,
kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak akan membuka
rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidaksenangan.
Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk
melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam
sebuah hutan yang bcsar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari
hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat
pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam
guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka
memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama
sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya
mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah
keluar dari guha dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk
melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setdah awan habis menimpa bumi
menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih memburu. Hawa udara malam itu amat
dingin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api
unggun di dalam guha. Namun, Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun
dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah
memiliki sin-kang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat
tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Blarpun sedang melamun dan semangatnya
seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat
Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Langkah yang
ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biarpun seluruh
urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala bahaya.
“Paman Han Ki....”
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga
sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan
panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam
perjalanan semenjak “percekcokan” mereka dahulu, gadis cantik itu tidak permah
menegurnya, bahkan tidak permah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang
pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang
manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan
memanggilnya paman!
“Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han
Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan
kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.
“Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja
namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!”Han Ki terkejut
dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis
cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak
kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti
bukan wajah manusia.
. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri
menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap, seorang puteranya,
dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus.
“Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan,
masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa
makanan itu, kaumakan sendiri!”
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu
akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia
kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang
melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan. Maya tidak menjadi marah! Tidak
melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan
terdengar ia berkata lirih.
“Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan
tidak tidur, wajahmu pucat tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu.
Mengapakah?”
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini
benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang
urusan yang, menjadi rahasia hatinya! Kalau
dia ingat
bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan,
tentu sudah ditamparnya!
“Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan
tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya dengan dirimu!” la membentak lirih
agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam guha.
“Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang
aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka
atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah terjadi
merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti
lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita
bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dengan duka, atau
dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah
kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap
dipandang! Daripada menangis, lebih baik tertawa! Daripada berduka, lebih
baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”
Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya
disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan mulut
termganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan
Maya.
“Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah
berpendapat sedalam itu??”
Maya tersenyum, girang mellhat betapa
ucapannya scolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. “Aku hanya mendengar
wejangan mendiang Ayah.... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu
menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku
telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang
kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak permah kukenal, telah
gugur semua. Kerajaan Khitan hancur, semua milikku, semua keluargaku,
terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat daripada yang kualami?
Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku
berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata
darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup lagi. Maka,
perlu apa menangis?”
Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan
teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya.
Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar-benar
telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba-tiba ia memegang
pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil
tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah
mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak
manis! Terima kasih banyak!”
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua
kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!”
Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya.
Benar-benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap
seperti orang dewasa!
“Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki.
Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!”
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum,
menerima mangkok itu dan makan dengan lahapnya. Maya pergi dari situ dan
kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki.
Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat
membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya
sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan
tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekatnya, memandang wajahnya
sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh
dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam guha untuk tidur ditemani
Khu Tek San.
Semenjak malam itu, Han K! dapat menguasai
dirinva lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dengan kebutuhan
tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi,
tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dengan Maya menjadi baik dan bahkan akrab,
sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han Ki menceritakan
pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau kadang-kadang
memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi, tak mungkin dia dapat melupakan
hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan
dikawinkan dengan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, Mau tidak mau
Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan
ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah melakukan
perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar
disebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai
daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok
ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dengan daerah
utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan para
piauwsu. Para piauwsu itu tertawa dan berkata, “Setelah kami ditemani oleh
Khu-ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to
Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh
kebetulan sekali kami bertemu dengan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan
kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan
barang kawalan kami, dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun, dapat
sama-sama kita lindungi!”
Mendengar ini, Khu Tek San hanya
mengangguk-angguk, di hatinya merasa geli karena ia tahu bahwa para piauwsu ini
memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut
dilindungi! Han Ki yang berada agak jauh dari mereka, dengan pendengarannya
yang tajam sekali, juga mendengar kata-kata permimpin piauwsu, akan tetapi dia
tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dengan Maya sambil menjalankan kuda
perlahan-lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba
di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan-lengkingan
panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan
kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa
suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan
golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka
terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari. Tangan kiri
bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua
kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar mata mereka bergerak-gerak
mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda,
Khu Tek San juga. meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir,
mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa
kudanya ke kanan. meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon,
menunduk. Maya memandang tegang kepada para piauwsu gadis cilik ini pun maklum
bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda,
mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh
dari Han Ki, jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana
sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi, dia kecewa rmelihat Han Ki
sama sekali tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya
seperti orang mengantuk!
Suara suitan melengking makin berisik dan
dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang
laki-laki berjubah berwarna merah, mukanya brewok dan
matanya lebar
dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua
memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin
itu sendiri tidak bertopi, rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan kalau
semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini
bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para
perampok, segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa,
melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia
tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang
kini telah menjadi gerombolan perampok. Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka
sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang
melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah
berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang
terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian
dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan perampok yang ganas.
“Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga
yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus!
Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah
segerobak harta!” Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak.
Permimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan
berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu Gin-to Piauwkiok yang
selamanya tidak permah bentrok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami
tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar
lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami
dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang mermimpin rombongan ini dan
namaku adalah Chi Kan.”
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek
akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya bertolak pinggang. la
mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar
melirik-lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang. 1
“Bagus!Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat
menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak
tahu Kebaikan
orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian
asal kalian
meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di
tukar
dengan segerobak
benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan
bagi kalian,bukan?”
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang
sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, permimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya.
Dengan sikap gagah ia berkata, “Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan
keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami
mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.”
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan
mukanya ke langit. “Ha-ha-ha! Pantas kalau kalian belum mengenalku, memang
perang dan kekacauan yang merobah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira
pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!”
“Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai
seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau
mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini
adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan
puteri Kaisar dengan Raja Yucen!” kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama
Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang Kerait itu tanpa
pertempuran.
Akan tetapi, permimpin rombongan piauwski ini
kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak mendengar ucapannya dan
menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan
Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak itu dan gadis cilik
itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!”
“Perampok busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali
dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si
Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.
Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa
miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis ke arah sinar
putih itu dengan jari terbuka.
“Krekkk!!”
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru
kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia
adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja
orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan
kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju
dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok
atau pedang!
“Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani
membantah perintahku?” orang brewok itu berkata sambil tertawa. “Aku adalah
Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!”
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi
mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan
melindunginya dengan nyawa mereka. Adapun Khu Tek San yang menyaksikan
kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya,
teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar
narma ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa.
la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu,
maka ia meloncat maju dan membentak
“Manusia sombong, akulah lawanmu!” Sambil
meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh,
yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi
ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni
kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu
silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (1lmu Pedang Delapan Dewa) dan Ilmu Silat
Lo-hai San-hoat (11mu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu
yang hebat-hebat dan sukar dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam
ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai
San-hoat.
Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukanlah ilmu
sembarangan. Biarpun hanya dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu
lebih berbahaya daripada senjata tajam yang bagaimanapun juga. Gagang dan batang-batang
kipas itu merupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya,
sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang
mengacaukan lawan. Terbuka maupun tertutup kipas itu dapat menjadi alat
penyerang maupun penangkis yang ampuh, apalagi kalau dimmainkan oleh seorang
ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar,
Ganya berseru kaget dan sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti
akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak
berani menangkis hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri
menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis
kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan
mantap tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar. Melihat
cara lawan mengelak dan balas menyerang. Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia
maklum bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya
dengan permutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok
telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan
menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.
“Dukkk!” Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya
yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan
kir lawan. Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga
sin-kang bertemu, membuat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang
terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San mermandang kagum. Jarang ada orang
yang dapat mengimbangi tenaga sin-kangnya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak
kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang
amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah
bertanding anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut oleh
Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil
terjadi dengan ramainya, senjata tajam berdencingan bertemu lawan,
teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki
mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah
Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan
gerakannya armat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat
betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi,
malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya,
duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang
saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya
setelah perjalanan mendekati kota raja.
“Eh, kenapa engkau malah melamun saja?” Maya
yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya.
“Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para
piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi.
Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San
dan Ganya. Pada saat itu, seorang anggauta perampok yang agaknya ingin membantu
pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang, kena di,sambar dadanya oleh
ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan
merintih-rintih.
“Khu-Ciangkun tidak akan kalah!” kata Han Ki
setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput.
Memang di dalam hatinya, pemuda ini merasa enggan untuk membantu para Piauwsu
menghadapi perampok-pcrampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang
akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan.... Sung Hong
Kwi, kekasihnya! Karena itu, dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para
perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundaknya. “Han Ki,
lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!”
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian
daripada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang-barang
berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari kita
naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!”
Kini lima orang perampok tinggi besar sambil
tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap
melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah,
menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok.
Akibatnya hebat! Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya. itu roboh
berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu
menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih pedih
panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh
orang perampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan
yang menggenggam pasir. Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang perampok
roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan
bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi
desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-perampok itu sudah
roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya
tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan
mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah.
Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya
terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak
anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia
dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya
orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi
daripada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya
gentar, Khu Tek San dapat melihat “lowongan” dan memasuki lowongan itu dengan
pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan
tetapi terlambat.
“Krekk!” Tulang pundak kiri kepala perampok
ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak
buahnya untuk mundur! Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah
perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan
diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh-aduh dan bergulingan
di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok
pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua
belas orang perampok bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan
golok-golok perak mereka untuk membunuh.
“Cring-cring-cring.... !” Para piauwsu
terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka
telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat
mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka
tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan
kini pemuda itu bangkit berdiri.
“Para piauwsu harap jangan melakukan
permbunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan
perjalanan, mengapa mau
membunuh orang?”
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan
membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan
Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami
bunuh? Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu
akan menimbulkan malapetaka kepada orang lain,”
Han Ki menggeleng kepala. “Belum tentu,
Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan perampok
dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka
tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang
jahat, kalau saja Kaisar Sung
tidak menikahkan
puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-barang berharga ke kota
raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi
perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak
memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran,
Khu Tek San segera berkata,
“Cu-wi Piauwsu harap jangan banyak membentak
lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa
kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka
yang terluka ini!'
Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan
Khu Tek San, maka biarpun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun
menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak
banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua
menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan
main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah
itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara
besar-besaran! Namun, keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin
perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan
kertas-kertas berwarna warna! itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas
kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong
Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih rombongan
piauwsu memisahkan diri, Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung
menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima
kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
“Suhu..... !” Khu Tek San berlutut memberi
hormat kepada gurunya. Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi
dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang berpakaian seperti
pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh
wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang
iblis dari India kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia
disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang mendongnya! Jadi kakek
inilah guru penolongnya? Dan kakek inilah saudara tua Raja Khitan, ayah
angkatnya?
“Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan
selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan
tetapi anak perempuan ini.... siapakah dia?” Menteri Kam Liong memang tidak
ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra,
sehingga kini tidak mengenal Maya. Apalagi dahulu ia hanya melihat wajah anak
yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
“Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami
kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat
lihai. Adapun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu
Khitan.”
Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya.
“Aiihhh....! Kasihan sekali engkau Anakku....!” Kam Liong turun dari
bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. “Aku
adalah uwamu sendiri, Maya.” .
Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia
memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya kepada
Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian
tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan
melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini!
“Tidak, aku tidak mempunyai uwa tidak
mempunyai saudara atau keluarga., Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku
pun bukan puteri Raja Khitan hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak
mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.”
“Maya....!” Khu Tek San menegur kaget dan
marah. Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan
tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa
hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka
ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur
dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum.
Biarpun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu
Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan
Mutiara Hitam karena mermiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa
Mutiara Hitam, adik tirinya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan
sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, “Kalau Suhu memperbolehkan,
biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main
dengan anak teecu Siauw Bwee.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk.
“Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya?
Apakah ingin tinggal di sini bersama uwakmu?”
“Aku ingin tinggal bersama Paman Khu” jawab
Maya tegas.
“Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu,
Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini
karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki”
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya
keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun
memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula
bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang
cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng,
melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua
menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.
Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini
penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera
bertemu dengan anak isterinya, menggandeng tangan Maya dan setengah berlari
memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik
dan scorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
“Ayahhh....!” Anak perempuan yang usianya
lebih muda dua tahun daripada Maya itu dengan sikap manja lari menghampiri
ayahnya. Tek San tertawa, disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi
lalu dipeluk dan dicium pipinya.
“Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini
besar sekarang” Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh
kerinduan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang
anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra
mewakili tubuh mereka.
“Maya, inilah bibimu!” kata Tek San yang
melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu
Khitan.”
“Aihhh....!” Isteri Khu-ciangkun menghampiri
dan mengelus rambut kepala Maya. Anak ini menahan-nahan air matanya yang
hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw
Bwee disambut
mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu
pun ayahnya Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia, tidak
punya siapa-siapa! Setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya, dia menjadi
makin terharu.
“Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah
dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cicimu, Maya.”
Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya.
Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan
memegang tangannya. “Enci Maya....!”
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan
suka seKali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak
Siauw Bwee dan berkata,
“Adik Siauw Bwee....!”
“Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di
kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya
seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak
dan menjendol keluar di atas selalu memandang langit!” Dua orang anak perempuan
itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah
suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat
menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman dan tanpa
berkata-kata. Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu
kemudian mereka berdua berjalan-jalan memasuki kamar.
Tak lama kemudian, Khu Tek San sudah kembali
ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan
lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang
peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian.” Menteri Kam berkata setelah
muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!”
Khu Tek San mengangguk-angguk. “Suhu, kalau
tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee
terhadap teecu, hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?”
Menteri itu menghela napas panjang dan
mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat
melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia
telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku
di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar
masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan
siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan membahayakan.”
“Siasat apalagi, Suhu?” tanya Khu Tek San
dengan kening berkerut dan hati
khawatir. Mempunyai
seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena
selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma
Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan
menteri-menteri yang tidak setia.
“Dia berhasil membujuk Kaisar untuk
menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!” Menteri tua itu
menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.
“Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita,
Suhu?”
“Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat
cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan-lawan dan
musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal
untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen
marah-marah karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada
Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi matamata di
Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa-jasa baiknya untuk
mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku!
Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yuceng kemudian membujuk Kaisar
agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja
Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!”
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang
dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya mellhat
pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki
yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan
hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek
San, maka ia lalu berkata tenang.
“Karenaengkau merupakan orang sendiri, kiranya
Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri
Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki.
Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata
telah didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru
mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya,
hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui
Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya
yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah
saudara sepupuku!”
“Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap
Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu?”
tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus jenggot dan menghela napas
panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya dengan sinar mata penuh
pertanyaan. “Memang begitulah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian
keluarga. Ibunya bermama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu
Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song
pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih
misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang keluarga Suma memang
selalu memusuhi keluarga Kami Sungguh menyedihkan kalau diingat.”
“Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?”
Menteri itu menggerakkan pundaknya. bagaimana
baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangannya. Kota raja
sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok
akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara
sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir
pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar
berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi
ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan
baik, setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani
bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti
mereka itu masih mendendam dan tidak mempunnyai iktikad baik terhadap Kerajaan
Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung
itu, Han Ki, sebagai pengawalku.”
Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan
mereka, namun di dalam hatinya, Han Ki merasa makin berduka, Dia harus hadir
dalam perjamuan menyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi
dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin!
“Enci Maya, aku sudah minta perkenan
Ayah,akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana
untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar
sendiri dan para menteri,
para thaikam
dan orang-orang besar saja. “Anak-anak mana boleh turut?” Khu Siauw Bwee berkata
dengan muka kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan
ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek
San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak perempuan yang
cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa
dia memiliki kecerdikan, sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya
pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu
silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat ketajaman otaknya, biarpun
masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan
dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya tidak rasa kecewa hatinya ketika
mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat
bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya juga ingin sekali
melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri-puteri istana yang
kabarnya cantik-cantik seperti bidadari.”
“Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka?
Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik daripada engkau, Enci Maya.
Engkau barulah boleh disebut seorang gadis yang cantik!” Siauw Bwee berkata
sungguh-sungguh sambil memandang wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.
“Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku.
Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja, maka sekarang,
melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin menonton keramaian
sungguh-sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau
kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan
dapat bergembira sekali dan....hemm, kaudengar baik-baik....! Maya lalu
berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya
terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?”
Dengan ibu jari tangah kanannya, Maya menuding
dadanya sendiri. “Akulah yang akan bertanggung jawab,jangan engkau khawatir!”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, kedua orang
anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Terdengar mereka
berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.
Apa yang menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia
menceritakan kepada Muridnya memang tepat. Peristiwa yangg menimpa diri Khu
Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata-mata kemudian
tertangkapnya oleh rekan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat
perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang
Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan
kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas. Ketika ia mendapat laporan dari
Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam,
kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka
diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu
membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di
antara puteri selirnya.
“Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai
bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka
menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga
keuntungan,” demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang
didukung oleh para thaikam.
“Tiga keuntungan yang bagaimana engkau
maksudkan?” Kaisar bertanya.
“Pertama, puteri Paduka akan terangkat
sebagai seorang Junjungan yang dihormati di Yucen dan mengingat akan keadaan
Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat
menjadi permaisuri. Ke dua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka,
mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka
mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi daripada Raja Yucen. Kemudian
ke tiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung,
bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”
Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan
rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia
ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya
mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu dan karenanya ingin pula ia
menghantam Menteri Kam melalui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali, ikatan jodoh
diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu.
Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak
mantu, apalagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen
sehingga hal ini dapat diartikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara
bahaya serbuan musuh-musuhnya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat
sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah, untuk
menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan yang
memang di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena
biasa mereka itu makan minum sambil duduk di lantai menghadapi bangku kecil
terdapat makanan. Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh
guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar-jajar menghadapi bangku masing-masing
merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama
menteri-menteri yang berkedudukan tinggi, hadir dalam perjamuan itu, di
antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki
pengawal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting
lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan
dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup
tinggi, hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi-kursi
berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini
hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan menonton pesta
orang-orang besar di ruangan dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira
karena pihak tamu maupun dari pihak tuan rumah berkali-kali diadakan
penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan
masing-masing pihak, di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan,
terjadi sedikit keributan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut
mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah
tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka
menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan
memaki-maki.
“Kalian ini serombongan pengawal berani
menolak seorang panglima? Aku, adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak
boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian
ingin dipecat dan dihukum?” Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin pengawal menjadi gugup akan tetapi
berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba.... tidak mengenal
Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun?”
“Goblok! Mana mungkin kallan dapat mengenal
semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota? Cukup
kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkatnya yang kupakai! Awas,
aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!”
Mendengar disebutnya Menteri Kam, para
pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan panglima muda itu memasuki
ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke
ruangan dalam ikut menyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling
pandang, kemudian mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan
hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh
jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti
Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali
lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang
duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang lain, panglima itu
sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat
memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai
seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini
sejak kecil digembleng limu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar
bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee
sehingga tubuh mereka yang bersambung ini setelah ditutup pakaian Khu Tek San
berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan
sekali, wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabuhi penjagaan
terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar
panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak
perempuan yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di bagian paling
depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang
menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis
cilik dekat mereka, menjadi heran dan ada yang menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai
agak gelisah. “Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku
adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka
dan ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”
Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik.
Sekecil itu dia sudah dapat “berdiplomasi” dan menggunakan kata-kata yang
menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada scorang pun di antara
mereka berani menyatakan keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal,
apalagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira karena
dua orang bocah itu biarpun masih keeil, merupakan “pemandangan” yang menarik
dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah
mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani.
Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar, bersikap tenang saja dan beberapa
kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan
Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan
tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik-bisik,
kelihatannya akrab sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai
pengawal tidak bergerak seperti arca, akan tetapi sinar matanya kadang-kadang
layu kadang-kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu
Tek San juga duduk dengan tenang.
Tiba-tiba panglima besar Kerajaan Yucen yang
bertubuh tinggi besar, bercambang bauk, matanya tajam dan sikapnya gagah
sekali, berpakaian perang yang megah mewah, mengangkat tangan ke atas dan
memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ke arah Kaisar, suaranya
terdengar garang dan keren,
“Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada
Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan
setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita
rasakan bersama, akibat perbuatan seorang Menteri Sung yang tidak patut
terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen, sama sekali
tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang
keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah-olah lebih
berkuasa daripada kaisarnya sendiri!”
Semua yang hadir menahan napas, menghentikan
percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu
menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimaksudkan oleh
panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak,
akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang saja.
***
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar
ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat.
Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, "Tai-ciangkun
dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah
Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk
secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para
menteri di sini menjadi tidak enak.”
“Ha-ha-ha,
Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami
maksudkan adalah Menteri Kam Liong, yang telah melakukan perbuatan tidak patut
sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami
untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung
Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik
Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?”
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali
dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu
saja menyetujui akan penyelundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat
memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak
seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan terdengar suaranya
nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah mencari
pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!”
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya
seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini, dan seorang
pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar, sudah
menghadang ke depan dan melintangkan tombaknya memandang panglima tinggikurus
itu.
“Eh, eh, mau apa engkau?” Panglima tinggi
kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat. Pengawal
itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat
menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus
itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika
tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan
yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
“Buk-buk....!” Pukulan-pukulan aneh yang
keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak
menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak
seperti kaki tangan itu? Biarpun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si
Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yocen dan guru negara marah
sekali. Mereka sudah bangkit memandang panglima berdiri dan Koksu (Guru Negara)
Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
“Beginikah caranya menerma utusan kerajaan
calon besan?”
Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih
terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang
aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan
sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus
itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di
depan Kaisar.
“Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan
mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap
dipertahankan.”
Kaisar mengangguk.
“Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap
suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak
menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan.
Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya
akan memberi penjelasan.”
“Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak
melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin
malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.
“Pertanyaan yang tepat!” Panglima Besar Yucen
berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil?
Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!”
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu
bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya
meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun
kepada Hong-siang!”
Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun
terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang
kuat. Berbareng dengar robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan
membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua
orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas
saja tadi dari “perut” panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari
dalam jubah! Maya, segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu
semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan
penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri
Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan
tatasusila istana, dermikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang
panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan
untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para
pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang
berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
“Siauw Bwee.... !” Khu Tek San menegur dan
biarpun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa
ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat. Akan
tetapi Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua
orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini
sayalah yang bertanggung jawab!”
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat
sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam,
Kaisar bertanya.
“Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah
anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini
adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek
San.”
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas,pikirnya. Dia
sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari
Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu.
Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek
San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia,
berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil
tertawa Kaisar berkata.
“Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan
lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu
ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk
menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah
appel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi
pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian
sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan
yang penting ini.”
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong.
Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat
memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan
ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee
pergi, sungguhpun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran,
terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak
perempuan itu.
Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung
telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan
mendapat malu. Betapapun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang
pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan
nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda
kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata
dengan suara lantang.
“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum
menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil
yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang
menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami
mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan.
Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau
mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan
muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap
tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat
disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus
murid saya dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San untuk menyelundup ke
Yucen dan menjadl panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan
mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah
hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim
penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga, dan biarpun
secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari
Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku
sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya
memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa
mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain
terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”
Panglima Besar Yucen tertawa. “Kiranya
Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah
Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara
menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah
ada dan pemerintahannya berjalan terus, seperti ini. Perlu apa diselidiki
lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan
dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada
beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kamtaijin
juga akan menyelidiki bola besiku ini!” Sambil tertawa Panglima Yucen itu
melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan
kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke
kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!
Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya
tenaga sin-kang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi
khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang
memandang dengan wajah t1dak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa
permainan sin-kang seperti itu hanya merupakan permainan kanakkanak bagi
gurunya.
Memang dermiklanlah Menteri Kam Liong bersikap
tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia
menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya,
dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati
bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang
membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola
besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi,
akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih
dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan
keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan?
Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama
melihat apa isi bola -besi ini sesungguhnya!”
Setelah berkata demikian, kipas di tangan
kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola
besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat
malang-melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah
jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima
tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan
potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi,
sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan?
Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami
lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali,
matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang
diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga
sin-kang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara
Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata.
“Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan
keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang
urusan kecil itu selagi urusan besar masih belurm dibicarakan selesai.” Ucapan
ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari
pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari
nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana,
pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar.
Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa
amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu
dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik
sepupunya Itu. Kalau ia, pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang
terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall. Kerajaan Khitan hancur,
adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk,
kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam
menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak
muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi
keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang
bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina. Makin menyesal lagi kalau ia
memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani
para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya.
Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan
ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak
ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya,
Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat
adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu
memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.
***
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah
perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana....?” Dalam perjalanan pulang
bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw
Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kausebut
Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah,
“Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau
Susiok-kong?”
“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau
disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua
ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya
terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada
seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku
disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah
kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki
Koko.” Maya berseru girang.
“Koko, engkau kelihatan begini berduka,
apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir
kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan
kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak.
Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh
lawan. Aku tidak khawatir....”
“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram?
Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?”
Maya mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur,
patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!”
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia
membentak, “Engkau tahu apa?”
Maya tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia
hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!”
Han Ki terkejut sekali, menghentikan
langkahnya dan menghardik. “Maya! Dari mana kautahu??” Siauw Bwee juga
memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan
oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
“Dari mana aku tahu tidak menjadi soal
penting” Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang
hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar
jendela kamar! “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau
begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur
perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan keluar yang Menguntungkan? Mengapa
kau begini lemah, Koko?”
Han Ki terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa
maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!”
“Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah
seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguhpun aku belum yakin
benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu
untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu
seperti yang ku.... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat
bersamamu daripada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!”
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak,
terheran-heran akan tetapi harus ia akui bahwa “nasihat” Maya itu cocok benar
dengan isi hatinya! “Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar
pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”
Maya bertolak pinggang. “Koko engkau memang
orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa
pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum
terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa
pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kautemani?
Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan, Adik Siauw Bwee?”
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas
panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan
jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan
Maya. Bocah ini memang liar!” Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat
meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
“Awas dia! Kalau bertemu lagi denganku!” Maya
membanting-banting kaki dengan gemas.
“Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?”
Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.
“Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya
mendengus marah. “Mari kita pergi, Siauw Bwee.”
Malam telah larut dan sunyi sekali di
sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar
penghuni kota raja sudah tidur nyenyak.
Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang
panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran
besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang
sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali, akan tetapi
ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi
terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang
hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan
berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu. Akan
tetapi kakek itu tertawa dan berkata,
“Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo
ikut bersama kami!”
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek
itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia
sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee
juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia
sudah dapat cepat menyusul gerakan Mayaq mengirim pukulan ke arah perut kakek
itu.
“Buk! Bukk!” Kakek itu sama sekali tidak
mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw
Bwee berseru kaget karena larmbung dan perut yang mereka pukul, itu seperti
bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak,
kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas.
Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw
Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan Siauw Bwee
terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang
menuju ke sungai yang armat dalam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka disambar
tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan telah menanti dua orang
laki-laki diatas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh mereka.
“Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar
Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. “Dia merupakan
hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Haha-ha!”
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang
karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka
tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam
gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat melihat muka. dua orang laki-laki
itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu
kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap
saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh
kemarahan.
Setelah malam berganti pagi, barulah kedua
orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang
menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut
penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.
“Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang
baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu
koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”
Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih
empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung
mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di
antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,
“Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang
dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian
ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.”
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia
memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan
sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin
berani dan berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la
berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata, “Heran
sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini mermbantu
kerajaan asing?”
“Kau anak kecil tahu apa!!” Tiba-tiba orang ke
dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki
yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa
sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang
menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
“Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu
betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan
menentang yang lalim.” Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata “Hemm, kulihat
engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit
hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami
terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi permerintah Sung? Pula,
kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian
tinggi, sehingga tidaklah meMalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi
kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”
Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia
rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek “Hemm... bicara
tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani
melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian
ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu
membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut
kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”
Maya memang pandai sekali bicara dan amat
cerdik. Kata-katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih tajam daripada
golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.
“Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!”
bentak yang bermuka kuning.
“Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada
kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku
percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.”
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang
berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee
menjadi putus. “Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?” tanyanya
menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan
menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. “Terima kasih,” kata
Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin karmi dapat menang.”
“Kami pun tidak suka, membelenggu kalian dua
orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau
sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan,
tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi. Itulah sebabnya kami
membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!”
Maya mengangguk-angguk. “Ahh, sekarang aku
percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan
nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami
akan kaubawa ke manakah?”
“Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,”
kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu,
akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan
hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian
pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat
berharga karena kalian dijadikan surmbangan oleh Koksu, diberikan kepada
seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”
“Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang
anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami
tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja
merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.
“Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau
kita sudah tiba di istana” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan
keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan
dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap
saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami
berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.”
“Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau
kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?”
Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih
pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, “Agaknya kedua Paman tidak tahu
siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kallan berdua tidak akan lancang menawan
kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.”
Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh
perhatian. “Siapakah kalian ini?”
“Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San
yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri
Raja Khitan!” Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari
Maya yang hendak mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali, saling
pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.
“Kami hanya melakukan perintah!” Dengan
kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu, kedua
orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan
dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan
Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah
Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka
mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah
melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah
pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat
penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok
lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang
pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya
menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di
dusun itu. Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa bengcu
(Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin
rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat
lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya.
Coa-bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah
menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini
hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan
perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi
sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh
di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari
ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan
kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu
Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan
mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu
amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki maupun perempuan, terutama
yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid
atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah
seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan
barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biarpun mengadakan perlawanan
gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan
Im-yang-kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang menentang permerintah
pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari
Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur, untuk belasan
tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga
kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat
tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas,
menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin
besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah sebutannya
Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal
Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-vang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan
tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah,
bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang
armat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama
pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu
diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri, telah berada di
ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga
para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan
sumbangan-sumbangan. Isteri Bengoi, seorang wanita yang usianya setengah dari
usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, cantik dan sikapnya gagah pula
karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan melainkan seorang murid
Hoasan-pai, duduk di samping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga
menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari
dua golongan itu. Adapun putera tunggal Coabengcu yang bermama Coa Kiong,
seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu, yang
sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan
yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang
dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas
kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh
anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudipemudi yang tampan-tampan
dan cantik-cantik serta memiliki gerakan vang cekatan sekali.
Biarpun di antara para tamu itu terdapat
banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa
melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap
pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena sermua orang maklum
belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coabengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba
indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat
dari batu-batu kermala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada
pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum
mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar
biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan
bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,
“Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena
itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda
berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”
Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, Tho-te-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima
kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan
sumbangan itu kepada Puteraku.”
Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera
melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan
rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
“Karena sumbanganku ini tidak berharga dan
lain daripada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu
dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya
mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu.
Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan
marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan
tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu
terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
“Apa.... apa maksudmu ini?” Coa Kiong
membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya
terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,“Ha-ha-ha!
Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai
harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala
Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas
laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu
dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!”
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong
sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malalkat
Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira She Bhe yang
berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya
seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa
mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee
tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat
dan berkata,
“Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen
untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan
sumbangannya.”
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang
kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya
dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa
kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, “Mereka
menanti jawaban!”
Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa
bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada. “Ha-ha-ha,sungguh Pek-mau
Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara
masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar
menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima
kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau
Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia
bukan main?”
“Sumbangan atau hadiah yang harus kami
sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!” Kata Si Tahi
Lalat. Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena
mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap
berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak
hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
“Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua. orang
anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bermama
Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khtan, sedangkan yang lebih kecil
bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di
Kerajaan Sung!”
Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini,
dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi
makin berseri penuh kagum. “Sungguh merupakan hadiah yang tak termilai harganya!”
katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja
Khitan....? Puteri Panglima Khu....?”
Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil
berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she
Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San
ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah
Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
“Puteri Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba
seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata
terbelalak marah.
“Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu
cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di kalangan kamil”
Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya
kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya.
Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan
julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia
amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari
seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di
antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
“Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu
Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain
putera Suling Emas pula!” teriak yang lain.
“Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan
kepada saya!” teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak
sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu
setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee
adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat
kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh.
Setelah suasana meredap terdengarlah suaranya lantang, “Aku mengerti apa yang
terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang
anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku
dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa
bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku
menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang
menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap
benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat
memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!” Memang Coa-bengcu ini
orangnya cerdik sekali. Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh,
namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia
harus menganadalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih
maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis
cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan
murid-muridnya perempuan yang manapun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu
dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para tamunya. Kalau dia, berikan
begitu saja, selain dia, merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa
sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian,
masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa
menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
“Apakah yang Bengcu maksudkan dengan
sayembara?” Beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan
dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi?
Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu
sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki
dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali
dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak
sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong
dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini
tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka?
Setujukah Cu-wi sekalian?”
“Setuju! Akur! Tepat sekali!” Para tamu
berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee.
Adapun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau
putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak
perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dendam
kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat kedua tangan
minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua
orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata.
“Kalian ini orang-orang gagah macam apa?
Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku, tanpa
bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua
orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati?
Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat
yang t1dak mengenal prikemanusiaan?”
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali
mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang
membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat
“Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan, tentu saja
mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita sermua menerima sebagai pemberian
hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka
untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan
syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat
itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk
memberi contoh.”Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan
perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak
dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah
arca besi berupa seekor singa. Pemuda-pemuda itu adalah orang-orang yang kuat,
namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong arca itu,
dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu
diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar
para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur teratur.
Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat
ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis
cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu
melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil tersenyum. “Nama
besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia juga puterinya yang berjuluk
Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan
diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah
amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguii mereka, sungguhpun aku
benar-benar meragukan kebiasaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara
kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka,
hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat
mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apabila kelak keluarganya datang
mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat
pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang
akan kulakukan sekarang!” Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada
para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu,
menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan
belakang kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan.... ia telah berhasil
mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas
kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali
kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai
tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke
bawah sedalarm beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut
demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
“Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa
sanggup mengangkat singa besi ini, adapun syarat ke dua adalah mengambil
sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit
itui” Setelah berkata dermikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.
“Cuat-cuat-cuat....!” Sinar hitam tampak berkelebatan
menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah
menancap belasan batang paku yang berjajar rapi! Kemudian kakek itu
menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan tangannya
mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya,
menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang
bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu gin-kang
yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga seorang
yang tidak memiliki kepandaian tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut paku
itu.
“Sekarang kami mempersilakan Cuwi mencoba,”
kata Coa-bengcu sambil melangkah kermbali ke tempat duduknya.
Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas,
akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri, setelab dilepas
ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi malah kini
mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcui
Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang
enak dan mengaso di atas kursi demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan
ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi
Maya menyarmbar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu
makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini,
diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu
yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih
tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat
mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut
kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengangkat singa besi.
Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati pundak. Yang dua orang hanya
dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan
yang dua setelah mengelurkan suara ah-ah-uh-uh dan menarik-narik singa besi
itu sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan ermpat orang
berturut-turut empat orang yang kelihatan kuat sekali hati, para tamu menjadi
keder dan banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu sedikit
banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki
oleh Coa-bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di
antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
“Hemm? biarkan aku mencobanya”, Terdengar suara
keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi,
kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu
gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini bertubuh tinggi
kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tangan,
mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi Itu sampai ke atas
pundaknya, kermudian cepatia melepaskannya kembali singa besi jatuh berdebuk di
atas lantai depan kakinya.
Biarpun demikian, bekas kepala rampok ini
telah lulus dalam ujian pertama karena, dia telah berhasil mengangkat benda
itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki
sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia
sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini
sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.
Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi
tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.”
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik
nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hmpir saja ia gagal kalau tidak
cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil
menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan
memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang
laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat
puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya, tersenyum-senyum penuh aksi,
apalagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang
melayani para tarmu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir.
Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah seekor
harimau supaya kellhatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tubuhnya gemuk
sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan
mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan
seperti langkah seekor babi buntung!
“Heh-heh-heh, maafkan....! Sebetulnya saya
tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi, karena sayembara ini memperebutkan
hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat
saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya
memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak
mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai-lek Siauw-hud
(Babi Tertawa Bertenaga Besar).”
Melihat sermua tamu tersenyum dan ada yang
tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang
berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw
Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar
sehingga makin lucu tampaknya, kemudian ia membungkuk dan memegang kedua kaki
singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan
membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang
tercengang dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la
mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja,menahan
napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
“Uhhh.... brooooottt!!”
Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas
lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut
dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri
terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri
sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu
mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos
keluar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan
kentut besar!
Biarpun merasa jengah dan mukanya menjadi
merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda
terima kasih atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti seorang
iagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke
arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya,
menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti
seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat
melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan
kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap
turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah
batu! Semua orang terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting
remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh
itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia
sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!
Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ
mengangguk-angguk. Si Gendut itu biarpun tingkahnya seperti badut, namun
memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin gin-kangnya tidak setinggi
Coa-bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti
cecak, hal ini menandakan bahwa sin-kang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga
ia dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada dinding
seperti telapak kaki cecak!
“Aihh, aku suka kalau dia yang menang Enci
Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut,” bisik Siauw Bwee yang masih
tertawa-tawa ditahan.
“Hussh, siapa sudi? Jangan-jangan ketika
melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa keluar!” jawab Maya.
“Ihhh....! Jijik....!” Keduanya tertawa-tawa
lagi dan hal ini memang amat mengherankan. Dua orang anak perempuan yang masih
kecil dalam keadaan seperti itu menjadi tawanan, bahkan dijadikan barang
sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, masih enak-enak makan
minum dan tertawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee! Sedikit
pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak-anak lain
yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah mati!
Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat
hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh
orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam
itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi
semudah yang dilakukan Bengcut kemmudian menurunkan semua paku dengan kebutan
lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian melontarkan paku-paku
lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai sekali
pendeta rambut panjang ini!
Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di
situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan
tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para tokoh
partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedang kan tokoh-tokoh kaum
sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!
Kini terkumpul sepuluh orang bersama
Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk menentukan
siapa yang paling pandai di antara mereka dan berhak memiliki dua orang gadis
cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan dengan
Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya
yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melainkan berjalan
pelahan ke pintu.
***
“He. ke mana kalian mau lari?”
Tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan mendengar ini, Maya mengajak
Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-muridnya,
juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa
heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah
lenyap! Mereka mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perempuan itu
berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh
belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak-teriak. Akan
tetapi, dua orang anak perempuan itu berlari di kanan kiri Si Kakek yang
rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempedulikan
teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-bengcu dan para
tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun
cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga
dapat menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran
dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia
bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang,
kesemuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih.
Semua senjata rahasia itu mengenai tubuh belakang kakek itu, tepat sekali, dan
anehnya, tidak sebatang pun mengenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih
aneh lagi, semua senjata rahasia yang dilontarkan dengan tenaga sinkang dan
yang tepat mengenai tubuh belakang Si kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada
tubuh belakang itu!
Akhirnya, semua tokoh kang-ouw dan liok-lim
yang melakukan pengejaran, menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh
kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu
sebagian besar mengandung racun. Namun, tak seorang pun di antara mereka dapat
menyusul kakek itu, dan tak sebuah pun senjata rahasia melukai punggungnya.
Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling pandang dengan mata
terbelalak.
“Siancai....! Kiranya di dunia ini hanya satu
orang saja yang memiliki kepandaian seperti itu....!” Seorang tosu yang
menjadi tamu berkata lirih.
Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan
mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.
“Suling Emaskah....?”
Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai,
menggeleng kepala. “Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang
dapat memiliki kepandaian sehebat itu, beliau adalah.... Bu Kek Siansu....“
“Aihhh....! Mana mungkin? Mana mungkin tokoh
yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih percaya kalau dia tadi
adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!”
“Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak
secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan berdepan. Sebaliknya kakek
itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya memang benar dugaan
Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu....“
Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut
membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara ditiadakan.
Betapapun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa
yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti
yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah
orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?
Maya dan Siauw Bwee masih terheran-heran dan
mereka melongo menmandang wajah kakek berambut panjang putih yang menggandeng
tangan mereka. Tadi, ketika mereka ketahuan dan dikejar, mereka tiba di pintu
dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik keluar. Tahu-tahu mereka telah
digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang
mengerikan.
Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa
mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah mendengar
menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta
itu masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi
mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya? Mereka berdua
adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar
akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka tertolong
oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam
apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah? Ataukah jangan-jangan
seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada sekumpulan manusia sesat tadi!
“Kong-kong (Kakek), engkau siapakah?” tanya
Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat meluncur ke
depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan tetapi kakek itu tidak menjawab,
seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih melangkah satu-satu dan
wajahnya tegak memandang ke depan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee
dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak
kunjung datang.
Maya menjadi curiga dan tidak sabar. “Kakek
yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa engkau membawa
kami lari dari mereka?”
Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.
“Enci Maya, jangan-jangan dia tuli!” Siauw
Bwee berkata tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban
dari kakek tua renta itu.
“Hemm, kalau hanya tuli masih untung!
jangan-jangan dia ini malah lebih jahat daripada Bengcu dan kawan-kawannya
tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia Iblis!” kata Maya, suaranya mulai
ketus karena marah.
“Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar,
harap jangan lengah dan bergantunglah kepada tanganku. Kalau kalian ingin
tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu.”
“Ohhh....!” Siauw Bwee melongo.
“Ahhh....!” Maya juga berseru dengan mata
terbelalak! Kedua orang anak perempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua
masing-masing, akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa, bernama
Bu Kek Siansu yang muncul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya.
Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah
mereka pelajari, bersumber daripada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa
lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut.
Mereka mentaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak
bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak!
Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek
itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak
perempuan ini lalu memejamkan mata.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki
berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati pagar tembok yang
tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke
sebelah barat. Ketika para peronda itu, perhatian mereka terpecah dan
kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke
bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar keras dan ia
tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri Sung Hong
Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain, bahkan di
halaman tamu istana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja Yucen
calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati dia menyelundup
ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan.
Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat. Hebat
bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus
bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biarpun dia itu masih belum dewasa.
Kalalu memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja
berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari
tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar, dia melihat kekasihnya yang
mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera
berwarna-warni, dangan hiasan rambut terbuat dari permata, terhias mutiara,
yang membuat kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehingga
mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas
bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan
emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah
Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan
dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki! Dia mendengar betapa kekasihnya itu
melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang
dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yucen yang belum pernah
dilihatnya. Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang
berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan berkasihkasihan, tak tertahan pula
kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan
bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu!
“Han Ki-koko....!” Gadis bangsawan itu
menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat ditangkap oleh
telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi
pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya
pelayan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya, berlutut dan
mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan
kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis sedemikian
sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. “Dewi
pujaan hatiku.... kekasihku....,
“Hong Kwi....!”
Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi
dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan dadanya masih
terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan, ketika ia memandang wajah
Han Ki yang berada di dekat didepannya, matanya yang basah terbelalak, ia
takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Kemudian ia
menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. “Koko.... ah,
Koko....! Aku.... aku telah....”
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan
memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya di dada
Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya, dahinya,
kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata mengalir
deras sambil berbisik.
“Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang
telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini....”
“Aduh, Koko.... bagaimana dengan nasibku....?
Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta, saling bersumpah sehidup
semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana....?” IA tersedu kembali.
“Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang
untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!”
“Aihhh....!” Puteri bangsawan itu terkejut
sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh selidik,
“Kaumaksudkan.... minggat?”
“Mengapa tidak? Bukankah kita saling
mencinta?' Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara anak
perempuan itu di telinganya di saat itu. “Kita pergi bersama, takkan saling
berpisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu
sebagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, , Hong
Kwi....!”
“Tidak! Tidak bisa begitu, Koko....! Aku lebih
baik mati. Lebih baik kaubunuh saja aku sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku
hidup lebih lama lagi....? Koko, kaubunuhlah aku....!”
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia
menjadibingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya adalah
seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena
hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan
mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
“Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain
kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau
melihat jalan lain yang lebih baik, Hon Kwi kekasihku?”
“Ada jalan yang lebih baik Koko!” Tiba-tiba
gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua pipinya masih
basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan, merah jambon
berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya, berseri-seri
aneh. “Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan
seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak
dapat dirampas oleh siapapun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku
dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki,
Koko! Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti
ini, sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini, Koko... ambillah
tubuhku.... barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang
lain, secara paksa!”
Han Ki meloncat turun dari bangku dan
melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu tengkuknya berdiri!
Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah gadis yang
dicintanya itu.
“Bagaimana, Koko....? Apakah.... apakah
cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku terakhir ini?” Hong Kwi
juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul pinggangnya sehingga
tubuh mereka merapat.
“Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku....
ah...., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan kotor! Lebih
baik aku mati daripada mengotori dirimu yang murni! Tidak, betapapun besar
hasrat hatiku, betapa darahku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan
kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu berahiku terhadapmu! sudah
hampir menggelapkan mataku, namun.... aku.... aku tidak akan melakukan hal itu,
Hong Kwi!”
“Kalau begitu, bagaimana baiknya.... Koko?
Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita.... Gadis bangsawan itu
terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam
dan harum itu. “Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk, hati kita
boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau
engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun
kita akan dapat hidup bersama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku
mengajakmu minggat. Adapun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi
seorang lakl-laki hinadina, setelah melakukan pelanggaran suslia, menikmati
pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau
yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apalagi
terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didunia ini!”
“Aduhhh, Koko.... bagaimana baiknya....?”
“Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian
merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena sudah ada
garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak
menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling
berjodoh, betapapun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah
nasib kita.... ah, Hong Kwi....“ Dua orang yang dimabok cinta dan kedukaan
itu, seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium
dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
“Aduhhh.... Sri Baginda datang....” Bisikan
yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang muda yang sedang
berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pelukannya.
“Koko....! Cepat.... Bersembunyi....” Hong Kwi
berseru lirih.
“Di mana....? Lebih baik aku pergi saja....”
“Jangan! Kau bisa ketahuan dan.... dan kita
celaka! Lekas.... kolam itu, kaumasuklah dan bersembunyi di bawah daun
teratai....”
Karena kini sudah tampak rombongan pengawal
Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia
meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah permukaan
air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun
teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluarkan hidungnya saja di
bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan matanya kadang-kadang ia buka
untuk melihat melalui air yang bening.
“Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau
masih berada di taman.... eh, kau.... habis menangis?” Kaisar menegur puterinya
dengan suara keren dan marah. Memang Kaisar tahu bahwa puterinya ini tidak
suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan
penasaran. Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang
mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang
Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang “pengganggu
kesusilaan”!
Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab,
hanya menundukkan mukanya.
“Apakah ada orang luar masuk ke sini malam
ini?” Kembali Sri Baginda bertanya dengan suara keren.
Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini
tadi?” Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.
“Ham.... hamba ti.... tidak melihatnya....”
Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di atas tanah di
depannya.
“Periksa semua tempat di sekitar sini!” Kaisar
memerintahkan para pengawalnya yang segera berpencar ke segala sudut,
mencari-cari dan menerangi tempat gelap dengan lampu-lampu yang mereka bawa.
Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
“Mulai saat ini, engkau harus selalu berada
dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar. Mengerti?” Kaisar membentak dan
kembali Hong Kwi mengangguk. Para pengawal selesai menggeledah dan melapor
bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena
sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus dan meninggalkan taman itu diiringkan
para pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu
belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani bangkit berdiri. Han Ki yang
juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri dengan muka, rambut
dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik
lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan
dilepaskannya kembali ke air.
“Hong Kwi....!” Ia berkata lalu meloncat
keluar.
“Koko.... ahhh...., hampir saja....! Aku harus
segera masuk. Han Ki-koko, selamat berpisah, selamat tinggal.... sampai jumpa
pula di akherat kelak....“ puteri itu terisak dan lari pergi diikuti
pelayannya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di
tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
“Hong Kwi....“ ia mengeluh, kemudian
membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal Istana yang
dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan
masih banyak panglima tinggi istana!
“Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi,
engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu aku pula karena biarpun
jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlututlah
engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!”
Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang
masih terhitung kakak misannya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini adalah adik
kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang hanya satu kali
itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menjawab.
“Goanswe, perbuatanku tidak ada
sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua
tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga,
apalagi namamu!”
Wajah Suma Kiat menjadi merah saking
marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan pengaruh
kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi
Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belasan tahun itu kini
kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum membuktikannya
sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini
melakukan kesalahan yang amat berat yaitu berani menyelundup ke dalam taman
istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja
Yucen Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa pemuda itu
benar-benar berada di taman sehingga menangkap atau membunuhnya bukan
merupakan kesalahan lagi.
“Kam Han Ki manusia berdosa! Setelah engkau
melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling, apakah kau tidak lekas
menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?” Kembali Suma Kiat
membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak
buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia
maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah “tertangkap basah”
ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia
tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia
mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam
telinganya.
“Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu
merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus mengalah terhadap
seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa engkau tidak
bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaranmu menghadapi orang yang
lebih kuat pun.”
Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah
kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta, dengan murni dan tulus.
Kaisarlah yang salah, Karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya
sendiri! Tidak, dia tidak bersalah karena itu dia tidak akan menyerahkan
diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi,
dia tidak akan dekat dengan Istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu membalikkan
tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat
berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan Suma-goanswe karena di dekat
pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia meloncat
hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.
“Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau maling cilik
sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki Hong-siang
agar menerima hukuman!” Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia
tidak melupakan kakak sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia melakukan perlawanan,
mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma, tentu
Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam?
Dia akan mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia
mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa membunuh orang.
“Sampai mati pun aku tidak akan menyerah
kepadamu, Suma-goanswe!” katanya gagah sambil mencabut pedangnya juga.
“Apa? Kau hendak melawan? Serbu!” Suma Kiat
berseru dan mendahului kawan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya
berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya sudah
mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher. Ilmu
kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu
yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri
Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan
hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya
aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki
terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu membuat lingkaran
melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang sedangkan totokan jari
tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok
jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan berbahaya, yaitu Im-yang
Tiam-hoat!
“Cringgg....! Dukkk!” Han Ki yang sudah
mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri
ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya sehingga dua
pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang
dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya bertolak ke belakang, tanda bahwa
pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun ia berseru keras dan
menyerang lagi, dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki
telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya dengan
cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari
atas sampai bawah sehingga semua senjata para pengeroyok terpukul mundur oleh
sinar pedangnya yang berkilauan. Namun, pemuda ini harus mengerahkan seluruh
tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat
lowongan dan tubuhnya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang
rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan
dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan membuat sebagian dari
mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman serangan ke arah kepala
para pengeroyoknya. Demikian ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga
para pengeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh
atau meloncat ke belakang. Kesempatan yang amat baik, pikir Han Ki dan sekali
ia mengenjot tubuhnya sambil menangkis serangan susulan pedang Suma Kiat dan
golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke atas wuwungan
bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali mengadakan pertemuan
rahasia dengan Sung Hong Kwi.
“Penjahat cabul hendak lari ke mana?”
Terdengar bentakan keras dan sebatang tombak menusuknya dari kanan, sebatang
pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
“Cringg.... tranggg.... wuuuttt!” Han Ki
terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang
serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga
tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi, terbukti dari
serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah,
berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati
Istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh
pengejarnya.“Siuuttt!” Kembali Han Ki harus meloncat ke atas menghindarkan
diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi datang menyambutnya dari
bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga
seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya
kuningan yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang
diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak ke kanan kiri dan
mengerahkan tenaga lalu membabat dari samping.
“Tranggg!” Bunga api berhamburan dan panglima
tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya terguling lalu ia bergulingan dan
baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung toyanya yang buntung
oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu, Suma Kiat, Siangkoan
Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya, telah mengejar sampai di situ
dan kembali Han Ki dikurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak
jumlah pengeroyok karena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima dan
pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun
menghadapi pengeroyokah begitu banyak orang lihai sedangkan dia menjaga agar
jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia memang
menerima gemblengan seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima
pelajaran ilmu sllat yang amat tinggi, bahkan telah mempelajarl inti sari ilmu
silat sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal
sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini waktunya
habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam
pertempuran, apalagi dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai!
Namun, harus dipuji keuletan pemuda ini.
Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia masih dapat
mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah ke sana ke
mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-kadang untuk menyampok
senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya dengan pengerahan sin-kang
untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah
berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya,
merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan
mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin
pengeroyokan ini, berulang-ulang
menyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pasukan pengawal, bahkan para panglima
yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan
jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu
membekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada
belasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh
pemuda itu! Benar-benar amat memalukan!
“Panggil semua panglima yang berada di luar
istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!” bentak Suma Kiat kepada
anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han KI masih memutar pedangnya dan makin lama
makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus.
Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi, kering
kembali melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan
lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang
membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata lawan
dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka itu tidak
berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
“Habis aku sekali ini....“ keluhnya diam-diam,
namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai malam terganti pagi!
Telapak tangannya yang memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa,
seolah-olah telah menjadi satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku
melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah
terkepung ketat. Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana!
Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan
tetapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak
kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi
jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau
setidaknya bersembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu
pernah dikabarkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk “menyikat”
hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di dapur sampai
berpekan-pekan?
Dia harus dapat menyelinap ke Istana sebelum
keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat Han Ki memutar
pedang berloncatan ke sana sini seperti orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi,
Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak
terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya
dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu
menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan
membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat
mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar
segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke depan,
ke arah para pengepungnya.
“Awas senjata rahasia!” bentaknya, Suma Kiat
dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh
tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi
kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik
kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menembus
kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda
yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan
menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan
merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu
terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
“Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup!” Suma
Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar
menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok
begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap
bahkan kini berani memasuki istana. Tentu saja semua orang cepat menyerbu,
berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada
pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap
pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan
Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan
kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan
mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya
Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki
Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan
bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan,
hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah,
mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking
lelahnya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka
bekas gebukan-gebukan senjata lawan. Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar
besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng
(berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak
olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap seorang
pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah
ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang
seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang
malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya,
tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang menge jarnya. Ada serombongan
pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke
kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang
menuju ke tempat itu!
“Kita harus mengepung seluruh jalan dalam
Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti
setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah,
tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka.
Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas
menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para
pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga begitu dia muncul
tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali. Tiba-tiba ia mendapat akal
dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam, menutup daun
jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi
bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia! Gerakannya begitu ringan
sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan
tetapi, pelayan wanita yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han
Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit
berdiri dengan mata terbelalak.
“Jahgan menjerit!” Han Ki berkata, lalu
menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. “Kalau menjerit, pedangku akan
merampas nyawa!”
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya
menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut.
Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh.
Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang
telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya
terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. “Engkau siapakah dan apa
artinya perbuatanmu ini?”
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap
tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu
akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak
kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh
wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, “Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon
perlindungan....”
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah
yang setengahnya tertutup saputangan itu. “Hemm, apakah engkau yang diributkan
semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan
dengan Hong Kwi?”
“Benar, hambalah orang itu!”
“Siapa namamu?”
“Hamba Kam Han Ki....”
“She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam
Bu Song?”
“Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah
Pek-hu (uwa) hamba....”
“Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang
menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini
lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga
kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua
untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti
ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembuny di
kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran,
seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar.
Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi
kitabnya, menegur halus, “Siapa di luar?”
“Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak
mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di
dalam!” terdengar jawaban dari luar.
“Masuklah, daun pintu tidak dikunci,” jawab Si
Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han
Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di
dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si
Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong
dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak
melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak
dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya
majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang
panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi
bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok
saputangan menutupi separuh mukanya.
“Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi
pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?” tegur Suma Kiat dengan
suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula
kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar
pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok
ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan
menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu
berkata, “Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam
kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan
sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini
sudah keluar kamar.” Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian
yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal
memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekalilagi ke arah Han
Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
“Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan
hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas.
Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya
tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang
pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan
seorang jantan.”
“Terima kasih dan hamba mohon maaf
sebanyaknya!” kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu
dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar
itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang
pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa
gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama
sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia
tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh
mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak
dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari,
akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima
telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee
dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di
antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan
Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu,
Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan
yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau
dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya
lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain
di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan
para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah
orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan
dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka
mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah bertanding
dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikeroyok
oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali.
Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
“Aku tidak bersalah! Aku datang menemui
wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan
kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur,
terpaksa aku mengadu nyawa!”
“Pemberontak keji, maling cabul tak tahu
malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
“Rrrrtt.... cring-cring....!” Han Ki menangkis
sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping
secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak
mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung
sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan
terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan
semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati.
Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali
kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan,
bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya
mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri
membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan
belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan
pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh
orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat
yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan
membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung. Keadaannya sudah payah
sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang
memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkangnya saja
maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari
pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan
Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi,
pingsan!
Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh
Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta
keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han
Ki dibunuh begitusaja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung
atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau
dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu “enak” bagi Han Ki yang
dibencinya! Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar
tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma
Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia
menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam
melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong
yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki
tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang
sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di
luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan
membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah
ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apalagi
kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada
penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan
dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya
itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap mengacau Istana
dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik
terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa
menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya
dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit
pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang
tinggi, Han Ki dapat “mematikan rasa” sehingga tubuhnya tidaklah terlalu
menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya
maut dalam bentuk apapun juga.
***
Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak
meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat,
dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia
tinggalkan di tengah jalan.
Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya,
Panglima Khu Tek San meninggalkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan
tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena
semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak
enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan
tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang
telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw
Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
“Apa....? Mereka sudah pulang lebih dulu,
malah diantar oleh Kam-susiok!” Panglima ini berkata dengan suara keras. Maka
paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk
berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena
sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak
perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di
istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak
enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap
bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi, malam itu ternyata terjadi hal
yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, karena waktu
ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia
dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok
oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat
ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan
pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu
apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum
didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi
dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain
bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.
Seperti telah diduganya, gurunya telah
mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah
yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut
kedatangan Tek San dengan muka gelisah.
“Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han
Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang
pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus.
Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?”
“Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang
menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu,
melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu....“
“Apa....?” Menteri tua itu menjadi terkejut.
“Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee
pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang
anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok
mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka
teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.
Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan
menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata
lirih, “.... mengapa.... mengapa....?” dan ia tidak mengerti apa yang
dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sendiri.
Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluarga
Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
“Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki
adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta
keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya
tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum
tertangkap, sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan.”
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung
dan berduka, maka ia cepat berkata, “Harap Suhu tunggu saja di rumah karena
kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu
akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan
melihat keadaan.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan
membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang
sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua
keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti
ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam
penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani
turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan
dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk
membuat laporan.
Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang
panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, “Aku harus menolongnya!
Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku....”
“Suhu....!” Tek San berseru kaget.
Menteri Kam Liong memandang muridnya yang
setia. “Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri,
maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak
karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku
sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku
sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak
mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan
turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu
saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han Ki,
akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan
membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di
luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali
ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia
berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kaupulanglah!”
Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran
karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu
mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya
menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya
menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah
lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh
menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki
yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah
dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke
taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya memanggilnya, Tek San
mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderitaan
batin menteri itu selama tiga hari ini.
“Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han
Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakanbesok.
S i Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga, Han Ki tak
dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah
perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil
keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan
membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia menyusul
ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan
menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Adapun
tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan yang
kusebabkan mereda.”
Tek San kaget sekali. “Akan tetapi....
bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?”
“Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia
bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang
anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian,
bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu.
Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di
dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang
akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam
hari itu.
“Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong
Susiok!
Kam Liong terkejut dan memandang wajah
muridnya yang berdiri tegak penuhkeberanian. Ia tidak ragu-ragu akan
keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini, mereka bukan
melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan
untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh
bedanya.
“Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti
adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan
keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri
sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.”
***
Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian?
Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu
nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di
perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati
pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam
saja? Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam
menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan
tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.”
“Akan tetapi.... keluargamu?”
“Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan
teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang
kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari
kota raja. Hal itu mudah dilakukan.”
“Tapi.... ah, tugas malam nanti amat
berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan
banyak sekali panglima yang pandai....“
“Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau
Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena
memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya
teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang
panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk
mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang
akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk
mengatur siasat malam nanti.”
Karena maklum akan kekerasan hati muridnya
yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin
penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri
Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat
ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya, dengan
isterinya yang berwajah pucat dan mata merah, karena terlalu banyak menangis
memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu
menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal
kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang
yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu
berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia,
pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun
mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek
San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu
punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia mempunyai kesetiaan
yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehingga apa saja yang
dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu
dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan
taruhan nyawanya!
“Gu Toan,” kata Menteri Kam kepada pelayannya
yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung
tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena
urusan yang amat hebat itu. “Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam
nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San.
Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah
kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan
benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku
khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk
perbuatan jahat.”
“Hamba mengerti, Taijin.”
“Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di
gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau
mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka
itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu
gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai
pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepatcepat memberi
kabar ke Go-bi-san, kaucarilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan
ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?”
Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua
titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. “Nah, kau
berkemaslah,” kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya
bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur.
Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga
sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam
dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang
tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja
tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat
keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam
Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa
bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah memberi
hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri,
membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia
tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena
ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang
memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan
berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di
luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat
sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah
mengikuti gerakan mereka dan kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak
menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia.
Mereka mengenakan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran
mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan
lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan
sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan
kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian
menteri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh
kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju
perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, dengan dada, perut dan
kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak
dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima
dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka berdua langsung memasuki daerah istana
dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan
mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya
tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah. Keduanya berhasil meloncat
turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan
penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan
Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi
melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat
bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam
gelap, mereka terkejut, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau
berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan
Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit
berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.
“Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu....”
Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu, terutama sekali
Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
“Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk
kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
“Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak
boleh....“ Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang
terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
“Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula
Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?”
Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun....
hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....“
“Bukalah!” kata Menteri Kam Liong dengan suara
halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. “Kalau ada kemarahan dari
Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.”
Mendengar ini, penjaga itu tidak berani rewel
lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan
dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda
dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para
penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting
roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti
kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi
dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga
di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang
saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong
sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan
tiga orang penjaga itu pun roboh “pulas” di tempatnya.
Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan
mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat
pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki
tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat,
dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah
tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua
orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini
adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya
Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget.
Seorang di antara mereka memutar golok
menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan
itu.
“Plak!” Panglima muda yang menerjang Menteri
Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua,
sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan
menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia
merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu
menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang
nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang
membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan
tanda bahaya pula.
“Tek San! Cepat, kaupondong Han Ki, biar aku
yang melindungimu keluar!” Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya,
kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai
yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan
diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari
tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih
pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan
pada saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu
kamar tahanan.
“Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak
tahu diri!” Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul
tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama
pasukan panglima pilihan dari istana. Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa
Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka
ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia
sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di
dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui
sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di
depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di
ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan
secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi,
mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!
“Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa
akhirnya engkau menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor
tikus, ha-ha-ha!”
“Tek San, ikuti aku!” Kam Liong membentak
sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua
lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat
Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang
memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah
mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.
Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut
serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima
orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin
gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini
membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar
sendiri! Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah
orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di
bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga
berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang
menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh
buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok
terlepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan
mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin
dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya
sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata
melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar
merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
“Trangggg, tringg.... cringggg....!” Kembali
para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang
mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para
panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.
“Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di
belakang!” Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya menangkis
datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para
pengawal.
Karena maklum bahwa kini pasukan pengawal yang
menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari
kota taja tentu mereka terancam bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud
suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han
Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak.
Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila pemuda
perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi
mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar deri kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San
menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan
karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup.
Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman
mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya
sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka
tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka
diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok
yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa orang-orang yang dibencinya
dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu keluar dari dinding
tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pesukan, juga
memerintahkan agar pasuken-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua
jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima
yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan
seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan
angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang
menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan
hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi
Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai
merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.
“Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota
raja banjir darah, biarkan kami pergi!” bentaknya berulang-ulang sambil
mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi
para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh
kesetiaan kepada kerajaan.
“Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak
mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!” Suma Kiat
membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia
terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan
tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan
keturunan terakhir dan keluarganya.
“Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal
Han Ki kaubebaskan!” Teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun
temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur
yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan
ketat.
“Tek San! Lari....!” Kam Liong berteriak,
mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai itu
kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban
kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan
senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan
terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang
amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat
Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga
Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan
melindungi larinya Tek San dari belakang.
“Wirrr.... wirrr....!” Hujan anak panah mulai
berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang
pelarian itu.
Namun, pedang di tangan Tek San dan suling di
tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga
kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri.
Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka
bermaksud melarikan diri keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi, dari segala sudut dan lorong di
kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak
panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri
dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju
dengan lambat.
“Kita harus dapat keluar sebelum terang
cuaca!” Kam Liong berkata kepada muridnya. “Larilah cepat, biar aku yang
menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti
burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian
merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
“Suhu....!” Tek San berkata, suaranya
menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
“Hemm, bicaralah!” Kam Liong berkata nyaring,
suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat
menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya
itu.
“Cet-cet cettt....!” Belasan batang senjata
piauw menyambar dari atas.
“Keparat!” Kam Liong berseru, sulingnya
diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang
senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke
atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua
orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka “termakan” piauw mereka
sendiri.
“Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu
maafkan teecu....!”
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena
keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan
menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan
keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir
kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
“Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong
membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran
suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau
toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya.
Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang
pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi
melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki
yang pingsan.
“Kejar....“
“Tangkap....!”
“Bunuh mereka semua....!” Teriakan terakhir
ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar
larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika
tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia
miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar
melindungi tubuh belakang.
“Tring-tranggg....!”
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang
memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan
pedang untuk menjaga diri.
“Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut
dihormat!” Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah
adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu
membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur
pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
“Cringgg....!” Dua batang pedang bertemu dan
Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat
lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memondong tubuh orang dan
dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat
menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian
yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah
yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa
mengejek.
“Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi
tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!”
“Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati
daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!” Khu Tek San
berseru marah dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat
menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak
hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung
sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat
amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat
melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu
sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han
Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar
repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah
kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini
cepat menagkis.
“Tranggg....!”
Pedang Suma Kiat yang terpental itu
dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan
tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya
sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya
“Kita harus dapat keluar sebelum terang
cuaca!” Kam Liong berkata kepada muridnya. “Larilah cepat, biar aku yang
menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti
burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian
merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
“Suhu....!” Tek San berkata, suaranya
menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
“Hemm, bicaralah!” Kam Liong berkata nyaring,
suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat
menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya
itu.
“Cet-cet cettt....!” Belasan batang senjata
piauw menyambar dari atas.
“Keparat!” Kam Liong berseru, sulingnya
diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang
senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke
atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua
orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka “termakan” piauw mereka
sendiri.
“Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu
maafkan teecu....!”
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena
keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak
mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak
mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan
berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan
hati gurunya.
“Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong
membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran
suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau
toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan
memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua
orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat
tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh
Han Ki yang pingsan.
“Kejar....“
“Tangkap....!”
“Bunuh mereka semua....!” Teriakan terakhir
ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar
larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika
tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia
miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar
melindungi tubuh belakang.
“Tring-tranggg....!”
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang
memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan
pedang untuk menjaga diri.
“Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut
dihormat!” Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah
adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu
membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur
pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
“Cringgg....!” Dua batang pedang bertemu dan
Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat
lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memondong tubuh orang dan
dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat
menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian
yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah
yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa
mengejek.
“Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi
tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku.
Berlututlah!”
“Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati
daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!” Khu Tek San
berseru marah dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat
menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak
hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung
sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat
amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat
melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu
sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han
Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar
repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah
kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini
cepat menagkis.
“Tranggg....!”
Pedang Suma Kiat yang terpental itu
dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan
tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya
sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk
menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia
cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia
dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet
pahanya sendiri yang kanan.
“Cett!” Darahnya muncrat keluar dari luka di
pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan
tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke
belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi
sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali
menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu
memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
“Keparat, hendak lari ke mana kau!” Suma Kiat
menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San.
Panglimuntuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam
bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat
menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung
pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
“Cett!” Darahnya muncrat keluar dari luka di
pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan
tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke
belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi
sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan
pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan
roboh terluka. Tek San berlari terus.
“Keparat, hendak lari ke mana kau!” Suma Kiat
menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglima
perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum
Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat,
yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh
tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan
suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa
oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang
sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam
bahaya maut!
“Trik-trik!” Dua buah jarum merah kecil itu
runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
“Suhu, awas....“ Siangkoan Lee berseru dan
Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa
Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas
yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil
membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan
para panglima, menghadang menteri sakti ini, membantu muridnya.
“Tek San, lari....!” Kembali Kam Liong
berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam
Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.
Biarpun dihadang, dikepung dan dihujani
senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid
ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan
panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh
yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran
itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan
tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam
sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang
dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati
kepada Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali. Mereka
bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba
menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri?
Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa keluarga
mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi
ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu
mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg perajurit,
bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula
mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!
“Tek San, saat terakhir yang menentukan telah
tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit,
tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita
membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus
langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka
dari belakang. Cepat!”
Tek San terpincang-pincang, paha kanannya
terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi
semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya,
membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima lalu memasuki terowongan
pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika
tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk,
merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang perajurit pengawal, akan
tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima
pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun kipasnya terobek.
Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap
kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling
emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan “tercuci” darah puluhan
orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu
seolah-olah menjadi makin lihai. Akan tetapi, karena kini ia bergerak di depan
mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak.
Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam
Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan
pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya
melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian
bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan
tetapi, muridnya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki
masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan
nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi,
yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San
terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan
darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi
lemas dan pandang matanya berkunang. Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan
terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang
sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga
melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus
semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apalagi setelah
pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan
paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat
dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya
karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek
sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia
terluka di beberapa tempat dan,seluruh tenaganya diperas hampir habis,
napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat
mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut
palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak
dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat
atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat
orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu?
Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia
sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan
darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang
tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan
selama ini.
Guru dan murid itu tidak pernah putus asa,
apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu
gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dengan ilmu lari
cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka
dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya baagi mereka berdua.
Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu
gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan
besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi, Kam Liong kurang memperhitungkan
kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun sudah terluka dan merasa jerih
untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma
Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha
membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah
memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok
kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka
diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk
naik ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti
saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi
aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika
belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu
Tek San.
“Tek,
San awas anak
panah....!” Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat
memperingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan,
tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan
untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar
pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah
tubuhnya.
Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh
dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba
sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara
saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu
Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh
tangan Suma Kiat sendiri!
“Suhu....!” Khu Tek San berseru, pedangnya
terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di
luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang
memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena
tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini
telah terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat
aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada
yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya
melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu
gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua
orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras
karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan
tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam
Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah
lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.
“Ayahhhh....!” Khu Siauw Bwee menjerit
melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah
terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
“Pek-hu....!” Maya menjerit ketika melihat Kam
Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir
menembus punggung.
Akan, tetapi guru dan murid yang gagah perkasa
itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya
memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini
menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para
panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan
munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak
maju hendak menyerang.
“Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....!”
Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan
angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan pergelangan
tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan
itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal
yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang
ke belakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang mendorong mereka mundur. Dengan
tenang, kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata lirih.
“Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar
dan semestinya, mengapa ditangisi?” Sungguh mengherankan, dua orang perempuan
itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat ayahnya tewas,
seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu
dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan
di atas pundaknya.
Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling
isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang laki-laki bongkok,
langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu
bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua renta itu mengangguk-angguk.
“Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi,
menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya,
kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka,”
Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya
bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki kakek tua renta sambil berkata,
“Hamba mohon petunjuk.”
Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan
telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang
hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh
tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang
sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta
yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan
sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan
tenaga gaib ke dalam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang sekali dan
“membuka” semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah
kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat
dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia
merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu
lagi, maklum bahwa dalam saat yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada
yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San,
kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah
di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan
di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan
ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah pekuburan keluarga
Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek
dengan penuh kesetiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam
kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian
dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek itu
kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang
penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan
seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya “besar”, namun
sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja,
sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian
luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw
Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang
dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh
berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang
telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu
atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu
adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada
semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang sesungguhnyalah. Kakek itu
adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir
bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya
bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti
setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur,
akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat
merobohkannya!
Dengan langkah tenang, Bu Kek Siansu yang
memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw
Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu,
diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak
dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan
wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di
hati mereka. Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari
pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak
buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang
mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman
berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos
dari tempat tahanan.
Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang
karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai
penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan
dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia
bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera
tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka
semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu
Siangkoan Lee dan dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan
dan hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu
selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat.
Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat
melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi
tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum
kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai
paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan
Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu
munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar
yang merah seperti bulan, purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan
laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga
akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin
terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan
dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah
sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari
secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung,
memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan
akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus.
“Han Ki....”
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung
berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh
rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran
yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu
yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat
kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya den Siauw
Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah berjam-jam kakek
itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba
memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
“Suhu....!” Ia menjawab sambil menghampiri
dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya
dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan
bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu
yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak
bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek
itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat
kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
“Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku
karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.
“Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu?” Han Ki
bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum.
“Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan,
bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku,
karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri
dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban
terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab
dan tugas yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi
tanggunganmu. Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau
hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi. Kulihat hal-hal yang amat
meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua
tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku
tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan
ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua
orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat
mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk
mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang
kutinggalkan. Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha
batu karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah
kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari
tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan
tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada
penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari
engkau akan tiba di Pulau Es.”
“Pulau Es....?” Han Ki berdebar tegang.
“Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang
sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk
kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu,
hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka.
Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan
jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak.
Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus
hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah
menghadapi diri kalian sendiri....“ kakek itu berhenti bicara dan menghela
napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di
depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.
“Suhu hendak ke manakah?” tanya Siauw Bwee,
kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid
oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.
“Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee.”
“Suhu, setelah kami diterima sebagai murid,
bolehkah teecu bertanya?” Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti
bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.
“Bertanyalah selagi ada kesempetan,
Maya.” .
“Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya
menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?”
Kakek itu tersenyum den memandang kepada Han
Ki. “Jawabannya boleh kaudengar dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal
dapat kautanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar
kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.“
Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab
kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. “Sumoi, yang dimaksudkan oleh
Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga kasar dan
kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri
sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat
kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri
sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat,
melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu
memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”
Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang
masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi
karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang
diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biarpun
belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.
“Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat
ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan
tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian
yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat
tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan
memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap....
Cinta....!” Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat
ke.... laut di bawah tebing!
“Suhu....!” Han Ki berteriak kaget
“Suhu....!” Maya dan Siauw Bwee juga berteriak
dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati tegang bercampur
gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal
yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan
air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ketimur.
“Suhu....!” Mereka berteriak.
Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan
melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu,
pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai
bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh
kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya
Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.
“Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu
seperti yang dipesankan Suhu.”
Maya dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti
Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu
menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, “Suheng....
Suhu pergi ke manakah?”
Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya
berkata, suaranya agak ketus. “Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan?
Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?”
Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki
diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia melihat
wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang
marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu
memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee.
Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata,”Suheng,
aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!”
Han Ki terseayum dan tidak berkata apa-apa,
akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa kelak akan sampai
terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki
watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan
sabar.
“Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku
seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan bere s,” katanya perlahan.
“Engkau adalah suheng kami, pengganti Suhu,
tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi Khusumoi yang lebih
muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya.”
Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti
mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat
sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan
sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang
sukar diselami itu. “Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh
adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.
“Tentu saja!” jawab Maya cepat, “Suheng
melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.”
“Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu,
Sumoi?”
“Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat
menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku
yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua.”
Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini
agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia
menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, “Siauw Bwee sumoi, bagaimana
pendapatmu?”
Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar
kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya
dan menjawab halus, “Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala
hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin
bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan
mencelakakan aku.”
Mendengar ucapan ini, Han Ki memandang penuh
perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat mengerti bahwa
gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga
cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi
menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang
sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah
perkasa. Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya,
yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan
anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas
mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak
mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada
Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa
diketahui ke mana. Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena
dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia
harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan
melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
“Kalian berdua benar. Memang kita bertiga
harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik yang baik,
memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat
menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu
merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng
saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan
membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.”
“Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita
berlumba!” Maya berkata dan menantang Siauw Bee.
“Baik, marilah, Suci!” Siauw Bwee menjawab
tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke
utara, secepat mungkin. Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan
tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali
tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati
kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan
menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun
berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil
memperhatikan cara mereka berlari cepat.
***
Ke dua orang gadis cilik itu dapat beriari
cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari
belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber,
yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa
Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali
mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah,
Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat betapa Siauw Bwee
dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi kecepatan Maya. Ia
merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan
kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan kakinya,
melampaui mereka dan berkata tertawa.
“Wah, kalau kalian beriari begini lambat,
sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan kalian,
Sumoi!” Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya,
kemudian mengerahkan ginkangnya dan beriari cepat sekali, membuat Maya dan
Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka tadi.
“Suheng, larimu cepat sekali!” Maya berseru
kagum.
“Seperti Suhu ketika mermbawa lari aku dan
Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?” Siauw Bwee juga berkata.
“Inilah yang disebut Cio-siang-hui!” jawab Han
Ki.
“Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku!”
Maya berseru dengan kagum karena ilmu “terbang di atas rumput” ini hanya ia
dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.
“Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es.
Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua. Sekarang diamlah
dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba
gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi,
hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga
larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadinya mentaati pesan
suhengnya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri
telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka
kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja.
Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya
mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak
girang.
“Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!”
Melihat betapa kedua orang sumoinya sama
sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam-diam Han
Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil
murid dua orang anak perempuan ini benar-benar
tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya
memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli
silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai seseorang dalam
ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap
tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.
“Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di,
depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu
itu!”
Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee
tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki
tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu
merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki
telah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun menggandeng dua orang
sumoinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian
mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang
tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah
di antara guha-guha ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu,
sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya meruncing dan
di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cukup untuk tempat
berteduh dari terik matahari.
“Ini perahu Suhu!” Han Ki berseru girang.
“Marilah!”
Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang
melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada
batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan
mendorongnya ke atas air laut.
Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas
perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahunya, mengambil
arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut
tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak
terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki
mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis
cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han
Ki dan mereka bercakap-cakap.
“Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar,
aku akan pergi mencari Ibu.”
Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah,
kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena
dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk. “Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan
membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menyelidiki ke kota raja
kelak, akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana
Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.”
“Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku
akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!”
Kim Haa Ki mengerutkan alis ketika memandang
Maya. “Hemmm.... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan
membalasnya, Sumoi?”
“Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan
Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!”
Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu
hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan tiga negara,. bagaimana akan
membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam perang!
Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa
sumoinya yang seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apalagi dalam
urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan saudara sepupunya
pula, maka ia hanya berkata tenang, “Cita-citamu itu. amat sukar dilaksanakan,
akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi.”
“Dan engkau sendiri, bagaimana urusanmu
dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu, Suheng?”
Tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak
dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia
tidak mengerti bahwa berita-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apalagi
yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi
karena setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan sucinya,
ketika sucinya memandang, ia berkedip dan menggerakkan muka ke arah Han Ki
yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanyaannya tadi menyinggung Han
Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, mengangkat sedikit pundaknya kemudian
melanjutkan gerakan tangannya mendayung, mulutnya yang kecil mulai
bersenandung, menyanyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee
memandang dan mendengarkan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali,
apalagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan,
dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan
seperti itu. Han Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan
tiba-tiba tadi, ketika mendengar nyanyian ini, merasa makin nelangsa,
pikirannya melayang-layang dan teringatlah ia akan segala yang terjadi
semenjak mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi sampai dia ketahuan,
dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam
Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya. Teringatlah dia akan
nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya sehingga
dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan
tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya membuat ia terkejut dan terpukul,
terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak
tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas
oleh orang lain!
“Hong Kwi....!” Hatinya mengeluh akan tetapi
mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang keluar dari balik
kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. “Maya dan Siauw Bwee,
kuminta kalian selamanya jangan menyebut-nyebut lagi namanya....“
Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut
dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu.
“Baik, Suheng,” jawabnya.
“Baik, Suheng,” kata pule Siauw Bwee.
Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki
sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan , maka perahu kembali
meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air
laut mengumandangkan nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu
sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoinya, karena
kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di
Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan. Kini Han Ki dapat
memikirkan dan merasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda dan berdarah
panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong
Kwi, agaknya tidak akan dapat neenahan diri dan akan menimbuikan
kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak
semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain,
dan dia harus dapat melupakanya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara
baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan
ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
“Hei....! Ikan banyak sekali....!” Tiba-tiba
Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki memandang dan memang
benar. Di dalam air, tersinar bagai matahari, tampak banyak ikan sebesar paha
berenang ke sana ke mari banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati
dan ketiganya tidak menggerakkan dayung membuat perahu terhenti dan mereka
menikmati pemandangan yang memang indah itu. Karena matahari sudah naik tinggi
dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik
mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah mempesonakan.
“Ah, kalau ada alat pancing, tentu
menyenangkan sekali memancing di sini;” kata Siauw Bwee.
“Itu ada perahu datang!” Han Ki berkata.
Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang
dengan cepat sekali. Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu
ditumpangi seorang laki-lakiyang berkepala gundul.
“Seperti seorang hwesio!” kata Siauw Bwee.
“Bukan, bantah Maya. “Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada
hwesio tidak berjubah?”Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang
tajam penuh perhatian. “Bukan hwesio. Akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya
gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya kecil melintang.
Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya,
tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang
sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik.”
Perahu itu kini telah datang dekat dan orang
yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke
air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang,
perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali
panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sampai tubuhnya
yang hanya bercawat itu membungkuk dl luar bibir perahu, tiba-tiba orang itu
meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya, muncrat sedikit saja dan
tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
“Wah, dia gila....!” Maya berseru.
“Dia bisa celaka....!” Siauw Bwee berkata
penuh keheranan.
“Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia
meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya tadi
membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku
heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam
sampai begini lama?”
Pertanyaein Han Ki itu segera mendapat
jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali. Tiba-tiba air bergelombang
dan.... dari dari dalam air tadi meloncatlah orang yang tadi ke dalam
perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu
dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa
itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke
perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia meloncat
ke air, Han Ki berkata.
“Bukan main! Selama, hidupku, mendengarpun
belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia
benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan
dia!” Han Ki berseru dan mendayung perahu mendekat.
Pada saat itu, air kembali bergelombang, kini
lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke bawah,
“Lihat....!”
Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul
kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi dan ternyata bahwa orang aneh itu
sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar daripada tubuhnya
dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han
Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat
dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena kibasan-kibasan
ekor ikan yang amat kuat. “Suheng, bantulah dia....!” Siauw Bwee berteriak
sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran akan keselamatan orang
gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri
membungkuk di pinggir perahu.
“Tidak perlu, Sumoi. Lihat!”
Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali
melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya, mengempit kepala
ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu melempar ikan besar
ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti
memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.
“Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali!” Han
Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika orang gundul itu membalikkan
tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya didepan dada memberi
hormat. Akan tetapi orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak
acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa
dia pandai menggunakan bahasa Han.
“Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau
kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari
mampus?” Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
“Celaka! Orangnya sombong seperti setan!” Maya
memaki marah. “Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang
macam itu?”
“Lopek, awas....! Ikan hiu....!” Tiba-tiba Han
Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari
dan memandang ke dalam air itu.
“Suheng....dia bisa celaka....!” Siauw Bwee
berseru.
“Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu
rasa!” Maya juga berseru.
Seekor Ikan hiu yang ganas dan liar, sebesar
manusia, menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat sekali
membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri ke kiri sehingga
serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan
mencengkerem sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga
tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan kedua
tangan, membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu
berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.
“Lopek,naiklah ke perahu banyak ikan hiu....!”
Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur
datang. Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah
di air, mereka berdatangan seperti beriumba! Sebentar Si Gundul dan bangkai
ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang beear-besar. Sebagian
ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang
menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee menjerit ngeri menyaksikan bangkai
ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang gundul itu
pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang
dengan wajah berseri,agaknya ia girang melihat orang sombong itu terancem
bahaya.
Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat
lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau naik ke perahu,
dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan
tangkas ia memukul ikan terdekat.
“Desss!” Pukulan itu hebat dan biarpun tubuh
ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar
sampai dua meter jauhnya.
“Pukulan Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)!
Dari mana dia mempelajarinya?” Han Ki makin terheran-heran ketika mengenal
pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak ada yang depat
menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam
diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas , dan sudah berbalik
menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yanag menerjang dari kanan
kir! Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan
yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki
mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya
menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang
dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan
sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke
perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke
perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri
dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
“Kau.... kau siapa?” Kini orang gundul itu
hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan
kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang
tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri! “Namaku Han Ki,
dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah
Lopek yang pandai ini dan di mana tampat tinggal lopek?”
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima
puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan
penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata, “Sungguh tak
kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau
telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau
Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau
Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat
dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk
mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.
“Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan
senang sekali bertemu dengan keluargamu.” Han Ki amat tertarik untuk mengetahui
keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu
memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia
mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan
ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu
makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
“Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?”
Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
“Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama
dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keadaan
keluarganya. Tentu ada, hubungannya antara mereka dengan Suhu,” Han Ki berkata
lirih.
“Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!”
Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung perahunya
meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia
hendak menguji Han Ki. Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung
sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara
dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil
yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu
karang yang curam.
Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing
dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki
juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, Ia berkata, “Engkau memang orang
muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga
ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
“Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya
cukup hebat.” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik
karena tebing itu berbahaya.” Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang
dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang
tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya
mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu
mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu
cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari
laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki
sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju.
Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan
yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau
gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan “mode” bagi mereka!
Ketika mereka melihat Han KI dan dua orang
sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang
seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika
nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu
memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.
“Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita,
maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,” demikian Si Nelayan Gundul
menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya
menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang
kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
“Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu
(Majikan Pulau)?”
“Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini,” jawab Si
Nelayan Gundul.
“Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah
pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.
“Orang-orang yang berada di situ tertawa dan
Si Nelayan Gundul menjawab, “Kami sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami
memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?”
Han Ki terheran-heran. “Kalau begitu kalian
dahulu datang dari manakah?” Apakah turun temurun terus berada di sini?”
Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian
menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak. “Aku tidak tahu.
Dia mungkin tahu.”
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan
tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat
beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar
yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena
penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa
gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya,
yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah
ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
“Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah
muridnya!”
Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab,
juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah
nama Bu Kek Siansu belumpernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat
kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak
Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah
menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin
mengujinya karena gerakan aseli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang
berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi
gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut
pedangnya.
“Srattt!” Tampak sinar berkilau ketika pedang
pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru. “Baiklah,
orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!” Ia lalu
mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga
semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan
pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu
pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan
jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh! Han Ki
menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah
menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga
sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku
penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah
orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding.
Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru “Pemuda ini adalah keluarga
sendiri!”
Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum
bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang
hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi
jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya,
kembali dan menjura.
“Locianpwe, maafkan kekurangajaranku. Seperti
telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang
sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiat dan saudara
nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan
Bu Kek Siansu guruku.”
“Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu, kata kakek
itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak
membohong.
“Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan
ilmu-ilmu itu?”
Kakek itu mengangkat pundak. “Dari nenek
moyang kami yang tinggal di pulau ini.”
“Locianpwe, sukakah Locianpwe menceritakan
siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat tinggal turun-temurun di
tempat seperti ini?”
Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan
mengenai nenek moyangnya.
“Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak
tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang muda. Kami adalah
nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turan-temurun menjadi nelayan dan
tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi
orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati
penyambutan kami seadanya.Kau boleh tinggal disini selama kau dan
sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan
sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu.
Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh
mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?”
Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit
karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin tahu. Tempat itu
disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.
Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu,
“Kakek, tempat apakah itu yang kausebut tempat keramat?”
Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan
merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang aneh itu akan marah.
Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus,
“Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah
kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan
aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci itu.
Mari kita berpesta!”
Orang-orang itu lalu bersorak sambil
mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki dan dua orang
sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah
dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula. Beberapa anak-anak
yang telanjang bulat menyambut kedatangan mereka sambil bersorak-sorak
gembira. Tak lama kemudian anakanak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee,
memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee
merasa suka kepada meraka. Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan
sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di
samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat
sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di panggang dan diberi
bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan,
minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari
buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya
rewel kini merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua
keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama!
Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan
memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak,
bernama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandaian mereka
yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat
hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan
keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia bersama kedua orang sumoinya untuk
beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan
akhirnya ia, menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di daerah keramat di
pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai
hubungan dengan suhunya. Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke
tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah
karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya, sedangkan
Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu
menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat
pandai berenang.
***
Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam
yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam. Telah
diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah
perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas
kematian saudara kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa
kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar
wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan Raja Talibu, saudara
kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat
menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami yang
dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah
ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya,
tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat dilakukan dengan
berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol! Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam
ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak menikah dengan
Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun
dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi
senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan
dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan,
bersama dua orang muridnya. Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai
seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti
matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan
murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun
mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu dan di lubuk
hatinya, Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kelau dikatakan bahwa dia
menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya yang
dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja,
apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit kecil, dan, tanah
kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang Hauw Lam memilih
tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isterinya.
Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia, sempat
diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini membangun sebuah
pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan, dan hidup sebagai pertapa di
tempat itu bersama dua orang muridnya.
Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu
pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua
orang muridnya.
“Suhu! Ada orang membongkar
kuburan!” '
Tang Hauw Lam membuka matanya yang klni tampak
sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena pendekar ini jarang sekali makan.
Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
“Ceritakan yang betul, apa yang terladi,
katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di depannya.
“Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk
bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang laki-laki bongkok
yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan
bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,” kata Can Ji Kun.
“Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya
menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing saja!” Ok Yan
Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua
orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam. “Apakah kalian tidak
bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan apa
keperluannya menggali tanah kuburan?”
Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can
Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia
alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah
kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu
tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga
menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke
dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.
“Haii! Engkau tentu maling yang hendak
merampok isi kuburan!”
“Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa
engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya
menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata terheran karena
sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di
tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.
“Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain
di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!” Dan dia melanjutkan
pekerjaannys menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah,
sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar
sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak
melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak,
“Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu
menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok
“Dukk!” Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia
sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi
akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya
terasa nyeri.
Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak
keras, Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?” anak perempuan ini
menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki
Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
“Plakk! Aduh....!” Seperti halnya Can Ji Kun,
begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa terpelanting dan
memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa
kesakitan tangannya itu masihbelum kapok, bahkan kini keduanya mengambil
sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
“Hemm.... anak-anak nakal!” Laki-laki itu
membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian
meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji
Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk
melapor kepada suhu mereka.
“Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini.
Orang itu jahat dan lihai sekali!”
“Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin
setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?” kata Ok Yan Hwa.
Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kelau ada
orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang
mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan
biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan
tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan!
Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,
“Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya
boleh menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri.” Dua orang murid
itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si
Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau
memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan
itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini
karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia
juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan
karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jaun dari kuburan
raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok
berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk dan
kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua
buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia
pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali
tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana
mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja
Khitan?
“Sobat, apa yang kaulakukan di sini?” Ia
menegur.
Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya
dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya
yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat
seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun kurus dan agak
pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi
Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah
bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat.
“Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal
tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari
urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut
pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!”
Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang
ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali
tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus
dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
“Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa
yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh
mengubur abu jenazah di tempat ini!”
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam
dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan. “Hemm.... siapa yang
melarangnya?”
“Aku yang melarangnya!” Hauw Lam berkata
tegas.
Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan
menantang. “Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engikau mau
apa?”
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. “Akan
kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”
“Hemm, kaukira akan gampang saja? Cobalah!”
Kalau isterinya berada di sampingnya, belum
tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia
akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya
pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan
sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan
kesabarannya dan membentak “Manusia sombong! Pergilah!” Sambil membentak
demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk mendorong.
Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang amat
ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari
jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis
dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka
bertemu dengan kuatnya. “Desss....!“
“Ahhh....!” Keduanya meloncat mundur dengan
kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga
lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu
kepandaiannya telah meningkat hebat karena selama perantauannya dengan
isterinya ke negeri barat, ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan
ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga
untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto
Tang Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini. Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga
sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan
mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki ke
pandaian sehebat ini? Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut
sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya bukanlah orang sembarangan
sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini
tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di
hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian
sehebat itu tidak mungkin hanya menghalanginya karena sebab yang remeh seperti
mengalahkan dua orang muridnya. tadi.
“Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan
hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah majikanku di
sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu
jenazah ini di sini!” Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta
maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah
di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu
Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal
orang ini, dia pun menjawab.
“Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk
menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh
sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!”
Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu
bertanya. “Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang Sicu
miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”
“Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah
kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang
dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan
bertanya gugup, “Mutiara
Hitam....?”
Hauw Lam mengangguk. “Isteriku!”
Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw
Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang muridnya karena di
luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di
depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di
antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
“Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap
Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba....
mendiang Menteri Kam Liong....!”
Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan
matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu jenazah. “Apa? Kanda, Kam
Liong.... mati....? Benarkah....?”
“Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas
karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah
Panglima Khu Tek San, murid -majikan hamba .... mereka tewas dalam menolong
adik beliau, Kam Han Ki-taihiap....”
“Ahhh....!” Tang Hauw Lam menjatuhkan diri
berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, “Tidak dinyana.... Kam Liong
Twako....!”
Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan
semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada
saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu
dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya,
menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam
Liong dan Khu Tek San dan membawa abujenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai
dengan pesan Bu Kek Siansu. Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan
penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau
mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar isterinya,
tewas dan terbasmi seluruh keluargaberikut kerajaannya. Kini Menteri Kam
Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai
pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang
amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa
yang menjadi ayah mertuanya!Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui
nasibnya !
“Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat
setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kaumaafkanlah aku dan
murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku....”
Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa
ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya. Mendengar ini,
Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan
menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San
sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya
menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua
orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah
serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam
dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan
datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di
belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.
Tak lama kemudian muncullah serombongan
pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka gagah perkasa
dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu
bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya
gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang
ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat
kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang
namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya
berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada
Gu Toan dan Hauw Lam.
“Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja
datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang
Hauw Lam Pek-kong-to!”
Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia
meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata, “Akulah Pek-kong-to Tang
Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?”
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw
Lam, dari kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata
dengan sikap hormat, “Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama
menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar
Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat
bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara
Hitam!”
Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah
artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud membunuh Raja
Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan
nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,
“Apa yang terjadi dengan isteriku? Lekas
katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang
telah terjadi?”
“Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah
langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas
menyerahkan ini kepada Taihiap!”
Panglima Mongol itu mengambil sebuah
bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari
kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan
bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar
dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata
apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
“Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas
dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.”
“Tunggu dulu!” Hauw Lam tidak melanjutkan
niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata, “Ceritakan dulu, apa
yang terjadi dengan isteriku!”
“Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja
kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan
mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam
bungkusan. Selamat tinggal!” Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi
aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka membentuk barisan yang
rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul tinggi menutupi
barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu
ketika Gu Toan berkata halus, “Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan
tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup
yang amat berguna.”
Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut
menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak berani membuka bungkusan
itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya
dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak
bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa
berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi
bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu
mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh
iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah
terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam
mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali
sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari
tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya
yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga. Ternyata bahwa bungkusan itu berisi
sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu
permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk
pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan
yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu
Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapapun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan
hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tempayan dan
melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan terdengar
keluhnya, “Lan-moi.... isteriku....!” Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam,
mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu
menubruk dan memeluk tempayan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil
memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta
telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian dan
abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.
“Kwi Lan....!” Ia mengeluh lagi dan
mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan
kesadarannya.
“Subo....!” Can Ji Kun berseru sambil
menangis.
“Subo....!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian
meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas
dendam!”
“Aku juga!” Can Ji Kun juga meloncat berdiri
dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan pasukan Mongol.
“Ji Kun,, Yan Hwa! Berhenti....!” Tang Hauw
Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu
terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”
Kedua orang anak itu merangkak menghampiri
suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. “Subo telah mereka
bunuh....!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
“Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang
gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri.
Kalian patut berbangga
karenanya!” Kelemahan
dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat,
pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini
membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya
menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan
usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh
kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu
Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol
dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang
menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan
tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang
masih di tangan!
“Kami amat kagum dan terharu menyaksikan
kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,” demikian penutup surat yang panjang
lebar itu. “Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan
kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia
mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan
jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam
dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi
suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.”
“Kwi Lan....!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar
sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya
suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah,
dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali
kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah
Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang
Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.
Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan
tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata, “Gu
Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga
ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di
tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu
sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah
kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”
“Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya
kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga
sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat
mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga
majikan hamba.”
“Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan.
Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan
kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”
“Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau
hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan
bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap
mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap.”
Kedua mata pendekar itu menjadi basah.
Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih
berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “.... andaikata aku tewas
dalam tugas pribadiku ini, kaupimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan
aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.”
Biarpun dua titik air mata membasahi bulu
matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan,
mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku
sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang
akhirat. Selamat tinggal!” Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw
Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang
mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
***
Berlindung di bawah cuaca senja yang suram,
tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu
karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau
Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini
ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun
mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak
mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa
tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan
tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam
guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya sudah mencapai tingkat
tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan
yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia
tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan,
hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat
ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik
kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan
melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat
itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia
sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha
itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu
ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan.
Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan
seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang
longsor. Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang
amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya
adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah
kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti
dan mulai membuka-buka kitab.
“Inilah yang kucari!” serunya girang. Ia duduk
di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf
yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap
artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan
keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada
gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka
dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi
kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang
karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih
mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan
orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab
itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti
seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman
dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama
keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran
ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai
seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau
itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak
kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau
kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal
di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang
turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat
berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang,
terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk,
tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es
berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang
berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang
kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap
ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk
badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan
tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai
sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang
inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka
itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran
ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila
ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para
penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena
makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis,
bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu
silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini
bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya
bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang
terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya
keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han
Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah
kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan
kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan
lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki
menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya,
cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas.
Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti
sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget
dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua,
berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi
dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk
menangkis dan menakut-nakuti. “Trik-cringgg....!”
“Ayaaa....!” Han Ki makin terkejut. Sentilan
kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh
dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki
mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini, di antara serangan bertubi-tubi yang
benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang
menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang
punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau
memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang
kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada para
penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya
karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji
kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki
atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha
yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak
leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih
awas di dalam gelap.
“Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh....!” Han
Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari. Namun orang
dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin
hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han
Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak
hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih
dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di
belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang di antara sepasang dampit
itu mengeluh, “Mataku.... ahhh.... silaunya....!”
Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak
segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya
tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan
seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar
pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan
tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam,
melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
“Aduh.... silau....!”
“Tak dapat melihat....”
Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak
dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah
dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan
menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam
peti, kini telah menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan
binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit
yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya.
Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan
menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit
di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri.
Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han
Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar
di tempat pertempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha,
tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang
oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan
Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu
dibelenggu!
“Eh.... aku.... aku tidak melakukan
apa-apa....” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini
benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua
orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.
“Engkau telah melanggar larangan kami dan
telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.
“Akan tetapi.... dia.... dia yang menyerangku.
Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat
buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal
dari Pulau Es!”
Orang-orang itu saling pandang dan tidak
menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami tidak mengerti apa yang
kaukatakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti
itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan
mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah
membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan
tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”
“Akan tetapi mereka.... lihai sekali!”
“Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami
ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan
empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah
melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang
sumoimu harus meninggalkan pulau ini!”
“Akan tetapi....!” Han Ki membantah.
“Apakah engkau lebih suka kalau kalian
bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni
pulau?”
Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa
orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah. “Baiklah, kami akan
pergi besok pagi.”
“Sekarang juga!”
“Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah
orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula,
bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”
Han Ki mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!”
Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya
sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu,
menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke
pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum menyaksikan betapa
mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak, menuruni tebing
membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan perahunya,
mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada
mereka semua dan berkata kepada kakek botak.
“Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan
di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi
yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan.
Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya
terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang
selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu,
yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika
menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau
diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar
terang. Kapandaian mereka itu hebat sekali, kalau mereka kalian biarkan
keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”
Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya,
akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti
sempai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka
membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing
sperti seekor ular merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki
kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu
di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung
perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan
penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu
mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar
dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang
demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu
sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah
sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah memasang layar pada perahu kecil dan
berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya
mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak
samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
“Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki
berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan
tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh
sudah tampak lain daripada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan
cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak!
Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau
terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.
“Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?”
tanya Maya.
“Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,”
kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
“Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau
demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku
agar kita dapat cepat tiba di sana.”
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya
dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik
ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang
dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah
menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau
pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati
bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu
karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah
atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya
seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat beSar. Atau sebongkah es
raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan
guncangan sama sekali.
“Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup
tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru, gembira dan kagum.
“Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti
ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor
pun. Kita akan mati kelaparan di sini!”
“Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee
menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.
Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa
udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga
ia harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum
bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat
melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu,
membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.
“Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana
tentu tidak sedingin di luar.”
Mereka berlari cepat mendaki bukit karang.
Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat.
Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan
memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang
yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ
tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain
indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi,
karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya
lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan
bibir mereka menjadi biru.
“Mari kita masuk!” Han Ki berkata, khawatir
melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak
membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang
besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya,
“ Suheng.... jangan-jangan ada orangnya
di....“
“Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut?
Andaikata ada penghuninya sekalipun kita takut apa?” Maya mencela dengan suara
nyaring.
“ Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini?
Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu.
Marilah!” Han Ki bergandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak
digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang
itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan
terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang
itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar
mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga
di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah
orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak
berpasangan. Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih.
Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu
terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci
berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah
pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil
ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan
menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat
sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belasmacam senjata, biasanya
dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang
sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan
sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka
Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar.
Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak
benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa
keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar
yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam
istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak
sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan
lemari. Di ruangan belakang terdpat beberapa pintu yang menembus ke
kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek
Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan
orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.
Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan
silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya
amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca
itu terbuat daripada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan
adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoinya lebih baik, dan
lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan
darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung
gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan
bersyukur kepada suhengnya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke
Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.
“Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?”
Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung
tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut
kelaparan berada di pulau itu.
“Hemm, semua bahan makanan ini paling lama
hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke mana kita akan
mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
“Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw
Bwee.
“Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian
seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang
sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum
mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi
makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus
memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di
tempat ini.”
Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali
hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
“Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya
ribut-ribut. Kalian. berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang
kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus
mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang
tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam
pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di
tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan
serta seyur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan
mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik membantu aku untuk
membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi
perut. Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoinya melupeken
perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba untuk membuat
masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun
keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah
mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus
kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak
kedua orang sumoinya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah mau
kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada
Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah
teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang
halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya.
Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat
saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua arang anak perempuan itu,
dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan
itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat
menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupakan ”murid-murid” yang
amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak
mau saling mengalah. Betapapun lelahnya, seorang di antara mereka, kalau
melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah
merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun
dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di
bawah pengawasan dara bimbingan Han Ki mereka “sikat” satu demi satu! Tentu
saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri
sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun
dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi,
yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhunya. Dengan, dasar yang
telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu
yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di samping kegembiraannya
melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju
cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat
persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak.
Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau
kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya,
apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong
oleh kekerasan hatinya yang membaja.
“Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai
dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu malam Maya berkata ketika
mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi habis
musuh-musuhku, beum lega hatiku!”
Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini
tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk.
“Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada
batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”
Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin
melayani Maya, seolah-olah dia ignin melihat sucinya itu untuk kemudian ia
permainkan dan tertawa, segera bertanya, “Eh, Suci. Siapa sih itu
musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingge kau hendak membasminya semua?”
“Musuh-mushku?” Sepasang mata Maya yang indah
sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah
sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang
yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah
sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan
hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam
namun seolah-olah mengeluarkan api! “Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol
yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!”
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya
ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah
bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan
kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya
ini akan lebih “ngotot” lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak
mau “kalah” begitu saja dan ia langsung mencela, “Aihhh, Suci. Pandanganmu itu
keliru sekali!”
“Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam
kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh
ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?”
Biarpun Maya menyebut “sumoi yang manis” namun jelas bahwa dia marah terhadap
Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa kembali api di
antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera
memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana
pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan
penuh perhatian.
“Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki
kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu
tersembunyi kekuatan dan
ketenangan
yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi
korban, ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama
sekali tidak mendendamkepada seluruh kerajaan Sung!Aku tahu bahwa ada biang
keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan
mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan
kakitangannya.”
“Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi
musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan
kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini
merupakan dendam ini keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak
dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang
mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku
akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki
segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas
kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar
tekad Maya-sumoi,dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri
bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum
bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya,
maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak
membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin
untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai,
karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki
tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari
ilmu sampai aku dapat menandingi mereka”
Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee
melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan
karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?” Pertanyaan.
itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di
sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi,
betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar
jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Masih bergema di telingaku nasihat dan
wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya “siansu”. “Yaitu bahwa
dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali
Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan
penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga.
Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu
datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian,
namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa
diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi
sesuatu!”
“Akan tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah
penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya
adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi
sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu ,
sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan
menghela napas. “Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang
melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai
penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam
pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu
sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan suda kan memungut-Nya
sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”
Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak
puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.
“Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu
membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup
saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja
yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan
binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang
hal-hal yang mencelakakan kita!”
Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh
semangat itu. “Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib berikhtiar, akan
tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah
merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentuannya adalah di
tangan Tuhan juga.”
“Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka
kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran. “Suheng
sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana
Suheng bekerja sebagai seorang penglima yang setia! Aku sendiri tertimpa
malapetaka, ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri
dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga
kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan
seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia
jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat,
kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”
Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum
bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka
perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. “Sumoi,
manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak
Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga
Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir
sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya,
sungguhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri.
Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga
merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas
pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan
itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kaiau kita hanya
tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis
duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita
mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa
penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup.
Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan,
cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.”
“Ah, mana mungkin?” Maya membantah. Kalau
orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana
kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau
nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”
Han Ki menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah
permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri
sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah
pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara
menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia.
Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan
perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia
tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biarpun Sang
Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan,
kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji.
Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang
dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang
raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya
akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa
mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang
bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan
dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”
Dua orang anak perempuan itu mengerutkan
kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar
diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
“Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya
mendengus.
“Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap
menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!” Siauw Bwee berkata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa
memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia belaka.
Kesadaran datang bukan oleh palajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari
gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin
disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk
mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih
banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apakah
artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman
pahit aken membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat
berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman
yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.
“Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita
berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan
bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa
hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu
pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah
kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua
jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih.
Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira
sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok
sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi
yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi dan untuk
pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari,
menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih
prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali
karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi sucinya!
Memang kedua orang anak perempuan itu, biarpun keduanya sama tekun dan
sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki
bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa
Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan
berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi,
dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar
loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya. Juga
dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.
Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua
orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan. Dia yang
merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk Han
Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang
disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti
yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya
secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor
kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia
telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi.
Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han
Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika
engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari
telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang
lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi
melakukannya dengan terbalik. Harap kaulatih setiap hari dengan tekun.
Maya-sumoi.”
Maya mengangguk dan menjawab, “Baiklah,
Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidakpuasan
hatinya.
“Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh
sumoinya yang ke dua.
“Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik
dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi
agar aku mengenal kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan
lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca,
jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau
tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa
gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai bersilat dan
menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki
berkata,
“Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari
tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau
harus pandai mengumpulkan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar setiap totokan,
pada tubuh manusia akan berhasil baik.”
Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya
meloncat ke depan dan berkata,
“Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca
keparat ini!” Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang
dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat
“Krakkk! Dada arca itu retak-retak dan Maya,
menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan
jatuh di atas lantai.
“Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!”
Han Ki berseru marah. Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat
melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi
mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan
pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah
dan rusakl
Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa
sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan
berkata,”Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman....“
Han Ki menghela napas panjang. Maya amat
keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap dihukum
seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang? Siauw Bwee melangkah
maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak, bukanlah
kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk
menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini setiap hari
ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.”
Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoinya ini
memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan tetapi begitu
yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya! “Arca
ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus dapat membuatkan
penggantinya.”
Han Ki lalu mencari batu karang yang
terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari
itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam
usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki
bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya dan Siauw Bwee berseru
terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki
ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak
sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil
ukirannya yang tak terduga-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada
setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk
memperdalam kemahiran tangannya.
Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya
dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalen Bu Kek
Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang
gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apalagi Han
Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang
sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di samping ketekunan mereka
yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah
keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat
dewasa. Han Ki adalah seorang pemuda yang tempan dan gagah, lagi amat pandai.
Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan
merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara
remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang
menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling
menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga yang
memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk
pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh
yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi
bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di
dalam dirinya sendiri?
Kalau Han Ki sedang, melatih silat kepada dua
orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat,
juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yan cantik
jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki
kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki
daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan dapat
mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan
pengertiannya yang mendalam. Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati
ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam
berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa
dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada
serangkaian peristiwa yang amat hebat!
***
“Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih!
Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia
bernapas!” Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat
oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan wajah berseri,
diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas
tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk
burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee
lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana.
Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk
melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya,
yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang
dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan
kepadanya bahwa setelah kitabkitab yang ditinggalkannya di istana itu habis
dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
“Kitab-kitab pelajaran iimu silat tidak baik
ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu silat merupakan ilmu yang amat
berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali
terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya.
Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu,
kitab-kitab itu harus dibakar.”
Karena inilah, maka Han Ki terpaksa membakar
dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka
pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri
lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari
banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut
di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar. Cepat
ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan
Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan
mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw
Swee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu, bersitegang
hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
“Prakkk” Burung batu itu pecah menjadi
perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
“Ohhh....! Burungku.... aih, burungku
pecah....!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah
pecah berantakan di depan lututnya.
Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan
itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,
“Ahh, begitu saja menangis. Cengeng....!”
“Maya-sumoi!” Apa yang kaulakukan itu?” Han Ki
membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.
“Aku hanya ingin meminjam, dan melihat
sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!“
“Tidak! Dia memang hendak merampasnya!” Siauw
Bwee membantah, terisak-isak.
“Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang
lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya
mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
“Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih!
Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku.”
Han Ki mengerutkan keningnya. “Sumoi, burung
batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan
untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja
kubuatkan dan merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau
harus minta maaf kepada Khu-sumoi!”
“Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung
batuku.” Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa
Maya dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
“Lihat, Khu,sumoi begini baik kepadamu, akan
tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali menegur.
Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap
wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan
air matanya mengucur. “Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih
baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!”
Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
“Suci, kau hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak
mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
“Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk
pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia
kembali sendiri.” Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka
dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau
itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum
juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa
khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua
jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
“Kucari kemana-mana tidak ada .
Suheng.Jangan-jangan dia....“
“Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih
ada. Entah dimana nak nakal itu!”
“Suheng, Suci tidak nakal! Ahh.... dia harus
dapat ditemukan kembali, Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng,
aku khawatir sekali....“
“Tenanglah. Kaupersiapkan saja makan malam.
Aku akan mencari Maya ssmpai depat.” Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak
menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nyaring
memanggil nama Maya.
“Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....! Di
mana engkau....?”
Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan
pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergunakan
khi-kang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin
khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka
bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
“Maya....! Maya....! Maya....!”
Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring
bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya
tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah
keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah
mencarinya, agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya, terutama sekali
suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia
tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu
saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di
tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoinya, yaitu di dalam
ruangan bawah istana!
Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya.
Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan mainan sumoinya
dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suhengnya membela sumoinya, bahkan
memarahinya di depan sumoinya. Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia
mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka! Akan tetapi, ke
mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu
suheng dan sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi.
Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat,
yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih
berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun
ia dimarahi suhengnya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih
berada di situ. Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat
sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata.
Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan
bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk
mengangkatnya. Namun, arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan! Ia berdiri
memandang penuh penasaran. Sin-kangnya sudah kuat, masa dia tidak dapat
mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekalipun
pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat
sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca
dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi
tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan
kaki arca itu, lantainya berlubang? Akan tetapi keheranannya berganti
kegirangan dan ia berkata, “Inilah tempat sembunyi yang baik!” Tanpa ragu-ragu
lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di
bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan
niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang
dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di
bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi sedikitpun juga
tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil, Dia
dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah
istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena
lorong ini tidaklah gelap, melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu
datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang rahasia.
***
Akantetapikarenapenerangandi malam itu hanya
datang daribeberapa buah kamar saja di atas, yaitukamarnya, kamar Siauw Bwee
dan kamarHan Ki,jugadidapur, maka makinia turun ke bawah makin gelaplah
cuaca.Mayaberhenti dan duduk mengaso. Teringatlah ia kembali akan tujuannya
semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak mungkin
Han Ki dapat mencarinya di sini. Iatersenyum puas, akan tetapi mulai merasa
ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal inikarena
adalah penerangan di dapur, yangletaknya di atas tempat itu, dipadamkanoleh
Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
“Dia tidak ada!” Kata Han Ki sambilmenghela
napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
“Beginigelap,tentusukarmencarinya,” kata
Siauw Bwee.
“Besok akan kucari lagi sampai dapat.Heran
sekali, ke mana perginya anaknakal itu?”
“Dia tidak nakal, Suheng....”
Kembali pemuda itu menghela
napas,“Hemm,diaseringkalimengganggumudan kau selalu melayaninya, akan tetapi
sekarang kau selalu membelanya. Kaumakanlah, Sumoi.”
“Marilah, Suheng.”
“Makanlah, aku tidak lapar.”
“Suheng mengkhawatirkan keselamatanSuci?”
“Tentu saja. Entah di mana anak itu.Aku
bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana aku
tidakkhawatir?”
“Kalau Suheng tidak mau makan, akupun tidak
makan.”
“Makanlah, Sumoi, aku akan
pergilagimencarinya.”Han Kiberkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya
yanghilang.
Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan,
alisnya berkerut.“Dia.... dia mencintai Suci“ Tiba-tiba ia menjatuhkandiri di
atas bangku dan menyandarkanmuka berbantal lengan di atas meja, pundaknya
bergoyang-goyang. Siauw Bweemenangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak
tidur,gelisahdidalam kamarnya. Makananyang telah dibuatnya dan disediakan
diruangan belakang di atas meja, tidaktersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan
semalaman itu ia tidak kembali keistana, karena dia terus mencari Mayadiseluruh
Pulau Es, beberapa kalimengelilingi pulau sehingga setiap tempatyang mungkin
dijadikan tempat sembunyisumoinya itu dijenguknya sampai dua tigakali. Namun
hasilnya sia-sia belaka.
Setelah matahari terbit, ia berdiritermenung
ditepi laut. Tiba-tiba iamenepuk kepalanya sendiri. Ah, ke manaMaya dapat
pergi? Tidak mungkin dapatmeninggalkan pulau tanpa perahu! Tentuberada di pulau
dan karena semalampenuh ia mencari di luar istana, tentu sumoinya itu
bersembunyi di dalamistana!Mengapadiabegini
bodoh?Bergegasialarimemasukibangunanbesaritudanmencari-cari.Semuakamardimasukinya
danakhirnyaiamemasuki ruanganbawah,tempatmerekaberlatihtiam-hiat-hoat.Begitu
masuk,ia menciumsesuatuyanganeh,harum-harumdan amis, juga tampak olehnya
lubang diatas lantai dekat kaki arca yang pecah!Ia terbelalak heran, kemudian
tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubangitu.
Maya yang tertidur sambil duduk bersandar
dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap itu kinimenjadi
terang. Ia dapat menduga bahwatentu malam telah terganti pagi karenasinar yang
masuk dari atas adalah sinarmatahari. Timbul keinginan hatinya
untukmelanjutkanpenyelidikannya,maka iaterusberjalanturun, menurunianak tangga
batu. Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika
ia tiba di akhir anak tangga batudanmelihat ke depan ternyata bahwaanak tangga
itu berakhir di dalam sebuahruangan yang lebar dan di atas lantaitampak uap
mengebul memenuhi ruangan.Ia tertarik dan mendekat. Tiba-tiba ia menjerit dan
membalikkan tubuh hendaklari naik karena kini matanya yang sudahbiasa dapat
melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah.Puluhan,
bahkan ratusan ekor banyaknya!Ular-ular berkulitmerahberdesis-desis
salingbelitdanagaknyaular-ularitu melihat kedatangannya karena ular-ular itu
mengangkat kepala memandangkepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar
masuk mulut yang kebiruan.
Dengan hati penuh kengerian
Mayamelangkahhendaklarimenaiki anaktangga dan pergi dari tempat yang me
nyeramkanitu, akan tetapitiba-tibakepalanya terasa pusing, pandang matanya
berkunang dan seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnyagadis
cilik ini terguling roboh di atasanak tangga. Ratusan ekor ular merayap
perlahanmenghampirinya,akan tetapikarena anak tangga itu terbuat dari batu dan
licin, maka ular-ular itu tidak dapat
merayapnaik,barusampaidekatkakiMayasudahterpelesetjatuhkembalikebawah.Akantetapi,uapputihharumamisyang
keluardarimulut wereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidakmelihat
kengerian ini karena dia sudahpingsan, rebah terpelantingdi atas anaktangga .
“Maya....!” Han Ki terkejut dan
cemassekalimenyaksikantubuhMayamenggeletak di atas anak tangga sedangkan di
bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik.
Cepatpemudayangbanyak pengalaman danmaklum bahwa uap putih harum itu adalah
hawa beracun, menahan napas danmenyambar tubuh Maya, dibawanya larinaik
menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantailorong
yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega.Jalan darah
sumoinya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya
agakpanasdanmungkin sumoinyapingsankarena kaget. Cepat ia memijit beberapajalan
darah di tengkuk dan pundak Maya. Maya mengeluh,bergerakperlahan,membuka
matadan napasnya mulai terengah-engah!Halini mengherankan hati Han Ki, juga
mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya, mengangkat kepala
gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
“Maya-sumoi....!”
Maya memandangkepadaHan Ki.Pemuda ini
terkejut. Sepasang mata yangindah itukinimengandung sinaryang
amatluarbiasa,seolah-olahmengeluarkanapi,wajahyangjelita
i tumenjadikemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnyadahulu,yaituputeriSung
Kwi
diwaktuberlumba asmaradengan dia!
“Maya....”
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya
saking kagetnya ketika tiba-tibaMaya merangkul lehernya dengan
kedualengan,merangkulerat-eratdanmenyembunyikan muka ke
dadanya,didekapkankuat-kuat sambil berbisik, “Suheng ....ah, Suheng....!”
Kemudian gadis cilik itumenangis! “Suheng....apakah kau sayangkepadaku....?”
HatiHanKimenjadi lega karenatangismenandakan
bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan
Mayamembuat ia merasa aneh.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,”
jawabnya dengan cepat, karenamemang tentu saja dia sayang
kepadasumoinya,baikMayamaupunSiauwBwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulanyang lebih
ketat lagi sehingga ia merasatidak enak sendiri, lalu berusaha
melepaskanrangkulanMaya.Akantetapi,kedua lengan itu merangkul makin ketatdan
mulut Maya betbisik, “Peluklah akuerat-erat....Suheng....,jangan
lepaskanlagi....!”
“Maya....!”Han Ki berseru kaget danjantungnya
berdebar.
“Suheng....aku cinta padamu, Suheng....ahhh....!”Kini
Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki.
Pemuda itu terkejutseperti diserang
ularberbisa.Melihatmatayangpenuhgairahdarisumoinya,iamengertibahwatentuuapputihharumituyangmengandungracunaneh
sehingga mempengaruhi watak Maya yangluar biasa ini, seolah-olah gadis cilik
ituberubahmenjadiseorangwanitayangpenuh nafsu berahi! Cepat ia menotoktubuh
sumoinya sehingga Maya mengeluhdan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya
dan membawanya lari naik.
“Suheng....!Sucikenapa....?”SiauwBwee ternyata
mencari sucinya dan berhasil menemukan lubang rahasia. lalu memasukinya. Kini
dia melihat Han Ki berlari naikdari bawah memondong tubuhsucinya yangterkulai
lemas.
“Khu-sumoi, lekas kembali! Di siniberbahaya!”
kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari
naik dan keluar darilubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil,
maka Siauw Bwee yangkeluarlebihdahulumembantutubuhMaya yang didorong keluar
dari bawaholeh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam
kamarMayayangberadadisebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular merah
beracun.Agaknyadiaterkenaracunuapputih yang keluar dari mulut ular-ularitu,”
kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itusegera
tertidur pulas, “Dia perluberistirahat, biarkandia tidur agar hawaberacun
lenyapdari tubuhnya.”
SeharisemalamMayatidurpulas,bahkan dia tidak
terbangun ketika SiauwBwee menuangkan air obat yang dibuatoleh Han Ki. Setelah
memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di
punggung Maya, menggunakan sin-kangnya untuk “membersihkan”tubuhsumoinya dari
pengaruh hawaberacun.Pada keesokan harinya, Mayaterbangundan ia bangkit duduk,
mengusap-usap matanya dan memandang kepadaSiauw Bwee.
“Ular....banyak sekali ....,ular merah....!”
katanyagugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan
hatilega.“Engkausudahaman,Suci.Suheng menyelamatkanmu.”
“Akudisini,Sumoi,”HanKimemasukikamar,menekanperasaannyaagarguncanganhatinyatidakterlihatdiwajahnya.
Diapun menekan kemarahannyaatas perbuatanMayayangmembingungkan dia dan Siauw
Bwee semalam suntuk.
“Ahhh,kiniaku teringat....lubangrahasia di
bawah
arca.... lorong
di bawah tanah....dan ular-ular merah! Hiiih,menjijikkan!Suheng,kaumaafkanaku,ya?”
“Tidakadayangperludimaafkan,Sumoi. Akugirang
bahwaengkauselamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimanabisa
berada dibawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh
semangat.
“Akujuga ikut!” kata Maya sambilmelompat turun
dari pembaringan.HanKi tersenyum. Maya telah pulih kembali,telah
memperlihatkansikap tidak maumengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi
kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”
“Aku belum!” jawab Maya,
mendadakmerasabetapaperutnyalapar sekali. “Bukan hanya semalam,sudah dua
haridua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!”SiauwBwee
berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?”, Maya bertanya.
“Diagelisahmemikirkanmu,manabisa makan?” Han
Ki berkata.
Maya memandang SiauwBwee, lalumerangkul
danmencium pipi sumoinya.Melihat ini, HanKi
berdebar,teringatakanperbuatanMayasepertiitu terhadapnyaketika Maya dikuasai
racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguhsayang
kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bweebalas memeluk. “Makajangan kau pergi
lagi, Suci.Aku tidakbisa makan dan tidur kalau, kaupergi,”jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan
engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
JantungHanKiberdebar.IasepertimelihatbetapasinarmataMayainiberbedadaribiasanya,
bukanpandangmatakanak-kanaklagi,melainkanpandangmataseoranggadis
yangsudahmulaidewasa,pandangmata seorang wanita! Iamenekan debar jantungnya dan
memasangmuka cemberut, menjawab, “Aku setengah mati mencarimu, mana ingat
makandan tidur?”
“Aihh!Akumembikinsusah
kalian!Maafkansaja.Biarkumasakkan yangenak untuk kalian!” Maya berlari ke
dapur dan Siauw Bwee tertawa, menolehkepada Han Ki, berkata,
“Lihat! Suci begitu baik, mana bisadibilang
nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelahmakan, tiga
orangitulalubersamamemasukilorongrahasiadibawah tanah. Tadinya Siauw Bwee
danMaya membawa sebatang pedang karenamereka bermaksud untuk membunuh ular-ular
berbahaya itu. Akan tetapi merekadilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahayasekali. Baruuap yang
keluardari mulut mereka sajasudahamatberbahaya. Tidakmungkinkita dapat
mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”tanya
Mayayang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan
sesungguhnya, akibat racun ularmerah itumasih belum lenyap samasekali dari
tubuhnya, yang membuat iakini merasa ada sesuatu yang aneh
dalamhatinyaterhadapHanKi,yangmendatangkangairahdan rangsanganberahi namunbelum
dimengerti benar oleh hati nya yang masih belum matang.
“Aku akanmenggunakan api.
Tidakmungkinular-ularitu berada di sanatadinya. Suhu tentu tidak akan
membuarkan ular-ular berbahaya itu memenuhiruangan. Tentu ular-ular itu datang
darilain tempat, maka biarlah kuusir
merekaitudariruanganbawahtanah.Kalautidakmau pergi, binatang-binatang ituakan
kubasmi dengan api. “
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki
beberapakalipergimenggunakanperahu untukmencaribahan makanan,binatang
buruan,buah-buahandansayur-sayuran,jugaranting-rantingkeringuntukbahanbakardarlpulau-pulauyangberdekatan.Kini
iamerrrbawa ranting-rantingdan daunkeringsertamenyalakanoborrnemasuki
lorong rahasia itubersamakeduaorang sumoinya yang juga membawa ranting-ranting
kering.
Denganhati-hatimerekamenuruniannktangga,dan
dari atastampaklaholehmereka ular-ularitu dengan uap yangharum.
“Kitanyalakanranting-rantingdanmelemparkankebawah.Akantetapi
hati-hatilah,kalaumendekatkesanaharus menahan napas. Jika sudah tidaktertahan,
segeranaik lagi dan bernapas ditempat yang tak ada uap putihnya. UA itu
berbahaya sekali!” Han Ki berkata,“Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting
berapididekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihatdi
sudut ruangan itu adalemari dan meja, jangan sampaibarangbarang itu terbakar.
Siapatahu kalau-kalauSuhu menyimpansesuatudisana.”
Tiga orang itu membakar ranting
danmelemparkankebawah.Melihatmenyambarnyaranting-rantingberapi itu,beberapa
ekor ular lalu menerjang dantentu saja mereka bertemu dengan apidan seketika
mereka berkelojotan. HanKi dan kedua orang sumoinya melemparkan lagi beberapa
batang ranting berapi.Kembali ular-ular itu menyerang sambilmendesis-desis dan
begitu bertemu api,binatang-binatangituberkelojotandanmenyerang kawan sendiri
membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahubahwa benda-benda bernyala
itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik,bergerak saling terjang,
saling belit danberlumbalarimemasuki sebuah lubangyang terdapat di sudut
ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw
Bwee,meloncatnaikkeatas menjauhiuapberacun untuk bernapas, sedangkan HanKi yang
lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah
kuduga, tentu ada lubangnya yang menembusruanganitu.Merekamenggunakan ruanganitusebagaisarang!”
Dengan hatipenuh rasa jijikdan ngeri Maya dan
Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerakpergi dan tak lama kemudian, di
ruanganitu hanya tinggalbelasan ekor ular yang mati danadayang masih
berkelojotan. Uap putih yangtadi memenuhi ruangan bawah itu kinitelah lenyap
pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar mataharimenerobos
masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itumemang sengaja
dibuatuntuklubanghawadanlubangmemasukkansinar matahari.
“Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!”Maya
berseru dan hendak berlari turun.Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya
mencegah,
“Hati-hati, Sumoi.Biarpun ular-ular telah
pergi dan uap telahlenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular.
Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa
kitab-kitab.”Setelahberkatademikian,dengan hati-hati Han Ki menuruni anaktangga
dan menggunakan kakinya melern par-lemparkan bangkaidan tubuh
ularyangberkelojotankeluardari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda
inimencabut pedang,memotong dindingbatu yang cukup besar lalu menggunakan
sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan
ruangan.Denganpengerahantenaganya, iamendorongkanbatu sebesar lubang itulebih
dulu sebagal penyumbat,baru meletakkan batu besar itu di luarlubang.Kemudian
ia menghampiri lemariyangdaun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa
jilid kitab tua. Akantetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa
lemari itu tadinya tertutup dan “disegel' dengan sepotong
kainsuterayangadatulisannya.Agaknyakarena tua dan lapuk, terutama'sekalikarena
bisa ular, kain itu robek dan daunpintunya terbuka separuh. Han Kimengenal
tulisan di atas kain, yaitu tulisantangan suhunya dengan huruf-huruf kembang
yang amat rapi, maka dia tidakberani berlaku lancang. Dipegangnya kain
suteraitu, disambungkannya kembali barudibaca.Kagetlah iaketika membacatulisan
suhunya itu!
“Ilmu-ilmusilatdalam kitab-kitab ini amat
keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka,tidak patut dipelajari
pembela-pembela kebenaran dan keadilan.”
Membaca tulisan suhunyaitu, Han Kicepat
menutupkan kembali daun pintulemari, kemudian iameloncat naikmenghampiri kedua
orang sumoinya yangmemandang dengan heran.
“Suheng,kitab-kitabapakahitu?”Siauw Bwee
bertanya tidak sabar. Sepertijuga sucinya, dia selalu ingin sekali melihat dan
mempelajari ilmu-ilmu barudari kitab-kitab yang berada di istanaitu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidakkauperiksa
isinya, Suheng?” Maya jugabertanya.
“Mari kita kembali ke atas, nantikuceritakan,”
kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanyalagi karena melihat
wajahserius suhengmereka, setelah tiba di atas, barulahHan Ki menarik napas
panjang dan berkata.
“Memang ruangan di bawah ituhanyapantas
menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari
padasekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?”tanya
Maya.
“Kitab-kitab itu sengaja
disembunyikanolehSiansuagar jangandibacaorang, dan lemari itu tadinya
dipasangitulisansuhunyayangmelarang orangmembaca kitab-kitab yang katanya amat
keji,ciptaantokoh-tokoh buangan diPulau Neraka dan tidak patut dipelajarioleh
orang-orang gagah pembela kebenaran dan, keadilan.”
“OrangbuangandiPulau Neraka?Siapakah itu,
Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu jelas,Akan tetapi
ada disebut sedikit di dalamkitab yang kubaca ditempat keramatpenghuni
PulauNelayan. KetikakerajaankecildiPulauEsinimasihberdiri,yang
istananyakinikitatempati,terdapatorang-orangyangmelanggar
peraturandandihukumbuangkesebuah pulau yangmerupakan neraka dunia, sukar,
bahkantak mungkin orang hidup di sana, disebutPulau Neraka. Tentu hanya
orang-orangyang melakukan perbuatan-perbuatan kejisaja yang dibuang di sana,dan
melihatbetapa rakyat Pulau Es itu sajasudahamat lihai seperti kita buktikan
padaketurunanmerekadi PulauNelayan,maka para penjahatnya amat lihai.Kitab-kitab
dalam lemari itu adalah ciptaanorang-orang yang menjadi tokoh-tokohbuangan
Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main.Setelah Suhu
kita sendiri melarang,perlu apakita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak
membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidaksetuju. Apa
sih kejinya ilmu? Tergantungkepada orangnya! Akan tetapi ia
takutuntukmembantah,apalagimengingatbahwa terdapat larangan oleh
suhunyasendiri.Semenjak peristiwa itu, Mayatidak banyakrewelseperti biasa
akantetapi ada perubahan yang membuat hatiHan Kimakin khawatir, yaitu
bahwasering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang
mataPuteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia
tidaktahubahwadiam-diam,sesuaidenganwataknya yang halus, Siauw Bwee jugasering
kali memandangnya seperti itu. Cinta kasihbersemi di dalam lubuk hatikeduaorang
gadis remaja itu terhadapsuheng mereka. Dan perlumbaan dianta ra
merekadahuluuntuk menarik perhatiansuhengmereka, kini diam-diam
merekamelanjutkan dengan perlumbaan mencintapemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diamkarena kedua
orang gadis yang berangkatdewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus,
yang membuat merekasaling mengerti bahwa mereka mencintaHan Ki, bukan kasih
sayang seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan kasihsayangseorangwanitaterhadapseorangpria.Biarpunkeduanyatidakpernahmembuka
rahasiahatidarimulutmereka, namun keduanyasalingmengerti.Halinisamasekalitidak
diketahuiolehHan Ki,danmasihadalagihalyangtidakdiketahuiHan
Ki,yaitubahwadiam-diam Mayatelahturunkedalam ruanganrahasia itudandiam-diammem
buka dan membacakitab-kitabciptaantokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalahbahwa
keduaorang sumoinya itu belajar Ilmudenganamattekunnyasehingga merekamemperoleh
kemajuan pesat dansemuainimembuathatinyagembirasekali karenaia merasa bahwa dia
telah memenuhitugas yang dibebankansuhunyadengan baik.
Waktu berjalan denganamat cepatnyasehingga
tanpamereka sadari, merekabertiga telah tinggal di atas Pulau
Esselamalimatahun,Kini Mayatelahmenjadi seorang dara jelita berusia de lapan
belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi
seoranggadiscantikberusiatujuhbelastahun.Biarpunmerekaber tigatinggaldi
ataspulauyang kosng, namununtukkepentingan mereka,HanKi pergi menggunakan
perahunya membelibahan-bahan pakaian untukmsrekasehingga mereka selalu
dapatberpakaiandenganbaik,sepertitelahdapat didugasebelumnya olehHan Ki,setelah
kini kepandaiankeduaorangsumoinya itumenjadi matang, Siauw Bwee memiliki
gin-kang yang luar biasa sekali, yangme mungkinkannyabergerak seperti seekorburung
walet dan pandaipula menggerak.kan tenaga sin-kangnya menjaditenagahalus yang
memungkinkan dara inimem pergunakan telapak tangannya menghadapisenjata lawan
yang keras dan tajam. Dilain pihak,Maya juga memperoleh kemajuanluarbiasa,
tenaga sin-kangnyamengagumkan,kuatsekali, terutama sekali tenaga Yang-kang
sehingga kalauMaya memainkan ilmu silat
yangsifatnyapanas,darikeduatelapaktangannyamenyambar hawa yang panas seperti
apimembara!JugaMayadapatbersilatdengan gerakan indahseperti menari-narisehingga
dara yang memilikl kecantikanluar biasa dan khas Khitan itutampak seperti
bidadari kahyangan menari-nari.
Han Kisendiri memperoleh kemajuanyang sukar
diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicaritandingnya di
waktu itu. Usianyn sudahtiga puluh tahun, namun sikapnya sudahseperti seorang
tua, pendiam dan seringkali bersamadhi. Di samping
kepandaiansilatnya,jugakepandaiannyamengukirbatu memperoleh kemajuan karena
seringia latih. Dan pada waktu kedua orangsumoinya telah men jadi dara-dara
dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batukarang yang seperti batu pualam
putih,dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah
arcamereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
***
“Jangan tinggalkan aku....ohhh, Koko....jangan
tinggalkan aku....,bawalahaku pergi....!” Rintihan ini keluar
darimulutseorangwanitamuda,seoranggadis berusia delapan belas tahun yangcantik
jelita, yang pakaiannya setengahtelanjangdandicobanya membetulkanletak pakaian
ketika ia turun dari pembaringanmenghampiri seorang laki-lakiyang sedang
berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu mewah dan indah, kamarseorang puteri
bangsawan atau hartawan,bersih dan harum semerbak. Dara ituamat cantik, kulit
muka dan lengannyaputih seperti salju, halus seperti sutera.Rambutnya terural
lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sarlbunga.Pakaianyang
dipakalnya, yangsedang dibetulkan letakrrya, juga terbuat dari sutera halus dan
mahal. DI atasmeja dekat pembarlngan tampak hiasanhiasanbajudan hiasan-hlasan-
rambutdaripada emas dan batu kumala, serbaindah, dan mahal. Mudah diduga
bahwadaraberusiadelapanbelas tahuniniadalahputeriseorangbangsawan atau
seoranghartawan.Adapunpriayangsedangmembetulkanpakaiandengansikaptidakacuh ituadalahseoranglaki-lakiyangtampandansikapnyagagahperkasa,berusiakuranglebihduapuluhlimatahun,pakaiannyajuga
indahdan pesoleksekalisikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan
rambutnya.
“Aku harus pergi sekarang juga dan
engkau tidak boleh ikut, bahkan tidakbolehmengingatakulagi.Pertemuankita hanya
sekali ini dan untuk terakhirkali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagidi antara
kita.”
Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah
tidak percaya kepadatelinganya sendiri. Benarkah ucapan yang tadipenuhrayuan,yangmanisdansedapdidengar,yangmembahagiakanhatinya
semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara
dengansikap demikian dingin?
Ah, tidak mungkin! Dara itu lari kedepan dan
menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang danmenjatuhkandiri
berlutut,“Koko...., jangantinggalkanaku....,ahhh,tidakkahengkau mencintaku?
Bukankah tadi telahkaubisikkankata-katacintakepadaku? Mungkinkahorangseperti
engkau akanbegitutegameninggalkanaku?Ahh,Koko!”
“Hemm, cinta telah mati dihatiku.Mati karena
cinta palsuperempuan-perempuan sepertimu.”
“Koko...., aku....,aku cinta padamu
....,uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....?”.Dara itu menangis.
“Engkau?Perempuan?Mencintadenganseluruh jiwa
raga? Ha-ha-ha!”Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara tawanya mengandung
kepahitan.
“Koko....,sudah kubuktikan tadi cintakasihku
kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku, cintaku,
segala-galanya....?”
“HA-ha-ha,itukahbuktinyacinta?Seperti semua
perempuan yang telah kukenal.Bagimu, bukticinta adalah penyerahan
tubuhmu?Ha-ha-ha,pergilah, danbiarkanakupergi!
“Tidak....! Tidak....!Koko,jangantinggalkan
aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mauikut bersamamu,
ke mana pun kau pergi!”
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya
kebelakangdan tubuh dara ituterlempar ke atas pembaringan. Dia terbanting
ringan dan gerakan laki-laki itucukup menjadi bukti akan
kelihaiannya.SiDaraterbanting telentang diataspembaringan dan menangis
terisak-isakmemandanglaki-laki itu yang perlahanmenoleh sambil berkata,
“Tidak adacinta lagi bagiku! Akutidak percaya
akancinta. Yang ada ha
nyalahnafsu,kebutuhantubuh.Yangkauberikankepadakutadijuganafsu! Kita saling
berjumpa, saling memberi danmemintauntukmernuaskannafsu, dan habis perkara.
Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
“Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang
kucinta....!”
“Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nonamanis.
Akuadalah seorang yang dikutukbanyakorang,yangdianggapsejahat-jahatnya. Aku
dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa
Wanita! Entah sudah berapabanyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian berarti Dewa
Pemetik Bunga), akan tetapi,bukan kupatahkan tangkainya melainkankupetik atas
kerelaansi bunga sendiri.Ha-ha-ha!Aku penjahatbesar Jai-hwa-siandanengkau
seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau Ikut? Mencinta ku?
Ha-ha,menggelikan sekali. Selamattinggal,Nona manis, apayang terjadi semalam i
tuhanyamenjadikenanganmanis.”
Sekali berkelebat, laki-laki itu telahlenyap
daridalam kamar yang mewah.Hanya bayangan saja tampak melayang keluar dari
jendelakamar yang seketikamenjadi sunyisenyap, kemudian disusuldengan
isaktangis tertahan dara itu.Terbayanglahsemuayang
terjadiolehdarajelitaitu.Tigahariyanglalu,ketika dia bersamaayahnya berpesiar
naikperahu di telaga, perahunya bertumbukandenganperahu lain dan
terguling.Untungdariperahuyangmenumbuknyaitumeloncatkeluarseorangpemudatampan
dangagahyangmenyambardia danayahnya,bahkanmembalikkanperahusekaligus,
danmenurunkanmerekadi atasperahu. Ayahnyaseorangkayarayadantentu saja para
pelayan yang berada diperahu lain cepat memberi pertolongan, akan tetapi
andaikata tidak ada pemuda i tu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami
kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong. Setelah menolong, pemuda itu
tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya
sendiriyangddidayung pergi dengan cepat, tidakmempededulikan
teriakanayahnya.Akantetapi, ketikatadi menolongnya,menyambar tubuhnya, ia
mendengar bisikanpemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku menerima terima
kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis.”
Sehari itu Si Dara gelisah, akan
tetapikadang-kadang keduapipinya menjadimerah danjantungnyaberdebartidakkaruan
kalau ia terbayang akanwajahyang tampan, bentuk tubuhyang gagahdan sikap yang
halus dari pemuda itu.Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan
itukepada orang tuanya.Benarkahpemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu?”
Ah, tidak mungkin! Betapapun juga,hatinya menjadi gelisahdan malam itu
iamengunci semua jendela dan pintu kamarnya. Setelah merebahkan diri dan
menjelang malam barupulas dengan hati lega akan tetapi jugakecewa, lega karena
yang dlkhawatirkantidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi
(wanita memanganeh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama ia pulas, iaterbangun
dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat,kenyataan bahwa
pemuda yang dibayangkan setiapdetik sebelum pulas tadi kini telah rebahdi
sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini,akan tetapi setelahbenar-benar
terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendakmenjerit.Akan tetapi
sekali bergerak, jari tanganpemudaitutelahmenotokjalandarah dilehernya membuat
dia tak dapat mengeluarkansuara.Kemudian,denganhalusdanmenarik,pemuda itumencumburayu,membujuk-bujukdengan
halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara inisama sekali tidakmenjerit
atau melawan.Jangankan melawan, bahkan diamembalas setiap rayuan laki-laki
yangtelah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuhdan mabok, menyerahkan segalanya
dengan hati rela karena dia merasa yakinbahwa pemuda itu mencintanya,
makatentu akan meminangnya.
“Aahhh....!”Dara itu menangis makinsedih
ketika teringat akan itu semua.Kiranya dia menjadi korban seoranglaki-laki yang
keji! Dan tidak lama kemudian,terdengar suara aneh dari dalam kamaritu, seperti
suara leher dicekik, suarayang akan menggegerkan seisi rumahpada esok harinya
karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di
kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah SumaHoat!
Seperti telah diceritakan di bagiandepan, karena patah hati sebagai
akibatterputusnya cinta kasihnya dengan CiokKun Hwa, kemudian ditambah lagi
dengan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya
sendlri,Suma Hoatmenjadi seorang laki-lakiyang suka mempermainkan cinta wanita.
Mula-muladia hanya ingin membalaskansakit hatinya kepada wanita, akan
tetapilama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaandan menjadi penyakit sehingga dia
berubah menjadi seorang yang selalu men cari korban, seperti seekor burung
elangyangselalu kelaparan mengintai dariangkasa mencari anak ayam! Karena
ilmukepandaiannya tinggi dan tidak pernah iadapat ditangkap, bahkan banyak
oranggagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberl
julukanJai-hwa-slan(DewaPemetikBunga),bahkan nama aselinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diridi kamarnya
itu adalah korban yang entah ke berapa ratus, dan begitu keluar dari kamar,
Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri darayang telah
menjadi korbannya. Dia tahubahwa banyak di antara mereka
yangmembunuhdiriuntuklaridariaibdanmalu,adapulayangdiam-diammerahasiakanperistiwasatu
malam itu,akantetapidia tidakpedulidanjugatidakingintahu.Begitu
keluardarikamar,dianggapnyabahwadiantaradiadankorbannyasudahtidakadasangkut-pautlagi,tidakadahubunganatauurusanapa-apalagi.
Sudahlebihdarilimatahuniameninggalkankotaraja,meninggalkanorangtuanyadanselamaperantauannyadiduniakang-ouw,iamenyaksikandenganmatakepalasendirisepakterjang
orang-oranggagahdankekejaman-kekejamanyang dilakukan oleh orang-orang
golonganhitam. Biarpun dia sendiri tidak beranimenganggap dirinya sebagai orang
gagahatau pendekar budiman, namun di lubukhatinya ia selalu merasa kagum kepada
para pendekar itu dan muak menyaksikankelakuan tokoh-tokoh dunia hitam.
Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnyaselama ini melakukan
perbuatan-perbuatansewenang-wenangdan mulailahiamenaruh penghargaan kepada
Menteri Kam,
paman tuanya yang amat ia takuti itu.Dan ia
berjanji di dalam hatinya untukberusaha menjadi atau sedikitnya
mencontohperbuatan-perbuatanpara oranggagah.Karenaitu,pemudaini selalu
mengulurkan tangankepada pihak yangtertindas dan menentang golongan duniahitam
sungguhpunia tidak dapatnaeninggalkan kesukaannya merayu wanita-wanitauntuk
menjadi korbannya, bahkan ka lauperlumenggunakankekerasan!
Iamaklumbahwaperbuatannya itutidakbaik, akan tetapi dia sudah mencandu dan
tidak dapat menghentikannya,terutama sekalikalau ia ingat akan sakit hatidan
patah hatinya. Inilah sebabnya, di sampingkebiasaannyamemperkosawanita, ia pun
seringkali menolongorang-orang lemah tertindassehingga diadisamping julukan
Pemetik Bunga(Pemerkosa) jugadi juluki Dewa!
Pada masa itu, terjadilah perubahan
besar.Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yucen
yangmenjadi makin kuat, kemudianmalah barisan Mongol ikut pula menyerbu,
diam-diam dibantu olehpasukan-pasukanSungyangberadadalam
kekuasaanJenderalSumaKiat, makaKerajaanYucen
bolehdibilangtidakadalagisaingannyadi daerahutaradi luartembok besar.
BenarbahwabangsaMongolsudahmulaimemperlihatkankekuatannya,namunbangaainisedangmembangundanmenyusunkekuatan
mengatasibentrokan- bentrokandidalam,diantarabangsa
sendiri.MakabangsaYucenmenjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikansebuahwangsa
baru yangdisebutWangsa Cin. Namun segera menjadi ke nyatean pahit bagi
KerajaanSungbahwaKerajaanCinyangbaru initernyatalebih bengis dan
sewenang-wenangdaripada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh.Biarpun dahulu
Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk
Kerajaan Sung,dansetiaptahun KerajaanSungmengirim upeti sebagai tanda
persahabatan,namunRaja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan
darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak danselalumemperlihatkan
sikap yang bersahabatdan saling menghormat. Kinibangsa Cinyang tahu akan
kelemahanSung, menuntutupetiyang lebih besardan yang sifatnya memaksa,
seolah-olahupetiharus dlberikansebagaitandapengakuan kebesaran kerajaan baru
Cin.
KalaudahulubangsaKhitantidakpernah mengganggu
Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya,
bersikapmenghina kepadabangsa Han, bahkan sedikit demi sedikitdaerah-daerahdi
utarayang termasukwilayahSungdirampasdengankekerasan. Kerajaan Sungtak dapat
mempertahankandaerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya,
terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali.
Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang
amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang
korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah
kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olahtidak
mempedulikanbetaparakyatnyadisebelahutaraditindas,dirampok,ditawandandipaksaolehbangsaYucenyangkinimempunyaiKerajaanCinyangmakinkuat.
Pesta pora, bersenang-senang,melakukanpemilihan dara-dara muda jelitasetiap
bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik,membuang-buangkakayaansemena-menatanpamempedulikanbahwa
semua itu adalahhasil keringatrakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakanoleh
kaisardan keluarganya setiap saat
Diluaristana,pembesar-pembesarkorup berbuat
sekehendak hatinya, mera jalelatanpaadapengawasan,masing-masingmempunyaikekuasaanseperti
raja-raja kecil di daerah masing-masing,mempergunakan
kekuasannyauntukmelakukan apa sajademi kesenangan diripribadi,
memeras,memaksa,merampasdan mengadakan
peraturan-peraturanyangmenekanbawahan.Setiap protesdannasihat dianggap melawan
kekuasaandanterjadilahpenangkapan-penangkapandan hukuman-hukuman serta
pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana sendiri,
Kaisarhanyasepertiboneka hidupyangtenggelamdalam pelukan data-dara
mudajelita,dalamarak-arakwangi dan hidanganserbalezat,mabok olehtubuhramping
berlenggak-lenggokmenari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyianmerdu, dan
terlena oleh bisik dan bujukrayu kaum penjilat.Kekuasaan yang sesungguhnya
tidak terletak ditangan Kaisar,melainkandipegangoleh para
pembesarthaikam(orang kebiri) melaluilidah dan tubuh menggairahkan pera
selir.Sedemikian besarkekuasaandanpengaruh parathaikam dan selir muda i tu
sehinggabolehdibilangseluruhurusankerajaan merekalah yang memutuskannya.Urusan
pengangkatan pembesar-pembesar,baik sipilmaupunmiliter tergantung kepada
mereka. Mereka mengajukan usuldan Kaisar menelannya begitu saja.
Karenaini,timbullahsistimkonco-isme,keluarga-isme,dansogok-isme,sogokan yang
berupa apa saja, benda mati maupun benda hidup, benda mati berupa emas permata
dansutera-sutera halus,benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaansemacaminitentusajamengakibatkan makin
lemahnya KerajaanSung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partaipersilatan dan
perkumpulan-perkumpulanoranggagah merasa marahsekali dan kecewabukan main
sehinggamereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim
itu.Mereka inilaluterpecah-pecah, mendukung danmembantupembesar-pembesar
danraja-raja muda yang menguasai daerah- daerahdan yangmulaimemberontak
dantidak mengakuikedaulatan pemerintahKerajaan Sung pusat. Yang paling
dibenciolehtokoh-tokohkang-ouw danolehpembesar-pembesardaerah, diantarapara
pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup,adalah JenderalSuma
Kiat.Kebencian mereka memuncakketika pera pembesar daerah ini mendengar akan
perbuatam Suma Kiat terhadapMenteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya
sepenuhnya sebagaipenegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani
dalammenentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas.
Bukan hanya para pmbesardaerahyang membenciSuma Kiat, juga terutama sekalipara
tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu,menjadi sakit
hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah terjadi kesimpangsiuran danbentrokan-bentrokan
ketika pata pembesar daerah ini berkuasa danberdaulat didaerah masing-masing
dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap
saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokohkang-ouw
dan juga mata-mataparapembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan mengadakan
aksi anti Kaisar dan anti KerajaanSung.KecualiSiauw-lim-pai. Pada waktu itu,
yang menjadi ketuaSiauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yangamat tinggi
ilmunya, yaitu Kian Ti Ho Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika
para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan
kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,“Omitohud ....,segala
peristiwa telah dikehendaki YangMaha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak
terjang manusia yang selalu dikuasainafsupribadinya!Kitaadalahorang-orang
beragama yang bertugas menyebarkanagama,adasangkut-pautapakahdengan urusan
kerajaan? Siapa pun yangmenjadi pembesar, bagi kita sama saja,mereka
adalahmanusia-manusia yangbelum sadar dan sudah menjadi kewajibankita untuk
memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan ke rajaan,berarti
terjatuhkedalamapipermusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat
kita.Tidak,Siauw-lim-paitidak boleh terbawa-bawa dankalian semua pinceng
larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah,
orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf, Supek, teecu sekalian tentusaja
mentaati pesan Supek dan semuanasihat Supek benar belaka,”kataseorang hwesio
yang menjadi murid kepala,yaitu Ceng San Hwesio yang dianggapsebagai seorang
hwesio yang paling “maju”danyangdiharapkan kelakmenggantikan kedudukanKetua
Siauw-lim-paisetelah ketua sekarang yang terhitungsupeknya itu mengundurkan
diri, “akantetapiapabilabadaimengamuk,semuapohon besar kecil akan diamuk
badai.Binatang-binataang kecilseperti burung sekalipun akan berusaha
menyelamatkan diri , apakahkita harus mandah saja menjadikorban keganasan
badai?” Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendakmengatakanbahwa
pertentangan antaraparapembesardaerahdibantuorangkang-ouw dengan pemerintah
pusat tentuakanmendatangkan perang dan mereka tentuakanterlanda akibatperang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum
bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping menjadi kaum beragama, juga
merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja
merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela. “Pohon akantunduk oleh
kekuasaan alam danakancondong ke mana angin bertiuptanpa perlawanan. Mencontoh
sifatpohonbukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat
mencontohnyatirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan
keselamatandiri tanpa merusak dan merugikan pihak lain.Nah, kalian tentu mengerti
dan laksanakanlah pesan pinceng ini.Setelahberkata demikian, Kian Ti Hosiang
bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa
ketua itu mengakhiri wawancaradantelahmulaibersamadhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini
dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai
yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan
dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan
ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
CabangSiauw-lim-paidikotaLo-kiu juga melakukan
politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itumelakukan tugas
mereka sehari-hari didalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar
pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan.
Beberapa kali merekadidatangitokoh-tokohkang-ouw,kakitangan para pembesar
daerah, dan petugas-petugas pembesar pusat untuk menarik mereka yang merupakan
tenaga kuatuntuk berpihak, namun semua permintaanditolak dengan halus oleh Gin
Sin Hwesio,ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktuitu memang belum ada terjadi
perangterbuka, namuntelahadabentrokan-bentrokankecilantarakakitangan masing-masing
pihak dan di mana-mana, termasukdi Lo-kiu,
terdapatpertentanganpahamdandiam-diam terdapatmata-matasemuapihakyang saing
menyelidiki.Namunseperti biasa,rakyatyangsudahkenyangakanpertentangan itu dan
mash melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu.Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh
tamuyangdatanguntukmakan minum sambil bercakap-cakap. Ditempat-tempat seperti
inilah sering kalidijadikan tempat pertemuan antara temangolongan masing-masingsehinggatidak
jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yangmengakibatkan luka-luka
dankematian. Akan tetapi, hal ini amatlahmengherankan dan mengagumkan pihakyang
melakukan bentrokan selalumengganti kerugian pemilikrestoranataurakyat yang
menderita rugi akibatbentrokan-bentrokanitu.Haliniadalahkarenamasing-masing
golonganbukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba untuk merebut
hatirakyatyangamat diperlukan dukungannya.Karena itulah, makapemilik
restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan bahkan
sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan
perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan
jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap
bijaksana, tidak mencampuribentrokan-bentrokan i tukarena sekali mereka ini
mencampuri danberat sebelah, berarti mereka akanmenanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoranitu
sudahhampirpenuholeh tamuyang datangberbelanja. Ketika seorang pemuda tam pan
yang pakaiannyaindah, dengan pe dang bergantung di punggung, gagah sekali
sikapnya, memasukirestoran,pelayanmenyambutnyadenganramahdanmempersilakanduduk
di meja sudut sebelah dalamyangkosong.Pemuda inibukan lain adalah Suma Hoat.
Semenjakmeninggalkan gadis yang kemudianmembunuh diri, dua hari yang lalu, dia
belumi bertemu dengan wanita yang menggerakkan berahinyasehingga hatinyamenjadi
kesal.Iamemasukikota Lo-kiu, jugadenganniatmencaricalonkorbannya,akan tetapi
wanita didaerah ini tidakadayangmenarikhatinya.
Iamenanggalkanpedangbuntalanpakaiannya,meletakkandiatasmejadanmemesanmakanandanminuman.Setelahpelayanpergiuntukmelayanipesanannya,pemudainimenyapuruanganrestorandenganpandangmatanya.Tamu
yang memenuhitempat ituterdiridaribermacam-macam golongan,dan ramailah
merekaitu bercakap-cakap dengan temanmasing-masing yang duduk semeja. Tidakada
yang menarik perhatian Suma Hoat,karena mereka itu terdiri dari
pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan
pelancong memenuhi restoran sambil berca
kap-cakapbersendau-gurau,keadaannampaknya tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang tamu barumemasuki
restoran, perhatian Suma Hoatsegera tertarik sekali. Orang ini adalah
seoranglaki-lakiyangusianyasebaya dengannya, paling tinggi dua puluh limatahun
usianya, pakaiannya sederhanase kali, bahkan yang amat mencolok adalahkakinya
yang tidak bersepatu, telanjangsamasekali! Laki-lakiinimemanggulsebuah tongkat
dan ujung tongkat tampaksebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi
pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak adakeanehan
menonjol pada dirinya, kecualikakitelanjangitu dan sinar matanyayang tajam,
senyumnya yang seolah-olahmengejek pada keadaan di sekitarnya.Rambutnya diikat
ke atas dan dia lebihmirip seorang tosu perantau, hanya pa kaiannya tidak
seperti pendeta To-kauw(Agama To), melainkan seperti seorangpetani yang
bangkrut!
Tidaklahmengherankan apabila pelayan restoran
menyambut tamu istimewaini dengan alis berkerut, hati curiga danpandang mata
pelayanitu naik turunmelalui pakaian sederhana dan kaki telanjang. Laki-laki
itu menglkuti pandangmata Si Pelayan lalu berkata,
“Bung Pelayan, engkautidak melayanipakaian dan
sepatu, bukan? Yang kaulayanibukanpulaorangnya,melainkanuangnya, bukan?Nah,
akumempunyaiuang itu, maka jangan ragu-ragu
melayaniuangku!”Setelahberkatademikian, laki-laki i tu menepuk-nepuk
bungkusannya danterdengarlah suara berkerincingnya perak.Pelayan itucepat
membungkukdan mempersilakantamu aneh itu dan tidak jauhdarimeja Suma Hoat.
Ketikamelewati meja ini, laki-laki tadi melirikke arah pedang yang terletak di
mejaSuma Hoat, mengerling tajam ke arahSuma Hoat, lalu tersenyum dan
membungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarikhatinya, Suma Hoat pura-pura tidak
melihatnya. Didalamhatinya ia merasagelidanmenganggapbetapatepatnyaucapan
orang aneh itu. Memang tidakdapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang
matanya sudah tertutup oleh bayanganperak danemas,silauolehharta dunia
sehinggasetiapgerakan merekamerupakanpengabdian terhadapharta dunia! Orang
menilai orang lainbukandariorangnya,melainkandaripakaian, kekayaan,
dankedudukannya,pendeknya yangdinilaiadalahhal-halyang sekiranya dapat
mendatangkan kesenangan dankeuntungan bagi yang menilai! Buktinya tersebar di
mana-mana.Datanglahkerumahseseorangddengan pakaian butut dannama tak
terkenal,maka engkau akan disambut dengan penuh
curiga,pandangrendahdanpenghinaan karenaSi TuanRumahmanganggap bahwa engkau
hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidaksenangan belaka. Sebaliknya, kalau
engkaudatang dengan pakaian serba
indah,dengankekayaanberlimpah,dengankeretamewahdandengan
namabesarsertakedudukan,tentuengkauakandisambutdenganterbongkok-bongkokdantersenyum-senyumkarena
engkau dianggap akanmendatangkan keuntungan ataukesenangan! Hal ini tak
mungkin dapatdibantah lagikarena memang kenyataannya demikianlah.
Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam
Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah
bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun senjata pada
dirinya. Timbul kegembiraannya kaena ada sesuatu yang menarikhatinyadan
didalamhatinyatimbulpula keyakinanbahwa munculnyaseorangto kohluarbiasa
sepertiinitentuakan disusuldenganperistiwayangmenarik.Akantetapi
iameragu.Jangan-jangan orangyangmasihmudainihanyaberlagaksaja,karenapadawaktuitumemangtidakjarang
orangberlagakdenganpakaiandan
sikapyanganeh-anehagardianggaporanganeh,atausetidaknyaagardianggap
bahwadiaadalahlain daripadayanglain!
SiPelayanyangsudahbiasamelayaniorang-orangkang-ouw,kalautadinyamenganggaplaki-lakiitusebangsapengemlsyang
merugikan,kinidapatmendugapulabahwaoranganehitutentulahseorangkang-ouwmakaiabertanyadengansikap
hormat.
“Sicu hendak memesan apakah?”
Akah tetapi orang itu tidak menjawab, hanya
memandang ke arah pintudepan. Si Pelayan menoleh ke arahpintudan tiba-tiba
mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu
dan lari terbungkuk-bungkukmenyambut datangnya serombongan tamu yang tiba.
Melihat ini, Suma Hoat memandang pula dan diam-diamia menaruh perhatian karena
dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka
adalahorang-orangpenting dan orang-orang yangmemiliki ilmu kepandaian tinggi.
Merekaitu terdiri dari dua orang yang pakaiannyaseperti perwira tinggi, dua
orang pulaberpakaian sebagai orang-orang kang-ouwdengan pedang di punggung, dan
seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul danberpakaian serba kuning.Pada
waktusekacauitu,melihat seorang pendetahwesio memasuki restoranbukanmerupakan
penglihatan aneh.Lima orang itumemasuki ruangan sambilbercakap-cakapdan
tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayanyang menyambut -segera berkata,
“Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang
terhormat! Pesanan ciangkunkemarin telah kami sediakan. Silakan, disanalah tempat
terhormat Ngo-wi!” Pelayan itu dengan bantuan beberapa orangtemannya lalu
mengatur meja, tiga mejadisatukan di tengahruangan itu, di depan meja Suma Hoat
dan orang bertelanjangkaki. Dengan sikap angkuh lima orang itumenarik
kursidanduduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangiSuma Hoat dan Si
Tosu membelakangimeja laki-laki berkaki telanjang.
Suma Hoat mulai makan, akan tetapidiam-diam ia
memperhatikan lima orangitu, dan jugamemperhatikan Si KakiTelanjang yang masih
belummemesan makanankarenaditinggalkanpelayanyang kini sibuk melayani lima
orang itu.Karena lima orang itu menanti pesananmakanan mereka yang amat banyak
sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telingadan
menangkap percakapan mereka.
“Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai
gundul itu!” kata seorang perwirayang bertubuh tinggi besar.
Akantetapi,mulaimalamnantimereka tidak akan
dapat tinggal diam lagi!” kata perwira kurus sambil tertawa.
“Kabarnya
mereka lihai,” kata orangyang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunyaberwarna biru.
“Aahh, yang lihai hanya ketuanya, danpinto
sanggup melawannya,” kata Si Tosudengan suara rendah. “Pinto akan
memperkenalkandirisebagaitokoh Hoasan....”
“Sstt, harap Totiang hati-hati,” perwira
gemuk mencela dan menolehkekanan kiri.
“Takutapa?”Tosu itu berseru danmelirikke arah
Suma Hoatyang masihmakandanberpura-pura tidakmendengar. “Semua sudah diatur
baik.”
“Memang Hoa-totiangbenar.
Kalaupusatperkumpulan merekamendengarbahwa cabang mereka terbasmiolehperwira
Sung dan tokoh Hoa-san, hendakkulihat apakah ketua pusatnya akan tetapdingin
saja,” kata pula perwira kurus.
Percakapan merekaterhenti karenamunculnya
empat orang pelayan yangmembawa hidangan yang mereka pesan.Banyak benar
hidangan itu dan merekasudah mempersiapkan sumpit ketika mereka dikejutkan
oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,
“He, Bung Pelayan yang tidak adil!
Akusudahdatanglebihduludan
pesanlebihdulu,mengapaorang-oranglainyangdatangbelakangandilayanilebihdulu?
Sungguh menjemukan!”
“Sicu,harapbersabar....!”Pelayanmembujuk
dengan wajah ketakutan, bukantakut terhadap Si Kaki Telanjang,
melainkantakutkepadarombonganlimaorang itu karena ia membungkuk-bungkukkepada
dua orang perwira sambil menggumam, “Ciangkun, maafkan.... !”
Melihat ini, Suma Hoat menjadi panasperutnya
dan ia pun berkata, “Pelayan,tugasmu melayani tamuyang
sama-samamembayartanpapilihkedudukandanpilih kasih!”
Pelayan itumakinketakutandan empat orang
pelayan mundur-mundurketikamelihatbetapalima orang itumelototkanmatamereka.SiPerwirakurus
memencet hidungnyadanberkata,“Wah-wah, banyak sekali lalat di sini!Membikin
orang kurang bernafsu makansaja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!” katanya dan
menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan, kain itu ia gerakkan keatas,
ke kanan kiridan.... belasan ekor lalatyang memang banyak terdapat di
situterkena sambaran angin pukulan, runtuhsemuake atas meja SiKaki Telanjang!
SiKakiTelanjangmelihatbangkaibelasan ekor
lalat di atas mejanya, danterdengarlah suara ketawa lima orang ituterbahak-bahak,
“Ha-ha-ha!” Si PerwiraKurus yang memperlihatkan kepandaiannya itu tertawa.
“Kalau sudah amat kelaparan,lalatpun merupakan hidanganyang lumayan!”
“Ha-ha-ha-ha!” Limaorang itu bertawa lagi,
yang paling keras ketawanyaadalah Si Perwira Kurus karena ia sengajahendak
menghina Si Kaki telanjangyang menoleh sambil tertawa mangerlingke arahSi
KakiTelanjang.
“Ha-ha-ha-hauuup....!”Tiba-tibe SiPerwira
kurus menghentikan ketawanya,matanyamendelik,ia terbatuk-batuk
danberusahamengeluarkantiga ekor lalatyangmenyambarmemasukimulutnya
yangtaditertawadankinibersarangketenggorokkannya.
“Haaak-agghh....haaakk-huaaakkk!”
“Eh,kaukenapa?”Temannya,SiPerwiraGemuk,bertanya,jugatigaoranglainnyamemandangheran,menghentikanketawamereka.
“Ughh-ughh....,lalat....,masukmulut....,
sibedebah!”Perwirakurus itu terbatuk-batuk danempat orang temannya
tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itumenjadi terheran-heran juga mengapa
adalalat bisa masuk ke mulut teman mereka.
“Tiga ekor...., ihh, huakk, si
keparat!”Perwiraitumenyumpah-nyumpahdanterpaksa menelan tiga ekor lalat itu
karenatidakberhasilmengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.
Suma Hoat memandang dengankagum. Iamelihat
tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk kirinyamenyentil tiga
ekor bangkai lalat dariatas mejanya dan menerbangkan bangkaitiga ekor lalat itu
memasuki mulut SiPerwira Kurus. Dia ikut merasa gembiradan tak dapat menahan
ketawanya.
“Ha-ha-ha, memang bagi yang kelaparan, tiga
ekor bangkai lalatjugamerupakan hidangan lumayan!”
Lima orang itu semuamenengok kepada Suma
Hoat, dan Si Perwira Gemuklaluminumaraknyasetelahberkata, “Menangkap lalat
banyak caranya, akusuka dengan cara ini!” Setelah minumarak semulut penuh, ia
lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat
yangbeterbangan.Belasan ekor lalat disambar percikan arak, danberikutpercikan
araknya, bangkai-bangkai lalatitu menyambar ke arah Suma Hoat! Inipun merupakan
demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnyaSi Perwira Kurus
tadi, Si Gemuk itu punmenyemburdengan pengerahan tenagasin-kang yang kuat.
Dengan tenangSuma Hoat
melambaikantangankirinya dan percikanarakbersama bangkai-bangkai lalatitu
terputar-putarkemudian iamengangkatmangkokkuahdansemuapercikan arakberikut
bangkai lalatmasukkedalammangkok itu, semua masuk dengan
tepatseolah-olahdituangkankesitu.SumaHoat memandang kepada Si Gemuk danberkata,
“Kalau orang gemar kuah deging lalat,
silakanminum!”Makaterbanglahmangkok dan kuah itu ke arah Si PerwiraGemuk.
“Setan....!” Si Perwira berseru dan mengelak
dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari
atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan
bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan
perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu
hancur berkeping-keping!
“Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka
mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat,
ha-ha-ha!” Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan,
diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang
tadi sudah menarik perhatiannya itu.
“Makanlah!” Si Perwira Kurus menyambar dua
buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si
Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan
kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua
buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
“Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!” katanya gembira.
Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi
penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok masakan dan melemparkan ke
arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si
Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang
pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua
sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.
“Singggg....!” Tiba-tiba tampak sinar
berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki
Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu
dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga “senjata rahasia” itu menyambar
cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima
sambaran mangkok-mangkok terakhir.
“Ke sini....!” Suma Hoat membentak, tangannya
diulur ke depan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat dan...., piring yang
berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke
arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakkannya ke arah
tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakannya ke atas meja.
Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka
sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang demikian lihai.
Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara
mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
“Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak
melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata.” Ucapan ini
biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang
pandai.
Empat orang temannya juga sudah bangkit
berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama
sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.
“Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran
manakah?” Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat,
bertanya.
“Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak
mempunyai urusan dengan siapapun juga,” kata Suma Hoat acuh.
“Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau
yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan
tergolong lalat hijau,” kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
“Kalau begitu, sekali lagi maaf,” kata Si
Perwira Kurus. “Karena belum mengenal, kami telah bersikap lancang, dan harap
Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”
“Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu
merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit,
siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?”
Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan
berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil berkata, “Hidangan kami
hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati.
Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak
meninggalkan restoran itu.
“Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si
Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. “Harap jangan mempermainkan aku
orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau
kalian pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku
membayarnya!”
“Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!” Suma
Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.
“Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus
kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang berkata membantah.
Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan
menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk, “Ini bayaran hidangan!” kata
Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si
Pelayan. Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau
banyak, akan tetapi dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli
dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
“Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya
kurang?” Si Kaki Telanjang menegur pelayan. “Kalau kurang bilang saja, mereka
harus menambahnya!”“Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi....“
Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di telapak tangannya dan
ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu
sepertidijepit jepitan baja yang amat kuat!
Si Kaki Telanjang tertawa, “Bagus, kalau
lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!” Pelayan ini pergi tanpa
berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar
terhadap dua orang aneh ini, apalagi dia!
“Mari, sahabat yang tampan. Kita makan
bersama!”
Suma Hoat menjawab, “Makanlah sendiri. Aku
tidak rakus!”
Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian
bangkit berdiri dan membungkuk. “Aihh...., dasar aku si tukang rakus!
Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di
dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu.”
Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama
besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya
masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut
kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang
dianggap “murtad”, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh
dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan
berkata, “Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang suci di dunia ini
menyebutku Jai-hwa-sian!”
“Haiii!” Im-yang Seng-cu meloncat bangun,
kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya, “Jangan
berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!”
“Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian,
dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan....”
“Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau
Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu
secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku,
makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang
tadi!”
Suma Hoat memang tertarik sekali untuk
berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi,
maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki
Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan
lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
“Benarkah engkau Jai-hwa-sian?” Tiba-tiba
Im-yang Seng-cu bertanya.
“Kalau benar mengapa?” Suma Hoat balas
bertanya.
Im-yang Seng-cu tertawa. “Engkau jantan
sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku tidak bisa
percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu.”
“Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan
apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal.”
“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama
julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali denganmu. Biarlah
kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu
tentang lima orang tadi?”
“Mereka lihai, akan tetapi sombong.”
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Mereka
merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama
Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak membuktikan bahwa
sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kaulakukan terhadap rencana mereka?”
“Rencana yang mana? Tentang niat mereka
menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,” jawab Suma Hoat.
“Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu
kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar
baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan
mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!”
Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah
dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan melanjutkan
menyumpit dan makan potongan daging.
“Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,”
jawabnya.
“Apa?” Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya.
“Jai -Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini
bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah
seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?”
Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan
memandang tajam. “Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan
pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi
aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain,
sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar.”
Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah engkau mengerti tentang
keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?”
“Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan
dunia kang-ouw.”
“Kalau begitu, engkau perlu mengerti.
Dengarlah baik-baik,” Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai
tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak
pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia menambahkan,
“Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua
Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk
tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar
sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti
mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian,
dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini
berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para
pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang
tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana
itu menjadi berantakan?”
Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar
bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti
Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman
tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah
tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang
amat menyesalkan hatinya.
“Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu
bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si ?”
Yang ditanya tertawa, “Biarpun dalam hal ilmu
kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya
tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentsng keledai-keledai
gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang
memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat
kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini.
Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang
akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”
Suma Hoat tersenyum dingin. “Silakan!”
Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu
bangkit berdiri dengan sikap marah.
“Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah
menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!” Im-yang
Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat
dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan
restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.
***
Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri
saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai yang hendak
menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang berada di
sebelah barat, di ujung kota.
”Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang
mengepalai kuil ini, katanya kepada penjaga kuil.
Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda,
memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab, “Suhu sedang
bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng
dapat melayani Sicu.
Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar
menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka katanya
keras, “Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang
menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk
urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio
keluar menemuiku!”
Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun
aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikapnya
begini angkuh? “Maaf Sicu,” jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras.
Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun
urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya
dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya
melayanl orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan
bersembahyang.”
Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu
melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang
suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar?
Dia penasaran dan berkata lagi, “Engkau sungguh terlalu curiga dan kleras
kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!”
Sepasang mata hwesio itu terbelalak.
Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga
serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena
hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw.
Sambil menjura hwesio itu berkata,
Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan Sicu,
Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan
Hoa-san-pai.”
“Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai,
melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting
yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini,
melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kauberitahukan kepada
suhumu sebelum terlambat.”
Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara.
halus, “Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?”
Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu
adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih,
bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan
bertanya. “Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil
ini?”.
“Benar, Sicu.” Hwesio itu berkata dan balas
menjura dengan hormat.
“Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan
penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu.”
“Omitohud.... ! Pinceng merasa menerima
kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar kang-ouw yang
ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam.”
Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang
sederhana namun bersih sekali, dan duduk berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu
berkata, wajahnya serius, “Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar.
Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin
kuilnya akan dibakar!”
Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini
dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya
terpancar dari kedua matanya. “Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang
Sicu bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal
hebat itu? Kami selamanya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat
dengan semua golongan....“
“Aku mengerti Losuhu!” Im-yang Seng-cu
memotong tak sabar. “Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan
Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua
kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap
diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab
ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti.”
Mulailah hwesio itu tertarik. “Siapakah yang
akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?”
“Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi
yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar
sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung.” Dengan singkat
namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat
dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu.
Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai
yang lebih condong dengan sikap suhengnya di pusat, yaitu Ceng San Hwesio yang
bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti
sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan
alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.
“Banyak terima kasih akan peringatan Sicu.
Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat begitu jahat terhadap
kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup
menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu.”
Im-yang Seng-cu membelalakkan mata, “Losuhu,
aku akan membantumu!”
“Tidak baik kalau pihak luar mencampuri, kami
sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar sehingga
permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!”
Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya.
Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri,
menampar kepalanya sendiri dan mengomel, “Dasar si bodoh yang ingin mencampuri
urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! “Selamat
tinggal, Losuhu!” Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
“Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah
paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima
bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan
orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira,
kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka
agar tidak melanjutkan niat jahat mereka sehingga perdamaian dapat dijaga dan
dipertahankan.”
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu mendengus marah
dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa kependekarannya
mengalahkan rasa jengkelnya dan biarpun penawarannya untuk membantu ditolak
mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu
pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya namun juga amat
keras kepalanya itu.
Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam
yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya terang karena para
hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biarpun
hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat
besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang
Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu
oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua
puluh orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup kuat karena
murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya
menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila
melakukan samadhi di tengah ruangan depan.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim
Hwesio berkata, “Siap....!” Dan perintah ini segera disampaikan kepada semua
murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam
orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang
berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang ditugaskan
menjaga di dalam, segera keluar membawa obor sehingga sinar penerangan di
ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu. Gin Sim
Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio
di tangan kanan , memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan
Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan
seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya
terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa
kepandaiannya amat tinggi, orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa
atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi
kuil kami secara ini?”
Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin
penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari pinggangnya, “Kami
adalah dua orang perwira tinggi ,Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil
Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!”
“Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!”
kata Si Tosu sambil mengejek.
“Omitohud! harap Cu-wi tidak membohong lagi
karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira-perwira Sung
yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai.
Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi
sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan
pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga,
dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai dan
memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi
selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum
kita semua melakukan dosa!”
Lima orang itu saling pandang dengan mata
terbelalak, “Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang membocorkan....!”
teriak Si Perwira Kurus.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu
di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha,
kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah ketagihan lalat
lagi dan datang ke sini hendak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak
ada lalat hijau, ha-ha!”
“Engkau.... Im-yang Seng-cu!” Tiba-tiba orang
pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Hemm,
hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahulah aku
bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!?”
“Setan kau!” Dua orang perwira gendut dan
kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw, sedangkan
tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang
Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya
dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis
serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat luas
ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si, “Bagaimana, Losuhu?
Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha,
orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan tongkat penggebuk
anjing!”
“Omitohud...., terpaksa pinceng melanggar
pantangan berkelahi!” Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat hwesionya
dan melanjutkan, “Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan tetapi
jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!”
Akan tetapi, biarpun mulutnya berkata
demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang
lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan
kanan telah membuat senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan
tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh
terjengkang dan muntah darah!
“Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak
membunuh tentu kita yang akan terbunuh!” Im-yang, Seng-cu tertawa lagi,
tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang campuraduk, ia
berhasil mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Imyang Seng-cu
adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang
terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana,
merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat. Memang mempelajari ilmu
silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga
kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan
atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun
juga, baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad
dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu
silat dan “mengawin-ngawinkan” semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh
kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan
lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga
memudahkannya untuk menghadapi lawan itu.
Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga
jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai
sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap
melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sambil
bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring:
“Betapa dunia takkan kacau-balau oleh tingkah
mahluk bernama manusia
pendeta tidak segan berbuat dosa
pejabat tidak segan bsrbuat khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang kaki
membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
tinggal dia menanti hasil terakhir!
Oh dunia....!Oh manusia....!
Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan”
Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung
tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk
menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan
langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus.
“Pletak!” Tulang kering kaki kanan Si Perwira
Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.
“Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!” Perwira kurus
itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia
berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul
adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.
“Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar
membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi!” Im-yang Seng-cu mengejek dan
mendesak tiga orang pengeroyoknya.
“Im-yang Seng-cu, manusia sombong!” Tiba-tiba
sebatang golok besar menyambar dari belakang.
“Syuuutt...., tranggg!” Im-yang Seng-cu mundur
dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya menangkis
golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut
pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan
Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggalkan Gin Sim
Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini
hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan
tewas. Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan
gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat
dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala, tetap saja kedua orang hwesio
ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri,
tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.
Adapun Im-yang Seng-cu, biarpun masih
tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah para
pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan, akan tetapi
begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat
kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya.
“Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan
mata, engkau masih banyak berlagak?” Im-yang Seng-cu masih mengejek.
“Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu
Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau mati,
jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan,
bertelanjang kaki!”
Im-yang Seng-cu tertawa dan diam-diam ia
mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya.Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa
dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika
merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika
tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat
memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu
terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan pada
saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak.
Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh,
menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba
tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke atas kepala
Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu.
Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong
Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan
melontarkan tuuh si gendut tu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.
“Ngekkk....broooottt!” Tubuh si Gendut
terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan, tanpa
disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
“Idiiih....! Bau....! Bau....!” Im-yang
Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya
memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.
Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia
tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut! Memang aneh
sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam “penyakit” yang mungkin
timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di
dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah
longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan
hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit ke
belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika menghadiri
ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran
tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan sekarang,
karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut
pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka,
ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki,
“Im-yang Seng-cu calon bangkai! Makanlah
golokku!” Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga
Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus pertahanan
dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi
itu. Sekali ini ia terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid
kepalanya.
Gin Sim Hwesio mulai merasa khawatir karena
murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia
berseru, “Celaka....!” Dan ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada
Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bahkan mengirim
tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api
bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia
mengelak, pedang itu berkelebat ke bawah melukai pahanya. Ia terhuyung dan
muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menyusul
berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti teriakan-teriakan
kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang
cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang
menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar
ke belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang
mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan
berseru,
“Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian
(Dewa), bukannya Kwi (Setan)!”
Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab,
hanya menggerakkan pedangnya, diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw
yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.
“Siapa engkau....?” Thai-lek Siauw-hud
membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak
menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan,
“Mau kenal sahabatku ini? Dialah
Jai-hwa-sian!”
Si Gendut terkejut sekali. “Mengapa orang
seperti engkau membela Siauw-lim-pai?”
Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang dan Si
Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
“Cringggg!” Golok dan pedang bertemu dan
melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang
panjangnya, menyambar ke leher Suma Hoat dari belakang.
“Pergilah....!” Suma Hoat membentak,
menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke
belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga pedang
perwira gemuk menyambar atas kepalanya. Detik itu juga, pedang Suma Hoat
meluncur dari bawah, Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas dan ia
terjengkang roboh, darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
Akan tetapi, puluhan orang sudah menyerbu
datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan gadis-gadis yang
memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid
dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si
yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai
membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang yang
membakar kuil dan memadamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim Hwesio dan
Im-yang Seng-cu.
Terjadilah pertadingan yang berat sebelah
karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang mempertahankan
hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
“Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi
anjing-anjing keparat ini!” Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan cepat
mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar
ketinggalannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua
orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah
manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan
tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.
Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian
tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku bernama Thian Ek Cinjin,
Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah
remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah
terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua orang itu cukup hebat,
namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat Im-yang seng-cu dan Thai-lek
Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena
datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan
Suma Hoat, sedangkan Gin Sim Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali
melindungi diri sendiri.
Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan
terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh ke
belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah
terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para pengeroyoknya yang masih
muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh terjengkang dan rebah sambil
memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya maut dengan serangan
senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan menimpa dirinya.
“Trang-trang-trang....!” Pedang-pedang yang
menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang pengeroyok roboh
terguling ketika Suma Hoat meloncat datang meninggalkan para pengeroyoknya
untuk menolong Gin Sim Hwesio. Hwesio itu kini sempat bangun kembali. Darah
mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat memasang kuda-kuda dan
melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya kena
ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya robek dan kulitnya ikut robek
sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk,
ia masih terus memutar pedangnya menyambut datangnya serangan Thai-lek
Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.
Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik.
Biarpun ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula. Dada kanannya
tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sin-kang sambil
emmbanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek
berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:
“Malang-melintang di dunia kang-ouw
menentang kejahatan mengabdi kebenaran
tongkat di tangan haus darah dan nyawa
para penjahat angkara murka
biarpun tewas dalam membela kebenaran
dengan senjata tongkat tetap di tangan
apa lagi yang membuat penasaran?”
“Bress! Prookk!” Kembali dua orang pengeroyok
roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang
Si Tosu yang lihai telah berhasil membacok ke arah lehernya. Im-yang Seng-cu
cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat
keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek!
Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika
tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.
Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan
pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan mata tertimpa api
penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman-temannya mundur, kesempatan
itu dipergunakan Suma Hoat untuk meloncat jauh menyambar tubuh Im-yang Seng-cu,
dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.
“Kalian berdua mempertahankan di belakangku!”
kata Suma Hoat dan mulailah terjadi pengepungan yang ketat terhadap tiga
orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga Im-yang Sengcu sudah
terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu mengirim serangan
balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.
Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan
Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat. Biarpun pundaknya sudah
berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua orang yang terluka
sambil balas menerjang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga
sedikit saja ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban. Im-yang Seng-cu kagum
dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim
Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada
Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim-pai
dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya
sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang Suma Hoat, ia memutar
tongkat sambil bernyanyi
“Dia dikatakaan Pemetik Bunga
perbuatannya bergelimang darah menghitam
kini dia mati-matian membela
kebenaran dengan taruhan nyawa penuh rela
hitam atau putihkah dia?
Dia disebut berbudi seperti dewa
tapi betapa banyak air mata runtuh dari
dara-dara
menangis dengan hati merana
setan atau dewakah dia?”
Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian
ini hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Im-yang Seng-cu yang dalam
himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si
Kaki telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya diujung pedang dan
amukannya membuat gentar Thai-lek Siauw-hud. Thian Ek Cinjin dan anak buah
mereka. Malam sudah hampir terganti pagi dsn mulailah para penyerbu merasa
khawatir. Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk,
tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia belaka. Maka
Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak buahnya mulai
mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari
meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.
“Engkau ikut denganku!” Tiba-tiba Suma Hoat
berseru, tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar pinggang seorang
di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan
ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan melukai gadis berpakaian
hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedangnya membacok,
akan tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di
lain saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang
cantik itu tak dapat bergerak lagi.
Kemudian, tanpa menoleh lagi, Suma Hoat
meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
“Eh, nanti dulu!” Im-yang Seng-cu berseru.
“Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak
menyampaikan terima kasih
Gin Sim Hwesio juga berteriak, akan tetapi
Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab.
Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin
Sin Hwesio, “Itulah seorang pendekar besar yang rusak hatinya oleh asmara!
Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi
siapa kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat
berpisah!” Im-yang Seng-cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang
sudah lenyap di telan keremangan pagi.
“Omitohod....!” Gin Sim Hwesio merangkap
kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus mengakui bahwa
keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai
sehingga tidak terseret dalam pertentangan adalah jasa pertolongan orang muda
yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk
semua orang.
Im-yang Seng-cu, melakuan pengejaran. Hatinya
penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma
Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar
hatinya, Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar yang mengagumkan. Akan
tetapi sayang seribu kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan
lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka mengganggu wanita!
Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian
disertai tekad untuk membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa
ditawar-tawar lagi, pada akhirnya dicemarkan oleh perbuatannya yang amat
tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda dan
cantik. Penculikan yang jelas diketahui apa maksudnya! Padahal, di waktu
mengamuk tadi, demi membela kebenaran membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia sudah
terancam bahaya maut dan kalau dikehendaki. Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu
masih sempat melarikan diri. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mau
menyelamatkan diri tidak mau meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu
yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!
“Jai-hwa-sian.... bagaimana aku akan dapat
menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?” Im-yang Seng-cu berlari terus dan baru
setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa-sian yang membawa lari
korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok-kiu!
Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan
dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang itu, dan tahulah
ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik rumpun itu, di atas
tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap
mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi korban itu. Betapapun
kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang perlu
ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu
berkorban nyawa! Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang diantara
para pnyerbu kuil semalam, seorang anak buah Coa Sin Cu akan tetapi
persoalannya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang terancam
kehormatannya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh
seorang pendekar yang semalam mempertahankan nyawanya untuk membela kebenaran!
Ia menduga bahwa tentu akan mendengar gadis
itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa)
menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau
mengancam. Akan tetapi, muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya
terbelalak ketika ia mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.
“Koko.... aku.... aku cinta padamu! Betapa
gagah perkasa engkau.... betapa.... tampan dan mesra! Koko, aku rela menjadi
milikmu selamanya...., aku cinta padamu!”
Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian,
suaranya mengandung kegetiran, “Aku tidak percaya akan cinta! Perempuan yang
cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya nafsu! Nafsu
berahi! Dan aku....” Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul bentakan,
“Im-yang Seng-cu! Aku suka bersahabat
denganmu karena aku kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri urusan
pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan kuanggap
penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!”
Im-yang Seng-cu menarik napas panjang, merasa
malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk mengintai dua orang yang
sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan, dan kedua
telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada
Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini? Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat engkau
sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran.”
“Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut
urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga, dan sama
sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi
atau aku terpaksa menggunakan kekerasan?”
Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan
ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian, sungguhpun ia maklum bahwa
orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia sudah terluka cukup parah.
Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru
orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan
mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas dan terhina. Akan
tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan
“pertolongannya”? Bahkan, kalau ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang
tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa
yang ditolongnya dan untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia menggerakkan
pundak lalu pergi dari tempat itu.
***
Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw
Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di
dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi,
persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia kagum akan
hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua
orang sumoinya. Baru sekarang ia dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis
remaja itu sepuas hatinya. Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara
keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi
kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui
bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan
kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apalagi
ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
Gerakan harus di belakangnya pada saat itu
amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum
bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar
gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat membedakannya. Apalagi, ada
keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka
memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari
pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya karena dia tahu
bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
“Suheng....”
Han Ki menoleh tersenyum.
“Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi.
Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
Maya berlutut di dekat suhengnya.
“Suheng, arca siapakah yang terindah di antara
tiga buah arca ini?”
Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil
tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu saja arcaku sendiri!”
“Ah, Suheng sombong!” Han Ki hanya tertawa.
“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih
cantik?”
Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat
menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa
melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”
Wajah yang itu berseri, manis pandang mata
yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat.
“Suheng....” Maya menyentuh lengan suhengnya, “Benarkah engkau anggap aku
paling cantik?”
Han Ki menatap wajah sumoinya dan memang dia
harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang
sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang
amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh “Engkau memang
cantik jelita, Sumoi.”
“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi
kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak
garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung,
agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka
sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih
muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah,
“Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti,
tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau
pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini
“Maya....!” Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh
perasaannya sendiri itu melanjutkan.
“Suheng, bukankah aku lebih cantik pula
dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
“Maya-sumoi....!”
Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan
suhengnya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi....,
aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu....?”
Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di
luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung
Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah
itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu
menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki
melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya,
memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang
menyesakkan dada.
“Suheng....!” Maya juga bangkit berdiri dan
memeluk pinggangnya.
“ Maya-sumoi, jangan....!” Han Ki berkata dan
melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah
sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoinya. Kini ia telah menguasai nafsunya
dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.
“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi
semua sikap dan kata-katamu tadi!”
“Suheng....! Aku.... cinta padamu,
Suheng....”
“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
Maya memandang dengan mata terbelalak lebar,
seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan
dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak.
Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang
dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca
itu. Maya mencintainya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan
sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga
mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama
Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi? Namun ahhh...., dia bergidik
kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk
ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah,
betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang arca
Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh
hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
“Kau...., kau mata keranjang!” Han Ki menampar
kepalanya sendiri, terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat
ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya
dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas
perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya
memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua
kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya
mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,
“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku
ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri.”
Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee
ragu-ragu den memandang suhengnya, kemudian berkata, “Ini tentu kesalahan suci
entah apa sebabnya!”
Han Ki terkejut, akan tetapi menindas
perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat demikian?”
“Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau
makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya ddan menghiburnya dia malah
membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia
mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!”
Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya,
ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau kelihatan berduka,
Suheng. Kenapakah?”
“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Suheng, selama lima tahun kita tinggal di
sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis, Suheng,
engkau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, disamping
ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut
berduka....”
Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti
ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya.
Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja,
Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh,
bagaimana dengan perahu yang kaubuat? Telah selesaikah?” Dia sengaja
membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoinya itu.
“Sudah, Suheng. Layar yang kauberi sudah
kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang
kulihat di sebelah selatan itu”
Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau
kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana.”
“Aku ingin menagkap kijang.“
“Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari
yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”
“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak
membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini.”
Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan
memandang sumoinya. “Apa? di sini ada aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari
kijang untuk teman?”
Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya
lemah seperti berbisik, “Aku...., aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng
tarutama sekali.... sekarang ini....”
Setelah berkata demikian Siauw Bwee
membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
“Hei....! Khu-sumoi....?” Han Ki memanggil
akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya
itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
“Perempuan....!” gumamnya dengan hati
terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan makin berduka karena
perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai
kesulitan-kesulitan dengan kengan kedua sumoinya itu. Untuk melupakan
pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah
arcanya.
***
Pada keesokan harinya, barulah pekerjaannya selesai
dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena
mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah
suara pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Biasanya, desir angin
pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih akan tetapi sekali ini,
desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan nyaring orang
bertempur. Ia merasa heran dan khawatir sekali cepat meloncat bangun dan
melesat keluar dari Istana Pulau Es. Ketika ia tiba di luar, ia berdiri kaget
melihat betapa kedua orang sumoinya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon
tumbang batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoinya yang berkelahi
dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih.
Sekali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang
sungguhsungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat
mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan
lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina
kehilangan anaknya.
“Maya....! Siauw Bwee....!” Berhenti....!”
Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan
larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak
dekat, tidak hanya mengandalkan sin-kang seperti tadi, melainkan menggunakan
jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman
maut, totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki
tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau
sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”
“Dan engkau....! Engkau yang menjadi biang
keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya membalas dengan
teriakan marah.
“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku,
sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
“Kau perempuan tak bermalu!”
“Engkau yang tidak tahu malu!”
“Sumoi.... !” Jangan berkelahi!” Han Ki
berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga.
Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan
terhuyung-huyung.
“Kau.... membelanya....!” Siauw Bwee berkata
sambil menangis.
“Kau.... kau.... melemparku dahulu, kau....
benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.
“Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian
berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku.... aku....
ahhh.... !” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!
“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau
mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
“Suheng, engkau bilang aku paling cantik di
dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah.... engkau cinta kepada Sumoi?”
Maya juga menuntut jawaban pasti.
Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa
berkunang-kunang, dan sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak
tahu..., aku tidak tahu kalian adalah kedua orang sumoiku, seperti adik-adikku
sendiri...., aku tidak cinta siapa-siapa....!”
Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar
berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia
asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan
tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua
tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di
sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang bertiup membawa datang
salju-salju tipis. Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari
kedua orang sumoinya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan
pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi, mereka
tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu
berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagiselatan. Ia
mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat,
sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning
meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring,
“Sumoiiii....!” Akan tetapi, samar-samar dia hanya melihat kedua orang
sumoinya itu menoleh dan melambaikan tangan kemudian tangan yang melambai itu
menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki
menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari
pandang matanya.Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ, dia sudah mengambil
keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi, kini kedua orang
sumoinya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau
Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya. Teringat dia akan
cita-cita kedua orang sumoinya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa
sumoi-sumoinya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia
mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana?
Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan
mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapapun juga, dia harus menyusul mereka
dan berusaha.
Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi,
Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu
perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah
hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi
Maya dan Siauw Bwee, lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah
kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoinya itu. Han Ki
menjatuhkan diri duduk di pantai, termenung, hatinya kosong, pikirannya
melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya
selama ini. Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini
dan selama itu ia dahulu selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan
sesuatu. Kemudian, pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia
merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang
dicintanya itu. Namun, rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau
ini bersama kedua orang sumoinya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua
orang sumoinya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan
akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan
Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek
Siansu, gurunya yang bijaksana,
“Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak,
jangan kaupersalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi
sebab daripada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah
sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat
memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri
pribadi jauh lebih penting dan berharga daripada mengenal cacat selaksa orang
lain.”
Teringat akan petuah ini, Han Ki
mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan
hati dan kehilangan ini, lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya
mengenai hal ini.
“Segala peristiwa merupakan mata rantai yang
tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan
saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas,
kecewa dan lain-lain hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan iba diri.
Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang
bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan
KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang
kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang
KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada,
sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan!
Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita
duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana
yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka maupun duka!”
Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa
tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin
bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia. Orang yang tidak
mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan
kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir
kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan
menimbulkan duka. Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang
sumoinya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di
hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong
Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andaikata dia tidak
memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
“Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki.
Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa
memiliki, pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga
batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu
sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu
berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka
karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul
dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut
disesalkan.”
Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan
mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat yang amat
mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi, sungguhpun
ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak dada. Bukan hanya
karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang
sumoinya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan
karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!
Mulai saat
itu bangkitlah semangat Han Ki dan lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa
pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil
sederhana,meninggalkan Pulau Es,meninggalkan tiga buah arca mereka yang
seolah-olah menjadi mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.
Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal
pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati
Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoinya. Dia
mencintai suhengnya, dan melihat sikap suhengnya selama lima tahun dia tinggal
di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suhengnya mencintainya. Bukan hanya
mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan cinta seorang
pemuda terhadap seorang dara! Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh
keyakinan, menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suhengnya
mengukir arcanya, jari-jari tangan suhengnya itu penuh perasaan dan amat mesra,
sehingga ketika ia menonton suhengnya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa
seolah-olah jari tangan suhengnya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba
dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi,
mengapa suhengnya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada
Siauw Bwee?
Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal dan
larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia
harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas
kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol
dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini
ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya,
juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hunya, Menteri Kam Liong, dan telah
membikin sengsara pula kepada suhengnya, Kam Han Ki. Dia harus membalas
Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biarpun dia tidak tahu
bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan
mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia
percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut
menghadapi siapapun juga di Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai
keesokan harinya, dia beium melihat daratan besar, hanya bertemu dengan
pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang
tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak lalu didekat
perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke
pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja
mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di
samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa
hanyut oleh ombak. Siapakah mereka? Tentara mana dan mengapa perahu mereka
pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas
senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini,
pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubuhg tinggi di sebelah
kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan
perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak
dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa
buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya
pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan
kecil yang berk gerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh
asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan
bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua
pihak. Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang
bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang
terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah,
suara perahu memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang
berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada
yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut,
teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh
menyayat hati. Banyak sekali di antara perajurit yang tadinya dengan gagah
berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman
maut yang berada gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti
seorang pengecut yang penakut. Memang adakalanya orang yang berani mati
menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan
menghadapi ancaman maut ditelan air.
Maya memandang semua itu dengan hati tertarik.
Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya
setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang
berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga
perang bukan merupakan hal yang baru baginya. Dia sama sekali tidak merasa
takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak
tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak!
Karena itu, Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang
mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah
perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil,
ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang
berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu. Setiap
kali ada perajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas
perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para
perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan
kepandaian lumayan. Akan tetapi, serangan anak panah yang seperti hujan
lebatnya, telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek
perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat perajurit. Hanya beberapa orang
perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau
pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di
antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati
Maya karena mereka itu amat gagah perkasa, dan bukan hanya melindungi diri
sendiri namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi
anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka
yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai
seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
Adapun orang kedua adalah seorang berpakaian
panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan
Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena
pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil
yang mengepung perahu besar-besar, akan tetapi juga karena para anak buah
mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!
“Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah
memberontak terhadap Kerajaan Sung, sekarang telah terkepung menyerahlah!”
Terdengar teriakan dari perahuperahu kecil, dan mendengar ini, segera timbul
rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap
pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang
berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang
memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus
dibasminya!
Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung
perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng
dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil
meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke
perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan
bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
“Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan
sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok
panglima besar pemberontak itu roboh. Dengan cekatan sekali Maya merampas
sebatang golok dan sebatang pedang, kemudian mengamuklah sang dara perkasa ini
yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang
dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok
dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang.
Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka
mencelat keluar dari perahu besar terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki
yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu
berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi
dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh
yang mulai membakar layar perahu besar. Amukannya hebat sekali dan setelah
golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk
leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian
merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan
ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Dan kini dara
perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
kiri.
Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar
terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia
menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu
sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung!
Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali, dan Maya segera teringat akan cerita
suhengnya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat
keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu, perwira pemberontak yang brewok, yang
gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan
banyak anak buahnya. Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya,
menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian
punggung. Akan tetapi, Si Dampit itu, lihai bukan main karena empat buah tangan
mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda
itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang
Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh
tertotok!
“Tawan dan bawa dia ke sini!” Terdengar
perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya menjadi marah sekali. Begitu
melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya. Apalagi melihat
mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya, maka ia
pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar
biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit,
pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.
“Wuuuuttt.... tranggg....!”
Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia
dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun, manusia
dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah
melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah
kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa
dua orang dampit itu tidak saja kuat sin-kangnya, akan tetapi juga amat lihai
gin-kangnya.
“Lepaskan dia....!” Maya membentak dan
mengirim serangan bertubi-tubi. Selama berada di Pulau Es, dia dan
sumoinya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka
latih baersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan
main. Baru slnar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan,
apalagi kini ia mendesak dari jarak dekat! Sepasang manusia dampit itu tadinya
memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka, karena yang sebuah
mengempit tubuh Si Panglima Muda, untuk melawan Maya. Namun, sepasang senjata
di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat
gerakannya, selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga
sin-kang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu
bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang
di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
“Gadis siluman!”
Orang ke dua yang berambut riap-riapan
berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima
muda dengan tangan kanannya, membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut
Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh
enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat keluar dari perahu besar.
Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ
ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi
terdengar suara perintah pemimpin mereka.
Akan tetapi, Maya juga meloncat, gerakannya
seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran. “Ke mana kau hendak
lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang.
Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang, menangkis dengan pedangnya,
kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu,
melainkan melompat ke.... air! Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak
terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biarpun dia
pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk
melawan lawan lihai seperti Si Dampit itu.
Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu
tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara
yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar
cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan
tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat
loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini
dan betapa tinggi gin-kangnya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat
mengejar, bahkan menyusul dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya
yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh
perwira yang melawan itu.
“Aduhhh....!” Si Botak berteriak dan tentu
saja kempitannya terlepas. Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut
Panjang dengan sarung pedangnya, berjungkir balik di udara, menggigit
pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang
menyambar kelinci, sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali
berjungkir balik tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia
berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap
perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat
membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke
atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang
mengeroyok, berkata,
“Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan
tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung ini!”
Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat, dan kagum
bukan main, berkata, “Li-hiap.... harap memperkenalkan nama yang mulia....”
“Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa
memperkenalkan nama dan dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok
menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang mulai
diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya kebakaran dan
pasukan musuh yang berloncatan itu ada yang meloncat ke air! Mereka tak memperhitungkan
lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan
itu!
Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi
tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor harimau haus darah. Dia
meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke
perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah
menyuruh perahu-perahu kecil mundur!
Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu
besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil pasukan
Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar,
pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena
kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih
belum mati, ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menyelamatkan
diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan
tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak, dengan wajah berseri, dadanya
turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak
tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki
di paha kirinya karena serempetan golokp para pengeroyok yang tadi ketika ia
mengamuk tidak dirasakannya.
Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget,
balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu saja tubuhnya
terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa
dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi,
tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke
dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia
gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam!
***
Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam
bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang
Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng
kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan
dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan
kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya yang tercinta,
Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak kembarnya,
Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol. Tang Hauw Lam
kehilangan gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak
hendak memenuhi pesan terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih
baik memilih mati menyusul isterinya. Kini ia mencurahkan seluruh
kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan
kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua
orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir
semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah pengalaman.
Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu,
sukarlah. dlcarl pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi
kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan
selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya seperti itu sehingga
tubuh Tang Hauw Lam kurus kering dan, wajahnya selalu muram dan pucat, bekas
pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya
kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak
memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan.
Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu lupa
bahwa kedua orang muridnya. telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti
itu mereka bukan lagi kanakkanak dan perlu pembatasan di dalam pergaulan
mereka.
Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat
kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah dia
menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali,
yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang
yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari
dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang
Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa. Pada
waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan
mengajarkan Ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu
membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar
Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini
mampu mengubah Ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang
ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk memperlengkap ilmu kedua orang
muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan
agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun
memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya kedua orang muda itu
menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang
masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu
benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan
dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.
Karena sikapnya yang tidak peduli sama sekali
akan pendidikan moral murid-muridnya, dan di samping mengajarkan ilmu silat,
Tang Hauw Lam hanya selalu tekun besamadhi, bekas pendekar ini tidak tahu akan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya.
Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka
itu saling tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah dan menjelang
kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan
karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak
aneh, yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
Barulah Tang Hauw Lam terkejut bukan main
ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan kedua orang
muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua
orang suami isteri!
“Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat
sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
Kedua orang muda itu terkejut, saling
melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu mereka yang
marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya
mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan
kedua orang muridnya itu menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia
akan isterinya yang telah tiada.
“Ahhh.... dua orang muridku....? Ahhh, betapa
isteriku akan kecewa sekali.... aku...., aku telah gagal mendidik kalian....”
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, dengan terhuyung ia memasuki kamar di
pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.
Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam
dikejutkan suara ribut-ribut, beradunya pedang dan angin pukulan
yangberdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu
gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini, kedua pedang itu bergerak
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur mati-matian ia
meloncat, tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya
selama ini membuat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadl makin
lemah.
Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam
terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertanding
mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang pedang iblis itu mereka
pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang telah terjadi dengan
sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu sama
lain? Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan
mengundurkan diri dengan penuh kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu
saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai
dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu
dan memikat. Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing
menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai, pedang masing-masing lebih ampuh.
Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan mereka melampaui
besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih
berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan
jalan mengadu ilmu secara matimatian! Baru sekali ini. mereka bertanding
sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka saling bentrok,
seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasaran dan
tidak akan merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka
menjadi lebih marah dan lebih panas hatlnya, timbul keinginan untuk keluar
sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana harus mengalahkan lawan,
kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap semua
cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling
menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada
hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan
pedang di tangannya, lebih ampuh!
Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang
Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu tidaklah sedang berlatih atau
main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati-matian. Pandang
matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang di saksikannya ini
merupakan pukulan batin ke dua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan,
kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia terkejut bukan main karena dia
seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding, melainkan
Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang
Iblis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar
mengerikan yang haus darah!
“Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding....!”
Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya. Akan tetapi,
seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya, setiap
seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu.
Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak dlgubris, tidak
ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.
“Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau
berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke depen dan
menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat gerakan
salingmenusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengahtengah antara
mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik
tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan masing-masing memandang suhu
mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri yang masih
menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu!
“Suhu....!” Kedua orang muda yang agaknya
seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya menangis
terisak-isak.
“Suhu.... harap Suhu bunuh saja teecu....”
Can Ji Kun meratap.
“Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa....!” Ok
Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang mata Tang Hauw Lam melotot memandang
ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu dilepas oleh kedua orang
muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang
berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak
berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan
kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan sifat
pedang-pedang itu, yaitu baglan mata pedang saling tolak akan tetapi bagian
gagang saling tarik!
“Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk....
aaahhhh....!”
“Suhu.... teecu berdosa....!” Ji Kun berkata
pula, penuh penyesalan.
“Suhu, bunuh saja teecu....!” Yan Hwa juga
meratap lagi.
Tang Hauw Lam menunduk, memandang kedua
muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum! “Tidak, kalian tidak
sengaja.... dan.... dan terima kasih.... aku girang sekali.... akan dapat
berjumpa dengan subo kalian.... akan tetapi kalian.... ahh, hati-hatilah....
pedang-pedang itu terkutuk.... aaaahhhh!” Wajah yang berseri itu memucat,
matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar, “Kwi Lan.... isteriku,
engkau masih menunggu aku....? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku datang....!”
Tubuhnya terguling. Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam
telah tewas, matanya terbuka mulutnya tersenyum dan tarikan wajahnya berseri
penuh bahagia!
“Suhu....!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan
dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk mayat suhunya, kemudian
bingung hendak menyadarkan sumoinya.
Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah
suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan dan dikuburkan di sebuah
makam Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si bongkok yang
menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang
Hauw Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah,
membawa pedang masing-masing.
“Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau
tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita, akan saling
merindukan....” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoinya setelah
berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak,
kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita berkumpul menjadi satu. Kalau
dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng.
Sebaliknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun
mengandung kedukaan.
“Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti
besarnya cintaku kepadamu?”
Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan
tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau engkau sudah mengakui
keunggulan ilmu pedang dan po-kiamku (pedang pusakaku).”
Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap
dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan tetapi, Sumoi. Mana bisa
itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat,
aku suhengmu, sudah semestinya lebih lihai darimu!”
“Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau
melanjutkan yang dahulu?”
Ji Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di
antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguhpun hal itu tarjadi tanpa
mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan den mereka
juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya
sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan
tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan berdosa.
“Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki
perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan menderita....”
“Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam
ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah kau mengakui
keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”
“Gila....!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun
merasa betapa yang gila dan berpeda pendapat seperti itu bukan hanya sumoinya,
melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan
terganggu apabila sumoinya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya.
Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling
mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka telah berada dalam
cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah telah
kemasukan roh deri Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu itu, kembali dunia
kang-ouw kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan
masing-masing, namun yang keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah,
memiliki sebatang Pedang Iblis!
***
Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh,
marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain yang melakukan
perjalanan seorang diri, meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya
pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suhengnya yang diam-diam
ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee
melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan. Seperti juga sucinya ia ingin
mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya. Pertama, dia ingin
mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek
San yang gagah perkasa, bersama suhunya, Menteri Kam Liong yang sakti,
melakukan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana.
Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak
berpemandangan sepicik sucinya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung, melainkan
kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.
Setelah melakukan palayaran selama belasan
hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat, maka ia lalu
mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang
luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi,
ketika perahunya tiba di pantai, ia melihat banyak nelayan di pantai, maka
berkatalah ia kepada para nelayan yang datang menyambutnya dengan heran
melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri, “Paman sekalian
tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya
dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu
yang biarpun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan kuda? Tentu
saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama
kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya
masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam
yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.”
Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan
wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee. “Nona, banyak terima
kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua
seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona,
apakah Nona pandai menunggang kuda?”
Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw
Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi ketika
masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”
Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau
begitu, biarpun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat keuntungan,
aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”
Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama
kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum jinak. Aku sendiri,
dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan
menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia
memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak orang-orang pantai
seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap bodoh
ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri
pintar! Ia tersernyum manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan
aku tidak akan menyesal andaikata aku sampai dilemparkan dan mati sekalipun.”
“Nona....!” Beberapa mulut para nelayan
berseru mencegah.
“Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwree
berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya sudah
meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu. Benar saja kata-kata Si
Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya
mengipat-ngipatkan tubuh dan ketika nona itu masih tetap duduk di atas
punggungyya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang menggoyang-goyang
tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang
menduduki punggungnya. Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau
tertendang. Akan tetapi, mereka melongo menyaksikan betapa nona jelita itu
masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki
menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak menggigit, tangan Siauw
Bwee bergerak menamparnya, setiap kali menoleh ditampar dan dia mengerahkan
sin-kangnya, menekan tubuhnya sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok
dengan penunggangnya masih tetap di atas punggung!
“Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil
melompat turun dan kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah kakinya
gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirlk takut ketika
Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.
“Hebat.... bukan main.... siapakah....
siapakah Nona....?” tanya nelayan itu, kini mukanya, seperti muka
teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
“Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat
ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan tangan.
“Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut
kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras lalu meloncat ke depan dan lari
cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.
Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu
ternyata kuat dan tangkas dapat berlari cepat dan tidak pernah mogok atau
rewel, tidak berhenti sebelum ia hentikan, biarpun melalui padang rumput yang
hijau dan gemuk. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan
masuk keluar hutan lebat. Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari
di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di tempat sunyi itu,
di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan, dan
girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan
sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang
yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota raja Kerajaan Sung. Ia mempercepat
larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu
menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke
tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak!
Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian nyaring dari atas!
“Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang
kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!”
Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia
terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam sebuah
jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki
kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang
berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah
sangkar!
Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee
melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika melihat bahwa yang
datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Akhirnya
Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum,
“Sobat, kau sedang apa di situ? Mengapa
terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam kurungan?”
Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat
bahwa orang itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun kurang
lebih, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang yang jujur dan penuh
keberanian.
Mendengar ucapan yang bernada mengejek ini,
pemuda itu makin membelalakkan mata saking marahnya. Tangannya keluar dari
celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw Bwee, mulutnya terbuka lebar
mengeluarkan kata-kata keras.
“Eh, bocah, cilik nakal! Apakah ini
perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku bukan harimau atau biruang yang boleh
kaujeret seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku akan....”
“Kau akan apa? Melepaskan diri sendiri pun
tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!” Siauw Bwee makin suka
menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biarpun engkau bukan harimau atau
monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat,
hi-hik!”
“Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main
kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia kang-ouw sehingga tidak
mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?”
Siauw Bwee tidak membenci orang itu.
Sebaliknya malah, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan agaknya memiliki
kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya
adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat
meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang meronta-ronta dan
berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan banyak orang
mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.
“Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke
mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu, siapa yang akan
membebaskan aku? Aku.... aku ngeri melihat ke bawah....!” Akan tetapi Siauw
Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke
tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.
Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang
serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong keheranan memandang mereka.
Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang
wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian
tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa
adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki kanan mereka!
Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang mereka kempit
di ketiak kanan. Biarpun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat
melangkah cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri
di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang tergantun di pohon, mereka bardiri tegak
dengan sikap penuh wibawa.
Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang
ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si Dara Jelita
tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia memang
kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu
lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak
mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti perkembangan selanjutnya.
“Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!”
Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang kakek berusia lima
puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
Kakek itu memandang tajam penuh perhatian
kepada Liem Hok Sun, kemudian mpngangguk-angguk dan menarik napas panjang.
“Sayang sekali bukan seorang anggauta mereka yang terjerat. Akan tetapi karena
dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala
bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap
Suhu.”
Mendengar percakapan itu, Hok Sun
berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku Hui-eng
Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak
tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan
biarkan aku pergi!”
“Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung
yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam
persembunyiannya, Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang
kasar, pikirnya.
Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana
bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku akan dapat
pergi!”
Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak,
“Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si goblok ini mana bisa
pergi, apalagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana
engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat
ke atas, tongkatnya membabat dan “brettt!” Tali yang menggantung tubuh Hok
Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah. Akan tetapi, ternyata
gin-kang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh,
melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang
jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena
dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan
tetapi, begitu meloncat, tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung
bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat
bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah
saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak
tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu
manjawab, suaranya halus namun nadanya keren. “Kami tidak ingin berkelahi, akan
tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami
sebelum menerima keputusan ketua kami.”
Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa
salahku kalian hendak menangkapku?" bantah Hok Sun.
"Kau sudah melanggar wilayah kami, masih
pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?"
"Kalian sungguh tidak memandang aku Si
Garuda Terbang!" bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung
yang kasar. Dari tempat persembunyiannya, Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa
julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga
dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari
atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid
pertapa di Go-bi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi
ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang
juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun
yang menendang sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun
benar-benar memiliki gin-kang yang hebat. Biarpun tubuhnya masih terapung di
udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak
menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia
telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil
meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh
tersungkur!
"Hemm, manusia bandel!" Kakek yang
menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan. Siauw Bwee yang menyaksikan
kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya, dan
sekaligus, kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jarijari tangannya
sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang
membingungkan Hok Sun. Biarpun murid dari Go-bi-san ini berusaha menangkis dan
mengelak namun ia kalah cepat, apalagi memang gerakan kedua tangan kakek yang
menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu
Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
"Curang! Kalian manusia-manusia curang.
Main keroyokan!" Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu
tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang
meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang
buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk
menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti
sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah
perkumpulan yang berdisiplin. Pula, dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek
buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga ingin dia lebih banyak
mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia
tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong
tubuh Hok Sun itu dari jauh. Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat
sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit.
Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan
yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh
kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah
rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat
betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan
lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan
lenyap pula. Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap
menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding
batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada
lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee
merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke
puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap
saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan
orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan
tetapi, andaikata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat
masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat,
lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat
serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan
mengintai dan sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan
hatinya.
"Ohh...., tidak....! Mimpi burukkah
aku....?" Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak
mimpi.
Akan tetapi, adakah yang lebih aneh daripada
semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua
buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan
keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini
aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung
begitu banyak orang! Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia
menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya
buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas
pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas.
Mengerikan! Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang
tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya
menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan
bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Adapun di
belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung
lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggauta
rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh
perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar
biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan
kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Pemimpin rombongan itu, kakek yang berjenggot
dan memegang tongkat Si Kaki Buntung, menggunakan ujung tongkat itu mengetuk
tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak
lama kemudian, terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari
dalam lubang melayang keluar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan
adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian, dari
belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya
keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan
Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar
tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki
Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan
lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang
tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jauh
berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun
dari kedua pihak orang-orang bercacad itu yang mengeluarkan suara. Yang paling
merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari
tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut
meloncat keluar, menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang
mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur, suaranya penuh kebencian,
keras dan dingin,
"Apakah kaum lengan buntung kini sudah
menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan
masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan
dengan menawan seorang anggauta kami?"
Kakek yang menodong punggung orang berkaki
buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu
menjawab, suaranya tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang
sama, "Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin
sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang
berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacad orang
tanpa melihat akan besarnya cacad sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak
bertulang, kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka
melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang
tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa
seorang anggauta kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan
melakukan penyelidikan?"
Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut
dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata
penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee
merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan
itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki
buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak
buahnya yang melanggar peraturan.
"Tidak.... tidak.... Suci.... dan
Suheng.... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan
seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku
berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan
pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan
menawanku!" Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa mengejek,
"Hemm, mana ada maling mau mengaku?"
Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan
kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa, "Menghadapi
perkara, tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua
pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!"
"Baik!" kata kakek lengan satu.
"Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!" Tanpa
banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan
kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah
pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin
menyaksikan kelanjutan perkara itu, akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda
Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik
selagi lubang itu belum tertutup, cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk
ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan
berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah.
Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan
"pintu gerbang" saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya
luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah! Ia menjadi bingung. Tangga batu
yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak
ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama
kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah
terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat daripada
batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati
sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat
sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun
tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di
manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu
rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong? Dengan sikap hati-hati ia
melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali,
lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan
seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya
hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee
menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang
lihai ini. Tiba-tiba terdengar gerakan halus, Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap
waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih,
laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya, akan tetapi mereka itu
hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan
sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang
kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya
berwibawa sekali. Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang
menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil
berkata,
"Apakah Locianpwe ketua dari kaum.... eh,
kaki buntung ini?"
Kakek itu memandang tajam, mengerutkan
keningnya dan menjawab singkat, "Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua
kaum kaki buntung."
"Maaf, Liong-locianpwe, kalau aku lancang
memasuki tempat kediaman kalian ini. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya
ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem
Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa."
"Tidak mempunyai kesalahan? Hemm.... hal
itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata
diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun
tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini, sampai
hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi
tawanan kami. Juga engkau, Nona."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya, "Apa?
Menjadi tawanan selama tiga bulan?"
"Terpaksa, begitulah. Sekarang kami belum
dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah
kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya
menyerah menjadi tawanan kami."
"Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku
tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa
adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak
bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm.... kurasa tidak akan begitu
mudah."
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum
kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam,
"Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Go-bi-san seperti orang she
Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan
partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum
lengan buntung."
"Aku bukan dari aliran atau partai apa
pun, namaku Khu Siauw Bwee."
"Bagus! Kalau begitu, harap kau suka
menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau
harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda."
"Orang she Liong, kau terlalu sombong,
tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau
dapat berbuat apakah?"
"Suhu, biarkan teecu menawannya!"
kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia
adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, "Hati-hatilah,
jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang
masih amat muda."
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba
tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. "Nona, kami
tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan
kami dan menyerahlah. Biarpun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami
perlakukan dengan baik, sebaliknya, hendaknya kauketahui bahwa entah sudah beberapa
ratus orang tewas di tangan kami."
Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa
mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia
tersenyum lebar dan menjawab, "Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran
tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali
tidak ingin menghina kaum tua, apalagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau
engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak
menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja."
"Bocah sombong!" Nenek itu berteriak
dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak
kiri Siauw Bwee. Cepat bukan main gerakan itu, akan tetapi Siauw Bwee, murid ke
tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya,
cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangan menyambar dengan totokan ke
arah telapak tangan nenek itu.
"Aihhh....!" Nenek itu berseru
kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee. Gerakan
nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah
lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis
itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan
nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan
yang hebat dalam bersilat, maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser
kakinya. Ketika kembali tangan kirinya menusuk dengan jari-jari tangan terbuka
ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah
pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya
menerima tongkat yang menyambar.
"Plakk!"
"Aihhh....!" Nenek itu kembali
berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah
mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan
dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam
keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu
mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar
biasa dan dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat
yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini
dapat menutup kekurangan karena cacad kaki mereka! Dia juga mengeluarkan
kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biarpun dia agak bingung
menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang
dalam tenaga sin-kang, pula dalam hal gin-kang dia pun lebih unggul, maka dia
masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat. Akan
tetapi, karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang
jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah
mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin
merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
"Hebat....! Luar biasa....! Sukar
dipercaya!" Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu
memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee. Siauw Bwee
adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan
sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan
Maya, sucinya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki
buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan
kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar
dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan
keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran gin-kang yang
istimewa, juga amat berbahaya maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan
kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa
seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya
dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas
dari ujung tongkat.
"Wuuuutttt!" Tubuh dara itu memang
terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit batu
ruangan itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang
berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit,
punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat
perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit, Siauw Bwee
tertawa-tawa mengejek
"Ah, kasihan engkau, nenek cacad. Lebih
baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih
panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?"
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia
adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya
selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun
yang tidak ternama, dia dipermainkan, seperti itu.
"Bocah sombong keparat!" Ia berseru
dan sekali kaki tunggalnya mengenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas
dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
"Jangan....!" Sang Ketua berteriak
ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan
kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali karena kalau seorang dara
remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat
orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya! Akan tetapi seruannya
terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat
inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia
melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua
tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu
menyambar angin pukulan yang amat dingin!
"Aihhh....!" Nenek itu menggigil,
tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah. Untung tubuhnya
disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya
menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil
dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan.
Betapapun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu
tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun ia mendengar suara
mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan
kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya, tanpa menggunakan
tongkat dan dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan
kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee
mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia
kalah pengalaman, apapula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu
aneh. Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek
itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah
kuat sin-kangnya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam
perputaran ini, kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa,
membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di
belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
"Celaka....!" Ketua kaki buntung itu
berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh
terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan
menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan
latihan-latihan sin-kang dan besamadhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai
dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa
detik lamanya. Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek
itu kejam, telah mengirim totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian
sehingga dia sudah mengerahkan sin-kang istimewa memulihkan jalan darahnya
kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah
mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak
membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki, keadaan kaum kaki buntung
yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati. Ketika
berlatih sin-kang di Istana Pulau Es, suhengnya telah membikin rahasia ilmu
"mematikan raga" yang luar biasa, maka kini dia mengeluarkan
kepandaiannya ini dan tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan detik pada nadi
tangannya berhenti, tubuhnya seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan
memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. "Aihh, celaka. Aku telah
kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah
mencapai tingkat lebih tinggi daripada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak
memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku sendiri belum tentu akan
dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku sendiri yang
menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat."
Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw
Bwee lalu dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak
buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut
merasa berduka bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam
siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu saja ia akan sadar
kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir
kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa "jenazahnya" keluar
dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang
ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam. Ketua yang bernama Liong Ki Bok
itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang yang merupakan
celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu dan terdengarlah
gerengan menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi
mati ketika melihat seekor biruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang
Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang, bahkan Liong Ki
Bok berkata,
"Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat
seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang aku telah
kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat
terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri."
Biruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu
mengeluarkan suara gerengan, bagaikan mengerti akan ucapan Sang Ketua, ia
menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan merintih
dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari
panas dan darah yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam
yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa dia sebetulnya belum
mati!
"Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan
aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan tangan membunuh
seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama
berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!"
Biruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti
kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat ruangan
sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan
merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat
lubang-lubang pada dinding dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah
kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu, ada yang sudah terisi dan ada
pula yang masih kosong.
Biruang itu membawanya naik ke anak tangga
batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti kaca yang indah, sebuah
peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang
Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee
mengerling dan melihat ketua itu membalikkan tubuh memandang sesosok mayat
orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lubang dekat anak
tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi
suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan pengerahan kepandaiannya,
Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.
"Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa
engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi. Kiranya hari ini
sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu.
Ahhh, dan penyesalanku lebih besar daripada ketika terpaksa membunuhmu."
Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca
dengan baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa
benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee.
"Jenazah orang seperti engkau patut
diawetkan, Nona yang bernasib malang...."
Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan
jenazah setelah mengelus kepala biruang sambil berkata, "Hek-mo,
kaujagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah."
Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan
pintu besi. Agaknya biruang itu bertugas menjaga ruangan di luar pintu gerbang.
Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir kalau kakek
itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang
cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang
tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat dan kepalanya gundul, dia
bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang
dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak!
Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip, akan
tetapi hampir saja ia lupa bahwa dia telah "mati" dan tidak
semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika
melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah keluar dari dalam
lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Di dalam kamar jenazah yang penuh
jenazah-jenazah tengkorak dan mayat-mayat kering melihat seorang "mayat
hidup", tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat
menguji hati seorang gadis remaja, biarpun memiliki kesaktian seperti Siauw
Bwee maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar menjadi
pingsan!
Setelah siuman kembali, hal pertama yang
dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she Cia itu dengan
harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang
dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan
napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa yang kini
ketakutan seperti kanakkanak melihat setan itu mengintai dari balik peti mati
di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu
bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu,
tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi makanan. Setelah tiba di
ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja, akan tetapi,
tiba-tiba ia mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan
kaki tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan
bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa
sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang
dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu
dari bawah. Agaknya jurus ini merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini
kelihatan girang bukan main. Begitu girangnya sampai terkekeh-kekeh dan
berjingkrak-jingkrak menari, tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi
ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu
dimasukkan ke mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa
hendak muntah karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus
kecil yang berkulit merah!
Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee
mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup itu melesat
seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya
seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di
tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih menggigit seekor anak
tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa
takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada setan atau mayat
hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara
menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang
ketakutan atau panik. Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam
peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si Mayat Hidup, dia menjadi
makin geli hatinya melihat betapa "mayat hidup" itu matanya melotot
memandang kepadanya kedua kaki mayat hidup itu menggigil. Siauw Bwee makin geli
hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang
masih hidup itu kini menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini
mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup! Terdorong oleh rasa geli
dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah seorang
manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk
menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara
mengerikan, "He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik, enak diganyang
jantungnya!"
Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee
membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju.
"Hiiiihh!" Kini "mayat
hidup" itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat
meninggalkan lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki
menggigil.
Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia
tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, kau tahu sekarang rasanya orang yang
ketakutan menghadapi mayat hidup!" katanya. "Orang she Cia, mengapa
engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?"
Orang yang tadinya berdiri menggigil itu
menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. "Aahhh..., sungguh
mati. Aku hampir pingsan ketakutan!" katanya, suaranya besar dan agak
parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.
"Aku sendiri tadi sampai pingsan saking
takutku melihat engkau sebagai mayat hidup," Siauw Bwee berkata sambil
tertawa geli.
Orang itu meloncat bangun, gerakannya cepat
sekali. "Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke sini dalam
keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau
hidup lagi?"
Siauw Bwee menjebirkan bibirnya. "Tidak
meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa berada di sini dan
beraksi sebagai mayat?"
Sejenak laki-laki tinggi besar gundul itu
memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan menghela napas.
"Sukar dipercaya.... akan tetapi.... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan
sendiri bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah
engkau dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati
dan dibawa ke sini?"
"Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat
(Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan napas dan
nemindahkan denyut perjalanan darah."
Mata orang itu terbelalak. "Engkau?
Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?"
"Jangan terlalu memuji, Sobat."
Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa
"senasib". "Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki
Bok dan berpura-pura mati."
"Aku lain lagi. Aku memang hampir mati
ketika dibawa ke sini.... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku menceritakan
rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan mengapa Nona
menyelundup masuk seperti ini?"
Siauw Bwee maklum bahwa tentu orang ini
mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat menyelidiki keadaan kaum kaki
buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan penyelidikan
sendiri. "Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena hendak
menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki
buntung itu karena dianggap melanggar wilayah mereka."
Orang itu mengangguk-angguk. "Engkau
benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah ceritaku.
Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki
satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi.
Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah
pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang
buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya. Dendam
antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu,
juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk
mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara
mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka permusuhan itu
menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu
ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini
dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung yang saling
bermusuhan."
"Akan tetapi, mengapa mereka itu
masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang
lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
"Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan
dibuat, sengaja dibikin buntung!"
Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. "Apa?
Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?"
Orang itu mengangguk. "Begitulah. Syarat
pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau
lengannya."
"Apakah mereka gila? Mengapa mau saja
dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?"
"Memang banyak orang gila di dunia ini,
Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka banyak yang
tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung
asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam
istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di
dalam guha-guha batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok,
keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara seperguruan
yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan
itu. Adapun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang
sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang
lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan
pertandingan antara mereka."
Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian
memandang orang itu. "Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu
lengkap, tidak ada yang buntung.
Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum
kaki buntung dan berada di sini?"
"Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah
kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik
perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku
untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki
buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat,
maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka
ini."
"Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah
lihai oleh kaum kaki buntung?"
Cia Cen Thok menghela napas panjang.
"Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka
adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan
kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu
inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah,
tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung
yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang
luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi, karena kaki
mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat
tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat."
Siauw Bwee mengangguk-angguk. "Memang
hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh."
"Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu
aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan buntung,
untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak
musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan
dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini."
"Tiga tahun?" Siauw Bwee bergidik.
"Ya, tiga tahun kurang lebih."
"Akan tetapi engkau telah berhasil
kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!"
Cia Cen Thok memandang kagum. "Engkau
awas sekali, Nona. Akan tetapi, biarpun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari
rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan
dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di
samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian
tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir
setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri."
"Berapakah jumlah mereka?"
"Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam
orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang."
"Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat
membebaskan orang kasar Huieng Liem Hok Sun itu."
"Apamukah dia itu, Nona?"
"Hemm.... bukan apa-apa. Kenal pun tidak.
Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar, juga dia murid
Go-bi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong
orang yang menjadi tawanan di sini."
"Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku
sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk
menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kaulakukan ini."
Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan
biruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama
kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan,
yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw
Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,
"Nona, kaupergunakan pedang ini. Mari
kita menerjang keluar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan
pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!" Tiba-tiba ia menoleh, melihat
Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. "Dia.... eh,
dia.... siapa ini....?"
"Dia seorang sahabat senasib. Apakah
engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?"
Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa,
"Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka
memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan,
kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka
aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin
melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan
masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang keluar sebelum
terlambat!"
Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia
Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk
mengerti. "Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!"
"Eh, kau mengenal aku?"
"Aku yang memberitahukan namamu
kepadanya," kata Siauw Bwee.
"Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu.
Aku belum pernah memperkenalkan diri...., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah
mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar.
Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari keluar?"
Cia Cen Thok mengangguk. "Keluarlah
kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan."
Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan
Siauw Bwee melihat biruang itu sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu
kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap
biruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia
diam saja dan terus berlari keluar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka
jalan.
Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling
depan, dari kanan kiri meloncat keluar empat orang berkaki buntung dan mereka
ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.
Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan
tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga sin-kang. Dua orang di
antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun kembali.
Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat
seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya
menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke
arah lambung Hok Sun.
"Trakk!" Tongkat itu patah ketika
tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian, pukulan
tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.
"Wah, kepandaianmu hebat sekali,
Nona!" Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang
disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua
orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!
"Hayo cepat keluar!" Siauw Bwee
berkata dan kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa
kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya
sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan
menerobos keluar dari lubang kecil yang merupakan "pintu kamar"
bangunan setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan
nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu
kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar,
mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah berjaga
di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia
Cen Thok, biarpun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang,
gin-kang, maupun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka benar-benar amat
lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka. Untuk dapat mengatasi
lawan yang seperti ini mernang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka
rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan
pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka
yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan
tangan dengan tenaga sin-kang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan
didesak hebat. Adapun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali
terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman
tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini
memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai
meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat
sungguhpun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar
seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang dianggap sebagai
tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana
jadinya dengan nasib mereka berdua.
"Saudara Liem, cepat ke sini! Kita
melawan dengan saling melindungi!" teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan
mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan. Hok Sun bukan
seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun
lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu
punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini, mereka berdua tidak dapat
dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
"Awas....!" Siauw Bwee berbisik,
"aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus cepat
melarikan diri, biar aku yang menahan mereka....!"
"Ahhh, mana bisa....?" Hok Sun
menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda
itu bicara nyaring, "Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri
dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para ...."
Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis
tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan pinggul.
"Auhhh....! Apakah pinggulmu dari baja,
Nona?" Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam daribelakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya
sehingga tidak sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari
atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka ia
cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.
"Aihhh....!" Hok Sun terhuyung akan
tetapi hantaman tongkat itu luput. "Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan
ataukah lawan?"
"Bodoh!" Siauw Bwee berbisik gemas.
"Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan diri? Awas,
akan kulontarkan kau. Lekas lari!" Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya
terbang ke atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong
dengan tenaga yang hebat bukan main. Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas
kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri,
diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee. Setelah Si Dogol itu
terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya
sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar
pedangnya dan dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan
tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari telapak tangan kirinya yang
mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan
tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw
Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah
dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali. Tentu Si Dogol itu
masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu
terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak
mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan
tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika sesosok
bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki
bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka
berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.
Siauw Bwee tersenyum geli dan hatinya lega
melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan diri, menggunakan
kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam tak bergerak. Tentu
saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati melihat dan mengenal orang
yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar mayat, kini tahu-tahu telah hidup
lagi dan mengamuk! Ketika melihat Siauw Bwee, mereka tidak begitu kaget dan
heran karena mereka segera mengerti bahwa dara perkasa itu sebetulnya belum
mati ketika tadi dimasukkan ke kamar jenazah. Akan tetapi berbeda lagi dengan
Cia Cen Thok yang sudah tiga tahun menjadi mayat, dan dahulu mereka ikut pula
mengeroyok dan membunuh orang ini. Dan pakaian Cia Cen Thok yang hanya
merupakan cawat itu menambah keseraman.
Setelah melihat dua orang itu jauh dan lenyap
bayangannya, Siauw Bwee tertawa nyaring, pedangnya dilempar ke atas tanah dan
tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan selagi semua
orang berdongak dan mengikuti gerakan luar biasa itu, tubuh Siauw Bwee telah
lari jauh dan dia menyusul ke arah larinya Hok Sun dan Cia Cen Thok.
Orang-orang berkaki buntung mengejar cepat, namun mereka itu bukanlah tandingan
Siauw Bwee dalam hal ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja tubuh dan
bayangan Siauw Bwee telah lenyap dari pandang mata mereka. Tak lama kemudian
Siauw Bwee telah dapat mengejar Hok Sun dan Cen Thok. Dia heran melihat dua
orang itu berhenti dan kelihatan bingung.
"Kenapa kalian berhenti di sini?"
Siauw Bwee menegur.
"Wah, celaka, Li-hiap!" Kini Hok Sun
yang amat kagum akan kelihaian Siauw Bwee tidak segan-segan menyebut lihiap
(pendekar wanita), "Semua jalan keluar sudah dihadang setan-setan buntung
itu!"
Siauw Bwee memandang kepada Cen Thok dan bekas
mayat hidup ini mengangguk.
"Memang benar, Li-hiap. Jalan menuju ke
tempat tinggal kaum dengan buntung sudah dihadang semua dan penuh perangkap dan
jerat yang dipasang mereka. Satu-satunya jalan hanya melalui rawa, daerah yang
dianggap berbahaya dan tidak pernah ada yang berani melalui tempat itu. Aku
sendiri sama sekali tidak mengenal daerah itu, Li-hiap." Ucapan terakhir
ini seolah-olah minta keputusan dan nasihat Siauw Bwee yang biarpun paling muda
namun mereka anggap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukan dan tingkatnya
daripada mereka.
"Kalau begitu, kita melalui rawa!"
kata Siauw Bwee dengan suara tetap,"Bagaimanapun juga, kita harus dapat
keluar dari daerah berbahaya ini!"
"Baik, kalau begitu marilah ikut
bersamaku!" Cen Thok berkata dan mendahului lari. Hok Sun dan Siauw Bwee
juga meloncat dan lari mengikuti orang bercawat itu. Tak lama kemudian mereka
tibalah di daerah yang penuh rawa, daerah luas dan mati.
"Ke mana jalannya?" tanya Siauw
Bwee, agak ngeri juga menyaksikan daerah luas dan mati, rawa yang seolah-olah
tanpa tepi sehingga amat mengerikan keadaannya.
"Aku sendiri pun tidak tahu, Li-hiap.
Kita harus mencari jalan, akan tetapi hati-hatilah. Rawa ini kabarnya berbahaya
sekali, banyak terdapat bagian-bagian yang pada permukaannya kelihatan rumput
dan tanah, akan tetapi di bawahnya adalah lumpur yang menyedot dan adakalanya
air amat dalam."
Siauw Bwee yang mengandalkan gin-kangnya
segera mengambil keputusan, "Biarlah aku mencari jalan. Dengan keringanan
tubuh, kiranya aku tidak akan terancam bahaya." Tanpa menanti jawaban ia
lalu mulai menyeberangi rawa, memilih bagian yang cukup tebal dan kuat. Kalau kakinya
salah injak bagian yang tipis, sebelum ia terjeblos ia sudah dapat meloncat
lagi. Melihat ini, dua orang itu selain merasa kagum juga ngeri karena kalau
kurang tinggi ilmu gin-kangnya, tentu sekali terjeblos akan berarti bahaya
maut!
Matahari telah condong ke barat dan mereka
masih belum menemukan jalan keluar dari daerah itu karena jalan penyeberangan
rawa yang mereka tempuh membelak-belok harus memilih bagian yang aman.
Tiba-tiba Hok Sun berteriak, "Aihh, apa itu....?"
Dua orang temannya menengok dan berdongak
memandang ke atas, arah yang ditunjuk oleh Hok Sun. Tampak awan hitam memenuhi
udara, akan tetapi jelas bukan awan yang bergerak terbawa angin karena gerakan
awan itu cepat sekali.
"Burung-burung....!" Siauw Bwee
berseru ngeri karena belum pernah ia melihat burung-burung terbang berkelompok
sebanyak itu sehingga merupakan awan hitam yang bergerak cepat.
"Eh, dia ke sini....!" Cen Thok
berseru kaget.
"Mereka meluncur turun....!" Hok Sun
berteriak pula.
Benar saja. Sekumpulan burung itu seolah-olah
menerima pertanda rahasia dan mereka kini meluncur turun ke arah tiga orang ini
dan segera mereka diserang oleh ratusan ekor burung elang!
Di tengah rawa yang amat berbahaya itu tiga
orang ini menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ribuan ekor burung. Hok
Sun menggerak-gerakkan kedua tangannya menangkis dan menghantam burung-burung
yang menyerangnya. Juga Cen Thok sibuk membela diri dan membunuhi burung-burung
yang tak terhitung banyaknya. Namun mereka ini kewalahan, bingung dan panik,
apalagi setelah kulit-kulit tangan mereka mulai berdarah oleh patukan-patukan
burung yang kuat itu. Mereka bertanding melawan keroyokan burung-burung sambil
berteriak-teriak dan tak lama kemudian Siauw Bwee terpisah dari mereka. Dara
perkasa ini pun repot menghadapi pengeroyokan binatang-binatang yang
kelihatannya marah, haus darah dan buas itu, sampokan-sampokan kedua tangan
dara ini sekaligus membunuhi banyak burung, akan tetapi binatang-binatang itu
sungguh ganas. Mati lima datang sepuluh, mati sepuluh datang dua puluh.
***
Kepanikan menyerang hati Siauw Bwee. Dia
merasa jijik dan ngeri sekali karena para pengeroyoknya ini seperti bukan
burung-burung biasa, begitu nekat dan agaknya mereka kelaparan semua. Bajunya
mulai robekrobek, bahkan pundak dan kedua lengannya mulai berdarah. Serangan
datangnya seperti hujan, sukar untuk dihindarkan semua. Dia tidak lagi dapat
memperhatikan dua orang temannya dan teriakan-teriakan mereka sudah tidak
terdengar lagi karena mereka saling berpisah makin jauh setelah Siauw Bwee mulai
berloncatan untuk menghindarkan burung-burung itu. Dia menggunakan gin-kangnya,
meloncat tinggi dan jauh dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi
burung-burung itu tetap mengejarnya. Sampai jauh Siauw Bwee melawan sambil
berloncatan menjauhi dan kemarahannya timbul sehingga ketika dia menggerakkan
kedua tangan, makin banyaklah burung-burung itu menjadi bangkai, memenuhi rawa.
Entah berapa jam lamanya Siauw Bwee bertanding
melawan burung-burung itu, akan tetapi kini matahari sudah makin doyong ke barat
dan sinarnya mulai menyuram. Entah berapa ratus ekor burung telah dibunuhnya.
Kepalanya menjadi pening oleh suara burung yang menjerit-jerit sambil
menyerang, pandang matanya berkunang oleh bayangan burung-burung yang tiada
hentinya menyambar di depan mukanya. Dia mulai lelah, kepalanya pening dan
patukan burung mulai banyak mengenai kulit lengannya. Celaka, pikirnya, tidak
pernah mengira bahwa dia akan tewas oleh pengeroyokan burung-burung. Betapa
memalukan dan menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan burung-burung!
Tiba-tiba di antara suara mencicitnya burung
yang memekakkan telinga, terdengar suara manusia! Lirih saja, akan tetapi
amatlah jelas seolah-olah ada yang berbisik di dekat telinganya.
"Sungguh keberanian dan kenekatan yang
bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung? Kalau berlindung ke air
bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah daripada melawan dengan
nekat?"
Siauw Bwee terkejut. Tidak, dia bukan sedang
mimpi, juga tidak mendengar suara setan rawa! Dia mendengar suara manusia,
seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang menolongnya dengan nasihat itu.
Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat jauh menggunakan Ilmu
Coan-im-jip-bit yang hanya dapat dilakukan dengan pengerahan khi-kang yang amat
kuat! Suhengnya dapat melakukan hal itu, dan dia pun kalau mau melatih diri,
menggabungkan sin-kang dengan khi-kang, tentu akan dapat melakukannya pula.
Suhengnya! Jantung Siauw Bwee berdebar. Suhengnyakah orang itu? Ah, tidak
mungkin. Suhengnya selalu bicara dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan
suara orang itu sama sekali tidak halus dan ramah, bahkan setengah memakinya
bodoh dan kalah cerdik oleh burung! Siapa pun adanya orang itu, jelas bahwa
nasihatnya patut diperhatikan. Maka ia lalu mencari bagian rawa yang penuh alang-alang
dan yang airnya agak dalam, kemudian setelah menggerakkan kedua tangannya
membunuh burung-burung yang menyerangnya, ia lalu menjatuhkan diri ke dalam air
rawa, menyembunyikan tubuhnya sampai ke atas mulut ke dalam air di bawah
alang-alang. Hidungnya mencium bau busuk alang-alang yang membusuk, membuatnya
muak, akan tetapi ia tahankan. Benar saja, burung-burung itu hanya beterbangan
di atas alang-alang, tidak ada lagi yang menyerangnya.
Siauw Bwee merasa lega dan berterima kasih.
Akan tetapi burung-burung itu tetap saja beterbangan di atas alang-alang,
agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan siap menyerang. Burung sialan,
ia memaki. Merendam diri di dalam air lumpur kotor itu sungguh bukan hal yang
menyenangkan, apalagi baunya amat tidak enak dan tubuhnya mulai merasa
gatal-gatal.
Dua jam kemudian, setelah matahari makin turun
ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak ada tenaganya lagi, setelah Siauw Bwee
hampir tidak kuat bertahan dan ingin mengamuk lagi, tiba-tiba burung-burung itu
terbang pergi meninggalkan Siauw Bwee dan meninggalkan rawa yang banyak bangkai
burungnya.
Siauw Bwee meloncat dan keluar dari dalam air.
Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya mengkirik, menggigil dengan jijik dan
geli ketika ia melihat bahwa puluhan ekor lintah telah menempel di tubuhnya dan
menggigit, menghisap darahnya tanpa ia rasakan tadi! Dengan bulu tengkuk
berdiri dan mengkirik ia sibuk mencabuti dan meremas serta membanting
lintah-lintah itu sehingga darah binatang-binatang itu berceceran ke mana-mana.
Bukan darah binatang-binatang itu melainkan darahnya yang telah dihisap mereka!
Siauw Bwee sampai hampir menelanjangi tubuhnya sendiri karena lintah-lintah itu
ada yang menyelinap memasuki baju dan celananya, menggigit dan menghisap darah
tanpa memilih tempat.
"Setan! Bedebah! Kurang ajar!" Siauw
Bwee memaki-maki dan membunuhi lintah-lintah itu, dan setelah memeriksa semua
tubuh dan pakaiannya, barulah ia memakai kembali pakaiannya. Sementara itu,
matahari telah tenggelam dan ketika Siauw Bwee memandang ke sekeliling, dia
tidak melihat lagi adanya dua orang temannya tadi, juga tidak dapat menduga ke
mana larinya mereka yang tadi ketakutan dikeroyok burung.
Siauw Bwee mulai melangkah lagi melanjutkan
usahanya keluar dari tempat itu. Dia tidak lagi dapat mencari kedua orang
temannya, maka dia pun kini harus mengingat keadaannya sendiri. Dia harus dapat
keluar dari daerah rawa yang amat luas ini. Dia mulai mencari-cari, akan tetapi
tetap saja tidak dapat keluar, bahkan beberapa kali ia lewat lagi di tempat di
mana dia dikeroyok burung karena di situ terdapat banyak bangkai burung
berserakan di atas rawa!
"Tempat celaka! Neraka dunia!" Ia
mengomel karena kini malam sudah mulai tiba, cuaca mulai gelap. Tiba-tiba
terdengar suara air berkecipakan. Dia memandang ke depan dan bukan main
kagetnya ketika melihat serombongan ular berenang menyeberangi rawa menuju ke
arah dia berdiri! Ular-ular yang besar kecil beraneka warna, ada yang putih,
hijau, coklat, hitam dan merah! Kembali bulu tengkuk Siauw Bwee berdiri. Teringatlah
ia akan ular-ular merah di bawah Istana Pulau Es. Tak jauh dari tempat ia
berdiri terdapat sebatang pohon yang sudah tumbang tengahnya, tinggal merupakan
tonggak, akan tetapi tingginya masih ada dua meter. Cepat Siauw Bwee mengayun
tubuh meloncat ke atas tonggak itu, berdiri tegak dan memandang ke bawah.
Betapa ngeri hatinya ketika ia melihat ular-ular itu mulai berebut,
memperebutkan bangkai-bangkai burung. Bangkai-bangkai burung yang terapung di
atas air itu mereka serang, moncong-moncong ular dibuka lebar dan
bangkai-bangkai dicaploki dan ditelan berikut bulu-bulunya sehingga tak lama
kemudian beratus buah bangkai burung itu telah habis, pindah ke dalam perut
ular-ular yang kini menggembung. Pemandangan ini amat mengerikan hati Siauw
Bwee sehingga tonggak yang ia injak bergoyang-goyang, tanda bahwa kakinya
menggigil terbawa oleh hati yang ngeri. Baiknya dara perkasa ini sudah memiliki
gin-kang yang luar biasa, kalau tidak, ada bahayanya ia terguling jatuh dan
dikeroyok ular saking ngerinya.
Malam telah tiba dan keadaan gelap sekali.
Selagi Siauw Bwee kebingungan karena tidak mungkin kini ia berdiri terus
semalam suntuk di atas tonggak, juga tidak mungkin dia meloncat turun tanpa
mengetahui lebih dulu apakah ular-ular itu tidak berada di situ, tiba-tiba
tampak olehnya sinar terang dari jauh. Dari atas tonggak itu ia dapat menduga
bahwa sinar itu adalah obor-obor yang dipegang orang. Karena rawa itu luas dan
sinar obor-obor yang bersatu itu cukup terang, maka sebagian sinarnya dapat
mencapai tempat Siauw Bwee. Giranglah hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa
ular-ular yang sudah kekenyangan itu kini merayap pergi, agaknya takut akan
sinar obor.
Dengan bantuan sinar yang datang dari
obor-obor itu, Siauw Bwee dapat meloncat turun ke tempat yang tidak ada
ularnya, kemudian mulailah ia berlari dengan hati-hati menuju ke arah
orang-orang yang membawa obor. Tadinya ia mengira bahwa kedua orang temannya
yang membawa obor itu, akan tetapi kini tampak olehnya bahwa yang membawa obor
adalah tiga orang, jadi jelas bukan dua orang temannya itu. Tiga orang itu
membawa enam buah obor, masing-masing dua buah yang disatukan di satu tangan.
Apakah orang-orang berkaki buntung yang masih berusaha mengejar dan mencarinya?
Siauw Bwee menggigit bibirnya dengan gemas. Aku telah menderita karena mereka,
pikirnya. Dikeroyok burung, hampir dikeroyok ular dan benar-benar telah
dikeroyok lintah! Dan merendam tubuhnya di air kotor berbau! Kalau dia bukan
bekas penghuni Pulau Es, tentu sekarang telah menderita kedinginan luar biasa
pula! Biarlah, mereka hanya bertiga, mungkin pimpinan mereka dan sekali ini aku
akan membikin mereka tahu rasa!
Dengan hati gemas dan marah Siauw Bwee
mempercepat larinya, berloncatan menghampiri tiga orang yang membawa obor itu
dan setelah dekat ia tercengang karena tiga orang itu tidak memakai tongkat dan
kini tampak jelaslah bahwa mereka bukan tiga orang berkaki buntung, melainkan
tiga orang berlengan buntung sebelah! Kiranya mereka itu adalah tiga orang dari
kaum lengan buntung! Hati Siauw Bwee tertarik sekali dan juga girang. Sekarang
ia mendapat kesempatan untuk keluar dari daerah rawa yang berbahaya itu!
Diam-diam ia membayangi mereka dan benarlah dugaannya, tiga orang berlengan
kiri buntung itu membawanya keluar dari daerah rawa dan memasuki sebuah hutan
yang tandus.
Karena keadaan gelap dan penerangan obor itu
tidaklah cukup menerangi daerah sekitarnya, maka Siauw Bwee tidak tahu jalan
apa yang mereka tempuh sehingga dapat keluar dari daerah rawa, akan tetapi
ternyata untuk keluar dari daerah rawa itu mereka telah menghabiskan waktu
semalam suntuk!
Mereka telah memadamkan obor dan membuangnya
karena malam telah terganti pagi ketika tiga orang itu berjalan cepat sekali
menuju ke sebuah pondok bambu yang berdiri di tengah hutan tandus. Gerak kaki
mereka ketika berlari itu cepat bukan main dan diam-diam Siauw Bwee kagum
sekali. Gerakan orang-orang berlengan kiri buntung itu ternyata amat hebat dan
dalam hal berlari cepat, jelas bahwa orang-orang berkaki buntung bukanlah lawan
mereka ini! Dia sendiri harus mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat-cepat
untuk dapat membayangi mereka dan tidak tertinggal.
Ketika tiga orang itu mengampiri pondok, Siauw
Bwee menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai. Pakaiannya sudah kering
kembali, akan tetapi robek-robek di bagian lutut, paha, betis dan lengan kanan
kiri. Burung-burung sialan, ia memaki. Bekal pakaiannya masih tertinggal di
atas punggung kuda hitamnya yang sekarang entah bagaimana nasibnya.
Siauw Bwee memandang heran ketika melihat
seorang laki-laki tua renta dan bertubuh kurus kering duduk di atas bangku
bambu depan pondok itu. Laki-laki itu keadaannya amat menyedihkan. Kedua
kakinya buntung sebatas paha, lengan kirinya juga buntung seperti tiga orang
pendatang itu dan yang tinggal hanyalah lengan kanannya yang kurus dan yang
memegang sebatang tongkat seperti milik para anggauta kaum kaki buntung. Siauw
Bwee memandang heran dan menduga. Termasuk golongan manakah kakek itu? Lengan
kirinya buntung seperti tiga orang pendatang itu, akan tetapi belum tentu dia
merupakan anggauta kaum lengan buntung karena kakinya juga buntung, tidak hanya
kaki kanan, bahkan kedua-duanya! Dan kakek itu duduk tanpa kaki seperti orang
sedang bersila, tangan kanan memegang tongkat yang melintang di depannya,
lengan baju kiri tergantung lepas tanpa isi, kedua matanya terpejam seolah-olah
dia tidak tahu akan kedatangan tiga orang itu.
Siauw Bwee mengalihkan pandangnya. Di antara
tiga orang lengan buntung ini, tidak seorang pun pernah dilihatnya di antara
mereka yang dulu pernah dilihatnya ketika lima orang lengan buntung membawa
tawanan seorang kaki buntung. Yang seorang adalah seorang nenek yang mukanya
masam dan kelihatan galak. Yang ke dua adalah seorang laki-laki berusia empat
puluh tahunan, lebih muda daripada Si Nenek, sikapnya gagah dan agaknya dia
yang memimpin rombongan tiga orang itu. Orang ke tiga adalah seorang laki-laki
bermuka tampan akan tetapi membayangkan kesombongan. Ketiganya kini berdiri di
depan kakek tua renta itu, kemudian terdengarlah laki-laki tinggi tegap yang
memimpin rombongan itu berkata,
"Twa-supek, kami diperintah oleh Suhu
untuk memperingatkan Supek yang terakhir kalinya agar supek suka memberitahukan
rahasia gerak tangan kilat kaum kaki buntung!" Biarpun laki-laki itu
menyebut twa-supek (uwa guru tertua), namun nada suaranya amat tidak
menghormat, bahkan mengandung ancaman dan kekerasan.
Kakek itu membuka matanya dan terkejutlah
Siauw Bwee menyaksikan betapa sinar mata kakek tua renta itu mengandung
penderitaan seperti mata orang yang sakit berat! Kemudian terdengar kakek itu
berkata lirih, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi mencampuri permusuhan
terkutuk itu! Pergilah kalian!"
"Twa-supek! Kalau begitu benar keterangan
para penyelidik bahwa supek menerima kedatangan orang-orang berkaki buntung,
tentu supek telah membuka rahasia ilmu kami!"
"Benar, mereka datang pula ke sini
membujuk akan tetapi aku tidak sudi pula membantu mereka. Seperti juga kaum
lengan buntung, kaum kaki buntung adalah anak muridku pula. Betapa aku sudi
membantu mereka yang saling bermusuhan sendiri?"
"Twa-supek! Kiranya sampai sekarang,
setelah menerima kutukan dari roh para nenek moyang, Twa-supek masih saja
mengkhianati sumpah...."
"Sudahlah, tutup mulutmu!" Kakek itu
membentak.
Orang itu melotot marah. "Orang tua,
biarpun engkau terhitung supek sendiri, akan tetapi engkau telah hampir mati,
hanya mempunyai sebuah lengan saja. Kalau kami turun tangan, apakah kau sanggup
melawan kami?"
Kakek itu menundukkan kepalanya. "Hanya
kesesatan itu yang belum kalian lakukan, kalau kalian hendak membunuhku,
silakan!"
Siauw Bwee terkejut ketika mendengar suara
kakek itu. Teringatlah ia akan suara yang dikirim dengan ilmu Coan-im-jip-bit
dan yang telah menolongnya dari serangan burung-burung liar. Kini mendengar
ancaman laki-laki lengan buntung, Siauw Bwee tidak dapat menahan kemarahannya
lagi. Dia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat sekali, tahu-tahu
telah berdiri di depan laki-laki tinggi tegap yang menyerang kakek itu dengan
kata-kata keras tadi.
"Engkau manusia yang tak tahu
aturan!" Siauw Bwee tidak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk
pulih kembali dari rasa kaget mereka melihat munculnya seorang dara yang
gerakannya seperti burung walet. "Tidak menghormati supek sendiri, dan tidak
menghiraukan alasan-alasan yang begitu bijaksana, melainkan bersikap seperti
tiga ekor kerbau gila yang hanya bertindak karena dorongan nafsu bermusuhan dan
haus darah! Kalian hendak membunuh Locianpwe ini? Hi-hik, bicara sih mudah!
Baru melawan aku saja kalian sudah takkan bisa menang, apalagi melawan
Locianpwe ini!"
Tiba-tiba muncul seorang dara jelita yang
masih remaja dan datang-datang memaki-makinya membuat laki-laki tinggi tegap
bertangan satu itu tercengang dan sejenak tak dapat berkata-kata. Akan tetapi
kemudian timbul kemarahannya. Dia tadi hanya mengancam saja dan sama sekali
bukan bermaksud menyerang apalagi membunuh kakek itu. Karena ancamannya itu
kini disaksikan orang luar, tentu saja hal ini amat memalukan dan merendahkan
dirinya, maka dia amat marah.
"Bocah siluman dari mana berani
mencampuri urusan kami!" bentaknya.
"Bocah dari mana tak perlu kau tahu.
Pendeknya, lekas kau mentaati petintah Locianpwe inl untuk segera angkat kaki
dari tempat ini, kalau tidak, jangan sesalkan aku menggunakan kekerasan
mengusir kalian bertiga!"
Ucapan ini tekebur sekali dan tentu saja murid
kepala kaum lengan buntung itu saking marahnya sampai memandang dengan mata
mendelik. "Bocah kurang ajar! Engkau ada hubungan apakah degan kakek
itu?"
"Bukan sanak bukan teman, akan tetapi aku
akan melindunginya dari keganasan kalian!"
"Hemm, kulihat engkau masih amat muda,
masih bocah. Ingat lebih baik jangan mencampuri urusan kaum lengan buntng kalau
kau sayang nyawamu."
"Tentu saja aku sayang nyawaku, akan
tetapi aku siap membelanya dengan nyawaku karena aku yakin nyawaku tidak akan
apa-apa kalau hanya melawan orang-orang kejam macam kalian!"
"Keparat!" Laki-laki itu tak dapat
menahan kesabarannya lagi dan ia sudah menerjang dengan sambaran lengan baju
kirinya ke arah muka Siauw Bwee, dan tangan kanannya sudah cepat mengirim
susulan dengan tonjokan ke arah leher! Cepat sekali gerakannya ini, namun
terlalu lambat bagi Siauw Bwee yang sudah dapat mengelak dengan jalan menarik
muka ke belakang kemudian menggerakkan tangan kiri menangkis tangan kanan yang
memukul.
"Plakk!" Tubuh Laki-laki itu hampir
terjengkang ke belakang sehingga ia mengeluarkan seruan kaget dan heran. Siauw
Bwee tidak peduli dan sudah menerjang maju dengan tamparan kedua tangannya
susul-menyusul. Akan tetapi kini dara ini yang merasa kaget karena tubuh
laki-laki itu dengan amat indah dan cepatnya sudah bergerak dan semua
tamparannya luput! Kiranya laki-laki itu mempunyai gerak langkah yang amat luar
biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan
cepatnya! Siauw Bwee makin terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara
cepat ia dapat menghindar. Namun, dengan langkah-langkah yang aneh dan
berputar, laki-laki itu telah berada di belakangnya dan lengannya mencengkeram
kepala disusul tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau bunting
saking kuatnya!
"Ayaaaa....! Siauw Bwee berteriak dan
tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali kemudian dari atas, ketika tubuhnya
meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya melakukan gerakan
mendorong. Laki-laki itu kagum sekali menyaksikan gin-kang yang begitu
sempurna, akan tetapi ia juga girang karena kalau tubuh itu turun ia akan dapat
menyambut dengan serangan dahsyat. Siapa kira, dari telapak kedua tangan dara itu
menyambar hawa yang kuat dan ketika ia berusaha menangkis, hawa dingin yang
luar biasa membuat tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.
"Aihhh....!" Laki-laki itu berseru
keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah menerjang maju mengeroyok
Siauw Bwee.
"Bagus, majulah semua kalian orang-orang
tak tahu malu!" Siauw Bwee mengejek, akan tetapi segera ia mendapat
kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh orang-orang itu benar-benar merupakan lawan
amat berat! Tingkat sin-kang dan gin-kang mereka tidaklah seberapa hebat, akan
tetapi dia dibikin bingung oleh gerak langkah mereka yang amat luar biasa itu.
Teringatlah ia akan penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan buntung ini telah
mencipta semacam ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini dia terdesak terus. Sungguhpun
dengan ilmu silatnya yang tinggi, sin-kangnya yang kuat dan gin-kangnya yang
sempurna dia dapat selalu mengelak atau menangkis namun dia tidak diberi
kesempatan membalas sama sekali. Terkejutlah dara perkasa itu karena mendapat
kenyataan bahwa kaum lengan buntung ini benar-benar memiliki keistimewaan
seperti yang dimiliki kaum kaki buntung dengan gerak tangan kilat mereka!
Tiba-tiba terdengar kelepak sayap yang
riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap tertutup bayangan dari
atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke atas dan seketika wajah mereka
menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap itu ternyata bukanlah sayap melainkan
suara cecowetan separti suara kera yang banyak sekali dan dari mulut tiga orang
lengan buntung itu terdengar jerit ketakutan.
"Celaka....! Kelelawar siang!"
Siauw Bwee menjadi heran sekali melihat tiga
orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala mereka dengan tubuh
menggigil ketakutan. Dia mendongak dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir
menjerit. Yang disebut kelelawar siang itu memang sesungguhnya kelelawar, akan
tetapi banyaknya bukan main, sama banyaknya dengan burung-burung yang
menyerangnya kemarin! Dan yang hebat, kelelawar-kelelawar itu agaknya berbeda
dengan kelelawar biasa, tidak takut sinar matahari dan tubuh mereka hitam
seperti arang! Biarpun merasa ngeri sekali, akan tetapi Siauw Bwee tidak mau
bersikap penakut seperti tiga orang bekas lawan itu, maka ia masih berdiri
tegak dan siap melakukan perlawanan.
"Nona, lekas berlutut, serendah mungkin.
Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyerang lebih tinggi dari satu meter di
atas tanah, dan gigitannya seekor saja cukup membuat manusia menjadi
gila!"
Mendengar suara lirih di dekat telinganya yang
sama dengan suara ketika dia dikeroyok burung, Siauw Bwee terkejut. Pada saat
itu beberapa ekor kelelawar sudah menyambar turun mengarah kepalanya! Menjadi
gila kalau digigit? Dia makin ngeri dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan tiga orang lengan buntung,
hanya dia tidak menutup kepalanya melainkan memandang ke atas penuh perhatian.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi
dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan melihat bahwa suara itu keluar dari mulut
Si Kakek Tua, suara yang dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang yant tinggi.
Aneh sekali, ketika terdengar suara melengking tinggi penuh getaran ini,
kelelawar-kelelawar itu menjadi kacau-balau terbangnya, menabrak sana sini dan
kelihatan panik. Akan tetapi, sebelum suara itu cukup kuat untuk mengusir semua
kelelawar, suara itu makin melemah dan Siauw Bwee melihat kakek itu
terengah-engah kehabisan tenaga.
Siauw Bwee adalah seorang dara yang cerdik.
Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan lengkingan itu adalah cara untuk
mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan bahwa pada saat itu Si Kakek yang
lihai sedang menderita sakit maka pengerahan sin-kang yang kuat membuatnya
kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengerahkan sin-kang dan keluarlah suara
melengking tinggi dengan getaran kuat dari dalam dada Siauw Bwee. Dia hampir
menari kegirangan ketika melihat hasil tiruannya. Binatang-binatang itu menjadi
makin panik dan kacau, beterbangan membubung setinggi mungkin, agaknya untuk
menghindari getaran lengkingan maut itu dan tak lama kemudian mereka sudah
terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata. Barulah Siauw Bwee
menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang tiga orang lengan
buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.
"Mau dilanjutkan?" Siauw Bwee
menantang berani.
"Kalian bertiga tidak lekas pergi?
Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!" kata Si Kakek Tua.
Tiga orang itu sudah melihat bukti kelihaian
Siauw Bwee. Selain merasa gentar, juga mereka tahu bahwa. berkat pertolongan
gadis itulah maka mereka lolos dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut,
maka tanpa berkata-kata mereka lalu berlari pergi.
Siauw Bwee membalikkan tubuh memandang kakek
tua itu. "Locianpwe, kau sedang menderita sakit."
Kakek itu mengangguk, tersenyum dan lengan
tunggalnya melambai. "Ke sinilah, anak baik. Siapa namamu?"
"Nama saya Khu Siauw Bwee,
Locianpwe."
"Ha-ha-ha, jangan menyebut locianpwe.
Kepandaianmu lebih hebat daripada sedikit ilmu yang kumiliki. Sungguh sukar
dipercaya bahwa seorang dara semuda engkau telah memiliki sin-kang yang
sedemikian hebat. Siapakah gurumu?"
Siauw Bwee sudah mendapat pesan suhengnya
bahwa mereka bertiga tidak boleh menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, sesuai
dengan pesan kakek manusia dewa itu. Maka dia menjawab menyimpang, "Guruku
tidak boleh disebut namanya, aku hanya belajar dari suhengku yang bernama Kam
Han Ki. Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi bangga dan
sombong."
Kembali kakek itu tertawa. "Engkau
benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga rendah
hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum mengenal aku
akan tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku mati-matian."
Siauw Bwee tertawa manis dan dia berkata,
"Aihhh, Locianpwe membikin aku merasa
malu saja. Aku tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela
mati-matian kepada Locianpwe yang telah menolongku kemarin."
Mata kakek itu terbelalak. "Menolongmu? Apa
maksudmu, Nona?"
"Waah, Locianpwe pandai berpura-pura
lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit menyelamatkan aku
dari serangan burung-buruhg gila? Kalau tidak ada pertolongan Locianpwe,
agaknya aku akan mati di tengah rawa!"
"Ah, engkaukah orangnya? Aku tidak
mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku kebetulan berjalan-jalan di dekat
rawa dan melihat orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah
orangnya?"
Hati Siauw Bwee menjadi geli. Orang tidak
mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa berjalan-jalan? Ingin dia menyaksikan
bagaimana orang tak berkaki bisa berjalan.
"Akulah orangnya, Locianpwe. Dan aku
mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu," Siauw Bwee
menjura dengan hormat.
Kakek itu tertawa bergelak dan sejenak
wajahnya yang muram itu berseri gembira. "Wah, pengakuanmu ini
meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala kebaikanmu,
engkau jujur dan ingat budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya
yang akan dapat menolong kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga setiap
tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon kepada-mu,
Nona, sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!"
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Sikap kakek
itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan seperti itu masih mementingkan
keselamatan orang lain, keselamatan kaum buntung kaki dan buntung lengan yang
memperlakukannya dengan buruk.
"Apakah maksudmu, Locianpwe? Mereka itu
saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai. Bagaimana aku dapat mencampuri
dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak yang saling bermusuhan?"
"Duduklah, Nona, dan dengarkan
ceritaku." Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum
yang cacat itu, yang sebagian sudah ia dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu
duduk di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.
"Tahukah engkau mengapa kedua kaum yang
bercacat itu saling bermusuhan, Nona?"
Siauw Bwee mengangguk. "Permusuhan mereka
ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan yang bermusuhan dan dalam
pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang seorang lagi kehilangan
lengan kiri."
"Benar, dan aku tadinya adalah seorang di
antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi, sejak dahulu aku tidak menyetujui
permusuhan antara saudara sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum lengan
buntung sebenarnya adalah saudara-saudara seperguruan. Apalagi cara mereka
menerima murid-murid yang harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti kaum
mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat keji. Aku adalah suheng dari
The Bian Le dan aku berusaha membujuk suteku yang menjadi ketua kaum lengan
buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak kaki buntung. Pada waktu itu
akulah yang menjadi ketua kaum lengan buntung. Usul itu diterima dengan penuh
kemarahan dan mereka memberontak. Aku yang menjadi ketua mereka malah mereka
anggap pengkhianat sumpah leluhur dan aku dikeroyok, kemudian kaki kananku
mereka buntungkan dan aku diusir dengan kata-kata menghina bahwa aku berpihak
kepada kaum kaki buntung, maka kaki kananku dibuntungi dan aku diusir."
Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik
napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya dan berkata, "Betapa
kejamnya!"
Kakek itu menggeleng kepala, "Merceka
patut dikasihani, Nona. Aku tidak menyesal karena kakiku dibuntungi sebelah,
melainkan menyesal bahwa usahaku itu gagal sama sekali. Aku lalu pergi ke
tempat kaum kaki buntung. Biarpun kaki kananku sudah buntung seperti lengan
kiriku, aku tidak putus harapan dan berusaha menghubungi Liong Ki Bok, ketua
mereka yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah suteku sendiri pula. Akan
tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung, aku dicurigai dan
malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi pula."
"Ahhh....! Biadab! Jahat benar mereka
itu!"
Kembali kakek itu menggeleng kepala.
"Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh dendam permusuhan. Akulah
orangnya yang patut disesalkan karena berusaha mendamaikan mereka. Akan tetapi
aku malah tetap penasaran dan aku takkan dapat mati dengan meram kalau belum
berhasil mendamaikan mereka." Kakek itu kelihatan berduka sekali dan
diam-diam Siauw Bwee merasa terharu dan kasihan, juga kagum menyaksikan iktikad
baik yang tak kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya sudah cacad seperti
itu.
"Apa hubungannya semua itu dengan aku,
Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang tadinya adalah ketua kaum lengan buntung
sama sekali tidak dapat mendamaikan mereka bahkan dianggap pengkhianat,
bagalmana aku akan dapat mengusahakannya?"
"Dengan jalan lain pasti dapat, Khu-lihiap.
Akan tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku terasing di antara mereka kedua pihak
dan aku, dengan tekad untuk tetap hidup dan terus berusaha mendamaikan mereka,
dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan kanan ini sampai ke tempat ini,
terpencil dan terasing. Sepuluh tahun lamanya aku berdiam di sini, menggembleng
diri dan terutama sekali mempelajari rahasia ilmu-ilmu kedua pihak yang
sesungguhnya memang sesumber. Dan ketekunanku selama sepuluh tahun ini berhasil
baik, Nona! Aku telah memecahkan kedua ilmu mereka, maksudku aku telah
menemukan cara pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu gerak tangan kilat
dari kaum kaki buntung dan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung.
Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau perlu dengan
kekerasan!"
Wajah Siauw Bwee berseri, dia ikut merasa
gembira akan hasil kakek itu yang akan dapat memenuhi cita-cita hidupnya, yaitu
menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang bersaudara akan tetapi permusuhan
itu. "Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu, Locianpwe pergunakan saja
ilmu itu untuk menghajar orang-orang keras kepala itu!" serunya.
"Nona, lihatlah keadaanku. Aku hanya
mempunyai sebuah lengan dan aku.... karena terlalu tekun menggembleng diri
dengan ilmu-ilmu itu, aku menderita sakit jantung yang hebat dan takkan
terobati lagi. Biarpun semua teori silat mereka sudah berada di telapak
tanganku kalau aku hanya mempunyai satu lengan saja, bagaimana mungkin aku
dapat menghadapi mereka?"
"Ohhh....! Maafkan aku, Locianpwe,"
Siauw Bwee berkata dengan muka merah karena dalam kegembiraannya tadi ia sampai
lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.
"Tidak apa, Nona. Bahkan akulah yang
minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang luar untuk mewakili
aku...."
"Maksudmu....?"
"Ilmu kepandaianmu hebat, Nona. Baik
Liong Ki Bok maupun The Bian Le, malah aku sendiri tidak akan dapat
menandingimu. Engkau tentu murid seorang yang amat sakti. Akan tetapi, kalau
engkau dikeroyok dan menghadapi ilmu silat gerak tangan sakti dan gerak kaki
sakti, engkau yang masih kurang pengalaman tentu akan menjadi bingung sehingga
keadaanmu akan berbahaya. Akan tetapi kalau engkau kuberi pelajaran rahasia
tentang kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan mudah engkau akan dapat
mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi permintaan seorang tua yang
sudah hampir mati dan sudikah engkau membiarkan aku mati dalam keadaan meram
dan tenang karena menyaksikan kedua kaum itu telah dapat dipaksa
berdamai?" Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan disambungnya
dengan suara parau. "Andaikata aku memiliki dua buah kaki, aku akan
berlutut memohon kepadamu, Khu-lihiap!"
Siauw Bwee merasa terharu sekali. Dia memiliki
watak yang halus dan perasa, penuh welas asih, bagaimana mungkin ia dapat
menolak permintaan itu? "Aihh, Locianpwe harap jangan terlalu sungkan. Aku
sudah Locianpwe tolong dari ancaman maut dikeroyok burung-burung liar dan aku
belum dapat membalas budi itu. Tentu saja aku akan berusaha untuk memenuhi
permintaanmu."
"Terima kasih, Li-hiap! Semoga Tuhan
memberkatimu! Dan jangan bicara tentang budi pertolongan dariku, karena aku
tahu bahwa tanpa kunasihatkan untuk menyelam juga, burung-burung gila itu mana
mungkin dapat menjatuhkan seorang seperti Li-hiap? Nah, marilah kita mulai
dengan latihan ilmu-ilmu tangan kilat dan kaki kilat, Nona. Waktu untuk pibu
(mengadu ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi, cukup lama bagimu untuk
menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan pibu Nona dapat maju dan
mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu, tentu mereka tidak berani
membantah dan akan memenuhi permintaan Li-hiap untuk berdamai dan bersumpah
mengubur semua permusuhan di antara kedua kaum!"
Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar
dan berarti bahwa perjalanan akan tertunda selama tiga bulan. Akan tetapi waktu
itu tidak dibuang sia-sia, dan sebagai seorang ahli silat seperti Siauw Bwee,
tentu saja akan girang sekali, menerima pelajaran dua macam ilmu yang demikian
hebat. Apalagi kalau diingat bahwa dia sedang melakukan tugas yang mulia yaitu
berusaha mendamaikan permusuhan semua saudara sehingga kalau berhasil berarti
dia telah menyelamatkan entah berapa banyak nyawa yang setiap tahun pasti ada
yang jatuh menjadi korban pibu.
Demikianlah, mulai hari itu, Siauw Bwee
menerima petunjuk-petunjuk kakek cacad itu melatih diri dengan ilmu gerak
tangan kilat dan gerak kaki kilat dan karena dasar ilmu silatnya malah lebih
tinggi tingkatnya daripada kedua ilmu itu dia dapat melatih diri dengan mudah
dan hasilnya amat hebat, lebih hebat daripada kalau kedua ilmu itu dilatih oleh
tubuh Si Kakek sendiri andaikata dia tidak bercacad!
***
Terpaksa kita tinggalkan dulu Siauw Bwee yang
setiap hari tekun berlatih kedua macam ilmu silat istimewa itu dan sebaiknya
kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki, karena hal ini untuk memperlancar
jalannya cerita.
Telah kita ketahui betapa Kam Han Ki merana
hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup ketika kedua orang
sumoinya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga dia tinggal seorang diri di
Pulau Es. Karena tidak dapat menahan kesepian yang menggerogoti hatinya, juga
karena khawatir akan keadaan kedua orang sumoinya, Han Ki lalu membuat sebuah
perahu dan berlayarlah dia meninggalkan Pulau Es dengan maksud hendak mencari
kedua orang sumoinya, atau setidaknya, seorang di antara mereka.
Setelah mendarat di tepi pantai daratan
Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia tidak tahu di sebelah mana
kedua orang sumoinya mendarat dan ke mana pula mereka pergi. Akan tetapi, dia
berjalan terus ke barat dan di sepanjang jalan dia berusaha menemukan jejak
kedua orang sumoinya dengan bertanya-tanya kepada orang-orang yang dijumpainya
di jalan. Akan tetapi, sampai berpekan-pekan ia melakukan perjalanan, belum
juga ia mendapatkan jejak kedua orang sumoinya. Tidak ada seorang pun di antara
mereka yang ditanyainya pernah melihat dua orang gadis itu, sebaliknya, Han Ki
mendengar akan keadaan kerajaan baru yang makin luas saja wilayahnya, yaitu
Kerajaan Cin yang dibangun oleh bangsa Yucen. Kini di daerah utara, hampir
seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke tangan Kerajaan Cin. Dari dia
mendengar pula tentang pergolakan di Kerajaan Sung, tentang para pembesar yang
memberontak dan berdiri sendiri-sendiri menguasai wilayah masing-masing.
Mendengar pula akan pergerakan bangsa Mancu di samping bangsa Yucen.
Ketika ia mendengar bahwa dia memasuki daerah
yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai mengangkat pejabat-pejabat daerah
sebagai pegawai Kerajaan Cin, teringatlah Han Ki akan kekasihnya, Sung Hong Kwi
yang dahulu akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Timbul hasrat hatinya untuk
mendengar berita tentang kekasihnya itu, dan kalau mungkin.... menjumpainya!
Masih hidupkah Hong Kwi kekasihnya itu? Apakah kini telah menjadi seorang yang
mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir rendahan saja? Hatinya
terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa raja-raja yang berkuasa,
seperti halnya Kaisar Kerajaan Sung, paling suka mempermainkan wanita dan
setiap hari berganti wanita, yang lama dicampakkan begitu saja. Jangan-jangan
seperti itu pula nasib Hong Kwi. Kekhawatiran ini mendorong hasratnya untuk
menyelidiki keadaan Hong Kwi.
Akhirnya, karena dorongan hasrat ingin bertemu
bekas kekasihnya tak dapat ditahannya lagi, Han Ki mendatangi kota raja Yucen
dan berhasil pada suatu malam menyelundup masuk ke taman Istana Raja Yucen!
Dilihatnya bahwa dia telah memasuki harem (keputren, tempat selir-selir raja)
dan ketika ia melihat beberapa orang wanita cantik berpakaian indah
bersendau-gurau di dekat kolam ikan, ia lalu melompat ke dekat mereka.
Wanita-wanita itu terkejut dan menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat
tangannya dan berkata halus,
"Harap kalian jangan takut. Aku datang
tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan Sung Hong Kwi. Adakah dia di
sini?"
Ketika melihat bahwa yang muncul seperti setan
itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lenyaplah rasa takut
wanita-wanita itu dan di antara mereka bahkan ada yang tersenyum-senyum dan
melirik-lirik tajam. Mereka adalah wanita-wanita yang selalu dikurung dan hanya
kadang-kadang melayani Raja Yucen yang sudah tua, tentu saja jantung mereka
berdebar tegang dan aneh ketika berhadapan dengan seorang pemuda tampan dan
gagah seperti itu. Seorang di antara mereka yang paling berani, segera berkata,
"Engkau sungguh berani mati memasuki
tempat ini. Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para pengawal
yang menjaga di luar?"
"Hal itu tidak penting. Yang penting,
adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa dengan dia."
"Siapa itu Sung Hong Kwi? Kami tidak
mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya."
Han Ki mengerutkan kening. Salahkah dugaannya
bahwa kekasihnya itu diboyong oleh Raja Yucen? "Lima tahun yang lalu, ada
seorang puteri Kerajaan Sung dikawinkan dengan Raja Yucen...."
"Ohhh! Kaumaksudkan dia?" Seorang
selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh tahun akan tetapi masih
amat cantik, segera berkata, "Puteri yang rewel itu? Dia tidak menjadi
selir sribaginda, akan tetapi diberikan kepada Pangeran Dhanu yang tergila-gila
kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran Dhanu yang tampan, rela tidak memelihara
selir akan tetapi isterinya itu selalu merongrongnya!"
Han Ki terkejut. "Pangeran Dhanu? Di mana
istananya?"
Wanita itu tertawa. "Mana ada waktu
beristirahat dengan tenang di istana? Isterinya, Puteri Sung itu terlalu rewel,
bahkan kini kabarnya sakit sehingga diajak tetirah ke Hutan Bunga Bwee di tepi
sungai"
"Di mana tempat itu?"
"Ihh, mau apa sih engkau mencari puteri
yang sakit-sakitan? Di sini banyak...."
"Lekas katakan!" Han Ki membentak
marah ketika mendengar wanita-wanita itu mulai tertawa memikat. "Kalau
tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!" Ia sengaja mengancam dan
berhasillah dia karena wanita-wanita itu menjadi pucat dan ketakutan.
"Di luar kota raja, di sebelah utara,
dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah beberapa hari mereka di
sana.... aihhh....!" Wanita itu dan temantemannya menjerit ketika
tiba-tiba tubuh Han Ki berkelebat dan pemuda gagah itu sudah lenyap dari depan
mereka.
"Setan....! Siluman....!" Mereka
berteriak-teriak sambil melarikan diri, ada yang terkencing-kencing ketakutan
dan bahkan ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak malam itu, sampai beberapa
lama pemuda itu menjadi bahan percakapan para selir dengan penuh rasa ngeri dan
juga rindu!
Akan tetapi ketika Han Ki tiba di hutan yang
dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan mendapat kabar
bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh gerombolan pasukan Mancu yang memang
telah bermusuhan dengan pihak Yucen. Banyak terdapat mayat-mayat bangsa Mancu
dan Yucen dan ketika dia tiba di situ, pasukan Yucen sedang mengangkuti
mayat-mayat itu dan melakukan penjagaan ketat. Namun, dengan kepandaiannya yang
tinggi, Han Ki berhasil mendekati sampai di luar perkemahan yang ditinggali
Pangeran Dhanu dan isterinya. Di luar perkemahan dia dihadang oleh para
pengawal!
"Berhenti! Siapa engkau dan ada keperluan
apa?" bentak pengawal-pengawal itu.
"Aku hendak berjumpa dengan Pangeran
Dhanu. Aku adalah.... seorang saudara dari isterinya, hendak menengoknya,
karena kabarnya sakit."
Para pengawal mengepungnya dengan pandang mata
curiga. "Sang Pangeran sedang sibuk, Sang Puteri sakit keras...."
Tiba-tiba Han Ki meloncat ke dalam kemah,
gerakannya amat cepat sehingga para pengawal itu sejenak melongo karena
kehilangan pemuda itu. Baru mereka tahu bahwa pemuda itu menerobos masuk ketika
mendengar pemuda itu menjerit, "Hong-Kwi....!" Mendengar kekasihnya
sakit keras, pemuda itu seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil nama
kekasihnya.
"Han Ki-koko....? Ohhh...."
Suara ini cukup bagi Han Ki. Dia mengerahkan
tenaganya dan tubuhnya berkelebat memasuki sebuah kamar di dalam perkemahan
besar itu dan dia berdiri pucat dengan mata terbelalak memandang tubuh kekasihnya
yang rebah telentang seperti mati di atas pembaringan. Di kepala pembaringan
itu duduk seorang laki-laki yang berkumis tipis berpakaian indah dan bersikap
gagah namun wajahnya diliputi kedukaan besar. Laki-laki ini meloncat bangun dan
tangannya meraba gagang pedangnya. Seorang pelayan wanita mundur-mundur
ketakutan memandang Han Ki.
Wajah Hong Kwi pucat sekali, matanya sayu dan
rambutnya yang hitam itu terurai lepas, tubuhnya kelihatan lemah. Dia memandang
Han Ki, beberapa kali bibirnya bergerak namun tidak ada suara keluar. Air mata
seperti butiran-butiran mutiara menetes turun dan akhirnya dia dapat juga
bersuara,
"Han Ki-koko.... kau datang....? Ahh,
Koko.... bawalah aku pergi.... bawalah....!" Kedua lengannya diangkat
lemah, diulurkan ke arah Han Ki, akan tetapi tiba-tiba kedua lengannya terkulai
kembali di atas pembaringan, mukanya yang tadinya menghadap ke Han Ki itu
tergolek ke kiri, matanya terpejam, hanya mulutnya yang masih agak terbuka
seolah-olah dia belum selesai bicara.
"Hong Kwi....!" Han Ki tidak
mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di kerongkongannya.
"Isteriku....!" Pangeran Dhanu,
laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Kemudian ia meloncat bangun,
memandang Han Ki dan berkata, air matanya masih menetes-netes, "Jadi
engkaukah Kam Han Ki, laki-laki kejam yang menghancurkan hati isteriku? Engkau
datang $ hanya untuk menyaksikan kematiannya? Betapa kejam engkau!"
Ucapan ini bagaikan petir menyambar karena
seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya, telah meninggal dunia. Dia
menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong Kwi, diguncang-guncangnya
pundak mayat itu. "Hong Kwi.... Hong Kwi....! Ini aku Kam Han Ki! Aku
telah datang. Hong Kwi....! Hong Kwi, bukalah matamu, pandanglah aku,
bicaralah....!"
Menyaksikan sikap pemuda itu, Pangeran Dhanu
agak berkurang kemarahannya dan memandang dengan kening, berkerut. Di belakang
Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan di luar kamar itu, seorang pengawal
berdiri tegak menjaga, dalam keadaan siap seolah-olah tidak tahu apa yang
terjadi di dalam kamar, sungguhpun alisnya berkerut menandakan bahwa dia ikut
prihatin terharu.
"Hong Kwi...., kekasihku.... Hong Kwi,
aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau bawalah aku....!" Han Ki yang
biasanya tenang itu kini tidak dapat menahan pukulan batin yang amat hebat itu.
Dia masih mencinta Hong Kwi, bahkan belum pernah dia berhenti mencintanya. Kini
melihat kekasihnya mati setelah bertemu dengannya, dia merasa berdosa dan
berduka.
"Hemm, dia sudah mati baru engkau datang
dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan seorang laki-laki yang patut
dipuji!"
Ucapan yang bernada keras ini membuat Han Ki
sadar bahwa dia telah berada di tempat orang, bahkan sadar bahwa mayat yang
dipeluknya itu adalah mayat isteri orang lain. Dia bangkit, menekan
perasaannya, berdiri lemas dan dengan mata merah dan pipi basah ia memandang
Pangeran Dhanu. Sejenak kedua orang laki-laki itu saling berpandangan.
"Engkau tentu Pangeran Dhanu...."
katanya perlahan.
"Benar! Akulah Pangeran Dhanu, laki-laki
yang mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, yang selama bertahun-tahun ikut
menderita bersamanya, yang berusaha menghiburnya, yang memenuhi segala
permintaannya. Akan tetapi, pada saat terakhir, namamulah yang
diucapkannya!" Di dalam ucapan pangeran itu terdapat kegetiran yang hebat
sehingga diam-diam Han Ki merasa kasihan dan bersalah.
"Pangeran, selama bertahun-tahun aku
berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan tetapi engkau.... selama
itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita daripada engkau."
"Aku sudah mendengar akan namamu, dia
bercerita tentang dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia asal dia dapat membalas dan
menerima cintaku. Akan tetapi.... dia selalu berduka, teringat kepadamu, selalu
sakit-sakitan.... kuajak tetirah ke mana-mana untuk menghiburnya, kukorbankan
tugas-tugasku. Semalam anjing-anjing Mancu menyerbu perkemahan, biarpun dapat
dipukul mundur akan tetapi isteriku menderita kaget yang hebat, Jantungnya
lemah.... dan.... kemudian kau datang.... ah, isteriku....!" Pangeran itu
mengusap air matanya.
"Pangeran, maafkan aku. Betapapun juga,
engkau yang mencintanya telah menjadi suaminya selama lima tahun. Engkau telah
memiliki dia sebagai isteri yang tercinta...."
"Memang aku memiliki tubuhnya akan tetapi
tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas hatinya, keparat!"
"Dan orang-orang Mancu telah merampas
nyawanya. Aku akan membalas ini!"
"Orang she Kam! Tidak perlu menimpakan
kesalahan kepada orang lain. Engkaulah yang telah membunuh isteriku! Engkaulah
yang menghancurkan hidupnya, dan engkau pula yang merampas kebahagiaan hidupku!
Pengawal, tengkap orang ini!"
Belasan orang pengawal menerjang masuk dengan
tombak di tangan. Han Ki berseru, Hong Kwi, kalau rohmu masih di sini,
dengarlah sumpahku. Aku tidak akan menikah dengan wanita lain di dunia
ini!" Setelah barkata demikian, tubuhnya berkelebat keluar dan robohlah
enam orang pengawal yang menghadangnya. Dia tidak membunuh karena dia maklum
betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa pangeran itu betul-betul
mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang Mancu karena andaikata
malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga tidak mengagetkan hati
Hong Kwi yang jantungnya lemah karena sakit, tentu pertemuannya dengan bekas
kekasihnya itu tidak berskhir dengan kematian Hong Kwi!
Biarpun Pangeran Dhanu yang marah, berduka dan
sakit hati itu mengerahkan semua sisa pasukannya, namun mereka tidak dapat
mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar dari hutan itu dengan gerakan cepat
seperti menghilang.
Han Ki berlari cepat meninggalkan Kerajaan
Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan diri dengan barisan Kerajaan Sung,
melupakan semua peristiwa yang membuat ia menjadi orang buruan. Ingin ia
membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya. Akan tetapi, tentu dia akan
ditangkap begitu muncul di kota raja! Ah, biarpun tanpa pasukan, dia tetap
berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi kepada bala tentara Mancu! Dengan
keputusan bulat, Han Ki melanjutkan perjalanannya, hatinya makin merana. Dia
tidak saja kehilangan Maya dan Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi
yang sampai detik terakhir masih mencintanya! Kenyataan ini makin memberatkan
hatinya, dan ia selalu merasa telah berbuat dosa yang amat besar kepada Hong
Kwi. Cinta kasih di antara mereka yang terenggut putus, yang disangkanya hanya
membuat dia seorang menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa lagi bagi Hong
Kwi sampai dibawanya mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan ia merasa dirinya
sudah tua sekali. Padahal pada waktu itu, usia Han Ki baru tiga puluh satu atau
tiga puluh dua tahun
Maya membuka matanya. Sudah matikah dia?
Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah bahwa dia terseret ke dalam air
yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Tentu sudah mati. Akan tetapi
mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam orang perajurit di perahu itu,
perahu yang didayung cepat. Tidak! Dia tentu belum mati. Ataukah perahu ini
perahu yang akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu
malaikat-malaikat? Tak mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti perajurit
dunia! Keparat, tentu mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka
yang menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan tertawan. Dia menjadi
marah dan menggerakkan tangan.... akan tetapi, kedua tangan dan kedua kakinya
tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia
lelah sekali sehingga tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu,
dan ketika ia memandang, kiranya belenggu itu terbuat daripada baja yang tebal
dan kuat sekali! Maya pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak, diam-diam
mengumpulkan hawa murni ke lengannya.
Perahu itu kini menempel pada sebuah perahu
besar. Dia membuka mata memperhatikan.
"Wah, dia sudah sadar!" kata seorang
di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya membuka mata.
Karena sudah ketahuan, Maya tidak berpura-pura
lagi. Dengan gerakan tubuhnya, ia berhasil bangun duduk. "Siapa kalian?
Mengapa aku kalian tangkap?" Akan tetapi ketika melihat pakaian seragam
mereka adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu berkata, "Hemm....
kalian tentu anjing-anjing Kerajaan Sung!"
"Perempuan liar. Bangunlah dan ikut kami
menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke atas perahu?"
Karena belum mendapat kesempatan mematahkan
belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba kedua kakinya membuat gerakan
menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang perajurit terlempar ke dalam
air!
"Wah! Wah! Awas...., betina ini liar
sekali!" Seru seorang di antara mereka dan kini dari atas perahu besar
meloncat turun banyak perajurit. Tubuh Maya diringkus dan dia dipaksa naik ke
atas perahu besar. Dua orang perajurit yang bertubuh kuat memegang ujung rantai
yang membelenggu kedua tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa memasuki
ruangan besar di atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima
mereka. Kalau nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini!
Dengan dada membusung dan kepala tegak Maya
berjalan terpincang-pincang karena kedua kakinya dibelenggu, memasuki ruangan.
Ketika ia melihat dua orang panglima duduk di atas kursi dalam ruangan itu,
matanya terbelalak. Ia mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu
besar yang telah ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit
berdiri adalah panglima muda yang ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai!
Juga panglima besar yang berjenggot itu
memandang dengan kaget. "Engkau....? Engkau pendekar wanita penolong
kami....!" Ia lalu membentak anak buahnya, "Apakah kalian ini buta
dan gila semua? Hayo cepat lepaskan belenggunya!"
"Krek! Krekkk!" Tiba-tiba Maya yang
sudah berhasil mengumpulkan kembali tenaganya, sekali mengerahkan telah
mematahkan belenggu kaki tangannya! Dia melangkah maju dan termanyum.
"Ciangkun, selamat berjumpa!"
Panglima besar itu meloncat dari tempat
duduknya dan cepat menjura. "Selamat datang, Li-hiap!" Dan kepada
anak buahnya ia membentak, "Lihat apakah yang telah kalian lakukan,
orang-orang tolol! Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu
kalian itu ada artinya bagi Li-hiap yang sakti!" Kemudian ia membentak
makin nyaring, "Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Li-hiap!"
Enam orang itu, yang dua tertendang tadi sudah
ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti burung-burung saling sahut mereka
berseru, "Mohon maaf kepada Li-hiap, karena kami tidak tahu maka...."
Maya menggerakkan tangannya. "Sudahlah!
Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian bekuk!"
"Li-hiap, silakan duduk!" Panglima
muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang kagum. Ketika ia
ditolong dari tangan lawan dampit yang lihai dia tidak dapat melihat jelas
wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah
seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik jelita seperti bidadari!
"Lekas ambil pakaian bersih dan kering
untuk Li-hiap! Dan sediakan meja perjamuan!" Panglima besar itu memberi
perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan
itu.
"Li-hiap, silakan berganti pakaian kering
dulu. Nanti kita bicara," Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa
sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti
pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan
pembantunya, panglima muda brewok.
"Wah, betapa lucunya aku berpakaian
seperti ini!" Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar dari
kamar, tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.
"Engkau gagah sekali dan patut dalam
pakaian itu, Li-hiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku."
Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri
Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak
makin gagah perkasa.
Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang
panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka bercakap-cakap.
Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab, "Namaku Maya dan kuharap
Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku karena hal
itu takkan dapat kuterangkan.
Seandainya aku tidak melihat sendiri betapa
pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan
dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa pula pasukan
Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?"
***
Wajah panglima tua itu berseri mendengar bahwa
dara perkasa yang menjadi penolongnya ini menganggap Kerajaan Sung sebagai
musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, setelah arak yang disuguhkan sebagai
penghormatan itu diminum, dia berkata,
"Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah
pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar
Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami
menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman."
"Hemm...., jadi Ciangkun memberontak
terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?"
Panglima she Bu itu menarik napas panjang.
"Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah pembesar-pembesar
militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi, sekarang ini Kerajaan Sung
mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh
menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam
Suma-goanswe. Karena itu, banyak sekali panglima yang memberontak,
pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal
diam, apalagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan
tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki
tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas daripada penindasan
para pembesar korup."
Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa
girang karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama
Kerajaan Sung! Apalagi karena jelas bahwa panglima ini bersetiakawan dengan
pek-hunya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata, "Kalau
begitu, aku
siap membantumu, Ciangkun!"
Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia
mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata,
"Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan
agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini Tuhan
sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani
mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak
membantu. Terima kasih, Li-hiap, terima kasih!"
"Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun.
Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga kebetulan
sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan yang cukup
banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu menyerbu ke
kota raja Sung!"
Hampir saja kedua orang panglima perang itu
tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya pengetahuan dara ini
tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan menyerbu ke kota raja,
seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak tanpa rintangan. Perjalanan
ribuan li itu sebelum ditempuh sepersepuluhnya sudah akan menghadapi
pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya. Dara ini bicara tentang
perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena
maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang
perang, dan agar jangan menyinggung perasaan, kedua orang panglima itu hanya
saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.
"Li-hiap, serahkan urusan perang kepadaku
karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu. Mereka masih memiliki
bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi, kau akan kuangkat
menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi
pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan
Li-hiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di garis depan."
Maya mengangguk. "Terserah kepadamu,
Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi pasukan Sung, cukuplah.
Lebih banyak lebih baik."
"Bagus! Mulai sekarang engkau adalah
seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai pembantuku yang
kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan
dan siasat kita."
Dengan panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi
tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah mengadakan kontak dengan
bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat menyerang
ke selatan. Mendengar ini, Maya tidak ambil peduli. Baginya, bersekutu dengan Mancu
pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan
Mongol!
"Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu.
Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Yucen
saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!"
Bu-ciangkun tertawa bergelak. Gadis ini
memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi tidak
berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan
jujur, "Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami
tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang
sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia
merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang
akan kauhadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan
Kerajaan Sung."
"Bagus!" Maya, girang sekali.
"Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!"
Demikianlah, mulai hari itu, Maya mengepalai
lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira pembantunya. Dara ini
dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering kali melihat, bahkan
mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini
dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia
beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang lihai dari
ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan beberapa
jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.
Mula-mula Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran,
juga girang menyaksikan cara Maya melatih pasukannya. Diam-diam ia lalu
menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja
Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama
Menteri Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung. Diam-diam ia menjadi
girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya yang
kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja Khitan dan
keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara itu sudah
menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun diam-diam saja, bahkan
tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapapun juga.
Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi
pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para
panglimanya yang berjumlah lima orang, "Barisan Mancu yang menjadi sekutu
kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung kemudian
bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan kurirnya
juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan, maka
sebaiknya seorrang di antara kalian harus membawa pasukan untuk menghubungi
mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalahan itu jauh, melalui
daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan
pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di
antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?"
Seperti telah diduganya, dan juga
diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan Yucen.
Maya segera berdiri sigap dan menjawab, "Aku sanggup!"
Empat orang panglima yang lain telah mengenal
kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani berebut, bahkan
Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya, segera
berkata, "Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun
dengan pasukan mautnya."
Bu-ciangkun mengangguk-angguk. "Akan
kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan. Li-ciangkun
tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa."
"Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga
dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir."
"Selain mengadakan hubungan dengan mereka
dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Li-ciangkun mencari
tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita
dan dapat membantu perjuangan kita."
"Baik!" jawab Maya yang teringat,
akan rakyat Khitan. Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk
mereka masuk menjadi perajurit di bawah pimpinannya, betapa akan senang
hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di bawah
pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!
Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan
yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya membawa seratus ekor
kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing
seekor kuda, adapun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus orang
secara bergilir, lima orang perajurit untuk setiap kuda seekor. Maka
berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang
menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa
bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di
depan, yang berkuda, seratus orang banyaknya, di belakang. Bu-ciangkun sendiri
mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan.
Dua buah bendera itu berkibar-kibar. Yang
sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh Bu-ciangkun sendiri, yaitu
"Pasukan Maut"! Dan bendera yang sebuah lagi bertuliskan nama
panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!
Perjalanan ke barat dimulai. Oleh
gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak buah pasukan kuat-kuat
dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi perajurit
Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi
kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina.
Belasan hari kemudian, pasukan itu telah tiba
di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui padang pasir yang tidak
berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan
kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena
daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.
"Basmi anjing-anjing Yucen!" Maya
berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan dan terdengar
oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti harimau-harimau
kelaparan, pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira
bahwa yang mereka serbu adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah,
menjadi kewalahan. Apalagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk,
pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan
Yucen menjadi gentar. Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan
tetapi dengan gerakan kilat, Maya melompat, pedangnya memenggal leher seorang
perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju Panglima Yucen itu
terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan
kaget melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda.
Akan tetapi keringatnya mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis
bengis,
"Engkau Panglima Yucen keparat. Ingatkah
kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?"
Wajah panglima itu pucat dan ia
menggeleng-gelengkan kepala, "Aku.... aku tidak....!" Akan tetapi
kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara
perkasa ini melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil
berseru,
"Heii.... anjing-anjing Yucen! Lihat
kepala siapa ini?" Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat
kepala pemimpin mereka, sebaliknya makin bersemangatlah Pasukan Maut itu
sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari
berserabutan.
"Hidup Maya Li-ciangkun!" Sorak para
perajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.
Hanya setelah ada perintah Maya saja para
perajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para perwira menghitung,
dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi
membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan
perajurit yang terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur.
Mayat-mayat para perajurit Yucen dibiarkan saja berserakan. Maya lalu
memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi.
"Pasukan Maut yang gagah perkasa.
Serbu....!"
Barulah pasukan Yucen itu menjadi panik
benar-benar. Suara perintah itu datang dari atas puncak dan mereka dapat
menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita yang menurut cerita perajurit
Yucen yang melarikan diri memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Akan
tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari puncak, melainkan dari bawah, dari
belakang mereka!
Terjadilah perang tanding yang jauh lebih
hebat mengerikan daripada tadi, akan tetapi lebih celaka lagi akibatnya bagi
tentara Yucen karena mereka berada dalam keadaan panik dan siasat mereka hancur
sehingga mereka berada di pihak yang diserang. Keadaan yang sama sekali di luar
perhitungan mereka ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik secara tiba-tiba,
membuat para komandan pasukan itu tidak sempat lagi memikirkan siasat, maka
satu-satunya jalan adalah melawan dan mempertahankan diri secara kacau-balau
dan mencari selamat sendiri-sendiri! Di lain pihak, tentara Pasukan Maut yang
bergerak secara terpimpin dan teratur, ditambah kegembiraan mereka karena baru
sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat pimpinan mereka, tumbuh semangatnya
dan terjadilah penyembelihan besar-besaran seperti yang semula direncanakan
pasukan Yucen, akan tetapi sekarang merekalah yang menjadi domba-dombanya dan
pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di antara mereka terbunuh, bukan
hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga yang terjun ke jurang dan
tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan hanya ada dua ratus orang saja
yang sempat melarikan diri menerobos kepungan musuh dan terus lari sipat-kuping
ke bawah bukit!
Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung
sampai pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya mendapat kenyataan bahwa
dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga ratus orang
musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun tidak semua
tewas dan masih ada yang dapat tertolong karena hanya menderita luka-luka saja!
Kemenangan yang membesarkan hatinya dan hati anak buahnya itu sekali ini
benar-benar dirayakan mereka dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau
menceritakan pengalaman masing-masing dalam pertempuran semalam!
Maya membawa pasukannya turun bukit dan
beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang luas sehingga mereka
tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat dilanjutkan dengan
semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di depan pasukannya,
kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia mengucapkan kata-kata
bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga semua anak buahnya merasa bangga
dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka yang ketika panglima di
atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata terang-terangan,
"Hidup Maya Li-ciangkun! Kami siap mati
membelamu!"
Maya tersenyum mengangguk dan berkata dengan
suara merdu, "Aku pun siap mati membela Pasukan Maut! Setiap orang dari
Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku sendiri!" Tentu saja ucapan
panglima wanita remaja yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai gembira.
Ketika pasukan pada beberapa hari kemudian
melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan berhenti. Maya yang sedang berada di
belakang membalapkan kudanya menuju ke depan. Kiranya di depan pasukannya
menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan keningnya dan memerintahkan
perwiranya mengurus hal itu. Akan tetapi sampai agak lama pasukan masih belum
bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan cepat ia menuju ke bagian
depan. Seorang perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan
para penggembala domba, bahkan terjadi perkelahiani Maya terkejut, cepat ia
menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira roboh dan terluka, dia
marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan lari ke depan.
Dilihatnya bahwa para perwiranya sedang
berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik sekali menyaksikan
kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya dia itu pemimpinnya,
seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi tegap, tangan
kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan kiri memondong seekor anak
domba. Gerakan penggembala muda ini hebat dan cepat sekali dan pecutnya itu
menyambar-nyambar ganas, merobohkan dua orang perwira sekaligus dan yang masih
menandinginya adalah Kwa-huciang, seorang di antara perwiranya yang paling
lihai. Kwa-huciang bersenjata pedang dan kini terjadilah pertandingan antara
kedua orang itu. Maya menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam
kagum menyaksikan kegagahan pemuda penggembala muda itu. Setelah bertanding
belasan jurus, tiba-tiba penggembala yang melawan Kwa-huciang sambil memondong
domba itu berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang dibetot dan
perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh
terpelanting dan kini penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas dada
Kwa-huciang sambil berkata nyaring,
"Hayo lekas perintahkan pasukanmu
mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!"
"Eh, galak amat!" Maya berseru
sambil melompat maju. "Penggembala berbau domba, kau sombong sekali.
Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para perwiraku!"
Penggembala domba itu menengok dan kelihatan
tercengang lalu menjawab,
"Domba kami banyak yang terinjak mati,
sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami sedang makan rumput,
mengapa pasukan kalian mengganggu? Mengapa tidak mengambil jalan memutar?
Lihat, domba kecil ini sampai patah kakinya!" Ia menoleh ke arah domba
yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada Maya sambil bertanya,
"Eh, engkau ini perajurit wanita, mau apa?"
Maya tersenyum. "Orang kasar, agaknya
engkau lebih pandai bergaul dengan domba daripada dengan manusia."
"Tentu saja! Apa sih baiknya manusia?
Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi srigala. Domba-domba adalah
mahluk yang lemah, selalu mengalah dan...."
"Dan engkau lupa bahwa kau sendiri juga
seorang manusia!" Maya memotong. "Ataukah barangkali engkau ini pun
seekor domba yang menyamar manusia?"
Pemuda itu gelagapan, merasa kalah bicara maka
ia membentak, "Kau siapa dan mau apa?"
"Aku adalah panglima Pasukan Maut
ini!" jawab Maya dengan sikap keren.
Tiba-tiba penggembala domba yang muda itu
melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang mampu bernapas lagi dan Si
Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang-guncang dan mukanya
memandang langit.
"Ha-ha-ha-ha! Panglimanya seorang bocah
perempuan belasan tahun yang halus dan cantik! Pasukan macam apa ini? Pantas
saja para perwiranya lebih lemah daripada domba!"
Kwa-huciang marah sekali. Dia sudah bangkit
duduk dan kini ia bangun sambil membentak, "Penggembala kurang ajar!
Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?"
Akan tetapi Maya menggoyang tangan berkata,
"Kwa-huciang, kaumundurlah dan biar aku sendiri yang memberi hajaran
kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah! Engkau kira bahwa engkau sudah
paling jempolan setelah mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang sudah
kelelahan dan kehabisan tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan tetap
berdiri di sini, sedikit pun tidak akan memindahkan kedua kakiku. Kau boleh
menyerangku, kalau sampai aku merobah kedudukan kedua kakiku, aku mengaku kalah
padamu!"
"Kalau hanya mengaku kalah saja apa
gunanya bagiku?" Pemuda itu membantah dan memandang Maya penuh selidik,
seolah-olah ia dapat merasa bahwa biarpun hanya seorang wanita muda, panglima
itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak berkepandaian tinggi, mana
mungkin bersikap demikian tekebur?
Kembali Maya tersenyum, "Eh, pecinta
domba. Kalau sampai kau dapat merobah kedudukan kakiku, selain aku mengaku
kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan memutar dan akan
kuganti harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi bagaimana
kalau kau tidak mampu merobah kedudukan kakiku malah kau akan roboh olehku
kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kaupertaruhkan?"
Mata yang lebar penuh kepolosan itu
terbelalak. "Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus olehmu? Mana
mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut dan menyembah seratus kali
kepadamu!"
"Kalau hanya disembah seratus kali oleh
orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?" Maya membalas bantahan pemuda
penggembala itu.
Pemuda itu kembali merasa kalah bicara. Sudah
jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis jelita yang perkasa
itu. "Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin, hanya menjadi buruh
menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya sebulan dimakan dua puluh
hari. Aku tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan!"
Maya mengangguk-angguk. "Engkau punya
banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran, kesetiaan.
He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku merobohkan
engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka menjadi seorang
perwira Pasukan Mautku!"
Pemuda penggembala itu mengerutkan keningnya
yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun hasrat hatinya menjadi perwira
atau perajurit. Akan tetapi, ditantang seperti itu, dia menjadi penasaran.
Pula, kalau benar panglima wanita muda ini dapat merobohkannya dalam sepuluh
jurus tanpa mengangkat kedua kaki, berarti panglima ini bukan manusia,
melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali menjadi pembantu panglima dewa
atau dewi!
"Baiklah! Nah, rasakan lihainya
pecutku!" Penggembala itu melangkah maju menghampiri Maya, pecutnya ia
gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar suara
ledakan-ledakan kecil yang nyaring.
Ketika sinar hitam pecut itu melalui atas
kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan gerakan ancaman, dia
cepat mengangkat tangan kiri dan.... pecut itu sudah berada di tangannya, yaitu
ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat betapa ujung
pecutnya tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga terbang ke arah tangan
panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum dipakai menyerang sudah
terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan dengan membetot
keras.
Maya tersenyum. "Aku hanya menahan
sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu melepaskan dombamu.
Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!"
Bukan main heran hati penggembala itu, akan
tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang yang dapat bersikap sedingin itu,
setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Maka ia
pun tidak menjadi sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya perlahan domba yang
dipondong lengan kirinya. Maya juga melepaskan ujung pecut itu dan memandang
tersenyum melihat pemuda itu mulai menghampirinya, dengan gerak langkah
satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau menghampiri calon
mangsanya. Maya memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini.
Pakaiannya kasar sederhana, kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan
kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut melintang di depan dada,
tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari terbuka dan telapak tangan
menghadap langit, sepasang matanya yang lebar memandang tanpa berkedip ke arah
pundak Maya. Sikap seorang ahli silat yang kuat!
Sementara itu, pemuda penggembala yang sudah
banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di tempat yang liar sehingga
keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam
ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap
hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut
dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah.
Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan wanita-wanita.
Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga
mereka yang lemah, pula, karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan
menjadi lengah dan memandang rendah. Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur,
apalagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka
setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar. Mengingat pula akan
janji wanita muda itu tidak akan merobah kedudukan kedua kakinya, maka Si
Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud
menyerang dari belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya
itu tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merobah
kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki.
Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!
Ia lalu menerjang dari belakang dengan sabetan
yang amat kuat, yang diserang adalah kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak
saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke
sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan.
Tak mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan
kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu tidak sampai ke bawah,
dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak!
Akan tetapi Maya sama sekali tidak mengelak
maupun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu sambil mengerahkan
sin-kang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya
mendorong dengan pukulan jarak jauh.
"Brettt.... dessss....!
Auggghhh....!" Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki,
akan tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya
yang mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat
ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia
menggigil!
Para perwira dan perajurit bersorak menyambut
kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat tangan menyuruh
mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu,
"Engkau sudah kalah, harus memenuhi janji
menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan oleh
kawan-kawanmu kepada pemilik domba."
Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah
tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di depan Maya sambil
berkata,
"Saya Cia Kim Seng adalah seorang
laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan
membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!
Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh
kepada para perwira dan perajurit.
"Para perwira dan perajurit Pasukan Maut
yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira
pembantuku, sebagai seorang anggauta pasukan kita yang jaya!"
Terdengar sorak-sorai riuh-rendah dan para
perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri pemuda gembala itu dan
memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan seorang rekan. Tentu saja
pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa beruntung berada di
tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan seorang pemimpin yang demikian
sakti, muda dan jelita.
Tiba-tiba semua orang tertegun ketika melihat
para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng, menjatuhkan diri berlutut dan ada
yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka, "Eh, eh, apakah
kalian sudah gila? Kenapa menangis?"
"Kalau engkau masuk menjadi anggauta
Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon diterima pula
menjadi anggauta pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!" kata
seorang di antara mereka.
Maya tertawa gembira, "Bagus! Bagus!
Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima
kalian!"
Para penggembala bersorak dan berdatanganlah
penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga
orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua orang
penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju
bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap
dan dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi perajurit Pasukan Maut,
hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?
Di sepanjang jalan Maya melatih ilmu pedang
kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa "muridnya"
ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan besar,
keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala itu
ternyata menjadi perajurit-perajurit yang baik dan kuat. Di sepanjang
perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri
dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan
yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima
ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat.
Pada suatu hati, pasukan telah tiba di
perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu karena
Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ menanti beberapa orang
utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala
tentara Mancu.
Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa
penting. Para perajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah pimpinan para
perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah
petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu pedangnya
menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup
menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini merasa
berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya,
gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!
Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng
menghadap Maya dan berkata lirih,
"Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya
bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan
tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan
melapor."
Sepasang alis Maya berkerut. "Hemm,
sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah semua
kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang
menyuruhnya memata-matai keadaan kita."
Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan
kepanikan di antara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang
perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para
perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti
biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena ke mana saja Maya datang,
tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua perajurit sehingga mereka
menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi, biarpun semua perkemahan telah
dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja tidak dapat
menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah
mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa
terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian
banyaknya?' Kalau dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah
mungkin karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang
menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para perajurit
ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan
orang luar tentu akan segera diketahui.
"Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya
melihat bayangan burung saja," kata Kwa-huciang, kepala perwira pembantu
utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
"Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim
Seng," bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu
tersinggung. "Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah
dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri."
"Hahhh....?" Para perwira terkejut,
juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
"Bagaimanakah Li-ciangkun menduga
begitu?" tanya Kim Seng.
Maya tersenyum, "Seorang mata-mata yang
pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan kalian keluar,
tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah
menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!"
Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka
memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak terdapat perubahan
dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di luar
pintu kemah, masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka
pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.
Selagi para perwira mengerutkan alis dan
memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka diam,
matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut tanda bahwa dia sedang
mengerahkan seluruh perhatiannya.
Tiba-tiba wanita sakti inl berdongak memandang
langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke
atas. Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan
oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda
di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau
kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga,
tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya
yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia
nyaring,
"Mata-mata keparat turunlah!"
Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
"Brettt!" Kain tenda itu robek besar
terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh seorang
laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan
babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.
"Cringgg....!" Dua pedang bertemu
dan tangan Kim Seng tergetar. Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan
terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini
tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung
terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya. Maya kaget bukan main.
Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para
perwiranya atau bahkan kepandian Kim Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia
melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat
dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata,
sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya
dan ia mundur dengan pedang di tangan.
Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama
sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi, kini
menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah Maya,
kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
"Engkaukah yang bernama Maya?"
Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya
dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi
hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan.
Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan
memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin, "Akulah
Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!"
Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut yang hebat
dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira
bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya...., Maya...., tadinya kukira
mengenal nama ini.... hemm, apakah engkau puteri...."
Maya memotong dengan suara tajam seperti
pedang menyambar, "Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian bicara!
Engkau siapakah dan menaapa engkau menyelundup seperti maling ke sini?"
"Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang
menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku
bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan
Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar Maya
yang katanya lihai seperti dewi!"
Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini
ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang di antara
murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan tetapi
agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang
berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan
keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui bahwa dia adalah Puteri
Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan
Sung.
"Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang
masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?"
Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru,
"Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...."
"Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan
bibiku Mutiara Hitam?"
Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan
ia menjawab dengan suara berduka, "Subo.... Subo telah tewas di Kerajaan
Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim
oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping kuburan
Suhu...."
Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah
sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol. "Jadi,
Paman Tang Hauw Lam juga...."
Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk.
"Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit...."
Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat
itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para
pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan,
agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika mendengar
pemimpin mereka menyebut "bibi" kepada pendekar sakti wanita Mutiara
Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya memandang
mereka dan berkata,
"Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah
Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku
memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Adapun
dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam."
Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka lebih bangga
lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal
dan keponakan dari Mutiara Hitam!
"Maya, engkau kini telah menjadi seorang
panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan."
Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih
kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja di
sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak
menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
"Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa
akulah yang menjadi panglima di sini, lalu.... engkau mau apa?"
"Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku
tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu kepandaian,
akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu,
hemmm...., baiklah aku pergi saja!"
"Tahan!" Maya membentak, menahan
kemarahannya. Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi
betapapun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya
dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai.
Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan
bagi terlaksananya cita-citanya.
Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu
berhenti dan menoleh. "Engkau mau apa?" tanyanya, sikapnya congkak
sekali.
"Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat
hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan
Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana
engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji,
Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku
sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku patut menjadi
panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus
mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang di antara
pembantu-pembantuku. Bagaimana?" "Li-ciangkun! Mana bisa diadakan
peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!"
Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah,
bahkan Kim Seng segera berkata,
"Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau
ini?"
Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan
Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang
dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa, "Sudah adil! Pertaruhan itu
adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang
perwiramu ini aku tentu akan menang!"
"Sombong!" bentak Kim Seng dan
bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.
"Menggelindinglah kalian!" Tiba-tiba
Can Ji Kun membentak, tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua tangannya
mendorong dengan tenaga sin-kangnya yang ampuh. Kim Seng kena disambar pukulan
sin-kang, terhuyung-huyung ke belakang sedangkan sepuluh orang perwira lainnya
terguling roboh!
Kesombongan Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa
bergelak. "Ji Kun, ternyata engkau hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak
mewarisi wataknya yang gagah!" bentak Maya. "Majulah!"
Ji Kun berseru nyaring, kini kedua lengannya
dilonjorkan mengirim, pukulan sin-kang ke arah Maya. Maya mengerahkan
sin-kangnya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut
dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.
"Desss!" dua tenaga sin-kang raksasa
bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke belakang sampai dua
langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan sin-kang melawan
hawa dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata terbelalak. Maya
masih berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang
maklum bahwa yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri
mepet pada kemah dan menonton dengan mata di buka lebar-lebar, tentu saja
dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.
Can Ji Kun merasa penasaran sekali.
Sin-kangnya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari sumoinya, turun gunung dan
malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan dunia penjahat karena kelihaian
dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun, tidak pernah ada lawan yang mampu
menandingi kekuatan sinkangnya, apalagi ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan
kedua tangannya hanya dilawan dengan sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan ini
dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia lalu menerjang maju, kedua
tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya mengeluarkan bunyi
berkerotakan ketika sin-kangnya bekerja.
"Wut-wut.... plak-plak....!" Untuk
kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini malah sampai lima
langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang bergerak cepat melakukan
pukulan-pukulan dahsyat tadi kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak
halus itu namun yang mengandung tenaga mujijat yang membuatnya tergetar,
kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.
Rasa penasaran dan malu membuat Ji Kun marah
sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia mengeluarkan suara pekik melengking,
kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat, menerjang maju dan menyerang Maya
yang masih berdiri tersenyum-senyum. Biarpun mulutnya tersenyum, akan tetapi
Maya bersikap tenang dan hati-hati sekali menyaksikan gerak serangan yang
dahsyat itu. Jurus serangan yang dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali.
Sepuluh buah jari tangan pemuda itu bergerak-gerak melakukan totokan dan
cengkeraman. Itulah jurus yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah
Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling luar biasa dari Mutiara Hitam,
yaitu Capsha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)! Menghadapi serangan ini, Maya
maklum bahwa dia tidak boleh lengah. Dia lalu mempergunakan gin-kangnya,
tubuhnya berkelebat cepat sekali, mengelak ke sana-sini kemudian kedua
lengannya diputar di depan badan sehingga tampak gulungan sinar biru dari warna
lengan bajunya, membentuk payung yang menolak dan menangkis semua serangan
lawan.
Ji Kun makin marah dan tiba-tiba ia merobah
gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti tadi ketika ia merobohkan
sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar seperti gasing mengejar
lawan dan dari putaran itu kadang-kadang kedua tangannya mengirim
pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangka-sangka. Inilah jurus
Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara
Tiga Belas Jurus Sakti!
Maya terkejut sekali. Akan tetapi dia adalah
murid Bu Kek Siansu yang sudah digembleng secara tekun dan hebat oleh Kam Han
Ki, maka menghadapi jurus aneh ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri
tegak, tidak menghiraukan bayangan tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada
waktu tampak berkelebatnya lengan tangan dari putaran itu menyambar, dia
memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan dorongan dengan tenaga saktinya.
Ketika Ji Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap
lawannya yang lihai, tiba-tiba tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya.
Sebagai murid seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa lawannya menggunakan gin-kang
yang amat hebat, yang lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri, maka cepat ia
membalikkan tubuh. Dan memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di
belakangnya. Cepat Ji Kun melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya
mengeluarkan bentakan menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan
sebelas orang perwiranya seketika merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut,
sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi terdorong ke belakang dan hampir saja ia
roboh terbanting kalau tidak cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik.
Dia tidak jatuh, akan tetapi wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan
tiba-tiba tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika murid Mutiara Hitam ini
sudah mencabut pedangnya!
Melihat ini, Maya terkejut sekali dan menegur,
Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan senjata? Belum terbukakah matamu bahwa
tingkat kepandaianku sekarang ini takkan terlawan olehmu dan mungkin hanya
mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan dapat menandingiku?"
"Kalau kau belum mengalahkan pedangku,
aku tetap belum mengaku kalah, Maya!" jawab Can Ji Kun dengan keras
kepala.
Maya menghela napas. Untuk mendapatkan seorang
sehebat ini memang tidak mudah. Dia maklum bahwa biarpun kepandaian Ji Kun amat
tinggi, namun ilmu silatnya masih berada di atas tingkat Ji Kun, demikian pula
gin-kang dan sinkangnya. Hanya melihat pedang itu, dia merasa ngeri.
"Pedangmu dahsyat dan mengandung hawa
kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku takut menghadapi pedangmu.
Marilah!" Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah mencabut pedang
panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai pemberian Bu-taiciangkun
sendiri. Sebuah pedang yang amat baik, terbuat daripada baja biru, akan tetapi
bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di tangan Ji Kun.
"Awaslah terhadap seranganku ini,
Maya!" Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju, didahului oleh sinar
putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.
Maya tidak menjawab, melainkan mengelak jauh
ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya menusuk mata kaki lawan. Serangan
seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi
tingkatnya sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke
dada Maya. Ji Kun mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin
sekali Menteri Kam Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi dari Mutiara Hitam, maka diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan
Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan
dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw
Lam. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa biarpun dalam hal pengalaman
masih kalah jauh oleh Menteri Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat
Maya malah lebih tinggi daripada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena
dara ini adalah penghuni, Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek
Siansu!
Menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun
demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum sekali dan memuji kepandaian bibinya,
maka ia bersikap tenang. Terutama sekali pedang pusaka di tangan Ji Kun membuat
ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa maut yang menggetar dan dingin sekali.
Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh
getaran itu yang akan mengacaukanpermainan pedangnya. Dia pun tak berani
mengadukan pedangnya dengan pedang lawan, dan ketika Ji Kun mendesaknya
sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya mengelebatkan pedang menangkis,
tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.
"Takkk!" Maya terkejut bukan main
karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang seolah-olah mempunyai daya
tarik atau daya sedot yang mujijat! Dan kesempatan ini dipergunakan Ji Kun
untuk menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala Maya! Maya mengelak cepat.
"Breet!" Robek dan putuslah ujung
pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji Kun tersenyum girang
dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang pusaka itu selain mempunyai
wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot. Pengetahuan ini membuat dia memutar
otak mencari akal.
Ketika untuk kesekian kalinya sinar pedang
yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim tusukan, kembali ia menangkis.
Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena pertemuan langsung itu mungkin
sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan, dia berani
menangkis dari samping. Dia sengaja menangkis dari atas sehingga ketika
pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada di atas pedang lawan dan sebelum
Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak,. Maya telah
mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sin-kang yang membentuk
hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya bukan kepalang, yang
oleh Han Ki tdisebut pukulan Swat-im Sin-jiu!
Tubuh Ji Kun seperti terkena aliran
halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari tangannya. Dia berusaha
mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah tubuhnya terguling, dan hanya
jatuh duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan matanya,
mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dadanya yang terserang hawa dingin
luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan tidak ada yang bergerak, semua
terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang belum pernah mereka
saksikan selama hidup mereka.
Maya menyimpan pedangnya, membungkuk dan
mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan tangannya menggigil.
"Bukan main....!" serunya sambil menggeleng kepala. Memegang pedang
itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang
amat kejam!
Can Ji Kun membuka matanya dan melotot
memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa ia khawatir sekali
kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan
menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata,
"Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang
gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini."
Bayangan khawatir lenyap dari wajah Ji Kun,
terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit berdiri,menyimpan
pedangnya dan berkata, "Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian
Subo."
"Ahhh.... sungguh heran mengapa Bibi
menyimpan pedang seperti itu," kata Maya perlahan, kemudian sambil menatap
tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya"Bagaimana sekarang, Ji Kun?
Apakah engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?"
Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab,
"Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik dari Suhu
dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan
mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."
Sebelas orang perwira bersorak dan menghampiri
Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking girang hatinya. Ji Kun
tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia
akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!
"Ji Kun, mulai sekarang engkau menjadi
seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang. Dari mulai
sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan
Hwa. Di manakah dia sekarang?"
Diingatkan kepada Ok Yan Hwa, sumoinya yang
juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya (betapa aneh) itu, wajah
yang tampan itu menjadi muram. "Aku tidak tahu. Kami saling berpisah
setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung."
Mungkin karena gemblengan
pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati
orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua
murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan
hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak. Pada keesokan
harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang
menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas,
yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di
pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih dulu dihancurkan
oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara Mancu
terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh
pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan!
Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua belas
orang pembantunya. "Karena sudah jelas bahwa barisan Mancu yang menjadi
sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku akan
melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi, kita
harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih menanti di pantai.
Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh orang pasukan untuk
menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"
"Baik!" jawab Can Ji Kun yang segera
mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa surat laporan Maya dan berangkat
pada hari itu juga ke timur. Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke barat.
"Sayang kita tidak tahu pasti ke mana
mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak ada yang mengenal baik daerah
ini."
"Li-ciangkun, harap jangan khawatir. Aku
mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak akan keliru kalau saya
katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke selatan."
Maya tercengang. Banyak hal yang aneh dan
tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala domba ini! "Mengapa
kau berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak terdapat
barisan Sung?"
"Jalan mundur satu-satunya yang paling
lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan dengan barisan
Yucen yang kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat terdapat
pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan Sung,
akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin lemah daripada menghadapi barisan
Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi pasukan Sung. Maka kiranya tidak akan
meleset jika kita perhitungkan bahwa barisan Mancu itu tentu mengundurkan diri
ke selatan."
Maya mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum
karena tidak mengira bahwa Si Penggembala domba ini memiliki pemandangan yang
luas dan cerdik. "Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke selatan."
Berangkatlah pasukan itu pada keesokan
harinya, menuju ke selatan dan ketika para penyelidik memberi pelaporan bahwa
memang benar ada tanda-tanda bahwa pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke
selatan, Maya makin kagum terhadap pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di
sepanjang jalan amat sunyi, karena sebagian besar penduduk mnengungsi dari
daerah yang dilanda perang itu.
Kita kembali mengikuti perjalanan dan
pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu gerak tangan kilat
dan gerak kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung dan lengan kirinya
juga buntung. Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum
kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini memang luar biasa dan kini
Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek itu, bahkan sekalian diajari
cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki
tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacad saja
sudah begitu hebat, apalagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh
kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu silat yang, tingkatnya jauh
lebih tinggi pula. Disamping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua
ilmu itu!
"Bagus! Li-hiap telah menguasai kedua
ilmu itu dengan sempurna! Andaikata. Aku sendiri yang melatih dengan kaki
tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!" Lu Gak, demikian nama
kakek itu, tertawa puas. Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas.
Sudah sering kali ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu
berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk
sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya
memburu.
"Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa
diri. Sebaiknya sekarang beristirahat."
"Baiklah.... baiklah Khu-lihiap. Besok
adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil tempat di kuil tua
dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami kedua pihak di mana
terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah aku Li-hiap,
mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat
mati dengan mata terpejam."
"Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua
berjalan lancar," jawab Siauw Bwee dan hatinya lega menyaksikan kakek itu
dapat tidur pulas di dalam pondok. Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu
kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan satu, namun
tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke atas tanah.
Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan mengandung penyakit
berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum kaki buntung dan lengan
buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan harinya, di depan kuil tua yang
dimaksudkan, telah berkumpul seluruh anggauta kaum kaki buntung berjumlah tiga
puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka
dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The
Bian Le si lengan buntung. Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak mengajukan
lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak yang lebih banyak jumlahnya
menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan tahun depan, akan tetapi
adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga semua anggauta saling
serang merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak korban di kedua
pihak.
Kedua pihak telah mengajukan lima orang jago,
termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum pertandingan dimulai,
berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah meloncat ke tengah-tengah
antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan tetapi kakek itu hanya
menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia tidak mau
memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya akan mengganggu tugas
Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan tugas hidupnya!
Melihat munculnya Siauw Bwee, yang amat
dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini pernah bentrok, Kedua
kaum cacad itu menjadi terkejut dan marah.
"Bocah pengecut!" Bentak Liong Ki
Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah
"membunuh" gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak
mati malah membikin kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang
she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun
itupun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang
ilmunya tinggi itu berada di situ!
"Mau apa engkau?" bentak The Bian
Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena
teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak
berpihak kepada siapapun.
Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu
berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan suara bernada
dingin,
"Kalian ini orang-orang tua, sudah
bercacad tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang
membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu, haus darah dan kejam!
Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara
seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan
yang gila ini masih juga dilanjutkan?"
"Eh, bocah setan. Mau apa engkau
mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
dirimu?" bentak Liong Ki Bok.
"Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan
denganmu!" bentak pula The Bian Le.
Siauw Bwee tertawa, "Nah, nah! Sikap
kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya saling
bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian besikap seperti hendak
bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu
memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai
kalian dapat saling tolong-menolong?"
"Banyak cerewet!" The Bian Le
berteriak, "Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak
boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara
kami musnah, barulah akan terhenti!"
"Wah, wah! Memang aku tahu bahwa ketua
kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang baik-baik
menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi murid saja
sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan mereka,
sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat hanya ilmu kanak-kanak yang
hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara sendiri!"
"Engkau terlalu menghina kami!"
teriak Liong Ki Bok.
"Perempuan keparat!" The Bian Le
membentak.
Siauw Bwee mengangkat kedua tangan ke atas.
"Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang seharusnya dilakukan
dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja
mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita
bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua
gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan permusuhan
gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanak-kanak
kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan merobah
menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu mengalahkan
aku kalau bisa!"
Dua orang ketua itu tertegun. Mereka sudah
maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka berdua berarti
mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga memperlengkap
kekurangan mereka.
"Nona, jangan main-main!" teriak
Liong Ki Bok.
"Engkau mencari mampus!" teriak pula
The Bian Le.
"Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk
menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?"
"Keparat! Siapa takut?" Teriakan ini
keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
"Kalau begitu, kalian menerima
taruhanku?" tanya Siauw Bwee dengan girang.
Kedua orang ketua ini sejenak saling pandang.
Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah sekali, kemarahan yang amat
besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
"Aku terima!" kata Liong KI Bok.
"Marilah!" kata The Bian Le.
"Bagus! Nah, seranglah!" Siauw Bwee
menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.
Liong Ki Bok sudah menggerakkan. kedua
tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat. Gerakannya cepat
bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The
Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan
yang dahsyat! Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka
dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak
sambil tertawa mengejek. Makin diserang, makin cepat ia mengelak dan makin
keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah.
Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok
seperti hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking
cepatnya. Demikian pula, The Bian Le seolah-olah mempunyai delapan buah kaki
yang menghujankan tendangan dengan gerak, kaki yang indah dan rapi.
"Duk!" Kedua orang ketua itu
terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki tunggal
Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The
Bian Le sudah kena ditepuk!
"Nah, bukankah ilmu kalian seperti ilmu
kanak-kanak?" Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena kedua orang
itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk
Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan pemecahan rahasia
kedua ilmu mereka.
Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak
hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan kini bahkan serangan
mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya
setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan gerakan
mereka! Setelah bertanding selama seratus, jurus, akhirnya dengan gerakan indah
sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan
kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua itu mengeluh dan jatuh terduduk
dalam keadaan lumpuh!
Siauw Bwee bertolak pinggang. "Bagaimana,
apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?"
Liong Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu,
hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw Bwee cepat menotok dan
membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum cacad itu
menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan
tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.
"Aku mengaku kalah. Nona lihai sekali,
akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak tangan kilat
kami?" kata Liong Ki Bok.
"Hal itu tidak perlu dibicarakan. Yang
penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji untuk
menghentikan permusuhan!"
Tiba-tiba The Bian Le berseru, "Mari kita
pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah. Sampai lain
tahun!" Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang anak
buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!
"Kami memenuhi janji dan menghentikan
pertempuran untuk kali ini!" kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan
pergi diikuti semua anak buahnya.
Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh.
Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya berhasil menghentikan
pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil menghentikan permusuhan
di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam di antara mereka.
Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari arah tempat Kakek Lu Gak
bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak roboh dengan mata
mendelik!
"Lu-locianpwe!" Siauw Bwee cepat
memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu terserang
jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh yang hanya
berlengan satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek itu setelah
sadar lalu mengeluh panjang dan menggeleng kepalanya.
"Keras kepala.... keras kepala mereka
itu.... Li-hiap....!"
"Aku akan menghajar mereka, Locianpwe.
Akan kupaksa mereka!" Siauw Bwee berkata gemas, maklum bahwa kakek ini
merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa kedua kaum itu masih saja
tidak mau menghentikan permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah gagal!
Akan tetapi, dengan napas terengah-engah kakek
itu berkata, "Percuma, Lihiap....! Ahh....! Kiranya hanya Tuhan saja yang
akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka mata mereka bahwa semua
permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik...."
"Tenanglah, Locianpwe. Yang paling
penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahan-lahan kita
mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu."
"Aihh, kau baik sekali, Li-hiap. Akan
tetapi mereka, aahhh...." Dan kakek itu lalu menangis terisak-isak! Siauw
Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan kakek itu yang
telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Dengan sabar dia
menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu.
Tiga hari kemudian, selagi Siauw Bwee
menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di
luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat keluar dan tampaklah semua anggauta
kedua kaum bercacad itu berkumpul di luar pondok dan saling memaki,
"Sudah jelas betapa rendah dan curangnya
Si Lengan Buntung!" teriak seorang nenek berkaki buntung sambil
menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang memandang marah.
"Siapa lagi kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan bantuan
gadis setan itu? Orang she Lu adalah seorang di antara kaummu, tentu membantu
kalian!"
"Tutup mulutmu yang kotor!" bentak
seorang kakek lengan buntung juga menudingkan telunjuk lengan tunggalnya kepada
rombongan kaki buntung, "Gadis itu pernah berada di tempat kalian, tentu
dia telah membantu kalian menculik ketua kami!"
Mendengar ini Siauw Bwee yang baru keluar
berseru, "Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?"
Semua orang menengok dan ketika melihat Siauw
Bwee, seperti mendengar komando saja mereka kedua pihak telah menyerbu dan
menyerang Siauw Bwee.
Dara perkasa ini terkejut dan heran akan
tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan, menyambar-nyambar laksana
burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga terdengarlah orang-orang
mengaduh disusul robohnya belasan orang berturut-turut! Untung bagi mereka bahwa
Siauw Bwee masih menaruh kasihan, menganggap mereka itu orang-orang keras
kepala yang bodoh dan dimabok dendam, maka dia masih menahan tenaganya dan
hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
"Tahan.... Apakah kalian telah gila
mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua....!"
Siauw Bwee melompat kedekat pintu, berdiri di
sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan pintu, menggerak-gerakkan tangan
kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum cacad itu memandang Lu Gak dan
seorang kakek lengan buntung berkata,
"Lu-supek, Suhu The Bian Le telah diculik
orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona ini?"
"Juga ketua kami diculik oleh Nona
ini!" berkata seorang tokoh kaki buntung.
Lu Gak menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Hemm.... kalian sudah gila semua, gila oleh dendam permusuhan sehingga
melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta. Apakah kalian melihat
sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?"
"Kemarin pagi ketua kami menyatakan
hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat rawa melawan
ketua lengan buntung," demikian kakek yang berkaki buntung bercerita,
"Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan diantara
kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui oleh Nona ini yang
melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang, maka terpaksa
kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami tiba di dekat rawa,
kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga mencari ketua mereka. Akan
tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan lengan baju yang buntung dari ketua
lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak kelihatan mayat di situ,
berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan
Nona ini?"
Tiba-tiba Siauw Bwee melangkah maju dan
orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah mundur. Mereka jerih terhadap
Siauw Bwee yang luar biasa lihainya. "Permusuhan di antara kalian telah
menimbulkan banyak malapetaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah
satu-satunya orang yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha
mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua kakinya!
Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah jalan
yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan kalian
datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa besar,
rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang gila, agaknya aku akan senang
untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalat-lalat busuk yang hanya mengotori
dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian sehingga ketua
kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku berjanji
untuk membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka bersumpah untuk
menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari mereka?"
Orang-orang kedua rombongan saling pandang.
Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.
"Ingat, orang yang dapat menculik
ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku akan berusaha mencarinya dan
melawannya untuk menolong ketua kalian, Akan tetapi bersumpahlah lebih dulu
bahwa semenjak saat ini, semua dendam di antara kalian telah habis dan kalian
tidak akan saling bermusuhan lagi, bagaimana, sanggupkah?"
Hening sejenak dan terdengar mereka semua
berbisik -bisik. Kemudian, kakek kaki buntung memelapor teman-temannya,
"Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup asal ketua kami
diselamatkan!"
Siauw Bwee tersenyum. Memang pihak kaki
buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya, "Bagaimana
dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan mencari dan
menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!"
"Kami.... kami sanggup dan bersumpah
untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami diselamatkan!" Akhirnya nenek
lengan buntung berseru.
Siauw Bwee masih belum puas. Dia maklum betapa
hebat dendam dan permusuhan di antara mereka dan siapa tahu kalau nanti ketua
mereka telah berada di tengah mereka, permusuhan akan dilanjutkan.
"Bagaimana kalau kelak ternyata bahwa
kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan permusuhan?"
Hening pula sejenak dan tiba-tiba terdengarlah
Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian berkata,
"Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian menaati kehendak ketua
kalian yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih nekat saling bermusuhan dan
tidak menaati janji dengan Khu-lihiap, kita hancurkan saja mereka yang menjadi
sarang dan bibit permusuhan."
"Akurr....!" Kini semua anggauta
kedua kaum itu berteriak.
Wajah Siauw Bwee berseri, "Kalau begitu,
marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap meninggalkan lengan baju dan
tongkat!"
Berangkatlah mereka menuju ke rawa di mana
dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok burung-burung liar. Ketika mereka
tiba di tepi rawa di mana mereka menemukan tongkat Liong Ki Bok dan lengan baju
The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke sekitarnya dan dia mengerutkan kening.
Rawa itu amat luas dan tidak tampak tempat yang kiranya dapat dipergunakan
sebagai tempat tinggal orang yang menculik kedua orang ketua itu. Dia merasa
heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik, tentu tidak
disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat. Tempat terbuka.
luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan orang? Dia memandang lagi
ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan tempat sarang maut
dan teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang juga melarikan
diri cerai-berai ketika dikeroyok burung, yaitu Cia Cen Thok si bekas "mayat
hidup" dan pemuda Co-bi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu mereka
itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau.... dikeroyok
ular. Siauw Bwee bergidik.
"Li-hiap, ke mana sekarang kita mencari
mereka?" Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan semua orang kini
memandang kepada Siauw Bwee.
Siauw Bwee menjadi bingung, tidak tahu
bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka
yang sejak tadi mengerutkan alisnya dan memandangi daerah rawa yang luas,
berkata,
"Ahh, aku tahu! Tidak salah
lagi....!"
Semua orang kini memandang kakek itu dan Siauw
Bwee bertanya, "Di mana mereka menurut pendapatmu, Locianpwe?"
Semua orang diam mendengarkan jawaban kakek
itu, "Kedua orang sute itu kalau diculik orang tentu disembunyikan di
suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk maksud itu dan
satu-satunya tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!"
Orang-orang kedua kaum cacad itu saling
pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai kelihatan murung dan
kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu, kecuali jika
diadakan pibu! Namun, melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak pergi menuju ke kuil
tua, mereka mengikuti dari belakang.
"Lihat itu....! Siauw Bwee berseru ketika
kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda beterbangan di atas kuil.
"Kelelawar-kelelawar siang!"
Anggauta kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan langkah.
Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah kuil.
Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah takut-takut.
Siauw Bwee lebih dulu tiba di kuil dan cepat
memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menambus ke halaman belakang
yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang mengejutkan hatinya. Dua
orang kakek itu, Liong Ki Bok dan The Bian Le, rebah telentang di atas rumput,
agaknya terluka dan tertotok, terbelalak memandang ke arah ratusan kelelawar
yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara seperti sekumpulan anjing dan
kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak berdaya itu!
Melihat ini, Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat
mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini, Siauw Bwee
teringat dan melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan tenaga khi-kang,
ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan mengandung getaran, hebat.
Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri dengan
terbang membumbung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu
makin bingung, bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara
melengking yang begitu dahsyatnya.
Tiba-tiba di luar kuil terdengar suara
tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan suara
gedebak-gedebuk orang berkelahi.
"Locianpwe, harap menjaga agar
binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu memaksa
diri. Aku akan melihat keluar!" Tubuh dara perkasa itu sudah berkelebat
keluar kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak keheranan. Puluhan
orang-orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua
orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah
belasan orang anggauta kedua kaum itu roboh tewas, banyak pula yang terluka dan
kedua orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja rawa! Lebih
banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa kelelawar!" teriak
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat saja,
tubuhnya penuh lumpur.
"Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak lebih baik
menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran rawa-rawa!"
Siauw Bwee menahan napas melihat orang ke dua
itu, yang pakaiannya robek-robek tidak karuan hampir telanjang dan seperti
orang pertama rambutnya riap-riapan tubuhnya penuh lumpur dan mata mereka itu
merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian mereka luar biasa
sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja akan tetapi setiap tangan
mereka bertemu dengan anggauta-anggauta kedua kaum yang mengeroyok, tentu lawan
roboh dan tewas!
"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun ....!"
Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran. "Semua orang
mundur, jangan melawan mereka!" Mendengar seruan ini dan karena memang
takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu, anak buah kedua kaum
cacad itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya Siauw Bwee saja yang
berhadapan dengan dua oranggila. ia
menoleh dan berkata kepada orang-orang itu. "Ketua kalian selamat, di halaman
belakang!" Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.
"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun, apa yang
kalian lakukan ini?" Siauw Bwee memberanikan diri menegur dengan hati
gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak
waras lagi dan tidak normal.
"Ha-ha-ha!" Kedua orang itu
tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.
"Cia Cen Thok! Liem Hok Sun! Apakah
kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!"
"Ha-ha-ha! Korban lunak untuk para dewa
kelelawar!" Tiba-tiba Cia Cen Thok yang tertawa-tawa itu menyerang hebat
sehingga Siauw Bwee cepat mengelak. Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu
tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka semua beracun! Siauw Bwee
dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri
dari pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan
kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain gila, tubuh mereka
menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua orang gila itu
telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat sekali!
Pada saat Siauw Bwee mengelak dan
mengandalkan- gin-kangnya agar jangan sampai kulit tubuhnya tersentuh
tangan-tangan beracun itu, para anggauta kedua kaum telah memapah keluar ketua
mereka, mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil
menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka tidak membantu karena
ketua mereka berkata, "Dua orang itu korban kelelawar, tubuh mereka
beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan mereka!"
Siauw Bwee harus menggunakan seluruh
kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu. Yang menyulitkannya
adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena maklum bahwa dua
orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa mungkin dia tega untuk
membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena kedua orang itu menyerangnya
dengan nafsu membunuh, setelah menjadi korban gigitan kelelawar dan menjadi
gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga gerakan mereka menjadi aneh dan
mereka menjadi berlipat kali lebih lihai daripada sebelum gila.
Bukan main ramai dan serunya pertandingan itu.
Biarpun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, akan tetapi
sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa bagian pakaiannya
robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet cakaran tangan Hok Sun
sehingga mengeluarkan darah. Rasa gatal dan panas pada pundaknya membuat, Siauw
Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun. Terpaksa dia harus mengerahkan
sin-kangnya dan dengan hawa murni itu dia mendesak hawa beracun di pundaknya
sehingga tidak menjalar lebih luas. Ketika ia agak lengah karena melirik ke
arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok dengan tendangan
yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya.
"Desss!" Tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas
tanah! Dua orang gila itu terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee
dengan gerakan seperti dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw
Bwee merasa pahanya panas sekali, cepat ia menggunakan sin-kang melindungi
darahnya dan melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas, gila atau
tidak, mereka itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia
robohkan, tentu akhirnya dia sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka
menubruk maju Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya dan menyambut tubuh mereka
dengan tendangan kedua kakinya!
"Bukk! Bukk!"
Dua orang gila itu berteriak seperti binatang buas,
tubuh mereka terlempar ke belakang dan mereka bergulingan menekan perut yang
rasanya seperti diremas-remas! Mereka kini meringis dan Siauw Bwee sudah
melompat bangun, kepalanya pening akibat bau racun dan tubuhnya agak terhuyung.
Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali melihat dua bekas lawan yang gila itu
meraung-raung kesakitan. Namun, kedua orang itu kini sudah bangkit lagi dan
dengan gerakan buas telah menyerangnya.
Siauw Bwee terkejut. Kalau dilanjutkan, tentu
dia akan celaka. Dia harus membagi sin-kang untuk melindungi tubuhnya dari
kedua lukanya. Luka di kulit pundak dan kulit pahanya. Tendangan Cen Thok tadi
merobek celananya di paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan keracunan pula
bertemu dengan kaki Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu sudah menyerbu
lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan.
Tubuh kedua orang gila itu seperti disambar
petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi biru, tubuh mereka menggigil dan
mereka bergulingan sampai jauh kemudian berhasil merangkak bangun dan melarikan
diri sambil berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki
buntung dan seorang anggauta lengan buntung cepat menolongnya, memegang kedua
lengannya menuntunnya memasuki kuil tua.
"Lepaskan aku...." Siauw Bwee
berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya dan
tidak bergerak-gerak.
Para anggauta kedua kaum itu mengerti bahwa
Siauw Bwee sedang bersamadhi menghimpun tenaga dan hawa murni untuk mengobati
luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian Le memberi
isyarat kepada semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee. Mereka pergi
ke ruangan depan di mana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa
bersatu dan lenyaplah. rasa permusuhan di antara mereka setelah kedua pihak
merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir mengorbankan
nyawa karena permusuhan mereka dan dami untuk mendamaikan mereka!
Mereka tidak mau meninggalkan Siauw Bwee dan
beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk dan pergi lagi ketika melihat
Siauw Bwee masih tetap bersamadhi. Malam tiba dan para anggauta kedua kaum itu
menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu menjadi tempat
tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan. Kini tampaklah suasana yang
mengharukan di mana seorang kaki buntung dan seorang lengan buntung bekerja
sama membersihkan lantai dan menyapu halaman kuil! Bahkan kedua orang ketua
mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling membicarakan kedua ilmu mereka,
membuka rahasia gerak kilat masing-masing!
Setelah malam tiba dan lampu penerangan
dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di pundak dan pahanya
telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah karena ia
terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran racun-racun
berbahaya itu dan ketika ia bangkit, ia mengeluh dan terhuyung. Kemudian dengan
terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggauta kaki buntung dan lengan
buntung.
"Mana kedua ketua kalian?" tanyanya
ketika ia dipapah keluar. Kedua orang kakek itu sudah menyambutnya dengan wajah
berseri dan ketika melihat Siauw Bwee, mereka berdua lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan dara perkasa itu!
"Terima kasih kami haturkan kepada
Li-hiap yang sudah menolong kami!" kata The Bian Le yang berlutut dan
mengangkat sebelah tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
"Terima kasih sekali, terutama karena
Li-hiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah untuk mengubur
semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami bersatu sebagai
saudara-saudara seperguruan," kata Liong Ki Bok.
Bukan main girangnya hati Siauw Bwee. Tidak
sia-sialah usahanya sekali ini, biarpun ditebusnya dengan bahaya maut yang
mengancam nyawanya. Ia girang karena mengingat betapa akan bahagianya rasa hati
Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya,
"Mana dia?"
Dua orang ketua itu saling pandang,
"Siapakah yang Li-hiap cari?" tanya Liong Ki Bok.
"Hemmm, betapa kalian telah melupakan
orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian! Mana Locianpwe Lu
Gak?"
"Ahh....!" Barulah semua orang
teringat akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.
"Lekas, jemput dia di pondoknya!"
Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu menyuruh mereka karena dia
sendiri masih terlalu lemah. Dua orang kakek itu cepat pergi sendiri dan tak
lama kemudian mereka datang dengan wajah berduka sambil memanggul tubuh yang
hanya berlengan satu dan yang sudah tak bernyawa itu!
Hati yang duka dari Siauw Bwee berubah terharu
dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu Gak. Wajah itu berseri,
mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya saking girangnya menyaksikan
kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang dengan hati girang dan rasa girang
yang berlebihan menyerang jantungnya dan membuatnya mati dalam keadaan penuh
bahagia!
Jenazah Kakek Lu dikubur di halaman kuil itu
dan diberi batu nisan yang megah, Siauw Bwee berkata dalam pesannya ketika ia
hendak pergi setelah lukanya sembuh, "Kuharap saja kalian akan dapat
mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk permusuhan dan membuntungi
kaki dan lengan orang, dan anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai lambang
perdamaian abadi."
Siauw Bwee diantar oleh semua anak buah kedua
kaum yang kini telah bersatu itu, diberi pakaian, kuda dan bekal secukupnya.
Kedua ketua itu berlinang air mata ketika Siauw Bwee melambaikan tangan sebagai
ucapan selamat tinggal, meninggalkan tempat yang takkan dapat ia lupakan itu
karena di situ dia telah mengalami hal-hal yang hebat.
Setelah meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee
melakukan perjalanan ke selatan mencari ibunya. Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa hancur hatinya ketika mendengar berita dari seorang perwira Sung bekas
sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri mengungsi itu, telah
meninggal dunia karena sakit sesudah mendengar bahwa suaminya gugur. Siauw Bwee
sempat mengunjungi kuburan ibunya, bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan
ibunya di dusun sunyi sampai beberapa hari, kemudian karena mendengar
keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin barisan besar
ke utara untuk melawan para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu di perbatasan
utara, dia lalu melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara. Kebenciannya
terhadap musuh besar itu meningkat karena dia menganggap bahwa kematian ibunya
pun disebabkan oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan setiap saat
teringat dengan hati penuh rindu kepada suhengnya, Kam Han Ki, kini melakukan
perjalanan dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya menjadi pendiam dan
kurang gembira.
***
Kota-kota dan dusun-dusun daerah utara amat
sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi menjauhi pertempuran.
Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi karena selain tidak tahu harus
pergi ke mana, juga mereka merasa sayang untuk meninggalkan rumah dan kampung
halaman mereka. Ada pula yang menyuruh keluarganya saja pergi mengungsi. Karena
banyak warung, toko dan restoran tutup, maka bagi mereka yang berani membuka
restoran dan toko merupakan usaha yang amat baik dan menguntungkan.
Warung-warung nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena
tempat itu sewaktu-waktu kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan
bangkunya butut, tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan yang
disediakan pun amat sederhana, walaupun harganya sama sekali tidak sederhana,
melainkan harga pukulan!
Bagi restoran-restoran di dusun-dusun, yang
menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang kebetulan pasukannya
singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat dusun itu. Para perajurit
yang makan-makan di restoran tidak berani berbuat sewenang-wenang, dan selalu
membayar karena pemilik-pemilik restoran itu dengan cerdiknya selalu
menghubungi komandan mereka dan mengirim hidangan-hidangan yang lezat. Selama
ini, juga dengan adanya rumah-rumah makan itu mereka mendapat kesempatan untuk
sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak bayar dan semua restoran tutup,
tentu mereka akan kehilangan.
Pada suatu pagi, Panglima Maya dan sebelas
orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup besar di kota dekat
tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta para
perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu dilayani penuh
hormat. Para pengawal cukup duduk di ruangan bawah saja dan mereka menghadapi
meja sambil bersendau-gurau, karena para pemimpin mereka berada di loteng, maka
mereka mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dan bersendau-gurau saling
menggoda.
Tiba-tiba delapan orang perajurit pengawal
Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu menghentikan sendau-gurau mereka
dan semua mata memandang ke arah pintu restoran, mulut mereka tersenyum-senyum.
Siapa orangnya yang tidak akan terpesona menyaksikan seorang dara jelita
memasuki restoran itu dengan langkah tegap dan lenggangnya menggiurkan itu?
Dara itu masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning
dengan leher baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh
debu dapat diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh. Wajah dara ini
cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk indah,
kerlingnya tajam dan menyentuh berahi. Ketika seorang pelayan menghampirinya,
dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh lengan Si
Pelayan sambil berkata,
"Cepat sediakan nasi lauk-pauk seadanya
dan minuman teh panas!"
Para perajurit tertawa-tawa gembira
menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani dan ramah, berani memegang
lengan seorang pelayan laki-laki tanpa sungkan –sungkan lagi.
"Wah, sayang bukan lenganku....!"
Terdengar seorang perajurit berkata sambil mengelus-elus tangannya sendiri dan
menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya. Dara itu tidak peduli, melainkan
menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng. Para perajurit itu
tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh oleh dara baju kuning
itu seketika menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan setelah dara itu duduk,
tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan yang dipesan, sikapnya amat hormat
dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang perajurit dari meja yang
telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang belum dilayani.
Seorang perajurit dari meja kosong menggebrak
meja, "Apa ini? Pelayan, kami memesan lebih dulu, kenapa melayani orang
yang datangnya belakangan? Apa kaukira kami tidak membayar?"
"Ha-ha-ha!" Seorang perajurit dari
meja, yang sudah dilayani tertawa, "Kenapa mencak-mencak? Kalau mukamu
cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu!
Ha-ha-ha!" Teman-temannya tertawa dan empat orang perajurit yang belum
dilayani itu makin marah.
"He! Pelayan! Ke sini kau, kalau mau tahu
rasanya pukulan perajurlt-perajurit Pasukan Maut!"
Pelayan itu berdiri dengan kaki menggigil
ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja, telah menuangkan teh ke dalam
cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si Pelayan, "Pelayan,
jangan layani anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama
sekali yang menggunakan nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak baik lagi!"
Mendengar ini, empat orang perajurit itu
merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja gadis, itu, mengurung dari
empat penjuru. Seorang di antara mereka yang berada di belakang gadis itu
mencabut golok dan berkata,
"Eh, engkau perempuan kang-ouw merasa
jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam dari mulutmu yang
manis!"
Gadis itu masih memegang cawan teh panas,
menunda minumnya dan, matanya yang indah bergerak melirik ke kanan kiri dan
depan.
Perajurit yang berada di depannya sudah
membentak, "Engkau sungguh kurang ajar, datang-datang minta dilayani lebih
dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda cantik, kami masih mengalah dan hanya
ingin menegur pelayan. Kenapa kau memaki kami? Penghinaan itu baru lunas kalau
kau membayar dengan sebuah ciuman dari bibirmu yang ma.... ougghhh....!"
Perajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mukanya sudah kena
siraman air teh panas yang telah "meloncat" dari cawan yang dipegangi
dara itu. Tiga orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan
tetapi dari dalam cawan itu kini air teh "meloncat" ke tiga penjuru,
ke kiri kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang perajurit yang
menjadi gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan tetapi
juga karena percikan air yang mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum
menusuk!
Empat orang perajurit lain menjadi marah
menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan mengusap-usap mata seperti
itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.
"Tentu dia mata-mata musuh! Serang!
Bunuh....!"
Dara itu bangkit berdiri, tangannya meraih ke
depan dan sebuah piring melayang-layang terbang menyambar empat orang perajurit
itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang perajurit itu roboh dengan
lengan mereka berdarah karena ketika mereka menangkis, lengan mereka tergores
piring yang menjadi tajam karena berpusing itu, melebihi pisau! Akan tetapi
tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara kemudian berdesing turun
menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget, menangkap
piring, meletakkannya di atas meja lalu dia menoleh ke arah anak tangga menuju
loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang wanita cantik dan gagah
perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu memandang tajam dan kakinya
menendang meja di depannya sehingga meja itu terlempar jauh. Agaknya dia tahu
bahwa dia kedatangan lawan tangguh, maka ingin mencari tempat yang luas untuk
menghadapi pengeroyokan.
Ketika para perwira lari-lari turun dari loteng
dan para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru, "Tahan! Mundur
semua! Aku mau bicara.... dengan dia!"
Dara itu telah siap berdiri dengan tenang dan
pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang juga tenang-tenang
menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka berhadapan dan saling
pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat karena masing-masing seperti
telah mengenal.
Ketika Maya melihat gagang pedang di pungung
dara baju kuning itu, teringatlah dia dan segera menegur, "Bukankah di
punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?"
Dara itu kelihatan kaget sekali, akan tetapi
dia tetap tenang dan balas bertanya, "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Maya tersenyum lebar, "Kalau benar,
engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa kepadaku!"
Dara perkasa itu memang benar Ok Yan Hwa murid
Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan teringat, lalu berkata, "Dan
engkau agaknya Maya...."
"Benar, Yan Hwa, kebetulan sekali
pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak mengenal wanita perkasa!
Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta
maaf!"
Mendengar bahwa dara baju kuning yang gagah
perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun, delapan orang perajurit pengawal itu
cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata, "Lihiap, mohon
sudi mengampuni kami yang bermata tapi seperti buta!"
Akan tetapi Ok Yan Hwa yang berwatak angkuh
tidak mempedulikan mereka, apalagi karena ia tertarik dan terheran mendengar
ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari "Can-huciang"!
"Apa maksudmu, Maya? Benarkah Suheng
berada di sini?"
"Benar, Yan Hwa. Dia adalah seorang di
antara pembantu-pembantuku yang utama."
"Suheng? Ah, mana mungkin Suheng menjadi
perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?"
Maya mengerti bahwa dalam hal keangkuhan,
gadis itu tidak kalah oleh suhengnya. Maka ia pun berterus terang dan
tersenyum, "Dia menjadi perwira pembantuku karena kalah taruhan."
Yan Hwa mengerutkan alisnya, memandang wajah
Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar mata marah karena mengira bahwa
Maya bicara main-main, "Maksudmu?"
"Dia telah mengadu kepandaian melawan aku
dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai
Panglima Pasukan Maut, dan kalau dia yang kalah dia akan membantuku dan menjadi
perwiraku."
Yan Hwa membelalakkan matanya yang bagus, dan
wajahnya makin tidak senang. Ketidakpercayaan membayang jelas di wajahnya,
"Aku tidak percaya. Mana dia?"
"Dia sedang bertugas ke pantai timur, menjalankan
perintahku."
"Hemmm..., aku lebih tidak percaya
lagi."
"Bahwa dia menjadi perwira
pembantuku?"
"Aku tidak percaya bahwa dia telah kalah
olehmu!"
"Namun kenyataannya demikianlah, Yan Hwa,
karena suhengmu sudah menjadi pembantumu, bagaimana kalau engkau juga membantu
aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung yang telah menewaskan Menteri Kam
Liong kakak subomu, kita membasmi tentara Yucen, dan terutama sekali kita
membasmi bangsa Mongol yang telah membunuh subomu. Bagaimana?"
Sejenak Yan Hwa diam memutar pikirannya. Dia
ingin sekali bertemu dengan suhengnya, karena rindu dan juga karena ingin
melihat apakah sekarang, setelah merantau sekian lamanya, dia sudah dapat
menundukkan suhengnya itu.
"Aku tetap tidak percaya bahwa Suheng
telah kalah olehmu." Ia mengamati wajah Maya yang amat cantik jelita itu.
Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis
yang begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu!
"Kalau benar Suheng menjadi perwira pembantumu, aku lebih percaya kalau
dia lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu."
Wajah Maya menjadi merah, akan tetapi ia tetap
tersenyum dan berkata dengan ejekan yang disengaja, "Yan Hwa, engkau tetap
angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak percaya, bagaimana kalau kita pun
mengadakan pertaruhan seperti yang telah dilakukan suhengmu?"
"Engkau menantangku?" Sepasang mata
yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
"Bukan menantang, murid bibiku yang
manis, melainkan aku mengajak engkau berjuang bahu-membahu, dan untuk
meyakinkan hatimu maka marilah kita mencoba kepandaian, tentu saja kalau kau
berani."
"Singggg....!" Tampak sinar kilat
berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut pedangnya. Jantung Maya
berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa terheran-heran mengapa mendiang
bibinya yang terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang sakti dan gagah
perkasa, suka memiliki dua buah pedang seperti yang diwariskan kepada Ji Kun
dan Yan Hwa ini. Pedang di tangan Yan Hwa mempunyai wibawa yang sama dengan
Pedang Iblis Jantan milik Ji Kun.
"Engkau menerima pertaruhan ini?"
Dia bertanya.
Yan Hwa mengangkat pedangnya, tegak lurus di
depan dahinya. "Maya, aku telah bersumpah demi kehormatan nama suhu dan
subo, pedangku ini hanya akan menghirup darah orang-orang jahat. Baru sekarang
tercabut keluar dari sarangnya bukan untuk membasmi penjahat. Akan tetapi
ketahuilah, sekali pedang ini tercabut, dia tidak akan kembali ke sarungnya
sebelum menghirup darah. Karena itu, katakan bahwa engkau membohong, bahwa
Suheng tidak pernah kaukalahkan, dan aku akan menyimpannya kembali dan pergi
dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah penjahat di lain tempat yang
kudapatkan."
Maya tersenyum. "Yan Hwa, engkau tidak
memalukan menjadi murid mendiang Bibi, Mutiara Hitam, engkau seorang pendekar,
akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam hatimu. Aku tidak pernah
membohong, dan biarpun aku tidak mamiliki sebatang pedang pusaka sekeji
pedangmu itu, namun aku tidak takut menghadapinya." Sambil berkata demikian
perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan membuka jubah luarnya yang ia
lemparkan kepada Cia Kim Seng. Bekas penggembala domba ini menerima jubah dan
dia bersama para perwira lain kini mencari tempat yang enak buat menonton
pertandingan yang akan terjadi. Para perajurit pengawal sudah menjauh-jauhkan
meja kursi di dalam restoran itu sehingga ruangan restoran yang cukup luas itu
kini menjadi sebuah arena pertandingan yang dapat diduga akan terjadi dengan
dahsyat dan seru.
"Maya, bersiaplah engkau!" Sebelum
gema suara ini habis, tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah berkelebat ke depan
didahului sinar putih berkilat yang menyilaukan mata. Diam-diam Maya kagum.
Kiranya Yan Hwa memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan daripada Ji Kun,
maka ia bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas dengan tusukan
pedangnya dari samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang pusakanya maka
dia menyabetkan pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya
dengan maksud merusak pedang lawan.
"Bagus!" Maya memuji dan meloncat
tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah kakinya. Dari atas, jubah
Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya mengancam ubun-ubun kepala
lawan. Hebat bukan main gerakan Maya ini, selain indah juga amat sukar dilakukan
sehingga para perwira pembantunya memuji. Juga Yan Hwa kagum sekali, akan
tetapi watak dara ini tidak ada bedanya dengan watak suhengnya. Dia tahu bahwa
Maya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia tetap tidak dapat
percaya kalau Maya dapat mengalahkan suhengnya, atau dia dengan Pedang Iblis
Betina di tangannya! Maka serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan
dengan merendahkan tubuh lalu menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika serangan
Maya itu luput dan panglima wanita ini sudah berjungkir balik lagi membuat
salto dan kakinya menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan Hwa sudah berkelebat
lagi, sinar pedangnya berubah seperti payung, merupakan gulungan yang bundar
dan dari gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang
dan mengandung hawa panas!
Maya makin kagum. Harus ia akui bahwa dalam
hal kecepatan gerak dan ilmu pedang, ternyata Yan Hwa ini tidak kalah oleh
suhengnya, bahkan mungkin lebih berbahaya serangan-serangannya. Maka dengan
hati kagum, gembira namun juga waspada dan mengimbangi permainan lawan dengan
gerakannya yang lebih cepat lagi. Dia berlaku hati-hati, tidak pernah pedang
mereka bentrok secara langsung. Paling-paling hanya bersentuhan sedikit dan
bergeseran, namun itu pun sudah membuat pedangnya mengeluarkan api dan
kadang-kadang hampir dapat tersedot dan menempel! Hanya dengan sin-kangnya yang
kuat saja dia dapat mencegah pedangnya melekat pada pedang lawan.
Mata para perwira, apalagi para perajurit
sudah berkunang-kunang karena silau menyaksikan sinar kilat pedang Yan Hwa
berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah lewat tanpa ada yang tampak
terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh Maya. Kalau ia mau, dengan
sin-kangnya yang amat tinggi dan kuat, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya
dengan pukulan yang membahayakan bagi keselamatan Yan Hwa, namun dia tahu bahwa
jika dia mengalahkan Yan Hwa dalam waktu singkat, tentu hati dara yang angkuh
ini akan tersinggung.
"Yan Hwa, inikah Siang-bhok Kiam-sut dari
mendiang Bibi? Hebat bukan main....!" Maya cepat mengelak karena kembali
ada sinar kilat menyambar ke arah lehernya.
"Singggg! Wuuuusssshhhh!"
Diam-diam Yan Hwa terkejut dan juga kagum
sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar amat hebat kepandaiannya, ilmu
pedangnya aneh dan dalam hal gin-kang. Maya bahkan melampaui tingkatnya!
Seperti juga Ji Kun, dia terheran-heran mengapa bocah yang dahulu ikut bersama
Panglima Khu Tek San itu kini telah menjadi seorang yang begini lihai. Tentu
Menteri Kam Liong, kakak subonya yang kabarnya lebih lihai dari subonya itu
yang menjadi gurunya.
"Maya, engkau, pun hebat! Agak berkurang
ketidakpercayaanku. Akan tetapi aku belum kalah!" kata Yan Hwa yang sudah
menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak menguras semua kepandaiannya
untuk mencapai kemenangan.
Maya maklum bahwa untuk menundukkan orang
seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia lalu mengeluarkan suara
melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan sedemikian cepatnya
sehingga Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan pandang matanya
berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar pedang pusakanya sehingga tubuhnya
terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat. Menghadapi pertahanan
seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya hanya memancing agar
pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi kecepatannya dan menahan
serangannya. Melihat bahwa gerakan Maya tidak secepat tadi, Yan Hwa juga
berhenti melindungi tubuh dan ia mendapat kesempatan untuk menyerang lagi
dengan tusukan kilat ke dada Maya.
"Bagus!" Maya memuji, pedangnya
menangkis dari samping.
"Trakk! Pedangnya menempel dan tersedot
oleh Li-mo-kiam, dan melihat kini lawan berani mengadu pedang sehingga
tertempel oleh pedang pusakanya, Yang Hwa menjadi girang sekali dan melanjutkan
pedangnya isang sudah membikin tak berdaya pedang lawan itu untuk menusuk ke
perut. Kesempatan ini yang dipergunakan Maya. Ia melepaskan pedangnya,
membanting diri ke kiri dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah ia mengirim
pukulan sin-kang ke arah lengan tangan Yan Hwa yang memegang pedang.
"Aiiihhh...." Yan Hwa memekik,
pedangnya yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh dan tubuhnya
menggigil kedinginan, rasa dingin yang terus menjalar ke dalamdadanya. Ia maklum bahwa dia telah terkena
pukulan sin-kang yang amat kuat dan berbahaya, maka tanpa mempedulikan sesuatu
ia lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Maya telah melompat dan sekaligus menyambar
dua buah pedang yang saling menempel itu. Dengan tenaga sin-kang ia melepaskan
pedangnya yang tersedot dan menempel pada Li-mo-kiam, menyarungkan pedangnya
dan mengamat-amati pedang Yan Hwa dengan penuh kengerian.
Yan Hwa membuka matanya, lega bahwa lukanya
tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena pukulan seperti itu, agaknya dia akan
tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan menggunakan
pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin dia dapat melawan
sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh. Jangankan baru dia atau
suhengnya, bahkan mendiang suhunya atau subonya sekalipun agaknya belum tentu
mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian hebatnya.
Maya menghampirinya dan menyerahkan pedang
pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan pedangnya dan
berdiri dengan muka tunduk. "Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya.
Suheng dan aku bukanlah tandinganmu."
Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya
berkata, "Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku adalah
penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu."
Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam
pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk.
"Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri.
Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."
Maya tersenyum girang dan maju merangkul
pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan.
Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok
mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih
dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti
melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri.
Maya menghela napas, "Yan Hwa,
hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu itu di samping pedang Ji
Kun, adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati
atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan malapetaka hebat."
Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan
riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya
bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun
yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan
keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa maupun
terhadap Ji Kun kelak.
Para perwira dan perajurit menjadi makin kagum
terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah seorang
perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini membesarkan
hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.
Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan
hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh
Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik depan
bahwa ada berita di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah
barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu
menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk
pergi melakukan penyelidikan.
Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala
dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke depan.
"Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang
menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu," kata Yan Hwa di tengah
jalan.
Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri.
Biarpun dalam ilmu silat, wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak mau
kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia
menjawab,
"Baiklah, akan tetapi tentang
keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu."
"Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan
selalu menjaga."
Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan
perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak
mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng
mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak
salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan
mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu."
Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, "Awas
belakangmu!"
Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat
itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang,
banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga
kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.
"Kita lari....!" Cia Kim Seng
berteriak.
"Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan
dapat disusulnya. Tunggu!" Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan
yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, merangkak paling depan, tampak
seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis
yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan
mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan
serigala itu!
"Pergunakan cambuk melindungi diri,
Cia-hu-ciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia
pemimpinnya!" Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya
dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.
Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat
berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan
mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit!
Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama
sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan
dan kakinya terayun menendang dari samping.
"Desss!" Tendangan kaki Yan Hwa
tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu, akan tetapi ternyata dia memiliki
tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit
lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor
serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua
kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.
Melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak
serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang
meringkik-ringkik ketakutan dan keadaannya benar terancam bahaya, Yan Hwa
maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan
dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang
itu! Maka ia lalu miringkan tubuh ketika laki-lakl gundul itu menerjangnya,
dari samplng ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang
telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.
"Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur,
kalau tidak kupatahkan batang lehermu!" Ia mengancam dan jari-jari
tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!
"Aduhhh...., ampun.... lepaskan
aku....!"
"Lekas perintahkan anjing-anjing itu
mundur atau kau mampus!"
Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan
suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan.... serigala-serigala
itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!
Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat
turun dari kudanya. "Buhuh saja manusia serigala itu!" katanya marah.
"Ampun....!" Si Laki-laki gundul
berkata.
"Aku mau mengampuni kau, akan tetapi
engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami
butuhkan!" bentak Yan Hwa.
"Baik...., baik...., aku
berjanji....!"
Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil
mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar.
"Ceritakan siapa kau?"
"Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis
karena korban perang, dan aku.... sejak kecil bermain-main dengan
serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...."
"Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka
membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak
mau, lihat ini!" Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan
hancurlah batu itu. Muka Theng Kok menjadi pucat dan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya yang gundul. "Aku menurut.... menurut....!"
Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan
melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul
makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama
kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.
Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan
hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada
paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu
bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang
Perwira berkata,
"Pangeran....!"
Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya
sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,
"Siapa yang memimpin barisan ini?"
"Panglima Durbana, Pangeran!" jawab
perwira itu penuh hormat.
"Mengapa mundur ke selatan dan kini
mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?"
"Ketika kami hendak bergerak ke pantai
timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke
selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah
bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...."
"Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita
sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil
Panglima Durbana menghadap!"
"Baik, Pangeran!" Perwira itu lalu
meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.
Ok Yan Hwa memandang "rekannya" itu
penuh takjub.
"Jadi kau.... kau.... seorang Pangeran
Mancu....?"
Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan
membungkuk setengah badan sambil berkata, "Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah
Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke
arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua
kepada Maya-ciangkun.
Seorang panglima datang berkuda. Dia segera
melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran
Bharigan.
"Lekas katakan mengapa engkau mundur
menghadapi pasukan Sung!" Pangeran itu menegur dengan suara marah.
"Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik
mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apalagi dipimpin oleh Jenderal
Besar Suma Kiat dan pembantupembantunya yang berkepandaian tinggi."
Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian
menoleh kepada Yan Hwa.
"Ok-li-huciang. Harap kau suka segera
memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan
bantuan segera."
"Baik, Cia.... eh, Pangeran Bharigan, Ok
Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu, Ketika
tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan
kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak
musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang
ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu,
Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat,
berada di depan!
"Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan
barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata
seorang Pangeran Mancu!"
Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk
membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal
Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh
orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu
ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur
setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang
memberontak terhadap Kerajaan Sung.
Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh
perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di
tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.
"Hemm...., kiranya engkau di sini?"
Terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah
sumoinya.
"Kalau engkau cukup berharga menjadi
pembantu di sini, mengapa aku tidak?" Ok Yan Hwa menjawab pula, suaranya
mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua
pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya
berhadapan dengan pemuda tampan itu.
Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung bahwa
saat itu mereka sedang, sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh maka segala
urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata,
"Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah
murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar
kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa
guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu
melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia
dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan
Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya
langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut
menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan
diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan
panah api sebagai isyarat."
Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.
"Jangan khawatir, Si Tua Bangka, keparat
Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!" kata Ji Kun sambil meraba
gagang pedangnya.
"Belum tentu! Agaknya akulah yang akan
berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!" Yan Hwa tidak mau kalah.
Maya tersenyum. "Kita sama lihat sajalah.
Hanya, sebagai atasan kalian, aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian
memberi kesempatan kepadanya untuk lolos." Setelah melepas pandang mata
penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu
tersenyum dan berkata, " Ji Kun,, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku
akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat."
Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh
menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh
rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang
mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh
timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan
tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu
menunjukkan bahwa mereka saling mencinta! Memasuki perkemahan berdua dengan
sikap seperti itu? Hemmm.... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di
samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang
pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin
yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling
mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan
wanita. Hemmm.... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia
merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta?
Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah
perkasa. Sedangkan dia sendiri...., dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki,
Suhengnya! Ah, betapapun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara
terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut!
Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di
depan mata semua anggauta pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara!
Benar-benar tidak pantas! Akan tetapi...., apa pedulinya? Maya mengangkat kedua
pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya lalu
menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan
untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal
Suma Kiat.
Barisan Mancu sendiri, setelah melihat
kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan yang kini langsung memimpin
mereka sendiri, timbul semangat baru, apalagi ketika mendengar bahwa mereka
kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima
wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang
sudah mengadakan kontak dengan Maya, menyusun barisannya dan mengatur siasat
yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada
malam hari itu.
Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat
itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga
besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi
ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apalagi, di
sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi
pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat
dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak
dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian
diusirnya. Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan
memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Siangkoan Lee murid tunggal
jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan juga
merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di
mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang ke dua yang
dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga
merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi
Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong
sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya, dikeroyok pasukan pengawal, Suma
Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi. Kebenciannya
terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian
yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia
selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang
selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya
sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia
tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya,
menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah
orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia
selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat (baca
cerita MUTIARA HITAM).
Memang demikianlah keadaan manusia yang belum
sadar batinnya, suka sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri.
Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri
sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik
yaitu diawali "ter" lagi karena dia mempunyai perasaan lebih daripada
siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena
itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain. Orang
yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya
sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa, disadarinya menyeret dia
menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya
digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu
berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas
diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan
atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri. Menilai diri
sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting daripada menilai diri orang
lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA
DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar
batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab
musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya.
Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat
yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas,
seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan
mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan,
tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi. Akan
tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditumbulkan oleh
hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil
melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan
yang didapatnya, melainkan sebaliknya! Kematian Menteri Kam Liong itu
membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati
orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak
orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biarpun dengan
kepandaian dan kedudukannya, dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu
merasa tidak tenteram dan tidak aman.
Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena
terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat
merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk
mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia
sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pesnberontak. Di dalam
melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta
dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua
orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman
sungguhpun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya
kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam
Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.
Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu
dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan
pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali.
Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan
pahala bagi para perwira dan tentaranya, dan sehari itu dia sendiri
bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan
kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan dengan
ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu
untuk mengawasi gerak-gerik musuh . Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah
pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu
sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali
semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka, apalagi
karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin
Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu
barisan Sung di malam itu.
Yang didengar oleh Suma Kiat dari para
penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri,
melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun
kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit. Mendengar itu Suma Kiat
tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya,
"Biarkan mereka hari ini. Kalau kita
menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng
membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak perajurit. Biarkan
perajurit-perajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan
penyerbuan balasan, dan kita akan siap untuk menyambut dan menghancurkan
mereka. Ha-ha-ha!" Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan
selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk,
memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.
Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan
berkata, "Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa
engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita
bersenang-senang."
Suma Kiat memandang selirnya yang muda,
merangkulnya dan tertawa. "Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan
sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan
mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk
menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat,
engkau semakin manis saja!" Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat
tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal
tua itu. Akan tetapi, sepasang alis wanita itu agak mengerut, dan dia tidak
melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati, karena hanya
tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan
terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah
direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin! Memang, di samping
kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan,
dan menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan
betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh
lebih tua akan tetapi sebenarnya, secara diam-diam dia cerdik, setiap ada
kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam
dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan daripada
suaminya!
Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui
oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi, orang muda muka buruk seperti kuda
ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal
wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee
terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih berahinya! Hal ini
bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali
bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu berahi seperti dia tertarik
kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu? Dia sengaja menyerahkan
diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah
mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi
kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani
mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, karena dia sendiri merupakan
seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan. Sang Panglima!
Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang
cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun
bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah
mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat
melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan
pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu berahinya yang tak kunjung padam dan puas
itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi, dia tidak mau peduli asal
tidak menyolok di depan matanya!
Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang
tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh
nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada
beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling
berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang
sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan
Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San.
dan mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira
Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak
Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka
pergunakan apabila keadaan memungkinkan.
Kita tinggalkan dulu dua pasukan yang sudah
sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita mengikuti perjalanan
dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan.
Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya
dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segalagalanya untuk dengan
mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang saling
bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara
yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam
asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat kekasihnya membunuh diri,
perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain sekali. Mungkin dia hanya
akan menjadi seorang yang memiliki nafsu berahi besar dan seorang pria yang
tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita
cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan
sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya
dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya setelah ia
melayani rayuan ibu tirinya membentuk watak yang mengerikan dalam hati pemuda
tampan ini.
Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak
pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas. Akan tetapi,
sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan dia
berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat
wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang
mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan
nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya! Dan dia akan
tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu
benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan
ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan
dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan
tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk
perut dengan gunting untuk membunuh diri.
Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang
membuat ia di juluki Jai-hwa-sian! Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke
utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal
lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena
pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya
karena cintanya putus, cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama
Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang ke dua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya,
mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum wanita! Dia sendiri tidak tahu
bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian,
yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata
terdorong oleh nafsu berahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan
yang terdorong oleh dendam dan benci! Dia memperkosa wanita, menyakitkan hati
mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan adakalanya dia
membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap
semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun
telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik
membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya!
Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia
mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dibandingkan
dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah
memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia
mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling mempelajari
pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk
membius wanita dan untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah berahinya.
Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak
macam ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada
hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita
India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia
mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia
kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang
pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai
Jai-hwa-sian, seorang "play boy" besar yang tiada tandingannya.
Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya
terhadap wanita. Biarpun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa usia
seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacad celanya hanya
dengan melihat dari balakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia
memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang
wanita yang amat menarik perhatiannya.
Perutnya mamang lapar dan dia sedang
memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran itu kalau
saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk
menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia
sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua
orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat
tingkat tinggi!
Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja
duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat
memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm
dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan
dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu
sudah memiliki kepandaian yanglumayan. Ia
makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki
daya tarik yang berbeda. Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun,
berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan dalam,
sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi
matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis
ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di
kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga
teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan hati
siapa yang memandang, indah tidak membosankan.
Adapun gadis ke dua paling tinggi berusia
delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini pakaiannya
merah muda, wajahnya aga lonjong dengan dagu meruncing manis. Mulutnya yang
kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang
mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan kecantikan yang
menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di waktu terbakar
matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di
pantai. Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya,
manis dan kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya.
Gadis itu lincah jenaka dan periang ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam
yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya,
tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang
mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih
menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya
tariknya sungguhpun sifat mereka berlawanan.
Melihat seorang pemuda tampan dan gagah,
memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis
berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan
berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan karena
dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya.
Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.
Kedua orang gadis itu saling berbisik,
berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya
karena biarpun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya
satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam
jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sin-kang yang kuat dan
bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang merupakan
syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
"Suci, kulihat orang ini bukan orang
sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu seorang
penjahat yang berbahaya...." bisik gadis baju merah kepada gadis baju
biru.
"Hemm, melihat pandangan matanya, dia
bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul dia seorang
penjahat, kita harus membasminya!" bisik Si Kakak Seperguruan.
Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi
ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada pelayan,
"Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan
manis!" Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang
kepadany. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya,
sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi.
Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak
beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya benar-benar menarik
hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan kemanisan seperti
arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin
dan tenang sikap yang akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia
tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan mereka. Pasti!
"Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal
sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar maupun penjahat, yang jelas
dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu
berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke
dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar
jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san."
"Baiklah, Suci."
Kedua orang gadis itu melanjutkan makan
hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar bisikan itu, Suma
Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati.
Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun, selama ini dia hanya
mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di
depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah
perkasa, telah mengusik nafsu berahinya.
"Setelah makan, kita mengambil bekal
pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di
perjalanan," kata pula gadis baju biru.
"Apakah tidak perlu membeli kuda,
Suci?"
"Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi?
Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari
cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda."
"Akan tetapi tidak melelahkan, Su-ci...."
"Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan
mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal uang kita ditambah
perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah,
jangan rewel...."
Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri
pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari
sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran, diikuti pandang mata dua orang
murid perempuan Siauw-lim-pai akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah
menengok.
"Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia
bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu
halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...."
"Sumoi!"
Sumoinya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya
merah. "Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun,
bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa dan selama
bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai
gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda
yang menarik hati? Betapapun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh,
Suci...."
"Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu!
Sungguh melanggar susila!"
Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut
dan memandang sucinya dengan mata berseri. "Suci, maafkan kalau aku
membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda
yang gagah dan tampan, mengapa kaukatakan melanggar susila? Kalau begitu
pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan
seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh,
apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di
luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah
wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita
dan...."
"Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila
kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!"
"Tergila-gila sih tidak, hanya aku
mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...."
"Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau
terdengar orang, sungguh memalukan!" Si Gadis Baju Biru lalu bangkit
berdiri, diikuti sumoinya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan,
"Hitung semua berapa!" kata Sang
Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya. Dia
mengenal sumoinya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi
memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan
tak tahu malu!
Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika
dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,
"Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua
hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.
"Sudah dibayar? Oleh sahabat yang
mana?" Gadis baju biru bertanya.
Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum.
"Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali,
pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...."
Gadis baju biru mengepal tinju, matanya
memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoinya menyentuh
lengannya dari belakang dan berkata,
"Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu
sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja." Ia menarik
tangan sucinya keluar dari restoran itu.
"Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan
berani mati!" Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari
restoran.
"Aihhh, mengapa Suci marah-marah? Orang
telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih malah
dimaki-maki?" Sumoinya mencela.
"Sumoi!" Sucinya membentak marah dan
melototkan matanya yang bening. "Apakah harga diri kehormatanmu hanya
semurah harga makanan itu?"
"Eh-eh.... mengapa Suci berkata demikian?
Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan ucapan
dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri
dan kehormatan?"
Sucinya menghela napas panjang. "Sumoi,
biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu terkurung dan tidak
ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis
mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar
hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis
pria."
"Suci...."
"Sudahlah! Mari kita ke hotel!"
Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di
hotel, mereka menghadapi keanehan ke dua yang membikin Sang Suci makin
mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar
hotel dibayar oleh "sahabat" itu, malah telah tersedia dua ekor kuda
besar yang dihadiahkan oleh "sahabat" itu kepada mereka! Gadis baju biru
hendak marah-marah, akan tetapi sumoinya membisikkan bahwa kalau Sang Suci
marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan
lebih memalukan lagi?
"Kita terima dengan wajar dan semua orang
akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang sahabat
baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu
kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?" "Hemm...
malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi."
Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan
memberi hormat. "Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan
sepucuk surat kepada Ji-wi." Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka.
Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.
"Wah, sampulnya berbau harum!" bisik
Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati sucinya yang merobek
ujung sampul dengan gerakan
kasar lalu
mencabut keluar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah,
dan hanya merupakan surat yang singkat :
Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman
lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Li-hiap berhati-hati kalau sampai di sana,
karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring hormatnya
Sahabat Ji-wi.
Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul
sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi merah. "Kalau ada perampok,
tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak
kekurangajarannya!"
Biarpun berkata demikian, dia tidak menolak
ketika sumoinya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda
pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu
membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san
tampak tertutup awan.
Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan.
Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoinya bernama Kim
Cui Leng, keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu
itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai! Biarpun baru selama lima tahun
mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis
ini amat lihai maka mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk
mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw
di selatan.
Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana
terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di sebelah barat
Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi
mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan Pemuda
tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguhpun sumoinya
kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu.
Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan
Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.
"Untung kita berkuda sehingga sebelum
gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati," kata Cui Leng yang
teringat akan isi surat pemberi kuda.
"Huh, siapa percaya kepada obrolan si
pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia muncul, akan
kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!" jawab Liang Bi marah.
"Eh, eh....! Kalau engkau hendak membayar
lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan harga kedua ekor
kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?" Muka Liang Bi menjadi merah. Bukan
itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan kekurangajarannya, kubayar
dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!"
"Awas, Suci....!" Cui Leng tiba-tiba
berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke arah
dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat
dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang
menyambarnya.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring
dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan
anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak
urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras
dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut
pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan
dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.
"Kau masih tidak percaya, Suci?" Cui
Leng berkata, teringat akan bunyi surat.
Namun sucinya menjawab kaku, "Ini tentu perbuatan
Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah
kepalanya!"
Akan tetapi setelah gerombolan perampok yang
terdiri dari dua puluh delapan orang, ternyata bukan dipimpin pemuda tampan
yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang
mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan
dan sebatang cambuk di tangan kiri. Adapun semua anggauta perampok bersenjata
golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam. Tidak tampak pemuda
tampan di antara mereka.
"Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak
panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua orang nona yang
begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita
berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!" Perampok ke dua yang
bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.
"Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi
duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang
jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak akan
mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta
dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san," kata perampok ke satu yang matanya
merah.
"Keparat yang bosan hidup!" Cui Leng
membentak dan menudingkan pedangnya. "Jangan sembarangan membuka mulut
besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami
suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang
tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian.
Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing
kalian!"
"Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu
sumoinya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar
sucinya itu untukmu, lebih cocok."
"Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang
hemm...., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!"
"Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah
bosan hidup!" bentak Cui Leng.
"Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan
cacing rendah ini? Kita basmi mereka!" kata Liang Bi yang sudah menerjang
maju diikuti sumoinya yang sudah marah sekali.
Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala
rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan
suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu,
Dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan
gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi
mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke
atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu merupakan dua orang
pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua
orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung
melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.
Andaikata dua puluh delapan orang anak buah
perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu akan mudah
dibasmi oleh Liang Bi dan Cui Leng. Akan tetapi kiranya dua orang kepala rampok
itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah
mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai
mengelilingi dua orang dara perkasa itu.
Atas perintah dua orang kepala rampok, anak
buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua orang pemimpin itu
meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling
dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali
hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua. Liang
Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang menyambut.
Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar ke
arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari
sambil memutar pedang. Biarpun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka,
namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah
menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan
Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan
tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke
udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian
kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke arah
dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.
"Crokkk!" Perampok itu roboh dan
mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah para perampok itu menerjang dengan
golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk.
Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi
Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali
sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun
lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka
masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju
sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu
belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat, sutenya
menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan
mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki
kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di
atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan
hati-hati. Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang
kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah
membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk
mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkah lagi beberapa
orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan
dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum
membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang
wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu
berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini
mereka menyerang untuk membunuh. Namun, Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi
gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang
menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani
terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur
dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang
secara langsung dari depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar
cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit
dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata
rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang
melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak
tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak
dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak
terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan
kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat
datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah.
Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" teriak
kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi, dan Cui Leng kini menjadi repot.
Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti
mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan
senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini
di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia
mengenai kawan sendiri. Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat
merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun keadaan
mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas
yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai ahli-ahli silat tingkat
tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun
berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti
suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian
terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggauta perampok.
"Ular....! Ular....!"
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata
dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada
di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka! Ketika mereka memandang,
tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup
sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda
itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru
marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di
tangan.
"Tar! Tar!" Dua batang cambuk
menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur
tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renpgut kedua batang
cambuk, itu putus tengahnya! Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka
membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput,
lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala
rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan
semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang
ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan
membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup
suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat
mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya.
Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga
dalam, waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada
seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita
ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu,
menghentikan "lagu" sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi
dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi
pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Adapun Liang Bi, dan Cui Leng, cepat-cepat
menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sin-kang
untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang
terkena senjata rahasia.,
"Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang
perampok-perampok di sini amat berbahaya," terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang
pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
"Kalau tidak cepat engkau datang bersama
barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!" kata Cui
Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun
cepat berkata, "Terima kasih atas pertolongan Kongcu."
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan
sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan
hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng,
akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin. .
"Perampok-perampok ini mempunyai sarang
di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi
Liang Bi mendahuluinya, "Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan
beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...."
"AihMhh....! Ji-wi terluka....? Aduh
celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya
sekali!" tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin, "Tidak mengapa,
Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."
"Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku
mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat
dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan
membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi.
Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu
terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik
perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang
yang tidak mempunyai sin-kang, tentu, akan tewas dalam waktu dua belas jam.
Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa, akan
tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit
muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang
perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi."
"Suci...." Cui Leng memandang
sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum
beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan
totol-totol merah!
Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi
menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat, "Terima kasih atas
kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan
mengobati sendiri luka-luka kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan
kedua pundak dan berkata, "Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku
dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang
dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang
kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa,
akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok
kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak
mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah." Ia lalu
membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia
sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan
tak jauh di depan.
"Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang
berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana kalau muka kita
menjadi bopeng?" Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah
bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah adiknya. "Cui
Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau hanya bopeng
mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya. Aku masih tidak
percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan."
"Suci, aku....!"
"Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu
dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita harus cepat
bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan
racun!" Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya
dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi,
napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru sucinya, namun ia
selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca
indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni.
Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya
tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk
mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu
terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa
sucinya telah "pulas" dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri
dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki
hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi,
dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan
rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di
tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung
berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda
itu sambil tersenyum amat tampannya.
"Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa
Li-hiap suka datang...."
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui
Leng merasa kikuk dan malu-malu. "Aku.... aku hendak minta obat.... aku
tidak mau menjadi bopeng...."
"Tentu saja! Sayang, sekali kalau Li-hiap
sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"
"Dia.... dia tidak mau, dia.... sedang
siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan
berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu
bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali."
"Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu,
jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir
pergi."
Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata
cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan duduk di atas
bangku dan Suma Hoat berkata,
"Li-hiap, orang yang terkena jarum
Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut keluar, kemudian
lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat
dibersihkan. Engkau terluka di manakah?"
Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali.
"Di.... sedot....? Akan tetapi aku.... aku terluka di sini...." dia
menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat,
"Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kauobati."
Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan
tersenyum. "Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat itu?
Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku orang yang tidak
beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga masih tidak percaya kepadaku.
Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi?
Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah
kepada Li-hiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa."
Pemuda itu membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di
tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi
hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil
keputusan.
Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang
berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar,
"Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa
boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng."
Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan,
akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak
tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,
"Engkau tidak usah khawatir, Li-hiap.
Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya
seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung
maksud baik." Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci
arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan,
"Harap kau suka membuka bagian yang
terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan
kusedot darahnya yang terkena racun." Ia menanti sampal Cui Leng dengan
jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian
atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga
tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak
kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah," terhujam
dalam-dalam di kulit dan daging.
"Aku sudah siap, Kongcu," kata gadis
itu perlahan.
"Baik, sekarang minumlah dulu obat
ini." Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu
yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis itu terbatuk. "Ughh-ughh....!
Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti arak
yang sudah amat tua!" serunya sambil memandang arak dalam cawan yang
berwarna merah.
"Memang obat itu dicampur dengan arak.
Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Li-hiap. Sudah disimpan puluhan tahun
lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!"
Cul Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma,
Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang agak panjang
terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara kedua
kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.
"Aihhh!" Cui Leng merintih karena
luka itu terasa perih dan nyeri.
"Sakit sedikit, Li-hiap. Sekarang aku
akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?" Sambil bertanya
demikian, Suma Hoat mengangkat muka, memandang dan Cui Leng menunduk sehingga
mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan,
sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga
Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan,
dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat
jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa
tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?
Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk,
"Lakukanlah...."
Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng
seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat itu menempel di
kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu
menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah
dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh
rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya
di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan
lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora terhadap
pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian menyedot lagi,
meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi
amukan perasaan yang menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan kedua matanya
setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberl jalan keluar pada
hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.
Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat
tersenyum. "Arak obat" yang diberikannya tadi sudah bekerja baik.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang
sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua
pertahanan susila dihati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang
lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati
tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka
itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.
Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut
sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa
dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya dapat
mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan
dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan
menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul leher
pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya
terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah
perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!
Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan
memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu dan satu-satunya. percakapan di
antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
"Kekasihku, siapakah namamu?"
Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal
nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng yang sudah
mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih,
" Namaku Kim Cui Leng.... dan kau, Koko....?"
"Panggil saja aku Hoat."
"Hoat-ko.... aku cinta padamu...."
Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangansegala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya
kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya!
Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf "Hoat" saja!
Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan
yang mempermainkannya adalah seorang "Jai-hwa-sian" yang pahdai
merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar jatuh!
Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar
dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng
menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu. Suma
Hoat memeluknya.
"Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan
hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti
aku?"
"Tidak....! Tidak....! Aku cinta padamu,
Koko, akan tetapi...."
Suma Hoat menciuminya. "Mengapa
menangis?"
"Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah
aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!"
Suma Hoat tertawa, "Ha-ha-ha! Mengapa
takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang,
jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang
kaukira. Lihat ini!" Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari
terbuka ke arah lantai. Terdengar suara "plak! Plak!" dan Cui Leng
memandang lantai dengan mata terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda
itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis
telapak tangannya.
"Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang (Telapak
Tangan Besi)!" serunya kagum.
"Dan lihat ini!" Kembali tangannya
didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan....
"wuuuuttt!" guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya,
disambut dan pemuda itu menenggak araknya!
"Wah, Koko....! Sin-kangmu hebat bukan
main!"
"Nah, masih takutkah engkau? Biar sucimu
datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu."
"Akan tetapi, namaku akan ternoda! Koko,
bagaimana baiknya....?" Wajah gadis itu menjadi pucat.
"Karena ketahuan Sucimu? Ha-ha, Leng-moi,
kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar sucimu mau bermain
cinta denganku, mau melayaniku. Dengan demikian, engkau mempunyai teman dan
dapat saling menyimpan rahasia!"
"Kau....!" Tangan Cui Leng menyambar
hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu
sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga,
tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
"Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita
melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan? Tidak ada yang
memaksa! Aku adalah, seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita
mana pun. Aku mengusulkan agar sucimu suka bermain cinta denganku semata-mata
untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?"
Cui Leng terisak. "Kau.... kau.... mata
keranjang!"
"Ha-ha-ha!" Suma Hoat tertawa.
"Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi
kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik!
Dan sucimu juga cantik jelita, sungguhpun tidak sepanas engkau. Bagaimana?
Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir.
Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah menyerahkan kehormatannya kepada
pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa aman. Akan
tetapi, kalau sucinya juga "terjun" dan ikut basah, sama-sama basah
seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia
masing-masing.
"Jadi kau.... kau tidak akan memperisteri
aku?"
"Moi-moi? Jangan bodoh! Hubungan kita
bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka sama suka, bukan?
Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji
untuk mengambilmu sebagai isteri."
"Mengapa?" Dalam suara Cui Leng
terkandung putus harapan.
"Mengapa? Karena aku sudah bersumpah
selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah engkau
membiarkan aku membujuk sucimu agar keadaannya sama denganmu ataukah harus
kutinggalkan engkau begini saja?"
"Tidakf jangan tinggalkan aku. Baiklah,
lakukan apa yang kaukehendaki kepada suci kalau.... kalau.... itu merupakan
satu-satunya jalan...."
Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya
berseri itu kini berkerut tanda susah. Suma Hoat tertawa, merangkul dan
memondong Cui Leng. "Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan
berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita
bergembira!" Dia membawa Cui Leng lari keluar rumah itu menuju ke sebuah
sungai. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi
bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh
kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa.
Cui Leng kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi,
terbuai mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan
tubuhnya.
"Sumoi....!"
Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia
menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri di tepi sungai,
sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak ada
artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Lian Bi ketika
ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang mandi bersama pemuda
penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.
"Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang
Li-hiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan
pakaianmu!" kata Suma Hoat.
Saking bingung dan takutnya melihat sucinya
penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya, "Benar suci! Mari
kita mandi bersama Hoat-koko....!"
"Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak
malu melakukan perbuatan terkutuk" dengan kemarahan meluap Liang Bi
mencabut pedangnya. "Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!"
"Suci....!"
"Tenanglah, Leng-moi, biar aku yang
menundukkannya!" Setelah berkata demikian sekali melompat tubuh Suma Hoat
yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.
Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya,
dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki dewasa
telanjang. Kini ada seorang laki-laki, dewasa bertelanjang bulat berdiri di
depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang membuat
seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi
kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan teriakan ganas ia menerjang
dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.
Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian
Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang telanjang bulat
itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu dan dengan
mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang bertubi-tubi.
"Ah, Nona yang manis, mengapa engkau
hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoimu dan aku sama-sama menikmati cinta
kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah engkau membunuh aku
yang tidak berdosa?" Sambil mengelak dengan mempergunakan gin-kangnya yang
tinggi, Suma Hoat membujuk.
"Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!"
Liang Bi menerjang lagi dengan mata setengah
terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang telanjang bulat begitu
dekat dengannya itu.
Kembali Suma Hoat mengelak. "Aihh, betapa
tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk mencelakaimu. Aku cinta
padamu, manis!"
Ucapan merayu ini seperti minyak disiramkan
pada api, membuat kemarahan Lian Bi makin berkobar. Kalau pria ini mencinta
sumoinya, bagaimana sekarang di depan sumoinya berani mengeluarkan kata-kata
mencintanya?
"Keparat biadab!" Liang Bi memaki
makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar menyilaukan
yang menyambar-nyambar.
"Aduh, cantik dan gagah sekali
engkau!" Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak. Tiba-tiba Liang
Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung
sepatu. Suma Hoat terguling!
"Mampuslah engkau!" Liang Bi
menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan
yang bertubi-tubi.
"Suci....!" Cui Leng yang sudah naik
ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak peduli terus
mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya
karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan ketika kembali
Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat ujung pedang Liang Bi
menyentuh tanah, tubuh
Suma Hoat
mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh
itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis
itu. Liang
Bi menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu
memeluknya begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun
roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang
terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa
lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!
"Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa
cantik manis engkau....!" Suma Hoat berbisik-bisik.
"Bunuh aku....! Bunuh saja aku....
!" Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa
jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja Suma Hoat tidak ingat bahwa Bi
adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak ingat atau menjaga nama
Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat dan di
tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah
bersikap baik kepadanya! Kalau dia memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati
ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia
harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan
sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoinya sehingga
mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian,
dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas
kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai yang sama
sekali tidak boleh dipandang ringan!
Melihat Liang Bi pingsan, Suma Hoat
melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui Leng yang tadi
menonton dengan penuh kekhawatiran. "Sucimu keras hati, akan tetapi aku
harus menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka
melayaniku, akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi
kebaikanmu."
Cui Leng tak dapat berkata lain kecuali
menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali perbuatannya, akan
tetapi betapapun juga harus dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia
merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun
mengerti bahwa kalau sucinya sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan,
rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika siuman dari pingsannya, Liang Bi
mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih dan, megah,
terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang berpakaian
rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir pembaringan, Cui
Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum memandangnya ketika ia membuka mata.
"Jahanam....!" Kata-kata yang
pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega bahwa
ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma Hoat tersenyum. "Bi-moi, engkau
sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bi-moi," Suma Hoat
merayu dan mengusap dagu yang halus itu. Liang Bi membuang muka dengan gerakan
kasar.
"Jangan sentuh aku! Lebih baik kaubunuh
saja!" teriaknya dan dua butir air mata meloncat keluar dari sepasang
matanya.
"Aihh, sayang sekali kalau dibunuh. Aku
tidak akan membunuhmu, tidak akan mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa
engkau berkeras kepala? Aku hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah
cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda
tampan seperti aku saling mencinta?" .
"Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira
bahwa semua wanita akan semudah itu kaupermainkan! Aku lebih baik mati daripada
melakukan perbuatan terkutuk!"
Akan tetapi Suma Hoat tertawa dan dengan
gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi. Liang Bi meronta-ronta,
memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali tidak bergerak
hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan perbuatannya.
"Hemm, engkau benar keras hati dan keras
kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!" Pemuda yang kalau
berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu
mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan.
"Kauminumlah arak obat ini, manis!"
"Tidak sudi! Engkau telah menipu,
menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama sekali tidak
mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap sendiri rasa gatal
dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan bahwa racun itu akan
membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum
obatmu yang terkutuk!" Liang Bi membuang muka ke samping.
Akan tetapi sambil tertawa Suma Hoat
menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya yang kuat ia
memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke dalam mulut dara
itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai habis. Ia
terbatuk-batuk dan memaki-maki.
"Binatang! Iblis! Aku bersumpah untuk
membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!" ia
meronta-ronta dan memandang Suma Hoat yang tertawa-tawa penuh kebencian.
Suma Hoat hanya duduk dan memandang sambil
tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi menjadi gelisah.
Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang, pandang matanya
kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya sehingga ia mengira
bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia akan mati. Akan tetapi ia tidak
peduli. Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang
mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah
dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda itu yang kelihatan
amat tampan dan menggairahkan. Namun, karena pada dasarnya dia tidak sudi
melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan
aneh ini dan dia memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan
senyum manis itu.
"Suci, mengapa Suci tidak mau menurut!
Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku.... aku cinta padanya dan kalau Suci
menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya.!"
Mendengar suara sumoinya ini, Liang Bi membuka
mata dan menoleh. "Perempuan hina! Perempuan rendah! Orang macam engkau
ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya untuk
hidup!" .
Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi Suma
Hoat sudah memeluknya sambil tertawa, "Leng-moi, sucimu lebih suka mati,
lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk memilih hidup dan
bersenang, ha-ha-ha!" Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng ke atas
pembaringan dimana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia mulai membelai Cui Leng.
Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain cinta! Biarpun
Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa
perbuatan ini dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati sucinya dan dia
amat memerlukan sucinya ikut terjun dalam permainan itu yang akan menyelamatkan
rahasianya, maka ia pun menurut saja.
Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa hati
Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap terkutuk itu berlangsung
di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang muka, namun telinganya masih
mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan didalam tubuhnya makin
menghebat, nafsu berahinya menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat
dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan godaan yang
datangnya dari dalam. Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat,
beberapa kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak
kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia
merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, "Bunuhlah aku.... bunuhlah....
ahhh, terkutuk kalian.... bunuhlah aku....!" Kemudian diakhiri dengan
tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.
Suma Hoat yang melakukan perbuatan tak tahu
malu itu dengan niat untuk menggerakkan, hati Liang Bi, turun dari pembaringan,
menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya. "Bimoi.... aku
pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi...., kau menurutlah sayang dan
kita bertiga hidup bahagia...." Jari tangannya membelai dan hampir saja
Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun dia menggigit bibir
dan menggeleng kepada dengan mata dipejamkan, tak kuasa menjawab.
Suma Hoat menjadi jengkel. Belumpernah ia menjumpai seorang gadis yang begini
keras pertahanan hatinya. Arak obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia
pamerkan tidak! "Hemmm, kau berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa?
Baiklah!"
Ia lalu menotok tubuh Liang Bi, melepaskan
belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
"Hoat-ko....!" Cui Leng cepat
mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh sucinya.
"Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai dimana keteguhan dan
kekerasan hatinya!"
Pemuda itu membawa tubuh Liang Bi ke belakang
rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia mengeluarkan sulingnya dan
meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan mata
terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi berkerasakan
di antara rumpun alang-alang dan rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor
ular hijau yang beracun, merayap mendekati Liang Bi!
"Hoat-ko....!" Cui Leng menjerit.
Akan tetapi Suma Hoat memandang kepadanya
sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan sulingnya. Mengertilah Cui Leng
bahwa kekasihnya hanya hendak. mertakut-nakuti Liang Bi.
Yang menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui
Leng adalah bahwa sucinya itu paling jijik dan takut melihat ular. Kini ada
tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja sucinya menjadi takut setengah
mati. Mata Liang Bi terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya
pucat sekali.
Suma Hoat menghentikan tiupan sulingnya dan
dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu dekat.
"Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan
menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!"
Liang -Bi sudah tertotok,, tubuhnya lemas dan
lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, "Bunuhlah aku! Aku tidak
sudi!"
Suma Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi
sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Lian Bi yang menjadi makin
ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu,
taring yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar,
benar-benar membuat ia hampir pingsan saking takutnya. Betapa mudahnya untuk
mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari ancaman ular-ular ini!
Dia menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoinya. Akan
tetapi, dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih baik mati daripada menyerah dan
terperosok ke dalam pecomberan yang berupa perbuatan melanggar, susila yang
terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah,
kehormatan seribu kali lebih berharga daripada nyawa! Seribu kali lebih baik
mati sebagai seorang pendekar wanita yang bersih daripada hidup sebagai seorang
perempuan ternoda!
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" Ia
berteriak.
Sinar yang buas terpancar keluar dari pandang
mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan janjinya kepada Cui Leng,
maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu
mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas
tanah.
"Crat-crat-crat!"
Sinar putih menyilaukan mata itu lenyap dan
disitu telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di tangan dan tiga ekor
ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam
sekarat.
Cui Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan
tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala memandang. Yang muncul dan
membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang usianya
antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah
perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga
bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua menudingkan
pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
"Penjahat keji, perbuatanmu melampaui
batas perikemanusiaan. Sekarang, setelah kami datang bersiaplah untuk
mati!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke
depan menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.
"Dan engkau wanita kejam patut mampus,
juga!" teriak wanita ke dua yang juga cepat sekali gerakannya menerjang
Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.
"Cringgg...., tranggg....!"
Pertemuan pedang kedua orang wanita gagah itu
dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng menimbulkan, bunga api yang muncrat
menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main karena tangannya
yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang
suling itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Adapun wanita ke dua juga merasa
bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang
tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan
"dahsyat.
Namun, Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka telah
bertanding dengan seru.
Diam-diam ia kagum karena ternyata wanitabaju hijau yang usianya sekitar empat puluh
tahun ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos
pedangnya dan balas menyerang.
Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi
lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya
memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya tahan kokoh kuat.
"Tahan....!" Tiba-tiba wanita yang
melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti encinya. Wanita ini
memandang Cui Leng dan bertanya, "Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?
Ilmu pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!"
Cui Leng menjadi bingung, tidak tahu harus
menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu tanpa
ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ingin ia
menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi Suma
Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil memandang kedua wanita itu.
"Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio yang
cantik dan gagah! Dia dan sucinya itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai, dan aku
adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main, mengapa Ji-wi membunuh
ular-ularku dan menyerang kami?"
Kedua orang wanita itu saling pandang,
kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan ucapan Suma Hoat
yang main-main, Juga panggilan dengan embel-embel "yang cantik dan
gagah" yang pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini
wanita tertua menghadapi Cui Leng dan bertanya.
"Engkau.... dan sucimu.... apakah
wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?"
Cui Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu
siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga bahwa mereka tentulah
orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung.
"Aku.... aku...." Sukar sekali dia
melanjutkan kata-katanya.
"Kembali Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui
Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah? Biarlah
aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding. Mari kita ke rumah
kami." Suma Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.
"Aihhh...., bagaimana ini? "Wanita
yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung
"Hui-moi, mari kita pergi" kata
wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya berkelebat
pergi meninggalkan tempat itu.
Cui Leng membanting-bantingkan kakinya.
"Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua adalah orang-orang
Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!"
Suma Hoat tertawa, "Takut apa, Moi moi?
Ada aku di sini, mengapa takut?"
Cui Leng memandang sucinya yang masih rebah
telentang, dan ternyata sucinya telah pingsan saking ngerinya tadi ketika akan
digigit ular-ular itu.
"Wah, bagaimana ini? Kau belum juga
berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu. Rahasia tentu akan
terbongkar....!"
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Sucimu takut
ular, aku masih ada jalan lain." Setelah berkata demikian, Suma Hoat
memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh Cui Leng yang
amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang
lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia
dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua
tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil
Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?
Ya, siapakah mereka? Dua orang wanita itu
adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun bersembunyi di
Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir dua
puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu silat di
bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar
Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dan
mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka adalah
puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka adalah Liu Hwe,
keturunan ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!
Kedua orang kakak beradik ini tadinya sudah
menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan, akan tetapi kedua suami
mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw. Mereka belum
mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai jandajanda yang tekun melatih
diri di puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali
Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali ketika anak buah
Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari Tibet yang amat
lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai
Ci-sha. Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah
merah yang amat lihai dan yang melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan
memaksa bekas anak buah Beng-kauw menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan
pimpinan di tangannya, Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan melakukan
perbuatan yang jahat. Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu
gagal. Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian
Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek dan juga mereka, tewas di tangan Hoat
Bhok Lama!
Demikianlah, dalam usaha mereka untuk
menentang, Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam kematian suami dan
keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas kembali Beng-kauw
dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan, Kam Sian Kui dan Kam Siang
Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.
Tentu saja. mereka segera turun tangan ketika
menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan ular-ular beracun.
Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah murid-murid
Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil,
dan yang kini malah membantu pemuda tampan itu, kedua orang kakak beradik ini
menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau
mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa jadinya? Maka mereka
bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang
mereka lihat di hutan itu.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan
nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka.
Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja Talibu,
Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka. Mereka
tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang
tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang dan diselewengkan.
Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka
menganggap bahwa adik mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa
adik mereka itu masih hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah
Siauw-lim-pai yang mereka tahu memiliki banyak orang pandai dan yang selalu
siap membela kebenaran. Apalagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang
pendeta, sedikit banyak hal ini akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang
menjunjung tinggi Agama Buddha.
Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian untuk berunding
dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang
amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti Hosiang berada di
kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Ciung-lai, tidak jauh dari situ di dalam sebuah
kuil cabang Siauw-lim-pai.
Kian Ti Hosiang menerima kedatangan mereka dan
dengan sabar dan tenang mendengarkan penuturan mereka. Biarpun di dalam hatinya
hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua
orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata,
"Omitohud...., Ji-wi Toanio telah bertindak
tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda dan belum
berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa
laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka."
"Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami
antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu," kata Kam Siang Kui yang merasa
tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai
itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan
dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biarpun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun
betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan seluruh kepandaian berlari
cepat, hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di samping
mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan
diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang
Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat
menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita
tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka
mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka untuk
menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan penuh
kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan setelah
perkara kedua muridnya selesai, dan akan dirundingkan dengan para pemimpin
Siauw-lim-pai.
"Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja
yang akan mampu menolong kami," Kam Siang Kui berkata penuh permohonan.
"Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia
ini yang akan dapat mengalahkannya."
Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas
panjang. "Kita lihat sajalah nanti, Toanio. Pinceng sudah lama
menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan
pernbunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang
dibunuh dengan orang yang membunuhnya!"
Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam
Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang
permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya.
Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga
tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir
hwesio itu.
***
Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang
tiang di ruangan rumah bekas kepalarampok. Ia
memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng.
Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah
selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya sehingga
tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sin-kang untuk melepaskan
diri.
Cui Leng memandang kepada sucinya dengan sinar
mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian ia melangkah maju, membujuk,
"Suci, mengapa engkau berkeras? Suci, Hoat-koko benar-benar mencinta kita,
dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia baik sekali. Suci, di
dunia ini sukarlah berternu dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu
tinggi, menarik hati dan.... dan.... engkau tentu akan merasa bahagia sekali
kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita
berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua.
Sekarang...., aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita menikmatinya
berdua...."
"Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak
malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau menyeret nama dan
kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat terperosok
serendah ini?"
"Suci, apakah artinya malu? Kalau kita
suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa mesti malu?
Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya! Suci,
kausambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup bahagia, dan dengan kita
bertiga menjadi satu, kita takut kepada siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku
sudah membuktikan betapa ia memiliki sin-kang yang amat kuat, memiliki
pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau
kita berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah
senangnya!"
"Sumoi! Aku masih dapat memaafkan engkau
karena kau telah terbujuk. Kaulepaskan aku, mari kita pergi dari tempat
terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum tersesat
terlalu jauh...."
Akan tetapi Cui Leng menggeleng kepala.
"Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau engkau suka
melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati kebahagiaan
bersama, setelah itu.... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu lagi dan kita
dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati aman...."
Liang Bi membelalakkan matanya. Gadis ini
tidak mengerti mengapa sumoinya bersikeras minta agar dia melayani niat keji
pemuda itu!
Senja telah mendatang ketika dari jauh
terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri meremang. Dia
merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling Si Pemuda yang
pandai menguasai ular dengan sulingnya. Padahal, di antara segala mahluk di
dunia ini, ular adalah binatang yang paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa
jijik dan takut kepada ular sehingga biarpun kini telah menjadi seorang
pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat
ular. Wajahnya menjadi pucat dan napasnya terengah. Cui Leng juga mendengar
suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan
bibirnya tersenyum.
"Engkau mencari sengsara sendiri, Suci.
Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!"
Makin pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat
Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya dan.... di depan
pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular
ini lebih dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap
berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma
Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti, mengangkat kepala
menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu lenyap.
"Bi-moi, bagaimana? Apakah engkau masih
keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima cintaku seperti yang
dilakukan sumoimu, dan kita bertiga hidup bahagia."
"Tidak sudi. Lebih baik mati!"
"Begitukah? Hemm.... biarlah ularku yang
akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa cukup dan tidak keras
kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih
suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan
jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!" Suma Hoat
lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu
mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari
dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak
keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi memandang ular itu dengan wajah pucat
dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya bergelombang. Rasa jijik
dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha menguatkan hatinya, akan
tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya terus ke atas melalui
betisnya, pahanya, perutnya.... Liang Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan
ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang gagah seperti dia
kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan tetapi,
bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa geli dan
jijik.
Namun celaka baginya, Suma Hoat meniup
sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya, melainkan
melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu
berdenyut-denyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan, kemudian
kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya keluar dan
menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia masih
merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya,
lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia
muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
"Bunuh aku.... iihhhh.... bunuh aku....
uhu-hu-huu.... suruh dia pergi....!" Akhirnya ia merintih.
Akan tetapi Suma Hoat tidak menghentikan
tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan leher Lian Bi dengan
moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau
dia pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan terbebas. Akan tetapi
celaka, dia masih sadar dan harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa
hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat sedikit demi sedikit
kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan
jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.
"Suci, menyerahlah....!" Terdengar
suara Cui Leng membujuk. Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan
kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu
dengan hati ngeri dan iba kepada sucinya. Akan tetapi, karena ia maklum bahwa
sebelum sucinya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia
menguatkan hatanya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa
sucinya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk
membujuk sucinya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa
melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!
Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh
mahluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang
diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang banyak
dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu berahi dan didasari rasa iba diri,
diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau dirinya sendiri terperosok!
Sifat buruk ini, sebuah di antara banyak sekali sifat buruk lain yang timbul
dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram watak semua manusia,
merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin
minta kawan dalam derita! Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat
buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis, akan berhenti tangisnya,
bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh
kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan
semacam "hiburan" bagi seorang yang sedang menderita. Memang amatlah
buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, "penyakit" ini telah
diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.
Perbuatan Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal
ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul
dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya
itu dengan menggunakan nafsu berahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin!
Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya
tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia menganggap bahwa batinnya
sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat wanita tersiksa
seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat nafsu berahinya berkobar!
Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si
Dewa Pemetik Bunga ini!
Tubuh Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi
makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi, tiba-tiba ular itu
berubah gerakannya kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik
baju bagian dada Liang Bi!
"Iihhhh.... ouhhhh...." Liang Bi
merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup
makin dalam. "Aduuuuhhhh.... tolongggg.... ihhhh.... ambil dia.... ambil
binatang ini.... uhu-hu-huuuu....!"
"Engkau menyerah?" Suma Hoat
bertanya.
Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran
dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. "....aku menyerah....
hu-hu-huuuuhh...."
Suma Hoat melompat ke dekat, sekali sambar ia
mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang
ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma
Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan
tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau
tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat
memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia
merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini
hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi
yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia
mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal
membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita! Perlahan
ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis
Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui
Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua
titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia
mendapat kawan! Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan
aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena
dua butir ait matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga
yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri
melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil
tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi
kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan.
Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan
pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam
mimpi.
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk
di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan
bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
"Ahh, kalian benar-benar cantik
jelita!" katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang
Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.
"Koko, sekarang tentu hatimu amat
berbahagia, bukan?" Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra
membelai dagu pemuda itu.
Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba
lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. "Bahagia? Aku
berbahagia....?" Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari
pinggang. Melihat ini, wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
"Jangan....! Jangan panggil
ular...." Ia merintih.
Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya.
"Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakutkan engkau
lagi?" Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang
merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan
bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka. Lagu itu terdengar begitu
sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati
peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara
suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan
keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara
celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.
"Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah anda!
serasa tampak anda mengintai
di balik kelopak bunga mengharum
menunggang cahaya matahari pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun....
setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan anda?
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan anda?"
Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang
keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona,
tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara
itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak
tampak.
"Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan
dari badan?
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?"
Suma Hoat meloncat bangun, suling di tangannya,
wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung
pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena
sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah
mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat
sekali. Apalagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara
Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah
tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti
yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi
menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.
"Suhu....!" Liang Bi menangis
terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka
pucat.
"Omitohud....!" Kian Ti Hosiang
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali
pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu.
Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak
dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang dan Kian Ti Hosiang lalu
berkata,
"Sayang....! Sungguh sayang sekali....!
Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki
orang Jai-hwa-sian?"
Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya
berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis
itu, dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasai selama
petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang
meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan
mereka. Agaknya, kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan
petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan
berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan
tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan
tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum
dan menjura sambil berkata,
"Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya
adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan
besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!"
"Oohhhh....!" Seruan ini keluar dari
mulut Liang Bi dan Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika
mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah
Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah
di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui
Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti
disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan malapetaka besar
itu!
"Kau.... kau.... Suma Hoat....?" Kam
Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang
dengan adiknya.
Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan
maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh
kesabaran ketika dia berkata,
"Orang muda, pinceng mengenal baik
keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi
ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah
pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam
sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi
sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap
wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin!
Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu,
terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!"
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara
ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang,
telunjuknya menuding, "Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua!
Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin?
Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh
wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang,
siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup
dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan
dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku,
Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada putera tunggalnya?
Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah
keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya
engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh,
hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti
Hosiang?"
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan
ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang
ajarnya! Dua orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri! Ayah
pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera
Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat Ketua
Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran
hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang
saja menjawab,
"Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta
karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan
pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk agar kasih
sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu."
"Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku,
bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh,
hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan,
tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan
yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan,
seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena
adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan
kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau
orang-orang jahat macam aku sudah kaubasmi semua, kalau kejahatan sudah tidak
ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?"
Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin
marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira
sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah
seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang.
"Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau
mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai
dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa
kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!"
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah
dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima,
karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, mendengar pendeta ini
menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin
meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah
perbuatan seorang anak kecil yang nakal!
"Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku
telah menodai kedua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat
terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman
paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?"
Kian Ti Hosiang tersenyum dan
menggeleng-geleng kepalanya. "Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat
dan perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid
pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar
sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang
menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu,
memberi penerangan kepadamu."
"Pendeta sombong! Katakan saja engkau
takut melawan aku!"
"Suma Hoat manusia iblis!" Kam Siang
Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat tersenyum lebar. "Engkau sudah
setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada
kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...."
"Jahanam!" Kam Siang Hui yang
mendengar encinya dihina seperti itu, sudah tidak dapat mehahan lagi hatinya
dan dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan
sin-kang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat
yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
"Plak! Plak!" Dua kali Suma Hoat
menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa
lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya. Adapun Suma Hoat
diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang
wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan
mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti
Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang
Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
"Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau
begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang
wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?"
"Suma Hoat, bocah celaka!" Kam Siang
Kui kembali membentak.
"Harap Toanio tidak mencampuri urusan
pinceng dengan dia," kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu
kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
"Kian Ti Hosiang, pendeta pikun.
Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku menggunduli
rambut dan memakai jubah pendeta?" Suma Hoat mengejek lagi dengan hati
panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah bahkan memandangnya
dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya.
Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan
memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan
semua perbuatannya.
"Suma-sicu, pada dasarnya engkau
mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa
amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita?
Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena
ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang
tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan
memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kaulakukan
terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua
perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya."
Wajah Suma Hoat menjadi merah. "Kalau aku
menolak?" Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal
kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu
jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaanbaginya.
Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan
Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas panjang.
"Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan
jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang
keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh."
"Apa? Engkau tidak marah dan tidak
membunuhku?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya.
"Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng
tidak bisa membikin hidup."
"Pendeta sombong! Engkau takut
kepadaku?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan
tersenyum. "Pinceng tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada
kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu."
"Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat,
mau menuruti nasihatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku.
Bagaimana?"
Kian Ti Hosiang mengangguk tenang.
"Omitohud....! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat
mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah.
Pinceng menerima syarat itu...."
"Locianpwe....!" Kam Siang Hui dan
Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. "Bagaimana Locianpwe
membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami
membasminya!"
"Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng
sudah melepaskan janji menerima syaratnya." Terpaksa kedua orang wanita
itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma
Hoat. "Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau
benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat
lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik."
Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio
ini bersedia menerima dua kali pukulannya! "Apa? Engkau menerima dan
engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala.
"Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus
dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau
pun akan membuang semua perbuatan sesat."
Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia
benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak
kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini.
"Baik, aku berjanji!" bentaknya.
"Nah, silakan memukul dua kali,
Sicu." Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda,
memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti
orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya,
mengerahkan sernua sin-kang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan.
Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda
bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sin-kang yang dahsyat sekali. Kedua
orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang
murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat. Suma Hoat merasa dipandang
ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti,
termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi, sikap hwesio itu
keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih
menyakitkan hati daripada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah
menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil
yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya bahwa hwesio
itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan. Mungkin takkan
mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sin-kang untuk menangkis. Ataukah
kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia
tidak percaya maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju
dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang.
Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka
menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma
Hoat telah mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan
Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!
"Krekkk! Krekkkk!" Cepat sekali
datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua
orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti
Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena
tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya
pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan
kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu
menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biarpun kedua
kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar.
Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.
"Kau.... kau....! Biar tidak kepalang,
kalau kau ingin mati.... terimalah ini....!" Suma Hoat yang merasa ngeri
kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh
selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke
arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati daripada melihat
ia cacad selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!
Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak
atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu
mengeluarkan sinar yang luar biasa.
"Desss....!" Telapak tangan Suma
Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh Suma
Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia
roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada
yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan
pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau
hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu
akan roboh dan kehilangan nyawa!
"Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma
Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?" Dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur
perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya
tadi mengandung sin-kang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam
dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila,
mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan
mematikannya.
"Oohhh, bocah setan yang kejam....!"
Kam Siang Kui menggeram.
"Manusia iblis yang patut dibasmi!"
Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut
pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti
Hosiang,
"Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan
usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat
mengendalikan kemarahan!" Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian
Ti Hosiang berkata lagi,
"Bagaimana, Suma Hoat. Apakah engkau akan
memegang janji?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih
duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua
kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua
titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa
menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya
saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya
menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang
baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua
Siauw-lim-pai ini? Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia
menjawab,
"Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat,
akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi.... aku tidak
yakin apakah akan berhasil...."
"Berhasil atau tidak merupakan hal kedua,
yang terutama sekali adalah kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng akan
girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu."
"Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk
menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak
pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak
menikah selama hidup...."
Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena
terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan
tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian,
kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya
lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya. Liang Bi
menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak terampunkan lagi. Ia menjadi
beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoinya dengan tusukan
kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai
tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh merangkap kedua tangan
depan dada sambil berkata, "Omitohud.... dosa ditambah dosa lagi. Dengan
kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan
nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa
pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka
memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi." Setelah berkata
demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan
masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi
dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang
tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat,
sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan
muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya, melihat
wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia bisa tertawa-tawa.
Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat
pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya
seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya dan
biarpun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah
meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.
"Bocah setan! Sudah lama mendengar
tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!"
terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
"Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!"
Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, "Tidak hanya jahat, kejam dan
pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai
kepada kami!"
Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang
hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita
masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan
tersenyum.
"Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis
itu telah mati, biarpun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian
bermain cinta, aku masih sanggup!"
"Keparat bermulut busuk!" Kam Siang
Hui membentak, tangannya bergerak.
"Plakkk!" Suma Hoat hampir terguling
ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum
biarpun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. "Baru saja
engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kaulanggar,
bedebah!"
"Ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku
berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan
tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau
kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia juga jahat namanya? Tidak,
Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang
lain. Aku suka sekali melayani karena biarpun sudah agak tua, Toanio berdua
masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat....!"
"Plak-plak!" Kini Suma Hoat
terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan
tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang
dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia
dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka
akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
"Wanita seperti Toanio sudah
berpengalaman, ibarat buah sedang masakmasaknya, manis dan...."
"Kubunuh engkau!" Kam Siang Hui
membentak dan "srat!" pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya
dipegang oleh encinya.
"Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan
hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu," Kam
Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu
lalu berkata, suaranya dingin.
"Suma Hoat, tertawalah karena engkau
sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa
adanya kami yang telah kauhina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah
adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau
adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina
kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!" Kam Siang Kui
menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma
Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ahhhh....!" Suma Hoat menutup muka
dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat
sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia
mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!
"Aduhhh.... ampunkan aku.... kedua
bibi.... ampunkan aku...." ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih,
suaranya mengandung penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama
kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang
enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka
adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah
berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap
kurang ajar sekali!
"Betapa baiknya orang yang masih mampu
menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin...."
Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi
berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di
punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang
menyalurkan sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan
bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian
Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali.
Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan
saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.
"Ahhh.... mengapa kau menolongku? Akan
lebih baik kalau kau membiarkan aku mati...." Suma Hoat mengeluh ketika
mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa
sesak di dadanya.
"Jai-hwa-sian.... baru sekali ini selama
hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti
engkau kudapati pingsan di situ dan menerita luka dalam yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu masih belum
aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun.
Aihhh.... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat
mengagumimu, atau saudaramu.... ceritakanlah apa yang terjadi?"
Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu
dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya,
Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang
kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan
perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak
tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!
Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira
dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak, Suma Hoat
menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang
benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa,
membunuh diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir
ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada
wanita, benci di sampingdorongan
berahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa
dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar
terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas
mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng
kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang
begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.
Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala
perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.
"Aihhh...., betapa banyak aku bertemu
orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat
penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera
Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam
Liong? Ah.... ah...., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling
Emas! Pantas.... pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua
Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu.
Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya
begitu rupa!"
Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat
muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. "Dia mengorbankan diri
semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....! Aku sudah terlalu
rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa
dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa
makin berat batinku...."
Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala.
"Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan
hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah
seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya
berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia
hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian, dan di
samping itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan
bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan
Beng-kauw!"
Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan
terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang
menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua
Siauw-lim-pai kepada mereka.
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"
"Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang
bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali
Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama
menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang
hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu
itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja membuat
dirinya lumpuh tak berdaya!"
"Eh, mengapa begitu?"
Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang
wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. "Saudara Suma Hoat,
apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian
tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti
dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda.
Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi
datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang ke dua
adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang
Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan
kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot
sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah
orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak
mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian
untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia,
untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti
Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu
saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun
merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka, dia
sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan
untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia
mengorbankan diri untuk menyadarkanmu."
Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat,
alisnya berkerut. "Aihhhh....! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu
kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa
aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?" Dia mengeluh
penuh penyesalan.
Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Tidak
aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan
penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang
terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk
menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu."
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah,
engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua
riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang
harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?" Suma Hoat memegang lengan Im-yang
Seng-cu yang menjadi terharu hatinya. Ia membalas pegangan itu dan berkata,
"Kedua bibimu berjuang untuk merampas
kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan
mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita
berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini,
selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita
melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan
terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama."
Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri
dan wajahnya berseri. "Bagus sekali! Terima kasih atas nasihatmu, Im-yang
Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk
membantu kedua orang bibiku itu!"
Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar.
Kegembiraannya datang kembali.
"Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya
lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha!
Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!" Kedua orang yang berilmu tinggi
ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua
orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.
***
Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan
mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan
pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin
Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin
sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini
untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti
agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat. Malam masih jauh,
saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang
tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah
diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini
teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan
tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran
Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah
menjadi pembantunya yang setia!
Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya
yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji
Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya
karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu
yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat
sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap
bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan
memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung
pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?
Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia
teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia
mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri
kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan
suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah
suhengnya masih berada di sana? Dan sumoirya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoinya
itu pun berada di sana?
Teringat akan suhengnya, Maya melamun jauh dan
di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari
cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga mencinta suheng
mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka
hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya
amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan
sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena
tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai
tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya,
memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!
"Maya...."
Dara perkasa ini terkejut, menengok dan
alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya.
Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,
"Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau
menemuiku?"
"Maya.... aku.... aku...." Ji Kun
menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda
ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya
"li-ciangkun".
"Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau
hendak bicara apa? Katakanlah!"
Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh
selidik, kemudian menghela napas dan berkata, "Maya, katakanlah, apakah selama
aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kauanggap aku telah berjasa
dan melaksanakan tugasku dengan baik?" Maya mengerutkan kening, tidak tahu
dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk
dan menjawab, "Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan
bantuanmu."
"Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi
lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh,
semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku....
aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya.
Aku cinta padamu!"
Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya
menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta
padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan keharuan di hatinya.
Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji
Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal
aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa,
dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung
menjawab keras,
"Can Ji Kun, betapa berani engkau
mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kaukira mataku buta
tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja
engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan
menyatakan cinta kcpadaku?"
"Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi
dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta.
Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku
cinta padamu!"
"Sudahlah!" Maya berkata jengkel.
"Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan
Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah
tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?"
"Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik
karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur
dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak
kasihankah engkau kepadaku?" Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan
membentak, "Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau
atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku
melarang engkau bicara tentang cinta!"
"Maya, aku siap membantu dengan taruhan
nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta
kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...."
"Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu
menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria
lain!"
"Maya.... apakah.... apakah hati dan
cintamu telah dimiliki pria lain?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa
disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua
titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri,
memegang lengannya dan bertanya,
"Siapa dia, Maya? Siapa pria yang
menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!"
Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan
memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. "Can Ji Kun, hentikan
segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu.
Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!" Setelah berkata demikian, ia
meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan
beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,
"Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’
kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"
Ji Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di
kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang
kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu
ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak
terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya,
seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah. Betapapun juga, tidak dapat
dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta
kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya
pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat
sambutan, seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul
perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah
menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf
dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar
perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar
tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan
itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding
pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan
menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan
ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu
muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu bahwa
sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya
dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan juga
saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan
berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan
kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika melihat kedua orang itu bertanding
mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan
Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun
mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan,
mengelebatkan pedangnya.
"Cring-cring....!" Ji Kun dan Yan
Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.
"Apakah kalian sudah gila? Hentikan
pertandingan ini!" bentak Maya.
"Aku harus membunuhnya!" Yan Hwa
berseru dan menerjang maju lagi.
"Perempuan sombong, kaukira begitu
mudah?" Ji Kun balas membentak.
"Tranggg.....!" Pedang mereka
bertemu dan bunga api berhamburan.
"Berhenti kataku!" Maya menerjang
lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata mengancam leher
kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.
"Kalian dua orang gila! Kita menghadapi
serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini?
Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling
serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi
murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang
kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan
mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa
didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi
pengajaran kepada kalian!"
Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang
itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh
kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja.
Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut
oleh Yan Hwa.
"Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku
yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih
menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku,
Sumoi."
Yan Hwa menarik napas panjang. "Aku yang
salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku
yang minta maaf."
Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat
sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, "Ji Kun dan Yan
Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah
orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama
menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu.
Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan
untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung
pedang seperti musuh-musuh besar!"
"Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita
melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."
"Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu
harus diobati."
"Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita
begitu terburu nafsu?"
Kedua orang itu saling menghampiri lalu
bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan
menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah,
harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya
itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa
mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul,
sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung
sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu saling mencinta,
akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan!
Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji
Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan
cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan
tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh
cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas,
sudah memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga
sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu
kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat
mata keranjang?
Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan
Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji
Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan
diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan
serigalanya. Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau
Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak
dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung
itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang
lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka
mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh,
karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai
meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut
kedatangan mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan
merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu
dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding
terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih lawan,
hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan
mereka.
Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam
seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling
sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan
sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur
barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti
keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat. Jumlah pasukan
Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah
diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik
musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada
penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga
sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan
belakang.
Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di
waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan-awan
gelap nenutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal
seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya manusia
mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan
menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan
oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.
Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu
hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu
terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung
benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah
itu untuk menghantam dari tiga jurusan. Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung
yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan,
dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang
dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu! Pasukan
berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat
dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya,
Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari
orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan
gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini
akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah. Akan tetapi, kalau di dalam
perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala, liar yang langsung menerjang
mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik
ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh
seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala,
tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi
karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang
pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat
sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaanpasukannya. Ia berteriak-teriak membagi tugas.
Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa yang menyerang
dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin
oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar
kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan
armada di timur yang memberontak.
"Biar kuhadapi sendiri pemberontak
itu!" bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di
atas kudanya ke depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah
berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan
meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok.
Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat
dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum
hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara
meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala
menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat.
Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya
oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu
mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua
serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih
dari setengahnya. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan
Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini
benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang
seolah-olah hendak saling berlumba, berbanyak-banyakan membabat musuh! Mereka
menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh
Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk
menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu barisan Mancu.
"Bala bantuan datang!" Teriakan ini
berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan
pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka.
Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang
dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat
dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan
mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar
tidak berani mendekati mereka.
Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu
yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka
telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih
besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan
keadatan yang membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah
direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah dibikin
kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah mereka kini hampir
seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya
pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya
dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali
tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan
baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu
barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang
barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia
membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan
Siangkoan Lee.
Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat
perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma
Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang sehingga
dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu.
Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di
utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka
ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah
orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah,
"Apakah kalian bertiga sudah menjadi
gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"
Ong Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya
menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng
Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma Kiat sambil
berkata,
"Suma Kiat! Engkau sendiri sudah
mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah
perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau
menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara.
Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"
Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya
terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan suara.
Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke
arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat,
maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang
digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara
mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak
lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.
"Krekkkk! Desss!" Tombak itu patah,
tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang berteriak
keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan
tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam
kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan
Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!
"Hayo kalian berdua lekas berlutut dan
menarik kembali pasukan!" Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong Hui dan
Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat Ong Ki
Bu.
Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah
ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata mereka,
menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu
Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu.
Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu
perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan
selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah
jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal
dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.
Akan tetapi biarpun tiga orang panglima itu
telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan Sung yang
dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini, Suma Kiat
menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju
membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat
berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara
dahsyat.
"Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma
Kiat datang menyerahkan nyawanya!" Can Ji Kun ketawa dan menerjang maju
didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari pedang
di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.
"Trang-trang....!" Suma Kiat
terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata
itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis.
Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,
"Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"
"Buka telingamu lebar-lebar!" Ok Yan
Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. "Kami adalah
murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!"
Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma
Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia
tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya,
juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara
Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada
Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas.
Matanya melotot dan ia membentak,
"Kebetulan sekali! Aku tidak
berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang
Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!"
Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan
pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam
(Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.
"Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup
darahmu!" Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya
sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini
khawatir kalau-kalau kalah dulu!
Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang
Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang itu telah
digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini
ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar
biasa. Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan
Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan
Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat memiliki tingkat
kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga menyaksikan
kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang
mengandung hawa mujijat yang mengerikan!
Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan
Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para perajurit Pasukan Maut
seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju
sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan
Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini keadaan
menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya,
biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat
mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah
kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan
Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingikehebatan
ilmu pedang Yan Hwa.
Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah
pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat membuat
keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi
kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan
tubuh dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan
lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat
betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek
San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga
didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri
mereka.
"Trangggg....!" Tubuh Suma Kiat
terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia
memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.
"Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima
Wanita Maya yang terkenal itu?" bentaknya.
Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan
hati Suma Kiat. "Benar, akulah Maya. Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat?
Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut
utusan Kerajaan Yucen?"
Suma Kiat membelalakkan matanya.
"Engkau....? Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?" Diam-diam ia
bergidik. Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas
lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul
keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri
dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi
gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa
pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang
berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu!
Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang
pembantunya sudah tidak dapat membebaskandiri.
Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan
gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika
tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.
"Persetan kalian! Mampuslah!" Kedua
tangan panglima ini bergerak.
"Awas jarum berbisa!" Maya cepat
berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan bajunya.
Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira
yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja
Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya
cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan
tangan kiri Kwa-huciang.
"Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!"
Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang
seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa
jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan, menggigit
bibir menahan rasa nyeri.
"Biar kurawat sendiri lukanya,
Li-ciangkun, lebih balk tangkap dia!" Ia menuding ke depan. Maya baru
teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah
meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk
pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas
ubun-ubun!
"Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!"
Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok
Yan Hwa.
"Pengecut besar!" Maya berseru.
"Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima
macam apa engkau ini?"
Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka
dan berdarah. "Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan
perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan
pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"
"Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku
tidak takut mati. Serang saja!" Pangeran Bharigan yang sudah dibuat tidak
berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, "Can Ji Kun! Ok
Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah
melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, "Tahan!"
Kedua orang muda itu tidak berani membangkang
dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan
berkata, "Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan
dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu
sekarang?"
"Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan
terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?"
"Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku
akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya
untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia
dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang
gagah, kalau engkau masih memiliki slfat kegagahan!"
"Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak
ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja Talibu adalah
adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu calon
isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku. Apakah engkau
sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar
kepadaku?"
"Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat.
Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan, dan aku
pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa
diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau
membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!"
"Ha-ha-ha! Maya, engkau membela
mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan!
Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya?
Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri
seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri...."
"Keparat busuk, tutup mulutmu dan
bunuhlah aku!" Pangeran Bharigan membentak marah sekali.
"Suma Kiat, bagaimana?" Maya
menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.
"Ha-ha-ha, baiklah. Aku bebaskan dia! Ci
Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!" Suma Kiat melepaskan
Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah
pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas
panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan
pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.
"Trang-tranggg....!"
"Ehhh! Engkau.... melindungi dan membela
dia?" Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil melintangkan
pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak. Maya menyarungkan
kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan menghalang tadi,
menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.
"Tidak, aku tidak membela dia melainkan
membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih menghargai kehormatan
daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji sendiri? Apakah
hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi
Mutiara Hitam yang gagah perkasa?"
Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan
diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak hal, Maya ini menyerupai
guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang
pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
"Heiii! Tahan senjata! Bebaskan mereka
bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!" Pangeran Bharigan berseru
dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur.
Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa
komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke
arah Maya dan berkata,
"Panglima Wanita Maya yang sakti telah
berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku akan membela
kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!"
Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke
arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang Pangeran itu, disertai
pandang matanya, sama sekall tidak menyembunyikan perasaan di hati pangeran itu
terhadap dirinya!
Kemenangan besar di hari itu disambut meriah
oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan dianugerahi pangkat
tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh Pangeran Bharigan
sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang tentara Sung yang
memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia mengepalai laksaan perajurit Mancu
yang siap setiap saat mematuhi segala perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan
Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang
yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu, diangkat menjadi
penasihat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang
yang berkepandaian.
Karena memang tujuan hati Maya dan
kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada Pemerintah Sung, kepada
bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi
panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya.
Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu
mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.
Raja Mancu yang maklum akan isi hati
pembantu-pembantu kuat ini, berlaku cerdik dan bijaksana. Maya dan
kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan menghadapi
pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh
Pangeran Bharigan yang telah mengetahui riwayat Maya.
Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di
situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara Mancu menjadi kuat dan
mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi pasukan
Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua orang
murid Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin
disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.
Biarpun kedudukannya telah tinggi dan
cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang
dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja
ia menderita rindu kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi
hal-hal yang memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa.
Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas
bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik
seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja! Akan
tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling
serang dengan senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang
kini telah didengar riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua
orang itu bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu
memperlihatkan sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula
dasarnya. Apakah memang benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan
untuk "memanaskan" hati Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.
Akan tetapi, hal itu tidak begitu memberatkan
hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar bingung dan kadang-kadang
menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya
bernama Cia Kim Seng si penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya!
Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta
gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin nyata, bahkan pada suatu senja
pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terang-terangan menyatakan
cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
"Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita
berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar. Kerajaan Khitan
telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama
dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi negara
besar!" Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan oleh Pangeran
Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya menghela napas panjang. "Pangeran
Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan cinta kasihmu terhadap
aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah sekarang
kita telah bekerja sama? Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran.
Bagiku, jodoh hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak."
"Apakah.... apakah tidak ada cinta kasih
sedikit saja di hatimu terhadap diriku?" Pertanyaan Pangeran itu yang
diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan membuat kedua pipi
Maya kemerahan dan hatinya terharu.
"Pangeran, maafkan aku. Aku suka kepadamu
semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si penggembala domba, dan engkau
adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan, budiman,
berkedudukan tinggi, pendeknya, tiada cacad celanya bagi seorang gadis. Akan
tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran."
Wajah yang tampan itu menjadi muram.
"Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta
pria lain?"
Maya mengangkat muka memandang. Mereka saling
berpandangan dan akhirnya Maya menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan
tetapi ia berkata dengan jujur, "Benar, Pangeran."
Pangeran Bharigan menghela napas panjang.
"Aihhh, betapa bahagianya pria itu...."
Di dalam suara Pangeran itu terkandung
kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan dara ini berkata,
"Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku."
Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal
tinju. "Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia itu orang
gila!"
"Pangeran!"
"Maafkan aku, Maya....!" Kemudian
pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri bergembira
sambil berkata, "Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita
hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita
itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia,
dan.... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya."
Biarpun semenjak saat itu sikap Pangeran
Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran itu tidak pernah
lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari pandangan mata
pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati pangeran itu
semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih mengharapkan sambutannya.
Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung, teringat dengan hati
perih kepada Kam Han Ki, suhengnya dan juga gurunya yang amat dicintanya.
Pada suatu hari, selagi Pangeran Bharigan
berunding dengan Maya, membicarakan pergerakan bala tentara Yucen tak jauh dari
perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan bahwa pasukan Mancu
yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar
dan amat kuat! Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya
kocar-kacir. Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu
membawa kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala
panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan
sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!
Perwira itu berlutut dan membawa baki yang
terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun muka berubah pucat oleh
Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar menahan
marah ketika ia membentak,
"Kubur kepala itu dengan upacara
kebesaran!"
Perwira itu pergi dan Sang Pangeran
menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram, "Sungguh aneh
sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang
menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai
tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah
kepada kita!"
Seorang perwira lain dari pasukan yang
terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen terdapat seorang
panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun
orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu berantakan. Juga
Panglima Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan
mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.
"Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin
pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!" kata Maya dengan marah.
"Aih, menurut laporan, jumlah pasukan
Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja. Tidak perlu engkau merendahkan
diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya."
Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu
berusaha untuk mengangkat derajatnya. "Kalau begitu, aku akan menyuruh Ji
Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk menghancurkan pasukan
Yucen."
Pangeran Bharigan mengangguk, "Baiklah,
kalau kedua orang panglima yang saling berlumba membunuh musuh itu maju
bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis." Dia tersenyum puas
karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu
amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun kedudukan mereka
sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke
medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu
seakan-akan berlumba, berbanyak-banyak minum darah musuh! Bahkan orang-orang
dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan
Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang
Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam
(Pedang Iblis Betina)!
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah
Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang mengalahkan pasukan
Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah mendengar
akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah gatal-gatal untuk
menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun dan Yan Hwa lalu
mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki
watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh
ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing hanya
memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan
Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka berangkat
dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil bernyanyi-nyanyi.
Setelah tiba di perbatasan, mereka disambut
oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru. Debu mengepul tinggi,
suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara
hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan
golok pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah mulai membasahi
rumput dan tanah.
Ji Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat
turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka berubah menjadi dua sinar
kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit seorang
lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis yang
haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat sendiri bahwa
mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih banyak. Sambil merobohkan
lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban mereka.
Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini
memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga pasukan Yucen terdesak
hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama sekali menyaksikan
pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan
semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu mulai kocar-kacir dan
terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang
tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlumba dengan
telapak tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan pedang sama mengerikannya
dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau dada seorang
perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri orang ini.
Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau perajurit, akan
tetapi agaknya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik karena
mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini muncul.
Laki-laki muda rupawan ini bukan lain adalah
Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong Kwi yang telah
menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati Kam Han Ki
remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu yang dianggap sebagai
biang keladi atau penyebab kematian bekas kekasihnya itu. Dialah orangnya yang
telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah yang memenggal
kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar
dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki
menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa
pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan mundur, mereka menjadi marah
sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat seorang yang sakti,
maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk seperti seekor naga
menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara
Hitam ini menjadi marah. Seperti berlumba mereka lalu melesat ke depan,
merobohkan setiap orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya beberapa
menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu mengamuk.
Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa
sudah menyerbu dengan pedang mereka, menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut
yang membuat pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang
mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar pedang yang mendatangkan angin
berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu
memiliki orang-orang sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat
tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua batang pedang
itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya
adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu,
bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu tentulah
dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu. Yang menyeramkan hatinya
adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu, pedang
yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda
ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal
orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.
Adapun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat
pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang lebih ini, yang
mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang
rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka, terhadap Sepasang
Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki itu mencelat ke
belakang.
"Sumoi, mari kita lihat siapa di antara
kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!"
"Ah, sukar menentukan kalau hanya
membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!"
Han Ki mengerutkan keningnya dan berkata,
"Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian lumayan, namun
berwatak tinggi hati. Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak
meningkatkan akhlak kalian."
Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan
pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak, "Setan sombong! Kematian
sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul engkau
mencaci guru kami, keparat!"
"Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita
adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka mulut
besar!"
Benar saja, Han Ki terkejut bukan main
mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena Mutiara Hitam
adalah piauw-cinya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya
mendalam.
"Bagus! Kiranya kalian murid Mutiara
Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan diri menjadi
anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!"
"Jahanam bermulut kotor!" Yan Hwa
kembali memaki, "Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...."
"Buka matamu lebar-lebar!" Han Ki
memotong. "Apakah pakaianku seperti perajurit? Tidak, aku tidak membantu
pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan
Yucen sekalipun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang
tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran
kepada kalian bocah-bocah murtad!"
"Sombong!" Ji Kun sudah menerjang
lagi dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin,
berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan mudah Han Ki mengelak
dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan pedangnya.
Para perajurit kedua pihak yang bertempur di
dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan mundur di
belakang "jago" masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton
pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat
bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah gulungan sinar
pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga orang itu
menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Tadi, ketika kedua orang muda itu mengaku
sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau percaya begitu saja.
Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh
jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid
piauw-cinya. Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan
bahwa mereka menjadi Panglima-panglima Maricu. Kalau benar murid piauw-cinya,
tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki sepasang pedang
yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat, sepasang pedang
yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat permainan ilmu pedang mereka
yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan
gerakan lain, dengan tenaga sin-kang yang amat kuat, dia tidak ragu-ragu lagi
dan tentu saja dia tidak ingin membunuh dua orang murid piauw-cinya ini.
"Kalian murid-murid murtad!" Kam Han
Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan mengelak dari tusukan
pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur, menurunkan pedang dan
"membuka" pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini
tentu saja dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam
yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat
membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap kali ia menangkis, Han Ki merasa
betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat sin-kangnya yang kuat
sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari tempelan, juga kedua orang
lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan kekuatan sin-kang yang amat
luar biasa, selalu menarik kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga
sin-kang. Kini, melihat pancingannya berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang
ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Trakkk!" Dua batang Pedang Iblis
itu menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam sudah
berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang mereka.
Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan tangan
kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan
jarum-jarum dari jarak yang amat dekat. Terpaksa Han Ki menarik pedang dan
tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung
lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya
dari Yan Hwa. Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi dengan
sebuah tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung
sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga sudah
menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya
mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.
Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua
itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mujijat yang disebut Tok-hiat-coh-kut
(Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah
Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang dahsyat
dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam
karena baru terkena angin pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan
roboh dengan tubuh dalam keracunan!
Namun Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang
di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, mungkin tidak kalah
oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya
pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis itu dia menggerakkan
pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang sambil kembali menggunakan
tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di pedangnya, sedangkan
pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan tenaga
sakti Im-kang yang amat kuat.
"Trak-trakk.... plak-plak!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam yang sudah
merasa girang karena pukulan mereka tak dapat dielakkan lawan, berbalik menjadi
terkejut bukan main karena tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di
pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh
lawan terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan
mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan. Secepat kilat tangan kiri
Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji Kun dan Yan
Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa mereka melepaskan pedang
lalu roboh berlutut!
Han Ki yang berhasil merampas pedang mengambil
kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan mengkirik. Benar-benar sepasang
pedang yang mengandung hawa iblis.
"Hemmm, sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan
mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki senjata-senjata yang begini
keji!" Ia berkata.
Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling
pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya, "Siapakah.... siapakah
engkau?"
"orang-orang murtad! Kalian telah
melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak Mutiara Hitam, kalian
tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan
pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat
bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian
berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku
adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku."
Kedua orang muda itu tentu saja sudah
mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka mengerti bahwa
mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek Siansu, berhadapan dengan
suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan teringat akan
guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon Susiok sudi memaafkan. Teecu
berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut balas
kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian
Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas kehancuran
Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!"
Kam Han Ki menarik napas panjang. "Urusan
pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan
kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini? Kalian boleh pergi
dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima Mancu. Dan
pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu akan merasa jijik
dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang iblis ini."
"Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu
adalah pemberian Subo!"
Mendengar ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut
dan memandang sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata
itu. "Apa? Benarkah itu?"
"Sumoi tidak membohong, Susiok.
Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas perintah Subo,
kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu
berdua."
Han Ki menghela napas dan menyerahkan kembali
sepasang pedang itu. "Baiklah, sebetulnya baik buruknya sifat pedang
tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang gurumu
memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini, pergunakanlah
pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi nama gurumu, karena kalau kalian
menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan pedang-pedang pemberian guru
kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!"
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian
menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan medan perang. Setelah
kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati karena kematian Sung
Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam sampai
terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci orang Mancu, dan
kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang berjumlah selaksa orang ia
sambut dengan amukan yang dahsyat.
Pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin oleh kedua
orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan istimewa yang terlatih, rata-rata
perajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat yang tinggi karena
para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya.
Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang ganas dan pasukan-pasukan Yucen
terdesak hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang mengamuk seperti
seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap bertempur dengan
semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju empat orang
sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang di tangan kanan
Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya. Perang yang terjadi itu
benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur.
Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan
biarpun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya,
namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging. Hujan senjata
pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun
tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek,
kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat menyeramkan
keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul
dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecawaan hatinya, segala
kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya,
merobohkan siapa saja yang menentangnya.
Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi
pengamukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat menghadapinya.
Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga
akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang dilatih
oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke tempat yang sudah
dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin perajurit yang sudah
ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya. Han Ki tidak tahu
akan jebakan ini maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan
yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah.
Pedangnya diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan
tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak
dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang ditutupi ranting
dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
"Cring-tranggg.... brettt!" Tak
mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus.
Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan
tetapi sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek
pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan
kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak,
terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi
pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati
jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi baru saja ia berhasil membebaskan
diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru, anak panah yang
mengandung racun dan ada juga anak panah yang mengandung api! Bukan main
berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han Ki yang sudah lelah sekali itu
memutar pedangnya melindungitubuh. Ia
maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu
takkan berhenti dan akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya
dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang menghujankan anak panah. Tiba-tiba
tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah
berikutnya, pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang
bersembunyi di sebelah kirinya.
Han Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi
lawan yang berani mendekat, apalagi karena pihak Mancu harus menjaga desakan
pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biarpun
tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun pengamukan pemuda sakti itu
terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.
Perang di antara kedua pasukan itu masih
berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia sudah tidak
mengamuk lagi. Apalagi mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah
tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang dan ia
menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan
di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya awut-awutan,
seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah kental
menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak ada yang berani mendekatinya
biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu. Ada dua orang
perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda itu
kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang perwira
Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba
pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan dan
belakang dan.... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang.
Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu
Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.
Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar
teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang kacau-balau
dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai mundur. Akan
tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli apakah pasukan
Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya hanyalah membalas kematian
Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai tenaganya habis! Kini mulailah ia
sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya,
pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut
dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian
banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang perajurit Yucen! Dia membunuhi
manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati
kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas
tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.
"Ya Tuhan...., apakah yang telah
kulakukan tadi....?" Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor
binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah
berapa ratus atau berapa ribu orang!
Teringat akan semua perbuatannya sehari tadi,
tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki, apalagi karena ia
teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang
kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah
mimpi yang amat buruk dan mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasihat
gurunya sehingga dia sampai melakukan pembunuhan besar-besaran ini?
Tiba-tiba ia mendengar derap banyak kaki kuda
dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga keadaan di sekelilingnya
sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang baru tiba, masih
segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat pasukan Yucen
kocar-kacir tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap berlutut
memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak diserang orang, bahkan
dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata diserang
orang sekalipun belum tentu dia mau membela diri.
"Suheng....!"
Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok
bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.
"Suheng....!"
Han Ki membuka mata memandang. Hampir dia
tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Seorang wanita cantik dan gagah
perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.
"Maya-sumoi....!" Han Ki tergagap
saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar Mancu.
"Kau.... kau seorang Panglima Mancu?"
"Aihh, Suheng. Kiranya engkau orangnya
yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah, Suheng, mana mungkin ini?
Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah mengakibatkan kehancuran
Khitan? Suheng...."
"Diam!" Han Ki membentak marah lalu
bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu merendahkan
diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan
perajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan
pribadi.... aku.... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan tetapi engkau....
ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah, sekarang engkau
menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau
mau apa? Mau menangkapku? Membunuhku?"
"Suheng....!"
Maya bangkit pula berdiri dan mukanya pucat
sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku? Suheng,
begitu bencikah engkau kepadaku? Aku.... aku bukan gila kedudukan. Aku.... aku
menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan yang telah
hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan
Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku
dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam
tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap
Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang
bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita,
Suheng...."
Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak.
"Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini.
Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang
aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kautinggalkan semua ini, mari kita
mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."
Maya mengerutkan keningnya menjawab perlahan,
"Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu
di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang
terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah
lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat
dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita ke mana perginya Sumoi.
Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa depan
kita."
"Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan
orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku sekarang
sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan hidupmu,
Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...." Dengan hati penuh
duka karena kecewa menyaksikan sumoinya itu ternyata telah menjadi seorang
Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh hendak pergi.
"Tunggu, Suheng....!" Maya
berkelebat dan sudah mFloncat menghadang ke depan suhengnya, memandang dengan
sepasang mata merah dan basah.
Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat
Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. "Bagus, Sumoi.
Lekas kaubuang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari
Khu-sumoi."
"Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku
melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut
bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup
selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena.... hal itu.... hal itu hanya
akan menimbulkan pertentangan dan...."
"Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?" Han
Ki membentak.
"Suheng, tidak tahukah engkau....?
Aku.... aku.... dan Sumoi.... kami.... ah, tak mungkin kami berdua hidup di
sampingmu bersama-sama...."
"Omong kosong! Kau seperti anak kecil
saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari sini. Mari
ikut bersamaku."
"Tidak, Suheng. Kalau Suheng tidak mau
berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es aku tidak bisa ikut. Suheng
harus dapat memilih seorang di antara kami."
"Maya....!"
Maya terisak menangis. "Selamat berpisah,
Suheng...." Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan kemarahan,
kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya menyerang pasukan Yucen
yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan
hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di dalam hatinya, Maya
masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa yang
menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa
cemburu kepada Siauw Bwee!
Pandang matanya berkunang dan kepalanya
menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia
terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, "Maya....
kenapa engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin
menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoiku
juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta kepada kalian yang kukenal
sejak kecil? Maya.... apa yang harus kulakukan kini? Siauw Bwee, aku harus
mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali
ke Pulau Es...." Dengan hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari
daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari sumoinya yang ke dua,
yaitu Khu Siauw Bwee setelah gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, bahkan
mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi
seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya
kalau tidak mengajak Siauw Bwee.
Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han
Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini dia hanya melihat gerakan
pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah
pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu
itu telah menghabiskan tenaganya dan kini, setelah ia sadar akan segala
perbuatannya ditambah dengan pertemuannya dengan Maya, ia merasa batinnya
tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan. Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi
tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan tetapi tidak
sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata batinnya betapa ia telah
melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi orang-orang Mancu tanpa alasan,
hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia
menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat menjadi
begitu lemah.
Teringat ia akan suhunya, Bu Kek Siansu dan ia
menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang manusia dewa yang telah
menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan yang amat
tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang menentukan
nilai seseorang bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan kekuatan
batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa batinnya masih lemah, masih mudah
dikuasai oleh nafsudendam. Ia merasa
menyesal sekali.
Ia harus dapat membujuk Maya agar melepaskan
diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan kewajibannya. Namun, ia
mengenal pula kekerasan hati sumoinya itu sehingga dalan keadaan seperti
sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.
"Aku harus dapat menemukan Khu-sumoi.
Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku membujuk Maya, Khu-sumoi, di
manakah engkau....?" Han Ki mengeluh.
Dalam keadaan berduka itu teringatlah Han Ki
akan semua pengalamannya sejak kecil. Dan teringat ia akan kedua orang encinya.
Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua orang kakak
perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di Ta-liang-san
belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam keadaan tertekan
hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya kepada kedua orang encinya itu.
Akhirnya, setelah bersamadhi di lereng gunung itu selama semalam untuk
memulihkan tenaganya, pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan
pergi menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liang-san karena dia tahu bahwa kedua
orang sucinya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng oleh paman
kakeknya, Kauw Bian Cinjin.
***
Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur,
di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang dilingkari
tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah dan
juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan
gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani
datang mendekat. Para penduduk di kaki pegunungan ini seringkali melihat
orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti
barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan
adakalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.
Biarpun semua barang dan tawanan itu digiring
memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa perampokan-perampokan
yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng
besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa
benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama
yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw
terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh menjadi tulang punggung
Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada
penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.
Memang Beng-kauw kini telah berubah sama
sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang
berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong,
maka biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok
belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah
seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu tanpa
pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti
segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan kepandaiannya yang
tinggi. Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan dan karena hendak
menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh
kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat,
dihormati dan ditakuti banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan
kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua
kaum sesat di daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang
berhasil, harus lebih dulu dibawa ke bentengnya, kemudian dia memilih hasil-hasil
rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan
hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan
wanita cantik!
Karena inilah, maka keadaan di dalam benteng
itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba mewah dan mahal,
gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar yang
berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang
merupakan haremnya tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus
minta ditambah! Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti
dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan
seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia hadiahkan
kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk
memperlengkapi haremnya.
Pihak pimpinan Beng-kauw yang aseli, sudah
sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, namun tiada
seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang
gagah di dunia kang-ouw, yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini,
banyak yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam
perjuangan mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat
sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi,
juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya,
jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum
mereka dapat memasuki benteng.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali
tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng
memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita
muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan pedagang yang
baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta
dibunuh termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu
ditawan. Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan
baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, adapun yang
termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biarpun kedua orang encinya telah
menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik
pula, maka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.
Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan
hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia
menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru,
maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali.
Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu
yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya. Terdengarlah jerit tangis
tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak
buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar
yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang
disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar
suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.
"Tok-tok-tok! Suhu....!" Terdengar
ketukan di pintu kamar itu.
"Setan! Siapa yang sudah bosan hidup
berani menggangguku?" Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.
"Teecu hendak melapor, ada musuh
datang!" Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.
"Heh, keparat!" Hoat Bhok Lama
meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap
memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena
muridnya cantik.
"Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu
mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak
beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?"
"Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu?
Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu
menimbulkan kekacauan. Eh, kaujaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan
membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum
selesai dengan mereka!" Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa
Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar
dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang
sambil menangis mengguguk.
Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga
menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah
menanti dan memberi hormat.
"Di mana mereka? Dan berapa orang yang
datang?"
"Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua
Agama)," jawab seorang pembantunya. "Enci adik Kam Siang Kui dan Kam
Siang Hui yang dulu juga."
"Hemm, mereka benar-benar sudah bosan
hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun cantik,
mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka."
"Wah, sayang, Kauwcu. Mereka
cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan
darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu
diberikan kepada kami saja?"
"Boleh, akan tetapi selanjutnya harus
dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak
dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?"
"Mereka mendaki dari lereng sebelah
utara."
"Aku tidak ingin mengorbankan anak buah
sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap
mereka." Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan
perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat
turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan
sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng
Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu
akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak
takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan
Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai
dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka
telah mencari bantuan namun hasilnya kosong. Para orang-orang gagah sudah
mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani
membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk
memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran, akhirnya
kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri
tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas
dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali
Beng-kauw. Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan
nyawa dan mempersenjatai diri dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan
dan sebatang cambuk di tangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam
itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan
mereka. Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka,
Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa
yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan
pengaruh mujijat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh
Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata
kedua orang cucu keponakan, juga muridnya.
"Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati
benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku menduga bahwa di
bagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan
senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki."
"Baik, Cici," jawab Siang Hui dan
dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman disamping
lebih tinggi tingkat ilmunya.
Mereka berhenti di tepi padang rumput yang
membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri mereka terdapat
gunung-gunung batu karang.
"Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat
mencurigakan!" kata Siang Hui.
"Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru
boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi
jebakan." Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk
dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.
"Trakk!" Batu itu hancur
berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke
atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu
cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata
terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ
sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari,
pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain!
Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw aseli
yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat
diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah
jalan sesat!
"Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras
kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri
Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang
mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik,
mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk
menyambung keluarga?"
"Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar
yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama,
keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan
mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian
tokoh-tokoh Bang-kauw!" Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak
cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.
"Crengggg....!" Siang Kui terhuyung
ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok Lama tertawa
bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua tangannya dan
tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi
gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli.
Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di tangannya.
"Tar-tar....!" Ujung cambuk hitam
ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena ia
mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke belakang,
kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di tangan kiri
menghantam ke arah kepala Siang Hui.
"Cringgg....!" Seperti juga encinya,
ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan tangan
kanannya tergetar.
"Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian
hidup-hidup! Ha-ha!" Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang
gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar
seperti dua bola api.
"Sing-sing-sing, crenggg....!"
Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan
kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling
bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang
senjata ini. Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek
Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti
seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh
atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam
Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang telah
mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi
ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong. Di samping senjata sepasang gembreng yang
amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi dapat pula
mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung,
namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti
Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sin-kang amat kuat.
"Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!"
Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam
mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk
benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka sedangkan dari dalam gulungan sinar
hitam itu, pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk
membalas serangan lawan.
Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang
wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat
kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia
dapat mengeluarkan itmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita itu
bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat
membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor
naga betina yang ganas. Di samping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap
kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada para pembantunya.
Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepadanya, maka akan terlalu
enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan mereka
hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan, pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh
ini dan ke dua ia akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak
buahnya. Bagi dia sendiri, biarpun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua
orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat
memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya!
Karena itulah maka pertandingan itu
berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum bahwa memang
mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari
mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai
untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang
dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh
olehnya!
"Cuit-cuit-tar-tar-tar!" Dua batang
cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat jalan darah
di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.
"Aihhhh!" Hoat Bhok Lama terkejut
sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah
suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka
seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke
belakang. Namun, sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil
melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan
main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya
menjadi lumpuh lengan kanannya. Namun, sin-kang kakek ini kuat sekali dan ia
hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek
ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka, sepasang
gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing!
Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main.
Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh, membuat mereka
berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka. Itulah Soan-hong
Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih
berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu
adalah sepasang gembreng!
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan
perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa
sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah
dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah
tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan
telinga juga menggetarkan jantung mereka. Untuk memusatkan sin-kang menghadapi
lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata dan hanya
mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.
"Cuit-cuittt....!" Ketika Hoat Bhok
Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja,
dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka.
"Cret-crett!" Ujung cambuk bertemu
sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali. Terdengar
kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok
dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang
lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek
Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!
"Siuuut! Siuuutt!" Dua sinar kecil
hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri. Kakek ini
terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke
belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua
buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas,
mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan
Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke
belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang
tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.
Ketua Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan
melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul dari sebelah kirinya
adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di
punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang
matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang
pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia maklum
bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran
seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia
maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia
sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi
kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk
mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah
melompat ke belakang, ke arah padang rumput.
"Manusia terkutuk, hendak lari ke mana
kau?" Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang
Hui.
"Kedua bibi jangan kejar dia!"
Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak
memberi peringatan.
Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu
enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan yang dianggap
sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apalagi
Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar
begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka
dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja,
ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras.
"Moi-moi, ikuti jejak kakiku!" Dia
berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang
dikejarnya.
Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok
Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di belakang Hoat Bhok Lama,
sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di belakang encinya ketika
tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya
yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling ke
dalam air! Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup
tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat di atas
balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan tetapi
balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang
bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan
balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir
dan terjatuhlah mereka ke dalam air.
Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa
kalau mereka di darat, akan tetapi setelah mereka tercebur ke dalam air yang
ternyata dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh
Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan, mereka tidak berdaya
dan menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas
menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana mereka bersembunyi,
lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui. Mereka adalah
ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua
orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa
itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil
membunuh dua orang pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan
pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah
sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!
"Cepat, kita harus menolong mereka!"
teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat. Orang aneh
bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang
seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang
melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam.
Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru
perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka sudah berhasil
membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian
mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui. Namun berat tubuh dua orang
terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka
sambil menarik mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan,
ke arah tepi di seberang yang lebih dekat.
Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan
senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di udara untuk menambah
tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput
dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sernpat berterima
kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus
mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa.
Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah depan.
Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma
Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat
itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.
"Monyet tua itu lihai dan licik sekali,
kita harus membantu bibimu!" Im-yang Seng-cu berkata, "Aku harus
membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!"
Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan
kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu ke seberang
depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan
dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat.
Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika
melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu
untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti
dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan
dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda
yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking
panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya.
Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba
di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas
puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang
menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,
"Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus
dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"
Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak
membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu
agaknya telan insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang
kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang
menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan
mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata
mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian
mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.
Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan
Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti
dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang ringan,
mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,
"Wah, kepandaian kalian boleh juga!
Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"
Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan
menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,
"Anak buah Beng-kauw yang kaupimpin
adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok
Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini,
Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang aseli.
Bagaimana?"
Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan
alisnya berkerut. "Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki
seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga
Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai,
jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti
orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri?
Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi
Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah
repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"
Mereka saling pandang, kemudian Im-yang
Seng-cu tertawa, "Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami
bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa
Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah
menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di
antara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok
Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang
engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu
dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian
kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian
kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau
begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"
"Manusia sombong! Makanlah gembrengku
seorang satu!" bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan
menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga
terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak
sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
"Cringgg! Tranggg!" Pedang di tangan
Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua orang muda
perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu benar-benar
amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan
yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga,
terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari
sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma
Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!
Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari
Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid ke dua adalah Pat-jiu
Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu
tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu. Namun
dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu
rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek
Kauw-ong yang hebat. Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang
Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw
palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua
kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar
dahsyat sekali itu. Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu pasti
mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan di antara
mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga
gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama
untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apalagi
selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang
dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya
banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.
Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat
mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa
ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur
dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di
dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih
pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok
Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah.
Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat
mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung
ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul
pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh
orang lebih.
Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari
sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke
atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok
itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia
merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa
berbahayanya tempat itu, penuh jebakan.
"Bibi berdua, harap jangan mengejar
mereka....!" Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka
karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan
kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau
melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi
karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang
amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik
ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke
puncak gunung karang.
Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di
bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita
perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke
kanan kiri, mencari-cari.
"Bibi.... awaaasss....!" Masih
terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka
injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin
menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!
"Moi-moi, turun....!" Siang Kui
berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun
melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan
tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui
tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak
gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul
batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawa.
"Cici....!" Siang Hui menjerit.
Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari
hujan batu yang sedemikian banyaknya?
Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan
malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti
seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak
tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh
Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak
dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata
lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.
"Desss!" Biarpun Hoat Bhok Lama dapat
menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman
tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung,
akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.
Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu berloncatan
pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya
terluka. Dia berlutut dan bertanya,
"Bagaimana?"
Suma Hoat menyeringai dan menarik napas
panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku, berwarna biru karena
tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan
yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan
tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah
puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia meloncat
bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi.
Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui dan Siang Hui
berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.
"Bibi....! Bibi....!" Suma Hoat
sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah
biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.
"Sabar dan tenanglah, sahabatku.
Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?"
Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar
batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan
terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.
"Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat
melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak
ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan
menangkap lengan orang itu.
"Bi....!" Akan tetapi ia berhenti
memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu
sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah
sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata
melotot dan mulut tersenyum-senyum!
Melihat kakek yang kepalanya besar ini,
Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya
jarang itu dengan keras sekali.
"Takkk!" Akan tetapi tongkatnya
terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan
main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala
terbuat dari baja murni.
Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian
tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun.
Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi
kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!
"Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama,
ya?" Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang
Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan.
Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat
melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.
"Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah
memusuhi Hoat Bhok Lama!" Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu
amat sakti segera berkata.
"Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu,
apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar, dan
kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka
akan mampus." Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa
bergelak sampai keluar air matanya!
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek
itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, "Mohon Locianpwe mengampuni
boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."
Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat
terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Di dalam
perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa
yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang
seperti Bu Kek Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin. Teringatlah ia akan
ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya
besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada
kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang
memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi
hormat di depan kakek itu.
Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang
yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi
muncul di dunia ramai. Di dalam cerita "Mutiara Hitam" kakek
yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar
Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek
Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas
diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja
Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah
menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal.
Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan
bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak
terjangnya yang aneh-aneh.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa keget dan
heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka
bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!
"Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang
kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti
sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak
bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang
bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau
siapa?"
Suma Hoat cepat menjawab, "Dia itu adalah
sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh
Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."
"Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama
sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma
Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang kaumiliki!"
Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia
teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu dan berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu
ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang
tertimbun batu." Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar
batu-batu itu.
"Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi
bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit
batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu
jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati
dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu
ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?"
"Bu-tek Locianpwe benar sekali,
sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat
menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan
membalas kematian kedua orang bibimu," kata Im-yang Seng-cu.
Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat
bangun, pandang matanya beringas. "Kau betul! Mari kita kejar dia!"
"Heitt, nanti dulu!" Bu-tek Lo-jin
berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah
berdiri di depan Suma Hoat. "Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si
Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian
seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul
Jubah Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke
manakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!"
Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi
Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira, "Suma Hoat,
mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?"
Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia
cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka
oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat
betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka
biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata, "Baik,
teecu mentaati perintah Locianpwe. Teccu menyerang!" Tubuhnya sudah
menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan
kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.
"Cuss! Cusss!"
"Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh
ilmu setan ini?" Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua
matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma
Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika
ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga
sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek
itu timbul hawa mujijat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini,
Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu mohon petunjuk."
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal
putih. "Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila
yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang telah
menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang
kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong
memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu
kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru
dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan,
mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam
Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu
masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling
Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh,
orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan
tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu
milik Kam Sian Eng si wanita iblis!"
"Beliau adalah nenek teecu!" Suma
Hoat berkata.
"Aihhhh! Pantas.... pantas....!"
Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil.
"Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat
sekali, jadi dia...."
"Dia adalah ayah teecu!" Suma Hoat
berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun ia
tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.
"Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku!
Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil
murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila
dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau
yang baik?"
"Tentu saja yang baik, Locianpwe!"
Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu
penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya.
Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah
memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh
dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu berahi
yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum
wanita.
Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang
tua dan mulut yang tak bergigi lagi. "Heh-heh, kalau engkau mengerti yang
baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"
Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, "Apa
yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan
menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin
tertawa bergelak sampai keluar air matanya. "Huah-ha-ha-hah, berbahaya
sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni
yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur,
muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih
kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang
menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang
bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima
warisan ilmu-ilmuku?"
"Teecu siap, Suhu."
"Nah, kalau begitu, mari kauikut aku
pergi dari tempat ini!" Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit
berdiri.
"Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau
lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?" Im-yang Seng-cu
menegur.
Suma Hoat memandang gurunya. "Suhu, teecu
harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas
dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan
mengikuti Suhu"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya.
"Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua
bibimu?"
Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit
banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia
menggeleng kepala dan menjawab,
"Sebagai murid, teecu harus mencontoh
Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu
dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membonuhnya karena dendam, melainkan
karena teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak
buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari ancaman perbuatan
jahat mereka."
Kembali kakek itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau
ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah
engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong!
Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau
jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat
Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang
masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali
berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan batu-batu
yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia
merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu. Dia
tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi
murid siapapun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai.
Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh
peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup
bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya, terdapat rasa simpati yang
besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar
kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang
bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.
Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu
meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu tentulah
mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu
runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak
tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah
menjadi jurang-jurang yang amat curam.
Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke
bangunan yang dikelillngl pagar tembok tinggi. Menjelang senja barulah ia
sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan
keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga di depan
pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum bahwa markas
besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan jebakan berbahaya,
melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun terasa amat sunyi karena
tidak ada suara, namun di sebelah dalam benteng itu tampak kesibukan
orang-orang.
Im-yang Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat
ke dalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya
betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia yang
malang-melintang di tempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para
pembantunya. Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu
mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan
darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu
bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala
yang gundul itu!
Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi
itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang dengan khawatir, bahkan
seorang di antara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus mayat-mayat
itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, cepat
menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh hormat dan berkata,
"Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu
kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma Taihiap."
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk kagum,
maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu
telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya
dan menundukkan anak buahnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanyanya.
Orang itu memandang tajam, agaknya terheran
mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini. "Bukankah Taihiap sahabat
baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?"
"Benar, akan tetapi aku tertinggal di
sana. Harap kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan mengapa pula
Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini."
Qrang itu menarik napas panjang, kemudian
setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata, "Taihiap
adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah sepatutnya
mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan saya akan
menceritakan semuanya."
Im-yang Seng-cu mengikuti orang itu memasuki
sebuah bangunan yang cukup mewah dan setelah duduk menghadapi meja dan diberi
suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kiam, orang itu yang dahulunya
seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan
tingginya.
"Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya
mula-myla menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw melakukan perlawanan
mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para pimpinan kami,
bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula di tangan
Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi, dan hanya
kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat meloloskan diri.
Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw yang setia,
tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi, kemudian
tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama, pelajaran-pelajaran ilmu silat
tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami sampai terpikat dan terbujuk pula.
Antara lain, Hoat Bhok Lama mengatakan bahwa Agama Beng-kauw adalah Agama Terang
yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw
yang sejati!"
"Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti
benar akan pelajaran Beng-kauw," kata Im-yang Seng-cu. "Apa saja yang
dikatakannya mengenai penyelewengan itu?"
Lauw Kian lalu bercerita. Menurut pelajaran
Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus dan anggauta
Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism) didirikan oleh Guru
Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah lambang kejahatan.
Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan Terang dari selubungan Kegelapan. Jadi
menurut pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu
Kerajaan Terang dan Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja
dari kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama,
karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw
merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya.
Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan
yang dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa
kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan,
mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama
tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki
kegelapan!
"Betapa mungkin kita dapat mengalahkan
musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa mengetahui
kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui
keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir
dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan
kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan,
apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan
nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita
mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak akan sukar lagi untuk
menundukkannya!"
Demikianlah bujukan dan pelajaran yang disebar
oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang lemah lebih suka menganut
sesuatu yang menyenangkan hati dan badan daripada menganut pelajaran yang sukar
dan tidak menyenangkan hati dan badan. Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar
dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh, sebaliknya mengumbar nafsu
mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat
minat yang besar sekali dari para bekas anggauta Beng-kauw sehingga banyak di
antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua
baru yang jauh lebih "bijaksana" daripada para bekas pengurus lama.
Apalagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama memiliki
kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk dapat
mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk mendengar
penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas panjang. Dia masih belum tua namun
sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh di dunia ini yang membuat
pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh
agama apapun juga dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi
manusia seluruhnya. Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia
yang biarpun dengan akal budi dan pikirannya dapat menerima inti pelajaran
untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan
hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah
pertentangan yang amat menyedihkan. Pertentangan antara hati nurani sendiri
dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi, yang biasanya
sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang
mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja
Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan manusia, yaitu
senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga manusia dengan
senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihatlah
manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa disuruh
tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya, biarpun setiap
hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan lain sifat-sifat
baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
"Hem, dia memang cerdik, mungkin iblis
sendiri yang mengajarinya," kata Im-yang Seng-cu. "Dan bagaimanakah
kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?"
"Hal itu terjadi dua bulan yang
lalu," kata Lauw Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu.
Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, ke
markas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek
ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan
paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian
mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian sahabat yang dikenalnya
itu.
Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek sakti
ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk agar kakek sakti itu
membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai ke seluruh
daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya
akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas Beng-kauw dan membunuh semua
pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu Bu-tek Lo-jin memasuki guha di puncak
yang merupakan tempat jebakan yang amat berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi
terlalu berani dan terlalu ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke
dalam lubang jebakan yang terdapat di guha puncak gunung itu.
"Hoat Bhok Lama menutup lubang dan guha
itu, kami menganggap kakek itu telah tewas." Lauw Kian menutup ceritanya.
"Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama
Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup di
dalam sumur guha itu."
Im-yang Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang
memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang akan dapat
mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup di dalam sumur di puncak,
bahkan ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat rahasia sehingga kakek
itu terbawa runtuh pula ke bawah, dia masih mampu menyelamatkan diri.
"Setelah kini kalian terlepas dari tangan
orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan kalian lakukan?"
Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kami akan meninggalkan tempat ini,
kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas para anggauta
Beng-kauw, bsrsama-sama membangun ksmbali Beng-kauw," jawab Lauw Kian
dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang
tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan
lagi.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk,
"Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya mencurahkan
segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian. Kalau urusan
kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul
pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya bersimpang jalan. Kuharap
saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan
mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan slnar rohaninya,
digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan
tukang pukul, yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki
tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga msmancarkan sinar tsrang
membantu mereka yang ksgslapan. Semoga kalian berhasil."
Im-yang Ssng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan,
berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha, diam-diam ia memujikan semoga
sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selaln memperoleh ilmu kepandaian tinggi
dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri
yang membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga!
***
"Aiihhh...., semua tempat kacau-balau
oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh,
Suheng.... di manakah engkau....?"
Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang
sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan
sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu
dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang
seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke dua dicarinya
dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan
dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan
kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam
Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.
Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu,
Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu
mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung
itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu
duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.
Di dalam perantauannya semenjak meninggalkan
Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal hebat, telah pula
mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi.
Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki
tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan
sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik jelita
seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua
orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh
penasaran, kekecewaan dan kedukaan.
Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi
setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan,
pendengaran dan perasaannya, menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun,
segala kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang
membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan
duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk
membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang
panjang lentik. Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang
panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang
pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian
ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam di dalam
hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai
di hatinya. Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidaksenangan
hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma
Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh
besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan
perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia
selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan. Tentu saja tidak mungkin
baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari
musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri
tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah
cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti
pemberontakan! Biarpun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang
ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang
menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran
dan perasaan hati itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah
dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan
sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu.
".... kosong melengang...."
pikiran melayang
mengejar kenangan
dihimpit kesunyian....
seperti iblis mentertawakan
bunyi daun berkelisik
kerik jengkerik
kerok katak
kokok burung hartu
di luar bising....
namun betapa sunyi melengang
terasa di dalam
seribu suara malam
menambah rasa kesepian...."
Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air
mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas
panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit
hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh
perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu
dan mengelus bulu leher binatang itu.
"Aihh, kudaku yang setia.
Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul
dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar
rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena
kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak
sunyi lagi. Aihhhh...."
Betapapun tinggi ilmu kepandaian silat yang
dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang
batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau
setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang
merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri
dengan keadaan sckelilingnya. Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada
rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu. Kalau dia memiliki
perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara
binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap
angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya,
tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu. Hanya
manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak
maupun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini,
betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak
menyenangkan. Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala
makhluk, membuka rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala
perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian!
Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah
dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala
nafsu dan kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu
menunjukkan pandangan matanya keluar, tidak pernah KE DALAM, maka dia tidak
akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.
Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw
Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa
semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata seorang
pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada
di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat api
unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona
oleh kecantikan dara remaja itu.
Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah
tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau
meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena wataknya
yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah
bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi. Dia bernama Yu Goan. Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu
tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis Khong-sim
Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Adapun ibunya adalah
seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi
terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song
Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini
membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat
aseli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin
Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini orang tuanya, juga
kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman.
Malam itu, kebetulan sekali Yu Goan bermalam
di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan aman sampai munculnya
Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh kagum.
Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka
seorang diri. Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan
berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan
membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani
berkutik, khwatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang
ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal
yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan
yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.
Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya
terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul di belakang
gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan
pemuda ini meraba ke pinggang di mana disimpannya beberapa buah senjata
rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harlmau
merunduknya!
Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik.
"Srattt!" Sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya. Yu Goan
memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit
dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang
ahli!
Karena terhibur oleh kehadiran kudanya,
kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap gerakan di
belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong di
balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang
mata binatang buas, entah harimau entah apa. Akan tetapi begitu ia membalik dan
mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap,
seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia
atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja
sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali
melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo
terheran-heran penuh kekaguman.
Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh
melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan kaki tangan
kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak
menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke
dekat api unggun memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia
merasa bulu tengkuknya berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya
tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam
buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakaan tiga
pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau manusia, tentu
dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa
meninggalkan suara apa-apa!
Seluruh urat saraf di tubuh Siauw Bwee
menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya benda-benda
aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak
seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak
mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas dengan melongo penuh kagum.
Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal
ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang mengancamnya. Apapun
juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu tidak ada
lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun, menambah kayu dan api unggun menyala
lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk
lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil
menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya
dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya.
Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan
mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.
Yu Goan yang berada di atas pohon dan tadi
juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya
dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga
tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti
menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian dan karena dia berada di
tempat tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang pandangan matanya
terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.
Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan
hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong, tidak lagi hanya
tiga pasang, melainkan banyak sekali, muncul di sekitar tempat itu! Untung
baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar
gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini
berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena
tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu "padam" dan
lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah
berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.
Kini Siauw Bwee kembali ke tempatnya dengan
muka penuh karingat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah ia merasa ngeri seperti
saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang
dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis
penghuni hutan yang mengganggunya!
Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia
yang bagaimanapun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh, kalau saja malam tidak
begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera
meninggalkan hutan berhantu ini!
Siauw Bwee menghela napas, tak berdaya.
Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini. Dia duduk
kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya dari keadaan
di sekelilingnya.
Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru menekuk lutut
untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di dekat kakinya dan
tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu mengeluarkan
suara bercicitan ketika meluncur ke atas ke arah pemuda yang menjadi terkejut
bukan main.
"Wuuuuttt! Trakkk!" Biarpun hztnya
segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya diduduki Yu Goan,
menjadi patah terkena hantamannya. Pemuda itu sudah meloncat dengan gerakan
ringan, melayang turun sambil berseru,
"Heit, saya bukan musuh....! Harap Nona
tidak salah sangka, saya bukanlah mahluk-mahluk mengerikan yang memiliki mata
mencorong itu!"
Siauw Bwee memandang tajam ke arah wajah
pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya meraba gagang pedang,
jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki
di atas pohon itu yang mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan,
mereka saling pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin
terpesona. Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita
daripada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!
"Mudah saja membela diri. Sudah jelas
engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak menyangkal
lagi?" Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.
Yu Goan menggeleng kepala. "Saya tidak
menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi bukanlah salahku.
Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah berada di atas pohon
lama sebelum Nona datang dan membuat api unggun di bawah pohon ini."
Siauw Bwee memandang marah, teringat akan
benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya, yang kini ia duga
tentulah perbuatan pemuda ini. "Engkau membohong!"
Yu Goan menarik napas panjang. "Nona,
membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang
pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andaikata Nona yang berada
di sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana
mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa,
bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi."
Siauw Bwee termenung dan akhirnya ia
mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu karena biarpun dari
gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa
pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini
dapat datang dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali.
"Kalau begitu, mengapa engkau diam saja
dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?"
"Habis, apa yang harus kulakukan,
Nona?"
"Mengapa engkau tidak menegurku sehingga
aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?"
"Ahh, mana aku berani, Nona? Andaikata
engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu dan berkenalan.
Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan
bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa
hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak berani diam
saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya mengkhawatirkan suatu
hal...." Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan mukanya yang tampan menjadi
merah sekali, ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur, menurutkan suara
hatinya.
Siauw Bwee kini sudah hilang kemarahannya,
bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus, pandang mata yang
penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusunrapi.
Ia percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat.
Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan
kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak,
"Apa yang kaukhawatirkan itu? Katakanlah
agar aku tidak meragukan kebersihanmu!"
"Yang kukhawatirkan tadi.... eh, anu....,
aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan hal yang
bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas pohon, karena kalau engkau
melakukannya, aku benar-benar akan celaka!"
"Eh, jangan bicara seperti teka-teki.
Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau khawatir aku
lakukan?"
".... hem.... misalnya.... eh, kau merasa
kakimu lelah dan membuka.... sepatu.... atau.... eh, berganti pakaian....
maaf...."
Tiba-tiba Siauw Bwee menahan ketawanya dan
mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air di situ. Kalau ada,
tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini.... bertelanjang
bulat di situ, di bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya
berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya,
"Andaikata benar demikian, mengapa kau
khawatir dan kaukatakan akan celaka?"
"Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu,
tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi."
Siauw Bwee tersenyum dan memandang dengan mata
bersinar. "Sungguh lega hatiku sambitanku tadi tidak mencelakakan engkau.
Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat sopan dan jujur. Siapakah
engkau?"
Pemuda itu menjura dengan hormat, wajahnya
berseri karena dia senang sekali bahwa Nona yang dikaguminya itu tidak marah.
"Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau yang kemalaman di sini maka
bermalam di atas pohon. Dan Nona...."
"Eh, apakah engkau tadi melihat
benda-benda mencorong yang aneh itu?" Siauw Bwee memotongnya.
"Aku melihatnya, dan aku kagum sekali
menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat."
"Hemm, kalau gerakanmu demikian cepat
tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah benda-benda itu
tadi?"
"Aku pun tidak tahu, Nona. Melihat
jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau sampai Nona yang demikian
cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku bukan seorang yang percaya
akan tahyul, hanya.... kiranya tak mungkin manusia memiliki mata seperti itu.
Aihh, sampai sekarang pun aku masih merasa ngeri dan merasa seolah-olah saat
ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita."
Siauw Bwee bergidik, hatinya ngeri, akan
tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia mendapatkan seorang kawan dalam
hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja, matanya melirik ke bawah dan
memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali dan sikapnya
halus seperti itu jarang ia jumpai dan munculnya tidak wajar. Jangan-jangan
penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu?
Tiba-tiba pemuda itu tertawa geli.
"Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman! Sungguh mati,
aku manusia biasa!"
Wajah Siauw Bwee menjadi merah dan ia pun
tersenyum. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menyangka engkau
siluman?"
"Nona memandang ke arah kakiku untuk
melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan? Menurut dongeng, bangsa
siluman kalau menjelma menjadi manusia dapat dikenal dari kakinya yang tidak
menginjak tanah, melainkan berada sejengkal di atas tanah, dan kalau ada
cermin, dia tidak mempunyai bayangan."
"Ihh, aku harus berhati-hati terhadapmu.
Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik oleh rasa ngeri
memikirkan benda-benda mencorong itu."
Pemuda itu mengangguk. "Kalau tidak
bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung kita saling
bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada. Engkau mengasolah, Nona.
Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman takut akan api, maka api
unggun ini harus selalu dijaga jangan sampai padam."
Siauw Bwee menggeleng kepala. "Setelah
munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur? Engkau tidurlah, biar
aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan muncul lagi....
hemmm, ingin aku menggempur mereka!"
"Tidak, Nona. Engkau yang harus tidur dan
aku yang menjaga."
"Tidak! Aku yang menjaga!"
Keduanya saling pandang dan melihat pemuda itu
memandangnya dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kegelian hati, mau
tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru saja bertemu, sudah berbantahan!
"Aku telah tahu bahwa ilmu kepandaian
Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat kepandaianku. Akan tetapi,
betapapun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Mana mungkin
seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas dan membiarkan seorang
wanita melakukan penjagaan? Biarpun bodoh, aku tidaklah sekasar dan kurang ajar
seperti itu, Nona."
Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul lagi
benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku.
Dan jangan lupa, kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas itu sudah lenyap,
tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso."
Yu Goan mengangguk. "Baiklah."
"Akan tetapi awas, jangan kau terlalu
sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan marah!"
Yu Goan tersenyum. Makin tertarik hatinya.
Dara itu cantik jelita melebihi bidadari impian hatinya, berilmu tinggi sekali,
pemberani dan tabah sehingga seorang diri berani bermain di dalam hutan,
dirundung keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara air mata
mendatangkan perasaan iba di hatinya, dan sekarang ternyata selain berwatak
halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur! Seorang dara
yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain!
Siauw Bwee rebah miring membelakangi api
unggun. dan Si Pemuda. Biarpun dia merasa yakin akan sifat-sifat baik pemuda
itu, namun hatinya masih penuh kengerian maka dia hanya akan merasa aman kalau
tidur sambil menghadap ke arah kegelapan dari mana tadi muncul benda-benda
aneh.
Hati Yu Goan merasa lega. Kalau gadis itu
rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia tidak akan berani menatap wajah
gadis itu. Kini, gadis itu membelakanginya sehingga dia mendapat kebebasan
untuk memandangnya, biarpun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung tubuh
belakang di balik pakaian sederhana, dan sedikit kulit tengkuk yang putih
kuning yang membayang di antara dua kepang rambut yang hitam subur, anak-anak
rambut yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi kemerahan
dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis.
Semalam suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak
ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh muncul. Yu Goan tenggelam dalam
kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa malam telah lewat. Dirasakannya
sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutam berkokok dan sinar
keemasan membayang di timur. Malam telah lewat dan pagi mulai menjenguk di
ambang timur!
Siauw Bwee mengulet enak sekali, membalikkan
tubuh, menegangkan otot-otot dan mengembangkan kedua lengan ke atas kepala,
menguap kecil. Pemandangan ini sedemikian indah mengharukan bagi Yu Goan,
membuatnya terpesona akan tetapi ketika hatinya mencela mata yang menikmati
pemandangan itu, dia cepat mengalihkan pandang dari tubuh dan muka yang kini
telentang itu, menunduk.
Kokok ayam hutan memasuki pendengaran Siauw
Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan memandang ke arah api
unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda yang masih duduk dekat api unggun.
Mata gadis itu bersinar marah dan ia membentak,
"Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau
tidak membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak memberi
kesempatan padaku untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?"
Yu Goan bangkit berdiri dan menjawab halus,
"Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku malam tadi. Pertama, aku harus
melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan Nona. Ke dua,
aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan Nona. Dari dua
pilihan itu, aku memilih yang ke dua. Aku menerima salah dan siap menerima
hukuman."
Bagaimana mungkin orang bisa marah menghadapi
sikap yang menyerah seperti inl? Apalagi pemuda itu jelas bermaksud bahwa rela
dimarahi daripada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau dia toh marah terus,
berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan hati Siauw Bwee lenyap dan
dara ini menurunkan kedua lengan yang tadi menegang, membanting kaki kiri dan
berkata,
"Aihhhh! Engkau membikin aku tidak enak
saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikitpun juga, apalagi tidur
semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan penjagaan!"
"Tapi aku senang sekali melakukan penjagaan,
Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu. Agaknya iblis-iblis itu
telah merasa takut mendengarkan ancamanmu."
Siauw Bwee teringat dan cepat ia menyambar
pedangnya, digantungkan di punggung. "Ahh, sekarang kita dapat mencari
iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti bukan iblis!"
"Engkau benar, Nona. Mari kita
mencari!"
Dua orang muda itu lalu mencari di antara
rumput alang-alang dan tetumbuhan di sekitar tempat itu, di tempat-tempat di
mana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan dapat dibayangkan betapa
kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!
"Bukan main! Manusia-manusia apakah
mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?" Yu Goan
berseru.
"Hebatnya, bagaimana mereka dapat
bergerak demikian cepatnya?" Siauw Bwee berkata lirih dan diam-diam ia
terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti gerak kaki tangan kilat dari
rombongan kaki buntung dan lengan buntung, gin-kangnya mencapai tingkat tinggi
sekali. Akan tetapi mengapa semalam dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh
ini? Mungkinkah mereka memiliki kepandaian menghilang seperti setan?
"Jumlah mereka banyak dan tapak kaki
mereka menuju ke satu jurusan. Kita dapat mengikuti mereka." Yu Goan
berkata sambil meneliti tanah.
"Hemm, aku merasa curiga sekali. Mari
kita cari mereka!" Siauw Bwee berkata.
Kedua orang itu lalu berjalan mengikuti arah
jejak tapak kaki yang menuju ke selatan. Setelah berjalan dua jam lamanya,
mereka berdua berhenti di tepi sebuah tebing yang amat curam.
"Ah, tentu di bawah itu sarang
mereka....!" kata Yu Goan menunjuk ke bawah.
Tebing itu amat curam, kiranya tidak kurang
dari dua ribu kaki. Dan jauh di bawah sana kelihatan kecil sekali seperti
mainan kanak-kanak, tampak sebuah perkampungan kecil dengan beberapa buah rumah
sederhana. Lembah di bawah itu kelihatan sunyi, seolah-olah perkampungan itu
tidak ada penghuninya.
"Aneh sekali. Lembah di bawah itu
dikelilingi tebing yang begini curam, seolah-olah terpisah dari dunia ramai.
Siapakah gerangan yang tinggal di bawah sana?" Siauw Bwee berkata,
termangu-mangu.
"Sebaiknya kita mencari jalan turun ke
sana untuk menyelidikinya, Nona."
"Memang begitu kehendakku. Akan tetapi,
aku mendapat firasat di hati bahwa tempat itu amat berbahaya, dan agaknya
orang-orang yang tinggal di tempat seperti itu tentulah orang-orang aneh yang
berilmu tinggi. Aku tidak ingin melihat engkau menghadapi malapetaka di sana,
Yu-twako."
Yu Goan menoleh, mereka berpandangan dan
pemuda itu tersenyum. "Engkau baik sekali, Nona. Jangan khawatir, aku
dapat menjaga diri dengan pedangku."
Sejenak Siauw Bwee memandang pemuda itu.
Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, aku pun percaya bahwa
engkau bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako. Mari kita mencari
jalan turun!"
"Nanti dulu, Nona!"
Siauw Bwee membalikkan tubuh dan melihat
pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia bertanya, "Ada apakah?"
Pemuda itu kelihatan bingung dan ragu-ragu,
agaknya sukar sekali membuka mulut menyatakan isi hatinya. "Harap Nona
sudi memaafkan kalau aku bersikap kurang ajar, karena sungguh tidak sopan bagi
seorang pemuda untuk mengajukan pertanyaan ini kepada seorang dara
terhormat...."
"Aihhh, katakanlah. Apa yang ingin
kaukatakan, Twako? Engkau terlalu sungkan."
"Aku terpaksa mengajukan pertanyaan ini,
Nona, mengingat bahwa kita telah saling berkenalan dan kita bersama menghadapi
hal yang belum kita ketahui bagaimana sifatnya, mungkin berbahaya."
Siauw Bwee mengangguk tak sabar.
"Tanyalah!"
"Aku ingin mengetahui siapakah Nona? Dan
siapakah nama Nona yang mulia?"
Siauw Bwee tertawa dan menggunakan tangan kiri
menutupi mulut. "Hi-hi-hik! Engkau benar-benar lucu sekali, Twako! Engkau
terlalu ditekan dan diselubungi kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya
nama saja apa sih dosanya? Tentu saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku
yang lupa belum memperkenalkan diri, padahal aku telah mengetahui namamu.
Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu, minta maaf segala? Dengarlah, namaku
adalah Khu Siauw Bwee."
"Khu Siauw Bwee....?" Yu Goan
mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar nama ini. Tiba-tiba
ia mengangkat muka memandang. "Khu-lihiap (Pendekar Wanita she Khu), aku
pernah mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam Liong yang menjadi
menteri, murid Menteri Kam Liong itu seorang pahlawan yang gagah perkasa, dan
yang telah gugur bersama gurunya di kota raja karena fitnah. Namanya Khu Tek
San, dan mengingat she itu...." Yu Goan berhenti bicara dan memandang
terbelalak ke wajah jelita yang berubah agak pucat. Dua butir air mata menitik
turun dan bibir yang kecil merah itu bergerak-gerak lalu digigit.
"Khu-lihiap, maafkan aku. Apakah mendiang
Khu Tek San itu...."
Siauw Bwee mengangguk. "Dia adalah ayahku
sendiri!"
Yu Goan cepat mengangkat kedua tangan ke depan
dada, membungkuk penuh hormat. "Ahhh, sudah kuduga bahwa Nona tentulah
bukan orang sembarangan! Kiranya puteri mendiang Khu-ciangkun, murid yang setia
dan gagah perkasa dari mendiang Menteri Kam yang terkenal di seluruh dunia!
Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!"
Siauw Bwee menarik napas panjang.
"Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan hormat itu bisa membuat
orang salah mengerti, mengira bahwa engkau memiliki watak penjilat. Bagimu
mungkin aku puteri seorang pahlawan, akan tetapi banyak orang menganggap aku
puteri seorang pemberontak! Aku tahu bahwa engkau seorang yang terpelajar dan
berbudi halus, penuh kesopanan, dan aku suka bersahabat denganmu, Twako. Akan
tetapi kalau engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan dan sopan itu, aku akan
benci padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang menunduk-nunduk seperti
seorang penjilat!"
Wajah Yu Goan menjadi merah sekali.
"Tidak ada seujung rambut pun di dalam hatiku ingin menjilat kepadamu atau
kepada siapa pun di dunia ini, Nona. Sikapku tidak kubuat-buat dan sewajarnya,
sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak kecil kuterima dalam
pendidikan. Karena itu maafkan aku, Lihiap."
"Twako, aku ingin sekali mengetahui
bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal nama Menteri Kam?"
"Ayah bundaku mengenal baik Menteri Kam
yang sakti, Nona. Terutama sekali ayahku, dia banyak bercerita tentang
pendekar-pendekar sakti keturunan Suling Emas. Ayah amat kagum terhadap
keturunan Suling Emas, kekaguman yang tertanam pula di dalam hatiku. Ah, betapa
ayah dan ibu akan merasa bangga bahwa aku dapat bertemu dan bersahabat dengan
puteri Khu-ciangkun yang terkenal, murid Menteri Kam!"
"Sudahlah, Twako. Aku menjadi pening
mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang kosong itu! Lihat, di bawah
itu mulai ada gerakan!" Siauw Bwee menuding dan ketika Yu Goan memandang
ke bawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak ke sana ke mari akan tetapi
karena jaraknya amat jauh sehingga manusia-manusia di bawah itu hanya kelihatan
sebesar jari tangan, maka mereka tidak dapat melihat jelas.
Dengan hati-hati dari berindap-indap, Siauw
Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun ke lembah di bawah yang penuh rahasia itu.
Akan tetapi dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa tebing yang amat curam
itu tidak mungkin dapat dituruni. Mana mungkin turun melalui dinding karang
yang ratusan kaki tingginya, licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak
atau tangan bergantung? Untuk menggunakan gin-kang meloncat ke bawah? Lebih tak
masuk akal lagi.
Namun Siauw Bwee dan Yu Goan bukanlah
orang-orang lemah yang muda berputus asa. Mereka terus mencari, meneliti setiap
kemungkinan menuruni tebing dan memeriksa sekeliling tebing yang berada di situ
sampai setengah hari mereka mencari jalan turun, namun hasilnya sia-sia. Lembah
di bawah itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak
mungkin dituruni atau didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak mungkin
menuruni tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat menahan tubuh.
Perkampungan di lembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali dari dunia
luar daerah mereka. Mereka seperti hidup di dalam sebuah mangkok, tidak mungkin
dapat menjenguk keluar dari bibir mangkok yang merupakan tebing yang
mengelilingi tempat tinggal mereka.
Akhirnya Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa
mengaku kalah. Mereka telah melakukan pemeriksaan mengitari sekeliling lembah
sampai kembali ke tempat mereka berangkat, tempat mereka mula-mula melakukan
pemeriksaan. Keduanya duduk mengaso di tepi tebing sambil memandang ke bawah
dengan hati penasaran. Dari atas tampak manusia di bawah itu menuju ke suatu
tempat di tengah perkampungan, kemudian tampak api bernyala, asap mengepul
tinggi seolah-olah mereka yang berada di bawah itu membakar sesuatu. Terlalu
tinggi tempat itu untuk dapat melihat jelas apa yang dikerjakan oleh
manusia-manusia di lembah itu.
"Tanpa sayap seperti burung, mana mungkin
menuruni tempat itu?" Yu Goan berkata sambil menghapus peluh dari
lehernya.
"Memang tidak mungkin, kecuali kalau
menggunakan alat." Siauw Bwee berkata memandang ke bawah dengan alis
berkerut. "Menggunakan kaitan besi atau tali untuk merayap ke bawah."
"Akan tetapi terlalu berbahaya. Biarpun
merayap ke bawah tidak amat berbahaya, namun kalau orang-orang di bawah itu
menyambut dengan sikap bermusuh, kita sedang merayap tak berdaya itu tentu
merupakan sasaran yang lunak."
Siauw Bwee mengangguk-angguk. "Memang
aneh sekali. Makin sukar tempat itu didatangi, makin tertarik hatiku untuk
membongkar rahasia mereka itu. Yang mengherankan hati, kalau memang benar
mereka di bawah sana itu yang malam tadi mengganggu kita, bagaimana cara mereka
mendaki tebing?"
"Dan gerakan mereka begitu cepat seperti
menghilang!" Yu Goan berkata.
"Yu-twako, awasss....!" Tiba-tiba
Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya duduk di atas rumput dekat pemuda
itu, mencelat ke belakang, berjungkir-balik beberapa kali. Yu Goan terkejut
pula, meloncat ke atas dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat dara
jelita itu telah mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap kuat
dan berpakaian sederhana kasar seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis itu
mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya bergerak merobohkan lawan! Dari
gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat kepandaian dara ini jauh
lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia dapat menduga bahwa dara itu lebih
pandai daripada ibunya, atau ayahnya sekalipun!
Akan tetapi dia terkejut sekali ketika melihat
bahwa yang datang mengurung tempat itu bukan hanya dua orang yang didorong
roboh oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak sekali. Sebagian sudah
memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang menyelinap di balik pohon-pohon
dan tetumbuhan!
Siauw Bwee tadi sengaja mendorong dua orang
terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa heran hatinya ketika melihat dua
orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika ia tadi berloncatan berjungkir
balik lalu menyerang, dua orang itu membuat gerakan tangan yang baginya amat
canggung dan tidak ada artinya sehingga mudah saja dia mendorong mereka dan
menotok pundak mereka. Akan tetapi sungguh luar biasa. Kedua orang kasar itu
bukan roboh tertotok, melainkan terguling karena tenaga dorongan dan begitu
menyentuh tanah mereka sudah meloncat bangun kembali. Dan kini tampak belasan
orang mengurung dia dan Yu Goan.
"Tahan!" Siauw Bwee membentak ketika
melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak menyerang. Dia melihat
orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti
manusia-manusia liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan
kebodohan, akan tetapi sepasang mata mereka mengeluarkan sinar berkilat! Ah,
kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka yang aneh
seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun! Diam-diam Siauw
Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suhengnya, hanya orang-orang yang
memiliki sin-kang tingkat tinggi saja yang dapat membuat matanya mencorong
seperti mata harimau. Dia dan suci serta suhengnya pun dapat membuat matanya
mencorong kalau dia kehendaki, akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan
itu karena hal demikian hanya akan membuat dia menjadi tontonan! Akan tetapi
orang-orang kasar ini semua memiliki sinar mata yang mencorong!
"Siapakah kalian dan mengapa kalian
mengurung kami berdua?" Siauw Bwee membentak.
Orang-orang itu saling pandang, tidak ada yang
menjawab.
"Heii! Apakah kalian tuli, atau
gagu?" Siauw Bwee membentak lagi.
"Mereka hanya melaksanakan
perintah!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki
berusia kurang lebih empat puluh tahun dari belakang sebatang pohon besar.
Siauw Bwee dan Yu Goan menoleh dan mereka mengerutkan kening melihat bahwa
orang itu tidak segolongan para pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa,
bahkan pakaiannya bersih dari sutera mahal, bentuk pakaian seorang sastrawan,
tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya, juga
pancaran pandang mata orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu.
"Perintah siapa?" Siauw Bwee
bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang menjadi komandan pasukan
orang liar yang mengepung.
"Tentu saja perintah ketua kami. Kalian
berdua memasuki daerah kami, daerah terlarang, karenanya kalian harus menyerah
sebagai tawanan kami untuk kami bawa menghadap Ketua!"
"Hemm, kami berdua tidak salah apa-apa,
mengapa akan dijadikan tawanan?" Yu Goan membantah. "Mau apa kalian
menawan kami?"
Sastrawan itu memandang Yu Goan dan tersenyum
mengejek. "Hanya ketua kami yang akan memutuskan."
"Aku tidak sudi menyerah!" Siauw
Bwee membentak. "Pergilah kalian, jangan menggangguku. Kalian akan
menyesal nanti!"
Sastrawan itu mengerutkan kening, memberi
aba-aba dan menyerbulah belasan orang liar itu. Gerakan mereka kaku sekali,
akan tetapi baik Siauw Bwee maupun Yu Goat terkejut sekali ketika dari gerakan
tangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!
"Hati-hati, Twako. Sin-kang mereka amat
kuat!" Siauw Bwee berseru dan dara perkasa ini sengaja berkelebatan cepat
mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, mempergunakan ilmu mujijat gerak
kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan delapan
orang terrnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi, kembali dia terkejut karena seperti
halnya dua orang yang pertama kali dia robohkan tadi, delapan orang ini pun
meloncat bangun begitu tubuh mereka terbanting ke tanah, sedikitpun tidak
tampak tanda-tanda mereka itu menderita nyeri.
Yu Goan juga cepat mengerahkan gin-kangnya
untuk mengelak ke sana-sini, karena tanpa peringatan Siauw Bwee pun dia maklum
betapa pukulan-pukulan para pengurung liar ini mendatangkan angin keras. Sambil
mengelak, dia sudah menotok jalan darah di leher seorang pengeroyok, dan pada
detik berikutnya, kakinya sudah menendang sambungan lutut seorang pengeroyok
lain. Kedua orang itu terpelanting, akan tetapi mereka mencelat bangun lagi.
Baik totokannya maupun tendangannya tidak hanya membuat kedua orang itu
terpelanting, akan tetapi sama sekali tidak mengalahkan mereka.
Berkali-kali Siauw Bwee dan Yu Goan merobohkan
para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan Si
Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi Siauw Bwee biasa saja. Akan
tetapi jelas terbukti bahwa segala macam pukulan, totokan, tendangan, tidak
mampu merobohkan para pengeroyok yang agaknya memiliki kekebalan luar biasa,
atau tubuh mereka seolah-olah dilindungi oleh semacam hawa mujijat.
Siauw Bwee merasa terheran-heran dan diam-diam
ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki keadaan lawan. Ketika ia sengaja
menerima pukulan dengan telapak tangannya, ia merasa ada hawa yang panas keluar
dari kepalan orang itu, yang cepat dapat ia enyahkan dengan sin-kangnya. Akan
tetapi pukulan kedua orang dari orang yang sama, mengandung hawa yang sejuk
nyaman. Juga Im-kang yang aneh ini tentu saja dapat ia lawan dengan sin-kang yang
amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau Es. Biarpun Siauw Bwee belum tahu
dengan jelas, namun kini ia sudah dapat menduga bahwa para pengeroyoknya itu
biarpun tidak memiliki ilmu silat tinggi, namun memiliki inti tenaga sin-kang
yang amat kuat dan aneh, dan agaknya mereka yang masih rendah ilmu silatnya ini
secara luar biasa telah dapat menggabungkan tenaga sakti Im dan Yang.
"Twako, pergunakan senjatamu!"
Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut pedangnya.
"Sing! Singgg!" Dia sinar berkelebat
ketika dua orang muda itu mencabut pedang mereka dan benar saja seperti yang
diduga Siauw Bwee, para pengeroyok itu, kecuali Si Sastrawan, kelihatan jerih.
"Twako, robohkan akan tetapi jangan bunuh
orang!" Kembali Siauw Bwee berseru dan diam-diam Yu Goan menjadi makin
suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang ternyata selain lihai, cantik
jelita, juga hatinya lembut, tidak kejam.
Orang-orang ini biarpun kelihatan jerih, namun
mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu Goan membacokkan pedangnya, mengarah
bagian yang tidak berbahaya. Dua kali pedangnya berkelebat, menyambar pangkal
lengan seorang dan paha orang ke dua.
"Plak! Plak!" Pedangnya itu mengenai
sasaran, akan tetapi telapak tangannya terasa panas karena dua kali pedangnya
membalik seperti membacok karet yang ulet dan kuat. Dua orang itu terhuyung.
Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi lukanya hanya
merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak terluka sama
sekali. Darah yang keluar hanya merupakan goresan merah pada kulit yang
terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek pedang daripada kulit
mereka.
Demikian pula Siauw Bwee mengalami hal yang
sama. Dia kaget dan makin kagum. Kekebalan yang hebat sekali dimiliki oleh
orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu mereka ini orang-orang yang kasar
dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih sin-kang yang amat mujijat! Apalagi
ketika ia menyerang Si Sastrawan yang dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia
lebih terkejut lagi. Pedangnya selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika
ujungnya mendekati tubuh Si Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang
mendorong senjatanya ke samping! Hal ini membuktikan sin-kang yang amat kuat,
dan untung baginya bahwa sin-kang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama
Si Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sin-kang
yang sedemikian kuatnya itu dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya
dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi pengeroyokan orang-orang yang
sehebat itu tenaga sin-kangnya!
"Tangkap mereka dengan jala!"
Tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.
"Wuuuuttt! Wuuuuutttt!" Para
pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa. Jala
ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka
biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, biruang dan
lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya
dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu
seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah
jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan
para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang
melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee
dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.
Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat
tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang ringan di atas kepalanya itu.
Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya
tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada
benang-benang yang amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan,
halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama
sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap
saja!
Sementara itu, jala yang melayang-layang itu
menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh ke kiri untuk mengelak. Dua orang
pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka
terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki
orang ke dua.
"Dukkk!" Pukulan Si Sastrawan
menyerempet punggungnya. Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biarpun
pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena mengandung tenaga sin-kang yang
hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur
pernapasan. Pada saat itu, bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke
arah kepalanya!
Yu Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha
mengelak dengan cara bergulingan ke atas tanah. Akan tetapi, ternyata dua orang
yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah
melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang
selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi.
Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan
gin-kangnya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan tetapi, jala itu
seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras
pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat
melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh di
luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh
seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh
Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!
Melihat ini, Siauw Bwee kaget dan marah
sekali. Dengan sin-kangnya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw Bwee tidak mampu
membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan gin-kangnya yang
membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala
tidak mungkin dapat menangkapnya! Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar
bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di antara dua
orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali!
Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan
suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan dan robohlah seorang pemegang
jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan, lukanya cukup dalam karena
dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya.
"Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan
membunuh kalian semua!" bentaknya dan bagaikan seekor burung garuda menyambar,
tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan, didahului sinar pedangnya yang
menyambar. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi, "brettt!" kedua
helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!
"Kalau tidak kaulepaskan dia, lehermu yang
akan putus!" Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak.
Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan
tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah
terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.
"Bergeraklah dan sahabatmu ini akan
kubunuh lebih dulu!" Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu
Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.
Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya
menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan
licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala
melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala. Siauw Bwee kaget
dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika
kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan
tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru
keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga
dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut
tertarik, roboh terseret ke depan!
Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang
menlnggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat
lihai itu, datang menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung
jala. Akan tetapi, biarpun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih
memegang pedangnya dan begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang
pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul
kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu
yang meluncur keluar dari dalam jala!
"Tahan....!" Tiba-tiba terdengar
seruan halus dan mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan
sernua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si
Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul
di tempat itu.
"Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala
itu!" Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk
membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.
Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala,
menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar di atas tanah oleh Si
Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih
dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala
kemungklnan tanpa mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ
sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu. Adapun kakek yang muncul
itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua
orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat
buatan, sikapnya palsu dan hal ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu
Goan dan Siauw Bwee. Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang
tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih, matanya yang cekung dan tubuhnya
yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar
yang aneh, lebih mencorong daripada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga
sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si
Sastrawan.
"Jala-jala itu kubikin untuk menangkap
binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan
untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding
dengan orang luar?"
Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab,
hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang di antara
mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada
sastrawan itu.
Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya
ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata, "Ang-siucai,
engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami untuk
mengeroyok dua orang muda ini?"
Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan
suara tenang, "Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang
ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya
mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke
depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi, mereka berdua tidak mau menyerah,
bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran."
Kakek itu mengerutkan keningnya. "Hemmm,
tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka
tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku.
Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula,
karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai
tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih
dulu!"
Anak buah orang-orang liar itu bersama Si
Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu
semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan
tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan
membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan
senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee,
akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia,
maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di
depannya.
Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan,
kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian
membungkuk dan berkata, "Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku
yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya
bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang
sakti."
Siauw Bwee tersenyum. Biarpun sederhana
keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun
mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu
berkata, "Kami berdua hanya kebetulan lewat saja lewat di hutan sana akan
tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti
jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan
perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu.... apakah
ada hubungannya dengan Pangcu?"
Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat
dan ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, "Harap Lihiap tidak
bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak
buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini
dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami, dan jangan pula
kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan
Ji-wi sendiri." Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi
dengan tangan kanan, mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan,
mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang
kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri
di atas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.
"Pangcu...."
"Sssttt....!" Yu Goan mencegah Siauw
Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan
memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.
Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari
biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila
tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut
hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh
kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek
itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan
di atas tanah!
"Pangcu...." Kembali Siauw Bwee
melangkah maju.
"Jangan, biarkan saja. Dia sedang
terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari
penyakitnya."
Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang
penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu,
yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih
rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian
pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan!
Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu
menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan
meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada
dua orang muda itu dan berkata perlahan.
"Maafkan.... ah, aku telah membuat Ji-wi
kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...."
"Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak
tahukah pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan
kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan
hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi
seluruh tubuh Pangcu!"
Kakek itu menjadi pucat wajahnya.
"Bagaimana Sicu bisa tahu?"
"Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu
pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?"
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk
bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan
tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak
tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda
bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata,
"Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena
racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sin-kang di tubuh Pangcu tak
dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan
kadang-kadang terasa amat dingin adakalanya amat panas hampir tak tertahankan?
Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?"
Kakek itu terbelalak. "Sicu benar! Ahh,
kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru
Sicu?"
"Aku mendapat ilmu pengobatan dari
kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin."
"Ahh, kiranya Si Raja Obat Song
Hai?" kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya.
"Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menalong nyawaku."
"Sudah menjadi kewajiban setiap orang
untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu
tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sin-kang yang amat besar dan pula bukan di
sini tempatnya."
"Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah,
silakan Ji-wi datang ke tempat kami!"
Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang
kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi
meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan. Di tengah jalan Siauw Bwee berkata,
"Wah, kiranya engkau seorang ahli
pengobatan yang lihai, Yu-twako."
"Ahh, pengertianku hanya dangkal saja,
Lihiap. Pula, aku merasa sangsi apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan
orang tua ini."
"Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil
atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang
telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku
telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri
bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini."
Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu
berkata, "Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan."
Biarpun kakek itu belum pernah mendengar nama
dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw,
dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka
ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya
tibalah mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan
tetapi tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah
menjadi sawah dan kebun sayur.
"Daerah kami ini jarang didatangi orang
luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam
kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup
bahagia," kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu
memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya. Orang-orang yang berpakaian
sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi, nampak hilir mudik dan sibuk
bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu,
maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun
yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua
mereka.
Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua
itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa
kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa!
Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca
indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman
kenikmatan jasmani dan kesenangan. Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan
keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha
pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh,
padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat
saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung
habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa
sadar. Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang
diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi, dapat
merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan
jntung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada
perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!
Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar,
akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat daripada bata
bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja.
Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah
selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini!
Mereka duduk berhadapan di atas dipan, Yu Goan
dan Ouw-pangcu. Adapun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari situ
mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu
pengobatan maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati
Ouw-pangcu.
"Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku
sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena
pukul," kata kakek itu, menyatakan keheranannya biarpun dia tidak
meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
"Engkau tidak terluka oleh pukulan,
Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan
racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri
dengan sin-kang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai
sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang
amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling
menggempur tubuhmu sendiri."
Kakek itu membelalakkan matanya. "Betapa
mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi.... keteranganmu
tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sin-kang yang....
yang...." Kakek itu kelihatan ragu-ragu.
"Hemm, bukankah engkau melatih
Im-yang-sin-kang secara berbareng dan pandai menggunakan kedua sin-kang itu
secara berbareng?" Tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek
itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.
Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee
penuh kagum. "Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia
ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah,
sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia, akan tetapi heran sekali mengapa
engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan
yang cocok."
"Hemm, apa anehnya Pangcu?" Siauw
Bwee berkata. "Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka
rata-rata memiliki sin-kang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...."
Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat.
"Aihh! Apakah bisa jadi....?"
"Apa yang hendak kaukatakan,
Pangcu?" Yu Goan berkata.
"Racun itu....! Anak buahku tidak mungkin
meracuniku, akan tetapi dia.... Ang-siucai itu.... dia banyak mengajarkan ilmu
masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu....!"
Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih
hampir berbisik, "Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya
keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap
Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku,
Sicu."
Kakek ini dengan suara perlahan lalu
menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu
tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya
masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana,
bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh
dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan
sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian
agar mereka itu dapat menjaga diri, dan dapat mengalahkan segala tantangan
hidup dalam dunia yang masih liar itu.
"Karena pimpinan Locianpwe itulah maka
kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang
buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa
kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali
hidup di antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami,
malapetaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan."
"Penyakit apakah, Pangcu?" Siauw
Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga
siapa gerangan kakek sakti itu.
"Penyakit kusta."
"Kysta....?" Yu Goan sebagai seorang
ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah
dapat diobati itu. "Lalu bagaimana, Pangcu?"
"Inilah sebetulnya rahasia besar kami
yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain.
Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan
sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka
itu ditempatkan di lembah."
"Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di
bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?" tanya Siauw Bwee.
"Benar, jadi di antara mereka dan kami
sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di
antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh
Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat mereka lebih tinggi dari
pada kami orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka
itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sin-kang yang disebut
Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di
lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu
aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sin-kang itu dengan
mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa
mengira, sekarang aku menjadi korban dari sin-kang itu sendiri."
"Kenapa engkau keracunan, Pangcu. Dan
agaknya ada orang yang sengaja meracunimu," kata Yu Goan.
"Tentu orang yang tahu akan
Jit-goat-sin-kang, dan satu-satunya.... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi
tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi
beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang
bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis. Mungkinkah
dia....? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini
pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar
aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat
lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam
beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak
mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi."
"Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan
Pangcu duduk bersila dan aku akan membantumu membersihkan hawa beracun yang
mengacaukan sin-kang di tubuhmu." kata Yu Goan. Pemuda ini lalu duduk
bersila di atas dipan, di belakang kakek itu, kemudian ia menempelkan kedua
telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sin-kangnya.
Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan
tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan
matanya terbelalak.
Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan
membantu pemuda itu berdiri. Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang
putih. "Bagaimana, Sicu?"
"Bagaimana, Twako? Kenapa kau
jatuh?" Siauw Bwee juga bertanya.
Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng
kepala. "Percuma. Agaknya Jit-goat-sin-kang yang kaumiliki itu luar biasa
kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang
yang memiliki sin-kang jauh lebih tinggi daripada kekuatanmu sendiri.
Sin-kangmu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang
biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk
menahan penolakan Jit-goat-sin-kang yang berlawanan itu, sebagian untuk
mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sin-kangmu dan
bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan
seluruh sin-kangku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sin-kang
yang saling berlawanan itu, apalagi untuk mengusir hawa beracun."
"Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi
maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau
yang kukhawatirkan terjadi, kalau samnpai timbul pemberontakan, celakalah anak
buahku semua...." Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.
"Pangcu, jangan khawatir. Aku akan
membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus
kulakukan?"
"Khu-lihiap...., hal itu.... berbahaya
sekali. Jit-goat-sin-kang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau
akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!"
"Sicu benar, Lihiap. Harap jangan
main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku," Ouw-pangcu juga berkata
dengan hati tulus.
Siauw Bwee tersenyum. "Kalau belum dicoba
mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya."
"Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana
boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada
tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sin-kangmu lebih lemah daripada
sin-kangku, akan tetapi betapapun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sin-kang
yang liar di tubuh Ouw-pangcu."
Kembali Siauw Bwee tersenyum.
"Ouw-pangcu, Locianpwe yang kausebutkan tadi, apakah dia seorang kakek
bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya
Bu-tek Lo-jin?"
Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai
dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak.
"Ini.... ini.... rahasia besar.... bagaimana Lihiap bisa tahu....?"
tanyanya gugup dan Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya
akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh
sekali, bahkan lebih terkenal daripada nama Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah
kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!
"Karena engkau telah mempercayakan
rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako,
maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama
besar Bu-tek Lo-jin dari suhengku ketika aku digemblengnya di Pulau Es."
"Pulau Es....?" Kini seruan itu
keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.
"Khu-lihiap, jadi engkau.... murid
penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu....?" Yu
Goan bertanya dengan mata terbelalak.
Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. "Aku
murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang
mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suciku
dan suhengku."
"Ah, aku bersikap kurang
hormat....!" Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru
setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik,
tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan! Kakek itu duduk bersila dan
memejamkan mata sambil berkata,
"Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku
menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!"
"Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku
pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan
banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya
mengobati luka Ouw-pangcu."
Dengan keheranan dan kekaguman masih
menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara
gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu,
"Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!"
Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi
dengan tenang Siauw Bwee berkata, "Twako, kau menjaga di pintu, biar aku
mengobatinya." Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya
ke punggung kakek itu. Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi
para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sin-kang di
tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sin-kang yang amat kuat, juga sin-kang yang
keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sin-kang, panas dan
dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sin-kang?
Sebenarnya bukanlah demikian, Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sin-kang
dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es
di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu
saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.
Sementara itu, di luar pondok terjadi perang
yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah
lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam
Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ, telah menurunkan ilmu silat
kepada para kawan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah
Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
"Bunuh Ouw-pangcu!" terdengar
teriakan Ang-siucai dan ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak
buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai
yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu
untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu
rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun
tidak pura-pura. Biasanya, dia menyembunyikan kepandaiannya maka ia selalu
bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ, akan tetapi sekarang, di
samping tenaga Jit-goat-sin-kang yang telah dimilikinya walaupun belum mencapai
tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup
hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini
menyerbu ke pondok tempat tinggal Ouw-pangcu!
Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat
menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda
itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak
berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya
bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sin-kang itu
tidak dapat dihentikan di tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang
diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai
mengobati kakek itu.
Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk
dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan.
Pemuda ini sudah melolos pedang dan sarung pedangnya karena dia maklum akan
menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang
digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya.
Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sin-kang yang amat
kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu
menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet
perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka
kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada
kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit. Dua orang itu
sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas, akan tetapi Yu Goan
yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan,
bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga
orang itu terhuyung ke belakang, cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba
pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan ini yang
menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya lalu terjungkal. Adapun
penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan
tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh.
Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher dan biarpun leher itu juga kebal,
namun goresan mengenai jalan darah di leher sehingga tampak getar ketika
bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han,
dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini,
menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu.
Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang
menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu
Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang,
berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee
yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri
bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang
termasuk Ang-siucai, dan dua orang Han yang lihai!
Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa.
Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari
tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang
amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat,
bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah
mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di
tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat,
dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!
Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh
dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga
Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee
dan Ouw-pangcu. Andaikata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja
sejak tadi dia sudah meloncat keluar mencari tempat yang lebih luas agar enak
dia mengamuk. Kini, di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan
untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri
sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan
datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka,
namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air
bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.
"Kurung dia rapat-rapat!" Ang-siucai
berseru dan kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali
karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee
yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya
yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia
nekat meloncat keluar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang
liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok
wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan
menempel di punggung Ouw-pangcu itu.
"Trang-trang! Cepp! Cepp!" Dalam
kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian
dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat
mengerahkan sin-kang karena serangan itu datangnya amat cepatnya.
"Bukkk!" Tubuh Yu Goan terguling
ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang
golok dan pedang menghunjam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini, akan tetapi
dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke
atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis
sekian banyaknya senjata!
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han
pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah
melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka
menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin
menangkapnya. Dua orang ini menubruk dan karena tanpa berunding lebih dulu
memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, seorang mencengkeram pundak kiri
Siauw Bwee dan orang ke dua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara
itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
"Auugghhh!"
"Aiiighhh!"
Dua orang itu begitu menyentuh pundak Siauw
Bwee, terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri
seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan
tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat.
Adapun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati
seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!
"Ihhhh....!" Ang-siucai berteriak
kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu.
Namun terlambat dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak
telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok
menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang ke belakang dan mati
seketika! Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga
sin-kangnya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sin-kang dari
Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi
tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sin-kangnya akan
mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu.
Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan
kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat
dan Yu Goan yang masih mengamuk dan terkurung dan terdesak karena pemuda
perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya, sekali, namun Yu
Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan, bertekad melawan sampai detik
terakhir.
Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya
bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring, "Terima kasih, Lihiap.
Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek
Siansu!"
"Tidak perlu berterima kasih, Pangcu.
Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako."
Kedua orang ini meloncat keluar. Ouw-pangcu
masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi
tergantung di dinding, begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk.
Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka
dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan
banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah telapak
tangan kirinya. Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut
minta ampun, di antara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang
telah lebih dulu melarikan diri. Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee
tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu
yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran,
namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati
penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus
mayat-mayat yang bergelimpangan, dan mengobati yang terluka.
Yu Goan mencerita luka, namun tidak ada yang
berbahaya sehingga setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini masih
sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka.
Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia
menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu
menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata,
"Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak
suka menjadi anak-anak angkatku!"
Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang akhirnya
keduanya mengangguk.
"Baiklah, Gihu!"
"Bangkitlah sekarang, Gihu!" kata
pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek
itu. Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua
orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan.
"Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak
angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum
bahagia!"
Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali
dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah
angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar.
"Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sin-kang untuk
memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam
ini, kau bisa mulai."
Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan
keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw
Bwee, sesungguhnya dia memiliki sin-kang yang lebih dahsyat daripada yang
dimlilki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini,
dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari
ilmu ini, bukan saja akan memliiki sin-kang yang dahsyat, pun akan dapat
memetik hawa mujijat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari
dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan.
Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu,
bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai
isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk
menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal
mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan rahasia. Anak buahnya, yaitu
para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka
membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Akan tetapi pemberontakan itu
menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai
dan tewas serta melarikan diri, ada tiga puluh orang.
Setelah tinggal di tempat itu selama dua
bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu
sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia daripada orang-orang kota. Dan
sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah
ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal
istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ adalah milik mereka bersama
dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena
keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda
dengan mereka.
Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam
membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada
mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan
untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan
lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan,
Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan
tubuh. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia
dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat,
melainkan karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah
mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya
mencorong berkat sin-kang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan
mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.
Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak
hal aneh, bahkan pernah tinggal di tempat Pulau Es yang sunyi, kini tinggal di
dalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia
merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat
itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah
terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang,
tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan.
Juga Yu Goan, di samping tekun melatih diri
dengan Ilmu Jit-goat-sin-kang, juga merasa amat senang tinggal di situ. Akan
tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan
tinggal di tempat yang tenang itu, biar tinggal di dalam neraka sekalipun dia
akan merasa senang kalau di situ terdapat Siauw Bwee di sampingnya! Pemuda ini
menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti
itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa
raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya
kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap
pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat
mendalam.
Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan
perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya.
Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya,
seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga
dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya
seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada
suhengnya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan
kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya
penuh kasih, dan ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu
dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda
itu.
Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu
matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sin-kang menerima cahaya
matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang
menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka. Setelah
mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka
mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.
"Yu-twako, kurasa kita sudah cukup
memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang. Kini yang penting hanya
tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di manapun juga. Sudah terlalu
lama kita tinggal di tempat ini."
Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan
matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, "Ucapanmu benar,
Lihiap...."
"Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau
tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu
Twako?"
"Terima kasih, ....eh, Bwee-moi.
Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan
menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendeker wanita yang tiada
keduanya di dunia ini, den aku.... aku merasa terlalu rendah untuk manyebutmu
adik."
"Omongan apakah ini? Aku hanya seorang
manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau
menjawabnya."
"Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang
kaukatakan tadi benar bahwa kita sudah memaharni Jit-goat-sin-kang dan sudah
terlalu lama tinggal di sini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi...., kita
akan pergi ke manakah?"
Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua
tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya
untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini.
"Aku akan melakukan perjalananku mencari
suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan
engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri."
Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa
wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata
penuh permohonan. "Bwee-moi...., mengapa.... mengapa kita harus saling
berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu
mencari suheng dan sucimu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!"
Siauw Bwee menggeleng kepalanya. "Twako,
engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau
sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena
setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi
saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan
bersama, apalagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat
banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita
berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa
kembali."
Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi
mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di wajahnya. "Ah,
Bwee-moi.... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu.... jangan
kita saling berpisah lagi...."
Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi
hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis
berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak, "Twako! Apa maksudmu
dengan kata-kata itu?"
Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan
memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi
hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri
untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya.
"Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat
pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari
mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian
dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu
dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah
engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup
kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan
aku...."
"Cukup, Twako!" Siauw Bwee berkata
keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk
"mengobati" penyakit yang menyerang hati pemuda itu. "Aku bukan
seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari
suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan
tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas
perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah
sebelum penyakitmu menjadi makin berat."
Yu Goan memandang dengan mata terbelalak
kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat,
matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar
mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee.
"Meng.... mengapa tidak mungkin....,
Bwee-moi?" Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee
memejamkan mata sejenak. Ketika dibukanya kembali, dua titik air mata menetes
turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut,
matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya
jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat
memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau
menukar suhengnya itu dengan pria lain yang manapun juga, betapa tampan dan
baik pun!
"Yu-twako, aku suka kepadamu, aku
menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi
tidak mungkin aku membalas cintamu karena.... karena cinta kasihku telah
dimiliki pria lain, Twako."
Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya
bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka,
tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, "Ahhhh.... maafkan aku,
Bwee-moi.... maafkan aku....!"
Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan
menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun di wajah yang
pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya, "Twako!
Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan
batinmu?"
Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan
mata dan menundukkan mukanya. "Maafkan aku.... maafkan...."
Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda
itu. "Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi
kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas
cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku melainkan mencinta dirimu
sendiri!"
Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air
mata, memandang terbelalak. "Apa maksudmu, Bwee-moi?"
"Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu
mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri
sendiri, kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako,
melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu
bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara
ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako,
siapakah yang kaucinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?"
Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata
yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk. "Akan tetapi.... adakah cinta
yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang
dicintanya?"
"Tentu saja ada, Twako. Cinta murni
melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya
bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu,
robahlah cintamu itu, bersihkan daripada nafsu berahi. Lihatlah, aku memegang
tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta
saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?"
Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela
napas panjang dan mengangguk.
Aku mengerti, Bwee-moi." Ia lalu meraih
tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih daripada
nafsu, jauh daripada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat
melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam
ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang
memiliki budi pekerti yang bersih.
Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan
pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini
terbayang senyum di bibir Yu Goan biarpun pada matanya yang biasanya tajam
penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka
oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun.
"Bwee-moi, terima kasih. Aku memang bodoh
sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku
bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan
bersih daripada nafsu?"
Wajah Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah
sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika menjawab, "Aku.... aku
juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku.... aku mencinta dia seperti engkau
mencintaku tadi. Ahhh.... sudah mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan
perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah
daripada engkau, Twako." Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han
Ki, teringat akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu
karena dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta
seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada dia
ataukah kepada Maya?
Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan
sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya perlahan
sambil berkata, "Bwee-moi, kasihan engkau....! Engkau sedang menderita,
ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku berjanji takkan
mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat kepada Tuhan semoga
engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu."
"Terima kasih, Yu-twako, engkau baik
sekali."
Tiba-tiba kedua orang ini tersentak kaget dan
meloncat berdiri ketika pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk
kentongan-kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya
melesat meninggalkan tempat itu, kembali ke perkampungan dan mereka melihat
orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul di depan pondok Ouw-pangcu.
Ketika melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan
wajah anak buahnya kelihatan tegang, Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau
mengganggu, hanya memandang bengong ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak
buahnya, berbondong-bondong lari menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan
Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu
dari belakang.
Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai
keinginan bertemu dengan penghuni lembah di bawah, atau setidaknya ketuanya
karena mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari
Bu-tek Lo-jin. Biarpun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin
sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut Ouw-pangcu, ilmu
kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi dan karena inilah maka
Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan menyaksikan sendiri keadaan
mereka. Akan tetapi menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia
boleh turun ke lembah, pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia
yang dikuasai oleh orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan
ketegangan yang tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan
Yu Goan menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah
yang penuh rahasia itu.
Siauw Bwee dan Yu Goan yang mengikuti
rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka menerobos
ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa, kemudian
melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui tanaman-tanaman berduri
yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui manusia. Dari jauh terdengar
suara melengking tinggi dan agaknya ke arah suara itulah mereka menuju.
Rombongan itu berhenti di dalam sebuah hutan,
tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Di bawah pohon
ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh berbentuk sebuah kepala
raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima
meter dari pohon raksasa itu, berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu.
Siauw Bwee dan Yu Goan bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang
karena mereka tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi di
situ.
Suara melengking yang terdengar dari pohon tua
itu berhenti. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh
ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak ke arah batu
besar itu. Batu itu bergerak perlahan, bergeser dari kanan ke kiri. Dan
tampaklah sebuah lubang di bawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu
terus menggeser sampai lubang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris
tengah satu meter.
Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai
dari dalam lubang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan berbareng.
Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut
menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak
memandang ke arah lubang sumur itu. Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri
seorang manusia yang amat menyeramkan! Demikian cepat gerakan orang itu,
seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam lain, seperti pandai
melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri di depan lubang. Hanya
pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu
Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang, maka dara sakti
ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan gerakan yang amat
ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan, ia
bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Orang itu benar-benar amat menyeramkan
dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung kurus, seperti tengkorak
terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam yang sudah butut, dekil kotor
dan robek-robek di pinggir dan ujungnya. Jubah yang panjang sampai menutupi
lutut, berlengan lebar panjang, namun karena robek-robek maka jubah itu tidak
dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang mengerikan. Tubuh yang tidak normal,
penuh cacat-cacat seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang
itu memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang,
tinggal sisanya sedikit saja. Tangan kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal
lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar dari lengan
baju amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal
dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga
buah saja. Kulit yang membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah di
sana-sini seperti digerogoti rayap. Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu
memandang ke arah muka orang itu, ia merasa betapa seluruh bulu tubuhnya
berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain hitam yang
menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu di bagian atas sehingga
yang tampak hanya mulai dari alis ke bawah. Akan tetapi itu pun sudah amat
menakutkan!
Kalau kulit kaki hanya sebagian yang lenyap,
maka kulit muka itu boleh dibilang sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak
tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya,
putih mengerikan. Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol
panjang. Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lubang hitam. Matanya
seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat
dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak tidak akan
sengeri ini. Manusia yang berdiri di depan lubang itu tak patut disebut
manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat!
Di samping perasaan ngeri dan serem ini,
timbul rasa iba yang besar di hati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang
ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang
yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu.
Kini muncul dua orang lain dari dalam lubang,
keadaan mereka juga mengerikan seperti orang pertama. Akan tetapi kedua orang
ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi, melainkan berjalan
terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri di kanan kiri orang pertama
yang sudah marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak
dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan
karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal
sepotong, bicaranya sukar dimengerti. Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah
biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela
diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di perkampungan yang
dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu Goan
bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah tentang
peristiwa pertempuran di antara orang-orang tebing.
"Harap para Locianpwe dari lembah mengetahui
bahwa saya dan anak buah saya sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang
melakukan pelanggaran adalah mereka yang memberontak dan mereka telah diberi
hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada Pangcu di bawah bahwa kami semua
tidak pernah melanggar perintah."
Orang penderita kusta yang pertama itu kembali
bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan
kekagetan dan ketakutan.
Ia menggoyang tangan kiri yang diangkat ke
atas sambil berkata, "Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka
tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak
boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah berarti saya melanggar? Saya
tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak mau ikut Locianpwe turun ke bawah!"
Orang ke dua yang berdiri di sebelah kanan
orang pertama, mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang terluka,
kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat sehingga diam-diam Siauw
Bwee kagum karena orang ini pun memiliki gin-kang yang amat luar biasa! Dengan
tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu, orang sakit kusta ini
mencengkeram pundak Ouw-pangcu.
"Crottt!" Empat buah jari tangan itu
menancap di pundak seperti empat buah pisau tajam, akan tetapi tiba-tiba orang
itu terpental ke belakang karena Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sin-kang.
Ketika terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal
di pundak Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya
lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sin-kang yang
demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak Ouw-pangcu juga
tercabut keluar terdorong oleh daya tolak sin-kang Ouw-pangcu. Anehnya, biarpun
dua buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan
tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!
"Maaf, saya tidak sengaja menyusahkan
para Locianpwe," kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali
karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat orang-orang
lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuh
mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan
serangan dan akibatnya tadi.
Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini
sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan
bendera kecil itu di atas kepalanya. Melihat bendera kecil itu, Ouw-pangcu
terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera sambil berkata,
"Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau
Locianpwe tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah dan
mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah."
Si Tangan Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu
bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada anak buahnya yang
masih berlutut ketakutan.
"Kalian kembalilah dan bekerja seperti
biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di lembah maka jangan kalian
memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya, kalian
boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari, kalau aku
tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku pergi. Marilah
Sam-wi Locianpwe." Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti tiga orang
penderita kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan lorong di
bawah tanah yang menuju ke lembah jauh di bawah! Setelah empat orang itu
memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi lubang. Keadaan
menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu baru berani
bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi
tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi.
Setelah anak buah Ouw-pangcu meninggalkan
tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi mereka.
"Setan-setan itu! Mengapa kau tadi
mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?"
"Gi-hu ikut dengan mereka secara
sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang lembah itu memang
mempunyai kekuatan lebih besar dan Gi-hu harus tunduk kepada ketua orang
lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak berlawanan dengan
isi hati Gi-hu sendiri."
"Akan tetapi Gi-hu dibawa mereka. Apakah
kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami bencana di bawah
sana?"
"Tidak, kita tidak akan membiarkan saja.
Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa yang terjadi."
"Bagus! Mari kita kejar mereka, biar
kugeser batu ini!" Yu Goan meloncat akan tetapi baru saja ia menyentuh
batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya.
"Jangan, Twako. Kalau kita masuk atau
turun melalui jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku
tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku harus
bertanding dengan orang-orang seperti itu.... hiiiihhhh, aku bisa mati karena
jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita malah menambah
kesalahan Gi-hu dalam pandangan mereka. Mereka itu menjijikkan, akan tetapi
juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan menemui kegagalan di tengah jalan
sebelum sampai di lembah. Lorong yang merupakan jalan satu-satunya ini pasti
terjaga kuat oleh mereka."
Yu Goan mengangguk-angguk dan kagum sekali.
"Habis, bagaimana kita bisa turun kembali ke lembah?"
"Perkampungan mereka di bawah itu kelihatan
dari atas tebing. Biarpun curam dan sukar, kalau kita menggunakan besi pengait,
pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak dapat turun ke bawah?"
Yu Goan setuju dan mereka segera mencari
alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian mulailah kedua orang itu menuruni
tebing yang amat curam. Namun dengan kepandaian mereka yang tinggi, dibantu
alat-alat itu, dapat juga mereka merayap turun perlahan, menggunakan pedang
ditancapkan pada dinding batu karang, melorot turun dengan bergantung kepada
tambang. Biarpun sukar sekali, dan tidak dapat cepat karena mereka harus amat
berhati-hati, sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka dapat merayap ke
bawah.
Akan tetapi ternyata oleh mereka bahwa jalan
itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biarpun mereka mempergunakan
alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar beberapa kali kalau
menghadapi jalan buntu, di mana tebing itu berakhir dengan jurang yang tak
mungkin dapat dilalui, batunya pecah di bagian bawah. Terpaksa mereka mencari
jalan baru untuk turun dan adakalanya mereka terpaksa merayap ke atas lagi
untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai
sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan terpaksa mereka
harus melewatkan malam di dalam guha yang terdapat di dinding batu karang yang
licin!
Pada keesokan harinya, setelah cuaca terang,
barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan. Ketika mereka
mengambil jalan memutar ke selatan, mereka melihat dataran di tengah-tengah
antara puncak dan lembah. Dinding di bagian ini ternyata menembus ke sebuah
dataran yang merupakan dataran ke dua di bawah puncak tebing, sungguh merupakan
keadaan yang ajaib! Dataran yang berada di perut gunung, luasnya paling banyak
seribu meter persegi, akan tetapi tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti
sebuah kampung kecil di puncak, dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan
yang amat berlawanan dengan lembah itu yang di kelilingi tebing tinggi!
"Mari kita ke sana, siapa tahu dari
dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah," kata Siauw Bwee.
"Baik.... heiii, ada rumahnya di
sana!" Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba menuding.
Benar saja, dari lereng tebing itu mereka
melihat dua pondok kecil sederhana di dataran itu, tanda bahwa di sana ada
manusianya! Hal ini mendorong semangat mereka dan mereka merayap ke arah
dataran itu, kemudian meloncat turun di atas tanah yang rata. Dengan hati-hati
mereka berjalan ke tengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang modelnya
sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya, bahkan
dua pondok itu lebih sederhana lagi.
Setelah dekat dan menghampiri pondok dari
depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap di balik pohon. Mereka
melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari pondok membawa setumpuk tampah
berisi benda-benda kecil seperti daun-daun kering, akar-akar dan buah-buahan
kering. Laki-laki itu usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis
jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat sederhana, tanpa
lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak. Celananya hitam dan
digulung di bagian bawahnya, sampai ke lutut.
Tiba-tiba kakek itu berhenti di depan
pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga tumpukan tampah yang jumlahnya
belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas dengan tangan kanan dan
sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar ke udara dan berputar-putar
seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikit pun! Tampah pertama masih
melayang-layang ketika tampah ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul sehingga
dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang di udara seperti
sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian tampah-tampah itu
meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang dipasang di depan pondok
sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya yang terlempar
keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan diletakkan oleh
tangan yang tidak kelihatan!
"Bukan main....!" Yu Goan berbisik
dan Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu memiliki
tenaga sin-kang yang sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga
loncatan tampah-tampah tadi pun di "kendalikan" oleh tenaga sin-kang!
Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek itu sudah tahu akan kedatangan meceka,
karena demonstrasi tenaga sin-kang tadi, tentu dikeluarkan hanya dengan satu
tujuan, yaitu sengaja diperlihatkan orang untuk menggertak. Kalau kakek itu
tidak tahu bahwa mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang,
perlu apa main-main dengan tenaga sin-kang seperti itu? Maka ia bersikap
waspada dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek itu
tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah,
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu "melayang"
berputaran menuju ke arah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti
seekor burung garuda menyambar dua ekor domba!
"Celaka!" Yu Goan berseru dan pemuda
itu sudah mencabut pedangnya, akan tetapi Siauw Bwee menyentuh lengan pemuda itu,
kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua lengan mendorongkan kedua telapak
tangan ke atas, ke arah tampah yang meluncur turun. Dia tidak berani
mempergunakan Jit-goat-sin-kang yang belum dilatih sempurna itu, maka dia
mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan
ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suhengnya. Tampah yang sudah meluncur turun
itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke arah Siauw Bwee,
melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas dipan yang masih
kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu agak
tergetar karena ada dua tenaga sin-kang raksasa yang mengemudikannya dari arah
berlawanan!
"Tahan dulu, Locianpwe!" Siauw Bwee
sudah berseru dan melompat keluar dari tempat sembunyinya, lompatannya seperti
kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat sehingga tahu-tahu tubuhnya
sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak enam meter terhalang dipan penjemur
obat-obatan di atas tampah-tampah.
Sejenak kakek itu memandang dengan alis
berkerut, matanya terbelalak penuh keheranan dan agaknya dia masih tidak mau
percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu melayang
turun, hanyalah seorang dara remaja.
"Bagus! Coba engkau tahan ini!" serunya
dan tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia lemparkan ke udara, kini
bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan. Kedua tangannya itu
tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya meluncur hawa sin-kang
yang "mengemudikan" tampah berisi bahan obat itu.
Siauw Bwee maklum bahwa kakek itu kini
mengerahkan tenaga sin-kang yang besar sekali karena tidak hanya tampah itu
berputaran di udara, akan tetapi juga isinya ikut berputaran di atas tampah.
Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa kakek itu
menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk, maka kini
hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia pun lalu
mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan ke depan. Hawa sin-kang yang
kuat meniup keluar dari kedua tangannya, membubung ke atas menerima tampah itu.
Tampah yang berpusing di udara itu tiba-tiba
berhenti dan mengambang di udara seolah-olah terpegang tangan yang kuat lalu
perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke arah pelemparnya. Kakek itu
terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan seluruh tenaga dan
Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar hawa yang panas sekali. Ia
cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk melawannya. Tiba-tiba hawa dari
kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee yang sengaja hendak menguji pula,
segera merobah sin-kangnya menjadi Yang-kang.
Tampah itu seperti hidup. Sebentar bergerak ke
arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sdbentar karena kembali terdorong ke arah Si
Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya dan akhirnya tampah
itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju ke arah Si Kakek yang
makin terkejut dan memandang terbelalak. Akhirnya ia berseru keras melompat ke
kiri dan menurunkan kedua lengannya. Tampah itu jatuh ke bawah, hancur dan
isinya berantakan, akan tetapi seperti tampah yang hancur bagaikan
diremas-remas itu, isinya juga remuk pecah-pecah dan ada yang gosong seperti
terbakar!
"Hebat! Wanita muda, dari mana engkau
mempelajari Jit-goat-sin-kang?" Pertanyaan ini mengandung penasaran besar,
seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu.
Siauw Bwee yang kini sudah dapat menduga bahwa
kakek ini tentu memiliki Ilmu Jit-goat-sin-kang seperti yang dimiliki
Ouw-pangcu, malah lebih kuat, segera menjura dan menjawab, "Untuk
menghadapi Jit-goat-sin-kangmu tadi, aku tidak menggunakan sin-kang yang sama,
orang tua!"
"Tidak mungkin! Sin-kang biasa mana mampu
menghadapi Jit-goat-sin-kang seperti itu?"
Yu Goan kini sudah muncul dan meloncat dekat
Siauw Bwee. Dia tadi menyaksikan adu tenaga sin-kang itu dan kekagumannya
terhadap Siauw Bwee meningkat. Dengan sabar ia menjura dan mendahului Siauw
Bwee.
"Locianpwe, sesungguhnya kami pernah
mempelajari Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu."
"Ahh, tidak mungkin! Selain Ouw-pangcu
tidak akan berani lancang menurunkan ilmunya kepada orang luar, juga tidak
mungkin kalau hanya murid-muridnya mampu mengalahkan kekuatanku. Dia sendiri
masih jauh di bawahku, ataukah.... dia telah memperoleh kemajuan yang luar
biasa sehingga muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapapun juga, dia
melanggar dan harus dihukum!"
Yu Goan terkejut dan cepat membela,
"Locianpwe, harap jangan menyalahkan dia karena Ouw-pangcu adalah gi-hu
kami. Tiada salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak angkatnya sendiri."
Wajah yang penasaran dan marah itu berubah.
"Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat kalian? Betapa anehnya! Akan tetapi....
tenaga sin-kang Nona muda ini amat luar biasa, betapa mungkin...."
"Harap Locianpwe tidak menjadi heran
karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat tinggi, jauh lebih tinggi
daripada kepandaian gi-hu sendiri. Dan kalau benar Locianpwe adalah suheng dari
gi-hu, harap kauketahui bahwa kami berdua sedang berusaha menyelamatkan gi-hu
yang terancam bahaya besar di lembah di bawah sana."
"Apa? Apa yang terjadi? Orang muda,
duduklah. Dan kau juga, Nona yang amat lihai. Duduklah dan ceritakan semua. Apa
yang telah terjadi di atas tebing, dan di bawah lembah sana?"
Yu Goan dan Siauw Bwee duduk di atas dipan
bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu Yu Goan menceritakan semua pengalaman
mereka sejak bertemu dengan Ouw-pangcu, mengobati luka ketua itu, dan tentang
pemberontakan di atas tebing yang dipimpin oleh Ang-siucai. Setelah mendengar
penuturan itu sampai habis, kakek tadi menarik napas panjang.
"Hemm, memang banyak resikonya menjadi
ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang diri tanpa dibebani peraturan. Sute
telah lancang menerima seorang asing seperti sastrawan she Ang itu, maka dia
memetik buah dari tanamannya sendiri. Akan tetapi siapakah engkau orang muda
yang pandai ilmu pengobatan? Aku sendiri senang dengan ilmu itu, maka
kepandaianmu menarik hatiku, dan siapa pula Nona yang amat lihai ini? Sukakah
kalian memperkenalkan diri setelah mengetahui bahwa aku adalah suheng dari
gi-humu?"
Yu Goan tidak berani lancang, maka dia menoleh
dan mernandang Siauw Bwee. Bagi dia sendiri, dia tidak akan ragu memperkenalkan
diri kepada siapapun juga. Akan tetapi Siauw Bwee adalah penghuni Istana Pulau
Es, dan biarpun dara itu tidak pernah memperingatkannya, dia tahu bahwa gadis
itu tentu akan merahasiakan Pulau Es dan keadaan dirinya. Akan tetapi Siauw
Bwee tersenyum dan mengangguk, maka Yu Goan lalu berkata,
"Karena Locianpwe adalah suheng dari
gi-hu, maka sepatutnya kalau kami menyebut supek kepadamu. Harap Supek ketahui
bahwa sahabatku ini bernama Khu Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak angkat
gi-hu dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini adalah....
seorang di antara penghuni-penghuni Istana Pulau Es."
Seperti telah diduganya, kakek itu mencelat
dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak kemudian
mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjura,
"Aihhh.... mataku seperti buta tidak
mengetahui orang pandai. Maaf....!"
Siauw Bwee cepat berdiri membalas penghormatan
itu dan berkata sederhana,
"Supek, mengapa begini sungkan? Yu-twako
hanya pandai memuji setinggi langit padahal aku hanyalah seorang muda yang
masih perlu menerima bimbingan orang pandai seperti Supek. Dalam melatih diri
dengan Jit-goat-sin-kang saja, dibandingkan dengan tingkat Supek, aku belum ada
persepuluhnya!"
"Aihhh! Sudah lihai masih pandai merendah
pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu, tanpa Jit-goat-sin-kang sekalipun
sin-kangmu sudah amat luar biasa dan aku tidak menjadi heran mengingat bahwa
engkau adalah penghuni Istana Pulau Es, murid langsung dari Bu Kek Siansu.
Hebat.... hebat....! Dan engkau sendiri, orang muda, siapakah engkau?"
"Aku bernama Yu Goan, ilmu silatku yang
kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Khu-siauwmoi kudapatkan dari
ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki, sedangkan sedikit ilmu pengobatan
kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin Song Hai."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk kagum.
"Aku pernah mendengar nama besar ayahmu itu, bukankah dia putera Ketua
Khong-sim Kai-pang? Dan Yok-san-jin....! Hemmm, siapa yang belum mendengar
namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda
keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan mendengar bahwa
kalian adalah anak-anak angkat suteku. Aihhhh, bukan main beruntungnya
Ouw-sute!"
"Akan tetapi sekarang gi-hu terancam
bahaya, Supek," kata Siauw Bwee.
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Aku heran
sekali. Biasanya suheng kami, yaitu ketua lembah, adalah orang yang amat sabar.
Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Suhu Bu-tek Lo-jin datang ke tempat ini, dia
mengangkat tiga orang murid. Pertama adalah Lie Soan Hu yang kini menjadi ketua
orang lembah setelah dia terkena pula penyakit kusta yang mengerikan itu. Murid
ke dua adalah aku sendiri. Namaku adalah Coa Leng Bu, dan berbeda dengan suheng
dan sute, aku lebih senang hidup bersunyi diri di tempat ini, mengumpulkan
obat-obat untuk kuberikan kepada anak buah suheng di lembah dan anak buah sute
di atas tebing. Murid ke tiga adalah Ouw-sute sendiri. Setelah Lie-suheng
menderita penyakit kusta, dia menjadi penyabar sekali, bahkan tidak pernah
keluar dari lembah. Sungguhpun amat mengherankan kalau sekarang dia menyuruh
pembantu-pembantunya menangkap Ouw-sute. Apalagi semua itu dilakukan tanpa
memberi tahu kepadaku. Hemm, benar-benar peristiwa itu mencurigakan sekali dan
agaknya perlu kuselidiki sendiri. Kalian jangan khawatir. Biarlah aku menyertai
kalian turun ke lembah dan dari tempat ini memang ada jalan rahasia ke lembah
yang lebih mudah dilalui. Tentu saja dengan kepandaian yang kalian miliki,
tanpa melalui jalan rahasia itu pun kalian akan dapat mencapai lembah, akan
tetapi selain hal itu akan makan waktu lama dan perjalanan yang sukar sekali,
juga berarti kalian akan menjadi seorang yang melanggar larangan. Mari kita
pergi sekarang sebelum terlambat, karena aku menduga bahwa seperti halnya di
atas tebing, di lembah sana terjadi sesuatu yang tidak wajar. Sudah terlalu
lama aku tidak pernah datang ke lembah atau ke tebing, obat-obat itu hanya
diambil saja oleh anak buah yang disuruh Sute atau Suheng."
Girang sekali hati kedua orang muda itu.
Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi meninggalkan pondok dan menuruni
tebing melalui jalan turun yang bukan merupakan jalan, melainkan rangkaian
akar-akar dan batu-batu yang sengaja dibuat untuk jalan naik turun. Karena
"jalan" ini tertutup oleh tetumbuhan, maka kalau tidak bersama kakek
itu, tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin akan dapat menemukannya. Jalan
ini bukanlah jalan mudah bagi orang biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga
merupakan jalan yang amat mudah, bergantung sana-sini melompati sana-sini dan
mereka dapat turun dengan cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena
perjalanan kali ini jauh lebih mudah dan cepat daripada yang mereka lakukan
kemarin. Tak lama kemudian mereka sudah mencapai lembah.
Akan tetapi, begitu ketiganya melompat turun,
mereka diserbu oleh belasan orang penderita kusta dan orang-orang penghuni
tebing yang tadinya memberontak, juga tampak beberapa orang berpakaian Han yang
ikut menyerbu.
"Merekalah yang memberontak di atas
tebing!" seru Yu Goan.
Coa Leng Bu menjadi marah sekali. Ia melompat
maju dan membentak, "Mundur semua! Apakah kalian tidak mengenal aku
lagi?"
Akan tetapi orang-orang itu tidak menjawab dan
terus menyerangnya! "Keparat! Setan busuk, mana Suheng? Suruh dia keluar
sebelum aku membunuh kalian semua, keparat!"
Akan tetapi orang-orang itu telah menyerbunya
dan Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki tangannya merobohkan dua orang
penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur bahkan kini menerjang dengan
senjata-senjata mereka.
"Twako, kita berpencar, mencari
Gi-hu!" Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang yang
menjijikkan itu. Karena tidak tahan harus bertanding melawan orang-orang yang
begitu mengerikan, setelah mengelak ke sana-sini, Siauw Bwee melesat jauh dan
mulai mencari gi-hunya yang tertawan. Yu Goan mencabut pedangnya dan mengamuk
bersama Coa Leng Bu. Betapapun juga, melihat bahwa tukang obat itu tidak mau
menurunkan tangan membunuh orang-orang yang masih murid keponakannya sendiri,
Yu Goan juga menggerakkan pedang secara hati-hati agar tidak sampai membunuh
orang. Namun, tingkat kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun
seperti Siauw Bwee, merasa jijik disamping rasa kasihan, maka kini melihat
Siauw Bwee telah pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan keluar dari
kepungan lalu melarikan diri ke depan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih
dikeroyok murid-murid keponakannya sendiri.
Beberapa orang penderita penyakit kusta
mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han yang menjadi kawan Ang-siucai. Yu
Goan marah sekali terhadap orang ini karena dia tahu bahwa biang keladi semua
keributan di tebing maupun di lembah ini tentulah Ang-siucai dan
kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah gagal di atas tebing,
Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang tebing yang dipengaruhinya
melarikan diri ke lembah. Hanya dia merasa heran mengapa sastrawan itu dapat
pula menguasai lembah! Karena marahnya, tiba-tiba dia membalik dan pedangnya
menyambar ke arah orang Han yang ikut mengejarnya. Orang itu menangkis akan
tetapi tiba-tiba ia menjerit keras ketika tangan kiri Yu Goan berhasil
menotoknya, kemudian mengempit lehernya.
"Suruh mereka mundur sebelum kupatahkan
batang lehermu!" Yu Goan mengancam dan memperkuat jepitan lengannya pada
leher orang itu.
Orang itu ternyata takut mati dan cepat
membentak orang-orang penderita kusta untuk mundur. Di samping sifat
pengecutnya, orang itu pun cerdik sekali. Agaknya semua kawan Ang-siucai
cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian Siauw Bwee dan Si Tukang
Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu berpencar sehingga lebih mudah
dikuasai kawannya.
Setelah semua orang penderita kusta mundur dan
mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan mereka terhadap Coa Leng Bu dan
sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang melarikan diri, orang itu
berkata,
"Ampunkan saya, Taihiap...."
"Hemm, manusia busuk! Karena engkau
menuruti permintaanku, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kau harus memberi
tahu kepadaku di mana Ouw-pangcu ditahan!"
Diam-diam orang itu menjadi girang.
"Ahhh, kalau begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa terlambat. Mereka....
mereka tadi sedang menggiring Ouw-pangcu ke tempat pembakaran mayat, hendak
membakarnya!"
"Apa?" Yu Goan terkejut sekali.
"Dia.... dia.... sudah mati....?"
"Tidak, Taihiap. Belum, akan tetapi tentu
akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak membakarnya hidup-hidup!"
"Keparat! Di mana tempat itu?"
"Mari kutunjukkan padamu."
"Awas kalau kau menjebakku, aku akan
menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih rusak daripada orang-orang yang dimakan
kusta itu!" Yu Goan mengancam.
"Aku tidak menipumu, Taihiap."
Yu Goan mengikuti tawanan itu sambil memegang
lengannya. Mereka menuju ke bagian belakang lembah dan tiba di sebuah pintu di
mana tampak anak tangga menurun ke bawah. Orang tawanan itu menuruni anak
tangga, terus diikuti oleh Yu Goan dari belakang. Ketika tiba di sebuah
tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan di bawah anak
tangga, belasan meter di bawah tempat itu berdiri, Ouw-pangcu berdiri bersandar
tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang tergantung
pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar tubuhnya dan beberapa
orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap untuk
membakar kayu-kayu kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup!
Cepat tangan Yu Goan bergerak dan tawanan itu
berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu Goan tidak mau
melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya merobohkannya saja
dengan mematahkan tulang pundaknya. Andaikata orang itu tidak menunjukkan
tempat ini, dan andaikata tadi dia tidak berjanji tentu dia dan kawan-kawannya
telah mendatangkan kekacauan di tempat yang tenteram seperti di atas tebing dan
di lembah ini.
"Lepaskan Ouw-pangcu!" Dengan suara
nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga.
Enam orang penderita kusta itu menengok dan
menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan melihat Yu Goan, dia berteriak,
"Yu-sicu.... pergilah tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan memikirkan
diriku!"
"Tenanglah, Gi-hu. Aku dan Bwee-moi, juga
Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah untuk menolongmu dan menghajar
pemberontak-pemberontak laknat ini!"
Mendengar bahwa suhengnya dan kedua orang anak
angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang terjadi pula di
lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali. Ia berteriak keras, kakinya
bergerak dan tumpukan kayu bakar di depannya itu terlempar ke kanan kiri. Tiga
orang penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang Ouw-pangcu yang
masih terbelenggu. Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan
pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu terpaksa meloncat mundur dan
membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu Goam kembali
memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat
kilat pedangnya membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng.
Terdengar suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang ini tergantung
dari kedua tangan kakek itu yang segera meloncat ke depan dan membantu anak
angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu
mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung dari kedua tangannya,
sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadap enam orang yang bersenjata
golok.
Biarpun enam orang penderita kusta itu
memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka itu tidak
dapat lagi mengerahkan sin-kang terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah
rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua di antara mereka
roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat.
"Gi-hu, kita harus cepat keluar dari sini
membantu Supek dan Bwee-moi!"
"Baik, akan tetapi kita robohkan dulu
empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang,
yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan pemberontakan," kata
Ouw-pangcu.
Akan tetapi sebelum mereka berhasil merobohkan
empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain, terdiri dari penderita
kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han.
Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng.
Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya, sambil
memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak
buahnya sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan
dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong
rantai baja, membikin pecah kepala mereka!
Namun pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu
Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian orang-orang penderita kusta itu
tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu
pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di tempat yang sempit oleh belasan orang dan
betapapun mereka mengamuk, dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu
Goan terkena tusukan pedang di paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka
oleh bacokan pedang yang dilawan dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat
kulit punggungnya terluka dan mengeluarkan darah.
"Gi-hu, kita keluar!" Yu Goan
berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan
yang mengenai pusar.
"Tidak sudi lari sebelum membunuh
iblis-iblis ini!" Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat.
"Bukan melarikan diri, melainkan mencari
tempat luas!"
"Hemm, baiklah!" Sambil berkata
demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil
memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama
Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan,
sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas
muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung
dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!
Sementara itu, Siauw Bwee yang pergi lebih
dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana bertemu dengan orang-orang penderita
kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena tidak
mengira bahwa hampir semua anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai oleh
Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa di antara mereka ada yang
belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia kepada
ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar ternyata
merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang harus
dihukum dengan kematian.
Akhirnya Siauw Bwee yang selalu dapat
menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok terbesar. Dia
menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih baik menemui
ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua
untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan ditawan di mana.
Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat
menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan perlawanan anak
buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.
Akan tetapi, ketika ia tiba di depan pondok,
dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw Bwee merasa ngeri
sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para pengeroyoknya. Juga dia
tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya
ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau
terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut
kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan!
Karena rasa jijik, rasa kasihan dan
keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri dari kepungan.
Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantu-pembantu ketua yang memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi daripada anggauta biasa.
"Lihiap, tahan mereka!" tiba-tiba
terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di tempat itu. Dia
pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang di antara
mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara
meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher
kakek itu.
"Kalian manusia-manusia gila!" Coa
Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot. Orang yang
memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan
terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak
dapat bertahan maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan
kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari
tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu
menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar
cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.
Siauw Bwee merasa ngeri dan jijik sekali
menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui kepala para
pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu. Ketika
dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga di
sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh.
Ketua orang lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk
suling dengan tempat tembakau di ujungnya. Kiranya kakek ketua lembah yang
keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak enak menyambut
hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak muntah. Ketua lembah
itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat
karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi,
hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak
berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya
yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah
jarinya! Di dekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si
Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di
atas tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia
membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.
"Tarr....!" Cambuk di tangan Coa
Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya membelit tangan
Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan.
"Keparat she Ang, mampuslah!" Coa
Leng Bu membentak.
"Sute, jangan kurang ajar!" Kakek
yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih ke arah muka
Coa Leng Bu. Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup
jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali
menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu
dipergunakan oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang
terbelit ujung cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat
yang baunya memuakkan itu.
"Setan tua, kau melindungi
pengacau?" Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi
ketua lembah yang amat lihai itu.
"Lihiap, jangan!" Coa Leng Bu
berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya. "Dia.... Suheng....
telah terbujuk penjahat...." Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih
rebah di atas dipan. "Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik.
Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang
membujukmu untuk mengisap racun itu!"
"Coa Leng Bu, pergilah sebelum kubunuh
engkau!" Kakek itu berseru. "Jangan kurang ajar terhadap tamu dan
sahabat baikku. Hayo pergi!"
"Supek, kuhadapi manusia she Ang itu,
biar aku yang menundukkan ketua lembah...." bisik Siauw Bwee.
"Coa Leng Bu, tidak pergi juga
engkau?" Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah
bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang
penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba
Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu tidak berani membantah....!"
Tiba-tiba Ang-siucai yang melihat kakek tukang
obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan, menggerakkan
goloknya membacok sambil melompat ke depan.
"Trangggg!" Pedang Siauw Bwee
menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.
"Tolong, Lie-pangcu.... perempuan siluman
itu lihai sekali!" Ang-siucai berseru minta bantuan ketua lembah. Akan
tetapi Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar
dari pondok itu.
"Supek, mengapa kau selemah itu melihat
bendera itu?"
"Bendera itu adalah peninggalan Suhu.
Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti Suhu sendiri. Bagaimana aku
berani melawan?"
"Hemm, kalau Twa-supek sudah terpengaruh
racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita lekas menolong Gi-hu dan
keluar dari neraka ini."
"Usulmu baik sekali, Lihiap."
Biarpun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu jelas membayangkan
kedukaan hebat. Ketika mereka tiba di luar pondok, kembali mereka dikepung oleh
para penderita kusta dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan
diri untuk mencari Ouw-pangcu.
"Tentu dia ditahan dalam ruangan tahanan
atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!" Coa Leng Bu berkata sambil melawan
para pengeroyok yang selalu menghadang, mereka mencari-cari di seluruh
perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok mereka robohkan,
namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena selain tidak dapat
menemukan gi-hunya, juga tidak kelihatan bayangan Yu Goan!
"Sute benar-benar kurang ajar. Aaahh,
tidak kusangka dua orang suteku semua menentangku!" Ketua lembah yang
sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua
pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang mabok.
"Pangcu, orang-orang yang memberontak itu
harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil mengacau kemudian
merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu berjanji untuk
memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah sekarang aku
melihatnya?" Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar yang daun
pintunya tertutup.
"Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh orang lain
masuk ke kamar itu kecuali aku!" Ketua lembah sudah bangkit berdiri dan
berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti oleh Ang-siucai yang sudah
memegang goloknya lagi.
"Selain kitab-kitab kuno simpananku yang
tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan sebuah kitab yang amat penting
dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab itu adalah peninggalan Suhu
kepada kami...."
"Kitab pelajaran Jit-goat-sin-kang?"
tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah.
"Jit-goat-sin-kang termasuk ilmu yang
berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain yang tidak dapat
diturunkan kepada siapapun juga. Engkau amat baik kepadaku, Sicu. Maka aku
tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi tidak boleh dibaca
atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku maklum bahwa
engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk...."
Ketika memasuki kamar, ketua lembah itu
terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali. Diam-diam Ang-siucai menjadi
girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan sebentar lagi,
seperti biasanya, tentu akan tidak kuat menahan dan jatuh tertidur nyenyak!
"Yang manakah kitab peninggalan Locianpwe
Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?"
Kakek itu kini sudah lenggat-lenggut dan
beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat menuding ke arah sebuah kitab
yang dibungkus kain kuning, terletak di atas meja di sudut kamar, kemudian ia
merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai terus tidur mendengkur!
Ang-siucai girang sekali. Cepat ia menghampiri
meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain kuning, membukanya dan setelah
mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat
melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus melangkahi
tubuh Lie-pangcu yang tidur mendengkur di atas lantai, dia berhenti dan melirik
dengan sinar mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai
daripada Ouw-pangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat lenyapnya kitab dan
mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang amat berat. Dia
sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja? Setelah berpikir demikian, secepat
kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya erat-erat lalu mengayun
goloknya itu ke arah leher kakek yang tidur pulas. Saking gugupnya, bacokannya
meleset dan mengenai pundak Lie Soan Hu, ketua lembah.
"Crookk!" Pundak itu putus berikut
lengan kanan Si Kakek yang pulas. Akan tetapi, mata Ang-siucai terbelalak dan
mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka di pundak itu tidak
mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur mendengkur! Hal ini tentu
saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu
mempermainkannya, maka segera ia meloncat keluar kamar dan memasuki pintu
rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia lari
dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang masih
mengamuk di luar.
Pada saat itu, keadaan Yu Goan dan Ouw-pangcu
sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu bahwa dikeroyok dari
atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat melarikan diri lagi. Biarpun
banyak pula pengeroyok yang mereka robohkan, namun karena jumlah mereka amat
banyak, kedua orang yang sudah luka-luka ini mulai kehabisan tenaga.
"Jangan bunuh mereka, tangkap
hidup-hidup!" Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba di
tempat itu. Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu nengamuk
dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat mengharapkan
bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi. Pula, benda
yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai berbulan-bulan di
tebing dan lembah, kini telah tersimpan di balik jubahnya. Tugasnya telah
selesai, kini tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat
Ouw-pangcu dan Yu Goan terkepung rapat, dia melihat jalan keluar itu, maka
segera ia berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.
Betapapun juga, seruan ini menyelamatkan nyawa
Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok menubruk dengan nekat dan akhirnya
mereka ditangkap dan ditotok sehingga lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan
kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang datang bersamanya. Dia datang ke
daerah itu dan diam-diam kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya, akan
tetapi sekarang teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja. Selebihnya
sudah tewas, sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.
Dengan cepat Ang-siucai mengempit tubuh Yu
Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng, kemudian mereka berenam
meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui terowongan yang menembus di
puncak tebing di daerah orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu masih mengamuk,
tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan dan dibawa lari. Tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring,
"Tahan semua senjata! Hentikan semua
pertempuran!"
Mereka semua menoleh dan seketika pertandingan
berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri kakek Lie Soan Hu, ketua lembah
yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan kiri mengangkat bendera hitam
tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak kehilangan suaranya seperti para
penderita lain, berkata,
"Ang Hok Ci manusia jahat.... kitab
peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan....! Sute.... lekas kejar....!"
Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biarpun luka di pundaknya
tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.
Pucat wajah Si Tukang Obat mendengar itu. Dia
tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak,
"Hai, kalian orang-orang yang telah
berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia she
Ang itu! Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana adanya bangsat
itu?"
Beberapa orang penderita kusta menjawab
sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak dimengerti oleh Siauw
Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang Obat menjadi terkejut,
alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat.
"Lekas kejar, Lihiap."
"Apa sih artinya keterangan mereka?"
"Si keparat itu telah merampas kitab
peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan diri
melalui terowongan yang menembus ke atas tebing."
"Celaka! Mari kita kejar!" Siauw
Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari
menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang
menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak tebing
tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.
***
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terus melakukan
pengejaran. Biarpun mereka berdua sudah tertinggal jauh, namun mereka dapat
mengikuti jejak enam orang yang melarikan diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng
itu. Jejak mereka menuju ke kota Sian-yang. Ketika mereka tiba di luar tembok
kota Sian-yang, mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi sebuah
kuburan baru!
"Yu-twako....!"
Yu Goan melompat bangun dan memandang Siauw
Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang. Akan tetapi segera wajahnya men jadi muram
ketika ia berkata, "Bwee-moi, Gi-hu telah meninggal dunia dan inilah
kuburannya," ia menunjuk ke arah kuburan baru.
"Keparat! Mereka membunuhnya?" Siauw
Bwee berteriak marah.
Yu Goan menggeleng kepala. "Tidak,
Bwee-moi, Gi-hu tewas karena luka-lukanya, terutama sekali karena penyakitnya
yang lama kambuh kembali."
"Di mana penjahat itu? Bagaimana engkau
dapat lolos, Twako?"
"Bwee-moi, Supek, mereka itu ternyata
bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan rahasia dari pemerintah.
Mereka membebaskan aku di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu, dan mereka tadinya
menawan kami berdua hanya untuk dapat mempergunakan kami sebagai perisai ketika
mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah dan aku sendiri
telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang Hok Ci itu
adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya ke lembah
untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin."
"Siapa pun dia, jelas dia adalah seorang
penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!" kata Coa Leng Bu.
"Yu-twako, di mana mereka?"
"Mereka memasuki kota Sian-yang untuk
menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota itu. Aku ditinggalkan di sini
untuk mengurus jenazah Gi-hu. Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka itu
adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?"
"Yu-twako! Aku tidak peduli mereka itu
utusan pemerintah atau utusan raja sorga maupun raja neraka! Yang jelas, mereka
adalah pengacau-pengacau busuk yang telah menimbulkan malapetaka di atas tebing
dan di lembah, dan mereka telah menyebabkan kematian Gi-hu, bahkan telah
mencuri kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku
untuk memusuhi mereka, tidak peduli mereka itu orang macam apa! Bagaimana
dengan pendapatmu, Twako?"
Yu Goan mengerutkan alisnya dan menarik napas
panjang. "Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku telah memesan
dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak melakukan
perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan agar aku
membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi kepentingan tanah air
dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang mereka yang ternyata tidak
membunuhku, malah membebaskan aku dan memberi surat perkenalan kepada komandan
pasukan di Sian-yang? Bwee-moi, harap engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya
petugas-petugas belaka, dan kalau kita memusuhi mereka sama artinya dengan
memusuhi pemerintah. Mungkinkan kita memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi
bangsa sendiri?"
Siauw Bwee tersenyum pahit. "Twako,
banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan bangsa!
Jalannya pemerintahan berada di tangan raja dan semua pembantunya, dan justeru
pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak benar dan jahat!
Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga orang-orang yang benar-benar
berjiwa pahlawan dapat dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat
dan penjahat-penjahat macam orang she Ang itu bisa saja dianggap
pahlawan!"
"Aku akan mengejar ke Sian-yang, harus
mendapatkan kembali kitab pusaka, dan membunuh orang she Ang. Apakah Ji-wi mau
ikut?" Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu,
berkata dan meloncat ke depan meninggalkan mereka.
"Aku ikut, Supek! Twako, apakah engkau
mau pergi juga?"
Yu Goan menggeleng kepala. "Maaf,
Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku."
"Sayang sekali, Twako. Nah, selamat
berpisah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Siauw Bwee telah
lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke pintu
gerbang kota Sian-yang. Yu Goan duduk termenung dan berkali-kali menarik napas
panjang. Ia merasa seolah-olah semangatnya terbawa terbang melayang bersama
Siauw Bwee. Akan tetapi dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia
dapat melihat bahwa memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini,
yaitu tentang pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka
yang akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal. Seperginya Siauw
Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan mengeluarkan
sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat perkenalan untuk
komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia akan bekerja dan mendapat
kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang dianjurkan oleh
orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya
sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee.
Setelah hari hampir gelap, barulah pemuda yang
patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan mendiang Ouw-pangcu dan melangkah
perlahan-lahan menuju ke tembok kota Sian-yang yang sudah tampak dari situ.
Kota Sian-yang adalah kota yang besar dan
ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan tetapi juga menjadi kota
pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang amat kuat. Dalam keadaan negara
kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam dari pelbagai jurusan, setiap
kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan Sian-yang tidak terkecuali.
Bahkan Sian-yang dijadikan kota benteng yang menjadi pusat dari daerah di
sekitarnya, menjadi sebuah di antara benteng pertahanan jalan yang menuju ke
kota raja.
Penduduk kota Sian-yang yang padat itu setiap
hari masih melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar tetap ramai,
tontonan-tontonan masih terus mengadakan pertunjukan, restoran-restoran dan
penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau
memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa
dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun
begitu mereka dapat menetap di suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas
kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup
seperti biasa, tenang dan tenteram
Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah
yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi kota.
Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di kota, namun rakyat
yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa saja dan bekerja
terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran ketika dalam
beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi pembesar-pembesar militer
dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan
datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di
samping beberapa orang jenderal yang memegang kedudukan penting. Biarpun
kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti
biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang
turut datang ke kota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara
yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan
enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul
di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan
lenyap dalam arus manusia di dalam kota. Mereka menyewa kamar di sebuah rumah
penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di restoran, mereka
mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang tamu. Dari
percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba di
kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di antaranya yang
dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum
pernah terkalahkan oleh siapapun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam
hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan
Koksu dan para pembantunya.
Setelah selesai makan dan kembali ke kamar
masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, "Supek, amat
sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam kota sebesar ini di
antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah murid
Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri kini
datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu akan
menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau kita
pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu
berada di sana, aku akan menyergapnya!"
Coa Leng Bu mengerutkan alisnya. "Lihiap,
ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan
siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu dan
para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain berkedudukan tinggi,
menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap engkau suka menahan sabar,
tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai dan mengikuti gerak-gerik
Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam pertentangan melawan para
pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan mencelakakan diri saja."
"Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini
hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?"
Malam hari ini dengan pakaian ringkas dan
membawa pedang yang digantung di punggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu
keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala daerah
yang menjadi temnpat pertemuan para pembesar pada malam hari itu. Seperti
biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang
amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!
Dengan gerakan ringan dan lincah bagaikan dua
ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu meloncat ke atas genteng
dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang terang benderang dan
sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka. Mereka
merayap di atas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya
tiba di atas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai ke bawah.
Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam
gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang
yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan
lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin,
ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi
besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. Di
ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya
sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang
banyak. Di samping itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut
kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah.
Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai di
meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika
supeknya berbisik, "Di depannya itulah Bu-koksu...." Ah, kiranya
sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah
diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera
meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab
yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang
karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva sekalipun,
dia tidak akan sembrono melakukan hal itu. Siauw Bwee cukup maklum bahwa
orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang
duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari
Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk
bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka
kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka
tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh! Kalau apa yang ia
dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah
terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai
di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung
gerakan mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai
pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi
dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam
rombongan ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka
tampak kaku dan berat.
Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap
dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan
berkata, "Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!"
Siauw Bwee menoleh ke arah pembesar itu
memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan
kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan
setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia
merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela dengan
sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri,
kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya di lubang jendela, orang
yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki,
suhengnya yang amat dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak
percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip
suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia
melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa. Kalau
menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan hanya
Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela seperti
itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak
mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau
Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah
seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu
dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang
telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han
Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam Han
Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa
diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!
"Kam-taihiap! Duduklah di sini!"
Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.
Akan tetapi pemuda tampan yang duduk di
jendela itu, acuh tak acuh menjawab, "Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu
enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang mengintai
kalian!"
Mendengar ini, semua orang terkejut, akan
tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi. "Lari....!" kata
Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka.
Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak
menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di
atas ruangan itu sambil berseru,
"Suheng....!"
Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa
orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap, dan dia
tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya
bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya tidak mengenalnya?
Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya
miringkan mukanya dan mengomel, "Siapa menyebutku suheng?"
"Suheng! Ini aku, Khu Siauw
Bwee....!" Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan
itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu
adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai
pengawal nomor satu dari Koksu!
"Tangkap pengacau itu!" Tiba-tiba
Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk di sudut
ruangan. Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang
memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok
besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali.
Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat
suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak
dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya
meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang.
Begitu kedua kakinya menyentuh lantai,
pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah
pinggang Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat
lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan
suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba
saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat ke
atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok
menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan
kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga
ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan
goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
"Crot!"
Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke
belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang
pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu
menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan
berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.
Biarpun hatinya marah sekali bercampur
gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan
keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka,
mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu
akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan
para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia
kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya
berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan
hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal
raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya sambaran
sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee
lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja,
jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah!
Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai,
berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh
sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki kilat
yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan
golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah suhengnya yang masih
duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suhengnya
itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan
tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!
Pertandingan itu membuat mereka yang hadir di
ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat
kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah
pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi
itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun
belum pernah golok itu menyerempet sasarannya.
Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang
pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa
beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki, kajau
kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi
pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal
oleh kakak beradik selihai itu. Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa
ke dua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya,
tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati!
Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak
panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam ceritaSamkok
) membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee.
Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan
kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai
kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya yang ternyata
disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apalagi kini melihat
pengawal ke dua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat
tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal ke dua ini. Pengawal itu
cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya
untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi
kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat
kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu
sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua yang memegang tombak
panjang.
"Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan
ngawur!" Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan
tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.
Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu
lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu
yang menuju ke ulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak
tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak
itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia
menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan
kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu terkejut sekali,
khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya ia membetot
gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar) yang
mengandalkan kekuatan otot.
"Hekkk!" Tiba-tiba tubuhnya
terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot
tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat
menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas,
terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh.
Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee
menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari
belakang.
"Trangggg!" Bunga api muncrat
menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu
yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi
pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan
dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena
dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil
kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya
pun terguling roboh!
Setelah melempar tombak itu ke atas lantai,
Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring, "Koksu,
aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!" Setelah berjumpa dengan Han
Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa
akan maksud kedatangannya semula.
"Tidak! Kami datang pertama-tama untuk
bicara tentang manusia she Ang yang curang!" Tiba-tiba Coa Leng Bu
berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.
"Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua
lembah, Suhu," bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya.
"Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"
Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan
pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah melihat dua orang
jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi
masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua
orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut
dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh
sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu
kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika
ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Adapun
orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan
sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah
mendekati lima puluh tahun.
"Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan
orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi
orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!" Coa Leng Bu berseru dan
melangkah maju.
"Satu lawan satu!" terdengar Bu-koksu
berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan
menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju kuning
berkata kepada kawannya,
"Biarlah pinto menghadapi petani kotor
itu!" Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah
mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan
supeknya.
Kini dua orang itu saling berhadapan tidak
segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam,
seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak
saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.
"Majulah, petani busuk!" Tosu itu
membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat
lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun
tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung
lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan
bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.
"Taijin, kami datang bukan untuk
bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami
memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!" kata Coa Leng Bu dengan suara
tenang.
"Tak perlu mencari muka, sambut
tanganku!" Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan
tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri ke
arah perut.
"Plak-plakk!" Coa Leng Bu menangkis
dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental,
kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan
kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak
tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan
betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata
mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar.
Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika dorongan telapak tangan
lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu
silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum
bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa
membunuh lawan.
Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam
beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini
mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di
jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau
suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suhengnya,
sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es. Suhengnya adalah
seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang
berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan
diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti
tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat
atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!
Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang
benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti
itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi
kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan
yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman
Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri
Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara. Seperti telah diketahui,
tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar
maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian
bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam
pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan
makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya
sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak
berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu.
Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang
tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen
dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata
untuk dapat membalas dendam itu. Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia
memikirkan betapa sumoinya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada
segala keruwetan dunia, apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di
Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!
Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee.
Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya mereka berdua
akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya
yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi
dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es,
meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa
Siauw Bwee!
Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu?
Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta
kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang
saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua! Memang, kadang-kadang
dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya
terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan
kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada
keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal
ini yang dianggapnya terlalu jahat!
Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya,
maka sumoinya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus
mencari Siauw Bwee ke mana? Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari
kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa
pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke
pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya
itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian
Cinjin.
Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu
dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san,
luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar
yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan perjalanan
dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh
sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa.
Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal
dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali
teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat
ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya
ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang
tokoh-tokoh Beng-kauw, "Di puncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang
ada hanya kuburan-kuburan!"
Mendengar ini, Han Ki cepat berlari mendaki
puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan pondok yang
sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi. Dengan hati
kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat
nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman
kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di
waktu ia masih kecil. Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak
karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali
ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka
yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa
kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah nama
masing-masing yang terkubur terdapat tulisan "Gugur dalam mempertahankan
Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi
dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan
kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.
"Paman, mohon tanya di mana adanya kedua
orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal
di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"
Kakek petani itu menghela napas panjang
sebelum menjawab. "Kaumaksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh.... sungguh
kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada? Semenjak
Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang
masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana...." Suara orang itu penuh
duka dan keharuan. "Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia,
sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi
orang-orang yang baik hati?"
"Paman, siapakah yang telah menjatuhkan
Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat Beng-kauw?"
Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan.
"Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"
Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini
mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
"Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang
Kam-kouwnio itu adalah enciku."
Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut
di depan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera
menyusut air matanya dan bercerita,
"Saya dahulu juga seorang anggauta
Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua
tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri. Anak
buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja
termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi
anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio
dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu,
kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali
Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban.
Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala bantuan dan
habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di
pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok
Lama."
Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga
marah sekali. "Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan mencari Hoat
Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!" Sekali
berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari dengan
pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu
berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Terima kasih kepada Thian yang agaknya
menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia
berhasil!"
Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus
langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan
hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan
kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru kemudian mencari
kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun di sepanjang
jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan
untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi
perkumpulan agama yang ditakuti orang.
Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba di
puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar
Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang
amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang
sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal di situ hidup sebagai
petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.
"Saudara sekalian, harap suka memberi
keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"
Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan
ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan
mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa,
melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat.
Tentu saja Han Ki terkejut bukan main, akan
tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali
ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki
tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki masih meragukan
apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah
yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam
itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika!
"Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah
kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"
Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah
bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar dari lumpur dan
melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian.
Seorang di antara mereka bertanya.
"Maaf...., apakah Taihiap yang gagah
perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"
"Sahabatnya? Dan apa kaubilang? Mendiang?
Jadi manusia iblis itu sudah mati?"
Enam orang itu menarik napas lega. "Uihh,
kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka
bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia
sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan
sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini?
Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap
kepada Bu-tek Lo-jin?"
Han Ki sudah mendengat nama besar Im-yang
Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya.
Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa
sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.
"Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua
orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."
"Ahhhhh...., mengapa Taihiap datang
terlambat....?" Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan
diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan
petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.
"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil.
Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian
seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"
Orang tertua dari mereka berkata, "Kami
adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat
Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin
dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini,
sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali
Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi.... ah....
Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka....
mereka telah menjadi korban dan tewas...."
Seketika pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa
sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya, hampir saja dia
roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia
berkata singkat, "Ceritakan....!"
Orang tertua itu lalu menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan
dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa kedua
orang encinya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan batu-batu gunung.
"Di mana mereka terpendam? Lekas
tunjukkan kepadaku!"
Enam orang itu lalu menuju ke bukit di mana
dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika
Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air
matanya bercucuran. "Pergilah kalian, jangan ganggu aku!" bentaknya dan
enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali,
ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka
menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka.
Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu
kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka.
Memang Han Ki seperti menjadi gila saking
hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan seluruh
tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan
terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar ke
dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah
kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan
marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Saking tekunnya membongkar batu dan
mengerahkan seluruh sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat
beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh
kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di
tengah sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang
merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah
batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia
berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas
pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!
"Aduh, Kui-cici...., Hui-cici....!"
Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu, kemudian ia mengumpulkan kerangka
itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka, kemudian menggali
lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan
tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah
batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang encinya dengan goresan
jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua kuburan dan ia menangis
tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam keadaan pingsan!
"Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun
tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!" Terdengar orang berkata
dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka mendengar
penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian membunuh mereka begitu
saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang bermarkas di
Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan
Thian Ek Cinjin. Kedatangan mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih
terhitung adik seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong.
Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah merampas Beng-kauw,
mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan dengan suhengnya agar
kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan ke situ selain disertai ketua
Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu
Coa Sin Cu.
Untung sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa
dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira bahwa mereka
adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka menceritakan
keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat Bhok Lama dan
tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur dua orang
encinya. Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat
terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang
bekas anggauta Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan
menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar.
Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar.
Biarpun Han Ki hampir kehabisan tenaga membongkar batu-batu tadi, kalau saja
dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini
empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak,
kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok
tubuh yang pingsan itu.
"Jangan!" Tiba-tiba Liem Cun, isteri
Coa Sin Cu, mencegah. "Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu
tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi
kita." Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad
itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian
menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu, bungkusan dibuka dan dia menjumput
sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.
"Buka mulutnya, paksa obat ini masuk ke
perutnya!" katanya.
Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin
ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa.
"Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun
isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari
semalam dia akan pingsan terus!"
Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka
dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya. Karena masuknya arak ini ke perut
dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia meronta dan
melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri, akan tetapi
Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua kalinya, akan
tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki perutnya.
"Hebat, dia lihai bukan main!"
Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi
terlempar jatuh.
"Mengapa tidak dibunuh saja orang yang
berbahaya ini?" Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya, merasa
ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.
"Ah, dia tepat sekali bagi kita,"
kata Coa Sin Cu. "Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi
kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua
datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja,
aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima
bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan,
tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah.
Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat
jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan kalau
sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen
tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil menyelundup ke
sana dan menduduki jabatan penting!"
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan
berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal
obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan
arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar ini berada dalam keadaan pingsan
terus-menerus selama sepuluh hari!
Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin
Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima dua
orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya
diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak
membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili.
Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja. Dia sudah
mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak
terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia
bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han
Ki. Alangkah akan kuat kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat
memiliki seorang pengawal seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat
memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini. Akan tetapi tentu saja tidak
mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak
kekurangan akal. Dia, di samping ilmunya yang tinggi, juga sudah lama tinggal
di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya, buatan seorang
pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat
dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan
kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala
perintah orang yang menguasainya pada pertama kali.
Demikianlah, dengan menggunakan I-hun-tok-san
ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki, selama tiga hari
berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya di sebuah kamar yang
amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah
memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan pingsan dan hampir
mati.
Han Ki adalah seorang yang memiliki dasar
watak pendekar budiman. Seorang pendekar tidak pernah melepas
budi, akan
tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biarpun ingatannya samar-samar
dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit dan hampir mati, kenyataannya
bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan
pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah, dengan
amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan
memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki
disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka
bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat
setia.
Namun, ada hal yang mengecewakan hati
Bu-koksu. Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah
mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu sama
sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa sama
sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki yang
sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena dia
memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia dua
puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda!
Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki
dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain, bahkan
tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya ucapan Bu-koksu
seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta, kalau melihat koksu itu
diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi. Seperti keadaan seekor
anjing yang terlatih dan amat setia!
Marilah kita kembali ke dalam ruangan kepala
daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan
pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas langkan jendela,
tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah
apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu
lagi dengan pikiran kosong!
Seperti telah diduga Siauw Bwee, pertandingan
antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu
tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya telah dapat mendesak lawannya
sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan
tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang
dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin
berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena
terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. Ia terjengkang dan roboh, meringis
kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang
sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah
berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi
karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului,
selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan
sin-kang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali,
tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya
dirampas oleh lawannya!
"Kurasa sudah cukup Totiang!" kata
Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek Cinjin
marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia
tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?
"Mundurlah, Cinjin, biar aku yang
melawannya!"
Bentakan ini keluar dari mulut Pat-jiu
Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok. Karena dia maklum bahwa petani
tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang,
tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng
Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya,
yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan
kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.
"Ihhhh....! Pat-jiu Sin-kauw berteriak
kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat gerakan
berputar menjadi agak kacau. Tahulah dia bahwa lawannya itu memiliki tenaga
sin-kang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan
tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari
bawah ke arah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu
pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat!
Menghadapi pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa
Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan Jit-goat-sin-kang, karena hanya
dengan tenaga sin-kang ini sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang
tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan
mereka tidak cepat sekali namun setiap gerakan tangan yang memukul atau
menangkis mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar
di sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.
Siauw Bwee memandang kagum. Dia dapat mengukur
Jit-goat-sin-kang yang dikuasai supeknya sekarang. Terasa betapa di ruangan itu
hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang
sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia
pun dapat melihat bahwa supeknya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai
sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang supeknya masih dapat menahan
serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supeknya masih kalah jauh dan
begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang,
supeknya terdesak hebat.
Si Sastrawan Ang Hok Ci berbisik kepada
gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan Jit-goat-sin-kang.
Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa! "Ha-ha-ha, jadi hanya begini
sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal ini? Kalau hanya begini, mengapa mesti
susah payah mendapatkannya?"
Mendengar ini, tahulah Siauw Bwee bahwa
sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari kitab
peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempeiajari Jit-goat-sin-kang. Kini mendengar
koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu masih
kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara
perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang
macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat
dipercaya? Salah-salah supeknya akan terbunuh!
Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw,
"Petani busuk, menggelindinglah engkau!"
Ternyata setelah mendesak lawannya dengan
hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan
Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa
dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sin-kang.
Biarpun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga
sin-kang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap
mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia
mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang berhati kejam
itu.
"Supek, mundur!" Tiba-tiba Siauw
Bwee berseru nyaring, tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua orang
yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan
tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang ke
belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya,
dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera muhdur sedangkan
Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat
lagi memperbaiki posisinya. Kakek ini memandang Siauw Bwee dengan mata
terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur,
"Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang
mengeroyok. Aturan mana ini?"
Siauw Bwee tersenyum mengejek. "Biarpun
belum kaurobohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum
melukai atau membunuh? Anggap saja dia mengalah kepadamu dan marilah kita
main-main sebentar kalau memang kau ingin memamerkan kepandaianmu!"
Pat-jiu Sin-kauw adalah seorang yang berilmu
tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia merasa direndahkan kalau harus
melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring, "Kalau supekmu
saja sudah kalah olehku, apalagi engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila
hendak melawanku?"
Siauw Bwee menoleh ke arah Bu-koksu dan
berkata nyaring, "Koksu, begini sajakah jago-jagomu? Kalau memang takut
melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani
melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!"
Ejekan ini benar-benar hebat, membuat muka
Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya merasa segan
dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya menjadi makin
merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara Bu-koksu,
"Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan
itu?" Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di sana-sini.
"Bocah setan, engkau sudah bosan hidup!
Sambutlah ini!"
Dengan gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw
menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah
sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan
saja, namun sambil mengerahkan sin-kang.
"Plakkk!" Tangan yang besar itu
tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya.... tubuh Pat-jiu
Sin-kauw terpelanting!
Semua orang berseru kaget, akan tetapi tidak
lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya
menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang
memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan
Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin
yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur
keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang
amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua
ilmu ini sekaligus berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud
membunuh dara itu.
Semua orang memandang terbelalak, demikian
pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan
diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan
celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap
seperti juga semua orang yang berada di situ.
Betapa heran hati mereka yang menonton ketika
melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya saja yang bergerak amat
cepat sehingga dus lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya,
semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali
kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga
langkah! Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu
sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee
mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar
gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu
dan yang kini, berkat latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah
menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan ilmu silat maupun tenaga sin-kang
Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka
biarpun dara itu hanya menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan
terpental ke belakang.
Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan
heran sekali. Dia tidak tahu bagaimana caranya dara itu menghadapi
serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan gerak
tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya terpental
kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia merasa
penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan seorang
dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka
sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk
mengadu tenaga sampai mati!
Akan tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari
depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang setelah
pendengarannya, menangkap gerakan lawan di belakangnya, akan tetapi dia hanya
melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya.
Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat
dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan
Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala
Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening. Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw yang pening
kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua orang yang menonton
pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang
mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan
amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki
kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mujijat dan cepat
sekali.
Setelah menganggap cukup memberi pelajaran
kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak,
kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat dipertahankannya lagi, Pat-jiu
Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee!
"Aihh, engkau orang tua terlalu sungkan,
mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?" Siauw Bwee
berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan
Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.
Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran
sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika mendengar suara ketawa
ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk
menerjang mati-matian mengadu nyawa.
"Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona
ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte
saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu
untukku!"
Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan
mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika mendengar
perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang
Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata
mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru,
"Suheng....!"
Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja
panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang
asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang.
Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan
Siauw Bwee!
Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak
dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali.
Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan
jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi
dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah siap untuk
menerjangnya.
"Suheng.... jangan melawanku....!"
Ia berkata dengan hati bingung.
Han Ki memandangnya dengan sinar mata kosong,
kemudian terdengar ia berkata,
"Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan
engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!"
"Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw
Bwee....! Suheng....!"
Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri
Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya.
"Eh, kau pandai juga!" Han Ki yang
cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar ke arah lengan
Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kemball tangkapannya luput!
"Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan,
pukul roboh dia!" Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, "Dia datang
mengacau!"
Han Ki mengerutkan alisnya. "Baik,
Loheng!" Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee.
Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum
bahwa suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan
menangkis.
"Plakkk!" Tubuh Siauw Bwee terhuyung
ke samping karena betapapun juga, tenaga sin-kangnya masih belum dapat
menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan
tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat
berbahaya. Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat
menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas
dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa
suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan
niat merobohkan Han Ki dari dapat melarikan suhengnya itu dari situ!
"Eh, kau lihai!" Kembali Han Ki
berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan
berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.
"Plakk!" Sebelum tangan Han Ki dapat
menangkap kaki yang menendang itu, kaki ke dua dari dara itu telah menghantam
tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan tetapi
pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir
balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.
"Aihhh.... bagaimana kau bisa sehebat
ini?" Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim
serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Siauw Bwee tentu
saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan
tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi
suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau
Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang
berlatih, melalnkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!
"Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik
sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!" Ucapan Han Ki ini
membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai
niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia
berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak
sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes
turun.
"Wuuutttt!"
"Alhhh.... plakkk!" Hampir saja
Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi
kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya,
yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang
telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu
dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa
harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu
gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih
selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian
lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!
Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar
disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang
amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat
jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya
itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya
terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar
dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia
akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu
saja masih kalah, apalagi dia!
Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali di
luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat.
Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul gencar dan derap kaki
kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang
yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han
Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa
hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam
keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar
suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan.
Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Suhengnya itu bergerak atas perintah
lain orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang
menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah
maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya,
bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan
dan menawan suhengnya, untuk melarikannya. Akan tetapi ternyata olehnya bahwa
biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu
kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan
main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat
kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu
tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini
berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya! Dia hanya mampu
mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi
kesempatan membalas, bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak
memiliki dasar watak yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud
membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena
suhengnya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih
dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya!
Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat
bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah
serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh
penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke dalam kota,
bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi
perajurit-perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan
kekacauan.
"Hemm, berapa jumlah mereka?" Koksu
bertanya sambil mengerutkan alisnya.
"Menurut hasil penyelidikan, mereka itu
hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai,
akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah
perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang
yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!"
"Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar
sendiri!" Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih
bertanding dengan gadis perkasa itu. "Kam-siauwte, hentikan pertandingan,
biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal,
tangkap dua orang itu!"
Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat ke
belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam
ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan
berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama
mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!
Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia
memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini
telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga
mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat
mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.
Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang
oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa Leng Bu melawan
mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapapun
ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu
kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan
Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat
kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah
menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada Coa Leng Bu
yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan
tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.
Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee
menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua
tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya, maklum
bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si
Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup
jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat.
"Krakkk! Cusss!" Tangan kirinya
dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat
mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan
kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga
leher orang ke dua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw
Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil
menendang dengan kedua kakinya.
"Dess! Bukkk!" Tubuh Si Dampit
terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking
nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan
mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling
menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau
tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti
itu. Dengan kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya
itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga
marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu
bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang
dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam
tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.
"Krekkk!"
seketika pecah kepala itu dan matilah
orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai masuk
ke dalam leher dan orang ke dua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata
mendelik! Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak
sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak
manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya,
manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang
sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman
sependeritaan. Manusia yang belum sadar dan pandang mata batinnya diselubungi
nafsu mementingkan diri pribadi sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan
siapapun juga kecuali terhadap tubuh sendiri, selalu akan merasa terhibur dari
kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri
hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa
dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang laln untuk menyalahkannya, sama
sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua
orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama
seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama
dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka
berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang
tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci
dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh!
Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!
Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu
sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau
mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang
laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan,
dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan
tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan
didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian
banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan
karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan
inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan
kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan
sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa jahatnya manusia yang belum memillki
kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan
pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan
pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini
masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan
suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun di dasar hati,
biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai di
antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi
perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai
tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar
dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya
adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan
saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh
masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat
perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa
bahwa Tuhan akan melindunginya!
Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai,
melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan
mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia. Karena, perang hanyalah
pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh
pertentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan
antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau
antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian
antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya
hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari
keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul
pertentangan.
Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena
saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan
supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya bergulingan dan diancam
tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini
kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.
Karena maklum bahwa keselamatan supeknya
terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang
menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ, kaki tangannya bergerak
dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin
terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar
Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela! Gegerlah
para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak
dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supeknya telah lenyap.
Ketika semua orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang
lebih menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger.
Di sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak
dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak
pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka
kewalahan dan terdesak. Mereka mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi
kacau, berkembang di seluruh pelosok kota. Di sana-sini bahkan terjadi
kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri dan
bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya
kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau. Penduduk menjadi panik,
mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka berbondong-bondong
pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan serta barang-barang
berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak keluar dari pintu
gerbang kota, mengungsi ke lain tempat. Akan tetapi para pasukan penjaga
melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka dengan
keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa pemberontak yang
dikejar-kejar.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap
di antara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik tidak karuan itu
sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak mereka. Siauw Bwee mengajak Coa
Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya mereka mendapat
keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan orang mata-mata Mancu yang
menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat mempengaruhi beberapa losin orang
tentara sehingga memberontak.
Dengan marah, Bu-koksu sendiri turun tangan
mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan, menjaga
tempat-tempat penting. Ke mana pun dia bergerak, Han Ki selalu mengawalnya.
Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki, menunggang kuda dan
berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang melakukan pembersihan.
Namun, karena malam tiba dan para mata-mata itu melakukan taktik bersembunyi di
antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan rumah-rumah rakyat, memancing
kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu sendiri dan anak buahnya
menjadi kewalahan. Memang benar bahwa para serdadu yang memberontak telah
ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan
diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan
biarpun para penjaga telah melakukan penggeledahan di seluruh rumah penduduk
kota. Hal ini adalah karena para mata-mata itu amat cerdik, selalu
berpindah-pindah dan bersembunyi ke dalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan
mengancam penghuninya dan pura-pura menjadi anggauta keluarga penghuni rumah
itu.
Malam itu merupakan malam yang paling ribut di
Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari ke sana ke mari dan
tingkah-polah para anggauta tentara yang mencari mata-mata ini menambah
kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk memukuli
rakyat yang dacurigai menyembunyikan para mata-mata musuh. Semalam suntuk
terjadi kebakaran di sana-sini dan para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu
saja setelah melakukan pembakaran, berada di tempat yang jauh dari kebakaran di
mana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat. Semalam
suntuk, tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti
datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam
kota, amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu
gerbang.
Paginya, pagi-pagi sekali penduduk tersentak
kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu dan di luar rumah,
di jalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggauta tentara yang berlarian
menuju ke benteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu
ke kota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar
rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk
mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela
kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyelinap di
antara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan apa yang
sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang tinggi di
dekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini mereka
mengintai ke atas benteng dan keluar benteng. Kiranya dari jauh tampak barisan
besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota
Sian-yang! Setiap pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh
pasukan berkuda yang gagah. Paling depan tampak beberapa orang perajurit
berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang pangllma Mancu
yang juga menunggang kuda. Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
melihat bahwa di antara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima
wanlta. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh. Dia menduga-duga dengan penuh
keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang
duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati
benteng, menuju ke atas pintu gerbang di mana berdiri Koksu dan para panglimanya.
Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah panglima wanita
itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam melambal-lambai tertiup
angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa sinar matahari pagi, dan
senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah pasukan itu menyilaukan
mata.
Dari tempat sembunyinya yang jauh itu Siauw
Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan tantangan pihak
Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan disusul majunya seorang
panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan suara seperti geledek
menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya yang bergerak maju
pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan berkuda dan bergolok panjang
dikempit dengan lengan kanan.
Melihat ini, Koksu lalu memerintahkan seorang
panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya. Panglima ini masih muda,
bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun sepasang matanya tajam
dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun melengking nyaring ketika dari
atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada perwira-perwira pembantunya ke
bawah. Pasukannya disiapkan, juga berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu
gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan dan pasukan keluar dari dalam
benteng. Panglima muka kuning itu memberi perintah kepada pembantunya. Kudanya
yang berbulu hitam disiapkan di luar benteng, dan dengan gerakan lincah sekali
panglima muka kuning itu melayang turun dari atas benteng!
"Wah, hebat juga gin-kangnya....!"
Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang turun dan tubuhnya
tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng! Seorang pembantunya
menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal kuda ke depan
barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari atas tembok
benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama sekali
dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jerih pihak
musuh.
Panglima Mancu yang bertubuh tinggi besar itu
mengeprak kudanya maju, menyeret golok panjangnya menyambut majunya Panglima
Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan, terdengar bunyi
nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang,
trang-tring-trang-tring diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.
Pertandingan itu berlangsung seru sekali dan
ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang. Mungkin panglima
muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah tenaga sehingga hal
ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan mati-matian itu berjalan
makin seru. Sungguh tidak beruntung bagi panglima muka kuning, ketika lawannya
menghantam sekuat tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak,
hantaman yang amat kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan,
kudanya meringkik kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan
kuda itu berjingkrak. Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan
keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok lawan menyambar dan ia kembali
menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut
pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang
bersenjata golok bergagang panjang.
Sorak-sorai pasukan Mancu yang menyambut
kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung di bawah pimpinan para
perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja pasukan Mancu tidak tinggal
diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian.
Terjadilah perang yang dahsyat antara dua ribu
orang perajurlt itu, perang campuh di atas kuda yang menggiriskan hati Siauw
Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat betapa dua ribu orang itu
saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat bergelimpangan terinjak-injak kuda,
jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan kemarahan, tawa dan tangis
bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul tinggi!
Pasukan Mancu itu adalah pasukan yang terlatih
baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya maka mereka bertanding dengan
semangat tinggi, kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai kerja sama yang lebih
baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak dan kewalahan.
Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira pembantunya juga
tewas, maka sisa pasukan yang kehllangan dua ratus orang lebih itu mundur
melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan musuh.
Koksu yang marah sekali melihat ini,
memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng menghujankan anak panah ke
arah musuh, kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang kini telah
memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang perajurit menyerbu keluar.
Pasukan pengejar yang dihujani anak panah itu
menghentikan pengejaran, kemudian merekalah yang mengundurkan diri karena ada
aba-aba dari belakang agar mereka mundur. Panglima Wanita Maya melihat
keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua ribu orang lalu memerintahkan
Kwa-huciang, pembantu utamanya, menyambut serbuan musuh itu dengan membawa tiga
ribu orang perajurit.
Kini terjadilah perang yang lebih hebat lagi,
sebagian berkuda, sebagian pasukan berjalan kaki dan makin banyaklah kini darah
berhamburan, nyawa melayang dan debu mengebul makin tinggi.
Panglima Maya mempergunakan sisa pasukannya
untuk menyerbu ke benteng dan di pihak Sung mengadakan perlawanan, menghujankan
anak panah dari atas tembok yang dibawa oleh pihak penyerbu. Karena kalah
banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat menyerbu masuk dan Koksu yang
dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah, melarikan diri dari belakang
merobohkan pihak penyerbu yang mengurung kota itu dari belakang pula. Berkat
kelihaian Han Ki, akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah
Sian-yang, dapat melarikan diri menunggang kuda dan terus lari ke selatan,
menuju ke kota Ta-tung di mana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi
sebagai benteng pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan
kota Sian-yang, sebagian pula ada yang berhasil menyelamatkan diri ke selatan,
akan tetapi lebih banyak yang roboh dan tewas menjadi korban amukan tentara
Mancu yang bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyerbuan kota itu
menjadi mudah berhasil berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak buah
Panglima Maya.
Dalam keributan ketika pasukan Mancu menyerbu,
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang tadinya bersembunyi di atas pohon itu cepat
meloncat turun dan terpaksa melarikan diri memasuki kota dan bersembunyi di
dalam sebuah kuil tua di mana ternyata sudah terdapat banyak orang bersembunyi
pula.
Sudah menjadi lajimnya manusia-manusia di
dunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka hebat di mana
perikemanusiaan sudah diinjak-injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu
membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap. Di dalam perang biasanya
yang menang seperti harimau haus darah, ingin membunuh sebanyak mungkin, ingin
menyiksa sepuas hatinya karena selalu teringat olehnya bahwa kalau dia kalah,
maka dialah yang akan tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya siapa yang lebih
dulu membunuh, dia wenang! Kemudian akibat kemenangan ini membuat mereka yang
haus darah menjadi kejam sekali, perampokan terjadi di mana-mana, pembunuhan,
penyiksaan dan perkosaan!
Dengan dalih "pembersihan", bala
tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh siapa saja yang
dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita muda
diganggunya, diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis membubung
tinggi di angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun, dalam
perang, siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak berada di
tangan yang menang. Andaikata keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang
menjadi penyerbu dan pemenang, keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah
menjadi sifat manusia pada umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun
dan mohon perlindungan Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam
kebencian yang hebat. Kalau sedang menang dan jaya lupa akan perikemanusiaan,
berbuat sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mencari jalan keluar
dari kota itu, namun sia-sia. Pihak Mancu, atas perintah Panglima Maya yang
cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, lalu mengatur penjagaan
ketat, menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng pertahanan, tidak
memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus. Kemudian Panglima Maya dan
Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu, menjatuhkan perintah
kepada semua perajurit, melarang mereka melanjutkan perbuatannya merampok,
membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya ditangkap dan akan
diperiksa. Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman berat.
Maya memang cerdik. Pengalamannya ketika ia
lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang melihat hal-hal mengerikan sebagai
akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat pasukannya berhasil menyerbu
kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa, maka pesta-pora mereka yang kejam itu
hanya untuk melampiaskan nafsu yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau
begitu berhasil lalu menjatuhkan larangan, hal ini akan mengecewakan hati
pasukan dan menimbulkan rasa tidak senang sehingga mudah memberontak. Akan
tetapi, juga tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut. Maka setelah membiarkan
pasukannya berbuat sesukanya itu, dua hari kemudian, dia mengumumkan perintah
ini.
Pengumuman ini membuat rakyat yang tadinya
ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali. Penghuni kota diperkenankan
bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh pemerintah baru.
Betapapun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih terjadi di
sana-sini sungguhpun perajurit-perajurit itu tidak lagi berani membunuh orang.
Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali perkosaan yang
dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terpaksa
meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang perajurit Mancu yang
galak-galak. Para pengungsi di dalam kuil terdiri dari dua puluh orang lebih
dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh masuknya belasan
orang perajurit itu. Waktu itu, pengumuman dari Panglima Mancu belum ada, maka
para perajurit itu segera menyerbu, menendangi orang dan merampas
buntalan-buntalan. Beberapa orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi ke
situ, ditendang roboh dan dirampas buntalan mereka. Buntalan dibuka dan isinya
dibuang ke sana-sini, hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada di
antara para pengungsi itu hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok
roboh. Seorang wanita tua lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu
mencakar muka seorang para perajurit yang merampas buntalannya. Yang lain-lain
menjerit dan berusaha lari, akan tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau
tendangan kaki.
Siauw Bwee menjadi merah mukanya dan ia sudah
hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu
yang berbisik, "Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan kita...."
Kemudian Coa Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee
diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat penyembelihan manusia dan
menjadi tempat perbuatan sewenang-wenang itu. Akan tetapi mereka melihat Siauw
Bwee dan segera terdengar seruan-seruan girang.
"Aduhhhh! Ada yang sejelita ini sembunyi
di sini! Wah, untung besar kita.... ha-ha-ha!"
Seorang perwira Mancu yang agaknya menjadi
kepala pasukan kecil ini sudah meloncat menubruk, matanya bernyala penuh gairah
nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu maklum bahwa kalau perwira itu sampai
mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu takkan membiarkannya dan menerjang ke
depan, menyambut perwira itu dengan tendangan yang membuatnya terjengkang!
Melihat betapa supeknya jelas dengan sengaja
tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee menjadi sadar. Dia maklum bahwa kota yang
sudah diduduki bala tentara Mancu itu merupakan tempat yang amat berbahaya.
Mereka tidak dapat lolos keluar dan kalau sampai mereka membunuh tentara lalu
dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya bagi mereka. Maka
sambil menahan kemacahan, ia pun lalu berkelebat merobohkan para perajurit
Mancu yang kini datang mengeroyok mereka berdua. Dalam waktu singkat saja dia
dan supeknya telah berhasil meloloskan diri dari mereka dan cepat melarikan
diri, menyelinap di antara banyak orang dan mencari tempat persembunyian baru.
Tiba-tiba terdengar jerit wanita dan Siauw
Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ke tempat itu, di balik sebuah jalan
tikungan di mana tampak orang-orang melarikan diri dan perajurit-perajurit
Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok. Ketika Siauw Bwee dan
supeknya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang serdadu yang tertawa-tawa
dan dari dalam kereta itu terdengar jerit wanita-wanita tadi, dara sakti ini
tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tanpa mempedulikan pencegahan
supeknya, dia telah menerjang maju, membuat empat orang perajurit terpelanting
ke kanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi kereta. Kiranya ada
empat orang perajurit di dalam kereta, sedang tertawa-tawa dan hendak
memperkosa dua orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan seorang pula
adalah ibu dara itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan berpakaian
seperti seorang wanita bangsawan.
Siauw Bwee mereggerakkan tangan empat kali dan
tubuh empat orang perajurit itu terlempar keluar dari kereta dengan kepala
pecah! Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Akan tetapi, Siauw Bwee telah
menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat keluar dari dalam kereta sambil
berseru,
"Supek, kita harus selamatkan
mareka!"
"Celaka...., hayo cepat lari!" Coa
Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan Siauw Bwee karena
menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu tak mungkin
tinggal diam.
Wanita bangsawan itu berkata, "Nona
penolong, bawa kami pergi ke ujung selatan kota di sana ada tinggal seorang
adikku, membuka toko obat."
"Supek, mari kita ke sana!" kata
Siauw Bwee dan dengan cepat mereka itu lenyap menyelinap di antara banyak
pengungsi dan akhirnya mereka berhasil tiba di toko obat dan cepat-cepat mereka
disembunyikan di ruangan belakang. Kiranya nyonya itu adalah isteri seorang
pembesar di kota itu. Rumahnya sudah habis dirampok dan suaminya mati terbunuh,
bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu dan anak gadisnya yang berhasil
melarikan diri melalui pintu belakang, ditolong oleh kusir mereka yang setia.
Akan tetapi sial bagi mereka, di tengah jalan mereka dihentikan oleh pasukan
tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja mereka menjadi korban kebuasan
perajurit-perajurit Mancu kalau saja tidak tertolong oleh Siauw Bwee.
Nyonya bangsawan itu bersama puterinya
berlutut menghaturkan terima kaaih kepada Siauw Bwee, akan tetapi dara perkasa
ini membangunkan mereka sambli berkata, "Dalam keadaan seperti ini, tidak
ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta yang senasib saling
melindungi. Sekarang pun aku dan supekku minta perlindungan kalian, agar kami
diperbolehkan bersembunyi di rumah ini sampai malam. Menjelang tengah malam,
kami akan berusaha menyelundup keluar kota."
"Lihiap telah menolong keluarga kami,
tentu saja Lihiap boleh sembunyi di sini," kata adik nyonya bangsawan
pemilik toko obat itu. Coa Leng Bu dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar di
ruangan paling belakang dan setelah mengisi perut dengan hidangan yang hangat,
mereka berdua mengaso dan bercakap-cakap.
"Kita baru dapat keluar kalau keadaan
sudah gelap sekali. Kita harus dapat melewati tembok kota dan sebaiknya kalau
aku yang lebih dulu mencari jalan keluar. Tembok kota raja luar terkurung air
dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan menimbulkan banyak perhatian
apalagi para serdadu itu seperti serigala kelaparan kalau melihat wanita muda.
Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar sebagai seorang pengungsi yang
mencari keluarganya yang tercerai dalam keributan dan akan kucari bagian yang
paling lemah untuk diterobos. Kau menanti di sini dan beristirahatiah."
Siauw Bwee tak dapat membantah. Biarpun dia
jauh lebih lihai daripada supeknya, akan tetapi dia adalah seorang wanita muda
yang tentu akan menimbulkan banyak kesukaran dalam usaha itu.
"Baiklah, Coa-supek. Akan tetapi harap
Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak orang pandai sehingga Koksu
sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat dikalahkan dan kota ini
diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk mengejar Kam-suheng."
Mendengar ini Coa Leng Bu mengerutkan alisnya
dan ia teringat akan pemuda tampan yang lihainya bukan main itu, lalu ia
menghela napas. "Telah kuperhatikan ketika mendengar engkau menyebut
suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung sekali mataku dapat memandang
murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Akan tetapi, menurut
penglihatanku berdasarkan pengalaman, suhengmu itu berada dalam keadaan yang
tidak wajar, Khu-lihiap."
"Itulah yang membingungkan hatiku, Supek.
Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana mungkin hal seperti itu
terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap seaneh itu?"
Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Tidak,
Lihiap. Kalau aku tidak salah duga suhengmu itu tentu telah diracuni dengan
semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga dia lupa akan segala hal
yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh Bu-koksu."
"I-hun-san....?" Siauw Bwee
memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. "Akan tetapi,
suhengku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai
terkena racun....?"
Kakek itu menghela hapas. "Boleh jadi dia
lihai sekali. Menyakslkan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus kuakui bahwa
selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan tetapi dia
masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi cukup untuk
melindungi diri daripada serangan yang kasar, namun untuk dapat melindungi dari
tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman. Sudahlah, kita akan
menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar lebih dulu dari kota
yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya, tentu dia
menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan melakukan
penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota."
Siauw Bwee mengangguk dan supeknya itu lalu
meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan atas meloncat ke
atas genteng dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan mencari jalan yang
memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat.
Malam itu Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah
di atas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang
terkurung di dalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam
Han Ki, suhengnya. Memikirkan suhengnya yang dicintanya itu, selain gelisah,
hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa
suhengnya, seperti juga dia, adalah keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa
pahlawan, dan andaikata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah
dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan
tenaga untuk kepentingan mereka. Suhengnya adalah keturunan keluarga Suling
Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak,
hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan
kepentingan negara. Dan sekarang, tenaga suhengnya dipergunakan oleh negara
secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andaikata saat itu ia
berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.
"Eiiggghhhh....! Toloooongggg....!"
Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut yang berteriak
itu didekap. Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya
karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa
membuang waktu lagi dia meloncat keluar kamar dan lari ke depan. Dapat
dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil
tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas
di atas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya.
"Iblis....!" Ia membentak dan
menerjang maju. Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang
muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung
menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak,
tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental,
pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat
bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee telah menyambar seperti kilat dan mereka
itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!
Dari bawah sinar lampu, Siauw Bwee melihat
bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri nyonya
bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu dilarikan
serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki sebuah warung kosong di mana
ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang di tangan kanan, ia menerjang
masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee seperti hendak
meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa
gadis puteri bangsawan itu di atas meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama
sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa, seorang serdadu hendak merenggut
lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu ke dua sambil memegang lengan gadis itu,
menampari mulut gadis disuruh diam!
"Anjing busuk!" Siauw Bwee memaki,
pedangnya berkelebat.
"Singgg....! Crotttt!" Punggung
serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia
tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh
mandi darahnya sendiri. Serdadu ke dua terkejut, mencabut pedangnya, namun
kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!
Tiba-tiba dari luar warung itu datang belasan
orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang menjaga daerah
ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka di dalam rumah obat, lalu mereka
mendengar keributan di warung itu.
Melihat munculnya dua belas orang serdadu ini,
Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan terjangan pedang
rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw Bwee seperti kilat
menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok
beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang lain-lain menjadi
terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak dan Siauw Bwee terus menerjang
maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan
mudah ia meloncat keluar. Akan tetapi, di luar warung telah berkumpul puluhan
orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang perwira Mancu yang lihai.
Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa
empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan senjatanya yang
berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu cepat-cepat menangkis
dan mengelak kaget. Mereka segera mengurung dan memberi aba-aba kepada anak
buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun dara ini yang sudah
marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau
dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan orang!
Sepak terjang Siauw Bwee menggiriskan hati
pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah
merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja yang masih dapat
bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari jarak jauh dan
dengan sikap jerih. Betapapun juga, dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu
yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala bantuan datang,
Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat
keluar dari kepungan itu.
"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian
anjing-anjing Mancu!" bentaknya dan pedangnya bergerak makin cepat,
diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari sukar diikuti pandang mata para
pengeroyoknya. Namun, ke mana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu
dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar, kepungan masih ada
ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya.
Tiba-tiba kepungan itu agak kacau, terdengar
teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung Siauw Bwee.
Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya, akan tetapi
betapa herannya ketika ia melihat seorang pemuda tampan yang sama sekali tidak
dikenalnya. Di bawah sinar penerangan lampu-lampu di depan rumah dan obor-obor
yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum,
wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda
itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang
dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang
Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan
Jit-goat-sin-kang yang dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang
mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin!
"Nona, harap lekas lari melalui pintu
gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!" Pemuda tampan itu
kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan
dara ini dan menuding ke selatan.
Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun
melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia percaya bahwa
pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata, "Terima
kasih!" dan tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di
sebelah selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia
lari melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan
Jit-goat-sin-kang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini
tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng Bu maupun mendiang Ouw Teng sendiri!
Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan
gerakan yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk di antara
awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum
memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi
juga menarik sekali!
Kalau saja pemuda itu tidak terbukti telah
membantunya keluar dari kepungan tentu Siauw Bwee akan marah dan menganggapnya
kurang ajar. Dia cepat mengerahkan gin-kangnya dan meloncat jauh ke depan,
merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya. Karena kini empat orang
perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw
Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos keluar
karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan
mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh pasukan yang
berteriak-teriak.
Ketika tiba di pintu gerbang sebelah selatan,
di situ sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supeknya, Coa Leng Bu
sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini, Siauw Bwee
menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan pertempuran sehingga para
pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan saja
belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee. Coa Leng
Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para
pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah serdadu lain. Di sekeliling tempat
itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang.
Coa Leng Bu juga girang sekali melihat
munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat
berkata, "Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku,
cepat!"
Siauw Bwee maklum bahwa kalau mereka terus
mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri dan kalau
pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang serdadu,
tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu. Apalagi kalau sampai para
panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira saja yang mengeroyoknya tadi,
sudah memiliki kepandaian yang lihai, apalagi kalau para panglima seperti yang
ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para Panglima Sung!
Kini mereka berdua menerobos kepungan dan
berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air yang cukup
lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu tentu saja terangkat naik
sehingga tidak ada jalan keluar lagi meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana, Supek?" Siauw Bwee
bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.
"Aku sudah siap dengan alat penyeberang
di sana. Itu, mari!" Kakek ahli obat ini menuding ke kanan. Siauw Bwee
memandang di tempat gelap itu, terkena cahaya penerangan dari atas benteng, dia
melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya supeknya
selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok untuk
menyeberang! Biarpun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk
menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supeknya. Kemudian keduanya
meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu
meluncur ke tengah!
Baru saja balok yang mereka injak dan mereka
dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan muncul melalui
pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan mengacungkan obor,
kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan mengacung-acungkan senjata.
"Serang dengan anak panah!"
terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang dan tak lama kemudian
datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa Leng Bu
yang tidak memegang senjata, sudah menanggalkan bajunya dan dengan baju ini,
dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga
seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya
bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai
sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah
yang menancap di situ.
"Awas perahu-perahu musuh!" Coa Leng
Bu berbisik. Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh
serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri,
setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.
"Supek, cepat dorong balok ke seberang,
biar aku yang menahan mereka," kata Siauw Bwee. Dia menyelipkan pedang
rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak
panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang banyaknya. Coa Leng Bu
mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi daripadanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang
ke kaki mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan
membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu
meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang hanya tampak gelap menghitam di
malam itu.
"Wir-wir-wirrr....!" Siauw Bwee kini
melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang ke arah
perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan
dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun
kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa
itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal.
Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang
dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat
menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu
dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,
"Coa-supek, awas anak panah!"
Dengan pedangnya dia sudah menangkis, akan
tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat
miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapapun juga, anak
panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak kanannya,
menancap di bawah tulang pundak dari belakang sampai menembus ke depan! Coa
Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan pekerjaannya
menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Tangan kirinya yang menggenggam
lima batang anak panah, dia gerakkan dan lima batang anak panah itu melayang ke
arah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.
"Trak-trakk!" Siauw Bwee melihat
betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air.
Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah
mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke arah balok. Karena
keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu.
Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu benar-benar hebat,
seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw
Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya
kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati. Tentu seorang
Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya
bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah mereka adalah
seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang
yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di udara dan kini
menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke arah lehernya!
Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat
ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka
dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya yang disalurkan
melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan
kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sin-kang!
"Trakkk....! Aiiihhh....!"
Jeritan ini keluar dari mulut dua orang
wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut
bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw Bwee patah menjadi
dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita
itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan,
tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang amat dingin
menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik di
udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat
membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sin-kang yang
dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah
mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali ke atas
perahu! Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak
menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah
perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut
dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu telah tiba di
seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi
sungai yang dangkal.
Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga
bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam!
Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh
karena yang dipegangnya adalah sebatang di antaru Sepasang Pedang Iblis!
Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid
Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh
Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi,
di dalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang
mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara
setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk
dan berlumba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika
mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka
kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota
Sian-yang.
Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega
ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya
panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan
kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan Siauw Bwee
betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan
tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan
Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sin-kangnya
jauh di bawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi pukulan dorongan
tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah
menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai
daripada dia! Karena suhengnya tidak bersamanya, dan di antara pasukan tidak
ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia
tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apalagi dua orang
yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar kota. Baru menghadapi
wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi harus menghadapi dua
orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di antara anak panahnya
telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu
bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan, adalah supek Si Nona
Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.
Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh
tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti,
kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di pundak Coa
Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati
luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak
panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat besar. Setelah
diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biarpun
pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus ke selatan
semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun dan berhenti ke
dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.
Di sepanjang jalan malam itu, mereka melewati
banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun di sekitar
kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika mereka tiba di dusun
itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi
ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan
meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih berada di
dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.
Warung itu penuh dengan para pengungsi yang
ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam
mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang.
Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan hampir saja
tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu
mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat beberapa orang tamu pria
sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur
dengan sikap tenang.
"Benarkah keteranganmu itu bahwa bala
tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?" Terdengar orang ke dua
bertanya sambil berbisik.
"Tidak salah lagi. Keponakanku adalah
seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami
sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan
musuh," bisik orang pertama.
"Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat
dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada di sana!" kata orang
ke tiga. "Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang
kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan
berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan
Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dari
belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!"
"Hemmm, di antara panglima musuh muncul
seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu
di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh
wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian
mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke selatan
akan roboh pula karena wanita?"
"Stttt, Twako, jangan bicara seperti
itu....!" terdengar suara memperingatkan.
Yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah
disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang menjadi Panglima
Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat
kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah
sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun
amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya. Pula, sucinya adalah puteri dari
Kerajaan Khitan, sedikitpun masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu,
dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu
dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga
Suling Emas.
Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai
sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal
ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai
sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan
sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suhengnya yang
sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban
racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat mengkhawatirkan dan
suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.
"Supek, mari kita melanjutkan
perjalanan," katanya lirih kepada Coa Leng Bu. Kakek itu mengangguk, akan
tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak
kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa
Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung.
Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang
menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala
botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan
membongkok-bongkok penuh penghormatan.
"Selamat datang, Koan-taihiap.... sungguh
menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan
sepatutnya."
Orang yang disebut pendekar besar Koan itu
menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya berkerut dan
dia berkata, "Harus kausediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang
yang lebih penting daripada siapapun juga di sini, dan aku sudah terlanjur
memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak."
Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa
dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama
duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka bersungut-sungut
namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja
bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya.
Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti di luar
warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat
bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan
rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.
Dapat dibayangkan betapa jaget rasa hati Siauw
Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh perhatian. Kakek
itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun usianya, rambutnya
sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun matanya masih
berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya masih merah
segar seperti orang muda, pakaiannya seperti seorang sastrawan dan tangannya
menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia
tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu. Biarpun sudah bertahun-tahun
tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain
adalah Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat
menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah rombongan itu terdiri
dari orang-orang penting dari bangsa Yucen. Dugaannya memang tidak salah karena
rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan
di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen
yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar,
bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih
kelihatan tangkas dan kuat.
Coa Leng Bu sudah bertahun-tahun mengasingkan
diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu, akan tetapi pandang matanya
yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali pandang saja dia dapat menduga
bahwa biarpun disebut pendekar besar, orang she Koan itu hanyalah ahli silat
biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan rombongannya itu adalah
orang-orang yang sakti, maka dia bersikap waspada dan memperhatikan wajah murid
keponakannya yang jelas kelihatan berubah.
Pek-mau Seng-jin sendiri sekali pandang sudah
dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan seorang kakek berpakaian
sederhana yang duduk menyendiri di sudut itu tentulah bukan orang-orang
sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang
yang sakti dan cerdik. Pada waktu itu, bangsa Yucen mulai berkembang
kemajuannya dan melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap Kerajaan
Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan
mereka berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan
yang kelak dapat dipergunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah
oleh perang. Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk
mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri.
Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata
kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan
golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya
sudah tiba.
Kini melihat Siauw Bwee yang sudah tidak
dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat cantik
jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang ia dapat
duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi, diam-diam dia memperhatikan
dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi pembantunya, atau
kalau ternyata kedua orang itu berada di pihak musuh, membasminya di saat itu
juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang
lihai. Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan
kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di depannya
terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak,
lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil
kedua butir kain itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir kain itu
melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain,
kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan
hanya memandang sambil tersenyum.
Sambaran dua butir gulungan kain itu
mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran kedua
orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia
menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan
membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan
mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat. Tentu saja Siauw Bwee yang
jauh lebih lihai daripada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin
menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas
meja sambil mengomel, "Ihhh, banyak benar lalat di sini!"
Bagi orang lain, hanya kelihatan dara jelita
itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang ketakutan, sedangkan di
antara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi menyambar ke arah
lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu Negara Yucen itu
agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia menangkap senjata
rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah segumpal kecil
kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak berbahaya dan
hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan keselamatannya, maka
tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya mengujinya, ingin membuktikan
bahwa dia dan supeknya adalah orang-orang yang lihai.
Maka menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu
demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai lehernya
agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini telah terlanjur, maka dia bahkan
menjadi mengkal, menoleh ke arah meja rombongan itu dan diam-diam meremas
hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya dan....
debu itu melayang ke arah meja rombongan Pek-mau Seng-jin.
Para Panglima Yucen terkejut sekali. Tak
mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam
mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak
menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan main-main
dengan orang! Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani
sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biarpun
petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu
yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana
itu bukan ahli silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang
mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan
meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir
anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara
mengagumkan!
Orang she Koan yang sebetulnya hanyalah
seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang kini
bertugas sebagai penunjuk jalan, tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini dia
disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu mengangguk-angguk
dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan sinar mata heran.
Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua orang itu untuk
makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang!
Koan Tek, demikian nama orang ini, adalah
seorang jago silat yang terkenal di daerah itu, maka dihormati oleh pemilik
warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan tentu saja
orang yang suka memandang orang yang dianggap berada di bawahnya, selalu
menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua orang itu
yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis cantik, dia
merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan para
panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah
terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini
Koksu mengundang kedua orang ini? Akan tetapi, dia tidak berani membantah dan
dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu
merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat
paksaan sambil berkata,
"Ji-wi diundang untuk makan bersama
dengan rombongan kami."
Coa Leng Bu yang maklum akan kekerasan hati
Siauw Bwee, cepat mendahului murid keponakannva itu dan dia berdiri sambil
membalas penghormatan Koan Tek.
"Terima kasih atas undangan Sicu. Kami
berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap maafkan
kami." Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan
meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, penolakan yang tak
disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh jadi
kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia yang
mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?
"Loheng, mungkin karena Ji-wi belum
mengenal saya, tidak suka menerima undangan kami," katanya dengan nada
agak keras. "Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini dikenal sebagai
Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan,
berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi,
harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan
bersama!"
Biarpun kata-kata itu bersifat undangan, namun
nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman.
Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal
dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan
perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan Maya kemudian
menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu di pantai Po-hai.
Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas
dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu,
kemudian kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin,
biarpun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini,
ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati
isyarat mata supeknya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang
Koan Tek dengan mata berapi.
"Engkau ini mengundang ataukah hendak
memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang sopan,
setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa, terus
terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar aku tidak usah
ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku!"
"Ehhh.... sudahlah....
sudahlah....!" Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan
menjura kepada Koan Tek. "Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi
saja."
Akan tetapi Koan Tek sudah marah sekali.
Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak, "Berani
engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?"
Siauw Bwee menudingkan telunjuknya.
"Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau aku tidak
takut! Supek, biarlah, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu akan
menghina orang lain saja!"
Koan Tek hendak menerjang maju, akan tetapi
tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung ke belakang.
Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek tinggi kurus,
berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang di antara para pembantu Koksu,
maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan sekali menjura
kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata,
"Harap Ji-wi sudi memaafkan Koan-sicu
yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar. Harap
Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak berkenalan.
Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita diserbu bangsa
Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu menghadapi musuh.
Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang
berkenalan."
Leng Bu tidak pernah mendengar nama Pek-mau
Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut putih itu adalah
Koksu Negara Yucen, segera menjawab, "Kami berdua tidak ada
sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apalagi harus bersekutu dengan
pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik
kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!"
Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang
tangan supeknya dan diajak pergi. Akan tetapi baru saja mereka melangkah hendak
keluar, terdengar bentakan harus, "Tahan!" Dan tampak berkelebat
bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri menghadang
mereka sambil tersenyum-senyum. Tadi ketika mendengar ucapan Siauw Bwee yang
menyinggung "pihak ke tiga", Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia
maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ke tiga, yaitu
bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir
kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran
dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.
"Nona, siapakah engkau? Dan di golongan
manakah engkau berdiri?"
Ingin sekali Siauw Bwee memperkenalkan diri
dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri karena maklum bahwa
Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja dia
tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan supeknya yang telah terluka
pundaknya.
"Aku dan Supek adalah orang-orang
perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapapun juga, tidak mempunyai
urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau orang tua
suka minggir dan membiarkan kami lewat!"
"Ha-ha-ha, benar-benar lantang suaranya!
Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu. Orang-orang di
dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat saling
menghargai dan berkenalan, oleh karena itu, setelah kebetulan sekali kita
saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji
kepandaian."
Panaslah hati Siauw Bwee. Betapapun dia ingin
menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang terang-terangan seperti
itu, mana mungkin dia mundur lagi?
"Hemm, kalian mengandalkan banyak orang
untuk menghina?" tanyanya sambil memandang ke arah rombongan itu,
tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang arnat cantik jelita,
maka biarpun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali.
"Ha-ha-ha! Selain tabah dan pandai
bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok seorang
yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan pengecut
yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai kepandaian orang
lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan bersahabat.
Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan menguji
kepandaian satu lawan satu!"
"Siapa takut? Majulah!" Siauw Bwee
diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk menghajar
musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan karena
ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya.
Pek-mau Seng-jin kembali tertawa. "Hebat!
Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan
mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan
mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau.
Biarlah aku diwakili oleh...."
"Perkenankanlah hamba
menghadapinya!" Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia
merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah
serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang akan tetapi
karena nama besar dan kehormatannya tersinggung, dia ingin memberi hajaran
kepada gadis ini.
Pek-mau Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam
Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan
Tek bukanlah lawan kedua orang ini.
"Mundurlah, biar aku yang maju lebih
dulu!" Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee. Dia maklum bahwa murid
keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak
menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini
hendak maju biarpun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak
maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya.
Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak
akan berdaya lagi. Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata,
"Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka,
mengapa memaksa diri?" Dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan
Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biarpun pundaknya
terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti
memandang rendah.
"Petani tak tahu diri, kausambutlah
seranganku!" Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pukulan
keras ke arah dada Leng Bu.
Leng Bu tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw
Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi pertandingan. Dia
sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi tantangan, akan
tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk mengelakkan tantangan
seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut lawan sehingga seandainya
ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan terjadi persoalan yang lebih
hebat. Dia khawatir apabila Siauw Bwee yang maju, tangan dara yang ampuh itu
akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain itu, andaikata rombongan ini
berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih
lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biarpun pundaknya luka, dia hendak
maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati mereka ini.
Jotosan tangan Koan Tek itu merupakan serangan
yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa
lawannya adalah seorang ahli gwa-kang yang memiliki tenaga kasar yang besar.
Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah
pukulan ke arah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar ke kanan kiri ketika
lengan itu meluncur dari pinggang. Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu!
Coa Leng Bu yang memiliki tingkat lebih tinggi
daripada Koan Tek yang kasar itu, hanya dengan melangkah ke belakang saja sudah
cukup untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung
serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur ke
depan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari tangan kiri ke arah leher
lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan ke
arah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking
cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan!
Kini Leng Bu tidak mau mundur lagi, bahkan
melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali dia
miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat lehernya,
berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya mendorong dada
lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan lengan kanan,
namun tenaga dorongan itu biarpun tertangkis, tetap saja membuat tubuhnya
terjengkang ke belakang. Koan Tek cukup lihai biarpun tubuhnya terjengkang, dia
masih mengangkat kakinya menendang ke arah bawah pusar! Kembali serangan yang
dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya
berusaha untuk membunuhnya, cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu
lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan
mendorong tubuh Koan Tek terlempar ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi.
Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak
cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.
"Hebat....!" kata pemilik tangan
kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen. Sementara
itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi,
berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para
pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan ketakutan.
"Sungguh mengagumkan sekali dan
sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan
dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?" Si Kakek
Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum.
Melihat sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu
merasa tidak enak dan dia cepat menjura. "Namaku yang rendah adalah Coa
Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi
karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding dengan
siapapun juga."
"Ha-ha, bukan bertanding melainkan
menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita main-main
sebentar!"
Leng Bu yang maklum bahwa lawannya sekali ini
tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar, cepat menyapu dengan
kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat itu terlempar ke sudut, disambar
hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega. Hal ini saja
membuktikan betapa kuat tenaga sin-kang kakek ini sehingga orang yang berjuluk
Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.
"Bagus sekali! Engkau benar-benar amat
berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah, Coa-enghiong!"
Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju, tangan kirinya
menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya mencengkeram ke arah
perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Mengeduk Laut) yang dilakukan
dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam) cukup kuat.
Leng Bu tidak tahu pukulan mana yang merupakan
pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan sesungguhnya karena
kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang dapat dipergunakan
sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang ke dua baru merupakan
pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia menggunakan kedua
tangannya menangkis ke atas dan ke bawah.
"Plakk! Dukkk!"
Tiat-ciang-siucai terdesak mundur dua langkah,
sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya akan tetapi wajahnya berubah
menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri. Jelas bahwa
sin-kangnya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan luka di
pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan membalas
menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang! Terdengar angin menyambar
dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi panas
seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.
Tiat-ciang-siucai berseru kaget dan cepat ia
menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis bertubi-tubi sehingga
dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah menjadi banyak. Namun
kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas. Tiba-tiba Leng Bu yang
ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah gerakannya, ditujukan ke
bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa yang panas itu berubah
sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biarpun dia berhasil menangkis serangan
yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu membuat dia bingung dan
terhuyung ke belakang.
"Heiii! Bukankah itu
Jit-goat-sin-kang?" Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum.
Mendengar ini, Coa Leng Bu terkejut. Tak
disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sin-kang yang selama ini
tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah terlanjur
dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari dorongan
telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan ke arah tubuh
Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan kedua
tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan. Leng Bu
menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura.
"Harap maafkan kekasaran saya."
Tiat-ciang-siucai meloncat bangun, matanya
terbelalak. "Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!"
Menyaksikan sikap ini, agak lega hati Coa Leng
Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang
baik, gagah perkasa, dan jujur, berani menerima kekalahan dengan hati tulus.
Pek-mau Seng-jin girang sekali. Biarpun belum
dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki itu dapat dijadikan
seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima
Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan bermuka penuh brewok.
"Biarlah aku menguji kepandaianmu,
Coa-enghiong!" katanya dengan suaranya yang nyaring besar mengejutkan.
Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian
tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau Seng-jin yang
melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan
seorang lawan yang amat tangguh.
Hal ini dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia
berkata, "Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek tentu lelah
sekali."
Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng kepala.
Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu akan
menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun tangan, dia
tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari pertandingan dengan
hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat hanyalah kakek yang
bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti bertanding melawan
Siauw Bwee.
"Tidak, aku masih belum kalah,"
jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, "Sahabat, siapakah nama
besarmu?"
Dailuba tertawa bergelak. "Namaku sama
sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar
yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan dengan engkau yang
memiliki Jit-goat-sin-kang? Harap kau suka mulai."
Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Bukan
kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!"
"Lihat serangan!"
Gerakan Dailuba berbeda dengan gerakan
Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat sekali
ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan ke arah dada
Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak mengalami
pertandingan, tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat karena
ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah, sedangkan
lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan tangan
kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya!
Terpaksa Coa Leng Bu menangkis dengan
pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang sehingga dua tenaga raksasa bertemu dan
keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia kaget
bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah tersedot
dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba telah datang
lagi menampar ke arah kepalanya!
Tahulah dia bahwa lawannya ini telah melatih
sin-kangnya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat miringkan
kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke arah perut lawan.
"Plakkk!"
Lengannya yang tertempel itu terlepas, akan
tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu ketika merasa
betapa sodokannya ke perut yang mengenai sasaran dengan tepat tadi seolah-olah
tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri. Dailuba
menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat
meloncat ke atas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi Besar
membuat dia hampir terpelanting!
Coa Leng Bu menjadi penasaran sekali, lalu dia
menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga
Jit-goat-sin-kang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat menahan serangannya
dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar yang digerakkan lambat
itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng
Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini
masih jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan
khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri
tidak akan mampu menanggulangi mereka. Kalau sampai mereka kalah, tentu mereka
terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu bahwa Siauw
Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat serangannya
dan kini dia menggunakan Im-yang-sin-kang. Sebetulnya Im-yang-sin-kang masih
kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Jit-goat-sin-kang yang merupakan
latihan sin-kang dengan bantuan sinar sakti matahari dan bulan, akan tetapi
karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai puncaknya sedangkan
Im-yang-sin-kang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia menggunakan sin-kang
yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan sin-kang ini
mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedargkan pundaknya sudah
terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang mempergunakannya
dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan.
Ketika lawannya membalas serangannya dengan
dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sin-kang yang
amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sin-kang.
"Bressss!" Tubuh tinggi besar dari
Dailuba terlempar ke belakang dan terguling akan tetapi Leng Bu sendiri
terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.
"Supek....!" Siauw Bwee menghampiri,
akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan sakit dan dia
memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh.
Dailuba juga bangkit berdiri, tampak darah
dari ujung bibirnya dan dia menjura. "Hebat sekali engkau, Coa-enghiong.
Biarpun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!"
"Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong terluka,
biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan
mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!" kata Pek-mau
Seng-jin.
"Tidak," Siauw Bwee menjawab
lantang. "Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan.
Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak
memusuhiku!" Dia lalu memegang tangan supeknya dan berkata, "Marilah,
Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan
ini!"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona. Kalau kalian
tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kami, mengapa begini
angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau
menghina kami," kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang di depan pintu
keluar.
"Kalau engkau menganggap aku menghina, habis
kau mau apa?"
"Taijin, bocah ini lancang sekali.
Biarlah hamba menundukkannya!" kata Dailuba yang tak dapat menahan
kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang
pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee.
Dara ini maklum bahwa tanpa memperlihatkan
kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia melepaskan
tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.
"Kaukira aku takut kepadamu?"
bentaknya.
Dailuba tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah
murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak mampu
mengalahkannya, apalagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?
"Nona, aku harus mengaku bahwa aku kagum
sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan kami dan
sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang
bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supekmu sendiri yang cukup lihai tidak
mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?"
"Tidak perlu banyak cerewet. Kalau kau
berani, majulah!" Siauw Bwee menantang.
Dailuba menjadi marah. Akan tetapi dia adalah
seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan tidak mau
menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata, "Baiklah kalau begitu.
Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti kalau belum
mengenal kelihaianku. Nah, kaujagalah sentuhan ini!"
Sambil berkata demikian, Dailuba menampar
pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian tenaganya saja. Itu
pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang
pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya!
Siauw Bwee menjadi makin marah. Dia tentu saja
tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain
dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat
sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua
pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu
nona itu sehingga kedua pasang kaki tangannya menjadi lumpuh dan di saat
selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar
tengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya akan tetapi tubuh yang
kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting, totokan-totokan itu telah
punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan
matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina di depan Koksu dan para
rekannya!
"Keparat! Tak tahu orang mengalah!"
bentaknya sambil menubruk maju.
"Siapa minta kau mengalah! Keluarkan
semua kepandaianmu!" Siauw Bwee tersenyum mengejek.
Perasaan malu membuat Dailuba lupa diri dan
memuncak kemarahannya. Belum pernah selamanya dia menerima penghinaan seperti
itu, apalagi dilakukan oleh seorang gadis muda di depan Koksu! Dia adalah orang
kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana
mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis begitu saja? Maka begitu
ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri
menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke arah pusar. Kedua
tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu
menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan
menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai,
namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian.
"Mampuslah! Wuushhh.... siuuutt!"
Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.
"Haaaiiittt.... yyaaaahhhh!"
Pek-mau Seng-jin sendiri sampai terbelalak
kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya. Kedua kaki dara itu
bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah kedua kaki dara itu
menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan lincah dan ringan, namun tepat
sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak mengenai sasaran.
Padahal dua pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa
jalan satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan
sin-kang. Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya
mengegos ke sana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang
dipandang rendah saja? Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa
marah dan penasaran melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau
melihat kenyataan, tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi
seorang lawan yang jauh lebih berbahaya daripada Coa Leng Bu, bahkan lebih
berbahaya daripada semua lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan
penasaran membuat dia menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat,
menggerakkan kedua tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan,
tamparan, atau totokan dia tujukan ke arah bagian-bagian yang mematikan!
Siauw Bwee bukan tidak tahu akan hal ini. Dia
maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut karena
kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu dengan
memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang hanya
menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang Koksu
Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu merupakan
bangsa yang besar dan kuat. Dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar ini
tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi
di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng
Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh supeknya itu, maka kini dia pun
hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi bersama supeknya melanjutkan
perjalanan ke selatan, terutama sekali untuk menyusul suhengnya, Kam Han Ki.
Kini melihat betapa lawannya menerjang dengan
hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat yang ia pelajari
dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya
berkelebatan ke kanan kiri menyelinap di antara pukulan-pukulan itu. Makin
lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul makin cepat. Tidak mungkin
ada orang hanya main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru sambaran
angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang
matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu
hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh
ujung baju gadis itu, apalagi mengenai tubuhnya! Dan makin terheran-heran.
Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus
saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga
puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang
dewasa mempermainkan anak kecil?
Kalau tidak ingat bahwa di situ ada Koksu dan
para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi besar ini sudah
mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan di bawah
pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan membuat dia
menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir dait
melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sin-kang Thai-lek-sin-kang!
Melihat pukulan-pukulan yang mengandung hawa
sin-kang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah cukup dia memperlihatkan
kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda dan sengaja menyambut
pukulan kedua tangan lawannya tadi. Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali.
Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid keponakannya, akan tetapi menghadapi
pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu Bauw begitu saja, benar-benar amat
berbahaya karena tenaga sin-kang Si Tinggi Besar itu amat kuat. Sebaliknya,
Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani menerima pukulannya tanpa
menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak seperti tadi, maka dia
mengerahkan seluruh tenaganya dalam dorongan kedua lengannya itu.
Siauw Bwee tidak berniat membunuh lawannya,
akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan sin-kang ini, tentu
orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak mengelak, bahkan
kini dia mendorongkan kedua lengannya ke depan menyambut datangnya pukulan
jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan sin-kang yang
dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es, sehingga dari kedua
tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan Dailuba.
"Wussshhhh.... desss!"
Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan
dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi
mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba
bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan dan tiba-tiba Siauw Bwee
mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan.... tubuh Dailuba terbawa
oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh
menelungkup! Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat
memukul kepala lawannya dari atas, akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya,
dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di
belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih
terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata
terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi
berada di atas kepalanya.
"Terimalah kembali penutup
kepalamu!" Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain
itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya,
akan tetapi.... "wushhhh!" benda itu seperti berubah menjadi burung
terbang, mengelak dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas
kepalanya.
"Hebat....! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa
mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supeknya
sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian
kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kitaa
saling mengenal kelihaian masing-masing!" Koksu berkata dan tubuhnya sudah
mencelat ke depan Siauw Bwee.
Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini
dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia
bersama sucinya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang.
"Pek-mau Seng-jin, biarpun aku masih
muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar."
"Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi
engkau tahu siapa aku ini?" Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya
berkerut.
Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil
mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin.
Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari
Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus
ditarik sebagai sekutunya, atau.... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai
musuh yang berbahaya! Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia
bertanya,
"Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah
sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki
kepandaian amat tinggi."
"Aku seorang perantau. Sudah kukatakan
bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, kalian
memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya
karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau
tidak?"
"Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan
tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main
sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biarpun engkau tidak mau
menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku.
Bagaimana?"
"Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan
pertandingan yang kaupaksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau
berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku, jangan
menyalahkan aku!"
"Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah
lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan
pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah
engkau!"
"Majulah!" Siauw Bwee sudah memasang
kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung
lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat
syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimanapun juga.
Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh
dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani memandang rendah.
Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat
bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa
dilakukan ahli-ahli silat.
"Sambutlah, Nona!"
Pek-mau Seng-jin mulai dengan serangan
pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju ke arah leher
Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh lengan baju
yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula oleh jari-jari
tangan yang melakukan totokan-totokan ke arah lima jalan darah di kedua pundak
kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan ini yang sekali
gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu saja sudah amat
berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan baju atau
totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti serangan!
Namun Siauw Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa
menggeser kaki, tubuh atasnya melirik ke belakang dan lengan kanannya yang kecil
menangkap dengan berani.
"Plakk! Brettt....!"
Pek-mau Seng-jin meloncat ke belakang dengan
mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw Bwee tadi yang
amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan ilmu gerak tangan
kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum kaki buntung! Dengan gerakan
kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat digerakkan dengan
pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari samping ia berhasil
melubangi ujung dengan baju kakek berambut putih itu!
"Kau.... apakah engkau dara perkasa yang
telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?"
Siauw Bwee terkejut dan kagum. Agaknya Koksu
Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang telah menyelundup ke dalam gedung
pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.
"Kalau betul demikian, mengapa?"
tanyanya dengan tenang.
"Aihh....! Nona yang perkasa! Kita
sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi bangsa
Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!"
"Pek-mau Seng-jin, aku tidak mau
mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan
pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi."
"Engkau keras kepala! Apa kaukira akan
mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!"
Kini kakek itu mengeluarkan seruan keras dan
nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khi-kang sehingga
melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya hampir
tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan
lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih bersembunyi,
seketika roboh pingsan! Namun Siauw Bwee tetap tenang dan melihat kini kakek
itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya yang
lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sin-kang yang
mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.
"Dukkk!" Keduanya terlempar ke
belakang, akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental
saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa
dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya! Pada saat itu terdengar seruan
nyaring.
"Tahan! Di antara sahabat sendiri tidak
boleh bertanding!" Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri
di tempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura
kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata,
"Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu,
suhengku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!"
Pek-mau Seng-jin tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi, melainkan
saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa lihainya. Kiranya
masih suhengmu sendiri Coa-sicu ini, dan Nona ini, apakah dia juga murid keponakanmu?"
"Murid keponakan....? Saya tidak
mengenalnya, biarpun kami pernah saling berjumpa."
Sementara itu Siauw Bwee terheran-heran
melihat pemuda tarnpan yang pernah menalongnya lari dari Sian-yang. Jadi pemuda
yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sin-kang itu adalah sute dari Coa Leng Bu?
Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika mendengar pemuda itu
disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu bernama keluarga Suma! Apa
artinya ini? Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas
panjang dan berkata,
"Sute, sesungguhnya tidak ada perkelahian
dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal mereka ini,
harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam urusan
negara, sampai jumpa, Sute." Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi
dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka.
Setelah keluar dari dusun itu, Siauw Bwee
tidak dapat menahan hatinya. "Supek, pemuda itu adalah orang yang
menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sutemu?"
"Memang begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek
Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu yang
menjadi ketua lembah mamimpin orang-orang penderita kusta, ke dua aku sendiri,
dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu mengangkat
seorang murid baru yang biarpun paling muda, namun memiliki ilmu kepandaian
yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu
Jit-goat-sin-kang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang
lebih tinggi daripada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal
rombongan Pek-mau Seng-jin tadi, betapapun juga, kedatangannya menghentikan
bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau
mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?"
"Dia itu bukan lain adalah Koksu Negara
Yucen,."
"Aihhhh....!" Wajah Coa Leng Bu
berubah pucat. "Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya
mengenal balk mereka itu! Apa artinya ini?"
Siauw Bwee menarik napas panjang.
"Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu
tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat
akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku
membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia
mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sutemu tadi, aku tidak
akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah yang kena
terbujuk untuk bersekutu dengannya."
Coa Leng Bu mengangguk-angguk. "Hemm,
agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta
dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang selatan. Aku
tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suhengnya berhak untuk
mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa
sendiri."
Siauw Bwee teringat akan sucinya, Maya.
Mengapa sucinya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata,
"Dalam keadaan negara kacau seperti ini,
memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot
pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen
dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan
baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara
dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapapun juga, tentu saja aku tidak setuju
kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!"
"Cocok, Khu-lihiap! Demlkian pula
pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia."
"Supek, siapakah nama sutemu itu? Aku
mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen."
"Memang dia she Suma, namanya Hoat."
"Suma Hoat....?" Siauw Bwee
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama
itu.
"Apakah engkau sudah mengenal namanya
pula?"
Siauw Bwee mengangguk. "Nama itu tidak
asing bagiku.... akan tetapi aku lupa lagi...." Dia benar-benar tidak
ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada
hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi
tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih
terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga
Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang
telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!
Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam di
sebuah kota kecil. "Kita menanti Sute di sini. Aku ingin sekali mendengar
apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen."
Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin
sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supeknya itu, yang mengingat akan
kedudukannya terhitung masih susioknya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh
besarnya, Suma Kiat!
Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik
warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau
Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik
perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di dalam warung
tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu, mereka bercakap-cakap.
Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat
telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah klta ketahui, pemuda
yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua
Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia
telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang
Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan
Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu
tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh
Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid.
Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan
penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah
dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang.
Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang
ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan
ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sin-kang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi
lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan
ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara
dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian. Gurunya
menceritakan kepadanya bahwa dia menipunyai tiga orang suheng yang tinggal di
tebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya
bertemu dengan Coa Leng Bu, suhengnya yang ke dua, dan dia enggan menjumpai
twa-suhengnya dan sam-suhengnya ketika mendengar dari ji-suheng ini bahwa
mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apalagi
karena ia mendapat kenyataan bahwa biarpun disebut ji-suheng, kepandaian Coa
Leng Bu tidaklah lebih tinggi daripadanya.
Setelah meninggalkan ji-suhengnya, Suma Hoat
lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah
diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah
karena rayuan ibu tirinya itu? Betapapun juga, dia adalah anak tunggal, dia
harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini
dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa
dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim
Hwa! Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia
tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas
dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkasa dengan Julukan
Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu
membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacad,
lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu, dengan jalan
berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada
kemanusiaan.
Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari
ayahnya, menahan nafsu berahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia
melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma
Kiat di kota raja. Akan tetapi, biarpun dia girang sekali mendapat sambutan
gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut
karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat
persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk membantua
Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama! Biarpun di dalam
hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya
dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui
Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang
gerakan tentara Mancu. Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu
dengan Pek-mau Seng-jin kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke
dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan
menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu. Telah ada kata
sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan
Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya
menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.
Demikianlah, ketika ia menyelundup ke
Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan ji-suhengnya, Coa Leng Bu, dan la disuruh
membantu dan memberitahukan jalan keluar kepada nona yang menjadi murid
keponakan ji-suhengnya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu
bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia
tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani! Ketangkasan dan
kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya
membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot. Dia telah banyak berjumpa
dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia
mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal
baru dia lihat sebentar sajadi malam itu, di antara sinar obor. Seolah-olah dia
bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya,
Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa! Dia telah jatuh cinta, bukan
cinta berahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan
dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya
berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan
asmaranya!
Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan
kaki tangannya berunding. "Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu
terus ke selatan," antara lain Pek-mau Seng-jin berkata, "setelah
pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami
pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan,
menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan.
Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku
merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian
yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?"
"Saya sendiri belum mengenalnya,
Seng-jin," jawab Suma Hoat sejujurnya. "Ji-suheng hanya mengatakan
bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut
Ji-suheng sebagai supeknya."
"Hemm, kalau saja dia dapat kita tarik
menjadi pembantu, akan menguntungkan sekali. Suma-sicu, dapatkah kau
membujuknya untuk berplhak kepada kita?"
"Akan saya coba, Seng-jin."
"Baik, kalau begitu harap kau suka
menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu.
Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil.
Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan
terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan."
Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi
mengejar Ji-suhengnya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar
betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik.
Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada
Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama
ji-suhengnya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat daripada Ciok Kim Hwa
juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk
mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara
hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang
hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang
memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di
sebuah warung ketika Suma Hoat datang.
"Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat
menyusul kalian di sini!" katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan
jantung berdebar. Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik
mempesonakan. Biarpun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti
itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua
kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!
Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee
mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata
pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak
mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk.
Sedangkan Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur,
"Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja
di situ?"
Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah,
jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain
cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama
sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan
duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suhengnya.
"Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau
terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?"
"Hanya luka daging, tidak berbahaya,
Sute."
"suheng, Nona ini adalah yang kausuruh
aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng
memperkenalkan."
Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia
menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan
sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima
Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya
seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah
perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya
begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan
seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya! Diam-diam Siauw Bwee bergidik.
Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya
tidak sebulatnya tertuju kepada suhengnya, pria di depannya ini memiliki daya
tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!
Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa,
"Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri
angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri.
Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiokmu sendiri."
Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Susiok....!" katanya perlahan dan sederhana.
Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas
penghormatan dara itu sambil berkata, "Aihh, Nona. Harap jangan menyebut
Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku
hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap
Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat,
bukan?" Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali
tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang
membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.
"Baiklah, Suma-twako."
Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi
isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.
"Nona, engkau she Khu akan tetapi belum
memperkenalkan diri."
Sambil tersenyum memandang orang muda yang
polos itu, Siauw Bwee menjawab,. "Namaku Khu Siauw Bwee." Berkata
demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu
mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia
adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San! Akan tetapi tidak tampak perubahan
sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak
mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong
terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.
Sambil makan minum mereka bercakap-cakap.
Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee,
namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.
"Nona, kepandaianmu begitu hebat.
Siapakah sebetulnya gurumu?" Akhirnya dia bertanya secara langsung.
"Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat
memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit di
sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suciku
sendiri." Siauw Bwee tetap saja mengelak.
"Ahh, kalau begitu, suheng dan sucimu
tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?"
"Maaf, Twako. Suheng dan suci
merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap
kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu."
Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk.
Heran sekali gadis ini sikapnya penuh rahasia, akan tetapi biarpun kecewa, dia
tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau
menghadapi gadis yang angkuh.
"Aku mengerti, Nona, dan maafkan
kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang
lain, akan tetapi.... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk
mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku."
"Tidak apa, Twako, akulah yang minta
maaf," kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang
amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.
"Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya
kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu di sini. Bagaimana
engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?"
Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini
mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suhengnya tahu akan hal itu.
Suhengnya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin
sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang
mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara
ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman
dalam dunia kang-ouw.
"Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen?
Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu
dengan Pek-mau Seng-jin."
Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan
pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan,
kemudian berkata, "Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan
pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam mengadakan
persekutuan dengan bangsa lain, bukanlah hal itu dipantang oleh orang-orang
gagah?"
Suma Hoat tersenyum. "Untuk memberi
pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan
sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh
pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biarpun semua orang gagah membantu
Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan
satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan
maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?"
Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran
ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. "Aku tidak tahu tentang
politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang daripada garis
yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang
pengkhianat bangsa."
"Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun
aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu
Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan
Sung yang terancam oleh pihak Mancu."
Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh
sikapnya. "Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan
marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan
Koksu Yucen. Dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman
Mancu."
"Aku tidak mempunyai hasrat untuk
melibatkan diri dengan perang, Sute," jawab Leng Bu dengan suara dingin.
"Dan bagaimana dengan pendapatmu,
Nona?"
"Aku juga tidak suka mencampuri urusan
negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi
yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing,
Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan." Siauw
Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang
maklum akan hal hati dara itu berkata,
"Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita
berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan
Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan
peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu."
Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua
mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba di sana, tentu mereka akan
dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah
membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.
"Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar
akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh
panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana? Kalau benar demikian, amat
berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa
tujuan Nona pergi ke sana?"
"Aku ingin mencari seseorang, urusan
pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu."
Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa
akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena
dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia
akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang
telah menjatuhkan hatinya ini.
"Kalau begitu aku setuju dengan pendapat
Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota
di waktu malam, menyelinap di antara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah
dikenal."
Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini.
Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad
mengetahui rahasia orang bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.
"Suma-twako, aku pernah mendengar nama
besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan
she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?"
Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia
dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan
berkata, "Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona."
"Ohhh....!" Siauw Bwee tak dapat
menyembunyikan kekagetannya. Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan
pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak
tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian
Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapapun juga, sukar baginya untuk dapat
duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan
berkata,
"Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok
pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan." Kepada Suma Hoat dia hanya menjura
tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki
kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang
menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa
Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak
akan mencontoh sucinya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga,
bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan
memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.
Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu,
akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia
melanjutkan bercakap-cakap dengan suhengnya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama
sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia
menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia
ramai. Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak
tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum
pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki
kepandaian lebih tinggi daripadanya, juga ternyata putera seorang Panglima
Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa
kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan
negara.
Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan
perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang
didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi
dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha
melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin
jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata,
gerak bibirnya, kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar
tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan,
lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!
***
Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota
kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan
sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke
selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam. Sebagian besar
penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari
kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah
masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat
mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang
mengancam.
Bulan sepotong yang menciptakan keindahan
ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah
kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang,
jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu.
Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan
suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk
melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia,
suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh akan tetapi demikianlah
kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan
hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang
sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.
Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada
di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suhengnya.
Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suhengnya menjadi korban
racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri
dia memikirkan bahwa suhengnya takkan dapat mengenalnya selamanya!
Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang
dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia
meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat
mendengarkan suara binatang malam dengan jelas dan dalam pendengarannya, suara
malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.
Tiba-tiba dia bangun duduk di atas
pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan
suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor
binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang
merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar
seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.
Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua
belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun
diam tak bergerak, seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa
melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu mendatangkan
perasaan aneh dan penuh rahasia, seperti perasaan orang kalau mendengarkan
dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon,
seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu
sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di
angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak
membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas daripada
permainan suka duka.
Namun, suara tiupan suling yang melagu itu
menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan
kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air
mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya,
barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran.
Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah,
rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.
Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan
pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari
kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana
terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas
kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak
kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh
rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan
kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aselinya dan berubah menjadi bentuk
yang penuh rahasia. Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang
kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya,
duduk di atas sebuah batu, meniup suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan
tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu
duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling,
kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.
Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar
dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah
melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi
melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini
dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu. Ketika dia masih tinggal
bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan
dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul "Merindukan Bulan".
Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam
mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi,
perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khi-kang yang hebat, suara
nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan
sendiri melalui cahaya yang kebiruan.
"Bulan....
tunggulah aku wahai bulan
jangan kautinggalkan aku sendiri!
Bulan....
hanya engkaulah pengganti dia
hanya engkaulah pencermin wajahnya
Bulan....
ke mana engkau lari?
ke mana engkau sembunyi?
Bulan....
kasihanilah aku wahai bulan
jangan kau pergi.... jangan....!"
Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata
membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun
melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit
pun suara menyusul penghentian lengking suling, kemudian, tiba-tiba, suara
binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat
penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri
berlutut di depannya.
"Nona.... engkau benar-benar datang....
terima kasih kepada Thian....! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu,
memanggilmu.... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini.... ahhh, Nona,
adakah.... adakah harapan di hatiku yang kering ini?"
Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar
kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang
bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat
dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.
"Ihhh.... engkau.... engkau.... apa
maksudmu? Apa artinya semua ini....?"
Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu
menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu
menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.
"Suma Hoat! Apakah engkau sudah
gila?" bentaknya.
"Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah
gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari
sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu,
dari...."
"Kau.... kau gila....!" Siauw Bwee
membentak, wajahnya menjadi merah sekali.
"Benar, aku gila, aku tergila-gila
kepadamu, Nona. Aku cinta padamu.... biarlah kaubunuh aku kalau kau merasa
terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee,"
Suma Hoat berkata sambil berlutut, sekali ini, tidaklah seperti kalau dia
merayu wanita. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia
malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama
hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.
Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari
hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan
kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan
keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh
besarnya.
"Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila
ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapapun
juga."
Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak....
tidak....! Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta! Cinta yang tulus
ihklas, cinta yang bukan terdorong berahi semata, melainkan cinta karena daya
tarik dari seluruh pribadi wanita itu?
"Kau.... kau.... sudah mencinta orang
lainkah....?" tanyanya lemah.
"Bukan urusanmu itu, Suma Hoat,
dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin
aku mencarimu dan membunuhmu!"
Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat
bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar. "Nona, demikian
besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada
seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk
membunuhku?"
"Bukan karena itu, melainkan karena
kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma
Kiat."
"Ya Tuhan....! Mengapa, Nona? Mengapa
engkau memusuhi ayahku?"
"Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku
adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku
dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!"
Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat
peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu.
Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, kemudian berkata lemah,
"Sungguh buruk nasibku.... Tuhan
mengutukku karena perbuatan ayah.... dan.... dari perbuatanku sendiri. Nona,
kalau begitu, kaubunuhlah aku, aku takkan melawanmu...."
"Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa
kaukira engkau mampu melawanku?"
"Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau
lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang laln. Dan jangan engkau
mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai benyak
pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu,
Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas
dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan
seluruh tubuh dan nyawaku."
"Engkau gila! Siapa percaya omonganmu?
Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta
seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang
membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya ayahmu yang bersalah dan ke mana
pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak,
percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!" Saking
marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.
Suma Hoat makin kaget. "Apa....?
Engkau.... engkau.... penghuni Istana Pulau Es....?"
"Benar! Dan kalau engkau hendak membela
ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!"
Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan
lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah
sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki
ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan
menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.
"Aku.... aku tidak akan melawanmu, Nona.
Betapapun juga, aku tetap mencintamu.... dan agaknya sudah menjadi nasibku
untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap
kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang
kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta
orang lain?"
Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan
suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan
halus itu kembali merasa kasihan
"Benar dugaanmu, karena itu aku tidak
mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang manapun
juga!"
Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya
meremas. "Krekkk!" Sulingnya hancur berkeping-keping. "Selamat
tinggal, Nona. Betapapun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan
pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu...., Thian akan menaruh iba
kepadaku.... dan kelak.... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan
harapan baik bagiku.... selamat tinggal."
Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan
tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang.
Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta
kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat
ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku
di dalam hatinya bahwa andaikata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya
tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu!
Andaikata....!
"Khu-lihiap, apa yang kaulakukan
malam-malam di sini? Hawanya begini dingin...."
Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan
membalikkan tubuh. "Ah, aku tak dapat tidur, Supek."
"Sebaiknya tidur sekarang, besok kita
berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana kita dengan Sute karena dia
agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki
kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu."
"Dia sudah pergi, Supek."
"Apa? Siapa maksudmu?"
"Suma-twako, dia sudah pergi."
Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki
kamarnya.
Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka
pintu kamar sutenya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan
tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi
sesuatu antara Siauw Bwee dan sutenya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang
terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.
Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang
dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan
Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut
dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran
Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya
dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji
oleh Pangeran Bharigan yang biarpun cintanya ditolak Maya, masih selalu
mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biarpun keadaan mengharuskan dia bergembira,
namun Maya merasa masih belum puas, apalagi kalau dia mengingat akan suhengnya
yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum
menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian
menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja
dan Ratu Khitan. Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab,
"Kemenangan kita adalah jasa para
perajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di
depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan
amat kuatnya."
"Menurut para penyelidik memang benar
demikian, Li-ciangkun," kata Pangeran Bharigan. "Oleh karena itu,
kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada
para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata
untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan
mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal."
"Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan
tetapi, untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu, tidaklah
mudah. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki
sendiri, dengan beberapa orang pembantu yang berkepandalan cukup tinggi."
Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang
sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki
sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik daripada mengirim penyelidik
biasa. Biarpun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya
dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami malapetaka, namun
dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.
"Saya tidak dapat menolak permintaanmu,
Li-ciangkun. Kalau memang kauanggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi,
terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan
pasukan?"
Maya menggeleng kepala. "Saya hanya
memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami
berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok
pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka
bersiap-siap malam ini."
Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah
lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin
gelap, mereka menyelundup keluar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa
buntalan pakaian, kemudian menyelinap di antara rombongan pengungsi yang
berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota
Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan
kota-kota sebelum mencapai Siang-tan. Perjalanan jauh membuat pakaian dan
rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya,
tidaklah begitu menonjol, apalagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari
membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu.
Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, di
antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang
dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga
dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka
dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak
kelihatan cantik luar biasa.
Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara
bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa
penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris
dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan
cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa
senjata dirampas. Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu
gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat daripada penjagaan di kota
Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu
siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi
jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh.
Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan
teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk
pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang
tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.
Banyak sekali rombongan pengungsi yang
membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah
penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang. Karena kehabisan kamar,
terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah
perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para
pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu
dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi. Saking banyaknya orang yang
memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan
terbuka yang luas. Di tempat ini mereka, laki-laki wanita, tua muda,
kanak-kanak, beristirahat, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai.
Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian
atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan
rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya
dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan
antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber
keterangan yang amat penting bagi mereka.
Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat
wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini
setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak
berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suhengnya yang seringkali
ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui
suhengnya itu. Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada
umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suhengnya. Di dalam segala macam
hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas
dorongan sifat sayang diri. Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami
derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat
manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih
besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan
hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia
seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan
berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa
terhibur! Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin
dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan
iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati
manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia,
timbul pertentangan-pertentangan. Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam,
setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di
setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini
akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta
kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar
karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di
dalam hati masing-masing.
Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di
sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu
bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di
mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara
perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil
membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit.
Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan
berbisiklah Ok Yan Hwa,
"Tentu dia itu orangnya...."
Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka
sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main
yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam
pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil
mengalahkannya. Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa
Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih
belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa. Akan tetapi
ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam
pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main. Dia maklum akan kelihaian
Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua
orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah
wajah sumoinya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya, Yan Hwa melihat dara itu di
dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah
gadis itu. Akan tetapi, melihat keadaannya, seorang gadis cantik yang mampu
mengalahkan Panglima Dampit, di dunia ini sukar sekali didapat bahkan Yan Hwa
sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu, dan kalaupun
ada agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun.
Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang
peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya,
"Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh
oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak
mengenal kelihaian Panglima Dampit?"
Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan
alisnya. "Memang benar dia lihai sekali akan tetapi menurut penuturan
keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri
pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di
tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu."
"Aih, sungguh hebat dan menarik sekali.
Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian
itu? Si Dampit adalah panglima betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana
dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?"
Dengan wajah gembira karena mendapat
kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat
mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya
penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan
yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang
di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,
"Engkau tidak tahu, orang muda.
Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian
gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan
entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan
kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi
apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya
bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar
biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, maupun kepandaiannya yang sukar
dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh
olehnya!"
"Aihhhh....!"
"Ayaaaaaa.... lihai sekali!"
"Tsk-tsk-tskk....!"
"Melihat semua panglimanya roboh,
Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh
rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis
itu!"
"Aihhhh....!" Sekali ini teriakan
kaget keluar dari mulut Maya. Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling
lihai di antara para panglima, membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam
menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai di antara para panglima pengawal?
Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal
itu terjadi. Suhengnya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal!
Suhengnya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung,
mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu? Pula kalau betul dugaannya
bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoinya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin
bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan
sumoinya atau suhengnya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu
bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan
Siauw Bwee. Betapapun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoinya,
sedangkan pengawal itu bukan suhengnya, biarpun mempunyai she Kam.
Kakek itu melanjutkan ceritanya setelah
melotot kepada Maya sebagai teguran karena teriakannya tadi. "Terjadilah
pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar
ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu
dilanjutkan. Sayang, pada saat itu, kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu
terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu
memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal
untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran
inilah, gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak
pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak
mati. Gadis itu yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina, berhasil
lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya."
Semua orang tercengang dan cara Si Kakek
bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam
terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan temantemannya,
tentu saja. Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis
mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum
bahwa kepandaian sumoinya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia
sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan
sumoinya itu! Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang
diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung
itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi! Mendengar ini, otomatis para
pengungsi menjadi pucat wajahnya dan mereka bergegas menyiapkan barang-barang
bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka
suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin
terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling
memaki.
"Hendak lari ke mana kau, keparat?"
terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung.
Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu.
Mendengar suara perkelahian ini makin dekat
dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun
pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata
terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar
suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin
tegang dan berdebar.
"Brakkkkk!" Daun pintu pecah,
berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar
menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam
ruangan. Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak
memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi
bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang. Yang berkelahi hanyalah
dua orang laki-laki setengah tua. Akan tetapi kini orang yang jatuh cepat
mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek ber jenggot pendek,
menubruknya. Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia
bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah
terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul
tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya
tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor biruang
terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan
dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para
pengungsi itu!
Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan
sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biarpun
tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan
berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang
menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi lalu
melesat ke kanan kiri! Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat
bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang
memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun, dua orang itu lihai sekali
sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua
orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua
melanjutkan perkelahian mereka!
Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah
marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan
tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga
mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar
tidak mengenal tempat dan keadaan, berkelahi di antara bagitu banyak orang
sehingga menimbulkan kepanikan.
Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu
mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia
turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai
landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh,
tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget
orang itu roboh terguling!
Lawannya yang berjenggot pendek menerjang
maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai
tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya.
Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan
tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke
pintu.
"Tangkap mereka!" Kedua orang itu
berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap,
sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggauta tentara. Jumlah
mereka ada seratus orang lebih!
"Berpencar! Lari....!" Maya
berbisik. Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah
sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan
melakukan penyelidikan. Karena kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena
adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai
tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa
mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia
mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang
berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa. Kalau
ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata,
akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota. Siasat ini
dilakukan pada saat yang sama dan bukan hanya di tempat Maya dan teman-temannya
berkumpul saja terjadi perkelahian sandiwara itu, akan tetapi juga di
tempat-tempat lain di mana para pengungsi berkumpul. Dan pada saat
pasukan-pasukan menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang
sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!
Maya dan empat orang temannya cepat meloncat
dan menyerbu keluar. Dua orang yang tadi bersandiwara, cepat memerintahkan
pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda
dengan perkelahian antara dua orang tadi. Pertandingan sekali ini adalah
pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak
akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan
kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang
itu tentulah mata-mata musuh. Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya,
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan
kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah
untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang keluar melalui
pintu. Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama
Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Panglima yang setia ini
semenjak lengannya buntung, menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia
malah lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung sebelah.
Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas
ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena
pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang
laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa. Akhirnya kedua orang itu
berhasil membobol keluar dari gedung itu dan ternyata malam hari itu, di
seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan
serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat
melarikan diri dari para pegejarnya.
Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas
genteng, segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggauta pasukan
panah dari bawah. "Kita berpencar," Maya cepat berkata setelah
meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan
oleh dua orang pembantunya pula, "Jangan lupa, pada hari yang ditentukan
berkumpul di kuil tua itu!" Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya
melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.
Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan
gin-kang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang.
Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang
mata-mata musuh itu.
Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya,
Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa
itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan
kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus
simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan
banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai. Dari banyak
pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat
menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini
ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya
telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya. Apalagi ketika ia menerima
buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat
jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu,
maka dara ini memperoleh tenaga sin-kang yang dahsyat. Buah sian-tho ini bagi
orang biasa, mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab daripada
jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sin-kang seperti Maya, dapat
membangkitkan hawa sakti yang membuat sin-kangnya yang dilatih secara istimewa
di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.
Maya tidak berani berhenti dan berputaran
mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat
menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat
mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang
paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain
berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali. Kota itu amat besar, dan dia
tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi
tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati
sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan
kelihaian para panglima pengawalnya, sungguhpun Panglima Dampit telah tewas.
Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok
kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut di sana. Disangkanya
bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju
ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang
dikhawatirkannya. Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang
laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara. Laki-laki itu tidak tampak
jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali!
Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah
lebih lihai daripada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah
bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri! Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang
itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung
membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan
tetapi dari mana?
"Mundur kalian semua! Orang-orang tolol
tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!" Laki-laki itu
mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.
"Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata
dan biar kau mengaku putera raja sekalipun, siapa mau percaya? Kami tidak
pernah bertemu denganmu!" Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan
pengeroyokan menjadi makin ketat.
Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku
sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani.
Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat
berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung
menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.
"Heiii.... kau.... ehhh.... !" Pria
itu bukan lain adalah Suma Hoat! Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan
dan menyaksikan kekacauan malam itu dia sengaja keluar untuk melihat apa yang
terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan
yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat
asalnya itu.
Maya tidak mempedulikan seruan pemuda itu.
Seorang panglima yang berpakaian preman, pada waktu itu banyak panglima
berpakaian preman untuk menjadi penyelidik dan menangkapi mata-mata,
menyerangnya dari belakang dengan sebatang pedang. Dengan mudah saja Maya
membalikkan tubuh, membiarkan pedang lawan dan sekali tangan kanannya bergerak,
pedang itu telah dirampasnya dan sebuah tamparan tangan kirinya membuat
Panglima Sung itu terpelanting dan roboh telentang di depannya.
"Heiiii.... kau.... Nona.... siapa dan
mengapa....?" Suma Hoat mengelak dari sebuah tusukan tombak dan menoleh
kepada Maya, tergagap saking herannya ketika melihat seorang dara yang demikian
cantik jelita tahu-tahu datang membantunya! Melihat wajah Maya ia tepesona dan
terbelalak. Dia telah gila! Mengapa sekarang dia pun terpesona, jantungnya
berdebar tidak karuan menyaksikan wajah dara ini? Sungguh mati dia harus
mengakui bahwa getaran jantungnya ketika melihat wajah itu sama sekali berbeda
dengan getaran nafsu kalau dia melihat wanita-wanita cantik! Wajah ini.... luar
biasa sekali, lebih cantik daripada mendiang Ciok Kim Hwa, lebih jelita
daripapada wajah Khu Siauw Bwee! Mungkinkah dia begitu mudah jatuh cinta
sekarang?
Apakah setelah beberapa bulan ini dia
menghentikan petualangannya sebagai Jai-hwa-sian, dia lalu mudah tergila-gila
dan jatuh cinta dalam arti kata yang murni terhadap setiap gadis cantik yang
dijumpainya?
Akan tetapi, kalau tadi dia terpesona oleh
wajah itu, oleh kecantikannya, kini dia terpesona menyaksikan betapa pedang
rampasan di tangan dara jelita itu berkelebatan merupakan gulungan sinar yang
luar biasa sekali dan semua senjata para pengurungnya patah disambar sinar yang
bergulung-gulung. Hebat bukan main! Mengapa dia selalu bertemu dengan dara-dara
yang seperti bidadari namun memiliki kepandaian seperti iblis!
Biarpun Maya mengamuk, namun dia berhati-hati
sekali, tidak mau membunuh seorang pun tentara yang kalau dalam perang tentu
akan dibasminya sebanyak mungkin itu. Dia tidak mau menghadapi kesulitan yang
tentu timbul kalau sampai dia melakukan pembunuhan.
"Bunuh mata-mata.... !" Terdengar
teriakan keras dan seorang panglima lain yang mukanya seperti tengkorak,
berpakaian preman, melayang turun dari atas genteng, terjun ke dalam medan
pertempuran itu. Setelah dekat, ternyata muka seperti tengkorak itu lebih mirip
muka kuda.
Suma Hoat membalikkan tubuhnya dan orang
bermuka kuda itu terbelalak. berseru, "Kongcu....!"
"Eh, Siangkoan Lee! Engkau di
sini....?" Suma Hoat juga berseru.
"Saya mengawal kereta Taijin, itu di
sana...." Siangkoan Lee pelayan dan juga murid Suma Kiat itu cepat
membentak, "Tahan senjata! Apakah kalian sudah buta? Kongcu ini adalah
putera Suma-goanswe (Jenderal Suma)!"
Para komandan pasukan mengenal Siangkoan Lee,
maka tentu saja mereka terkejut mendengar ini dan mengeluarkan aba-aba untuk
menghentikan pengeroyokan. Sementara itu, ketika Maya melihat munculnya
Siangkoan Lee, dan mendengar bahwa pemuda tampan yang dibantu itu adalah putera
Suma Kiat, menjadi kaget setengah mati. Celaka, pikirnya. Dia talah salah
pilih! Tanpa berkata sesuatu dia sudah meloncat ke atas genteng dan menghilang
di dalam gelap.
"Heiiii, Nona....! Tunggu....!"
Melihat dara perkasa yang telah mengguncang jantungnya itu melompat pergi, Suma
Hoat cepat meloncat pula mengejar.
"Apakah dia mata-mata?" tanya
Siangkoan Lee.
"Mata-mata hidungmu!" Suma Hoat
memaki. "Dia sahabatku! Katakan kepada Ayah nanti aku datang
menghadap!" Tanpa menoleh Suma Hoat melanjutkan pengejarannya terhadap
bayangan hitam yang meloncat-loncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk itu.
"Heii, Nona! Tunggu, aku mau
bicara....!"
Maya mengerutkan kening. Kalau dia menggunakan
gin-kangnya, biar pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin pemuda itu
dapat menyusulnya. Juga kalau dia menghadapi pemuda itu, biarpun dia tahu bahwa
pemuda itu cukup lihai namun dia percaya akan dapat membunuhnya. Akan tetapi,
kalau hal itu terjadi, Si Pemuda tentu akan mengejar dan berteriak-teriak, dan
kalau sampai dia kedapatan oleh para penjaga, padahal malam telah hampir pagi,
dia bisa celaka. Maya mengigit bibir menahan kesabaran hatinya, demi
keselamatannya sendiri. Mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiat yang
amat dibencinya, ingin dia menggerakkan pedang membunuhnya!
Dia terpaksa berhenti dan membalikkan tubuh.
"Engkau mau bicara apakah?"
Kebetulan sekali mereka berhenti di atas
genteng rumah yang terkena sorotan sinar dari bawah sehingga wajah dara itu
tampak jelas di bawah sinar remang-remang. Sekali lagi jantung di dalam dada
Suma Hoat seperti jungkir-balik. Wajah ini.... luar biasa cantiknya. Kecantik
jelitaan yang aneh, asing dan belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan
seorang gadis berwajah seperti ini.
"Nona, maafkan aku.... setelah Nona tadi
menolongku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja sebelum aku
menghaturkan terima kasih?"
"Aku tidak mengharapkan terima
kasih," jawab Maya singkat.
"Akan tetapi, setelah Nona menolongku,
tidak mungkin aku bersikap begitu tak kenal budi. Setidaknya, harap Nona sudi
berkenalan. Namaku Suma Hoat, dan siapakah Nona yang cantik jelita seperti
bidadari namun berkepandaian setinggi langit?"
Berkerut alis Maya. Laki-laki ceriwis,
pikirnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa putera Jenderal Suma Kiat ini
ternyata amat tampan, suaranya halus gerak-geriknya menarik.
"Aku melihat seorang dikeroyok, lalu
datang membantu. Hal itu biasa saja, aku melakukannya bukan untuk memancing
terima kasih, bukan pula mengharapkan perkenalan. Sudahlah....!"
Melihat gadis itu sekali mencelat melayang ke
wuwungan di depan, Suma Hoat terkejut dan takut kalau-kalau takkan dapat
bertemu lagi, maka dia pun cepat mengejar sambil berseru, "Nona,
tunggu....!"
Maya berhenti dan membalikkan tubuh,
membentak, "Engkau mau apa lagi?"
Suma Hoat kini sudah tergila-gila benar
menyaksikan sikap yang demikian keras, sifat yang liar dan penuh kewibawaan,
namun juga amat manis. Maka dia mengambil keputusan untuk dapat berkenalan
dengan dara ini. Cinta kasihnya yang pertama terhadap Ciok Kim Hwa putus,
kemudian cinta kasihnya yang kedua, cinta kasih murni terhadap Khu Siauw Bwee,
juga gagal karena gadis itu telah mencinta orang lain dan dia tidak berani
bermain gila terhadap gadis yang ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es itu,
dan kini dia merasa jatuh cinta untuk ke tiga kalinya, bukan cinta berahi
seperti terhadap semua wanita yang pernah dipermainkannya, melainkan cinta
sungguh-sungguh! Dia tidak mau gagal lagi sekarang.
"Nona, aku berniat baik, mengapa Nona
menolak perkenalan? Kalau aku tidak berniat baik terhadap dirimu, tentu aku
sudah berteriak bahwa Nona adalah seorang mata-mata dan Nona akan dikepung oleh
ribuan orang tentara!"
"Hemm, begitukah? Kalau begitu mampuslah
engkau!" Pedang rampasan di tangan Maya menyambar ganas merupakan sinar
kilat menyambar ke arah leher Suma Kiat.
Pemuda ini terkejut bukan main,
"Aahhhh....!" Ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik
dengan cepat. Kembali sinar pedang menyambar dan keringat dingin keluar
membasahi dahi Suma Hoat ketika dengan pengerahan gin-kang sekuatnya kembali
dia melempar diri ke kiri sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ke belakang.
"Brettt!" Ujung lengan baju itu
buntung karena benar seperti dugaannya, sinar pedang itu kembali telah
menerjangnya untuk ketiga kalinya dengan gerakan yang bukan main cepatnya.
"Tahan, Nona....!" Ia meloncat ke
belakang, loncatan yang indah sekali karena tubuhnya masih menghadap kepada
Maya. "Aku sudah memperlihatkan niat baik dengan tidak membuka rahasiamu,
apakah engkau seorang yang begitu kejam dan tidak mengenal budi, membalas iktikad
baik orang dengan serangan maut?"
Maya diam-diam kagum juga. Tiga kali dia
menyerang, sungguh-sungguh, dengan jurus-jurus maut, namun pemuda itu masih
mampu menyelamatkan diri, hal itu berarti bahwa pemuda itu telah memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Can
Ji Kun. Dan ucapan yang halus penuh teguran itu, betapapun juga membuat kedua
pipinya merah. Ingin dia memperkenalkan diri dan terus menyerang, membunuh
pemuda ini karena bagi dia, seluruh keluarga Suma Kiat harus dibunuh! Akan
tetapi dia teringat akan pekerjaannya sebagai penyelidik, maka dia berkata
angkuh,
"Aku tidak membutuhkan iktikad baikmu,
dan aku pun tidak takut kalau engkau hendak membuka rahasia!"
Bukan main, pikir Suma Hoat. Gadis ini benar-benar
angkuh, seperti seorang puteri kaisar saja! Seorang dara yang ilmu
kepandaiannya amat tinggi, wajahnya amat cantik jelita, dan wataknya amat
tinggi pula!
"Dengarlah dulu, Nona. Nona adalah
seorang mata-mata, berarti Nona memusuhi Kerajaan Sung, dan aku pun adalah
seorang yang tidak memihak Kerajaan Sung. Dengan demikian, kita berada di satu
pihak. Dan penjagaan di sini amat ketat dan kuat. Nona tidak dapat bergerak
leluasa, apa yang akan dapat Nona selidiki? Bahkan banyak bahayanya Nona akan terkepung
dan celaka. Akan tetapi aku dapat bergerak leluasa dan aku dapat menyelidiki
dan memberi tahu kepadamu apa yang kau ingin ketahui. Aku suka membantumu,
Nona. Nah, apakah Nona masih hendak membunuhku?"
Maya memutar otaknya. Pemuda putera musuh besar
ini harus dibunuh, akan tetapi apa yang dikatakannya mengandung kebenaran. Dia
harus bersikap cerdik. Sebagai seorang panglima perang yang sudah biasa menahan
perasaan pribadi demi siasat dan keuntungan pihaknya, Maya lalu berkata,
"Begitukah? Ucapanmu harus dibuktikan
lebih dulu. Sekarang apa yang hendak kaulakukan dengan aku, setelah engkau tahu
bahwa aku adalah seorang mata-mata?"
Wajah Suma Hoat girang bukan main.
"Pertama-tama, Nona harus mempunyai tempat persembunyian yang baik dan aku
mempunyai sebuah rumah kecil yang kosong dan yang takkan ada yang berani
mengganggu atau memasukinya. Nona boleh mempergunakan rumahku itu sebagai
tempat bersembunyi. Hanya di waktu malam saja Nona dapat melakukan penyelidikan
dan di waktu siangnya Nona boleh bersembunyi di situ. Kemudian, aku dapat
membantu mencari keterangan yang sekiranya tak dapat Nona peroleh sendiri.
Bagaimana?"
Maya kembali terdiam dan berpikir, kemudian
dia berkata sambil menurunkan pedangnya, "Kalau aku tidak dengar tadi
bahwa engkau adalah putera Jenderal Suma Kiat yang kutahu bukanlah seorang
pembesar yang setia terhadap Kerajaan Sung, tentu aku tidak percaya omonganmu.
Betapapun juga, ketahuilah bahwa disamping aku menerima penawaranmu, aku tetap
tidak percaya kepadamu dan sedikit saja engkau memperlihatkan sikap
mencurigakan, aku pasti akan membunuhmu. Jangan engkau kira bahwa aku tidak
dapat melakukannya! Nah, tunjukkan di mana rumah itu!"
"Mari, Nona! Aku tak perlu bersumpah,
akan tetapi Suma Hoat bukanlah seorang yang biasa mengeluarkan kata-kata yang
berlainan dengan isi hati! Bukan seorang pengecut yang untuk menolong nyawa
sendiri melakukan penipuan-penipuan rendah!" Dia meloncat dan dara perkasa
itu pun meloncat di belakangnya. Untuk menguji nona itu, Suma Hoat mengerahkan
seluruh ilmunya berlari cepat, namun betapapun cepatnya dia berloncatan dan
berlari, bayangan gadis itu tetap berada di belakangnya! Diam-diam dia makin
kagum, dan di lain pihak, Maya juga kagum karena pemuda ini benar-benar lihai
sekali.
Rumah kecil itu memang milik Jenderal Suma
Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota Siang-tan. Rumah itu kosong dan
sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak akan ada yang berani
mengganggunya. Setelah mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di
ruangan dalam, Suma Hoat berkata,
"Siang ini harap Nona bersembunyi di
sini. Nona sudah mengenalku, harap Nona suka memperkenalkan diri dan
menceritakan kedudukan Nona agar aku dapat mencarikan keterangan yang Nona
kehendaki."
Maya mengerutkan alisnya. Malam telah berganti
pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari ruangan itu membuat ia dapat
melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang tampan dan sama sekali tidak
kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik hati wanita mana pun! Akan
tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak mungkin mengakui
dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini terlalu berbahaya karena kalau
Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau memegang janji. Dia terlalu penting
bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan apa saja untuk menangkap panglima
wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan Sung itu.
"Suma Hoat, ingatlah bahwa bukan aku yang
menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku hanya berjanji bahwa kelak
aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi untuk saat ini, cukup untuk
kauketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari barisan Mancu, tanpa nama!
Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri, aku pun tidak terlalu
mengharapkan bantuanmu!"
Suma Hoat terbelalak, bukan hanya oleh
kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini melainkan juga karena terpesona
oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya. Kulit muka itu agak kecoklatan
karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu benar-benar luar biasa
cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar seperti bintang pagi,
mulutnya yang manis dalam gerakan apapun juga, dan dari seluruh kepribadian
gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang dirasainya ketika ia
bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh cinta untuk ketiga
kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya dia rela berkorban
apapun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!
"Baiklah, aku tidak boleh terlalu banyak
mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku, Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona
bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga bukan seorang gadis Han...."
"Cukup semua ini. Kalau kau memang hendak
membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang menjaga benteng Siang-tan ini,
berapa besar bala tentaranya, siapa komandan-komandannya, dari mana akan
didatangkan bala tentara kalau benteng terdesak, dan apa macamnya
jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok benteng, dari mana datangnya
pasukan inti kalau musuh datang, di mana ditempatkannya barisan panah."
Suma Hoat melongo. Benar-benar seorang
mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya menguasai benar pekerjaan perang!
"Aku akan berusaha mendapatkan
keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah kanan terdapat
bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari keterangan untukmu,
malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan tempat ini sebelum
gelap."
Maya mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat
tiba di pintu dia memanggil.
"Tunggu dulu!"
Suma Hoat membalik dan menatap wajah itu, beberapa
kali menelan ludah. Bibir itu! Mata itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan
cinta kasihnya di saat itu juga! Akan tetapi, menghadapi seorang wanita seperti
ini, dia tidak boleh lancang dan sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh
gagal, cinta kasihnya harus mendapat sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat
membayangkan betapa akan jadinya kalau kembali cintanya berantakan!
"Ada pesan apakah, Nona?"
"Hanya sebuah pertanyaan yang kuminta
kaujawab dengan sebenarnya, karena kalau kau membohong tiada gunanya. Kenapa
engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau membantu aku, padahal aku tahu pasti
bahwa engkau bukanlah seorang sekutu Kerajaan Mancu?" Setelah bertanya
demikian, sambil menanti jawaban Maya memandang dengan sinar mata tajam yang
seolah-olah menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. Suma Hoat merasa silau
dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang perasaannya terhadap
gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar mata tajam itu sambil
menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan jujur.
"Aku sengaja membantumu bukan karena
engkau mata-mata Mancu, Nona, juga bukan karena dalih dan pamrih apapun juga,
melainkan semata-mata karena aku ingin membantumu, karena aku kagum kepadamu,
dan karena ada dorongan di hatiku yang membuat aku ingin berkorban apa juga
demi untukmu. Nah, sampai jumpa!" Suma Hoat membalikkan tubuhnya tanpa
menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir membuka rahasia hatinya itu. Dia
sudah nekat dan pasrah andaikata gadis itu menjadi marah dan menyerangnya. Akan
tetapi, tidak terjadi sesuatu sehingga ketika tiba di luar rumah, hati Suma
Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia tidak diserang atau dibunuh,
melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu tidak marah, berarti dia
sudah menang separuh!
Memang Maya tidak berbuat sesuatu. Gadis itu
telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin bukan bohong itu. Terlalu heran
dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk melongo sampai pemuda itu lenyap
dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik napas panjang. Gila! Putera Suma
Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm, berkali-kali dia digoda cinta kasih
pria, dari Can Ji Kun yang masih harus diragukan cintanya yang mungkin palsu,
sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat diragukan lagi cinta kasihnya. Namun,
mana mungkin dia memperhatikan, apalagi membalas, cinta kasih pria lain kalau
hatinya sudah dia serahkan sebulatnya kepada suhengnya, Kam Han Ki? Hampir Maya
menitikkan air mata ketika ia teringat akan suhengnya, teringat betapa
pertemuannya dengan suhengnya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta,
sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi
mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suhengnya di Pulau Es,
memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suhengnya tidak membagi
kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee. Akan tetapi, suhengnya
tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak seharusnya dia
mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah sepatutnya kalau
dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni dari Pangeran
Bharigan, atau memperhatikan sinar mata mengandung kasih yang begitu mesra dan
menggairahkan, yang terpancar dari mata Suma Hoat!
"Alhh, Suheng...., Suheng....!" Ia
mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya membuat dia pantang
menitikkan air mata dan ia melupakan kedukaan hatinya dengan mencurahkan
pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata. Apa pun yang akan terjadi dengan
gejolak hatinya, yang terang saja pekerjaannya akan berhasil baik dengan
bantuan seorang putera jenderal! Bahkan kalau dia bisa mempengaruhi Suma Hoat
untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan pasukan Mancu dari dalam
kota Siang-tan! Tentu akan mudah menalukkan kota benteng yang amat kuat ini!
***
Kedua orang panglima pembantu Maya yaitu
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil menyelamatkan diri dari kepungan dan
dengan menyamar sebagai pengemis, mereka dapat menyelinap di antara banyak
pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang berkelompok di emper-emper kuil, di
bawah jembatan, di pasar-pasar.
Berbeda dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan
Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai ngemis dan bercampur dengan orang-orang
yang berbaju kotor, berbadan kotor dan berbau apek itu. Di dalam keadaan
terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji Kun dan Yan Hwa sehingga ke manapun
mereka lari bersama, saling melindungi dan tak mau saling berpisah. Memang
demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling
menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri,
namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau
saling mengalah. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis
yang berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mujijat dan jahat
sekali, yang menambah persaingan di antara mereka karena dengan mengandalkan
pedang masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan
penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.
Ketika kedua orang murid Mutiara Hitam ini
berhasil lolos dari kepungan para perajurit, mereka bersembunyi di wuwungan
rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian, mereka berhasil menyambar dua
orang perajurit yang berada di tempat terpisah, melucuti pakaian mereka dan
dengan mengenakan pakaian perajurit mereka menyelinap di dalam kegelapan malam
kemudian berhasil lolos keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah selatan,
yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga. Barulah para penjaga tahu bahwa dua
orang di antara mereka adalah palsu ketika Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat
meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran dilakukan, akan tetapi tak mungkin
pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat dua orang murid Mutiara Hitam ini.
Apalagi malam yang gelap menelan bayangan mereka.
Setelah berlari jauh, dua orang muda itu
meninggalkan pakaian perajurit dan duduk mengaso dalam sebuah hutan, di atas
akar pohon menonjol. Yan Hwa agak terengah-engah dan gadis ini membereskan
rambutnya yang tadi awut-awutan karena tadi disembunyikan dalam topi perajurit.
Melihat rambut sumoinya terurai, Ji Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan
Hwa tertawa dan balas mencium dengan mesra. Pengalaman berbahaya tadi
mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman mereka menambah mesra perasaan hati.
Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong
dadanya dengan halus.
"Ihhh....! Tugas belum selesai ingin yang
bukan-bukan!"
Ji Kun tertawa. Buyarlah hasrat hatinya.
Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang panjang hitam dan gemuk, dia
berkata,
"Kita telah bebas. Sungguh berbahaya
sekali!"
"Malu kita melarikan diri terbirit-birit
seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang lain-lain tentu sedang sibuk
melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan kita berada jauh di luar kota,
enak-enakan. Sungguh harus malu!" Yan Hwa mencela.
"Aihh, bukankah kita sudah bersepakat
untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau menyamar sebagai pengemis."
"Ihh, jijik!"
"Kita terpaksa lari keluar, karena
keadaan amat berbahaya. Dengan keributan seperti itu, dan penjagaan amat ketat
di dalam kota, biarpun kita berada di sana juga tak mungkin dapat bekerja.
Pula, apakah hanya di dalam kota saja yang perlu diselidiki? Kurasa menyelidiki
di luar tembok benteng tidak kalah pentingnya, menyelidiki barisan pendam
mereka, dan pertahanan pertama mereka. Selain itu, kalau keadaan di kota sudah
mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?"
"Habis, sekarang kita mau apa?" Yan
Hwa bertanya.
Ji Kun tertawa, "Menanti sampai matahari
terbit, baru nanti mencari jalan menyelidiki ke dekat tembok benteng. Sekarang,
sambil menanti, mau apalagi, Sumoi yang manis?" Dia memeluk lagi dan
sekali ini Yan Hwa juga timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu suhengnya.
Keduanya tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang rebah
dengan telinga menempel tanah, tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.
"Ada barisan datang....!"
Ji Kun terkejut. Keduanya melompat bangun,
lalu dengan cekatan seperti dua ekor burung, mereka melompat ke atas, menyambar
dahan pohon dan dalam beberapa detik saja dua orang yang lihai itu telah berada
di puncak pohon tertinggi, mengintai ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat
lampu bergerak-gerak di selatan, dan akhirnya beberapa pasang lampu itu
berhenti.
"Apakah itu?" Yan Hwa bertanya.
"Menurut suaranya tentu derap kaki kuda,
dan lampu-lampu itu tak salah lagi tentu lampu kendaraan kereta. Mereka
berhenti di sana, hayo kita menyelidiki!"
Dengan cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara,
kedua orang muda itu mendekati tempat itu dan melihat bahwa rombongan yang
berhenti itu adalah rombongan terdiri dari empat buah kereta yang dikawal ketat
oleh pasukan pengawal sejumlah lima puluh orang. Ketika tenda-tenda kereta yang
berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali Yan Hwa dan Ji Kun melihat
gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta, setiap kereta terisi enam
orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada pula yang menangis
terisak.
Ji Kun dan Yan Hwa menyelinap di antara
pohon-pohon, mendekati komandan dan para pembantunya yang duduk mengelilingl
api unggun, mendengarkan percakapan mereka.
"Dalam keadaan terancam penyerbuan
barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis cantik calon selir pangeran atau
raja), sungguh mementingkan kesenangan sendiri saja." Seorang perwira
mengeluh.
"Hati-hati dengan mulutmu!" Komandan
pasukan yang berpakaian panglima membentak bawahannya, "Bukan tidak ada
gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk
Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita hanyalah pelaksana, perlu apa
memusingkan sebab-sebabnya?"
"Akan tetapi, mengapa kita bermalam di
sini, tidak langsung terus ke Siang-tan?" tanya seorang perwira lain.
"Hemm, orang-orang kang-ouw tentu tidak
membiarkan perampasan wanita-wanita cantik ini, dan hutan-hutan di depan amat
besar, lebih aman melewatkan malam di sini, besok pagi baru melewatkan
perjalanan. Kalau kita disergap di dalam hutan, tentu akan sulit mempertahankan
penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah dihitung, dan kita akan celaka
kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe tentu akan menghukum kita!"
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang di dalam
gelap, kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di telinga kekasihnya dan berbisik,
"Kesempatan baik untuk kita!" Ia lalu berbisik-bisik mengatur
rencana. Sumoinya mengangguk-angguk, sehingga pipinya yang halus itu menyentuh
dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak tahan untuk tidak
mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya dan mereka lalu
berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun tadi.
Tak lama kemudian terdengar pekik kesakitan
dan seorang di antara pengawal yang sedang berdiri menjaga di sebelah kanan
roboh. Keadaan menjadi kacau dan semua pengawal lari ke tempat itu di mana
terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap. Para perwira cepat menghunus golok dan
mengepung, akan tetapi sekali melompat, Ji Kun telah lenyap ke dalam kegelapan
hutan kecil itu karena dia melihat bayangan sumoinya yang berkelebat dan
ternyata sumoinya yang memang seperti direncanakan semula, telah berhasil
menculik seorang di antara gadis siuli dari kereta terdepan. Terdengar jerit
para siuli lainnya dan ketika para pengawal melihat bahwa yang terculik adalah
gadis yang paling cantik, mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan
main. Panglima pasukan marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya,
"Hayo cari dia! Kalau tidak dapat
terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!"
Akan tetapi para pengawal sudah dibikin gentar
oleh ketangkasan Ji Kun tadi dan mereka menyaksikan bayangan yang melarikan
siuli tadi pun seperti iblis saja. Pula, mereka berada di hutan yang gelap, ke
mana harus mencari? Betapapun juga karena takut kepada komandan mereka, takut
pula kalau kehilangan itu akan dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di tangan
para pengawal itu mencari di sekitar tempat itu.
Namun, Yan Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di
tengah hutan besar dan gadis cantik itu kini tidak takut lagi. Bahkan dia
menjatuhkan diri berlutut di depan Yan Hwa dan Ji Kun sambil berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Ji-wi,
entah bagaimana saya dapat membalas budi pertolongan Ji-wi yang membebaskan
saya dari malapetaka ini."
Cuaca pagi kemerahan membuat Ji Kun dapat
meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya cantik manis. Dia lalu memegang
kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun sambil tersenyum. "Manis, kami
tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup puas kalau engkau membalasnya
dengan sebuah ciuman!" Berkata demikian, dia memeluk dan mengecup bibir
gadis itu yang tentu saja menjadi tersipu-sipu, dan ketika Ji Kun melepaskan
pelukannya, gadis itu terhuyung ke belakang dan menangis.
"Suheng! Engkau.... engkau....!" Yan
Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.
"Eiiitt, Sumoi. Engkau cemburu?"
"Tentu saja! Hanya sebegitukah cintamu
kepadaku? Engkau pernah tergila-gila kepada Enci Maya dan sekarang.... katakan,
siapa yang kaucinta? Gadis ini?"
"Wah-wah, apakah engkau anak kecil? Tentu
saja hanya engkau yang kucinta, sedangkan yang lain-lain termasuk gadis ini,
hanya tubuhku saja yang tertarik, bukan hatiku. Apakah engkau tidak
mernbolehkan suhengmu bersenang-senang sedikit?"
"Hemmm.... laki-laki ceriwis mata
keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada kesempatan. Eh, bocah, kami
telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah di sini. Jangan pergi ke
mana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan tertawan lagi dan mendapat
hukuman. Kami pergi!"
Yan Hwa dan Ji Kun meloncat dan berkelebat
pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi ketakutan sekali dan menangis di
antara semak-semak belukar di mana dia ditinggalkan seorang diri. Dia seorang
gadis yang lemah, dan biarpun dia kini telah dibebaskan, namun ditinggalkan
seorang diri di tempat itu, tentu saja dia ketakutan dan tidak tahu ke mana
harus pergi. Untuk kembali ke kampungnya, dia tidak mengenal jalan.
Ketika beberapa orang anak buah pasukan
pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di pinggir hutan besar, tiba-tiba
mereka melihat seorang wanita muda yang cantik sedang sibuk mengumpulkan kayu
kering. Wanita ini bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang sengaja memperlihatkan
sikap terkejut dan takut melihat datangnya tujuh orang pengawal berikut seorang
perwira pengawal itu. Dia menjerit, melepaskan kayu-kayu kering yang
dikumpulkannya lalu melarikan diri. Tentu saja dia berlari biasa seperti lari
seorang gadis lemah dan sebentar saja ia telah tertangkap, kedua lengannya
dipegang dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.
"Ha-ha-ha-ha, engkau hendak lari ke
mana?" Seorang di antara mereka berkata.
"Ehhh....! Ini bukan dia!" Perwica
pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa. "Dia hanya seorang gadis
dusun, akan tetapi.... hemmm, aku berani bertaruh dia tidak kalah cantik
menarik daripada siuli yang lenyap tadi!"
"Benar, dia jelita sekali!" Para
anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa dengan kagum.
Kedua pipi Yan Hwa menjadi merah dan dia
pura-pura meronta sambil berteriak, "Kalian siapakah? Mengapa aku
ditangkap?"
"Anak baik, engkau tinggal di mana?"
Perwira itu bertanya.
"Aku tinggal di sebuah dusun di luar
hutan di seberang sana. Aku mencari kayu bakar untuk di jual...." Yan Hwa
menjawab ketakutan, matanya yang indah bening terbelalak.
"Apakah engkau melihat orang-orang di
dalam hutan besar ini?"
Yan Hwa menggeleng kepala.
"Hemmm...." Sang Perwira
menggosok-gosok jenggot pendeknya, "Bawa dia kepada Ciangkun, kurasa jalan
satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang dengan dia ini."
Yan Hwa menjerit-jerit ketika dipaksa ikut
bersama mereka menuju ke rombongan kereta dan di situ dia menjadi tontonan
semua pengawal. Panglima yang memimpin pasukan pengawal mendengarkan laporan
perwira dan mengangguk-angguk. "Memang tidak ada jalan lain yang lebih
baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?"
"Nama saya Yan Hwa, she Ok," jawab
Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aselinya karena namanya memang
tidak terkenal.
"Dengar, Ok Yan Hwa. Engkau ingin mati
atau hidup?" Suara panglima itu terdengar keren dan penuh ancaman.
Dengan sin-kangnya yang sudah tinggi tingkatnya
Yan Hwa dapat membuat jalan darahnya terhenti sehingga mukanya menjadi pucat.
"Saya.... saya ingin hidup, Tai-ongya...."
"Hushh! Aku bukan kepala perampok!"
bentak Si Panglima yang disebut tai-ong (raja besar), sebutan yang biasa
dipergunakan orang terhadap kepala perampok. "Sebut aku Tai-ciangkun,
mengerti?"
"Baik, Tai-ciangkun...."
"Kalau engkau ingin hidup, mulai sekarang
engkau harus menjadi seorang di antara gadis-gadis cantik di dalam kereta ini
untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu Hok Ong di Siang-tan. Engkau tidak
boleh menceritakan tentang peristiwa malam ini kepada siapapun juga. Katakan
bahwa engkau adalah seorang di antara mereka yang kami pilih. Kalau engkau
menurut, engkau akan hidup mewah dan mulia di istana Pangeran, mungkin menjadi
selir Pangeran yang terkasih, sedikitnya menjadi pelayan istana. Kalau menolak,
sekarang juga kusembelih lehermu sampai putus!"
"Iihhh.... ampun.... ampun,
Tai-ciangkun.... hamba tidak berani menolak, hanya.... hamba harus memberi tahu
ayah ibu dulu di dusun...."
"Tidak usah! Tinggal pilih, sekarang
juga, ingin mati atau hidup?"
Yan Hwa menangis akan tetapi
mengangguk-angguk. "Baik, Tai-ciangkun.... hamba.... hamba
menurut...."
Yan Hwa disuruh memasuki kereta terdepan dan
dipaksa berganti pakaian yang indah. Semua siuli memang diharuskan berpakaian
indah dan panglima itu masih mempunyai beberapa potong pakaian untuk
perlengkapan. Setelah itu, komandan pasukan mempersiapkan orang-orangnya untuk
memberangkatkan rombongan kereta itu. Akan tetapi, kembali terjadi kekacauan
ketika rombongan itu baru saja berangkat, tiba-tiba dua ekor kuda yang menacik
kereta terdepan, meringkik keras lalu membedal ke depan seperti dikejar setan.
Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda yang kabur itu, bahkan kini
panglima itu sendiri bersama beberapa orang pembantunya membalapkan kuda untuk
mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau sampai kereta terguling dan lima
orang siuli di dalamnya celaka, benar-benar mereka menghadapi kesulitan besar!
Dua ekor kuda penarik kereta yang kabur itu,
melihat panglima itu dan pembantu-pembantunya mengejar, menjadi makin binal.
Kusirnya berteriak-teriak dengan panik, menarik-narik kendali kuda namun tetap
tidak berhasil menghentikan kaburnya dua ekor kuda itu.
Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bukan
lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping menangkap kendali kuda, meloncat ke
atas punggung kuda dan diam-diam dia mencabut dan membuang dua buah duri yang
tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia menarik kembali kuda dan
menggunakan kekuatan tangan, diam-diam mengerahkan sin-kangnya, kakinya
menjapit perut kuda. Semua ini dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi
ketangkasannya sehingga dia tidak kelihatan sebagai seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi, melainkan sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur.
Setelah dua ekor kuda itu berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat
turun, dia terhuyung dan hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata,
"Wah, bahaya sekali....! Dua ekor kuda
ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!"
Panglima dan para perwira sudah tiba di situ
dan melihat mereka, Ji Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Dengan pandang mata
penuh kecurigaan panglima itu bertanya, "Engkau siapa?"
"Nama hamba Can Ji Kun, pekerjaan hamba
sebagai ahli kuda. Dahulu di utara hamba pernah bekerja kepada seorang peternak
kuda yang besar, kemudian karena perang hamba lari ke selatan dengan maksud
mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian hamba. Kebetulan hamba melahat
kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan keahlian hamba, hamba lupa diri dan
menolong. Harap Tai-ciangkun sudah memaafkan kelancangan hamba."
Hilanglah kecurigaan panglima itu dan dia
mengangguk-angguk. "Bagus, kami berterima kasih, Ji Kun. Kalau engkau
mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh mengurus kuda dan mengusiri kereta
ini. He kau turun!" Bentak Sang Panglima kepada kusir yang masih pucat
wajahnya. Dengan tubuh gemetar kusir itu turun dari atas kereta dan sekali
mengulur tangan panglima itu telah merampas cambuk, kemudian mencambuki kusir
itu sambil memaki-maki,
"Manusia tolol! Goblok! Hampir saja
engkau mencelakakan kita semua!"
Cambuk itu menari-nari di atas tubuh kusir
yang berlutut dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek-robek dan kulit tubuhnya
babak-belur dan berdarah. Setelah puas, panglima itu berkata, "Kau harus
jalan di belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan hukuman nanti di
kota!"
Rombongan itu berangkat lagi dan kini Can Ji
Kun duduk di tempat kusir, msmegang cambuk dan mengendalikan kuda menarik
kereta di mana duduk pula Ok Yan Hwa yang menjadi girang sekali melihat betapa
siasat mereka berjalan lancar dan berhasil baik. Tentu saja dua ekor kuda itu
tadi kabur ketika diam-diam Yan Hwa menyerangnya dari belakang dengan dua buah
duri yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai
pantat kuda yang menjadi kaget dan kesakitan lalu kabur!
Tak lama kemudian, rombongan memasuki hutan
besar yang ditakuti Sang Komandan. Tiba-tiba komandan ini berteriak,
"Awas, di depan ada orang!"
Ji Kun yang berada di depan kereta pertama,
sudah melihat orang-orang itu dan dia mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya
bahwa yang menghadang di depan itu tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka
gagah dan bukanlah kasar seperti sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang
menghadang di depan, berjajar memenuhi jalan.
Komandan dan para perwira memberi aba-aba
menghentikan kereta, kemudian memerintahkan pasukan mengurung kereta-kereta
itu, dan dia sendiri bersama sisa pasukan lalu melarikan kuda menghampiri
orang-orang yang menghadang itu. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun,
dengan sebatang golok besar di punggung, berjenggot panjang dan bersikap gagah
perkasa, memimpin para penghadang itu, berdiri bertolak pinggang dan sinar
matanya tajam menatap Sang Panglima yang duduk dengan angkuhnya di atas kuda
sambil membentak,
"Kalian mau apakah menghadang di sini?
Minggirlah! Apakah tidak melihat bahwa kami pasukan pengawal dari kerajaan?
Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak atau pengkhianat-pengkhianat yang
hendak melawan pasukan kerajaan?"
Laki-laki berjenggot panjang itu mengelus
jenggotnya dengan tangan kiri, kemudian menjawab, "Ciangkun, kami adalah
orang-orang gagah yang sama sekali tidak berjiwa pengkhianat atau pemberontak.
Bahkan sebaliknya, kami adalah patriot-patriot negara yang menjadi pelindung
rakyat yang tertindas! Negara dalam keadaan perang. Mengapa para pembesar hanya
mementingkan kesenangan diri pribadi dan menambah beban rakyat dengan menculik
dan memaksa gadis-gadis orang untuk dijadikan korban kebuasan nafsu pembesar?
Kami tidak akan melawan pasukan kerajaan, akan tetapi kami menuntut agar para
gadis yang ditawan dalam kereta itu dibebaskan!"
"Hemm, enak saja kau bicara! Para gadis
ini adalah calon-calon dayang atau selir pangeran, nasib mereka sudah pasti
akan jauh lebih baik daripada kalau mereka berada di rumah. Mereka akan menjadi
orang-orang terhormat dan hidup mewah, bahkan keluarga mereka akan ikut pula
menjadi orang terhormat. Kalian bilang bukan pemberontak, akan tetapi hendak
menentang kehendak pangeran dan hendak melawan pasukan pemerintah. Pergilah
sebelum kami basmi kalian kaum petualang pemberontak!"
"Ciangkun, alasan kuno yang kaukemukakan
itu memuakkan! Kau sendiri tahu betapa gadis-gadis itu pergi dengan paksaan.
Dengar mereka terisak-isak, menangis. Kalau mereka pergi dengan sukarela, kami
pun bukan orang-orang yang lancang mencampuri urusan orang. Akan tetapi karena
melihat gadis-gadis itu dipaksa yang berarti penindasan kejam, kami tak mungkin
berpeluk tangan saja. Kalau kau tidak mau membebaskan mereka sekarang juga,
terpaksa kami menggunakan kekerasan."
"Si pemberontak keparat! Serbu!"
Panglima itu mengeluarkan aba-aba dan para pengawal yang berjalan kaki sudah bersorak
sambil maju menyerbu tujuh orang itu. Mereka ini pun sudah mencabut senjata
masing-masing dan terjadilah pertandingan yang seru antara tujuh orang gagah
itu melawan tiga puluh orang pasukan pengawal, sedangkan yang lain bertugas
menjaga kereta-kereta dengan mengurungnya.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa merasa serba salah.
Orang-orang kang-ouw itu ternyata cukup lihai sehingga banyak anak buah
pengawal yang roboh, sedangkan panglima dan para perwira juga terdesak.
Terutama sekali Si Jenggot Panjang amat lihai mainkan goloknya. Dua orang murid
Mutiara Hitam menjadi bingung. Tentu saja di dalam hati mereka, mereka berpihak
kepada tujuh orang itu dan andaikata mereka tidak sedang bertugas, tentu mereka
membantu tujuh orang itu dan membasmi pasukan pengawal. Akan tetapi, dalam
keadaan mereka sekarang, andaikata mereka turun tangan mereka seharusnya
membantu pasukan pengawal dan merobohkan penghalang itu agar mereka dapat cepat
masuk kota dan dapat memulai dengan tugas mereka! Karena serba salah, baik Ji
Kun maupun Yan Hwa hanya duduk menonton saja dan dari permainan golok dan
pedang para orang gagah itu, mereka dapat menduga bahwa mereka itu tentulah
anak-anak murid Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai.
Agaknya, pihak pasukan pengawal takkan kuat
menghadapi tujuh orang gagah itu kalau pertandingan dilanjutkan seperti itu
tanpa campur tangan lain. Selagi Ji Kun dan Yan Hwa saling lirik ketika Ji Kun
menyingkap tenda dan menjenguk ke dalam, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
dan muncullah sebuah pasukan kecil terdiri dari selosin perajurit berkuda,
dikepalai oleh seorang laki-laki bermuka panjang seperti kuda! Ketika melihat
pertempuran itu, laki-laki bermuka kuda itu yang bukan lain adalah Siangkoan
Lee, cepat membawa pasukannya menyerbu dan terkejutiah tujuh orang itu karena
orang bermuka kuda ini benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Dengan sebuah
golok melengkung Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari atas kudanya dan
mengamuk. Orang gagah berjenggot panjang yang menandinginya, dirobohkannya
dalam waktu belasan jurus saja. Juga pasukannya ternyata adalah pasukan
istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Orang-orang gagah itu
melakukan perlawanan mati-matian, namun akhirnya mereka semua roboh dan tewas
jadi sasaran hujan senjata para pasukan pengawal!
Pertempuran berhenti dan berakhir dengan
matinya tujuh orang gagah itu dan belasan orang perajurit pengawal. Siangkoan
Lee segera berkata kepada panglima pengawal yang terluka pundaknya dalam
pertempuran tadi.
"Atas perintah Goanswe, seluruh siuli
supaya langsung dibawa ke istana pangeran dan harap bergerak cepat karena
Pangeran sudah tidak sabar menanti. Mengapa baru sekarang tiba di sini?"
"Maaf, Siangkoan-taihiap, kami terpaksa
bermalam di luar hutan besar karena kami khawatir akan penyergapan di tengah malam
dalam hutan itu."
"Hemm, disergap di pagi hari pun kau tak
mampu melindungi kereta-kereta itu!" kata Si Muka Kuda dengan suara
menghina. "Kalian sudah terlambat, hayo cepat berangkat!"
Karena takut kalau murid dan orang kepercayaan
Jenderal Suma Kiat yang galak dan lihai itu akan menjadi marah dan menyalahkan
mereka, maka para pengawal tidak berani bercerita tentang hilangnya seorang
gadis yang diganti gadis lain dan seorang kusir baru yang mereka terima untuk
jasanya menolong mereka terlepas dari bencana ketika kereta kabur. Hal ini
menguntungkan dua orang murid Mutiara Hitam, karena kalau diketahui Siangkoan
Lee, tentu orang yang lihai dan cerdik ini akan menjadi curiga dan menyelidiki
mereka.
Demikianlah, tanpa menimbulkan kecurigaan, Yan
Hwa bersama para gadis lain ditempatkan di dalam istana pangeran dan berkat
kepandaiannya mengurangi riasan muka dan membuat mukanya pucat seperti orang
berpenyakitan kalau dihadapkan Pangeran sehingga Pangeran kehilangan seleranya,
akan tetapi amat rajin dan pandai melayani, Yan Hwa tidak diambil selir
melainkan diberi pekerjaan sebagai dayang pelayan, sedangkan Ji Kun menjadi
seorang tukang mengurus kuda. Tentu saja dua orang muda yang lihai ini
mendapatkan kesempatan baik untuk melakukan penyelidikan, dan terutama sekali
Yan Hwa, yang selalu dekat dengan Pangeran dan mengetahui apabila ada tamu-tamu
penting yang datang bertemu dengan Pangeran.
***
Maya duduk termenung di dalam pondok di mana
dia bersembunyi. Hari telah hampir malam dan dia menanti kedatangan Suma Hoat.
Telah empat hari dia berada di tempat persembunyiannya ini dan selama empat
hari itu, dia mendengar banyak dari Suma Hoat. Dia sendiri pun setiap malam
keluar melakukan penyelidikan, namun harus dia akui bahwa tanpa bantuan
keterangan-keterangan yang amat penting dari pemuda itu, akan sukarlah baginya
menyelidiki keadaan musuh. Penjagaan amat ketatnya dan kini dia mendengar dari
Suma Hoat bahwa benteng kota Siang-tan ini benar-benar amatlah kuatnya, jauh
berbeda dengan kota Sian-yang. Bahkan dia mendengar dari Suma Hoat bahwa
benteng itu sedang mendatangkan barisan bantuan dari selatan untuk menghadapi
ancaman pasukan-pasukan Mancu yang telah menduduki Sian-yang. Dengan barisan
bantuan itu, jumlah pasukan Sung menjadi lebih besar daripada pasukan Mancu dan
Maya berpikir bahwa untuk menyerbu ke Siang-tan, pasukan Mancu harus
mendatangkan bala bantuan juga.
Suma Hoat banyak membantunya dan diam-diam dia
merasa berterima kasih kepada pemuda itu. Pemuda musuh besarnya karena bukankah
pemuda itu putera Suma Kiat? Namun, harus dia akui bahwa di dalam hatinya, dia
tidak membenci Suma Hoat. Bahkan sebaliknya, dia merasa kagum dan suka kepada
pemuda itu yang jelas menaruh hati cinta kepadanya. Hal ini mudah saja dia
lihat dari pandang matanya, dari sikap dan gerak-geriknya, dari suara dan dari
senyumnya.
Teringat akan hal ini, Maya menarik napas
panjang karena terbayanglah wajah satu-satunya orang yang dicintanya, wajah Kam
Han Ki. "Aihhh, Suheng. Banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, akan tetapi
mengapa engkau seorang yang kuharapkan, bahkan mengecewakan hatiku?"
Teringat akan suhengnya, Maya menundukkan
mukanya dan perasaan rindu dendam mencekam hatinya, membuatnya menggigit bibir
menahan tangis.
Gerakan orang memasuki rumah itu
menyadarkannya dan ia cepat meloncat bangun. Bukan Suma Hoat, pikirnya. Pemuda
itu memiliki gerakan yang ringan, akan tetapi pendatang ini langkah kakinya
berat! Langkah itu terdengar makin berat dan akhirnya terdengar suara orang
roboh. Maya cepat meloncat ke ruangan depan dan betapa kagetnya melihat Suma
Hoat rebah di lantai dalam keadaan pingsan!
Maya cepat berlutut memeriksa dan segera
melihat bahwa pernuda ini telah menderita luka oleh pukulan yang hebat, yang
membuat tubuhnya dingin sekali dan dada kanannya membiru. Cepat ia memondong
tubuh pemuda itu, membawanya ke dalam kamar tidur dan merebahkannya di atas
pembaringan. Sekali renggut robeklah baju yang menutup dada Suma Hoat dan
setelah memeriksa sebentar, tahulah Maya bahwa pemuda itu terkena pukulan yang
mengandung hawa Im-kang kuat sekali dan tentu nyawanya akan terancam maut kalau
tidak cepat ditolong. Maka dia lalu duduk bersila di atas pembaringan,
menempelkan telapak kanannya di dada kanan pemuda itu sambil mengerahkan hawa
sin-kang dari pusarnya melalui lengan. Untuk melawan luka akibat pukulan
Im-kang itu, dia mengobatinya dengan pengerahan Yang-kang. Mula-mula hawa yang
hangat memasuki tubuh Suma Hoat, kehangatan yang makin lama menjadi makin panas
mengusir hawa dingin yang dideritanya semenjak dia terkena pukulan itu.
Setelah lewat dua jam lebih, barulah wajah
Suma Hoat yang pucat menjadi kemerahan dan napasnya menjadi normal kembali.
Ketika dia membuka matanya perlahan dan melihat tangan Maya menempel di
dadanya, merasakan betapa hawa yang panas memasuki dadanya, mendatangkan rasa
hangat mengusir rasa dingin yang hampir merenggut nyawanya tadi, Suma Hoat
menjadi terharu sekali. Dia menggerakkan tangan, meraba lengan Maya, membelai
lengan itu dan berbisik, "Aku.... aku cinta padamu...."
Maya yang sedang rindu kepada suhengnya,
selama mengobati tadi dia mendapatkan kesempatan untuk mengamati wajah pemuda
ini dan jantungnya berdebar, menggelora. Wajah pemuda itu tampan sekali membuat
hatinya amat tertarik. Di antara pemuda yang pernah menyatakan cinta kasih
kepadanya, harus ia akui bahwa Suma Hoat merupakan pria yang paling tampan.
Gejolak darah masa dewasa membuat muka Maya merah sekali, apalagi ketika
mendengar bisikan Suma Hoat mengaku cinta begitu pemuda itu siuman, membuat
jantungnya berdebar keras dan dia menarik kembali tangannya yang tadi dipakai
mengobati dada pemuda itu agar belaian pada lengan yang membuat lengannya
gemetar itu tidak sampai diketahui Suma Hoat.
"Suma Hoat, apa yang kaulakukan
ini?" Maya membentak, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas sekali,
bukan hanya karena dia tadi lama mengerahkan tenaga untuk mengobati pemuda itu,
melainkan terutama sekali karena debar jantungnya membuat dia merasa aneh dan
lemas, seperti dilolosi seluruh urat dari tubuhnya.
"Nona.... engkau telah menolong nyawaku,
dan karena aku tidak tahan untuk menyimpan perasaan hatiku lebih lama, biarlah
sekarang aku mengaku dan aku akan rela andaikata engkau marah dan membunuhku.
Nona, semenjak pertama kali aku memandangmu, aku telah jatuh cinta ketpadamu.
Aku membantumu karena cinta...."
Maya seperti terkena pesona. Seluruh tubuhnya
gemetar dan kedua matanya basah ketika pemuda itu kembali memegang lengannya
yang dahaga akan cinta kasih, rindu dendamnya yang selalu ditahan-tahannya
terhadap suhengnya, membuat hatinya seolah-olah menjadi sebatang tanaman
kering. Kini sikap dan bisikan Suma Hoat yang penuh getaran cinta kasih,
seolah-olah merupakan embun pagi bagi hatinya, sejuk dan menyenangkan.
"Nona, aku cinta padamu.... aku
bersumpah, aku mencintamu dengan hati tulus dan murni...."
Maya memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas
itu menurut saja ketika ditarik dan terdengar rintih perlahan dari dadanya
ketika ia merasa betapa tubuhnya dipeluk erat-erat, kemudian napasnya berhenti
menjadi sedu-sedan ketika ia merasa betapa mulutnya dicium penuh kemesraan oleh
Suma Hoat. Seperti dalam mimpi, kedua lengannya bergerak, membalas rangkulan
pemuda itu dan pada saat itu Maya yang rindu akan cinta kasih itu seperti tidak
ingat bahwa yang memeluk dan menciuminya bukanlah pemuda yang dicintanya dan
dirindukannya, bukanlah Kam Han Ki suhengnya, melainkan Suma Hoat, putera Suma
Kiat musuh besarnya!
Selama ini, hanya kepada tiga orang wanita
saja Suma Hoat benar-benar jatuh cinta. Pertama-tama adalah cinta kasihnya
kepada Ciok Kim Hwa yang juga merupakan cinta pertamanya. Kedua kalinya adalah
ketika dia berjumpa dengan Khu Siauw Bwee, dan ke tiga kalinya adalah kepada
Maya inilah. Kecuali tiga orang wanita itu, tidak ada lagi wanita yang
benar-benar dicinta secara mendalam, bukan hanya cinta berahi belaka, seperti
yang telah dia jatuhkan kepada banyak sekali wanita sehingga dia dijuluki
Jai-hwa-sian.
Dapat dibayangkan betapa bahagia hati Suma
Hoat setelah dapat mendekap dan mencium mulut Maya. Dia merasa bahagia,
mendapatkan pengganti Ciok Kim Hwa, pengganti Khu Siauw Bwee.
"Maya.... bidadariku, kekasih pujaan
hatiku.... bumi dan langit menjadi saksi akan cinta kasihku kepadamu,
Maya...."
Maya tersentak kaget. Tadi sebelum mendengar
namanya disebut, dia hanyalah seorang gadis dewasa, seorang wanita yang haus
akan cinta, yang menderita karena rindu sehingga dia terlena dalam dekapan Suma
Hoat, pria tampan yang pandai merayu hati wanita itu. Akan tetapi, begitu
mendengar namanya disebut, dia sadar! Dia adalah Maya, panglima wanita pemimpin
Pasukan Maut. Dia adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan yang
sedang berjuang membalaskan kematian ayah bunda dan keluarganya! Dia adalah
Maya, penghuni Istana Pulau Es, sumoi dari Kam Han Ki!
Sekali meronta, Maya telah merenggutkan
tubuhnya dari pangkuan dan dekapan Suma Hoat dan dia sudah meloncat turun dari
atas pembaringan. Mukanya berubah pucat, sepasang matanya bersinar-sinar ketika
ia memandang Suma Hoat yang menjadi kaget dan khawatir menyaksikan perubahan
sikap ini.
"Maya.... kekasihku, kenapa....?"
"Suma Hoat! Bagaimana engkau bisa
mengenal namaku?" Tiba-tiba Maya bertanya, suaranya penuh kecurigaan dan
pandang matanya tajam menyelidik. Sejenak Suma Hoat kagum dan bengong,
diam-diam ia harus mengakui bahwa belum pernah dia melihat gadis secantik Maya
sehingga dalam keadaan seperti itu masih saja tampak cantik jelita, kecantikan
yang aneh namun pada saat itu menguasai seluruh hatinya.
"Ahhh, kekasih pujaan hatiku, jadi itukah
yang mengejutkan hatimu?" Suma Hoat tersenyum lebar. "Tentu saja aku
dapat menduga. Pertama karena aku melihat bahwa wajahmu yang cantik seperti
bidadari itu bukan wajah seorang gadis Han dan mengingat engkau bekerja untuk
orang Mancu, tentulah engkau seorang gadis Mancu pula. Dan ilmu kepandaianmu
demikian hebat. Siapa lagikah gadis secantik dan terlihai di Mancu kalau bukan
Panglima Wanita Maya? Akan tetapi, kenyataan itu bahkan menggirangkan hatiku,
Maya dewiku. Engkau seorang Panglima Mancu, aku seorang putera jenderal. Kita
akan menjadi sepasang suami isteri yang cocok dan...."
"Cukup!" Tiba-tiba Maya membentak
dan melihat pandang mata gadis itu, Suma Hoat baru merasa terkejut sekali
karena gadis itu benar-benar telah menjadi marah sekali.
"Maya.... ada apakah....? Mengapa engkau
marah-marah....?" Suma Hoat turun pula dari pembaringan dan melihat
perubahan yang amat menggelisahkan ini, dia yang cerdik cepat menceritakan
jasanya untuk menyenangkan hati Maya. "Tidak cukupkah bukti yang
kuperlihatkan dalam membantumu? Bukankah engkau sendiri yang tadi mengobati aku
yang terluka hebat dan hampir tewas? Maya.... aku rela berkorban nyawa untukmu.
Untuk memenuhi permintaanmu dan membantumu, aku tadi menyelidiki ke dalam
istana Pangeran Ciu Hok Ong yang sedang mengadakan perundingan dengan Bu-koksu,
dan aku mendapatkan sebuah rahasia rencana mereka yang amat penting
bagimu!" Suma Hoat memandang wajah Maya dengan hati gelisah karena gadis
itu seolah-olah tidak mendengarnya, bahkan kini tampak penyesalan dan kemarahan
membayang di wajah yang cantik itu. Maya merasa menyesal sekali, menyesalkan
diri sendiri yang telah menjadi lemah dan membiarkan pemuda itu memeluk dan
menciuminya. Betapa mungkin hal itu terjadi! Dia masih nanar kalau memikirkan
kembali dekapan dan ciuman yang membuat darahnya menggelora tadi!
"Maya, dengarlah," Suma Hoat
menyambung cepat, "Pangeran Ciu dan Koksu berunding dan mengambil
keputusan untuk memancing pasukan Mancu meninggalkan Sian-yang menyerbu
Siang-tan menggunakan saat itu untuk menyerbu dan merampas kembali Sian-yang
dan mengurung pasukan antara kedua kota itu. Sial bagiku, dalam persembunyianku
itu, aku ketahuan oleh seorang panglima pengawal Koksu yang amat lihai dan
dalam beberapa gebrakan saja aku telah terpukul. Untung keadaan yang kacau
memungkinkan aku melarikan diri dan ke sini.... eh, Maya, bukankah sudah
terbukti betapa aku rela mengorbankan apa saja untukmu?"
Maya menarik napas panjang. "Terima kasih
atas bantuanmu, Suma Hoat. Akan tetapi jangan kau mengira bahwa semua jasamu
itu harus kubalas dengan cinta! Engkau telah mengetahui siapa aku. Aku adalah
Puteri Maya, juga Panglima Maya, dan aku adalah penghuni Istana Pulau Es! Tak
mungkin aku mencinta orang seperti engkau yang seharusnya kubunuh, karena
engkau adalah putera Suma Kiat musuh besarku! Untuk bantuanmu itu, aku membalas
dengan mengampunimu, tidak membunuhmu. Nah, selamat tinggal!"
"Maya....!" Suma Hoat berteriak,
kaget bukan main mendengar bahwa Maya adalah penghuni Istana Pulau Es! Dia
mengejar, akan tetapi sekali berkelebat saja Maya telah lenyap dari situ.
"Ahhhh.... tidak.... tidak
mungkin....!" Suma Hoat menjatuhkan diri ke atas pembaringan setelah dia
kembali ke kamar itu, hatinya seperti diremas, semua harapannya membuyar.
Mengapa nasibnya seburuk itu dalam cinta kasih? Setelah gagal memperisteri Ciok
Kim Hwa, setelah gagal meraih cinta kasih Khu Siauw Bwee, setelah semua
harapannya tercurah kepada Maya dan melihat Maya berada dalam dekapannya mandah
diciuminya, kini Maya terlepas dan terbang pula dari tangannya! Kembali dia
gagal! Tidak ada harapan lagi karena Maya ternyata adalah penghuni Istana Pulau
Es yang tentu saja memiliki kepandaian yang amat luar biasa! Mengapa nasibnya
bagitu buruk sehingga dia dipertemukan dengan dua orang dara penghuni Istana
Pulau Es? Apakah seperti Siauw Bwee, Maya juga telah mencinta laki-laki lain?
Ah, nasib!
Ketika Suma Hoat bangkit lagi, rambutnya
awut-awutan karena dijambakinya, wajahnya pucat dan sepasang matanya kembali
mengandung sinar yang keji, sinar yang telah lama meninggalkan matanya semenjak
dia melukai Ketua Siauw-lim-pai, semenjak dia sadar akan kesesatannya. Hatinya
yang berkali-kali mengalami pukulan, kegagalan cinta, membuat perasaannya
menjadi kecut dan kambuh kembalilah penyakitnya, penyakit yang membuat dia
menjadi Jai-hwa-sian, penyakit yang membuat dia membenci wanita, ingin
mempermainkan semua wanita, terutama mempermainkan cinta kasih mereka! Kalau
dia menjadi sakit hati karena cintanya terhadap wanita, dia akan mempermainkan
cinta kasih wanita. Mulai detik itu juga, iblis mulai menguasai hati Suma Hoat
lagi, seolah-olah Jai-hwa-sian yang beberapa bulan lamanya telah mati itu kini
bangkit dan hidup kembali. Dan dengan beringas pemuda itu meloncat keluar
meninggalkan rumah itu, kemudian di malam hari itu, di sebuah rumah besar, terdengarlah
rintihan dari seorang gadis yang dipermainkannya, kemudian menjelang pagi
terdengar jerit gadis itu yang mengantar nyawanya terbang meninggalkan tubuhnya
yang setelah diperkosa lalu dibunuh oleh tangan Jai-hwa-sian!
***
Suma Hoat tidak membohong ketika dia bercerita
kepada Maya. Memang sore hari itu dia telah menyelidik ke istana Pangeran Ciu
Hok Ong. Sayang bahwa ketika dia sudah mendengar sebagian dari percakapan
antara Pangeran Ciu dan Koksu negara bersama panglima-panglima tinggi, tiba-tiba
dia diserang seorang pengawal berpakaian preman yang amar lihai. Tentu saja
Suma Hoat tidak mampu menandingi pengawal itu dan terpaksa melarikan diri
dengan membawa luka karena pengawal itu bukan lain adalah Kam Han Ki!
Akan tetapi, pada waktu Pangeran Ciu bersama
Bu-koksu mengadakan perundingan di pondok taman yang didirikan di atas telaga
buatan itu, ada seorang manusia lain yang juga diam-diam mengintai dan mencuri
dengar percakapan orang-orang besar ini. Dia bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang
bekerja sebagai dayang dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong. Bedanya, kalau Suma
Hoat mengintai dengan bersembunyi di atas wuwungan pondok sehingga dia terlihat
dan diserang oleh Kam Han Ki, dara perkasa ini lebih cerdik dan dia bersembunyi
di bawah pondok, menyelam ke dalam air, berpegang pada tiang pondok dan hanya
menyembulkan kepalanya sambil bersembunyi di balik tiang, mendengar percakapan
orang-orang yang duduk di atas papan pondok. Karena keadaan di kolong pondok
itu gelap, tentu saja tempat persembunyian Yan Hwa ini lebih aman sehingga Kam
Han Ki yang amat lihai itu sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Seperti juga Suma Hoat, Yan Hwa dapat
menangkap percakapan antara Pangeran Ciu dan Bu-koksu tentang rencana mereka
untuk menjebaknya dan menghancurkan pasukan Mancu. Dia menjadi girang sekali
karena hari itu adalah hari terakhir dan besok pagi-pagi dia sudah harus
meninggalkan tempat ini untuk mengadakan pertemuan dengan kawan-kawannya, maka
hasil pengintaiannya itu dapat mendengarkan rahasia yang amat penting bagi
pasukan Mancu. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ia melihat bayangan
berkelebat dan seorang laki-laki tampan berdiri di depan Bu-koksu sambil
berkata tenang,
"Bu-loheng, aku telah mengusir seorang
mata-mata yang tadi mengintai di sini."
"Eh, mengapa kauusir dan tidak kautangkap
atau bunuh?" Koksu Bu Kok Tai bertanya, tidak puas.
"Dia lihai sekali, Loheng. Akan tetapi
dia sudah terluka oleh sebuah pukulanku."
"Siapakah dia? Apakah kau mengenal
dia?"
"Tempatnya gelap, dia bersembunyi di
belakang wuwungan, Loheng. Aku hanya melihat dia dalam cuaca remang-remang, dia
masih muda dan tampan, akan tetapi aku tidak mengenalnya."
"Kam-siauwte, engkau telah berjasa. Harap
kau suka melakukan penyelidikan ke kota, jangan sampai ada mata-mata musuh dapat
menyelundup masuk ke kota Siang-tan ini."
"Baiklah, Loheng." Setelah berkata
demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Ok Yang Hwa masih memeluk tiang di bawah
pondok itu, wajahnya pucat dan dia menggigil. Bukan menggigil karena kedinginan
yang dapat dilawannya dengan pengerahan sin-kangnya, melainkan menggigil karena
ketakutan! Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam, menggigil ketakutan? Memang benar
demikian dan hal ini tidaklah aneh karena dara perkasa itu tadi mengenal Si
Pemuda yang menghadap Bu-koksu sebagai Kam Han Ki! Perasaan terheran-heran
melihat adik sepupu gurunya itu kini membantu Koksu Negara Sung, bercampur
dengan rasa ngeri dan takut karena kalau sampai Kam Han Ki melihatnya, tentu
dia celaka. Paman gurunya lebih lihai daripada Maya, pernah menundukkan dia dan
suhengnya di medan pertempuran, bahkan memperingatkan mereka berdua agar
meninggalkan barisan Mancu.
Karena telah mendengar rahasia penting dan
hatinya gentar setelah melihat Kam Han Ki, Yan Hwa lalu menyelam, berenang di bawah
permukaan air tanpa menimbulkan suara, meninggalkan tempat itu dan langsung dia
menghubungi suhengnya, Can Ji Kun yang menyelundup dan bekerja sebagai tukang
kuda.
Isyarat suitan yang dikeluarkan Yan Hwa segera
mendapat balasan dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik seperguruan,
juga sepasang kekasih ini, sudah saling berhadapan di belakang kandang kuda
yang gelap. Ji Kun segera merangkul Yan Hwa dan dia berbisik kaget,
"Aihhh.... kenapa pakaianmu basah
semua?"
"Aku baru saja menyelidiki perundingan di
pondok telaga dengan hasil baik," Yan Hwa balas berbisik.
"Engkau tentu kedinginan. Hayo masuk ke
kamarku, tanggalkan pakaian basah ini dan kuhangatkan...."
"Hushhh, itu saja yang kaupikirkan,
suheng. Dengarlah, kita harus pergi dari sini, sekarang juga!"
"Kenapa? Kau kelihatan ketakutan,
sumoi."
"Memang aku takut setengah mati. Kau
tahu.... Kam-susiok berada di sini, dia menjadi pengawal Bu-koksu!"
Can Ji Kun membelalakkan matanya. "Apa?
Kam-susiok? Kaumaksudkan dia.... Kam Han Ki penghuni Istana Pulau Es?"
Yan Hwa mengangguk dan dengan singkat
menceritakan semua pengalamannya ketika dia mengintai tadi. "Karena
itulah, kita harus sekarang juga meninggalkan tempat ini. Besok adalah hari
yang menentukan bagi kita untuk berkumpul di dalam kuil tua di luar kota. Aku
telah mendengar rahasia yang amat penting itu, terutama sekali kehadiran
Kam-susiok di sini tentu akan menarik perhatian Maya. Dan kau sendiri tentu
sudah mendapatkan banyak keterangan. Selagi gelap begini, akan berkuranglah
bahayanya untuk melarikan diri. Mudah-mudahan saja jangan sampai bertemu dengan
Kam-susiok!" Yan Hwa bergidik ngeri karena dia takut sekali kepada adik
gurunya itu.
"Baiklah kalau begitu, Sumoi. Nih
pedangmu, simpanlah!" Yan Hwa menerima pedangnya yang ia titipkan kepada
suhengnya ketika mereka menjalankan siasat menyelundup kota bersama rombongan
siuli, "Akan tetapi, engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Pakaianmu
basah kuyup begini."
"Tidak ada waktu untuk kembali ke istana.
Kalau ada yang melihat pakaianku tentu akan menimbulkan kecurigaan. Sudahlah,
basah begini pun tidak apa-apa, Suheng."
"Bagimu tidak apa-apa, akan tetapi kalau
engkau sakit, akulah yang akan kehilangan!" Ji Kun berkata, "Tidak,
engkau harus berganti pakaian kering. Biarlah engkau memakai pakaianku
saja."
Yan Hwa tidak membantah lagi dan dengan
belaian-belaian mesra, Ji Kun membantunya menanggalkan pakaian basah dan
mengenakan pakaian kering yang tentu saja terlalu besar bagi Yan Hwa. Dalam
keadaan seperti itu, mereka tiada ubahnya sepasang suami isteri muda yang
saling mencinta. Kalau Yan Hwa yang masih ketakutan mengingat kehadiran Kam Han
Ki tidak menolaknya, tentu Ji Kun akan melepas rindunya terhadap sumoinya atau
kekasihnya itu.
Mereka lalu menyelundup keluar dari lingkungan
istana, melalui tembok belakang yang tidak jauh dari kandang-kandang kuda di
mana Ji Kun bekerja. Dengan kepandaian mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam
ini berhasli meloncat keluar tanpa dilihat para peronda dan penjaga. Mereka
meloncat dan berlarian di atas genteng rumah rumah penduduk kota dengan
hati-hati sekali dan legalah hati mereka melihat bahwa di atas rumah-rumah itu
tidak nampak penjaga-penjaga.
"Kita harus menghubungi Kwa-huciang dan
Theng-ciangkun lebih dulu," kata Ji Kun. "Kemarin aku telah berhasil
menghubungi mereka."
"Apakah mereka masih menyamar sebagai
pengemis?"
"Benar, dan mereka bersembunyi di kolong
jembatan Ayam Besi di sebelah utara, bersama para pengemis lainnya. Kita harus
membantu mereka keluar dari kota. Marilah!"
Akan tetapi ketika mereka melompat ke atas
genteng sebuah rumah besar, tiba-tiba muncul empat bayangan orang-orang yang
tadinya bersembunyi dengan mendekam di balik wuwungan. Mereka adalah empat
orang pengawal yang memegang pedang dan seorang di antaranya membentak,
"Berhenti! Siapa kalian berdua?"
Kedua orang murid Mutiara Hitam itu menjawab
dengan gerakan pedang yang telah mereka cabut dari sarungnya. Gerakan mereka
cepat bukah main dan keduanya seperti berlumba, tampak sinar kilat berkelebat
dan empat orang pengawal itu telah roboh dan tewas seketika. Kakak beradik
seperguruan ini masing-masing merobohkan dua orang!
"Tangkap penjahat....!"
Kini muncullah belasan orang pengawal yang
berloncatan dari empat penjuru, dan kedua orang muda perkasa itu sudah
dikurung. Terjadilah pertempuran seru di atas genteng.
"Cepat, kita harus pergi dari sini!"
Ji Kun berkata sambil mengelebatkan pedangnya.
Para pengawal yang datang mengeroyok ini
memiliki kepandaian lumayan sehingga terdengarlah bunyi berdencing nyaring
ketika Sepasang Pedang Iblis di tangan Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk, mematahkan
senjata-senjata lawan yang menghujani mereka dengan serangan dahsyat. Dua orang
pengawal roboh lagi, akan tetapi kini tampak banyak sekali pengawal
berloncatan.
Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau pasukan
pengawal dikerahkan, mereka akan menghadapi bahaya besar dan akan sukar sekali
untuk dapat meloloskan diri. Apalagi kalau mereka teringat kepada Kam Han Ki,
mereka merasa ngeri. Maka sambil memutar pedang yang mengeluarkan hawa
menyeramkan dan sinar kilat sehingga para pengeroyok menjadi gentar, keduanya
meloncat ke depan, berdiri di atas genteng dan dikejar oleh para pengawal.
Terdengar bunyi suitan-suitan dari para pengawal yang memberi tanda bahaya
sehingga dari mana-mana muncullah para penjaga yang tadinya melakukan penjagaan
sambil bersembunyi. Melihat betapa dari depan, kanan, kiri muncul pula banyak
pengawal, Ji Kun dan Yan Hwa lalu meloncat turun. Seperti juga di atas, di
bawah sudah terdapat banyak pengawal yang segera menyambut dan mengurung
mereka. Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk dan seperti biasa, pedang mereka
seolah-olah berubah menjadi naga kilat, sepasang naga yang amat dahsyat dan
mereka berlumba membunuhi para musuh yang mengeroyok mereka.
"Sing-sing.... crat-crat....! Delapan
orang, Suheng!" Yan Hwa berseru ketika tubuhnya mencelat ke atas dan
pedangnya menyambar ke bawah, merobohkan dua orang pengeroyok yang hampir putus
leher mereka terbabat pedang Li-mo-kiam di tangannya. Ucapannya itu berarti bahwa
sudah delapan orang yang dirobohkannya.
Ji Kun menggulingkan tubuhnya, pedangnya
membabat ke sekelilingnya. "Wuuuttt, crok-crok....! Sembilan orang
Sumoi!" katanya gembira karena dia menang satu orang.
Yan Hwa penasaran dan pedangnya diputar makin
hebat. Kedua orang itu kini telah lupa akan bahaya, lupa akan menyelamatkan
diri, bahkan lupa bahwa mereka tadi khawatir sekali akan munculnya Kam Han Ki.
Mereka telah berubah menjadi dua orang yang haus darah, ingin berlumba
berbanyak-banyaknya dalam membunuh musuh!
Tiba-tiba terjadi kekacauan di antara para
pengeroyok dan ternyata tiga puluh orang lebih yang berpakaian pengemis,
mengamuk dan menyerang para pengawal itu. Keadaan menjadi kacau-balau dan
tiba-tiba Ji Kun dan Yan Hwa melihat Kwa-huciang dan Theng-ciangkun muncul
dekat mereka.
"Cepat, ikut kami....!" bisik
Kwa-huciang memberi isyarat dengan tangannya.
Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau mereka
menuruti nafsu hati berlumba membunuhi musuh, akhirnya mereka akan terjebak dan
sukar sekali meloloskan diri, maka mereka segera menyelinap dan mengikuti
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang agaknya memang sudah merencanakan pelarian
ini. Menggunakan kekacauan karena para pengemis menyerbu para pengawal, empat
orang mata-mata ini berlari dan melalui lorong-lorong gelap, akhirnya mereka
itu dapat lolos dari kota dengan jalan merobohkan beberapa orang penjaga tembok
kota yang sunyi dan kurang kuat penjagaannya, meloncat ke atas tembok dan
menggunakan tali yang sudah disediakan untuk keluar.
Setelah mereka terbebas dari kejaran para
pengawal dan penjaga, Ji Kun memuji kawannya dan berkata, "Eh,
Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami akan repot menghadapi
kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua dapat menggerakkan para
pengemis itu?"
"Mereka itu sebagian besar adalah
pengemis-pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang yang bergabung dengan Coa-bengcu.
Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu menjadi sekutu pemerintah Yucen,
maka kami berdua lalu mengaku sebagai mata-mata dari Yucen dan mendengar ini,
tentu saja mereka siap membantu kami berdua untuk meloloskan diri dari dalam
kota."
"Hemm, bagus sekali siasatmu,
Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para pengemis itu adalah
kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan terbasmi oleh para
penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!" Ji Kun memuji.
Kwa-huciang mengerutkan alisnya dan dia
menarik napas panjang. "Yaaah, begitulah perang! Demi kemenangan pihak
sendiri, orang tidak segan-segan melakukan segala macam hal yang dalam keadaan
biasa akan membuatnya malu sekali karena perbuatan semacam yang kami lakukan
adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat menuju ke kuil tua di mana
tentu Li-ciangkun telah menanti kita."
Benar saja dugaan pembantu utama Maya ini,
ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang sudah tidak digunakan, di luar
kota yang sunyi itu, Maya sudah berada di situ. Wajah Maya yang tadinya agak
keruh karena masih teringat akan peristiwa antara dia dengan Suma Hoat, kini menjadi
berseri. Girang hatinya bahwa empat orang pembantunya ternyata dapat lolos pula
dan berkumpul kembali di tempat itu dalam keadaan selamat.
Empat orang itu segera melaporkan hasil
penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, dengan bantuan
para pengemis, telah berhasil menyelidiki keadaan di kota Siang-tan, bahkan
telah berhasil membuat gambar peta keadaan kota itu dan sekitarnya.
Hasil penyelidikan mereka ini amat besar
artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur siasat penyerbuan ke kota itu.
Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu menanyakan hasil penyelidikan kedua
orang murid Mutiara Hitam.
"Kami berdua berhasil menyelundup ke
dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong," Yan Hwa berkata dan dengan singkat dia
menceritakan pengalamannya bersama Ji Kun ketika mereka berdua menyamar sebagai
pengganti siuli dan tukang kuda. Maya kagum bukan main akan kecerdikan kedua
orang muda itu, juga merasa geli karena dapat membayangkan betapa lucunya
pengahaman mereka itu.
"Dan apa saja yang kalian dapatkan dalam
penyelidikan kalian?" tanyanya setelah dia memuji.
"Hasil-hasil lainnya tidak begitu
penting, akan tetapi ada dua buah berita yang tentu akan kauanggap hebat
sekali," kata Yan Hwa.
Maya mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak.
"Lekas katakan, berita apa itu?"
"Pertama, dari perundingan antara
Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya, mereka merencanakan untuk menjebak
kita! Mereka akan membiarkan pasukan-pasukan kita meninggalkan Sian-yang
menyerbu Siang-tan, diam-diam mereka akan memotong jalan dan mengurung pasukan
kita di antara kedua kota itu dengan pengerahan bala tentara yang jauh lebih
besar daripada pasukan kita," Kwa-huciang dan Theng-ciangkun terkejut
sekali mendengarkan berita yang amat penting itu. Akan tetapi Maya mengangguk
dan menjawab,
"Memang hebat berita itu, dan amat
penting, perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah
mendengarnya juga, Yan Wwa. Biarpun dari sumber lain, aku pun telah tahu akan
rencana siasat mereka itu. Berita ke dua apa lagi?"
"Berita ke dua ini lebih hebat lagi. Aku
telah melihat.... Kam-susiok sebagai pengawal Bu-koksu!"
"Apa....? Siapa....?" Maya yang
tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya berubah pucat.
Yan Hwa maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar
bahwa suhengnya berada di kota itu, bahkan menjadi pengawal Koksu musuh.
"Aku melihatnya sendiri, dan untung bahwa aku mengintai dari bawah, di
dalam air, karena kalau sampai Kam Han Ki-susiok melihatku, tentu aku akan
celaka."
Maya termenung dan teringat akan keadaan Suma
Hoat. Melihat betapa pemuda lihai itu terkena pukulan yang amat hebat, dia
percaya bahwa penglihatan Yan Hwa tentu tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat
tentulah suhengnya sendiri, Kam Han Ki! Yang membuat dia terheran-heran adalah
kenyataan bahwa suhengnya itu dahulunya jelas membantu pasukan Yucen,
sungguhpun bukan sebagai petugas resmi, mengapa sekarang tahu-tahu menjadi
pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung? Apakah yang telah terjadi dengan
suhengnya?
"Kita harus kembali ke Sian-yang sekarang
juga!" Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak tergetar. Betapa hatinya takkan
gelisah kalau mendengar bahwa suhengnya berada di pihak musuh? Bagaimana kalau
Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah dia berhadapan dengan suhengnya
yang dicintanya itu sebagai musuh?
Lima orang itu berjalan menuju ke depan kuil
tua akan tetapi baru saja mereka melalui ambang pintu depan yang sudah rusak,
tiba-tiba terdengar suara berdesir sambung-menyambung dan belasan batang anak
panah dan senjata piauw menyambar ke arah mereka dari depan, kanan dan kiri.
"Mundur!" Maya berkata setelah
mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu dengan pukulan dan kibasan
tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur lagi dan Maya berkata perlahan,
"Hati-hati, kita terkepung musuh. Jangan
bergerak sebelum aku melihat keadaan." Biarpun keadaan mereka terkepung
dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam bahaya, namun sikap Maya
tetap tenang.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar,
"Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian telah terkepung dan
tidak akan dapat lolos lagi!"
Maya sudah menyelinap dan tanpa mengeluarkan
suara dia mengintai dari empat penjuru, kemudian dia kembali menghampiri empat
orang pembantunya dan berkata,
"Banyak sekali pasukan mengepung kita.
Kita harus menggunakan cuaca gelap ini untuk menerjang keluar dan melawan
mati-matian. Kalau sudah terang, harapan kita tipis sekali untuk dapat lolos.
Kita akan berhadapan dengan perlawanan yang kuat, akan tetapi betapa pun juga,
seorang di antara kita harus dapat lolos dan menyampaikan berita-berita penting
itu kepada Pangeran. Oleh karena itu, tidak boleh kita gagal semua, maka harus
berpencar agar seorang di antara kita sedikitnya, dapat lolos dan sampai ke
Sian-yang. Ji-wi Ciangkun harap menyerbu dari pintu belakang dan aku sendiri
akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau menerobos dari jendela kiri,
sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan dipecah menjadi empat bagian,
tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan kalau untung kita baik,
mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan selamat. Mengertikah
semua?"
Mereka mengangguk. Memang, di antara mereka
berlima, yang dapat dikatakan paling rendah kepandaiannya, sungguhpun sama
sekali bukanlah rendah menurut ukuran umum, adalah Theng-ciangkun dan
Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini disuruh menyerbu bersama.
"Sekarang, aku akan menyerbu lebih dulu
ke depan. Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun harus cepat menerjang ke kiri
untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa menyusul menyerbu ke kanan,
sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke belakang."
Setelah para pembantunya mengangguk tanda
mengerti dan setuju, Maya melangkah keluar dengan sikap tenang. Dia tidak
membawa senjata. Kalau dia berpakaian sebagai panglima, tentu saja pinggangnya
selalu terhias sebatang pedang panjang. Akan tetapi kalau dara ini berpakaian
preman, tidak pernah memegang senjata dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat
bahwa seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti dia, tidak lagi
membutuhkan senjata. Begitu tubuhnya muncul keluar, kembali ada belasan anak
panah menyambar, namun sekali meraih, beberapa batang anak panah dapat
ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh terkena sambaran hawa pukulan tangannya
yang dikibaskan. Sambil tersenyum mengejek Maya lalu melontarkan anak-anak
panah yang dapat ditangkapnya itu ke arah asalnya. Terdengarlah pekik-pekik
kesakitan disusul robohnya tubuh orang di dalam gelap ketika senjata-senjata
itu makan tuannya sendiri!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh dia!"
Teriakan-teriakan ini disusul serbuan banyak
sekali pasukan yang menyerang Maya dengan macam-macam senjata, seperti hujan
datangnya. Namun Maya bersikap tenang, tubuhnya berkelebat ke kiri dan
berbareng dengan robohnya dua orang oleh tamparan-tamparannya, tangannya sudah
merampas sebatang pedang lawan. Mulailah pendekar wanita yang sakti ini
mengamuk, memutar pedang rampasannya dan terdengar suara nyaring berdentang
ketika pedangnya menangkis banyak senjata, disusul pukulan-pukulannya dengan
tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua kakinya yang merobohkan banyak
pengeroyok.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di sebelah kiri
kuil tua dan tampak sinar kilat menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah
menerjang keluar dan juga seperti Maya, pemuda ini telah disambut oleh
pengeroyokan puluhan orang tentara musuh. Keadaan menjadi ramai dan kacau,
apalagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul keluar di sebelah kanan kuil dan
mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya. Pasukan yang mengurung mereka itu
ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah terjadi kepanikan di pihak
mereka seperti diharapkan Maya karena yang mengepung mereka berjumlah seratus
enam puluh orang, dan kini dibagi menjadi empat regu, masing-masing dipimpin oleh
perwira-perwira pengawal yang berkepandaian tinggi.
Sambutan pasukan yang besar jumlahnya ini
mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir sekali kalau-kalau di antara
para pengepung itu terdapat suhengnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi hal
itu dan terus mengamuk sambil berusaha mencari lowongan untuk melarikan diri.
Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa dalam keadaan seperti itu di mana
terdapat rahasia besar yang harus disampaikan kepada Pangeran Bharigan di
Sian-yang yang agar pasukan Mancu tidak masuk dalam perangkap yang dipasang
oleh pimpinan Sung, dia atau seorang di antara mereka harus dapat lolos dan
terpaksa mereka tidak dapat saling menolong. Kalau saja tidak ada hal yang
harus disampaikan ke Sian-yang itu, tentu dia akan mengamuk dan akan menolong
anak buahnya, kalau perlu tewas bersama semua pembantunya.
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun juga mengamuk
sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok terlalu banyak, bahkan di antara para
perwira pengawal terdapat orang-orang pandai, di antaranya terdapat Siangkoan
Lee yang lihai. Biarpun kedua orang perwira pembantu Maya itu mengamuk dan
berhasli merobohkan belasan orang pengeroyok, namun akhirnya mereka berdua
roboh juga dan tewas di bawah hujan senjata pasukan Sung yang marah melihat betapa
teman-teman mereka banyak yang tewas.
Di lain bagian dari pertempuran sebelah itu,
Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di tangannya. Dia seperti harimau yang haus
darah, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar-nyambar yang mematahkan
banyak senjata lawan dan merobohkan banyak orang. Sudah ada dua puluh orang
roboh dan tewas oleh pedangnya, namun dia sendiri juga terluka di pahanya,
keserempet golok. Betapapun juga, pemuda yang perkasa ini tidak menjadi gentar
dan dia mengamuk terus, merasa kecewa bahwa dia terpaksa harus bertanding jauh
dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat membuktikan kepada sumoinya itu bahwa dia
lebih banyak merobohkan lawan daripada sumoinya!
Tiba-tiba para pengeroyok bertambah dan
muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa orang perwira tinggi yang lihai. Murid
Jenderal Suma Kiat ini bersenjatakan sebatang golok melengkung dan dia memimpin
pengeroyokan dengan serangan-serangannya yang amat dahsyat. Sekali ini, Ji Kun
benar-benar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Akan
tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee dan kawan-kawannya untuk merobohkan pemuda
ini, terutama sekali karena di tangan Ji Kun terdapat Pedang Ibiis yang amat
ampuh itu.
"Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup
dan rampas pedangnya!" Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah Suma Hoat
yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah punggung Ji Kun.
Ji Kun maklum bahwa lawan ini amat lihai,
terbukti dari gerakan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Dia
memutar tubuh, mengelebatkan pedang Lam-mo-kiam untuk merusak pedang lawan.
Namun Suma Hoat yang sudah maklum akan kelihaian pedang itu ketika tadi datang
dan menonton, cepat menarik pedangnya dan dia bersuit nyaring. Suitan ini
merupakan tanda rahasia bagi seregu pasukan yang sudah ia persiapkan lebih dulu
dan dua belas orang anggauta pasukan ini serentak melemparkan sebuah jaring ke
arah tubuh Ji Kun! Pemuda ini terkejut sekali. Cuaca pada saat itu masih gelap
dan dia tak dapat melihat jelas benda apa yang menyambarnya dari sekelilingnya
itu. Tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap, tertutup oleh benda-benda yang
lebar itu. Karena tidak tahu senjata apa yang dipergunakan lawan untuk
menyerangnya, dia hanya memutar pedangnya.
Teriakan-teriakan mengerikan terdengar ketika
pedang Lam-mo-kiam membabat jaring-jaring itu, terus membabat lengan dan tubuh
para pemegangnya. Biarpun jaring-jaring itu terbuat dari kawat-kawat baja yang
kuat, namun sekali terkena babatan Lam-mo-kiam, menjadi putus semua, bahkan
pedang mujijat itu masih terus membabat orang orang yang memegang jaring.
Sekali putaran saja lima orang di antara selosin anggauta regu ini roboh. Akan
tetapi, Ji Kun terkejut sekali karena pedangnya terlibat jaring dan selagi dia
berusaha melepaskan jaring-jaring yang melibat pedang dan tengannya, tujuh
orang pengeroyoknya melepas pula jaring-jaringnya dengan berbareng!
"Keparat!" Ji Kun berteriak marah
dan biarpun tubuhnya sudah tertutup jaring-jaring itu, pedangnya masih mampu
merobek jaring dan sekali bacok, tubuh dua orang lawan terbabat buntung di
bagian pinggangnya!
"Hebat....!" Suma Hoat berseru lalu
menubruk dari belakang, tangannya bergerak dan tiga buah totokan kilat membuat
Ji Kun mengeluh dan terguling roboh dalam keadaan pingsan! Suma Hoat cepat
merampas pedang yang mujijat itu, bergidik memandang pedang yang mengeluarkan
cahaya kilat, kemudian dia memimpin sisa pasukan untuk mengeroyok Yan Hwa.
Gadis itu pun mengamuk dengan hebat, pedangnya
membuat para pengeroyok menjadi gentar karena pedang-pedang pusaka yang
terkenal ampuh di tangan beberapa orang perwira menjadi patah semua ketika
bertemu dengan pedang di tangan gadis itu. Ketika Suma Hoat menyaksikan
kehebatan gadis itu, juga menyaksikan kecantikannya di bawah sinar obor yang
dipegangi oleh beberapa orang tentara, dia kagum bukan main. Semenjak dia
terpukul untuk ke tiga kalinya, terpukul hatinya karena penolakan Maya, timbul
pula penyakit lamanya dan tadi dia melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya
dengan mempermainkan seorang gadis kemudian membunuhnya. Namun ia masih merasa
berduka, menyesal dan kecewa. Ternyata perbuatannya yang keji itu tidak mampu
memuaskan hatinya, bahkan menimbulkan penyesalan yang lebih besar lagi. Ketika
lewat tengah hari itu dia meninggalkan kamar gadis yang kini telah tewas di
atas pembaringannya, dia melihat pasukan yang tergesa-gesa lari ke arah utara.
Dia cepat bertanya kepada Siangkoan Lee yang memimpin pasukan itu, dan
mendengar bahwa kini di luar kota, di kuil tua, pasukan-pasukan penjaga sedang
berusaha menangkap lima orang mata-mata yang lihai.
Suma Hoat terkejut, lalu dia ikut pula berlari
ke luar kota di sebelah utara. Dia menyangka bahwa tentu Maya dan
kawan-kawannya. Sangkaannya ternyata tepat, akan tetapi, melihat Maya mengamuk
dengan hebat itu, selain dia merasa tidak akan mampu menandingi wanita penghuni
Istana Pulau Es itu, juga dia merasa tidak tega untuk mengeroyok Maya yang
dicintanya. Diam-diam dia merasa heran sekali kepada diri sendiri. Mengapa dia
tidak dapat membenci Maya yang terang-terangan telah menolak cintanya? Mengapa
dia tidak pernah pula dapat melupakan Khu Siauw Bwee yang juga tidak dapat
membalas cinta kasihnya? Benar-benar dia telah menjadi gila!
Dia, Jai-hwa-sian yang dapat memperoleh
gadis-gadis cantik yang mana saja, baik dengan rayuan maupun dengan kekerasan,
kini tergila-gila kepada dua orang gadis yang tidak mungkin didapatkannya!
Mengapa hatinya jatuh cinta kepada dua orang gadis yang jelas menolaknya,
sedangkan banyak gadis-gadis cantik hanya ingin ia dapatkan untuk memenuhi
nafsu birahi dan sebagai balas dendam belaka?
Karena tidak sampai hati menyaksikan Maya
dikeroyok, pula dia juga tidak berdaya menolongnya karena hal ini selain akan
membahayakan dia sendiri, juga akan membahayakan kedudukan ayahnya dan
membocorkan rahasia mereka bahwa sesungguhnya mereka itu memusuhi Kerajaan Sung
Selatan dan bersekutu dengan Yucen, maka Suma Hoat tidak mau mendekati Maya,
sebaliknya dia membantu Siangkoan Lee untuk menangkap pemuda yang lihai itu.
Kini, menghadapi Yan Hwa, timbul gairah di hatinya. Dia tertarik dan ingin
mendapatkan gadis ini. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis cantik yang lemah,
yang hanya menangis kalau diperkosanya tanpa mampu melawan, yang
tersenyum-senyum malu dan penuh pura-pura kalau gadis itu kebetulan suka
kepadanya. Kini, gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia
sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan gadis itu, apalagi gadis itu
memiliki sebatang pedang yang hebat bukan main, pedang yang bentuk dan sinarnya
serupa benar dengan pedang yang dirampasnya dari tangan pemuda tadi. Aku harus
mendapatkan gadis ini pikirnya, maka dia lalu melompat maju sambil menghunus
pedang Lam-mo-kiam yang telah dirampasnya.
"Tranggg....!" Semua orang yang
berdekatan dengan pertemuan sepasang pedang itu, menjadi silau matanya dan
banyak yang terhuyung mundur karena sepasang pedang yang bertemu dengan
dahsyatnya itu mengandung getaran yang mujijat.
"Aihhhh...., Lam-mo-kiam....!" Yan
Hwa menjerit kaget ketika pedangnya bertemu dengan pedang pegangan suhengnya
itu. Dia memandang wajah pemuda tampan yang memegang pedang itu, kemudian
bertanya dengan suara membentak, "Bagaimana pedang Lam-mo-kiam bisa berada
di tanganmu? Siapa engkau dan di mana suhengku?"
Suma Hoat memandang dengan senyum lebar,
"Ah, kiranya dia itu suhengmu, Nona? Dia sudah tertawan...."
"Bohong! Tak mungkin suheng tertawan oleh
kalian!"
"Hemm, kalau belum tertawan, mana mungkin
pedangnya dapat kurampas? Dan semua temanmu sudah kalah, tinggal engkau
seorang. Kalau engkau suka menyerah, aku menanggung bahwa engkau tidak akan
diganggu, bahkan soal suhengmu.... hemmm, marilah kita bicarakan. Melawan pun
takkan ada gunanya, Nona."
Yan Hwa terkejut dan memandang ke sekeliling.
Benar saja dia tidak melihat lagi Maya yang tadi mengamuk, dan tidak melihat
lagi yang lain-lain. Bahkan kini semua pasukan sudah mengurungnya sehingga
kalau dia melawan, biarpun dia akan dapat membunuh banyak lawan, akhirnya dia
tidak akan dapat meloloskan dirinya. Dia memandang tajam. Pemuda ini amat
tampan dan gagah, dan tidak memiliki sifat kejam.
"Aku minta bukti lebih dulu bahwa
suhengku benar-benar telah kautawan!" katanya sambil melintangkan
pedangnya.
Suma Hoat tertawa dan memanggil Siangkoan Lee.
"Bawalah tawanan itu agar nona ini dapat melihatnya!"
Siangkoan Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak
setuju dengan sikap putera gurunya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
membantah. Dia mengangguk lalu pergi lagi, tak lama kemudian dia mengawal empat
orang anak buahnya yang menggotong tubuh Ji Kun yang masih pingsan dan yang terbelenggu
kuat-kuat.
"Suheng....!" Yang Hwa berseru dan
pedangnya bergerak, hendak mengamuk.
"Tranggg!" Pedang Suma Hoat
menangkis pedangnya dan pemuda ini berkata, "Nona, lebih baik menyerah.
Percayalah, aku akan mengusahakan agar engkau dan suhengmu dibebaskan."
Yan Hwa memandang dan melihat sinar mata
pemuda tampan itu memandangnya penuh gairah, jantungnya berdebar. Kalau di sana
ada jalan keluar untuk membebaskan diri bersama suhengnya, agaknya jalan
satu-satunya hanyalah menuruti kehendak pemuda tampan ini.
"Di mana teman-temanku yang lain?"
Ia bertanya, masih belum mau tunduk dan menyerah begitu saja.
"Dua orang temanmu yang menyerbu dari
belakang kuil telah tewas, sedangkan yang seorang lagi.... eh, wanita sakti
itu, telah melarikan diri," kata Suma Hoat, di dalam hatinya girang
sekali, ketika tadi mendapat kenyataan bahwa Maya telah berhasil melarikan
diri.
Tidak ada jalan lain lagi, pikir Yan Hwa. Maya
telah berhasil melarikan diri membawa berita rahasia itu untuk disampaikan ke
Sian-yang, sedangkan kedua orang perwira pembantu Maya telah tewas. Sekarang
yang terpenting adalah menyelamatkan diri sendiri dan suhengnya.
"Engkau siapakah?" tanyanya.
Suma Hoat menjura. "Aku Suma
Hoat...."
"Suma Hoat....?" Yan Hwa terkejut
karena tentu saja dia telah mendengar akan nama Jenderal Suma Kiat.
Suma Hoat maklum akan isi hati gadis itu, maka
dia melanjutkan, "Benar, aku adalah putera Suma-goanswe yang terkenal.
Kaulihat, aku bukan orang sembarangan, Nona dan kata-kataku boleh engkau
percaya sepenuhnya." Kemudian dengan berbisik ia menyambung, "Berikan
pedangmu dan menyerahlah, engkau dan suhengmu akan selamat."
Mendengar bisikan ini dan melihat sinar mata
pemuda itu mengandung kesungguhan, Yan Hwa memutar pikirannya cepat sekali.
Kalau dia melawan dan sampai tertawan seperti suhengnya, tidak ada harapan lagi
bagi mereka berdua. Sebaliknya kalau dia menyerah, dia masih dapat melihat
keadaan dan mungkin dapat menyelamatkan diri bersama suhengnya. Semua harapan
sudah buntu, kenapa tidak berpegang kepada satu harapan ini, betapapun
tipisnya? Ia mengangguk dan tanpa berkata sesuatu dia menyerahkan pedangnya.
Suma Hoat girang sekali, menerima pedang
mujijat itu lalu berkata kepada Siangkoan Lee dan para perwira,
"Aku yang telah menawan pemuda itu, dan
gadis ini menyerah kepadaku. Mereka adalah tawanan-tawananku. Siangkoan Lee,
bawa pemuda itu ke rumah dan masukkan ke dalam tahanan di bawah tanah, jaga
yang kuat."
Siangkoan Lee mengangguk dan kini dia mentaati
perintah putera majikan atau gurunya karena dia menyangka bahwa tentu "ada
apa-apanya" dengan kedua orang mata-mata itu sehingga putera gurunya
sengaja menawan mereka. Agaknya ada hubungannya dengan persekutuan antara
majikannya dengan Kerajaan Yucen. Apakah dua orang muda itu mata-mata Yucen?
Maka dia lalu menggunakan pengaruhnya untuk menekan para pengawal dan menyuruh
mereka melaporkan bahwa dua orang mata-mata telah terbunuh, seorang berhasil
melarikan diri, sedangkan dua orang lagi yang tertawan oleh putera Jenderal
Suma sedang diselidiki oleh karena keadaan dua orang itu masih disangsikan
apakah mereka benar-benar rnata-mata ataukah hanya terlibat saja dalam
keributan yang digerakkan oleh para pengemis pemberontak itu.
***
"Usul yang gila, dan engkau seorang
manusia yang mata keranjang! Siapa yang percaya bahwa engkau akan memegang
janji?" Yan Hwa dengan muka berubah merah sekali bangkit dari ternpat
duduknya, memandang Suma Hoat dengan mata bersinar penuh kemarahan dan
keheranan setelah mendengar usul yang diajukan pemuda itu kepadanya. Mereka
berada di sebuah kamar yang mewah dan serba indah, kamar tidur pemuda itu
sendiri.
Suma Hoat tersenyum dan tetap duduk di atas
pembaringan menghadapi gadis itu. "Tenanglah, Nona dan duduklah. Mungkin
sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang yang mata
keranjang. Hati siapakah yang takkan terpesona oleh kecantikan seperti yang
kaumiliki? Akan tetapi, penukaran yang kuajukan cukup adil, dan engkau harus
percaya kepadaku karena banyak hal yang mengharuskan aku membebaskan engkau dan
suhengmu."
"Hemm, hal-hal apakah yang menjadi
alasanmu?"
"Pertama, engkau dan suhengmu bukanlah
musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk apa aku mencelakakan kalian? Ke dua,
kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi, bermusuhan dengan kalian sungguh bukan
perbuatan yang cerdik. Ke tiga, kalian mengganggu Kerajaan Sung yang bukan
menjadi negara yang kami bela. Nah, kalau di antara kita terikat persahabatan
baik, bukankah hal itu sangat menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik
dan timbul gairah di hatiku, Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi
kiranya engkau tidak akan menganggap aku seorang laki-laki biasa apalagi buruk
rupa. Tidak kurang banyaknya gadis yang suka kepadaku, akan tetapi tak seorang
pun di antara mereka yang menarik hatiku. Nah, bagaimana jawabanmu, Nona?"
Muka gadis itu tidak semerah tadi, namun
jantungnya masih berdebar keras. Pemuda ini memang tampan sekali, akan tetapi
usul dan permintaan pemuda itu benar-benar merupakan hal yang selama hidupnya
belum pernah ia dengar, maka tentu saja dia merasa tegang dan malu.
"Coba ulangi lagi usulmu, agar aku tidak
salah tangkap," katanya menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.
Suma Hoat tersenyum, diam-diam merasa geli
karena dia sudah tahu betapa hati nona itu berdebar penuh ketegangan. Hal ini
menyenangkan hatinya karena berarti bahwa dara kang-ouw ini tidak biasa
melakukan perbuatan seperti dimintanya. Tidak jarang terdapat wanita-wanita
kang-ouw yang mengumbar nafsunya mengandalkan kepandaiannya, bersenang-senang
dan memuaskan nafsu birahi dengan pria-pria tampan. Namun gadis ini agaknya
bukan semacam wanita pengejar nafsu.
"Begini, Nona. Aku akan membebaskan
engkau dan suhengmu keluar dari kota ini asal engkau mau melayani aku sebagai
kekasih sampai besok pagi, jadi sehari semalam."
Kembali wajah Yan Hwa menjadi merah sekali.
"Usul gila!" Kembali ia mengulang karena hampir dia tidak percaya
akan ada orang yang berani mengajukan usul segila ini kepadanya. "Kalau
sekarang aku menyerangmu, apakah engkau kira akan dapat hidup lebih lama lagi?
Betapa berani engkau!"
Suma Hoat tersenyum. "Aku sama sekali
tidak berani memandang rendah kepadamu, Nona. Aku sudah cukup menyaksikan
kelihaianmu dan belum tentu aku akan dapat bertahan kalau engkau menyerangku
sekarang. Akan tetapi, hal itu sudah kuperhitungkan masak-masak. Aku boleh saja
kaubunuh, akan tetapi apakah engkau dan suhengmu akan dapat meloloskan diri
dari sini? Dan sepasang pedang kalian yang ampuh itu, tidak sayangkah
engkau?"
"Sepasang Pedang Iblis milik kami itu
kaukembalikan pula kalau kami kaubebaskan?"
"Tentu saja! Aku bukan seorang pencuri
pedang yang hina! Aku hanyalah seorang pencuri hati, pencuri wanita-wanita
cantik seperti Nona...."
"Engkau laki-laki cabul!"
"Aku hanyalah seorang laki-laki cabul
yang berterus terang, tidak seperti semua laki-laki cabul yang menyembunyikan
kecabulannya di balik kemunafikan mereka. Nona, aku tergila-gila kepadamu, akan
tetapi aku tidak memaksamu. Aku seperti seekor kumbang yang tertarik akan madu
manis yang terkandung dalam setangkai kembang. Engkaulah kembang itu dan aku
hanya mengharapkan engkau membukakan kelopak bungamu kepadaku. Aku mengharapkan
sari madu cintamu, kubeli dengan kebebasan engkau dan suhengmu. Bukankah ini
sudah adil namanya?"
"Kalau engkau melanggar janji?"
Suma Hoat mengangkat muka, alisnya berkerut
dan matanya bersinar. "Aku adalah seorang laki-laki, seorang jantan!
Melanggar janji, apalagi terhadap seorang wanita cantik seperti Nona, merupakan
pantangan besar bagiku!"
Yan Hwa merasa terjepit, tidak ada jalan
keluar yang lebih baik. Kalau dia marah-marah dan menyerang orang ini, bahkan
andaikata dia berhasil membunuhnya, hal yang masih harus diragukan karena Suma
Hoat ini memiliki kepandaian yang tinggi pula, apakah untungnya bagi dia dan
suhengnya? Dia tentu akan dikepung, dan tanpa Li-mo-kiam di tangan, apalagi
suhengnya masih ditawan, akhirnya mereka berdua hanya akan membuang nyawa
sia-sia. Kalau dia menurut.... ah, pemuda itu tampan dan gagah sekali, tidak
kalah oleh Ji Kun. Teringat akan Ji Kun, dia membayangkan watak Ji Kun yang
kadang-kadang juga mata keranjang. Ketika mereka menawan seorang di antara
gadis-gadis cantik dari kereta para siuli, bukanlah Ji Kun juga memperlihatkan
kenakalannya? Apa kata suhengnya itu? Hanya kulit yang bersentuhan, namun hati
dan cintanya adalah miliknya! Hemm, kalau dia melayani permainan Suma Hoat,
bukankah dia pun hanya mengorbankan kulit dan daging belaka, sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan hatinya yang mencinta Ji Kun seorang? Apalagi kalau
diingat bahwa "pengorbanannya" itu untuk menyelamatkan nyawa Ji Kun
pula!
"Bagaimana, Nona?" Suma Hoat
mendesak.
"Kalau aku menolak?"
"Tidak ada lain jalan kecuali memanggil
para pengawal agar engkau ditawan pula dan bersama suhengmu diseret ke depan
pengadilan. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak menakut-nakutimu kalau kuberi
tahu bahwa hukuman bagi mata-mata adalah penggal kepala."
"Kalau sekarang aku membunuhmu?"
"Sama saja, engkau dan suhengmu juga akan
mati konyol. Bagiku mati di tanganmu yang halus itu merupakan mati yang
terhormat dan menyenangkan. Silakan pilih, aku siap mendengar pilihanmu."
Yan Hwa merasa betapa jantungnya makin
berdebar. Kamar ini begini indah, perabot-perabotnya serba mewah dan mahal,
tempat tidur itu kelihatan amat menyenangkan dan tentu enak dipakai tidur, dan
bau harum dari pembaringan itu menyentuh hidungnya. Seperti kamar seorang
puteri istana saja! Dan pemuda di depannya yang memandang dengan mata
bersinar-sinar, dengan bibir tersenyum, merupakan calon teman yang
menyenangkan.
Dengan jantung berdebar dan suara lirih hampir
tidak terdengar, Yan Hwa mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku menerima
usulmu. Akan tetapi, kalau sampai engkau melanggar janji, aku bersumpah untuk
menghancurkan kepalamu dan menyayat-nyayat tubuhmu!"
"Terima kasih, engkau sungguh seorang
dara yang cerdik dan menyenangkan sekali! Ahh, Nona, betapa keputusanmu itu
mendatangkan rasa gembira yang hebat di hatiku. Terima kasih!" Suma Hoat
melompat turun, merangkul Yan Hwa dan mencium dara itu dengan kemesraan yang
membuat Yan Hwa menjadi nanar. Belum pernah dia dicium orang seperti itu. Ji
Kun pun belum pernah menciumnya semesra itu! Dia tidak tahu bahwa yang mendekap
dan menciuminya adalah Jai-hwa-sian, seorang yang tentu saja amat ahli dalam
permainan cinta!
"Kebaikanmu harus dirayakan, Nona!"
Suma Hoat menghampiri pintu, membuka daun pintu dan memanggil pelayan, menyuruh
pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, dan hidangan yang mewah,
masakan-masakan termahal dan terlezat bersama arak yang paling baik!
Kalau tadinya Yan Hwa masih merasa berat,
malu-malu, dan merasa bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan maksiat yang
hina dan kotor, lambat laun perasaan itu lenyap sama sekali terganti perasaan
girang dan senang yang luar biasa berkat kepandaian Suma Hoat merayunya. Kalau
masih ada awan tipis menyelubunginya, segera awan itu tertiup pergi oleh
hiburan paksaan berupa pendapat bahwa dia melakukan hal itu demi menyelamatkan
nyawa suhengnya!
Manusia adalah makhluk yang amat lemah terhadap
nafsunya sendiri. Kelemahan ini ditambah lagi dengan bermacam perasaan bersalah
karena larangan-larangan yang mereka ciptakan sendiri sehingga setiap perbuatan
mereka adalah tidak wajar dalam usaha mereka menghindarkan diri dari
pelanggaran larangan itu. Demikian pula dengan Yan Hwa. Kalau memang dia tidak
bersikap palsu, maka baginya hanya tinggal memilih apa yang akan dilakukannya
sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa penyesalan tanpa pura-pura dan tanpa
mencari kambing hitam sebagai alasan pendorong perbuatannya. Dia seorang wanita
yang lemah, mudah jatuh di bawah rayuan pria tampan seperti Suma Hoat. Akan
tetapi, dia hendak menutupi kelemahannya ini dengan alasan yang dicari-cari
sehingga semua perbuatannya adalah tidak wajar dan karenanya menjadi kotor.
Sehari semalam kedua orang itu mandi dalam
telaga asmara, tiada bosan-bosannya dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
sebelum sinar matahari mengusir kegelapan malam, keduanya mengakhiri permainan
cinta mereka karena sudah tiba saatnya dalam perjanjian mereka untuk
membebaskan Yan Hwa dan Ji Kun.
Dengan hati penuh kagum dan puas, Suma Hoat
mencium Yan Hwa sambil berkata,
"Ah, engkau dan aku cocok sekali, Yan
Hwa."
Sejenak Yan Hwa membalas ciuman itu, kemudian
didorongnya dada Suma Hoat sambil berkata, "Cukup, Suma Hoat. Kau tahu
bahwa aku melakukan semua itu untuk menebus keselamatan aku dan suheng."
"Ha-ha-ha, tak usah kau berpura-pura,
manis. Beranikah engkau menyangkal bahwa engkaupun, seperti aku, menikmati
hubungan kita yang pendek ini?"
"Tak perlu kusangkal. Engkau memang
seorang laki-laki yang hebat. Akan tetapi aku tidak cinta kepadamu seperti juga
engkau tidak mencintaku. Aku telah mencinta orang lain."
"Suhengmu sendiri?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ha-ha, apa sukarnya menduga? Engkau
telah rela mengorbankan diri untuk menyelamatkannya. Aku tidak menyalahkan
engkau. Suhengmu seorang laki-laki yang tampan dan gagah perkasa. Kalian berdua
memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat, memiliki Sepasang Pedang Iblis yang
mujijat. Yan Hwa, sebelum kita berpisah dan mungkin kita tidak akan saling
berjumpa kembali, mengingat akan kemesraan yang sudah sama-sama kita nikmati,
maukah engkau sekarang mengaku, sebetulnya engkau dan suhengmu itu dari
perguruan mana?"
"Sudah kukatakan bahwa keadaan kami
adalah rahasia kami. Harap kembalikan dulu pedang kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, lalu
mengambil Sepasang Pedang Iblis dari balik jubahnya yang digantung di sudut.
"Kaulihat, hanya kutaruh di sini, tidak kusembunyikan, untuk membuktikan
betapa aku telah percaya penuh kepadamu."
Yan Hwa menerima sepasang pedang itu, mengikat
sarung Li-mo-kiam di pinggang sedangkan Lam-mo-kiam ia gantungkan di punggung.
Ia memandang Suma Hoat dan berkata dengan senyum, "Baiklah, Suma Hoat. Di
antara kita sebetulnya masih ada hubungan, biarpun hubungan di antara kita
penuh dendam permusuhan. Kulihat engkau, biarpun.... mata keranjang dan tukang
perayu wanita, tidak jahat seperti ayahmu. Aku dan suheng adalah murid mendiang
subo kami, Mutiara Hitam."
Wajah Suma Kiat menjadi pucat. "Apa....?
Murid Bibi.... Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam.... dan engkau sudah tahu bahwa aku
masih keponakannya?"
Yan Hwa mengangguk. "Ayahmu, Jenderal
Suma Kiat amat jahat dan curang. Dia mengakibatkan kematian Supek Kam Liong,
dan muridnya, dan agaknya semenjak dahulu, antara keturunan Suma dan keturunan
Kam selalu timbul permusuhan karena kejahatan keluarga Suma. Akan tetapi,
kulihat engkau tidak jahat hanya.... mata keranjang!"
Suma Hoat tersenyum kecut. "Tidak perlu
kau ulangi lagi, Yan Hwa. Aku tidak akan menyangkal akan sifatku yang suka
merayu dan bermain cinta dengan wanita cantik. Untuk itulah maka aku dijuluki
Jai-hwa-sian."
"Engkau Jai-hwa-sian? Hemm, pantas!
Sudahlah, mari antar aku kepada Suheng dan biarkan kami pergi. Mudah-mudahan
saja jalan hidup antara kita akan bersimpangan karena aku tidak ingin merusak
kenangan manis kemarin dan malam tadi dengan bentrokan karena sekali kita
saling bentrok, aku takkan suka mengampunimu, Suma Hoat."
Suma Hoat mengangguk lalu mengajak Yan Hwa
mengambil jalan rahasia menuju ke tempat tahanan di bawah tanah. "Kau
tunggu di sini. Kalau terjadi keributan dan teriakan kebakaran sehingga semua
penjaga lari meninggalkan pintu di sana itu, barulah kau masuk, bebaskan suhengmu
dan lari, melalui jalan ini." Suma Hoat menerangkan jalan rahasia keluar
dari tempat itu. Setelah Yan Hwa mengerti betul, dia lalu merangkul Yan Hwa,
mencium bibirnya dan berbisik, "Selamat berpisah, Yan Hwa, aku tidak cinta
padamu akan tetapi aku takkan pernah dapat melupakanmu. Kau bersembunyi di sini
dan tunggu sampai ada teriakan kebakaran."
Yan Hwa mengangguk dan melihat bayangan pemuda
itu berkelebat lenyap. Tak lama kemudian, benar saja seperti yang dipesankan
Suma Hoat, tampak sinar api dan asap membubung tinggi dan terdengar
teriakan-teriakan,
"Kebakaran....! Kebakaran....! Tolong....
padamkan api....!"
Ributlah keadaan di situ dan setelah Yan Hwa
melihat para penjaga yang tadinya berkumpul di pintu, berlari-lari membawa
ember dan lain-lain alat pemadam kebakaran, dia cepat menyelinap memasuki pintu
dan menuruni anak tangga ke bawah. Dilihatnya Ji Kun meringkuk rebah miring di
atas bangku di dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. Pintu dan
jendelanya kuat sekali, akan tetapi beberapa kali bacokan dengan pedang
Li-mo-kiam, Yan Hwa sudah berhasil membuka pintu.
"Sumoi....! Bagaimana kau bisa
bebas....?"
"Sstt, bukan waktunya bicara." Yan
Hwa menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan Ji Kun, kemudian ia
menyerahkan Lam-mo-kiam kepada suhengnya dan menarik tangannya, mengajak keluar
dari tempat itu.
"Bagus, agaknya engkau telah memancing
mereka dengan kebakaran, Sumoi! Mari kita amuk dan binasakan mereka sebelum
pergi dari sini!" Ji Kun berkata setelah mereka keluar dari tempat tahanan
di bawah tanah dan dia menyaksikan api yang berkobar tinggi dan orang-orang
yang sibuk memadamkan api.
"Hushhh, jangan, Suheng. Setelah susah
payah aku berhasil membebaskan kita berdua, apakah akan kaurusak dengan
memasuki bahaya tertawan lagi? Hayo kita pergi, ikut dengan aku!"
Dengan mengikuti petunjuk yang diterimanya
dari Suma Hoat, akhirnya Yan Hwa berhasil membawa suhengnya keluar dari istana
dan tembok kota Siang-tan, kemudian melarikan diri secepatnya di dalam cuaca
remang-remang karena pagi telah tiba. Baru setelah lewat tengah hari dan mereka
sudah jauh sekali di sebelah utara kota Siang-tan dan napas mereka mulai
memburu, tubuh penuh keringat, kedua orang ini berhenti mengaso di sebuah hutan
kecil. Bahkan Yan Hwa yang amat lelah dan semalam suntuk berenang dalam lautan
cinta bersama Suma Hoat sehingga tubuhnya terasa lemas, segera tertidur pulas
di bawah pohon, dihembus angin semilir sejuk. Ji Kun memandang sumoinya yang
tidur nyenyak dan diam-diam ia merasa terheran-heran melihat wajah sumoinya
mangar-mangar, bibirnya tersenyum dalam tidurnya. Sumoinya kelihatan seperti
orang yang bergembira, penuh kepuasan, sama sekali bukan seperti orang yang
habis tertawan. Dan bagaimanakah sumoinya dapat menolongnya sedang pihak musuh
demikian banyak dan lihai? Bagaimana pula dapat merampas kembali Lam-mo-kiam?
Apa yang terjadi dengan Maya dan kedua orang perwira pembantunya? Dia tadi
tidak sempat bicara karena mereka harus melarikan diri secepatnya dan begitu
mereka berhenti mengaso, Yang Hwa sudah merebahkan diri dan tidur nyenyak!
***
Kita meninggalkan dulu Yan Hwa yang tidur
pulas dan suhengnya yang memandang dengan heran dan menduga-duga, karena pada
hari itu juga, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelundup ke kota
Siang-tan. Karena sudah lama kita meninggalkan Siauw Bwee, sebaiknya kita
mengikuti perjalanannya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
pendekar wanita yang sakti ini berhasil keluar dari kota Sian-yang berkat
bantuan Suma Hoat dan kemudian setelah keluar dari kota itu, dia bertemu
kembali dengan pemuda ini yang ternyata adalah sute dari Coa Leng Bu.
Diceritakan pula betapa Suma Hoat tergila-gila kepadanya dan secara terus
terang menyatakan cintanya yang tentu saja ditolak oleh Siauw Bwee. Betapapun
juga Siauw Bwee tidak mengganggu pemuda itu biarpun kenyataan bahwa pemuda itu
putera tunggal musuh besarnya, Suma Kiat, membuat dia semestinya membenci Suma
Hoat. Namun sikap pemuda itu malah menimbulkan perasaan iba di hatinya.
Setelah Suma Hoat pergi yang membuat heran
hati Coa Leng Bu karena kakek ini tidak mengetahui sebab-sebabnya, juga tidak
berani bertanya kepada Siauw Bwee, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke kota
Siang-tan. Siauw Bwee ingin sekali bertemu dengan suhengnya, ingin menyelidiki
sikap suhengnya yang aneh, yang menurut dugaan supeknya itu tentu menjadi
korban racun perampas semangat.
Tentu saja memasuki kota Siang-tan yang masih
diduduki oleh pasukan Sung, lebih mudah bagi mereka, orang-orang Han, daripada
memasuki kota Sian-yang yang telah dikuasai bala tentara Mancu. Bersama
rombongan pengungsi, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki pintu gerbang kota.
Akan tetapi, pada pagi hari itu, penjagaan di pintu gerbang kota Siang-tan
tidaklah seperti biasa. Biarpun para pengungsi itu adalah suku bangsa sendiri,
namun setiap orang pengungsi harus digeledah dan setiap buah senjata yang ada
pada mereka dirampas. Hal ini adalah akibat kekacauan yang terjadi kemarin, di
mana para pengungsi mengamuk dan lima orang mata-mata diketahui dan
dikejar-kejar.
Ketika tiba giliran Siauw Bwee digeledah,
hampir saja terjadi keributan. Melihat dua orang penjaga yang menyeringai dan
memandangnya dengan muka kurang ajar, hati Siauw Bwee menjadi panas sekali.
Para pengungsi lain, cukup digeledah barang-barang bawaan mereka dan diharuskan
menyerahkan senjata yang menempel di tubuh, akan tetapi melihat Siauw Bwee yang
cantik jelita, dua orang petugas itu timbul gairahnya dan keceriwisannya.
"Aha, Nona harus digeledah. Silakan masuk
ke pondok penjaga, harus kami geledah kalau-kalau Nona menyembunyikan senjata
atau surat-surat penting di dalam pakaian Nona. Kami takkan bersikap kasar
terhadap Nona yang cantik jelita."
Hampir saja Siauw Bwee melayangkan tangannya
menampar petugas itu, akan tetapi Coa Leng Bu cepat menyentuh lengannya. Kakek
ini menjura kepada dua orang petugas itu. "Harap Ji-wi suka memaafkan
kami. Keponakanku ini tidak membawa senjata lain kecuali pedangnya. Pedang
sudah kami berikan, mengapa harus digeledah pakaiannya lagi sedangkan para
pengungsi lainnya tidak?"
"Hemm, engkau tak tahu, orang tua! Di
antara mata-mata yang dikejar semalam, terdapat beberapa orang gadis muda yang
cantik. Dalam keadaan perang seperti ini, gadis-gadis cantik, pengemis-pengemis
tua, orang-orang yang kelihatan lemah dan biasa malah mencurigakan, karena para
mata-mata selalu menyamar sebagai orang-orang lemah."
"Alasan dicari-cari! Kalau aku mata-mata,
masa akan masuk kota begini saja? Katakan saja kalian kurang ajar agar aku
mendapat alasan untuk menghajar kalian!" Siauw Bwee membentak dan telapak
tangannya sudah terasa hendak "mencium" muka dua orang penjaga yang
menyebalkan hatinya itu.
"Ssstt, sabarlah, Lihiap," kata Coa
Leng Bu yang segera berkata kepada dua orang yang kelihatan marah oleh
kata-kata Siauw Bwee tadi. "Harap Ji-wi tidak mengganggu. Ketahuilah bahwa
aku adalah suheng dari Suma Hoat, putera Jenderal Suma Kiat. Kalau sampai
terjadi keributan antara kita dan terdengar oleh Suma-goanswe, akan membuat
hati tidak enak saja."
Mendengar ini, pucatlah wajah kedua orang
penjaga itu. Mereka membungkuk-bungkuk, meminta maaf dan mempersilakan mereka
memasuki kota tanpa banyak cakap lagi.
"Huh, menyebalkan sekali anjing-anjing
penjilat itu!" Siauw Bwee mengomel.
"Kita harus dapat memaafkan mereka,
Lihiap. Mereka hanyalah petugas-petugas yang menjalankan kewajibannya."
"Supek, perlu apa membela orang-orang
macam itu? Kalau memang para petugas menjalankan kewajibannya dengan baik dan
teliti, siapa yang akan membantah dan mencela? Aku malah akan menghargainya dan
kagum. Ayah pernah bilang bahwa seorang petugas harus memiliki kesetiaan kepada
tugasnya. Akan tetapi mereka itu? Hemm...., mereka hanya melakukan tugas dengan
keras penuh tekanan kepada mereka yang lemah dan miskin. Mereka yang mampu
memberi uang sogokan tidak digeledah, dan wanita-wanita muda yang sudi bersikap
manis kepada mereka tentu akan terbebas pula dari penggeledahan. Engkau tadi
baru menggunakan nama besar Jenderal Suma saja sudah membuat mereka mundur dan
melipat buntut seperti anjing-anjing penjilat ketakutan. Menyebalkan."
Siauw Bwee memang marah sekali karena nama musuh besarnya, Suma Kiat, terpaksa
dipergunakan oleh supeknya untuk menghindarkan keributan.
"Lihiap, engkau adalah seorang yang
biarpun masih amat muda, telah berhasil memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat. Namun, tetap saja engkau masih muda dan perlu mempelajari soal hidup dan
lebih mengenal diri sendiri agar kesadaran menuntunmu dan membuat pandang
matamu waspada terhadap segala yang terjadi di sekelilingmu. Belajarlah untuk
berani menghadapi kenyataan yang bagaimanapun juga, Lihiap. Menghadapi
kenyataan tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Tanpa ingatan akan masa lalu
dan renungan akan masa depan maka engkau akan dapat melihat kenyataan itu
seperti apa adanya, membuat engkau akan tetap tenang biarpun menghadapi apapun
juga. Dalam keadaan tenang sewajarnya inilah maka segala tindakanmu akan dapat
kaupergunakan dengan tepat, dan engkau tidak akan terseret oleh kemarahan dan
penasaran, penyesalan maupun harapan, karena ketenangan yang timbul dari
kewaspadaan ini akan dapat membuat engkau bisa menyesuaikan diri dengan segala
keadaan."
Siauw Bwee menjadi termenung. Pantas supeknya
ini selalu tenang, kiranya memiliki dasar kesadaran yang amat mendalam. Dia
menjadi malu kepada diri sendiri yang mudah dibangkitkan rasa penasaran dan
kemarahannya yang sesungguhnya hanya berdasarkan untung rugi bagi diri
pribadinya saja.
"Maafkan kemarahanku tadi, Supek.
Pikiranku sedang gelisah memikirkan Suheng, sehingga aku mudah tersinggung. Aku
akan langsung mencari di mana gedung tempat tinggal Bu-koksu, karena Suheng
tentu berada di sana pula."
"Berbahaya sekali kalau langsung pergi ke
sana, Lihiap."
"Supek, aku tidak takut. Kurasa, aku akan
sanggup menghadapi semua pengawal Bu-koksu...."
"Apakah engkau akan mampu pula menandingi
Kam-taihiap, suhengmu itu?"
"Ahhh.... kalau dia.... tentu saja aku
takkan mampu, dia adalah suhengku dan juga guruku, karena dialah yang
membimbingku dahulu."
"Nah, kalau begitu, harap jangan
tergesa-gesa dan sembrono. Bukankah suhengmu itu telah hilang ingatan dan tidak
mengenalmu lagi? Kalau kau menyerbu ke sana, tentu dia akan membela Bu-koksu
dan mau tidak mau engkau akan berhadapan dengan dia."
Siauw Bwee terkejut dan menjadi bingung, lalu
menghela napas. "Aihhh, benar juga, habis bagaimana baiknya, Supek?"
"Kita harus bersabar, dan sebaiknya kita
mencari rumah penginapan lebih dulu, kemudian baru kita menyelidiki dengan
diam-diam. Jalan terbaik adalah mencari kesempatan untuk dapat berjumpa berdua
dengan suhengmu itu dan membujuknya untuk suka kuobati. Atau, kalau sekiranya
sukar mencari kesempatan ini, aku dapat meminta bantuan Sute. Kurasa, Suma-sute
juga berada di kota ini."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Hatinya merasa
tidak enak kalau dia harus minta bantuan Suma Hoat, pemuda putera musuh
besarnya, juga pemuda yang ia tolak cintanya itu.
"Coa-supek, terima kasih atas nasihatmu
yang amat berharga. Memang sebaiknya begitulah dan kuminta bantuan Supek agar
Supek mempersiapkan obat-obat untuk menyembuhkan suhengku. Sebaiknya Supek
mempersiapkan tempat dan obat lebih dulu, aku akan menyusul setelah aku
berhasil membujuk Suheng."
"Soal tempat, aku sudah memilih untuk
keperluan itu. Hutan yang kita lewati kemarin, hutan yang penuh pohon pek itu
merupakan tempat yang amat baik, apalagi aku melihat banyak tetumbuhan obat di
sekitarnya. Kalau kita berhasil membujuk suhengmu, sebaiknya kita ajak dia ke
sana, kita bersembunyi di bagian yang sunyi dalam hutan itu dan aku akan
berusaha mengobatinya."
"Bukan kita, Supek, melainkan aku
sendiri. Aku sendiri yang akan mencari dan membujuknya. Harap Supek
mempersiapkan tempat dan mencari obat-obatnya. Pekerjaan ini amat berat, dan
kalau Supek ikut, aku khawatir kalau dia akan curiga dan tidak mau memenuhi
permintaanku."
Coa Leng Bu mengangguk-angguk. "Engkau
benar, Lihiap. Di sini banyak terdapat orang lihai, dan dengan kepandaianku
yang masih rendah, aku hanya akan menjadi penghalang saja. Baiklah, kita
berpisah di sini, aku akan menuju ke hutan itu dan mempersiapkan obat-obatnya
yang harus kucari lebih dulu. Kau berhati-hatilah dan semoga kau berhasil
membujuknya pergi ke sana."
"Aku sama sekali bukan bermaksud
merendahkan kepandaianmu, Supek...."
"Tidak, memang kenyataannya demikian. Aku
tidak menyesal, dan selamat tingga1, Lihiap, semoga semua berjalan baik."
Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan Siauw Bwee kembali ke pintu
gerbang dan keluar dari kota Siang-tan.
Siauw Bwee menarik napas panjang. Ia merasa
menyesal terpaksa harus mengeluarkan kata-kata menyinggung hati supeknya yang
baik itu, sungguhpun ia yakin bahwa supeknya yang bijaksana tidak merasa
tersinggung dan dapat melihat kenyataan bahwa kalau supeknya ikut bersama dia
mencari suhengnya, keadaan tidak akan menguntungkan mereka. Maka dia pun
melanjutkan perjalanannya memasuki kota besar Siang-tan, mencari-cari rumah
penginapan.
Rumah penginapan Sin-lok adalah sebuah rumah
penginapan yang cukup besar, bahkan mempunyai rumah makan sendiri di
sampingnya. Melihat rumah penginapan ini, Siauw Bwee menghampiri pintu dan
bermaksud hendak menyewa kamar di situ. Akan tetapi, tiba-tiba ia menghentikan
langkahnya ketika ada suara orang berseru,
"Heii, Nona! Tunggu dulu!"
Ia menoleh dan kiranya yang menegurnya adalah
seorang perwira pengawal yang memimpin pasukan pengawal sebanyak dua belas
orang, agaknya mereka ini bertugas meronda di kota yang sudah bersiap-siap
menghadapi penyerbuan musuh dan yang kini melakukan penjagaan dan perondaan
ketat setelah kemarin terjadi keributan yang ditimbulkan oleh Maya dan para
pembantunya, terutama sekali pemberontakan beberapa orang pengemis yang
berhasil dihasut oleh Kwa-huciang.
"Mau apa engkau menahan aku?" Siauw
Bwee sudah bangkit lagi kemarahannya melihat perwira itu dan semua anak buahnya
memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum.
Perwira itu meraba gagang pedangnya dan
berkata, "Harap Nona tidak melawan. Aku menangkap Nona dan harap suka ikut
ke kantor untuk diperiksa."
"Apa salahku? Mengapa aku ditangkap dan
diperiksa, untuk apa?" Siauw Bwee membentak, tidak mempedulikan wajah
beberapa orang yang sudah datang untuk menonton dan kini mereka memandang
kepada Siauw Bwee dengan muka khawatir menyaksikan sikap gadis itu yang galak
dan berani melawan pasukan pengawal.
"Kalau aku tidak salah lihat, aku pernah
melihat Nona di Sian-yang. Kalau benar dugaanku, Nona adalah seorang mata-mata,
kalau aku salah lihat, setelah diperiksa oleh komandan kami, Nona tentu akan
dibebaskan, disertai maaf kami."
"Gila! Aku tidak mau ditangkap, tidak mau
diperiksa. Aku seorang pengungsi, apakah kalian ini bisanya hanya mengganggu
wanita saja, sedangkan kalau musuh datang kalian lari terbirit-birit? Memalukan
sekali!"
Muka Si Perwira menjadi merah. "Nona,
kalau engkau melawan, hal itu hanya menunjukkan bahwa Nona adalah seorang
musuh. Kami hanya melakukan tugas, mengapa Nona hendak menggunakan
kekerasan?"
"Siapa yang menggunakan kekerasan? Siapa
yang memulai dengan pertentangan ini? Aku tidak ada urusan dengan kalian,
sudahlah, jangan mengganggu!" Siauw Bwee melangkah hendak pergi, memasuki
pintu rumah penginapan, akan tetapi perwira itu sudah menghadang dan kini sudah
menghunus pedangnya.
"Berhenti! Sikap Nona makin mencurigakan
dan kami terpaksa menangkap Nona. Kalau Nona menyerah dengan baik-baik, kami
akan mengiringkan Nona ke kantor. Kalau Nona melawan, terpaksa kami menggunakan
kekerasan!"
Siauw Bwee makin naik darah. Dia berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan ia menghardik,
"Aku tidak mau ditangkap, hendak kulihat kalian akan bisa berbuat
apa?"
"Tangkap dia!" Perwira itu
mengeluarkan aba-aba.
Bagaikan kucing-kucing kelaparan memperebutkan
seekor tikus, empat orang perajurit pengawal sudah menubruk maju, penuh gairah
untuk meringkus tubuh yang padat menggairahkan itu.
"Plak-plak-plak-plak!" Empat kali
tangan Siauw Bwee menampar dan empat tubuh terlempar dan roboh terjengkang
seperti disambar petir!
"Ahh, ternyata dugaanku benar! Engkau
bukan perempuan sembarangan, engkau adalah mata-mata yang mengacau di Sian-yang
itu!" Perwira muda itu mencabut pedangnya dan menerjang maju. Akan tetapi,
dengan gerakan kaki yang luar biasa, kaki kiri Siauw Bwee menendang, tepat
mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang terlempar ke atas,
kemudian disusul kaki kanan menendang lutut, membuat perwira itu roboh
terguling. Pedang yang meluncur turun itu disambut oleh tangan Siauw Bwee yang
membentak marah,
"Kau main pedang, ya? Nah, makan pedangmu
sendiri!"
Gadis yang marah itu sudah menggerakkan
pedang, bukan untuk membunuh hanya untuk sekedar melukai memberi hajaran, akan
tetapi tiba-tiba sebutir kacang goreng melayang dan tepat menotok pergelangan
tangannya yang memegang pedang. Siauw Bwee terkejut bukan main karena totokan
sebutir kacang goreng itu membuat seluruh lengan kanannya tergetar dan lumpuh
sehingga pedang rampasannya terlepas dari pegangan! Betapa lihainya pelempar
"senjata rahasia" itu! Dia dapat mengerahkan sin-kangnya sehingga
lengannya pulih kembali dan cepat memandang ke atas dari mana serangan tadi datang.
Ia melihat seorang laki-laki duduk dengan tenang di atas loteng depan rumah
makan sambil minum arak dan makan kacang goreng, sama sekali tidak memandang ke
bawah seolah-olah tidak mengacuhkannya. Akan tetapi begitu melihat laki-laki
itu jantung Siauw Bwee berdebar keras. Orang yang dicari-carinya, Kam Han Ki,
kiranya orang yang melemparnya dengan kacang goreng. Pantas saja lemparannya
demikian tepat menotok jalan darah di pergelangan tangannya dan membuat
pedangnya terlepas!
"Suheng....!" Ia menjerit penuh kegirangan
dan tubuhnya sudah melompat ke atas loteng itu, dipandang oleh para pengawal
dan penduduk yang menonton dengan mata terbelalak kagum. Gerakan Siauw Bwee
memang amat mengejutkan. Lompatannya itu seperti seekor burung terbang ke atas,
demikian indah dan cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, hanya
merupakan bayangan berkelebat saja.
"Suheng....!" Kembali Siauw Bwee
berkata setelah dia berdiri di depan pemuda itu yang memandangnya dengan mata
tak acuh dan masih melanjutkan minum araknya. Melihat sinar mata suhengnya ini,
Siauw Bwee merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang. Sinar mata
suhengnya membayangkan bahwa dia tidak mengenalnya sama sekali, seperti pandang
mata seorang asing, namun pandang mata itu mengandung teguran dan penyesalan.
"Suheng, ini aku, Siauw Bwee
sumoimu!" Suara Siauw Bwee mengandung isak, hampir saja dia menangis
karena tidak kuat menahan kedukaan hatinya.
Kam Han Ki, pemuda itu, menurunkan guci
araknya, memandang Siauw Bwee penuh perhatian dan sepasang alisnya berkerut,
penuh teguran. Suaranya halus namun penuh dengan penyesalan ketika ia berkata,
"Nona, aku sama sekali tidak mengerti
akan sikapmu yang aneh, dan mengapa engkau selalu menyebut suheng kepadaku. Aku
tidak dapat menduga apakah sebabnya engkau bersandiwara seperti itu, ataukah
memang engkau salah mengenal orang. Kalau hendak mengatakan engkau gila, tidak
mungkin. Akan tetapi, yang amat kusayangkan adalah bahwa berkali-kali engkau
mengacau, dahulu di Sian-yang, dan sekarang kembali engkau mengacau di sini.
Kepandaianmu amat tinggi, jarang aku bertemu dengan orang yang setinggi tingkat
kepandaianmu. Akan tetapi sungguh sayang andaikata engkau pergunakan
kepandaianmu untuk mengkhianati negara."
"Kam-suheng! Aku tidak mengkhianati
siapa-siapa, aku.... aku...." Siauw Bwee tak dapat melanjutkan
kata-katanya saking sedih hatinya melihat keadaan suhengnya yang benar-benar
sama sekali tidak mengenalnya.
"Hemm, engkau selalu membikin kacau dan
kalau tadi tidak kucegah, bukankah engkau sudah melukai seorang perwira
pengawal?"
"Kam-suheng, aku sengaja mencarimu!
Engkau.... engkau telah kehilangan ingatan sehingga engkau tidak ingat lagi
kepadaku, sumoimu yang.... yang setengah mati mencarimu. Aihh, Suheng....
ingatlah, aku Siauw Bwee.... Suheng, benar-benarkah engkau lupa kepadaku?"
Han Ki memandang dan menggeleng-geleng
kepalanya, lalu menghela napas. "Sayang.... sungguh sayang.... Engkau
seorang dara remaja yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Sayang kalau
sampai pikiranmu tidak normal. Aku belum pernah bertemu denganmu, kecuali
ketika engkau mengacau dan menyerang Koksu di Sian-yang. Sungguhpun suaramu....
ahh, tentu hanya dalam mimpi saja aku pernah mendengar suaramu. Nona, kau
pergilah dari kota ini, jangan mengacau lagi."
Siauw Bwee maklum bahwa akan percuma saja dia
mengingatkan suhengnya ini yang sudah hilang ingatannya. Dia seorang gadis
cerdik, maka dia segera bertanya,
"Kalau kauanggap aku sebagai seorang
pengkhianat dan pengacau, mengapa engkau tidak menangkap saja aku agar aku dihukum
mati, atau tidak kaubunuh saja aku? Betapapun lihaiku, aku tidak akan dapat
menang melawanmu. Mengapa?" Bertanya demikian, sepasang matanya menatap
tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati Han Ki.
"Aku tidak akan tega mencelakakan engkau,
Nona. Aku tidak suka membikin susah orang lain, apalagi engkau!"
"Mengapa aku diistimewakan?"
Han Ki bukanlah seorang yang pandai bicara,
maka dia merasa terdesak di sudut, setelah memandang gadis itu dengan pandang
mata bingung, dia menarik napas panjang dan menjawab,
"Entah mengapa.... aku.... aku kasihan
kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik, amat lihai, sungguh aku tidak
mengerti mengapa engkau pura-pura mengenalku sebagai suhengmu. Sudahlah, mari
kau kuantar keluar dari kota agar engkau dapat pergi dengan aman." Ia
menjenguk ke bawah dan melihat pasukan-pasukan pengawal datang mengurung tempat
itu, ia menggerakkan tangan berkata,
"Pergilah kalian semua! Biarkan aku
sendiri yang mengurus Nona ini!"
Siauw Bwee juga menjenguk ke bawah dan ia melihat
betapa para perwira komandan pasukan memandang Han Ki dengan heran, akan tetapi
mereka tidak berani membantah dan pergilah para pasukan pengawal itu.
Harus membujuknya di tempat sunyi, pikir Siauw
Bwee, agar tidak terganggu orang lain. "Baiklah, mari kauantar aku keluar
kota." Akhirnya dia berkata.
"Baik, aku akan mengantarmu ke luar kota
dan setelah itu engkau harus pergi dan berjanji padaku tidak akan mengacau di
kota lagi karena aku akan merasa menyesal sekali kalau aku terpaksa harus
melawanmu sebagai musuh." Pemuda itu lalu memanggil pelayan, membayar
makan minumnya lalu meloncat turun dari loteng diikuti oleh Siauw Bwee yang
menjadi girang sekali.
Dengan diantar oleh Kam Han Ki, pengawal
kepercayaan Bu-koksu, tidak ada seorang pun berani mengganggu Siauw Bwee dan
dengan tenang Siauw Bwee berjalan di samping suhengnya keluar dari pintu
gerbang utara. Bukan main girangnya hati Siauw Bwee dapat berjalan bersama
suhengnya yang diam saja, dan melihat betapa para penjaga memberi hormat kepada
Han Ki, hatinya terasa perih dan berduka. Biarpun dia berjalan di samping
suhengnya, namun Kam Han Ki pada saat itu bukanlah suhengnya, melainkan
pengawal nomor satu dari koksu negara.
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari pintu
gerbang, terdengar suara kaki kuda berderap dan sepasukan pengawal melakukan
pengejaran dari belakang. Dari jauh terdengar suara yang amat berpengaruh dan
melengking nyaring tanda bahwa yang mengeluarkan suara menggunakan khi-kang
yang amat kuat.
"Kam-siauwte, berhenti dulu!"
Han Ki rrenghentikan langkahnya, lalu berkata
kepada Siauw Bwee. "Nona, itu Koksu bersama para pengawalnya datang. Lebih
baik kau lekas lari pergi, biarlah aku yang akan membujuknya agar melepaskan
engkau dan tidak melakukan pengejaran sehingga tidak terjadi bentrokan antara
engkau dan pihak kami."
Siauw Bwee maklum bahwa dalam keadaan
kehilangan ingatan ini, Han Ki telah menjadi pengawal yang setia dari Bu-koksu,
dan apabila dia menggunakan kepandaiannya melawan Koksu, kesetiaan di hati Han
Ki tentu akan memaksa pemuda itu memihak Koksu. Akan tetapi dia pun maklum
bahwa betapapun suhengnya kehilangan ingatan, namun sifatnya sebagai pendekar
masih tidak lenyap sehingga suhengnya itu tentu tidak akan membiarkan dia yang
dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak dikenalnya, celaka di tangan
Koksu. Kalau dia lari pergi begitu saja, lenyaplah kesempatan baik untuk
mernbujuk suhengnya supaya ikut bersamanya.
"Tidak, Suheng. Aku tidak mau pergi, aku
hanya pergi kalau engkau suka ikut pergi bersamaku."
"Ehhh? Pergi bersamamu?" Han Ki
mengerutkan alisnya, memandang heran. "Ke mana?"
"Menemui supekku, seorang yang ahli dalam
hal pengobatan. Aku akan membawamu ke sana agar engkau diobati karena engkau
menderita sakit hebat, Suheng."
"Ihhh, gila! Siapa yang sakit? Andaikata
aku sakit, mengapa engkau hendak bersusah payah benar mengobati aku yang belum
kaukenal? Mengapa, Nona?"
Pasukan itu sudah makin dekat dan cepat Siauw
Bwee memegang lengan Han Ki sambil berkata, "Karena aku cinta
kepadamu!"
Berubah wajah Han Ki dan mukanya menjadi merah
sekali. Sejenak dia memandang wajah Siauw Bwee seperti orang bingung, akan
tetapi sinar matanya berseri seolah-olah dia merasa girang sekali, akan tetapi
kembali wajahnya berubah dan alisnya berkerut.
"Engkau main-main, Nona. Ataukah jalan
pikiranmu tidak beres? Pergilah dan hindarkan keributan."
Siauw Bwee menggeleng kepala. "Biar
sampai mati terbunuh di sini sekalipun, aku tidak akan mau pergi kalau tidak
bersamamu!"
"Engkau gadis yang aneh sekali!"
Pada saat itu, pasukan berkuda yang dipimpin
oleh Bu Kok Tai sendiri telah tiba di situ. Pasukan itu terdiri dari dua puluh
empat orang pengawal pilihan, dan di samping Bu Kok Tai terdapat pula
perwira-perwira pembantu Koksu yang berkepandaian tinggi, di antaranya Ang Hok
Ci atau Ang-siucai, Pat-jiu Sin-kauw yang lihai, Thian Ek Cinjin dan beberapa
orang perwira tinggi yang lihai lagi.
"Kam-siauwte, apa yang telah terjadi? Aku
mendengar bahwa engkau membantu wanita pengacau ini maka aku cepat menyusul.
Apa yang telah kaulakukan ini, Siauwte?"
"Aku hanya tidak ingin melihat dia
mengacau lagi, Bu-loheng. Maka aku membujuknya untuk keluar kota dan jangan
menimbulkan keributan lagi. Dia bukan orang jahat, harap kau suka memaafkannya
dan membiarkan dia pergi. Nona, harap kau suka pergi, aku percaya bahwa Koksu
cukup bijaksana untuk memaafkan engkau seorang gadis muda. Pergilah!" Han
Ki membujuk.
"Tidak!" Siauw Bwee membantah.
"Suheng, tidak tahukah engkau bahwa engkau telah terkena racun perampas
pikiran? Mereka ini adalah musuh-musuhmu, musuh-musuh kita! Suheng, mari kita
gempur mereka!"
Mendengar ini, Bu-koksu tertawa bergelak untuk
menutupi kekagetannya mendengar tuduhan yang tepat itu. "Gadis sombong
engkau! Ha-ha-ha, yang kaubela ini adalah seorang gadis gila, atau seorang
mata-mata musuh yang sengaja hendak main gila dan mempengaruhimu." Ia lalu
memberi isyarat kepada para pembantunya dan memerintahkan, "Bekuk dia,
kalau dia melawan, bunuh saja!"
Thian Ek Cinjin, Pat-jiu Sin-kauw, Ang-siucai
dan yang lain-lain telah maklum akan kelihaian Siauw Bwee, maka serentak mereka
turun tangan menerjang gadis yang bertangan kosong itu. Juga dua puluh empat
orang pengawal sudah menerjang dan mengurung dengan senjata di tangan.
Menghadapi serbuan ini, Siauw Bwee cepat
menggerakkan kaki tangannya, dan dalam beberapa gebrakan saja, ilmu gerak kilat
kaki tangannya berhasil membuat empat orang pengawal terjungkal sedangkan para
perwira yang berkepandaian tinggi cepat melompat mundur memutar senjata. Mereka
gentar menghadapi Siauw Bwee yang amat cepat gerakan kaki tangannya itu
sehingga tidak tampak oleh mereka bagaimana caranya gadis itu merobohkan empat
orang tadi.
"Nona, jangan....! Pergilah....!"
Han Ki berseru bingung. Dia masih berdebar mendengar pengakuan gadis itu yang
mengaku cinta kepadanya, dan kini dia menjadi serba salah.
"Ha-ha-ha, Kam-siauwte. Dia adalah
mata-mata musuh yang mengaku sebagai sumoimu, sengaja dia mengacau dan coba
kauperhatikan, betapa dia telah berhasil mencuri ilmu silatmu!"
Sambil berkata demikian, kini Bu-koksu sendiri
meloncat turun dari kudanya dan ikut menerjang Siauw Bwee dengan senjatanya
yang menyeramkan. Senjata Koksu ini sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar,
yaitu sebatang golok besar yang berat sekali dan punggung golok itu dipasangi
gelang-gelang perak yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau senjata itu
dimainkan.
"Cring-cring.... sing....!" Golok
itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar ke
arah Siauw Bwee.
Gadis ini terkejut. Lawannya bukanlah orang
sembarangan, dan kalau dia mengeluarkan ilmu dari Pulau Es, tentu akan menambah
kecurigaan Han Ki. Maka dia menahan diri dan cepat menggeser kaki, mainkan
gerak kaki kilat yang memungkinkan dia untuk mengelak ke sana-sini dengan
cekatan sekali. Untuk membalas, dia mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang yang
setingkat lebih rendah kekuatannya kalau dibandingkan dengan Im-kang dan
Yang-kang yang ia latih di Pulau Es, namun yang mengandung kemujijatan karena
tenaga itu dikumpul dari sari hawa bulan dan matahari.
Han Ki berdiri bengong dan kagum. Hawa udara
di sekitar tempat pertandingan itu tiba-tiba berubah panas sekali, kemudian
menjadi dingin, berganti-ganti dan kembali ada tiga orang pengawal roboh,
bahkan Thian Ek Cinjin yang lihai itu terhuyung ke belakang, terpental oleh
dorongan hawa dingin sejuk dari tangan kiri gadis itu.
"Kam-siauwte, bantu aku menangkap gadis
ini!" Bu-koksu berteriak dan dia cepat menerjang makin hebat. Tingkat
kepandaian Bu-koksu sudah amat tinggi, dan kalau saja Siauw Bwee tidak
mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu kepandaian semenjak dia meninggalkan
Pulau Es, agaknya Koksu itu merupakan tandingan yang terlalu berat baginya.
Namun, kini Siauw Bwee bukanlah seperti Siauw Bwee dahulu sebelum melakukan
perantauan dan mengalami banyak hal yang hebat. Dengan gerak kaki tangan kilat,
dia masih mampu mempertahankan diri, meloncat ke sana ke mari dan ketika golok
besar Bu-koksu menyambar lehernya, tubuhnya merendah dan menyelinap ke kiri,
kakinya menendang ke depan mengenai lutut Ang-siucai sehingga murid dan orang
kepercayaan Bu-koksu itu roboh dengan tulang kaki terlepas dari sambungannya.
Dalam detik berikutnya, tangan kiri Siauw Bwee sudah mendorong ke kiri, membuat
Pat-jiu Sin-kauw hampir terguling kalau tidak cepat memasang kuda-kudanya yang
hebat sambil mengerahkan Thai-lek-kang. Dengan marah, Pat-jiu Sin-kauw lalu
melancarkan pukulan Thai-lek-kang dan mainkan Soan-hong Sin-ciang mendesak
Siauw Bwee.
Kini Siauw Bwee terkurung oleh Bu-koksu,
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang ketiganya berusaha merobohkannya
dengan serangan-serangan maut, sedangkan di belakangnya, para perwira tinggi
lainnya siap untuk menghujankan senjatanya.
Kalau aku mengamuk, mungkin dapat merobohkan
mereka, akan tetapi tentu aku akan kehilangan Suheng, sebaiknya aku menggunakan
akal untuk menarik bantuannya, pikir Siauw Bwee yang cerdik. Ketika itu, golok
Bu-koksu yang merupakan serangan paling berbahaya bagi Siauw Bwee, membabat ke
arah pinggangnya. Siauw Bwee meloncat ke atas, menangkis hantaman Thian Ek
Cinjin dengan tendangan kakinya, dan dia sengaja turun dengan tubuh miring di
depan Pat-jiu Sin-kauw yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, memukul dengan
tenaga Thai-lek-kang sekuatnya. Tubuhnya berjongkok dan angin keras menyambar
dari kedua tangannya yang mendorong ke arah dada Siauw Bwee. Gadis ini maklum
bahwa pukulan itu amat berbahaya, namun kalau dia mengerahkan sin-kang, dia
masih mampu menerimanya, maka dia mengerahkan sin-kangnya, sengaja terhuyung
sehingga pukulan itu ia terima dengan bahunya.
"Aduuuhhh....!" Siauw Bwee mengeluh
dan jatuh, terus bergulingan sambil memegangi bahu kanannya yang terkena
pukulan Thai-lek-kang. Pada saat itu, Bu-koksu mengejar dengan golok diputar
merupakan gulungan yang mengancam jiwa Siauw Bwee. Gadis ini benar-benar amat
tabah. Dia maklum bahwa kalau suhengnya masih belum mau turun tangan, nyawanya
terancam bahaya maut karena dalam bergulingan seperti itu, akan sukarlah
baginya untuk dapat meloloskan diri dari ancaman golok yang terus mengikutinya.
Dia sudah siap, kalau suhengnya tidak juga turun tangan, daripada mati konyol,
dia akan mengadu nyawa, berlumba dulu dengan Bu-koksu dan mengirim pukulan maut
dengan Im-kang dari Pulau Es!
"Tringgg....!" Golok itu terpental
ke samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget. "Heiii, Kam-sute....
apa yang kaulakukan ini?" bentaknya.
Akan tetapi Kam Han Ki telah meloncat dan
menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh gadis itu berdiri dan dia
mengomel, "Kau keras kepala! Masih juga tidak mau pergi?"
"Tidak! Biar mereka membunuhku, kalau
dapat! Engkau pun tidak mempedulikan aku, untuk apa hidup lebih lama
lagi?" Siauw Bwee berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena memang dia
bicara dari lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi Han Ki dan
tidak berhasil mengobati suhengnya itu berarti dia akan kehilangan Han Ki untuk
selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya lagi?
"Kam-siauwte, biarkan aku membunuhnya.
Apakah engkau akan mengkhianati aku?"
"Bu-loheng, maafkan aku. Gadis ini tidak
waras, biarlah aku membawanya pergi dulu, kelak aku mohon maaf kepadamu!"
Setelah berkata demikian, Han Ki memegang lengan Siauw Bwee dan membawanya
meloncat jauh dari tempat itu.
"Siauwte, tahan....!" Bu-koksu
berseru marah dan mengejar bersama pasukannya, namun Han Ki sudah pergi jauh.
Setelah pemuda ini mengerahkan gin-kangnya, mana ada yang mampu mengejarnya?
Apalagi, Siauw Bwee yang sama sekali tidak terluka itu pun sudah mengerahkan
gin-kangnya sehingga dia tidak menghalangi gerakan suhengnya.
Setelah mereka pergi jauh, Han Ki berhenti dan
menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel, "Engkau sungguh membikin aku
kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih maksudmu bersikap seperti ini?
Apakah engkau ingin merusak nama baikku? Dan mengapa pula segala sandiwara ini?
Aku tahu bahwa kalau kauhendaki, Bu-koksu sendiri tidak akan mampu
membunuhmu!"
Siauw Bwee kagum bukan main. Biarpun
ingatannya hilang, suhengnya ternyata amat lihai dan pandang matanya masih amat
tajam sehingga dapat melihat permainan sandiwaranya tadi. Dia harus
berhati-hati, kalau tidak, suhengnya tentu tidak akan mau ikut bersama dia.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku cinta
padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku berusaha mengajakmu kepada supekku
untuk diobati."
"Kau gila! Aku tidak sakit, aku
sehat!" Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya memperlihatkan bahwa dia
benar-benar sehat.
"Bukan badanmu yang sakit, melainkan
ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya engkau ini?"
"Tentu saja aku tahu! Aku Kam Han Ki, aku
pengawal pertama dari Bu-koksu yang telah melepas budi besar kepadaku dan
mengangkat aku sebagai adiknya."
"Hemm, Kam-suheng. Dia itu adalah musuh
besar yang hendak mencelakakanmu!"
"Gadis muda, jangan kau bicara
sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu negara yang berjiwa pahlawan,
seorang gagah perkasa yang amat baik, dan aku berhutang budi kepadanya."
"Baiklah.... baiklah...., akan tetapi,
ingatkah engkau siapa ayah bundamu? Ingatkah engkau siapa gurumu? Di mana kau
belajar ilmu silat? Ingatkah engkau semua itu?"
Kam Han Ki mengerutkan alisnya,
mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas.
"Aku tidak ingat lagi, akan tetapi apa
hubungannya hal itu dengan Bu-loheng dan engkau? Kenyataannya, dia amat baik
kepadaku sedangkan engkau.... aku sama sekali tidak mengenalmu, hanya tahu
bahwa engkau seorang gadis muda yang amat lihai dan yang selalu mendatangkan
kekacauan dan...."
"....dan yang amat mencintaimu,
Kam-suheng! Cobalah kauingat-ingat, apakah engkau lupa akan Istana Pulau Es?
Lupakah engkau bahwa engkau bertahun-tahun menggembleng diri di Pulau Es dan
membimbing dua orang sumoimu yang bernama Maya dan Khu Siauw Bwee? Lupakah
engkau kepada mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam, kepada Panglima
Khu Tek San?"
Mendengar disebutnya Istana Pulau Es dan
nama-nama itu Kam Han Ki kelihatan terkejut dan bingung. "Istana Pulau
Es....? Serasa sering aku mendengarnya, tidak asing bagiku, dan nama-nama
itu.... seperti pernah kukenalnya.... ah, tidak mungkin, aku tidak ingat
lagi."
"Nah, itu tandanya engkau telah
kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan orang tuanya? Lupa akan
gurunya."
Kam Han Ki menjatuhkan diri duduk di atas batu
di hutan itu. Alisnya berkerut, mukanya pucat dan tubuhnya berpeluh karena ia
memeras ingatannya. Namun sia-sia belaka, dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Orang tuaku? Guruku? Pulau Es? Aihh, Nona, aku benar-benar menjadi
bingung. Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku lupa akan orang tua
dan guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat lagi...."
"Dan aku adalah seorang di antara kedua
sumoimu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah, Suheng.... bertahun-tahun kita tinggal
bertiga di Pulau Es, engkau menjadi guruku, juga sahabatku, benar-benar engkau
tidak ingat kepadaku lagi...." Siauw Bwee tak dapat menahan lagi kesedihan
hatinya dan ia menangis tersedu-sedu.
Han Ki menjadi makin bingung. "Nona....
jangan menangis, engkau membikin aku makin bingung. Biarlah aku tanyakan semua
itu kepada Bu-loheng.... dia tentu tahu...."
"Jangan....! Dia itu adalah musuh kita,
dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng. Kalau engkau kembali
kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu rahasianya, tentu mereka itu akan
mencelakaimu!"
"Ha-ha, jangan menyangka yang
bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku, satu-satunya orang yang amat baik
kepadaku. Dia telah menolongku, merawatku, memberiku kedudukan tinggi dan
kepercayaan."
"Kam-suheng, kaukasihanilah aku.
Kauturutlah bersamaku untuk diobati oleh supekku. Supek Coa Leng Bu adalah seorang
ahli pengobatan yang lihai, dia tentu akan memulihkan ingatanmu dan engkau akan
dapat mengingat segala hal yang telah lalu, yang telah kaulakukan. Marilah,
Suheng, dia menanti di hutan pohon pek, marilah...." Siauw Bwee memegang
tangan Han Ki dan ditarik-tariknya. Akan tetapi Han Ki mempertahankan diri dan
akhirnya berkata,
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Nona.
Akan tetapi, amat tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng begitu saja.
Pula, aku akan menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu kepadanya. Kalau
dia tidak dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan menerima
pengobatan supekmu."
Tiba-tiba Siauw Bwee melepaskan tangan Han Ki.
"Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan pergi pula ke sana menemui
Bu-koksu."
"Heh? Susah payah kau kularikan, sekarang
hendak kembali? Apa kau mencari mati?"
"Biarlah. Aku akan mengamuk dan membunuh
Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati. Lebih baik mati daripada hidup melihat
engkau menjadi boneka hidup, lupa akan segala hal yang lalu. Sekarang kaupilih
saja mau ikut bersamaku untuk pengobatan atau aku akan mengamuk dan mengadu
nyawa di gedung Bu-koksu!"
"Wah, kau mengancam?"
"Benar, soalnya hanya mati atau hidup
bagiku!"
"Tsk-tsk-tsk, kau benar-benar seorang
gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya untuk diriku
seorang?"
Pandang mata Siauw Bwee menjadi lembut,
kekerasaannya luntur dan dengan air mata berlinang dia memegang tangan Han Ki,
berkata lirih, "Karena aku mencintaimu, tak tahukah kau? Keadaanmu yang
lupa ingatan memberanikan hatiku untuk mengaku terus terang, Suheng. Aku cinta
padamu dengan seluruh badan dan nyawaku!"
Han Ki menggeleng-geleng kepala, bingung.
"Engkau seorang dara jelita yang gagah perkasa, mencinta seorang seperti
aku? Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang yang hilang ingatan, berarti orang
yang otaknya miring, tidak waras lagi!"
"Apa pun yang terjadi denganmu, aku tetap
mencintamu, Suheng."
"Aihhh...., apa yang dapat kulakukan
sekarang? Menghadapi engkau lebih sukar daripada menghadapi ribuan orang lawan
bersenjata, Nona. Baiklah, mari kita coba apakah benar aku kehilangan ingatan
dan dapat disembuhkan oleh supekmu. Akan tetapi, ingatlah engkau, jangan
main-main denganku. Kalau engkau menipuku, aku.... aku akan...."
Siauw Bwee mendekatkan tubuhnya, mukanya
ditengadahkan, penuh tantangan, matanya bersinar-sinar. "Engkau akan
apakan aku, Suheng....? Membunuhku?"
Han Ki gelagapan. Biarpun dia tidak ingat
siapa adanya gadis ini, namun ada sesuatu yang amat menarik dari diri gadis ini
yang membuat dia diam-diam mengherankan hatinya sendiri. Apakah dia telah
menjadi benar-benar gila dan jatuh cinta kepada gadis yang nekat ini?
"Tidak! Aku hanya akan.... akan....
membencimu!" akhirnya dia menjawab juga.
Siauw Bwee menggandeng lengan suhengnya dan
merapatkan tubuhnya dengan sikap manja. "Itu tandanya bahwa engkau cinta
kepadaku, Suheng. Marilah, dan kalau aku menipumu, tidak usah engkau
membenciku, aku sendiri akan membenciku bahkan kalau Supek gagal, aku akan
membenciku sampai aku mati dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu yang pasti akan
kuamuk sampai titik darahku terakhir!"
Han Ki bergidik. Tekad gadis ini luar biasa
sekali dan tentu ada apa-apanya di balik sikapnya itu. Andaikata benar
peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hendak menipunya, andaikata dia dibawa ke
dalam perangkap, dia tidak takut dan percaya bahwa dia akan mampu
mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut sendiri kalau-kalau gadis ini
benar seorang penipu, karena kalau ternyata demikian, dia akan merasa amat
berduka dan kecewa dan.... kehilangan.
Seorang kakek yang bertelanjang kaki menyambut
mereka di dalam hutan pek. Melihat gadis itu berhasil membawa Han Ki yang
kelihatannya curiga dan ragu-ragu, Coa Leng Bu girang bukan main.
"Ah, sungguh girang hatiku melihat engkau
berhasil mengajaknya ke sini, Lihiap. Kam-taihiap, selamat datang!"
Biarpun ingatannya lenyap, Han Ki masih belum
kehilangan kesopanannya. Kalau di tempat Bu-koksu dia bersikap tidak acuh
adalah karena dia tidak suka melihat sikap anak buah Bu-koksu, maka dia
bersikap acuk tak acuh dan hanya karena sayang dan berhutang budi kepada
Bu-koksu saja yang mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah
kakek yang tenang dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian
sekedarnya, dia cepat menjura dengan hormat dan berkata,
"Tidak tahu, siapakah Locianpwe yang
telah mengenal namaku?"
"Ha-ha-ha, Kam-taihiap terlalu menghormat
seorang bodoh seperti aku dengan menyebut Locianpwe. Aku bernama Coa Leng Bu
dan karena sumoimu, Khu-lihiap ini diangkat anak oleh suteku, maka aku menjadi
supeknya, supek dalam sebutan saja yang membuat aku malu, karena dalam hal
kepandaian, aku boleh berguru kepadanya. Kam-taihiap, aku mengenalmu karena
keterangan sumoimu dan kulihat bahwa engkau terkena racun yang membuat
ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka kalau engkau
percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu, Kam-taihiap."
Han Ki mengerutkan alisnya. "Aku sendiri
tidak mengerti mengapa aku menjadi lupa sama sekali akan hal-hal yang lalu,
akan tetapi aku sungguh tidak mengenal Nona ini yang menganggap aku sebagai
suhengnya. Yang kukenal hanyalah kakak angkatku, Bu-loheng...."
Dengan wajah penuh ketenangan Coa Leng Bu
berkata, "Aku mengerti Taihiap. Kauanggap sajalah bahwa engkau belum
mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik angkat Koksu. Akan
tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami berniat baik, karena aku
melihat engkau menderita lupa ingatan karena racun perampas ingatan, maka
anggap saja bahwa engkau berada di antara teman-teman yang hendak berusaha
mengobatimu."
"Heran sekali, aku merasa sehat, akan
tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi rasanya tidak mungkin kalau
engkau, terutama Nona ini hendak menipuku. Baiklah aku akan menurut dan suka
kauobati, harap lekas memberi obatnya dan hendak kulihat apakah aku akan dapat
mengingat riwayatku yang telah kulupakan sarna sekali."
Coa Leng Bu menggeleng-geleng kepalanya.
"Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui makanan atau minuman,
sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus sedikit demi sedikit dan
memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar bahwa penyakit datang
menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura, kalau datang cepat
sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama."
"Berapa lama engkau akan dapat
menyembuhkan aku, Locianpwe?"
"Pertama-tama, kuharap Taihiap jangan
menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup kalau kausebut lopek saja.
Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat menyembuhkanmu, bukanlah hal mudah
dan aku tidak berani bilang sebelum memeriksamu. Bolehkah aku memeriksamu,
Taihiap?"
"Silakan," Han Ki menjawab dan
biarpun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia mulai khawatir dan
percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya adalah bahwa, seperti yang
dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama sekali akan riwayat hidupnya, lupa
akan ayah bundanya dan lupa akan gurunya. Hal ini memang tidak mungkin terjadi
kalau dia tidak menderita sakit kehilangan ingatan!
Coa Leng Bu mempersilakan Han Ki rebah
telentang di atas rurnput, kemudian ia mulai memeriksa denyut nadi,
mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan membuka kelopaknya.
"Taihiap, kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu untuk
diperiksa."
"Silakan!" Han Ki menjawab.
Dengan sebatang jarum emas, kakek itu menusuk
ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga ada beberapa tetes darah keluar dari
luka kecil itu. Darah itu ditampungnya di atas sehelai daun yang berwarna
putih, kemudian dibawanya ke tempat panas sehingga dia dapat memeriksa dengan
jelas di bawah sinar matahari. Darah itu diperiksa, diamat-amati, dicium,
bahkan dijilat dengan lidahnya. Semua perbuatannya itu diikuti penuh perhatian
oleh Han Ki yang sudah membereskan pakaian dan duduk kembali di atas rumput,
sedangkan Siauw Bwee tak pernah melepaskan pandang matanya dari suhengnya
dengan hati penuh keharuan. Menyaksikan sikap pemuda ini yang berubah sama
sekali seolah-olah dia menghadapi seorang asing, akan tetapi wajah, bentuk
badan dan setiap gerak-gerik pemuda itu dari matanya mengerutkan alis, sinar
matanya yang tajam itu, mulut yang membayangkan kedukaan, dia tidak meragukan
lagi bahwa pemuda ini adalah suhengnya. Di antara sejuta orang pemuda, tak
mungkin ada satu yang menyamai suhengnya itu!
"Bagaimana, Coa-lopek?" Han Ki
bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.
"Tidak berat, bukan?" Siauw Bwee
juga bertanya.
Coa Leng Bu menghela napas panjang.
"Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas
sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat
yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya
dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah
Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan.... ahh, aku harus mencari
akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!"
Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki
hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya.
"Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas tidakkah dapat dilawan
dengan tenega Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala
Suheng untuk melawannye. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih
kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?"
Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Kalau
yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan
Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak baleh digunakan ke dalam kepala
karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat panting dan sekali
ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat
merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh
dilakukan!"
"Habis, bagaimana....?" Siauw Bwee
bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu
berbulan-bulan! "Eh, Coa-supak, dahulu Suheng pernah bercerita tentang
mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan
menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan
jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?"
"Kam Bu Sin....? Ayahku....? Nona, apa
yang kaukatakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin....?"
Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan
alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan.
"Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang
merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk
yang mujijat dan sungguhpun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun
mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit.
Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersamadhi di
bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan
sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biarpun
tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan
adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana
yang hening dan hawa yang sejuk."
Kam Han Ki menghela napas panjang. "Aku
tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun
ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak
mempermainkan aku."
"Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama
hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari
Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain, mana aku berani
mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak
boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil
untuk tempat tinggal sementara."
"Suheng, mari kaubantu kami....!"
Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik
tangan Han Ki.
"Nona, harap kauhentikan sebutan suheng
yang membuat aku merasa tidak enak saja."
"Aihhh, engkau memang suhengku! Habis
disuruh menyebut apa?" Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan
rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak
pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu
terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik
seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta
suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan
matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
"Khu-lihiap, Taihiap bicara benar.
Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung.
Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!" Kakek itu
lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi
kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat
pondok.
"Kata-kata Supek benar, biarlah aku
menyebutmu koko, Kam-koko!"
"Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku
girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu."
"Ehh, aku sudah mengalah, tidak
menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan
Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut
adik? Engkau lebih tua daripada aku!"
"Banyak lebih tua!" kata Han Ki yang
kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi
ini. "Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!"
"Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek?
Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?"
Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak
pikirannya bingung. "Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan
seorang adik yang begini manis...."
"Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat.
Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek
dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!"
"Engkau gadis yang manis, dan
nakal!" Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. "Akan tetapi.... eh,
jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh, sebelum berjumpa dengan
Coa-lopek, kau...."
"Aku kenapa?" Siauw Bwee berdiri di
depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar
karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya telah berhasil membujuk
Han Ki untuk berobat.
"Kau bicara tentang.... cinta....! Hal
seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!"
"Siapa yang main-main? Memang aku
mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah
dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta
padamu, habis mengapa?"
Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh
terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak
main-main, biarpun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya
itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar
mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan,
tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa
hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya semua ini?
Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin.
Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali
Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu
ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini
amat menarik hatinya?
"Eh, Suheng.... Kam-koko, kau kenapa?
Apakah kepalamu terasa sakit?" Siauw Bwee sudah berlutut dekat suhengnya
dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri.
Alisnya berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari
dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapapun jatuh cinta,
sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah
menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
"Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya...., ah,
aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin
karena engkau masih muda, Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh
dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan
kegelisahan, penuh kekecewaan...."
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya
sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing. "Suheng.... eh, maksudku Koko,
mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas
kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka,
kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kaudukakan?"
Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak
menyusahkan apa-apa."
"Apakah engkau khawatir?"
"Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa
engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku."
"Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?"
Kembali Han Ki menggeleng. "Sepanjang
yang teringat olehku, tidak."
Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena
jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.
"Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah
permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan
dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita
sendiri?" Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia
melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di
dekat mereka.
"Ah, kenapa kausebut permainan pikiran,
Lopek?" Han Ki bertanya.
"Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan
suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran.
Mengapa kaukatakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam
kekacauan hidup?" Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur
napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
"Pokok pangkalnya segala perasaan adalah
dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga,
segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran
yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan,
sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran
membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa
sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang
mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran,
kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita
mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali
akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu,
tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada
lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya
tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan?
Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan!
Membayangkan hal yang belum terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan
ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?"
Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan
seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah
setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek
itu? Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki
pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang, pada saat itu dia
telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai
karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama
sekali. Akan tetapi, pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan
peka terhadap kebatinan. Biarpun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun
ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat
kebenarannya. Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang
sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan
timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun takut dan
khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan
atau dikhawatirkannya itu.
Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir
gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyaalah permainan
pikiran saja, yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan
yang timbul keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga mengangguk-angguk, karena dia
merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak,
"Habis, mana mungkin kita menghadapi
sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan
masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku
menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang
tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng
ini?"
Kakek itu tersenyum maklum. "Aku tidak
menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan
kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan
bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan
tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus
ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan
gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya
suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang.
Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan?
Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan,
bukan?"
"Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap
seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng
tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...."
"Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana
kalau.... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang
tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada?
Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita,
mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar
bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab
akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan
seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu
lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong,
kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga
yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa
terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih."
"Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian
itu!" Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya
mendengar semua ucapan kakek itu. "Kiranya Lopek adalah seorang yang arif
bijaksana!"
Kakek itu tersenyum. "Aku hanyalah
seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama
dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup
berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita
butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan
menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut
oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi
pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga
dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka.
Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia
sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar
dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri,
benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri,
hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga."
"Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu
jauh lebih berharga daripada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu!
Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang
bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang
Lopek katakan tadi...." Han Ki berseru, penuh kagum.
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang
umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari
kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala
gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar
menghadapi kenyataan tanpa wawasan tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada
terselip KEINGINAN dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH
KEBEBASAN, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari
keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah
bahwa yang dimaksudkan BEBAS di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara
lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan.
Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepapun
dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari
kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena kebebasan ini berarti cinta
kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan
sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya,
dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka.... Sudah terlalu banyak aku
bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian
dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!"
Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka
lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana.
Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon,
mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup
kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.
Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng
Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak lama setelah
lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi
ke air terjun, dan gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan
pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun,
membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh
Coa Leng Bu. Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat seperti
Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang
amat dinginnya seperti itu. Namun, Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu
Kek Siansu, yang sudah bertahun-tahun berlatih sin-kang di Pulau Es, dalam
keadaan yang jauh lebih dingin daripada bersamadhi di bawah air terjun itu,
bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sin-kang.
Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di
ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan samadhinya, mengenakan pakaian lagi,
menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama kembali
ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit
rasanya.
Di samping pengobatan air terjun dan obat,
Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap
tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan di antara mereka
makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya!
Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak
berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena
diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan!
Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya,
bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apalagi ketika
dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari
gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han
Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau
Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah
Maya!
Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa
Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan
pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suhengnya duduk di situ sambil
berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap.
Sudah seminggu lebih Han Ki berobat namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia
mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat
yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia
merasa girang bahwa biarpun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya,
namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya
sudah mulai ada hasilnya.
Han Ki menggeleng kepala. "Kasihan sekali
Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja
menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan
penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua."
"Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba
mengingatkanmu. Coba kaulihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan
ini?" Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah
di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suhengnya.
"Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah
sekali, Moi-moi!" Han Ki berseru girang.
"Jadi kau mengenalnya?"
"Tentu saja! Setiap gerakanmu
kukenal."
"Apa nama ilmu silat itu?"
"Ini.... ini aku tidak ingat lagi. Akan
tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu."
"Hemm.... dan kaulihat ini, Koko!"
Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara
keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti
terbakar!
"Aku tahu....! Pukulan sin-kang yang
mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!" seru Han Ki.
"Dan ini....!" Kembali Siauw Bwee
memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah,
akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu
disentuh.
"Ini pukulan mengandung hawa dingin,
seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini?
Sama benar dengan ilmuku!"
"Dan engkau tidak tahu namanya,
Koko?" Suara Siauw Bwee agak gemetar.
"Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya,
akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu."
"Dan engkaulah yang memberi nama, Koko.
Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...."
"Suci?"
Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah
semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suhengnya di Istana Pulau Es.
"Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suciku
Maya...."
"Hemmm, aku tidak ingat."
"Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah
bundamu yang bernama Kam Bu Sin?"
Han Ki menggeleng kepala.
"Dan lupakah engkau bahwa guru kita
adalah Bu Kek Siansu?"
Kembali pemuda itu menggeleng kepala.
"Koko...." Suara Siauw Bwee makin
tergetar karena duka. "Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun
engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh
dari dunia ramai?"
Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin
bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat
sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan
berkata kesal, "Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi."
Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai
lama.
"Moi-moi...."
"Siauw Bwee menoleh.
"Hemmm....?"
"Kasihan engkau....!"
"Mengapa kasihan?"
"Dengan susah payah engkau berusaha
menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan
hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?"
Siauw Bwee menatap wajah orang yang
dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu,
lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah
lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat
mengecewakannya.
"Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena
aku cinta kepadamu!"
"Khu-moi-moi, kita baru saja saling
jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?"
"Apakah untuk mencinta seseorang, harus
melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu semenjak
bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andaikata aku belum pernah mengenalmu,
begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta."
"Tidak mungkin!"
"Bagaimana tidak mungkin?"
"Cinta timbul dari daya tarik seseorang,
bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala
gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua
orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling
menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh
cinta? Betapa janggalnya!"
"Koko, apakah kau tidak cinta
kepadaku?"
Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani
luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani
bertanya apakah dia mencintanya!
"Eh, hal ini.... ah, aku tidak tahu, Moi-moi.
Aku suka kepadamu dan...., dan aku kasihan kepadamu, aku...., aku senang sekali
berkenalan denganmu."
"Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta
kepadaku atau tidak?"
"Mengapa tergesa-gesa? Aku suka kepadamu,
akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau
sembrono, tidak mau berlaku 1ancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah
soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup
bersama selamanya!"
"Kam-koko, memang engkau benar. Tak
mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang
masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk,
cacad cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacad-celanya. Dan aku
cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul lama
sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara
membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku.... aahhh, biarlah
aku menceritakan riwayatku yang telah kaulupakan."
"Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali
mendengar riwayatmu."
Siauw Bwee ingin mencoba "rasa suka"
pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat memperoleh
kepastian karena suhengnya yang dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada
dia maupun kepada Maya. Akan tetapi suhengnya yang sekarang ini berbeda lagi,
dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang
diceritakannya tadi.
"Mendiang ayahku adalah Khu Tek San,
seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong,
kakak sepupumu yang kaulupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang setia dan
berjasa besar untuk kerajaan." Dengan singkat Siauw Bwee lalu menceritakan
tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.
"Akan tetapi sungguh menyedihkan, Ayah
dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan
oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat." Diceritakan sejelasnya
betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan
pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.
Berkerut alis Han Ki mendengar penuturan itu
dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. "Keparat orang she
Suma itu! Dia harus dihajar!"
Mendengar bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum
girang dan cepat menarik lengan suhengnya. "Duduklah dan tenanglah.
Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari
Bu-koksu sendiri?"
Sementara itu, Coa Leng Bu yang sedang
menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia mengangguk-angguk.
Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang berusaha mengingatkan Han
Ki.
"Koko, engkau marah mendengar betapa
keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatangkara. Hal itu berarti bahwa
engkau juga cinta kepadaku, Koko."
Wajah Han Ki menjadi merah dan dia menoleh
kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik jelita dari
dekat. "Mungkin.... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau
gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia.... betapa
mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau."
"Kam-Suheng....! Kam-koko.... ternyata
engkau hanya mencinta aku seorang....!" Dengan hati penuh keharuan dan
kebahagiaan, Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki!
Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa
sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap
gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari
tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.
"Hanya aku yang kaucinta, aku merasa akan
hal ini, Suheng. Sejak dulu.... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci
Maya...."
"Maya....?"
Siauw Bwee cepat mengalihkan percakapan karena
dia tidak mau membuat suhengnya meragu lagi. Kini, setelah jelas bahwa
suhengnya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera
menyembuhkan suhengnya. Dia sudah menduga bahwa dengan sin-kang tenaga Inti Es
dia dan suhengnya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan
suhengnya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki Im-kang
yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu maka kakek itu
khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan membahayakan keselamatan Han Ki.
"Suheng, engkau tidak ingat tentunya
bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba
raba tanganku dan rasakan ini." Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw
Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur dari telapak
tangannya.
"Ihhh! Bukan main kuatnya sin-kangmu
Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!"
Siauw Bwee menghentikan saluran Im-kangnya dan
tersenyum manja. "Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar
daripada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat
menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek."
Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan
menarik tangan suhengnya, kemudian dia menggandeng tangan suhengnya, tanpa
malu-malu dia menjumpai supeknya yang sedang menjemur akar dan daun obat.
"Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk
menyembuhkan Suheng dengan cepat!"
"Eh?" Coa Leng Bu tertegun dan
pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara
itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.
"Kami berdua akan menggunakan Im-kang
untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng."
"Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga
Im-kang tak dapat dikendalikan, dan kalau tersalur memasuki kepala, dapat
membahayakan!"
"Kalau bisa mengendalikan Im-kang,
bagaimana?" Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.
"Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan,
akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan
tingkat yang amat tinggi, barangkali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang
mampu."
"Hemm, bagaimana untuk mengukur
ketinggian Im-kang?"
"Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau
sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat
tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali."
"Begitukah? Coa-supek, kaulihatlah
baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!" Siauw Bwee menghampiri sebuah
panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam
air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik
tangannya dan.... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat
air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik keluar! Siauw Bwee
memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah
Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas
sampai akhirnya mendidih di dalam panci!
"Moi-moi, kau mengagumkan sekali!"
Han Ki berseru gembira dan dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok
air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak
tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!
Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang
dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut
sambil berkata, "Ya Tuhan...., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak
melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian
seperti malaikat....!"
Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek
itu, memaksanya bangkit. "Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin
mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk
menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?"
Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah,
masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Kalau aku tahu
bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya
kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan
gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan
sedikit gangguan saja membahayakan nyawa."
"Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah
kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok
agar tidak terjadi gangguan."
"Baiklah, kalian adalah dua orang muda
yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...."
"Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu
Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di
Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti
yang membekukan air?"
Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak.
"Murid-murid.... manusia dewa itu....? Dan aku telah membiarkan diri
kausebut supek! Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh.... setua ini masih
tolol....!"
"Sudah, Supek. Harap suka menjaga di
luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko."
Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu
memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit,
dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang
mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan
tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk
menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu apa sih bahayanya?
Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok,
kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling
pandang, Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang
mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan
sungguh-sungguh dan berkata,
"Koko, percaya atau tidak bahwa engkau
terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau
sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat
akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun
yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus
berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang
berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu
kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku
menyatukan Im-kang, kaukendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun
yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?"
Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu
agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, "Demi cintaku kepadamu,
dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan
usaha ini, kalau kauanggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan
hatiku. Maukah?"
Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar
matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang
yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimanapun, dia tidak tega untuk
mengecewakan hati gadis sebaik ini!
"Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai.
Bagaimana engkau hendak membantuku?"
"Ulurkan kedua lenganmu kepadaku,
Koko."
Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua
lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang
telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan
mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang
mencinta! Kemudian Siauw Bwee berkata, karena dia maklum bahwa biarpun ilmu
kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa
sama sekali akan teori-teorinya.
"Setelah aku menyalurkan Im-kang,
kausambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang
kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kaukumpulkan segala panca
indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan
perlahan-lahan, hati-hati sekali kausalurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk
menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko dan jangan
pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu
itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli
akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai
engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup
lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga
keselamatanku! Nah, aku mulai!"
Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan
tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus
itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang
dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersamadhi dan memusatkan
perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia
menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar,
kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan
seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas.
Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian
perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan
amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan samadhi
karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kangnya tercampur dengan tenaga lain
atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya. Kedua orang itu duduk
besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak
bergerak seperti sepasang arca, akan tetapi tanpa terlihat oleh mata,
terjadilah kemujijatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang
bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha
yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset
sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.
Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh
berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan diam-diam masih kagum
dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang
sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin,
dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suhengnya. Melihat
kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin
bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat
itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni
Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk
perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai,
koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi
pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran bagaimana seorang yang
sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.
Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah
ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia
melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang
muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan
menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia
mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek
Cinjin, dan Ang Hok Ci!
"Celaka....!" keluhnya dalam hati
namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.
Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada
mereka lalu berkata, "Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak
menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin
kacau di Sian-yang dahulu."
Bu-koksu tertawa, "Ha-ha-ha, siapa butuh
orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok
itu!"
"Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang
sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!"
"Orang sakit?" Bu-koksu mengerutkan
alisnya yang tebal. "Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana
terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?"
Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada
gunanya. "Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan
Khu-lihiap sedang merawatnya."
"Ha-ha-ha, kaumaksudkan sedang berusaha
memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau.
Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han
Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!"
"Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?"
Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk
memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum
selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.
"Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah
menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri
mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan
dihukum pula!"
"Bu-koksu, harap kautunggu sebentar
sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan
Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri
yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk
mencelakainya?"
"Jangan banyak cakap! Minggirlah!"
"Bu-koksu, harap engkau orang tua yang
sudah banyak pengalaman hidup, menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak
berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang
kautangkap dan kauseret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa
mereka bukanlah pengkhianat, apalagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah
murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!"
Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini,
karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya
terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan
tertawa,
"Siapa pun mereka, harus kami
tawan!" Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab
peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia
maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka.
Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai
harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau
hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki, tidak sukar baginya untuk menundukkan
gadis yang sakti itu.
"Jangan bergerak!" Coa Leng Bu
berseru marah. "Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali
melalui mayatku!"
Manusia sombong, kalau begitu mampuslah
engkau!" Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya
menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram. Mendengar bunyi
tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Co"a Leng Bu bahwa
Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil
memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang.
"Desss!" Tubuh Coa Leng Bu
terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sin-kang yang
jauh lebih lihai dan kuat.
"Engkau bosan hidup!" Tiba-tiba Ang
Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah
perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.
Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi
perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu
kedua orang muda di dalam pondok, tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia
miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang
menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci
terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau tidak disambar jubahnya
oleh Bu-koksu.
Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia
tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan
musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.
"Terimalah ini!" Pat-jiu Sin-kauw
sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong
Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai), tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar
dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah
melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun
cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan
menangkis. Dia tahu bahwa betapapun dia berusaha, takkan mungkin dia akan
menang menghadapi empat orang ini, apalagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai.
Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin
mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke
dalam pondok.
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya
berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua
tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat
dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa terkena hawa dorongan ini, dia tentu akan
roboh, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.
"Dessss!"
Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan
tenaga Jit-goat-sin-kang yang dimiliki Coa Leng Bu, akan tetapi karena pada
saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang
muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang
dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.
"Cring-cring.... singggg....!" Sinar
gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu. Kakek ahli obat ini terkejut sekali,
berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan
tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.
"Crakk!" Pundak Coa Leng Bu terbabat
putus!
Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan
nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu, dia meloncat bangun lagi dan
menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek
Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan
dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke
samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan
pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin
dengan tangan kirinya!
Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu
akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu
tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari
belakang.
"Crott!" Lengan kiri Coa Leng Bu
kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman
Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.
Biarpun kedua lengannya telah buntung, tidak
pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini. Bahkan
kini dia sudah meloncat bangun lagi, dengan mata terbelalak penuh keberanian
dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran
goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah
perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika
dalam keadaan mengerikan.
Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke
arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata,
"Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang
seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku." Ia lalu membalikkan tubuhnya
dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.
"Biarkan aku sendiri yang menghadapi
mereka," katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang
ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan
menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang
amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.
Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti
dan berseru nyaring,
"Kam-siauwte, aku datang!"
Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu
saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi tekejut
bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka
berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suhengnya. Akan
tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi
suhengnya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia
rela mati bersama suhengnya yang tercinta!
Pintu pondok terdorong terbuka dari luar.
Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu
telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa
kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan
hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat
yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas
keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir
berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk
menotok tengkuk Han Ki.
"Aihhh....!" Bu-koksu menggigil
seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak
membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat. Ternyata dari
tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguhpun dia
sendiri memiliki sin-kang yang kuat dan kalau tadi totokannya ia lanjutkan
sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena
serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!
Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan
kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang
dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang.
Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya terbelalak,
mulutnya berteriak heran dan kaget, "Engkau.... Siauw Bwee....
Khu-sumoi....!" Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda
itu roboh terguling dan pingsan!
Mendengar teriakan suhengnya itu hati Siauw
Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suhengnya telah
ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia
merasa ada angin menyambarnya, biarpun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap
saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di
samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!
Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok
jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa
girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak
melihat apa yang telah terjadi, merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu
berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.
"Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita
bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan," katanya dan tiga orang itu
bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh
kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih
sadar itu ketika melihat mayat supeknya yang tewas dalam keadaan mengerikan,
mengeluarkan jerit tertahan dan ia menggigit bibir tidak mengeluarkan kata,
hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.
"Nona Khu," Bu-koksu berkata dengan
suaranya yang besar, "Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri
seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan regara dalam
bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal
saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah
orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es.
Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara
dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi
harus dikesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah
menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia
(Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat
menyadarkan suhengmu."
Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata,
"Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan
kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan
alasan demi rakyat dan negara, akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu
terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan
memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!"
Bu Kok Tai menghela napas panjang. "Aku
selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah
mernusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana
mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke
Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!" katanya kemudian
kepada pembantu-pembantunya. Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan
Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju
ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu
melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para
penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam
oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau
meninggalkan kota. Betapapun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak
kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan
suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai
pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda
yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi
penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.
Ketika rombongan empat orang yang membawa dua
orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana
terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan
dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah
seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang,
sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya
sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu
cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa
memerintah. Adapun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang
yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika
mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan
Yucen, sedangkan para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang
brewok bermata lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut
pendek dan tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah
tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh!
Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di
Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!" Pek-mau
Seng-jin mengejek sungguhpun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai
penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang
berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa
Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan
persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri
Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan
tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di
dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan
selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan
balasan pula, "Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk
wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apabila sebagai Koksu negara
mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara
Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini, bukan sebagai tamu negara
yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah
saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat
kami di Siang-tan."
"Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu
amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih,
Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini
menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali."
Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga
bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya, akan tetapi ia
tetap bersikap tenang dan bertanya,
"Di pihak kami, tidak ada persoalan dan
sungguhpun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami
masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya
juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa
menemani Koksu dan Pangeran."
Mendengar ini dan melihat pandang mata
Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum
saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan
dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan
kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.
"Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu,
Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau
kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu,
akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat
kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan
hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan
membebaskan kedua orang tawanan ini."
Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga
bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan, akan tetapi dia
masih penasaran dan cepat berkata, "Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang
ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada
sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka
mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri."
"Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik
diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja? Ingatkah
Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat daripada tangan
kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat
mereka mengalami penghinaan seperti itu."
"Pek-mau Seng-jin!" Bu-koksu berkata
marah. "Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya
rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apalagi bersahabat!"
"Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi
sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran." Pek-mau Seng-jin
berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,
"Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki
itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah
memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat
membiarkan dia kauperlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai mantu
dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan Kam Han
Ki sahabatku."
"Dan gadis ini?" Bu-koksu yang
diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
"Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat
baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan
permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang
mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kauberi kebebasan pula."
Merah muka Bu-koksu mendengar ini. "Kedua
orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan
pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan
Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan
permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang
mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan
begitu saja kepada Cu-wi!"
"Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu
tidak memandang kami sebagai sahabat!" Pek-mau Seng-jin berkata dengan
suara getir.
"Saya cukup menghargai persahabatan
antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan
saya."
"Kalau kami memaksa?"
"Terserah, kami akan mempertahankan!"
"Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu
diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang
akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih
mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara
pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian
yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu
tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu!
Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam
pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!"
"Bukan kami yang memancing permusuhan,
kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa
aku takut kepadamu!" Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut
goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga
sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap menghadapi lawan,
sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar
mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw
sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri! Seperti telah
diceritakan di bagian depan, kedua orang ini yang bergabung dengan Coa-bengcu
di pantai Po-hai, diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen,
dan atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup
dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga
mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin
girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan
diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.
Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan
dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang
sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah
bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian
Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip
dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa banyak cakap sudah
saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan
ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena
pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka
bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.
"Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur
melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba,
Bu-koksu!" kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.
"Cring-cring-tranggg!" Keduanya
terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang.
Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat
dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat
itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun
gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan
bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga
sin-kang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat
puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa
Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak, mengambil keputusan untuk membunuh
saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya,
langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
"Trangggg!"
Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur,
memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.
"Suma-kongcu! Apa yang kaulakukan ini?
Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?"
Suma Hoat tecsenyum. "Hemm, orang she
Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa
siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini.
Mengapa engkau bendak bersikap curang dan membunuh tawanan?"
"Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali
mendengar akan pengkhianatanmu ini!" Ang Hok Ci memaki dan menyerang
dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya
melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang ke arah dada Suma Hoat.
"Cringggg.... dukkkk!" Tubuh Ang Hok
Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat,
sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula oleh Suma
Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat
dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari hasil
curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima
gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai!
Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw
Bwee dan membebaskan totokannya.
"Terima kasih, ternyata engkau seorang
sahabat yang baik, Suma Hoat!" Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat
mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki
dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan
melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw
Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan
ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh
pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat
kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci
sambil tertawa-tawa.
"Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!"
Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. "Dan aku yang akan membunuh
tikus besar ini!"
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biarpun dia
harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan
tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya
masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit
bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya
memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan
berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung,
tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan
serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat
kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung "seru" dan bahwa mereka
itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka
mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata
adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu.
Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia
kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya
demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci,
tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan
antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena untuk
membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan
disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya
tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau
Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian Bu-koksu,
juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di
situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian
Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya
dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan
tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan
maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu
hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu
untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin
tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang
terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi, kalau dia dansemua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan
ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya
melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala
kepandaiannya.
Betapapun juga, tongkat di tangan Pek-mau
Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah
kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian
rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada
detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok
besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah
menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
"Tahan! Jangan bunuh dia!" Teriakan
ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke
belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar
kembali goloknya. "Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan
menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!"
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat
sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya.
"Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya!
Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kaupengaruhi
dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!"
"Kam-siauwte....!"
"Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte
kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan
mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan
segalanya!"
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi
membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan
berkata, "Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari
hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu
membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah
perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua kerajaan
kita?"
"Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan
ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan,
terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung.
Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat
lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha."
"Mari kita pergi!" Bu-koksu berkata
kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin
segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang
Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, "Aku tadi melihat betapa Ji-wi
tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!"
"Cringggg.... dukkkk!" Tubuh Ang Hok
Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat,
sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula oleh Suma
Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat
dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari hasil
curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima
gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai!
Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw
Bwee dan membebaskan totokannya.
"Terima kasih, ternyata engkau seorang
sahabat yang baik, Suma Hoat!" Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat
mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki
dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan
melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw
Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan
ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh
pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat
kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci
sambil tertawa-tawa.
"Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!"
Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. "Dan aku yang akan membunuh
tikus besar ini!"
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biarpun dia
harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan
tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya
masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit
bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya
memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan
berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung,
tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan
serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat
kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung "seru" dan bahwa mereka
itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka
mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata
adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu.
Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia
kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya
demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci,
tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan
antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena untuk membantu
Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui
ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak
mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin
amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian Bu-koksu, juga lebih
tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ
terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek
Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan
hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan
tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan
maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu
hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu
untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin
tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang
terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi, kalau dia dansemua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan
ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya
melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala
kepandaiannya.
Betapapun juga, tongkat di tangan Pek-mau
Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah
kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian
rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada
detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok
besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah
menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
"Tahan! Jangan bunuh dia!" Teriakan
ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke
belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar
kembali goloknya. "Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan
menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!"
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat
sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya.
"Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya!
Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kaupengaruhi
dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!"
"Kam-siauwte....!"
"Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte
kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan
mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan
segalanya!"
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi
membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata,
"Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman
sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela
negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah perbuatanmu tadi
bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?"
"Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan
ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan,
terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung.
Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat
lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha."
"Mari kita pergi!" Bu-koksu berkata
kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin
segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang
Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, "Aku tadi melihat betapa Ji-wi
tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!"
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut,
akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, "Kami sendiri tidak
mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan
menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku
tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud
masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi
karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka
tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami."
"Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu
jelas berniat buruk terhadap diriku." Bu-koksu mengomel dan hatinya yang
mengkal dan kesal itu membuat dia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci
yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, Kam Han Ki memandang sumoinya
yang kini berdiri di sampingnya, berkata, "Sekarang aku ingat semua,
Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan
aku. Terima kasih, Sumoi dan.... dan...." tiba-tiba mukanya berubah merah
sekali karena dia teringat akan sikap sumoinya yang berkali-kali menyatakan
cinta kasihnya dan teringat betapa, dalam keadaan "lupa diri" dia pun
membalas cinta sumoinya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang,
tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata
mereka yang saling bicara banyak.
Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra
itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee,
sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu
saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang
menembus jantungnya. Namun, karena maklum bahwa dia tidak akan mampu
menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau
Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han
Ki sambil berkata,
"Saya menghaturkan selamat atas pulihnya
kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi
Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee."
Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu.
"Hemm, siapakah engkau?"
"Suheng, dia adalah seorang.... sahabat
yang telah menolongku, dia juga sute dari.... dari.... ahhh,
Coa-supek....!" Siauw Bwee teringat akan supeknya dan menangis
tersedu-sedu.
"Heiii.... ada apakah, Sumoi?" Han
Ki bertanya.
"Khu-lihiap.... apa yang terjadi dengan
Coa-suheng?"
"Dia mati terbunuh.... tentu oleh
Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon
pek...."
"Suma Hoat?" Kam Han Ki berseru
kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata,
"Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang.... hemmm, tidak
baik dan putera dari seorang yang.... tidak baik pula."
Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini
adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah
menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoinya itu,
maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura
kepada Pangeran Dhanu dan berkata, "Saya merasa berterima kasih atas
pertolonganmu, Pangeran. Biarpun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga
bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu."
"Ah, di antara orang sendiri perlu apa
menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat di
sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun
tangan menentangnya," kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu
dan berkata, "Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku
sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?"
"Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau
Seng-jin, koksu kerajaan kami." Pangeran Dhanu memperkenalkan. Kam Han Ki
mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, "Sudah lama saya
mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal."
Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan
ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, "Kam-taihiap terlalu memuji!
Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap
membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita
dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap
dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga
Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan,
selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya.
Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen
untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat
menghargai jasa orang-orang gagah."
Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng
kepala, menjawab dengan suara tenang, "Banyak terima kasih atas
perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan
apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin
menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara."
Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan
menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya
sendiri, "Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara
besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya
lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat
akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan
bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat, itulah tanda-tanda bahwa negara akan
hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak
membutuhkan tenaga Taihiap, sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan,
Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh
tenaga bantuan Taihiap."
Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak
dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biarpun dia sama sekali
tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk
pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan
ketidakadilan itu.
"Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan
mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis
menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin
tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi
bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah
menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak
perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di
antara orang-orang kang-ouw?" Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja
dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja
yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum
menyadarkannya.
"Maafkan saya yang telah tua dan pandang
mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah
mengenal saya?"
"Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika
dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara
Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik
dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari
Khitan, sedangkan anak ke dua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek
San."
Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan
Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan.
Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat
bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong
kedua anak perempuan itu!
"Aaahhhh....!" Pek-mau Seng-jin
tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak
enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
"Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau
tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapapun
juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak
pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu
tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari
ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan
membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut
lagi!"
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah
kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu
murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka.
Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat
senjatanya terpental, sudah cukup membuktikan betapa hebat sin-kang pemuda itu.
Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang
menjura kepada Han Ki sambil berkata,
"Kalau begitu, kita berpisah di sini
saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang
senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama."
Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab,
hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu, dan memang benarlah
kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan,
karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih
mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam
perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi,
meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma
Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biarpun tidak ada orang yang
langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai
orang-orang gagah yang biarpun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga
mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan
terhadap negara dan bangsa. Adapun dia, karena terpaksa oleh ayahnya, biarpun
keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung,
kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan
Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali,
rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan
orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!
"Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus
jenazah Coa-suheng." Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang
orang muda yang sakti itu. Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan
Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat
suhengnya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya
girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan
lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang
dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan
cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum
terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi
ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu
kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh. Sinar mata itu masih tajam, bahkan
lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh
dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki
menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoinya? Sekarang ada sesuatu yang
lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suhengnya yang
terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak
jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan
lagi kemesraan itu.
Han Ki menghela napas panjang.
"Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan
kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku
dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita,
semua untuk menolongku belaka."
"Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa
disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau
dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan
jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu
terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu
lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia
ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita
pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena
itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali
kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di
sana."
"Sumoi, setelah segala peristiwa yang
kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan,
kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku
satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan
engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tertahankan olehku. Tentu
saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan
tetapi dia...."
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah
dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suhengnya kalau suhengnya sudah
pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa
senang sekali kalau suhengnya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya
sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan
tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya
mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
"Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan
sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah
dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...."
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit.
"Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya...." dia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya.
"Hanya karena dia mencintaimu maka dia
cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi
penghalang bagi cintanya?"
"Sumoi, engkau tentu maklum betapa
tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku
pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa
kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian
sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian
berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling
mencinta."
"Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya,
apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau
menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?"
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan
muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab,
"Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu
sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi.... harap engkau jangan besikap
seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya
menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin
hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara
tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali
ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena
hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan
tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti
yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan."
"Suheng, kita sama mengetahui bahwa
Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapapun beratnya bagimu,
engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kaucinta.
Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami
berdua."
"Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta
ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi
adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya
dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja?
Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau
Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak
menyia-nyiakan pesan Suhu."
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini
menarik napas panjang dan berkata, "Hemmm, agaknya engkau yang lebih
benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh
mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih
dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang
engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak
kalau dia melihat aku bersamamu."
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat
kata-kata sumoinya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan
membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk
Maya kalau sumoinya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
"Baiklah, Sumoi. Mari kita segera
berangkat."
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu
kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan
melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan
cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan
sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka.
Dia mengajukan pertanyaan kepada suhengnya dengan suara bersungguh-sungguh dan
pandang mata tajam menyelidik.
"Suheng, engkau agaknya berkeinginan
keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak
salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di
Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?"
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian
dia mengangguk. "Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku
kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan
tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. "Akan
tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah
engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam
telah padam di hatimu?"
"Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran
Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling
buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia.
Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita
dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam
menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah,
siapakah yang kauanggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati
padamu?"
"Siapa lagi kalau bukan manusia jahat
Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus
kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!"
Han Ki menarik napas panjang. "Sumoi,
engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau
tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia
bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu
dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri
belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu,
andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu
dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat
engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu
baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau
perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai
dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai
yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas
dendam!"
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian,
Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya?
Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya. "Memang
demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan
dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus
yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari
perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan,
perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik
maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya
pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun
buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu
berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya
kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih
patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama
sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini,
yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan
juga
terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah.
"Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak
usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi
adalah
orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang
sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Ucapanmu
itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu
adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu
mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk
membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan
dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas
budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas
orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu? Saling membalas
budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan
balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut
budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas
budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai
perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi.
Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas
panjang dan mengangguk perlahan. "Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat
dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan
menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat
dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya
memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku
dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak
benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku
mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah
jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang
menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan
pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi
permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab
dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab
yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan
mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam
Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana
mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
"Membalas dendam dengan cara bagaimana,
Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia
laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma
Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas
dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu
siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan
kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan
pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah
seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya,
biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah
perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati
puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
Han Ki menarik napas panjang. "Sumoi,
engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau
tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia
bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu
dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri
belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu,
andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu
dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat
engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu
baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya
buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai dendam sakit
hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada
putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas
dendam!"
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian,
Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya?
Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya. "Memang
demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan
dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus
yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari
perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan,
perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik
maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya
pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun
buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu
berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya
kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih
patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini,
yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan
juga
terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah.
"Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak
usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi
adalah
orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang
sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Ucapanmu
itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu
adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu
mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk
membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan
dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas
budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas
orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu? Saling membalas
budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan
balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut
budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas
budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai
perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi.
Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas
panjang dan mengangguk perlahan. "Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat
dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan
menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat
dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya
memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku
dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak
benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku
mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah
jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang
menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan
pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi
permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab
dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab
yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan
mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam
Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana
mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
"Membalas dendam dengan cara bagaimana,
Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia
laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma
Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas
dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu
siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan
kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan
pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah
seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya,
biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah
perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati
puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
"Aku tidak takut!"
"Bukan soal takut atau tidak takut yang
kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata
rantai dendam-mendendam."
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia
membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suhengnya ini. Kematian
ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat perbuatan Suma Kiat.
Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa
sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci
keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan
karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat
dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
"Aku tidak dapat menyangkal kebenaran
ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kaulakukan asal saja
engkau...."
Melihat keraguan sumoinya, Han Ki bertanya,
"Asal saja aku mengapa, Sumoi?"
"Asal engkau tidak melupakan.... cinta
kasih di antara kita...."
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih.
Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoinya,
melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak
ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya daripada hidup
sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya ini. Akan tetapi, di sana
masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin
cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
"Mana mungkin manusia melupakan cintanya,
Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka yang sama
sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana
Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang
Maya-sumoi." Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang
suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan,
"Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau....
tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?"
"Dia tentu dan harus mau!" jawab Han
Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke barat,
diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan. Dia
maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya mencintanya, akan
tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat
hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena
Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta Han Ki. Betapapun juga,
dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suhengnya mencintanya!
Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan
berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun
ditinggalkannya itu.
***
"Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa
menerobos masuk tanpa permisi?" para pengawal penjaga gedung Panglima Suma
Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal
berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami
masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang
pedangnya.
"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal,
sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan
komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari
Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt.... ciattt!" Komandan
pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus
disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki
tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal
melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka
tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu
bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para
panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang
telah mengurung gedung itu.
Biarpun para pengawal telah menjadi ketakutan
ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di antara para
pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat,
melaporkan kepada Suma Kiat.
"Celaka.... Koksu dengan pasukan besar
datang menyerbu....!"
Pada sore hari itu, Suma Kiat yang ditemani
oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu
seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin
Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai
Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua
sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen. Akan tetapi, sekali ini Coa Sin Cu
datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik,
melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat
setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya! Beberapa hari yang lalu,
ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga
dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya
berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan
masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah.
Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam
kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia
langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan
dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera
tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma
Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya
mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa
terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera
tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat,
bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera
dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada
puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh
mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan
berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
"Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki
dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa
dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan
dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu
jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi,
apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak
wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?"
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari
masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat
memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu
telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu, Suma Kiat meloncat dari
kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata
kepada para penjaga, "Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan
Koksu!" Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh
selir dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih
duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar
karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan
bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan dan melihat
Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada
dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,
"Sungguh amat mengherankan sekali sikap
Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara
memaksa. Apa kehendak Koksu?" Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi
dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di antara
para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai seorang yang
dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun
menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena
inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan
berkata dengan suara penuh nada menyindir, "Sikapku ini sama sekali tidak
mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang
panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah
berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!"
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar
ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira
bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja,
"Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan
membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang
selalu setia kepada raja!"
"Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian.
Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah
memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi
juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan
Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!"
"Bohong! Fitnah palsu! Apa
buktinya?" Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
"Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi
setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu
yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di
tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat
membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah
dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota
raja!"
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar
betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa
untuk mengaku, akan tetapi dia telah kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah
melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada
jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari
keadaan berbahaya ini.
"Anjing penjilat, kaukira aku takut
padamu?" Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan
kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia
pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring
ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok
dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing.
Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang
amat berbahaya. Namun, Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat
cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan
pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mujijat dan ampuh sekali. Karena
itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang
seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Setelah memberi isyarat kepada pasukan-pasukan
yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan pengawal itu menerjang
maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu Ci Goat juga sudah
mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin
oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian terjadi di
ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal yang masih
setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah
pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat suaah menaluk
ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para
pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari
keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini amat mengurangi
semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan
dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu,
menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga
Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang panglima dan pasukan
segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan
terancam keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya
bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena
akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan
menerjang keluar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru
marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk
berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia
mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apalagi setelah
dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan
berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian
Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh tidak disangkanya
bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini
meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya,
tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat
mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu.
Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis.
"Trangggg.... trakkkk!" Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan
golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan
dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat
golok!
"Keparat....!" Suma Kiat marah
sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan
dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhunya,
berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan
tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar
pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang
panglima yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee
juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua
juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu.
Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang
panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat
benar-benar amat hebat.
"Suhu.... lebih baik kita
pergi....!" Siangkoan Lee berseru. "Subo sudah terluka....!"
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan
tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah,
celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya
menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali
mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan,
mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar senjata
melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan
selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya
itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma
Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar sendirian, hanya
memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah. Puluhan batang anak
panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun
kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma
Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan malam
yang telah tiba.
Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma
Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan. Mereka
dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan cantik
diperkosa sampai mati. Kemudian, seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat
betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan
membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali melihat
muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos. Saking gemasnya
dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran
Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada
Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat.
Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia
persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin.
Suma Kiat, dengan bantuan muridnya yang setia,
berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia, selirnya, dan
muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat
dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu,
diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti. Suma Kiat maklum
bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul
di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau
pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah
Kerajaan Yucen. Akan tetapi, dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada
bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga
Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan
Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk
menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar
dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi
seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan
diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.
"Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu
dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang saja dan
minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?" Siangkoan Lee mengajukan usulnya
di tengah perjalanan melarnkan diri itu.
Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu
berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika menjawab, "Siangkoan
Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk
rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk
memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya
kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu hanya siasat, bukan
berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati daripada
menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena
engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan
hanya pembantuku, melainkan kuanggap sebagai pengganti puteraku sendiri yang
akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku."
Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali.
"Terima kasih, Suhu...." katanya terharu. "Teecu bersumpah akan
menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!"
Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini
terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki sekor kuda yang
dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda,
akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja,
Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti datangnya seorang
pengejar itu.
"Ayah....!"
Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma
Hoat! Pemuda ini, dengan muka dan baju basah oleh peluh karena melakukan
pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya.
Mereka bertiga yang duduk dia atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah
dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.
"Ayah...., aku.... aku.... aku mendengar
akan penyerbuan Bu-koksu.... aku cepat ke Siang-tan, terlambat.... lalu
mengejar Ayah...."
"Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali
menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!" Suma Kiat membentak penuh
kemarahan.
Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat.
"Ayah.... mengapa....?"
"Cukup! Sekali lagi menyebut ayah,
kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami menjadi
begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku
terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja.
Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan
sengsaralah engkau selama hidupmu!"
"Ayaaahhh....!" Suma Hoat bergidik
ngeri mendengar kutukan ayahnya.
"Cet-cet-cet!" Tiga sinar menyambar
ke arah Suma Hoat. Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan
senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk menangkis, maka dia
cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan berhasil
menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun
itu. Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan
perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun. Suma Kiat melarikan kudanya
diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat memandang
dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali
dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya
mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak
disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan hati ayahnya, kembali
ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!
Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti
bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia menarik napas
panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk oleh
kegagalan cintanya. Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah
dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun
ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya
yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka
telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya
orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya
sebagai anak lagi. Apalagi artinya hidup ini baginya?
Siapakah yang harus disalahkannya? Koksu Bu
Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum kepada Bu-koksu dan merasa
iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak dapat
bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati? Orang-orang
gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri
Kam Liong, yang terkenal karena kesaktian dan kesetiaannya terhadap nusa
bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja membantu ayahnya yang
bersekutu dengan pihak Yucen? Andaikata dia tidak hendak berbaik kembali dengan
ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak
akan sudi membantu persekutuan kotor itu.
Suma Hoat menghela napas panjang dan
meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan tubuh lesu.
Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau
marah dan dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada
harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan Siangkoan
Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati ayahnya.
Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak
pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah sengsara semenjak
terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan mulia,
kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan
pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan.
Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma
Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah tempat peristirahatan
di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di
Pegunungan Tai-hang-san.
Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati
gurunya, berusaha menyenangkan hati suhunya itu dengan membangun sebuah
bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita muda
untuk suhunya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan
semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat
selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat akan
cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua kedukaan ini
ditambah lagi oleh solah-tingkah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu,
melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah, tidak mampu lagi
melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan
tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat menahan dan
akhirnya kakek itu jatuh sakit.
***
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan musuh di
Siang-tan. Biarpun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas
dalam menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru
melakukan penyerbuan ke Siang-tan. Setelah mendapat kenyataan bahwa Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sian-yang, Maya menjadi makin
girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suhengnya dapat
lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suhengnya, dia
harus "menebusnya" dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa
Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!
Setelah mengadakan perundingan dengan para
pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk minta bantuan
Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap pemerintah,
panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa diutus minta
bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu
oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang menghadapi perang
besar.
Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di
Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir tiada
bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah
pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!
Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu
datang lebih dahulu dan mendengar dari para penyelidiknya bahwa bantuan dari
selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan
keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong
dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan
pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar dan kuat
karena memperoleh bantuan.
Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan
main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar itu. Mengertilah
dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul
kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan
dari selatan masih belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan bahwa
tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan
segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok benteng,
sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan
mati-matian.
Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap
Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala bantuan dari
selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu
pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian
pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus!
Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak
terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di mana-mana? Namun,
dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian untuk
menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota
Siang-tan.
Sebetulnya, apakah yang terjadi? Benarkah bala
bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu? Memang kelihatannya
demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang menghancurkan
pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar sebagai
pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh
Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen. Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan
Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan pasukan Mancu, diam-diam
Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai pasukan Mancu,
kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya. Dia sendiri
diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya
untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat
agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah yang luas di daerah utara Siang-tan
kepada Kerajaan Yucen.
Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat
penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan terjepit itu, Kaisar
tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya!
Pek-mau Seng-jin girang sekali lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini
telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dengan cepat
melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh
pasukan Mancu.
Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang
menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang seru dan
hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan hari
lamanya, berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan
tetapi, akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah
pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki
benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat penjagaan.
Maya memimpin pasukan-pasukannya, diam-diam
merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur pasukan sehingga pasukan yang
lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun
pasukan-pasukannya, mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan
untuk membobolkan benteng kota. Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali,
terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak
panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung sehingga setiap
penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat
dipertahankan.
Kembali belasan hari lewat dan benteng kota
Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan tetapi, pihak
pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah dikurung,
hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam
oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi,
terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap hari dikurung tanpa
ada penambahan itu makin menipis isinya.
Keadaan yang mengancam ini membuat semangat
perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya, tanpa dapat dipertahankan
lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu terbesar
dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai
yang memekakkan telinga.
Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara
senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik kesakitan dan
keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang lari ke
sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.
Maya yang menunggang seekor kuda putih,
mengamuk dengan pedangnya. Kudanya meringkik-ringkik, lari ke sana-sini,
didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu, dan ke mana pun sinar
pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang perwira musuh.
Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi
marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak
marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah merobohkan banyak
anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan pedangnya dan terjadilah
pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan yang sedang
berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena
di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga
seringkali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk melayani tentara
musuh yang mengepung.
Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai
lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru menantang,
"Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok
sampai seorang di antara kita roboh binasa!"
"Anjing betina Mancu, siapa takut
kepadamu?" Bu-koksu membentak.
Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang
yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di lapangan yang luas di
luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia
langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding
dengan seru dan dahsyat.
Andaikata mereka bertanding ilmu silat biasa,
tidak di atas kuda, agaknya betapapun lihainya, Bu-koksu bukanlah lawan Maya
dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus. Akan tetapi,
bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak
banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan senjata dan
keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang ditunggangi memang
peranan penting. Biarpun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun
pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan
biarpun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun
kepandaiannya menunggang kuda juga kalah.
Karena inilah, pertandingan berlangsung
dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan yang tangguh itu dan
dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang
tidak terlalu parah biarpun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran
darah. Betapapun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa selamanya belum
pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya yang memegang golok
besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang lawan,
lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat
muda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa! Namun dia tidak
mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah terakhir
membela negaranya.
"Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!"
Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar dengan
sinar berkilat.
"Tidak begitu mudah keparat!"
Bu-koksu membentak dan menangkis.
"Tranggg....!" Untuk ke sekian ratus
kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga api
berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga
dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.
"Tahan senjata....!" Tiba-tiba
tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang
itu adalah Suma Hoat! Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang
melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua
tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah
di antara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata
masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di
antara mereka dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton
pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke
kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa
Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di
dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu
mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda
dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun Bu-koksu telah
menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat
menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang
setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan
mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang
mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
"Suma Hoat, apakah engkau hendak
membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!" Maya
membentak nyaring.
"Maya, harap engkau sadar bahwa engkau
telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang
memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah
penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai
begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?"
"Suma Hoat, mulutmu palsu!"
Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. "Engkau
sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!"
"Koksu, tidak perlu menilai diriku yang
memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan
yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini.
Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi
pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan
diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas,
Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...."
"Jangan sebut-sebut nama guruku!"
Maya membentak. Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia
tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana
Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid manusia
dewa Bu Kek Siansu!
"Nona Maya, aku hanya mengharap agar
engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa
sendiri...."
"Cukup! Aku memang sengaja menggunakan
pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri
Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah
Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan
itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu
Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera
Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!"
Kembali Maya menyendal kendali kudanya
sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan
kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang,
akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu
berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
"Trang-cring-trang....!" Pedang dan
golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus
membantu siapa.
"Sumoi....!"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua
orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh
tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung
kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak
terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di
tangan.
"Suheng....!" Maya berseru dengan muka
berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.
"Kam-siauwte....!" Bu-koksu juga
berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti
ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya,
melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.
"Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga
melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau,
adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati daripada
melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han,
bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa
sendiri?"
"Suheng, engkau boleh melupakan segala
dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh
Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!"
"Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan
Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan
pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh
manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai
pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak
gugur sebagai seorang pengkhianat?"
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang
suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, "Suheng, engkau
terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku
sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua
ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak
menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara
semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau
ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang
harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku....
engkau...." Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang
dengan kedua tangannya.
"Krekkk!" Pedang itu patah
berkeping-keping dan dlbuangnya ke atas tanah.
"Llhat, seperti itulah hatiku, Suheng.
Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua
saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan
tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini,
dan akan mengamuk terus sampai mati!"
"Ohhhh....!" Seruan ini keluar dari
mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir
yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas
cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian
Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak
orang, maka dia hanya berkata, "Sumoi, mari ikut aku pergi....!"
Tubuhnya berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan
diri. Akan tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali,
membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.
"Kam-taihiap, tunggu....!" Suma Hoat
berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap. Dia mengerahkan
seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia
tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru
memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima
cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang di antara
mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah
tergila-gila dan jatuh clnta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak oleh
penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!
Perang berlangsung terus biarpun Maya telah
pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah
menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap.
Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak
Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak
anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di
tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya,
panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.
***
Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali
dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang tidak bergerak.
Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung raksasa
terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang
tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan
Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya.
Bangunan istana di tengah pulau, yang telah
lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir tertutup dan tertimbun
salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah Han Ki, bersama dua orang
sumoinya kembali ke pulau.
Biarpun kadang-kadang hatinya menjadi panas
dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan cinta kasihnya kepada Han Ki,
namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera menubruk dan
memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu
kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas
Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu
saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati mereka. Kini, setelah
berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan timbul
kembali rasa kasih sayang di antara mereka.
"Sumoi...., aku banyak salah kepadamu,
maafkan aku, Sumoi...."
"Aihhh, Suci, jangan berkata demikian.
Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang mohon maaf
kepadamu...."
Han Ki menarik napas panjang menyaksikan
pertemuan antara kedua orang sumoinya itu. "Nah, begitulah, kedua sumoiku
yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau
ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini,
sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu, baru bahagialah hidupku melihat kita
bertiga dapat kembali di sini."
Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han
Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu, timbullah kembali
persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya
membentak,
"Akan tetapi, Suheng...."
Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas.
"Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan urusan
yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang, yang
terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa
kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya."
Han Ki menudingkan telunjuknya dan ketika dua orang dara itu memandang dan
menyaksikan keadaan istana tua itu mereka menjadi terharu dan tanpa banyak
membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu.
Ketika mereka membersihkan ruangan di mana
dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee segera bertanya
mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ.
Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab,
"Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini, hatiku
merana setiap hari, apalagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih
berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan
kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang
selalu memberatkan hati."
"Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah
apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak adil. Aku
yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?" Siauw Bwee mencela.
"Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara,
mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa apa-apa, dihancurkan?
Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!" Maya juga mencela.
Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama
sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang sumoinya,
senyum gembira. "Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya
yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya,
yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini.
Inilah batu-batu itu!" Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih
yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan
lenyap kekecewaan mereka.
Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es,
Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sin-kang, yang menghimpun tenaga sakti
yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.
"Dengan memiliki sin-kang ini, kalian
akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana Pulau
Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di
tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam di waktu hawa sedang
dinginnya kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju. Im-kang yang kalian
miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat
melatih Swat-im Sin-kang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga
bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam
ini."
"Nanti dulu, Suheng," tiba-tiba Maya
berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee mendengarkan
penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup
salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk
melatih Swat-im Sin-kang.
"Kau hendak bertanya tentang apa,
Maya-sumoi?" Han Ki bertanya.
"Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan
Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu sehingga
luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang
masih kecil! Memang latihan Swat-im Sin-kang seperti yang Suheng terangkan amat
penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih
penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan begitu saja
sebagai hal yang tidak penting."
Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak
enak. "Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang kulupakan?"
"Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau
mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi pulang ke
Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau kembali ke
Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau
menerima aku sebagai isterimu?"
"Maya-sumoi!"
"Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi
bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena
memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa
Khu-sumoi mencintamu pula. Adapun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan
hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini
tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil
keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih
untuk menjadi isteri?"
Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw
Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu suhengnya yang jelas
telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih dia,
kini menjadi cemas melihat suhengnya kelihatan bingung.
"Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?"
Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoinya. "Bukankah sudah adil dan
semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan
dengan sejujurnya?"
Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk
menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun untuk bersikap
terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur mengenai urusan
cinta, behar-benar dia tidak sanggup! Maka dia hanya dapat mengangguk saja
karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu. Suhengnya memang harus
dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa hati lagi, mengambil
pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.
Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal
inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya dengan paksa kembali ke
Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua itu lupa
akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui
bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin
dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan hati Maya yang
amat disayangnya itu?
"Maya-sumoi dan Khu-sumoi.... sungguh
berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini. Kalian
adalah dua orang sumoiku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku
sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan
nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku
akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoiku yang tercinta,
dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?"
Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan
kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya, cemas sekali menantikan apa
yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoinya itu. Maya dan Siauw Bwee
memandang kepada Han Ki, dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua
dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki. Mereka berdua,
terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suhengnya itu telah
menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika itu,
ingatan suhengnya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak
ada gadis bernama Maya bagi suhengnya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya
terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi,
seorang dara yang amat disayang oleh suhengnya.
"Suheng, kami berdua kini adalah
gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku pun
maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di
sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita
sampai terpecah. Maka, aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat
menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini."
Dengan penuh harapan Han Ki mengangkat muka
memandang wajah Maya yang amat cantik itu. Kecantikan Maya inilah yang
benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang amat mencinta Siauw Bwee,
akan tetapi Maya.... jantungnya selalu berdebar kalau ia memandang wajah
sumoinya yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan khas itu!
"Apakah usulmu itu, Sumoi?" tanyanya
penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali dapat keluar dari kesulitan
yang membingungkan hatinya itu.
"Karena Suheng tidak dapat berpisah dari
kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak mau menyiksa hati kami berdua,
jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah menjadikan kami berdua sebagai isteri
Suheng."
Pucat seketika wajah Kam Han Ki mendengar usul
yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Juga Siauw Bwee memandang wajah
sucinya dengan mata terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga memandangnya dan
kedua orang wanita itu bertemu pandang, seolah-olah ada permufakatan tanpa kata
di antara kedua orang dara itu. Pada detik itu Siauw Bwee dapat menyelami hati
sucinya dan melihat ketidakmungkinan apabila Suheng mereka diharuskan memilih
seorang di antara mereka. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang akan
dapat membebaskan mereka dari ancaman kesulitan dan perpecahan.
"Aku tidak melihat jalan lain dan
mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak kecil aku setuju
dengan usul Suci." Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura lirih.
"Tidak! Tidak mungkin itu....! Kalian
kira aku ini orang apa? Sudah begitu rendahkah batinku sehingga mempergunakan
keadaan untuk menang sendiri? Tidak, andaikata kalian rela sekalipun, aku akan
mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk aku!" Han Ki yang menjadi
bingung itu menutupi muka dengan kedua tangannya.
Siauw Bwee dan Maya saling pandang, kemudian
terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya tegas dan dingin,
"Suheng, kiranya bukan demikianlah sikap
seorang jantan! Apalagi seorang pemuda seperti Suheng, murid langsung Suhu Bu
Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus dapat mengambil
keputusan. Suheng, katakanlah sejujurnya, siapakah di antara kami berdua yang
Suheng beratkan? Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu andaikata engkau memilih
Maya-suci. Katakanlah bahwa engkau hanya mencinta Maya-suci dan memutuskan
untuk mengambilnya sebagai isteri, dan aku akan pergi dari sini, tidak akan
mengganggu kebahagiaan kalian."
Han Ki menurunkan kedua tangannya dan
memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka, akan tetapi dia segera
menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening,
kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.
"Suheng, tidak kunyana bahwa engkau, pria
satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap paling sakti, paling
kuat, dan paling jantan, ternyata amat lemah. Mengaku terus terang akan
cintamu, engkau tidak berani karena takut melukai hati seorang di antara kami.
Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani menikah dengan kami
berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata keranjang oleh
dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa kami berdua ke
sini? Mengapa tidak kaubiarkan saja kami mengembara dan menjauhkan diri darimu
yang menyiksa hati kami dengan keraguan? Suheng, perlu apa engkau menghibur
kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami bukan anak-anak kecil lagi, bukan
itu yang kami butuhkan."
"Maya-suci benar! Suheng, kalau begitu,
biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan Suheng dan tidak
perlu Suheng mencari kami lagi!" kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu sudah
meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.
"Nanti dulu....!" Han Ki juga
meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu. "Maya! Siauw Bwee!
Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk
mengambil keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian
berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik kandung
sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan
selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara kalian?
Benar-benar amat berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang
begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita bertiga.
Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil
keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua
lanjutkan berlatih Swat-im Sin-kang di sini. Kurang lebih tiga bulan lagi,
latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai. Nah,
kita bertemu kembali di sini dan aku akan menentukan pilihanku."
Mendengar ini berdebar jantung di dalam dada
Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan hendak mengambil keputusan,
menjatuhkan pilihannya, biarpun hal itu baru akan dilakukan tiga bulan lagi,
hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan khawatir, takut kalau-kalau
tidak terpilih!
"Kalau tiga bulan lagi engkau belum dapat
mengambil keputusan?" Maya bertanya.
"Kalau demikian, terserah apa yang akan
kalian lakukan," jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun sangsi
apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu.
Kembali Maya dan Siauw Bwee saling pandang dan
dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk menyetujui permintaan ini.
Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula penderitaan batin dan siksaan
hati mereka. Biarpun harus menanti dalam tiga bulan, akan tetapi karena dalam
tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan Swat-im Sin-kang, tidak akan
terasa terlalu lama.
"Baiklah, aku setuju, Suheng," kata
Maya.
"Aku pun setuju," kata pula Siauw
Bwee.
Han Ki menarik napas lega melihat dua orang
sumoinya telah duduk kembali di atas salju. "Kuharap saja tiga bulan
kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk tentang
latihan Swat-im Sin-kang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai memahat arca
kita."
Dengan penuh perhatian dua orang dara itu
mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki, kemudian di bawah
bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan sin-kang yang mujijat
itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan sin-kang mereka di
waktu dahulu, mereka berdua menderita sekali, apalagi setelah tiba di tengah
malam yang amat dingin. Namun, berkat kekuatan tubuh mereka, yang telah
memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah memiliki
Jit-goat-sin-kang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu dan pada keesokan
harinya, Han Ki meninggalkan kedua orang sumoinya yang ia percaya akan mampu
berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.
Tiga orang penghuni Istana Pulau Es itu
melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee tekun berlatih sin-kang
dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh perhatian, mereka dapat
melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Adapun Kam Han Ki yang bekerja dengan
tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali batinnya. Dia bekerja
tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam. Dia berusaha untuk memilih
sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin sulit baginya. Ketika dia
mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoinya ini, cintanya makin mendalam
dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw Bweelah cinta kasih hatinya
dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee!
Akan tetapi, ketika ia mengerjakan arca Maya,
dia membayangkan sumoinya ini dan jantungnya berdebar penuh gairah. Selalu
bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoinya ini,
apalagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan tubuh
sumoinya. Maklumlah dia bahwa berahinya condong kepada Maya yang memiliki
kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya selalu tergugah.
Akhirnya, ketika dia membuat arcanya sendiri,
seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri lebih mendalam, tahulah
dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang di antara mereka! Kalau dia memilih
Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee, sungguhpun Maya akan
merupakan isteri yang selalu menyenangkan hatinya. Kalau dia memilih Siauw Bwee
yang dicintanya, dia akan selalu merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah
Maya yang cantik jelita! Kalau dia memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya
dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan selalu timbul persaingan dan
cemburu di antara kedua orang sumoinya itu yang memiliki watak jauh berbeda.
Baru dalam rasa sayang sebagai adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu
mereka telah bersaing. Apalagi membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia
akan menjadi perebutan dan akan menciptakan neraka dalam kehidupan mereka
bertiga!
Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini
telah jadi dan ternyata benar lebih indah daripada tiga buah arca yang
dibuatnya dahulu dan yang dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak
tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan
itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua orang
sumoinya hampir tiba dan dia masihbelum
mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi
kedua orang sumoinya dan bagaimana dia akan mengambil keputusan?
Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee
berhasil melatih Swat-im Sin-kang sampai tingkat terakhir. Musim dingin telah
berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak
berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara
itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sin-kang mereka dengan memukulkan
kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang
mengandung Swat-im Sin-kang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi
bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!
Akan tetapi, kemajuan hebat dalam ilmu
kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya,
mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah
mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka
menanti sampai lewat tiga hari, belum juga suheng mereka muncul!
"Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga
keluar?" Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau
Es.
"Mungkin arcanya belum selesai,
Suci," kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
"Selesai atau belum, semestinya dia
keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah
lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini."
Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun
merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan sucinya
karena dia hendak melindungi Han Ki.
"Tentu ada sesuatu yang menyebabkan
Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap
Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui
kita."
"Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari.
Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!" Setelah berkata demikian,
Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalan
ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat
ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat
melangkah maju dan bersama sucinya memasuki istana.
Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan
jantung berdebar, kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya
tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu.
Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan
hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah,
Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu
terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu
dengan mata terbelalak kagum. Benar-benar suheng mereka tidak membohong, tiga
buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah daripada yang dibuatnya dahulu.
Apalagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan
yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca itu,
ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua
orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan
datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan, tetapi, ke mana
perginya Han Ki?
"Suheng, di mana engkau?" Tiba-tiba
Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan suhengnya di
dalam ruangan itu.
"Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia
sudah pergi, Sumoi. Lihat!" Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee
menghampiri dan bersama sucinya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas
lantai.
"Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih
belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat
beberapa hari."
"Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan
kita!" Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di
lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini, Siauw Bwee merasa tidak senang.
"Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa
tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci
malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda
bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga
mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya
menaruh kasihan kepadanya."
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoinya
dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoinya itu
membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada Han Ki, dan
tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya
menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang.
Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki
tidak ada di situ.
"Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau
hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah
dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita
hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang
memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah
wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan
ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng
menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani
menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan
kita berdua di sini!"
"Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan
pengecut. Habis, engkau mau apa?" Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar
kekasihnya disebut pengecut.
"Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi,
seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andaikata kita berdua menjadi
isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia
sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya
hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!"
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan
alisnya. "Maksudmu....?" tanyanya untuk mendapat ketegasan.
"Kita selesaikan persoalan ini di ujung
pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai sucimu tentu tingkatku
lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi
dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan
sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!"
"Suci! Aku sama sekali tidak takut
padamu, akan tetapi.... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin
bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara
saudara adalah perebutan hina...."
"Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak
alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang peperangan, seorang bekas
panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk
memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup
adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri
dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di
sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!"
Siauw Bwee marah sekali. "Aku tidak sudi!
Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya
Suheng." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee
berkelebat keluar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian
berbisik, "Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat
seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!" Kemudian dia membalikkan
tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw
Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja
mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini
untuk mencari suhengnya. Mungkin suhengnya yang ia tahu sedang bingung itu naik
perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari "ilham" menghadapi
persoalan yang ruwet itu. Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia
tidak takut menghadapi sucinya itu. Kalau dahulu saja, sebelum meninggalkan
pulau, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apalagi sekarang,
setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah
mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung
mempelajari pula Jit-goat-sin-kang. Dalam Ilmu Swat-im Sin-kang pun kekuatan
mereka seimbang. Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau
melayani kehendak sucinya yang gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian,
tentu akan menimbulkan malapetaka hebat. Andaikata dia kalah dan tewas, baginya
sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan
sucinya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suhengnya?
Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan sucinya
yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi, cinta kasihnya terhadap
suhengnya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan
melukai, apalagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan
tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau
penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama
sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya. Ia lalu
mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali,
memanggil suhengnya,
"Kam-suheng....!"
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau.
Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke
berbagai penjuru. Namun, tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya
sendiri.
"Suheng....!"
"Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!"
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat
membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya, dengan pedang
terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
"Suci, mau apa engkau?"
"Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan
urusan antara kita, sekarang juga!"
"Aku tidak sudi!" jawab Siauw Bwee,
menekan kemarahan hatinya.
"Kalau tidak mau, minggat engkau dari
sini!"
"Aku pun tidak sudi pergi!" jawab
pula Siauw Bwee.
"Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Pergi
dari sini atau cabut pedangmu menandingiku."
"Kalau keduanya aku tidak sudi....?"
"Akan kubunuh engkau di sini, sekarang
juga!" Maya mengelebatkan pedangnya.
"Suci, engkau telah gila! Engkau gila
karena cemburu dan iri hati!"
"Tidak, aku hanya mengambil jalan yang
tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut. Suheng
tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah
yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan
menyerangmu!"
"Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah
merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak takut melawanmu, Suci.
Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng makin
berduka. Aku terlalu cinta kepadanya maka aku rela berkorban perasaan
menghadapi penghinaanmu ini...."
"Cukup! Lihat senjata!" Maya menjadi
makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam. Pedang di
tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw
Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang
dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar. Pedang yang meluncur cepat
itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah
menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung
pedang akan menembus dada itu!
"Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang
suka membunuh orang yang tidak melawan!" Maya berseru marah sekali.
"Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani
melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak
Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?"
Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati
keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin menyakiti hati
orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan
melawan sucinya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang
mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.
"Singgg....!" Pedangnya telah
tercabut.
"Bagus, mari kita selesaikan!" Maya
berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
"Trang-cring-cringgg....!" Bunga api
berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama
kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu sumber. Lenyaplah
bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka
yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya.
Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali
dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan pertandingan itu. Sebagai
seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah
mengambil keputusan untyk membunuh sumoinya dalam pertandingan ini. Bukan
sekali-kali karena bencinya terhadap sumoinya, melainkan dia tidak dapat melihat
jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu
tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan yang terbuka dan
adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur
Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan
seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat dari dahulu!
Gerakan kaki dan tangan sumoinya itu amat cepat dan aneh membuat dia bingung
dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu selama dalam
perantauan ini, sumoinya telah mempelajari ilmu silat baru yang hebat! Dan dia
hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu perang saja!
Maya amat cerdik. Diam-diam dia memperhatikan
gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha menyelami dan mempelajari
intinya. Namun, sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya terkurung
dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit pun juga!
Maya makin terkejut, lalu berusaha mencari kemenangan dengan mengandalkan
tenaga sin-kangnya. Dahulu, sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat
sin-kangnya masih menang sedikit dibandingkan dengan sumoinya, dan tentu
gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat tenaganya lebih kuat
lagi. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis,
dengan maksud untuk membuat pedang sumoinya patah atau terpental.
"Cringgg....!" Nyaring sekali bunyi
kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung mundur dua
langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
"Aihhh....!" Tak terasa lagi Maya
berteriak kaget. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sin-kang
pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat
tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sin-kang.
Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke
depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini bermaksud mengadu
nyawa! Lebih baik mati bersama daripada dia kalah dan kehilangan Han Ki!
Kalau dia menghendaki, biarpun tidak terlalu
mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai
pemenang. Namun, dara ini di balik kemarahannya masih sadar bahwa dia tidak
boleh melukai sucinya, apalagi membunuh karena hal itu mungkin akan menjadi
sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah, maka
dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai mendatangkan serangan maut
yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia hanya akan mengalahkan sucinya
tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi, tentu saja hal ini sama sekali
tidak mudah. Biarpun dia dapat menandingi sucinya karena ilmu-ilmu gerakan
kilat dan Jit-goat Sin-kang, namun kelebihan tingkatnya tidak berapa banyak.
Betapapun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sin-kang, tidaklah melebihi
kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee
hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya, membuat sucinya menjadi
bingung dan terdesak.
Lebih dari dua ratus jurus mereka bertanding
namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan terluka bahkan tiada yang
berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin penasaran, dan Siauw
Bwee makin gelisah. Mengapa suhengnya belum juga datang? Sukar untuk menahan serbuan
dahsyat sucinya, dan kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang
akan celaka, akan terluka dan mungkin terancam maut! Karena itu, mulailah Siauw
Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan sucinya dengan jurus-jurus
dahsyat. Biarpun dia menggunakan jurus-jurus yang ia pelajari dari suhengnya,
namun dia memasukkan inti gerakan dari gerak kilat kaki tangannya yang ia
pelajari dalam perantauannya.
Menghadapi serangan dahsyat ini, Maya menjadi
bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit bibirnya melawan dan membalas
dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya membuat pertahanannya
kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar, ujung pedang lawannya
sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai pundak kirinya!
"Aihhh....!" Maya terhuyung dan
biarpun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh miring.
Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan
kirinya seperti lumpuh.
Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia
melempar pedangnya dan menubruk Maya. "Suci....!"
Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan
penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian perkiraan
Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia
mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan
serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia membabat
dengan pedang di tangannya, dengan tubuh masih rebah miring.
"Singgg.... crakkk! Aduuuhhh....
Suci....!"
Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya
buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang buntung.
"Suci.... kau.... kau....!" Siauw
Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.
Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat
sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga. Pedang sumoinya
ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoinya tadi bukan
menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur
hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian memandang
sumoinya yang memandangi kaki yang buntung.
"Sumoi.... aduh.... Sumoi.... apa yang
telah kulakukan....!"
"Suci....!"
"Sumoi....!"
Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya
meloncat berdiri, menghampiri sumoinya dan memeluknya.
"Sumoi.... kauampunkan aku...." Maya
memeluk dan menciumi sumoinya akan tetapi melihat sumoinya diam tak bergerak,
disangkanya sumoinya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil nama
sumoinya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee
yang juga pingsan. Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding
tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu
karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di
tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu
diombang-ambingkan gelombang. Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan
kedua orang sumoinya, Han Ki mengerahkan seluruh tenaganya, namun sampai lama
sekali barulah akhirnya dia berhasil minggirkan perahunya dan meloncat ke
darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan
pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi.
Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa
kedua orang sumoinya itu bertanding mati-matian di atas tebing, di pantai yang
curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoinya bahwa
badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi, istana itu sunyi, kedua orang
sumoinya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke
sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi dan berdiri
terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan
dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!
Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan
bagi Han Ki. Kedua sumoinya saling berpelukan dan bertangisan di atas tanah
yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa
kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang
membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung
dan pundak Maya terluka berat.
Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya
terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu mencelat ke pinggir tebing,
dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan
menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke
arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya
menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah mengejar sumoinya!
Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat
bergerak. Andaikata dia dapat bergerak pun akan terlambat, karena jaraknya
terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil
berteriak-teriak,
"Siauw Bwee....! Maya....!"
Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya
terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat, seolah-olah timbul
ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani turun!
Betapapun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua
orang sumoinya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.
"Maya-sumoi....! Khu-sumoi....!"
kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu.
Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali
terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang
amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga manusia.
Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi.
Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang mengerikan
hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh
kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan
dari atas.
Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang
gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara
bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari
permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar
selingan suara lengking panjang,
"Maya....! Siauw Bwee....!"
Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian
di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan
dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari,
berteriak-teriak dengan pengerahan khi-kangnya, memanggil-manggil nama kedua
orang sumoinya tanpa hasil. Kedua sumoinya tidak ada yang menjawab, tidak ada
yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan
menyedihkan.
***
Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak
bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang
yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh
mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang
layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal
perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada
perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan
betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya karena kalau dia
tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian
seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat
Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat
dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki
yang memiliki kesaktian tinggi itu. Betapapun juga, Suma Hoat tidak pernah
berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia
mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan
perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu
melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka
sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan
asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing
baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke
arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu
Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan
dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang
dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan
perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun
tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di
dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es,
dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang
berhasil menemukannya. Kini, dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya
bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu
dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena
cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan
lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu berahi,
tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup di atas
perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama
habis dan untuk menyambung hidupnya, Suma Hoat terpaksa makan ikan laut.
Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak
sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan
pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk
dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapapun kuatnya kedua
lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi
lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti
seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat
mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada
perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan. Tubuhnya yang terikat pada
perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan
kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai
dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia
tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh
dia dihanyutkan. Melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu,
sungguh mengerikan dan semua yang melihatnya tidak ada yang akan menduga bahwa
dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang
dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia
mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya
kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat
menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka matanya.
Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis. Akan
tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya terikat itu
tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh,
suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan
berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah
dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada
lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin
putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai
lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu
telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian
membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya
berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata,
ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia
memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin
badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang
cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan.
Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia.
Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya
ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar
jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga
untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih
amat membutuhkannya untuk membawanya keluar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu
duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti
berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki
ilmu Jit-goat Sin-kang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan
Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa
dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu
saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di
Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup
puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma
Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas, merasa tenaganya
sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguhpun tubuhnya
masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah
merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat
lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di
pantai datar.
Suma Hoat teringat akan suara melengking yang
didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan
tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia
tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan
di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu
masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
"Istana....? Istana.... Pulau
Es....?" Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring
ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah
penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah
timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara
kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya
berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah
kedua orang dara yang dicintanya itu berada di sana?
Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah
dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Dua orang dara itu,
sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, memiliki ilmu kepandaian yang
dahsyat sekali, apalagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah
orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana
itu?
Akan tetapi, setelah menghadapi
ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika
mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka?
Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka adalah orang-orang
sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia
masuk ke istana tanpa ijin saja. Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat
memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu
kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa
betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia
mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa! Dia segera
menuruni anak tangga perlahan-lahan dan berhenti di depan sebuah pintu yang
tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang
membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang
tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat
mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi
dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia
hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka,
penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
"Aduhai sayang, mengapa kalian begitu
kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Di mana ada cemburu dan iri,
adakah cinta di sana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah.... atau diri kalian sendiri?"
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah
itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga
mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia
mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak
terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguhpun suara itu masih menggetar
penuh perasaan,
"Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang,
hidup terasa hampa,
mengapa....?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta,
haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta
tak ingin jasa!"
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini
bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama
bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia
haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta.
Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah
hatinya tidak mengenal cinta? Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee,
adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia
mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali,
namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi
kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena
suara itu telah bicara kembali.
"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata :
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga
tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!"
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu
menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu,
manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia
dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau
begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah
maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup,
"Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai
di sini dan apa kehendakmu?"
Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di
tempatnya sambil berkata, "Harap Kam-taihiap sudi memaafkan. Terus terang
saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti,
kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun,
berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka
saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang mengamuk."
Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir
meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang yang muncul
dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang
sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya
merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam
waktu tiga bulan ini!
Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat
lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki. Sama
sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat
tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan
penuh pengertian!
"Suma Hoat, setelah kami bertiga
melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau
masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini
engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?"
Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia
menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu penuh kekuatan.
Sambil bertunduk dia menjawab,
"Maaf, Taihiap. Terus terang saja,
setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh
cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin
keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di antara mereka akan kautolak cintanya
dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri
lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di antara
mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia."
Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum,
senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia membukakan daun
pintu lebar-lebar sambil berkata,
"Dua orang nona yang kaucari sudah tidak
ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!"
Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya
terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang
amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang yang amat
dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi
sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena dalam
kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya. Di
sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee,
cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi
anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Adapun arca ke tiga yang berdiri di
sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa
cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
"Apa.... apa maksudmu? Di mana mereka?
Apa yang telah terjadi?" Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apalagi
ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat
akan isi sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu,
kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana.
Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu
hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sin-kang. Setelah mereka
berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan
telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu menceritakan betapa
dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil
mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw
Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung
kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang
amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya
terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan
kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang
turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.
"Jadi.... me.... mereka.... telah
tewas....?" Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng kepalanya. "Hanya
Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang
terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...."
"Ahhhh....!" Suma Hoat mengeluh, tak
dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya
yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki
setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali
kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir
mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apalagi dua orang dara
yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang
melempar diri begitu saja di dalam gelombang!
"Mengapa....? Kam-taihiap, mengapa mereka
saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai?
Mengapa....?" dia berteriak penuh penasaran.
"Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan
urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kauketahui juga," Han Ki berkata
tenang dan tegas.
"Urusan mereka adalah urusanku juga,
Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya
harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!"
Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu
sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata, "Andaikata kau ketahui
juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri,
mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau
cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta
mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun
cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak
hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang
dara yang kaurindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang
sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apabila engkau
memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam
hatimu, melainkan cinta berahi belaka!"
Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah
karena marah melainkan karena malu. Betapapun menyakitkan kata-kata itu
baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Betapapun
juga, dia merasa penasaran dan bertanya,
"Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat
seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan
berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki
dan wanita bersuami isteri?"
Kam Han Ki menghela napas panjang. Kedukaan
hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk, mendatangkan perubahan luar biasa
pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia melihat
kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang
penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurangsadaran manusia,
yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri. Sebelumnya terjadi peristiwa
mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun ragu-ragu untuk
memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya
terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara
hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak
disadarinya.
"Suma Hoat, cinta yang mengandung
kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati. Karena
menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin,
hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu
kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang
sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal yang
menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu, iri
hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana ada
cemburu dan lain-lain itu, apalagi benci, di sana tidak mungkin ada
cinta!"
Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki,
kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata, "Aihhh.... aku menjadi
bingung, Taihiap.... aku harus merenungkan kata-katamu itu.... aku tidak
mengerti...."
"Apabila rasa sayang diri masih melekat
kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar untuk
memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan
pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri
pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di sini, engkau boleh
tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau jangan
merusak dan mengganggu istana dan isinya."
"Terima kasih atas kebaikan Taihiap.
Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua orang nona itu
lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan
berarti mengumbar hawa nafsu berahi belaka. Saya akan bertapa di sini
menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!"
Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak
memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan menoleh,
berkata, "Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya
masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat
tinggal, dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang
membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri dari wanita dan
mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan wanita? Yang
perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat."
Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin
bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu, merasa seperti disiram air
dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua
ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa
adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi!
***
Selama beberapa hati, Suma Hoat memulihkan
kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi Pulau Es, bukan
saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga dengan
harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee. Siapa tahu, dua
orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian
hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi
pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua orang dara itu, dia
lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.
Namun, istana Pulau Es itu telah kosong! Kam
Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki ruangan yang indah di
mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga
buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan
di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan
indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di samping sajak-sajak
mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat dia
teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh
duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang
dibuai asmara :
"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari membelai
sayang
betapa ingin hati
menjeritkan cinta....
Suma Hoat menghentikan bacaannya karena
kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan kemesraan cinta dan
kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi
bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan
nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia sakti, kakak
beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal! Dan dia
sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es dan
memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal
yang rusak oleh cinta gagal pula!
Dengan penekanan mati-matian terhadap segala
keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es, memperdalam
ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sin-kang. Pulau Es merupakan
tempat yang amat baik untuk melatih sin-kang, karena hawa udara di situ amat
dinginnya. Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik
dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan
dan tanpa disadarinya, pemuda tampan putera bangsawan yang sudah biasa hidup
mewah itu, hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya!
Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu
pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai beberapa meter
tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang
membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia
menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar
amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.
Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma
Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin menyerbu masuk
ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor ular
dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi
girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan
kelihatan bersih sekali. Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher
ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi
daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya
lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat
perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai
habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.
Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar
dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa,
Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua melayaninya
dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya
itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak
bersaing. Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada
tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga
melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas
makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling
jatuh dari atas ranjang lalu.... sadar dari mimpi!
"Aughhhh....!" Suma Hoat menggosok
dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat yang
memenuhi muka dan leher bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya
berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak
terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma
Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari keluar.
Biarpun dia telah berada di luar istana yang
hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas yang menyiksa,
melainkan terutama sekali nafsu berahi yang mengguncangnya dan menguasainya.
Nafsu berahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah
dihubunginya, pernah diperkosanya, membuat dia makin tersiksa.
"Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini
tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu mengandung racun
perangsang berahi!"
Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan
sin-kangnya untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang tidak sewajarnya itu.
Namun, racun ini benar-benar hebat sekaii. Terlalu banyak dia makan daging ular
sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar
tersiksa selama tiga hari tiga malam. Andaikata dia tidak berada di Pulau Es,
di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu dia sudah
tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang
menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana
saja, baik secara halus dengan bujukan maupun secara kasar dengan perkosaan!
Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan tetapi juga memaki-maki
diri sendiri.
"Manusia lemah! Manusia terkutuk!
Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang nafsu berahi
saja tidak kuat bertahan!" Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki! Sekarang dia
melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran,
melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!
Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia
akan dapat melenyapkan nafsu berahi karena datangnya segala macam nafsu
bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri!
Andaikata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau
pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran
membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi
sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya, biarpun
berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih
mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu berahi akan timbul, baik
dengan racun ular merah maupun tidak!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan nafsu, dalam keadaan
tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan
pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia
yang belum terbuka mata batinnya. Batinnya selalu diamuk
pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan
ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi
di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi. Keinginan untuk
melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain. Bagi seorang yang
ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri
apabila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan
keadaan diri pribadi, lahir batin. Hanya orang yang belajar mengenal diri
pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran akan sikap diri
pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir maupun batin, dia
itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari
keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri pribadi, melihat dengan
penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka, benci, munafik,
berahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.
Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke
dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap persoalan yang
dihadapinya, manusia selalu menunjukkan pandang matanya ke luar, mencari
sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab
persoalan. Andaikata manusia suka menunjukkan pandang matanya ke dalam,
mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka
setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru.
Setelah mengerahkan seluruh tenaganya melawan
racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke empatnya, pengaruh racun
sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma Hoat yang selama tiga hari
tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak makan.
Selagi dia menghentikan perlawanannya terhadap
racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia
mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana. Dia terkejut dan heran, cepat
dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari bahan makanan yang
banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia terbelalak dan mencelat ke
belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu adalah barisan
ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada ribuan ekor banyaknya, keluar dari
dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari belakang istana. Sukar
dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin dari bawah istana, mungkin
juga dari pantai laut yang letaknya di belakang istana.
Suma Hoat terkejut dan pucat wajahnya.
Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat menjijikkan dan
mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai di mana dia
meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia
membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang.
Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar. Dia mulai membuat
goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan tangan
gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya
itu kasar dan buruk jadinya.
"Betapa menjemukan ular salju merah itu!
Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku
menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular
salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk
agaknya, tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek
moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?"
Tulisan itu dibuat oleh Suma Hoat untuk
menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai peninggalan pesan untuk Kam
Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat mendayung
perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk kembali ke
daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu.
***
Kegagalan Suma Hoat di Pulau Es mulai dari
kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri, membuat penghidupan
pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat, dunia kang-ouw
menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, juga amat berani.
Dalam petualangannyayang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak
dara siapa saja yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, maupun
puteri seorang ketua partai persilatan besar, anak murid partai besar, asal
bertemu dengan dia dan membangkitkan berahinya, tentu akan dibujuknya atau
dipaksanya!
Perbuatannya ini membuat nama Jai-hwa-sian
menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah tidak dikenal orang.
Selain itu, juga mendatangkan banyak musuh karena banyak orang-orang gagah
ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan merasa sakit hati dan
menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka menjadi korban keganasan
Jai-hwa-sian. Namun, sampai belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah
berapa ratus orang gagah yang roboh di tangannya, tidak mampu menandingi
kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian tidak pernah
tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri
sehingga jarang ada orang mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang
sempat hidup setelah diperkosanya. Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan
dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan menyimpan rahasianya sampai mati.
Hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw
memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya sebagai seorang pendekar
yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat memang sebagai
seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang kejahatan,
membasmi gerombolan perampok, membela yang tertindas dan seringkali
membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari sarang-sarang perampok. Akan
tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori
oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang
menggerakkan hatinya, baik secara halus maupun kasar!
Di antara orang-orang gagah di seluruh dunia
kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang Seng-cu, tokoh
pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Seringkali mereka berdua bersama-sama
berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan di antara
kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun, semua nasihat Im-yang Seng-cu
tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa
(memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi memisahkan mereka dan
membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.
Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar
kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho, terdengar jerit
mengerikan seorang wanita di antara suara beradunya senjata tajam dan
teriakan-teriakan kesakitan.
Kiranya, sebuah rombongan piauwsu (pengawal)
yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga, bertanding
melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik wanita. Di
dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang
cantik. Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan
berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan
ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan,
seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan
itu!
Biarpun rombongan piauwsu itu melakukan
perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh orang
sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh
seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan,
akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir
kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi
tempat itu.
"Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!"
kepala rampok itu tertawa-tawa.
"Tai-ongya, di dalam kereta terdapat
seorang nona yang amat cantik!" seorang perampok melapor sambil
cengar-cengir.
"Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang
menangkapnya!"
Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap
tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk ibu dan dijaga
ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya
menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.
"Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong
kau, kusenangkan kau.... ha-ha!"
"Pergi! Jangan ganggu anakku!" Ayah
dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun
tangannya, laki-laki itu terlempar keluar dari kereta!
"Jangan ganggu anakku! Setan, perampok
jahat....! Tolooonnggg....!" Ibu dara itu menjerit, akan tetapi kembali
tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok
yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu
menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari
mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci
yang ketakutan.
Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan
memang cantik, begitu melihat mereka terlempar dari kereta sehingga bajunya
tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok
segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di
dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang
patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!
"Bretttt!" Perampok itu sudah
merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit,
akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat
dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.
Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong
oleh kepala rampok, menjerit-jerit dan menggunakan kedua tangannya memukuli
dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan
membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi
gelak tawa anak buahnya.
Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika
melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah berada di
depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun,
berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan,
tajam mengerikan!
"Lepaskan dara itu!" Laki-laki itu
berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan
memerintah pelayannya saja.
Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan
dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara
itu ke atas rumput, kemudian berkata, "Kiranya masih ada yang belum
mampus, keparat!" Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak
sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan
kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan
yang buntung!
"Singgg....! crottt!" Kembali sinar
berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!
Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum
tubuhnya tcrjengkang rohoh, matanya terbelalak dan ia berkelojotan dalam
sekarat!
Karena para perampok sedang sibuk dengan
kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga, mereka tidak
melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu
Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring
dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar.
Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang
pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan gegerlah mereka
setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah
berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih
ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan
senjata. Akan tetapi, laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar
bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat ke sana-sini dan terdengar
teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi seorang!
Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan
tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke
arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang
terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang
roboh dengan golok menembus punggung!
Selesailah pertandingan itu dan keadaan
menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yangsalin g merangkul, dan suara ayah Si Dara yang
menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah
tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini
tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis
bersama ibunya.
Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya
menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat.
"Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan
banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap," kata Si Ayah.
"Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku
menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini berkat
nasib puterimu yang amat baik." Terdengar pendekar itu berkata.
Mendengar suara yang halus itu, Si Dara
mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Tadi dia
melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya.
Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya,
hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?
"Pertolongan In-kong lebih berharga
daripada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya." Dara itu
berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.
Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh
kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya bangkit,
"Aku pun merasa bahagia sekali dapat
menyelamatkanmu, Nona."
"Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari
Tai-goan hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama besar Taihiap
dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?" kata pula
Kwa Liok, ayah Si Dara itu.
"Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja
saya suka singgah, karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian akan
saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar
aku yang akan mengemudikannya."
Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan
anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya, "Milik siapakah
barang-barang di dalam kereta ke dua di belakang itu?"
"Bukan milik kami Taihiap. Mungkin
barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya ikut
rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa
barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini."
Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke
belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda berharga dari emas
permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk dua
ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke
depan menarik kereta.
Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di
Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh
suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar
merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik
manis, maka tidaklah mengherankan apabila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian
terhadap gadis itu!
Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu
nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali,
terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika
pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh
kemesraan dan cinta kasih!
Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat
jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya terlaksana
terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan
meninggalkan si korban begitu saja. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok
dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis
ini dan di dalam diri Bi Kiok, dia seolah-olah menemukan sesuatu yang
dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok
untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk
berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu berahi
seperti biasanya?
Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi
Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga,
perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat
"jinak", tidak pernah keluar rumah. Apalagi setelah ayah bunda Bi
Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka,
peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau
melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan
Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya.
Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi
Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak
khawatir akan datangnya malapetaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan
kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu
namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya,
dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula. Bahkan sampai tiga
bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat
berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu
berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan
tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biarpun
selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apalagi
melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.
Pada suatu malam, terjadilah apa yang
dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang pulas dalam
pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah! Dia
menengok dan memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan gemilang
mengeluarkan cahaya cemerlang seperti biasa wajah seorang wanita yang
mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh kepuasan dan kebahagiaan.
Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati
sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat
mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia telah meloncat keluar dari kamar
membawa pedangnya.
Tepat seperti apa yang diduga dan
dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima orang
telah menghadapinya!
"Jai-hwa-sian, iblis keparat, serahkan
nyawamu kepada kami!" seorang di antara mereka membentak. Tanpa menanti
jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata mereka.
Suma Hoat tidak ingin mengagetkan kekasihnya,
juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya, maka dia hanya mengelak
lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu melakukan pengejaran. Maka
dia tidak berlari terlalu cepat sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya
keluar dari kota Lok-yang.
Akan tetapi yang mengejar Suma Hoat hanya
empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio, telah melayang turun dan
memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget mendengar suara
berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di situ, dia kaget dan heran sekali.
Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,
"Harap engkau tidak kaget dan lebih baik
kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa engkau tentu
mempunyai seorang gadis."
Tentu saja Kwa Liok bingung dan heran. Dia
menangguk, menelan ludah dan berkata, "Memang, Twa-suhu, kami mempunyai
seorang anak perempuan, akan tetapi.... mengapa....?"
"Lekas, lihat ke dalam kamarnya!"
Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalau-kalau
Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.
Biarpun ragu-ragu dan heran, Kwan Liok
menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang menjadi pucat
melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya. Tanpa
bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar ditekuk perlahan oleh Kwa
Liok yang memanggil-manggil nama anaknya.
Tak lama kemudian terdengar jawaban,
"Ehmmm....? Siapa....? Eihh, ke mana perginya....?"
"Bi Kiok, engkau tidak apa-apa?"
Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang
bingung.
Daun pintu terbuka dan Bi Kiok terkejut,
cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika melihat seorang
hwesio bersama ayah bundanya. "Eh, ada apakah, Ayah?"
"Omitohud....!" Hwesio itu menarik
napas panjang dan merasa lega. "Untung bahwa Tuhan masih melindungi
puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian."
Kwa Liok, isterinya, dan Bi Kiok terkejut.
"Jai-hwa-sian....?" Tentu saja mereka telah mendengar nama penjahat
yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh pertanyaan.
"Ya, benar, baru saja kami berlima
menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang kami
cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar teman-teman
pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya sekarang
juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian belum
berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan akan terus melakukan
pengejaran."
"Tapi.... tapi...." Kwa Liok tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.
"Biarpun teman-teman pinceng tadi
mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau membunuhnya. Dia amat
lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya
pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah
menjadi mayat."
"Lo-suhu, siapakah yang kaumaksudkan
dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama sekali bukan Jai-hwa-sian,
melainkan.... eh, suamiku.... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian...." Bi Kiok
yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan hatinya dan
berkata dengan tegas. Biarpun dia belum menikah secara resmi dengan kekasihnya,
namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri, maka kini mendengar
suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah terkenal di
mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.
"Omitohud.... suamimu....? Apa artinya
ini....? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma Hoat....
haittt!" Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk
menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil
bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan
berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.
"Jai-hwa-sian....!" Hwesio itu
membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang
dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.
"Hemmm, agaknya engkau murid
Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!"
Suma Hoat menggerakkan pedangnya menerjang ke
depan. Hwesio itu cepat menangkis dan terjadilah pertandingan di dalam rumah
keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan Suma Hoat. Baru dua puluh
jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan toyanya terlepas. Hwesio itu
meloncat keluar dari rumah, melarikan diri.
"Engkau hendak lari ke mana?" Suma
Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini memeluk dan
menangis.
"Engkau.... engkau.... benarkah engkau
Jai-hwa-sian....?"
Suma Hoat merangkul pundak kekasihnya,
mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas.
"Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku
calon ibu anakku.... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku mencintamu,
bukan?"
Bi Kiok mengangkat muka memandang wajah orang
yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa muka Suma Hoat mendekat,
lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya. Sambil menangis dia hanya
mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung sekali. Pria yang
dipeluknya ini adalah laki-laki yang dicintanya, benarkah orang yang
dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang
telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji?
Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!
"Bi Kiok, hwesio tadi benar. Aku memang
Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan bekas, karena setelah
bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu. Dan hwesio tadi
benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari sini, malam ini
juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang kang-ouw yang
memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah menjadi kekasihku, menjadi
isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan terbawa-bawa, akan
dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan menyerbu rumah ini. Bi
Kiok, pergilah engkau."
"Suma-koko.... aku mau mati di
sampingmu...." Bi Kiok menangis.
"Suma-taihiap, bagaimanakah
ini....?" Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.
"Apa yang kalian dengar dari hwesio tadi
benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini. Saudara Kwa,
bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong di lembah
sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw bernama
Im-yang Seng-cu, kautanya-tanya di sana tentu akan bertemu. Mintalah
perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, tentu dia akan mellndungi Bi Kiok kalau
membawa surat ini, sampai Bi Kiok melahirkan dan sebelum itu, aku akan berusaha
untuk menyusul ke sana...."
Suma Hoat menyerahkan sepucuk surat dan sebuah
pundi-pundi. "Ini adalah uang emas untuk bekal di perjalanan. Nah,
berangkatlah...."
Kwa Liok hanya mengangguk-angguk tak mampu
menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu lari ke dalam kamar untuk
berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat mereka bawa melarikan diri.
Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk
kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang lagi mengajaknya, dia
masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan setengah
diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta.
Suma Hoat berdiri dengan jantung berdebar,
ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar olehnya, makin lama
makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi, jantungnya seperti
ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan
cinta berahi, melainkan cinta seorang suami terhadap isterinya, cinta seorang
pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya!
Tiba-tiba ia sadar dari lamunan ketika
mendengar gerakan orang. Dia meloncat keluar rumah dan di depan rumah itu telah
terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek, lalu berkata,
"Apa kalian sudah bosan hidup? Mau apa
kalian mencari Jai-hwa-sian?"
"Jai-hwa-sian iblis jahat. Kalau belum
membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw akan selalu
mencarimu!"
Suma Hoat tertawa melengking dan meloncat ke
depan, disambut oleh belasan batang senjata yang mengeroyoknya. Terdengar suara
senjata beradu keras sekali, Suma Hoat mengamuk dan setelah merobohkan lima
orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para pengeroyoknya adalah
orang-orang yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam hampir berganti pagi.
Dengan cepat dia melarikan diri ke luar dari kota Lok-yang, menuju ke utara
untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi Kiok dan ayah bundanya.
Setelah dapat membebaskan diri dari para
pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke kota Han-tiong
menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan memutar
agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau ada yang
melihat dan membayanginya.
Karena perjalanan yang memutar ini, setelah
tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san, memasuki kota
Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa
Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah
bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan rombongan tiga orang
itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang
tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.
"Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa yang
membawamu ke sini?" Im-yang Seng-cu cepat menyambut sahabatnya itu dan
menegur gembira.
Dengan singkat Suma Hoat lalu menceritakan
tentang pilihan hatinya yang baru tentang Bi Kiok dan orang tuanya yang disuruh
melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.
"Sudah lebih dari tiga bulan mereka
pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari mereka di
sini tidak ada, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong. Jangan-jangan
ada halangan di jalan...." Suma Hoat kelihatan gelisah sekali memikirkan
kekasihnya.
Im-yang Seng-cu memandang heran.
"Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku bahwa agaknya
engkau amat memperhatikan wanita yang kaucari ini?"
"Memperhatikan? Im-yang Seng-cu, aku
mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!"
"Kau? Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian,
harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak pernah mengenal
cinta, apalagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!"
"Sungguh aku tidak main-main. Aku telah
menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satu-satunya yang sampai
kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku, dan.... dan
dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan dia....!
Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku harus pergi sekarang juga!"
Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan penuh kekhawatiran.
"Eh-eh, ke mana, sahabatku?"
"Aku harus mencarinya. Dia dan ayah
bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku akan menyelusuri jalan itu
sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!" Jai-hwa-sian meninggalkan
Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan
menarik napas panjang.
"Aihhh.... sungguh kasihan. Makin tua
makin terlibat urusan hati sendiri!" Im-yang Seng-cu yang biasanya memang
suka merantau, menjadi tidak kerasan di pondoknya dan beberapa hari kemudian,
Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena
dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti
biasa.
Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama
dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan
masih mencari-carinya di sekitar tempat itu, maka begitu dia memasuki daerah
ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang
dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang
telah dicalonkan menjadi ketua! Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian
Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti
Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya
sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!
Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa
sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang menghadangnya
terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat
belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, kegelisahan hati dan kelakuannya
karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri
sendiri, bahkan langsung dia bertanya,
"Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di dunia kang-ouw.
Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita
yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?"
"Omitohud....!" Ceng San Hwesio
menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. "Engkau sendiri telah
melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang
menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu
itu?"
"Tidak perlu berpura-pura atau
menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam
kalian ini! Sekarang, isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan
dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni
kalian!" Suma Hoat mencabut pedangnya.
"Siancai.... orang ini benar-benar tak
tahu diri!" Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah dan seruannya ini
agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju
mengeroyok Suma Hoat.
Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para
pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok yang lalu.
Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin
orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki
kepandaian yang hebat pula. Namun, dia sudah marah sekali karena menduga keras
bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia mengamuk seperti
seekor naga terluka!
Namun, jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat
kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai terlalu tinggi, maka
setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biarpun dia berhasil
merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun
menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya! Dengan luka-luka berat,
Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para pengeroyoknya. Akan
tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para
pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil
lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat. Maklum akan kelihaian
Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan
kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke
tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.
Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat
parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri, juga terlalu
banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di
hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya,
telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di
dalam hutan dalam keadaan pingsan!
Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka
matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di dekatnya dan luka-luka di
tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.
"Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu
beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah," Im-yang Seng-cu
berkata.
"Musuh-musuhku.... terlalu lihai....
terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...."
Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas
panjang. "Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan yang
sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu saja
mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua,
namanya Ceng San Hwesio. Adapun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu
Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!"
Suma Hoat terkejut. "Aahhh.... pantas
kalau begitu.... aku tidak penasaran terluka parah.... akan tetapi, tidak
mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...." Ia berhenti
sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. "Tentu dia
celaka di tangan mereka yang memusuhiku."
"Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah
membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang mengganggu
kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan
diri darimu, entah bersembunyi di mana."
"Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak
mungkin dia lari dariku!" Suma Hoat berkata penuh semangat dan
kepercayaan.
"Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak
akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang akan senang
mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu mereka
tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan
menyembunyikannya."
"Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan
kurampas Bi Kiok!"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang.
"Itulah yang menyedihkan hatiku,
sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini,
engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja
berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!"
"Ahhhh.... akan tetapi dia adalah wanita
yang kucinta, dan dia sudah mengandung.... anakku...." Suma Hoat
terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan
penasaran.
Melihat ini, Im-yang Seng-cu merasa kasihan.
Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari perbuatannya sendiri,
buah-buah yang pahit getir.
"Biarlah aku akan membantumu mencari Bi
Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah darr
berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu."
"Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan
bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan dan
mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan
budimu."
"Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan
membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak
mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya
aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?"
Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan
sahabatnya. "Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar
kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah,
engkau tahu bukan di mana dia? Aku mendengar dia kini berada di
Tai-hang-san...."
Im-yang Seng-cu mengangguk. "Baiklah, aku
pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di puncak
In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san." Im-yang Seng-cu lalu memondong
tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.
Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri
Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang diperkirakan Im-yang Seng-cu,
tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu memang tidak
memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong.
Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa
Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah
seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang perkosa dan tukang
bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi
siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan
bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari kebinasaan!
Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi
korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andaikata dia membiarkan anaknya
menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula
kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang
sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran inilah, biarpun Bi Kiok
mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak
dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan,
menuju ke kota Nan-king!
Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam
usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh sekali, sampai memakan
waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama
keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.
Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota
kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia mengatakan bahwa
puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat.
Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie
Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau
silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra) dan sama sekali buta
silat!
Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan
Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Adapun Suma Hoat sendiri, yang
masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena persekutuan dengan
pihak Yucen itu, melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan
muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak
In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena
ketika pergi, mereka tidak lupa membawa banyak harta benda.
Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih
mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat menghadap.
"Aku tidak mempunyai anak bernama Suma
Hoat!" bentaknya. "Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang
gucumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh
sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!"
Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang
masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap berlutut dan tidak
berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah
mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhunya, bahkan dahulu di
waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap
baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang besar. Akan tetapi dia pun maklum
siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan,
seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya
cita-citanya mengejar kemuliaan.
"Suma-locianpwe," katanya dengan
berani. "Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita luka
parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega
membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andaikata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan
terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri."
"Tutup mulut! Sudah kukatakan bahwa aku
tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat! Im-yang Seng-cu, aku dahulu
menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau seorang anak baik yang tidak
pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang engkau hendak menentangku,
terpaksa aku akan menggunakan kekerasan mengusirmu dari sini!"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking
nyaring disusul suara seorang wanita, "Bagus sekali, dasar manusia jahat
seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!"
"Maya....!" Tiba-tiba Suma Hoat yang
berlutut dan berusaha melompat akan tetapi roboh kembali karena tubuhnya masih
lemah dan pukulan batin mendengar ucapan ayahnya tadi benar-benar membuat hatinya
makin remuk. Im-yang Seng-cu cepat memeluknya dan dengan mata terbelalak
melihat betapa ada bayangan didahului sinar berkelebat menyambar ke arah tubuh
Suma Kiat!
Kakek yang masih lihai sekali ini sudah
mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Suma
Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan itu berkelebat keluar.
"Keparat, hendak lari ke mana?"
Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan tetapi baru sampai di
pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat keluar meninggalkan
suara melengking dan mengerikan!
Bu Ci Goat yang lihai itu telah berhasil
bangun lebih dulu daripada Siangkoan Lee yang merangkak dan terengah-engah
karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat dadanya sesak. Bu Ci Goat
cepat menghampiri suaminya dan terkejut melihat goresan pedang melukai leher
dan dada suaminya. Suma Kiat dipapah bangun, duduk di kursinya dan melihat Suma
Hoat, bangkit lagi kemarahannya, seolah-olah anaknyalah yang mendatangkan
malapetaka itu. Telunjuknya menuding, "Pergi....! Pergi kalian dari
sini....!"
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, mengempit
tubuh temannya dan membawanya keluar. Anak murid In-kok-san yang berbaris di
depan, hanya memandang bengong. Mereka tidak berani mencampuri dan tadi ketika
ada bayangan berkelebat cepat, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.
Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee cepat merawat
Suma Kiat. Akan tetapi, biarpun serangan pedang itu mendatangkan luka yang
tidak berapa berat, serangan batin karena munculnya Suma Hoat lebih hebat dan
membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak mampu meninggalkan pembaringannya.
Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat pergi dan
berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan itu. Suma Hoat mengeluh minta
diturunkan, lalu berkata,
"Im-yang Seng-cu, apakah engkau melihat
dia tadi?"
Im-yang Seng-cu menggeleng kepalanya.
"Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku hanya tahu bahwa dia seorang
wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya luar biasa sehingga aku
tidak dapat mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti dan musuh Suma
Kiat."
"Dia adalah Maya.... penghuni Pulau
Es...."
Im-yang Seng-cu terkejut bukan main.
"Akan tetapi.... mungkin hanya rohnya
saja.... dia.... dia sudah mati...."
Mendengar ini, Im-yang Seng-cu makin bingung
dan meraba dahi sahabatnya.
"Engkau panas lagi. Harap jangan pikirkan
apa-apa dan beristirahatiah."
"Im-yang Seng-cu, engkau satu-satunya
sahabatku. Kaupenuhilah permintaanku. Kautinggalkan aku di sini dan pergilah
kaucari Bi Kiok."
"Akan tetapi engkau perlu
perawatan," Im-yang Seng-cu membantah.
Tiba-tiba terdengar jawaban seorang wanita,
"Biarlah aku yang akan merawatnya,
Im-yang Seng-cu."
Im-yang Seng-cu menengok dan melihat bahwa Bu
Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat, telah berdiri di situ. Biarpun
usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita itu masih tampak cantik dan
pakaiannya mewah.
"Jangan kau kawatir, biarpun ayahnya
membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi permintaannya, aku yang akan
merawatnya di sini."
Im-yang Seng-cu masih ragu-ragu, menoleh
kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan berkata lemah,
"Pergilah dan cari dia, Im-yang Seng-cu.
Ibu tiriku akan merawatku di sini."
Legalah hati Im-yang Seng-cu dan dia segera
pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci Goat. Setelah Im-yang Seng-cu
pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat, memeriksa keadaannya.
"Hemm, kulihat engkau telah diobati
dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma Hoat, siapakah adanya
bayangan yang menyerang ayahmu tadi?"
Suma Hoat menggelengkan kepalanya. "Aku
tidak tahu...."
"Akan tetapi, engkau tadi menyebut nama
Maya...."
"Mungkin dia, aku tidak yakin. Dia sudah
mati ditelan badai.... andaikata benar dia, agaknya dia kaget dan takut dikenal
olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi Ayah...."
"Dia lihai bukan main!"
"Dia penghuni Pulau Es, tentu saja amat
sakti...."
Mengingat akan cinta kasihnya dahulu, Bu Ci
Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan menyuruh anak buahnya membangun sebuah
pondok. Semua itu dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh Suma Kiat
yang juga jatuh sakit.
***
Setelah Suma Kiat jatuh sakit, maka tampaklah
betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang pandai memimpin. Semua urusan
berada di tangannya dan semua anak buah In-kok-san yang telah dikumpulkan untuk
menyenangkan hati gurunya, amat tunduk dan setia kepadanya. Juga ilmu
kepandaian Siangkoan Lee menjadi hebat. Boleh dibilang seluruh ilmu gerakan
telah dia kuasai, dan biarpun dibandingkan dengan Bu Ci Goat dia masih kalah
setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan Lee telah menjadi seorang yang sukar
dicari lawannya.
Munculnya Suma Hoat menimbulkan gairah cinta
lama di hati Bu Ci Goat. Biarpun wanita ini secara diam-diam telah memuaskan
nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang menjadi anak buah In-kok-san, namun
begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali cintanya, maka dia lalu melakukan
pengejaran dan berhasil menemukan Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, bahkan dia
lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri yang pernah menjadi kekasihnya
itu.
Akan tetapi, dia segera mengalami kekecewaan.
Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma Hoat telah menjadi seorang yang
sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya, bahkan dengan suara dingin bekas
Jai-hwa-sian ini berkata,
"Bu Ci Goat, harap kau jangan menimbulkan
lagi persoalan hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsumu. Hal pertama kali yang
merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat perbuatanmu. Ketahuilah, pada saat
ini, di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang kucinta, dan aku telah
bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia! Aku tidak dapat
melayani hasratmu, dan engkau hendak merawatku atau tidak setelah penolakanku
ini terserah kepadamu!"
Tentu saja Bu Ci Goat merasa malu sekali dan
mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih sayangnya kepada Suma Hoat dia masih
menyuruh beberapa orang anak buahnya merawat dan memenuhi kebutuhan anak
tirinya itu. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan nafsu berahinya yang selalu
mendesak, mulailah dia menggoda Siangkoan Lee yang biarpun rupanya buruk
seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan laki-laki yang tidak pernah bermain
gila dengan wanita sehingga keadaannya itu membangkitkan berahi Bu Ci Goat yang
merasa penasaran apakah dia tidak akan dapat menjatuhkan hati pria yang berhati
teguh ini!
Dan dia berhasil. Akan tetapi, karena
memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan sakit, dua orang ini kurang
hati-hati dan mereka berani mengadakan pectemuan di dalam kamar Bu Ci Goat yang
hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada suatu hari, masih siang,
kedua orang yang mabuk nafsu itu sedang berada di dalam kamar, tidak tahu sama
sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara mereka, turun dari pembaringan dan
menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.
"Ci Goat....!"
Suma Kiat mendorong pintu, terbuka, dan
memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke atas tempat tidur Bu Ci Goat
di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang paling dicinta dan diperceya,
terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya, kehabisan akal! Tiba-tiba Suma
Kiat mengeluh, menekan dada kiri dengan tangan kanan, menyemburkan darah dari
mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan robohlah kakek ini ke atas lantai!
Serangan batin yang hebat ini tidak tertahan
oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh pingsan dan tidak sadar kembali.
Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan dilakukan upacara sembahyang, Bu Ci
Goat dan Siangkoan Lee yang berkabung, menangis sedih di depan peti mati.
Suma Hoat yang masih lemah, datang juga untuk
bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya meninggal dunia. Setelah
bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat, berkata perlahan,
"Apa gunanya setelah mati
ditangisi?"
Ucapan itu ditujukan kepada selir ayahnya yang
dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu, yang selalu menyeleweng,
seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang sesungguhnya tidak patut
mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa disengaja, teguran Suma Hoat
itu membuat Siangkoan Lee menjadi merah sekali karena dia merasa disindir.
Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci Goat, dia merupakan seorang
murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa berhutang budi kepada
gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri dan berkata,
"Mengapa Suheng berkata demikian? Budi
Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biarpun Suhu bersikap
marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya, bagaimana berkata
demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak menunjukkan kekuasaan di
sini menuntut warisan dengan kekeraaan?"
Menggigil tubuh Suma Hoat saking marahnya
mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi kemarahan membuat
matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu. "Bedebah, kau sombong sekali,
Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang telah menerima
budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang ajar kepadaku? Apa kaukira aku
takut kepadamu?"
Melihat ini, Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri,
"Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali ribut-ribut di depan
peti mati!"
Suma Hoat menarik napas panjang menyabarkan
diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu tirinya itu. "Kalian
dengarlah baik-baik. Biarpun aku putera Ayah, namun Ayah sudah tidak mengakui
aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku tidak akan
menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi tinggal di
In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun
hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku." Setelah berkata
demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi datang
sampai peti ayahnya dikubur.
Hatinya menjadi makin risau dan tertekan. Dia
merasa betapa hidpnya penuh dengan kekecewaan dan kesengsaraan. Baru terbuka
mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai seorang yang amat jahat. Tiap
kali dia teringat akan semua perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali
dan berjanji bahwa kalau sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia
akan menebus semua kesalahannya, akan membahagiakan isterinya, anaknya, semua
orang!
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Im-yang
Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara berat mengatakan bahwa dia
tidak berhasil menemukan Bi Kiok.
"Hanya ada dua kemungkinan. Pertama,
mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal sehingga tidak
ada yang tahu. Ke dua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri darimu dengan
mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini."
Suma Hoat mengeluh dan semenjak saat itu,
kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha menghibur dan merawatnya,
namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan hidup, kehilangan
harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian.
Akhirnya, hanya berselisih setengah tahun dari
kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu
meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu, satu-satunya orang yang
mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya!
Dengan sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa
pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di lereng bukit, membuatkan
batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf : MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA
HOAT. Kemudian dia membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan
lereng bukit sambil bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang
berwatak aneh sekali, berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang
sikapnya merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga seringkali dia
dianggap berotak miring.
Apakah benar bayangan yang menyerang Suma Kiat
dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh Suma Hoat? Tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya maupun Khu Siauw
Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada orang yang
berterTru dengan seorang di antara mereka.
Juga Kam Han Ki lenyap dan sebagai gantinya,
puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang sakti dan aneh, seorang
laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah bersepatu,
berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia disebut
Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan namanya. Namun dia
memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Keanehannya adalah serupa dengan
keanehan Bu Kek Siansu si manusi dewa yang menjadi dongeng di dunia kang-ouw.
Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih bulu!
Karena itu, banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki kebagian
ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada siapa saja yang
memintanya.
Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya
Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia dapat melupakan
kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan hal itu
kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia. Yang jelas, duka
sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal diri
sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil
melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting mengenal
sumber dari segala duka di dalam diri sendiri. Kalau sudah mengenal diri
sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka,
bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran
yang mengingat masa lampau. Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap
pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak akan
menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka,
menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan
mengenal diri sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh
dari jangkauan duka.
Koai-lojin yang kelihatan sebagai seorang
kakek sederhana itu, paling suka berkelana di tempat-tempat sunyi, bergembira
dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat solah-tingkah manusia. Akan
tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam Istana Pulau Es yang selalu kosong
itu, berdiri bengong di depan tiga arca buatannya sendiri, dan setelah
membersijkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan
lagi Pulau Es. Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoinya,
bahkan kemudian sama sekali tidak mencarinya. Namun, sebagai penebus rasa sesal
dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia meninggalkan surat-surat
pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh surat-surat
itu di dalam Istana Pulau Es.
Puluhan tahun kemudian, Koai-lojin datang ke
Pulau Es, membawa seekor biruang salju yang berbulu putih, meninggalkan biruang
yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni dan penjaga! Kemudian,
sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul
di dunia ramai.
Semua kedukaan yang menimpa diri tokoh-tokoh
dalam cerita ini adalah gara-gara cinta, tentu demikian pendapat kita. Akan
tetapi, benarkah demikian? CINTA tidak akan mendatangkan sengsara, karena CINTA
itu adalah KEBENARAN, CINTA adalah KENYATAAN, CINTA adalah TUHAN! Di dalam
CINTA, tidak ada si pemberi dan si penerima, tidak ada si pencinta dan yang
dicinta. Berbahagialah manusia yang mengenal dan memiliki CINTA ini di dalam
dirinya, karena CINTA ini sesungguhnya juga BAHAGIA!
Cinta yang dikenal umum bukanlah cinta sejati.
Kalau Suma Hoat menyatakan "Aku cinta Bi Kiok!" maka sesungguhnya
bukan Bi Kiok yang dicintanya, melainkan dirinya sendiri! Segala macam derita,
kekecewaan, kebencian, cemburu, kemunafikan, iri hati dan dengki, semua ini
timbul dari apa yang disebut cinta itu, yaitu cinta kepada si aku, bukan CINTA
yang sejati. Cinta kepada si aku sajalah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
yang merugikan orang lain. Aku dirugikan, anakku diganggu, hartaku dicuri,
keluargaku dihina, bangsaku, negeriku, agamaku tidak dihargai, maka marahlah
AKU, bencilah AKU kepadanya!
Karena itu, selama AKU, ENGKAU, dan DIA
menjadi pendorong semua perbuatan, maka timbullah pertentangan, dan selama ada
pertentangan, timbullah duka sengsara. Sebaliknya, kalau semua perbuatan itu
berdasarkan CINTA tanpa perpecahan aku-engkau-dia, kiranya sebutan Sorga bukan
hanya terdapat dalam dongeng belaka, karena bumi kita ini menjadi Sorga dan
kita adalah mahluk-mahluk manusia yang sebenarnya, bukan hanya hamba-hamba
nafsu.
Sampai di sini, pengarang mohon diri dan
mudah-mudahan dapat berjumpa kembali dalam karangan mendatang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment