TRT

R2

SERIAL BU KEK SIANSU BAGIAN 5 ISTANA PULAU ES

ISTANA PULAU ES

 

Cipt: Kho Ping Ho

Serial Bu Kek Sian Su (5)

 

Episode 1

 

 

Kebiasaan lama (tradisi) yang dilanggar akan menimbulkan kutuk dan malapetaka bagi si pelanggar, demikian pendapat kuno. Padahal hakekatnya, semua itu tergantung daripada kepercayaan. Bagi yang percaya mungkin saja pelanggaran akan dihubungkan dengan sebab terjadinya suatu halangan. Sebaliknya bagi yang tidak percaya, juga tidak apa-apa dan andaikata terjadi suatu halangan, hal ini dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran tradisi.

 

 Betapapun juga, apa yang terjadi di Khitan, yang menimpa Kerajaan Khitan oleh semua rakyatnya dianggap sebagai kutuk para dewata oleh karena dosa besar yang telah dilakukan oleh Sang Ratu mereka! Kerajaan Khitan mengalami kemerosotan hebat sekali. Musim dingin amat lama dan hebat menimpa kerajaan ini, hasil buruan amat kurang, hasil cocok tanam buruk, penyakit menular, wabah yang aneh-aneh menimpa rakyat Khitan dan semua ini diperburuk dengan bentrokan-bentrokan, yang timbul di antara Para bangsawan sendiri yang memperebutkan kedudukan, di antara rakyat sendiri yang keadaannya amat miskin, dan perselisihan dengan suku bangsa lain karena memperebutkan air dgn daerah subur!

 

 Semua ini adalah kutukan dewa! Demikian anggapan kaum tua di Khitan. Terkutuk oleh dewa karena pelanggaran hebat yang dilakukan oleh Sang Ratu Yalina, yaitu ibunda Raja Talibu yang sekarang menjadi Raja Khitan. Di dalam cerita MUTIARA HITAM telah diceritakan betapa Ratu Yalina itu diam-diam menjadi isteri pendekar Sakti Suling Emas, bahkan secara rahasia pula telah melahirkan dua orang bayi kembar, laki-laki dan perempuan. Menurut kebiasaan lama bangsa itu, bayi kembar laki perempuan setelah dewasa harus dikawinkan, akan tetapi Ratu Yalina kembali melanggar, tidak menjodohkan kedua anaknya. Yang laki-laki, yaitu Raja Talibu sekarang ini, dijodohkan dengan Puteri Mimi puteri Panglima Khitan. Sedangkan anaknya yang perempuan, yaitu Kam Kwi Lan atau terkenal di dunia kang-ouw sebagal pendekar sakti Mutiara Hitam, menikah dengan Tang Hauw Lam murid Bu-tek Lo-jin dan kini suami isteri itu malah meninggalkan Khitan dan merantau entah ke mana.

 

 Nah, semenjak Ratu Yalina bersama suaminya Si Pendekar Suling Emas, pergi pula meninggalkan Khitan atas kehendak Suling Emas untuk bertapa di puncak puncak Pegunungan Go-bi maka mulailah tampak hari-hari buruk menimpa Kerajaan Khitan! Hal ini bukan sekali-kali karena rajanya, yaitu Raja Talibu, kurang memperhatikan kerajaannya, atau berlaku lalim terhadap rakyatnya. Sama sekali tidak! Raja Talibu agaknya mewarisi watak ayahnya, Si Pendekar Sakti Suling Emas, hatinya tidak keras seperti watak Ibunya. Dia tenang dan sabar mencinta rakyatnya dan memerintah dengan keadilan. Akan tetapi sepandai-pandainya seorang raja, dia hanya seorang manusia juga dan apakah kekuasaan seorang manusia yang dapat dilakukan oleh seorang Raja Talibu terhadap bencana-bencana alam berupa musim dingin panjang disusul musim kering yang menghabiskan air serta tanah yang tidak berhasil menjadi subur? Apakah yang dapat ia lakukan terhadap ketamakan dan nafsu para bangsawan yang saling bermusuhan? Dia hanya dapat menggunakan kekuasaannya untuk meredakan keadaan, untuk mengadili segala perkara dengan bijaksana, namun tidak berdaya menahan lajunya kemunduran kerajaannya!

 

 Raja Talibu dengan isterinya, Puteri Mimi yang cantik jelita, hanya mempunyai seorang anak perempuan mungil dan cantik jelita seperti ibunya, lincah nakal dan penuh keberanian seperti watak neneknya. Anak ini diberi nama Puteri Maya dan pada waktu itu telah berusia sepuluh tahun. Karena ayah bundanya adalah keturunan pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, biarpun dia seorang puteri raja, semenjak kecil Maya suka sekali dengan ilmu silat. Raja Talibu sebagai putera pendekar Suling Emas dan Ratu Yalina yang juga memiliki ilmu silat luar biasa, tentu saja tidak melarang puterinya belajar ilmu silat. Sebaliknya ia sendiri malah menggembleng puterinya itu dengan ilmu silat tinggi sehingga Puteri Maya menjadi seorang anak perempuan yang gagah berani dan suka pergi berburu sejak kecil, malah dia mempunyai pasukan pengawal sendiri yang menemaninya pergi berburu binatang buas. Biarpun usianya baru sepuluh tahun. Puteri Maya berani menghadapi seekor biruang seorang diri saja, merobohkan binatang itu dengan anak panah atau dengan sebatang tombak panjang!

 

 Pada suatu pagi yang cerah, Puteri Maya sudah tampak berkeliaran di dalam hutan di sebelah barat kota raja Khitan. Seperti biasa, kalau dia sedang berburu binatang di dalam hutan, dia berpakaian pria yang ringkas sehingga memudahkannya untuk bergerak di dalam hutan-hutan liar itu, apalagi jika bertemu binatang dan melakukan pengejaran atau pertempuran dengan binatang buas. Dan seperti biasa pula, pada pagi hari itu juga, Maya jauh meninggalkan para pengawalnya, hal yang selalu membuat para pengawal menjadi khawatir dan diam-diam merasa jengkel. Namun tidak pernah mereka mengeluh karena sesungguhnya para pengawal, seperti hampir semua orang di Khitan, amat sayang kepada puteri yang cantik jelita ini. Kesayangan semua orang inilah yang membuat Maya memiliki watak manja dan selalu ingin dipenuhi permintaannya!

 

 Selagi ia menyelinap di antara pohon-pohon mengintai dan mencari binatang buruan, tiba-tiba ia dikejutkan derap kaki kuda. Hampir saja ia membentak marah karena disangkanya itu derap kaki kuda para pengawalnya. Ia marah karena suara berisik tentu saja mengganggunya, membikin takut binatang-binatang hutan yang tentu akan lari dan bersembunyi. Akan tetapi kemarahannya berubah menjadi keheranan dan ia cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat bahwa yang datang

 

 bukanlah pasukan pengawalnya, melainkan pasukan pilihan ayahnya yang mengangkut perlengkapan perang!

 

 Setelah pasukan itu lewat dan menghilang ke jurusan barat, Maya masih berdiri di tempat persembunyiannya sambil termenung heran memikirkan hal itu. Ayahnya telah beberapa hari pergi meninggalkan istana dan menurut ibunya, ayahnya sedang menyelidiki keadaan di perbatasan barat karena ada kabar bahwa bangsa Yucen sedang bergerak di sana, ada tanda-tanda bahwa bangsa itu mempunyai niat tidak baik terhadap Kerajaan Khitan dan daerahnya. Akan tetapi, mengapa ayahnya belum kembali dan sekarang malah pasukan ayahnya mengirim perbekalan perang? Apakah akan terjadi perang dengan bangsa Yucen? Ia harus pulang dan bertanya kepada ibunya. Hilanglah nafsunya untuk berburu lagi dan dia lalu berlari kembali menjumpai para pengawalnya memerintahkan mereka untuk pulang ke kota raja.

 

 Setelah tiba di istana Maya bergegas lari memasuki kamar ibunya dan betapa kagetnya ketika ia menyaksikan ibunya sedang duduk termenung dengan muka muram dan mata merah bekas menangis. Juga tadi ia melihat bahwa para tentara telah bersiap-siap melakukan penjagaan di kota raja. Apakah yang terjadi?

 

 Maya menubruk ibunya. "Ibunda....! Apakah yang terjadi? Mengapa pasukan Ayah membawa perlengkapan perang? Mengapa pasukan-pasukan menjaga kota raja? Mengapa Ibu berduka dan menangis?"

 

 Puteri Mimi memeluk dan mencium muka anaknya, kemudian berkata perlahan, "Kutukan dewa....! Kutukan dewa menimpa kita....! Ah, aku pun ikut berdosa dan engkau.... Anakku, semoga para dewa melindungimu dan tidak menimpakan kemarahannya kepadamu. Engkau tidak berdosa....!" Puteri itu tak dapat menahan keluarnya air mata.

 

 "Eh, Ibu! Ada apakah?" Maya yang berhati keras dan tabah itu mendesak ibunya, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan karena ia ingin tahu siapa yang menyebabkan ibunya berduka. Biar dewa sekalipun akan dilawannya kalau dewa membuat ibunya berduka!

 

 Puteri Mimi yang cantik jelita itu menghela napas. Wajahnya yang berkulit halus dan biasanya berwarna kemerahan, kini pucat dan alisnya berkerut tanda bahwa hatinya diliputi kegelisahan.

 

 "Seharusnya Ayahmu menikah dengan Mutiara Hitam. Hal ini sudah dikehendaki para dewa semenjak mereka berdua belum lahir. Akan tetapi, ahhh.... nenekmu menghendaki lain. Ayahmu dikawinkan dengan orang lain. Tentu saja dewa menjadi marah dan sekaranglah tiba kutukannya menimpa keluarga kita." Kembali puteri ini menangis.

 

 "Ibu, kutukan apakah itu? Apa yang terjadi?"

 

 "Semenjak nenekmu, Ratu Yalina, meninggalkan Khitan bersama kakekmu, negara kita selalu dirundung kemalangan. Bencana alam dan perselisihan antara bangsawan mengakibatkan penderitaan, namun semua itu masih belum seberapa, masih dapat diatasi oleh kebijaksanaan ayahmu. Akan tetapi sekarang.... ahh, beberapa orang bangsawan memberontak dan bersekutu dengan suku bangsa Yucen, ada yang menyeberang kepada suku bangsa Mongol dan Mancu, ada pula yang bersekutu dengan Kerajaan Sung dan kini mereka itu mengepung kita. Ayahmu sendiri berusaha menginsyafkan mereka dan mengajak damai bangsa Yucen, namun agaknya sia-sia belaka maka jalan satu-satunya hanyalah mempertahankan Negara Khitan."

 

 Muka Maya menjadi merah, kedua tangannya dikepalkan. "Mengapa berduka, Ibu? Kalau musuh datang kita lawan!"

 

 Melihat sikap puterinya, di dalam tangisnya Puteri Mimi tersenyum dan merangkulnya. "Engkau mewarisi sifat-sifat nenek dan kakekmu.... akan tetapi.... musuh terlalu banyak dan terlalu kuat. Betapapun juga, benar katamu, Anakku, kita akan melawan!"

 

 Hati Ratu ini dibesarkan oleh sikap puterinya. Ia tidak tahu bahwa pada waktu itu, bangsa Mongol sudah menjadi bangsa yang amat kuat dan bangsa ini mulai memperkembangkan sayapnya bagaikan gelombang besar datang menelan segala sesuatu yang merintang di depannya!

 

 Benar seperti yang dikatakan Puteri Mimi kepada anaknya. Raja Khitan memang sedang berusaha keras untuk menghindarkan perang. Pelbagai usaha dilakukannya, akan tetapi para bangsawan Khitan yang memberontak itu tidak mau mendengar, dan bangsa Yucen yang bergerak dari barat itu pun tidak mau diajak damai. Melihat keadaan yang amat mendesak, bahwa perang takkan dapat dihindarkan. Raja Khitan mengadakan rapat pertemuan dengan para panglima.

 

 "Jalan sudah buntu! Kita adalah bangsa yang besar dan biarpun selama ini kita mengalami nasib malang, namun semangat kita tak pernah padam! Kalau memang mereka menghendaki perang, apa boleh buat, kita terpaksa mengadakan perlawanan. Hanya aku menyesal sekali akan kebodohan bangsa Yucen, terutama para. bangsawan Khitan yang memberontak. Tidakkah mereka melihat datangnya bahaya hebat yang akan melanda kita semua? Bangsa Mongol jelas sekali memperlihatkan sikap hendak merajai seluruh daratan! Biarlah, kita akan mengadakan perlawanan!" Raja ini lalu mengutus pengawal untuk mendatangkan bala bantuan dari kota raja, membawa perlengkapan perang dan diam-diam ia pun menulis sepucuk surat kepada isterinya.

 

 "Bahaya besar mengancam kemusnahan kerajaan kita, Isteriku. Akan tetapi, kalau memang para dewa menghendaki demikian, biarlah aku musnah bersama kerajaanku. Aku akan mempertahankan kerajaan yang diberikan oleh leluhur kepadaku itu dengan jiwa ragaku! Akan tetapi engkau Isteriku, dan puteri kita Maya, jangan ikut menjadi korban. Bawalah puteri kita itu ke Pegunungan Gobi, carilah ayah bundaku yang bertapa disana, minta perlindungan!" Demikian antara lain isi surat Raja ini kepada isterinya. Dan surat inilah yang membuat Puteri Mimi menangis, penuh cinta kasih dan keharuan kepada suaminya yang begitu gagah perkasa sehingga dalam menghadapi bahaya besar, tidak menyuruh dia pergi mencari pertolongan melainkan menyuruh dia dan anaknya pergi menyelamatkan diri, dan dengan sifat penuh kejantanan menghadapi bahaya seorang diri!

 

 "Aduh, Suamiku tercinta," demikian Puteri Mimi mengeluh, "Lupakah engkau bahwa aku pun anak dan keturunan Panglima Khitan yang setiap saat siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk membela negara? Tidak, aku pun akan menjaga kerajaan dan merupakan benteng pertahanan terakhir. Kalau kerajaan runtuh, bukan hanya engkau, aku pun harus ikut runtuh pula! Biarlah anak kita yang akan kuusahakan agar menyingkir dan menyelamatkan diri." Diam-diam Puteri Mimipun sudah mempunyai rencana dan menantilah dia akan perkembangan dengan hati gelisah namun tetap bersikap tenang.

 

 Perang tak dapat dihindarkan lagi. Pasukan-pasukan penjaga di garis terdepan sudah mulai bentrok dengan pasukan-pasukan musuh. Dalam keadaan seperti itu, seorang panglima tua Khitan menghadap Raja Talibu dan berkata,

 

 "Pihak musuh amat kuat, apalagi hamba mendapat laporan dari para penyelidik bahwa dari utara, bala tentara yang besar dari Mongol telah bergerak datang. Keadaan amat terdesak mengapa sejak dahulu Paduka tidak mengirim utusan ke Go-bi-san mohon bantuan Ayah Bunda Paduka?"

 

 Raja Talibu menggeleng kepalanya dengan sikap tegas. "Paman Panglima, kalau aku melakukan hal itu, aku akan menjadi manusia tak berguna selama hidupku! Aku menerima kerajaan dari ayah bundaku, apakah hanya untuk dinikmati saja? Apakah aku harus bersikap seperti seorang anak kecil yang menerima benda mainan dari orang tua, kemudian kalau benda itu menjadi rusak lalu kusuruh betulkan orang tuaku? Tidak, Paman, itu bukan sikap seorang pahlawan! Diserahi kerajaan bukan semata untuk menikmatinya dan bersenang-senang, melainkan diikuti pula dengan tanggung jawab! Orang tuaku telah mengundurkan diri bertapa, tidak mengecap kesenangan sedikit pun dari kerajaan, kini kerajaan terancam masa mereka yang harus susah payah pula, biarpun ayah bundaku merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi apakah artinya dua orang saja menghadapi gelombang barisan Yucen, dan Mongol dan puluhan bahkan ratusan laksa orang jumlahnya? Kita lawan sendiri, dan persoalannya hanyalah hidup, atau mati, dan urusan itu bukanlah wewenang kita untuk menentukan!"

 

 Panglima tua itu kagum mendengar pendirian rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika Panglima ini menyampaikan pendapat raja itu kepada para perwira dan perajurit, mereka pun bersorak. menyatakan hendak mempertahankan negara sampai dengan napas terakhir!

 

 Perang terjadi di perbatasan barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga banyaklah korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang makin dekat selama tiga hari setelah perang berlangsung. Dan sepak terjang barisan Mongol yang menyerbu ke selatan itu amatlah ganas seperti segerombolan harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja Talibu.

 

 Betapa bodohnya mereka, bangsa Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang sendiri satu kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa gendewanya, naik ke atas kereta perang, dengan pakaian perang yang membuatnya nampak gagah perkasa. Untuk dapat membawa kereta perangnya ke tengah medan pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh dan kusirnya sudah beberapa kali diganti karena roboh binasa. Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba di tengah medan laga, di tempat yang amat tinggi. Raja Talibu lalu meloncat di atas kereta perangnya, gendewa di tahgan kiri, topi perangnya sudah terlepas dalam, pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu sehingga rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti auman singa di padang pasir.

 

 "Wahai seluruh bangsa Yucen dan Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa Mongol yang akan menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih baik kita bersatu sebagai dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol daripada kita seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa serombongan serigala sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat sekali."

 

 Suara Raja Talibu ini amat nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi ragu-ragu. Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat bangsa Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah berada di depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang dengan bangsa Khitan. Akan tetapi sekarang Raja Khitan yang gagah perkasa itu bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja Yucen dan pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan. Sementara itu perang itu dihentikan dulu.

 

 Namun, keraguan orang-orang Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan besar. Perang hebat terjadi dan biarpun belum diadakan persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk melawan barisan Mongol. Perang mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena jumlah barisan Mongol lebih besar dan juga anggauta tentara mereka lebih kuat, biarpun pihak Mongol kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur setelah tubuhnya penuh luka dan tak dapat bergerak lagi, Raja ini tewas sebagai seorang gagah perkasa, tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka dan mandi darahnya sendiri!

 

 Kematian tidak dapat terhindar dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian, dipandang oleh mata dan dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian Raja Talibu merupakan sebuah diantara kematian yang terhormat, kematian seorang jantan dan tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama sebagai putera seorang pendekar besar seperti Suling Emas dan seorang ratu besar seperti Ratu Yalina.

 

 Andaikata ayah bunda ini melihat kematian puteranya agaknya kedukaan mereka akan terhibur oleh kebanggaan!

 

 Sebagian para perajurit Khitan yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja ketika mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama para panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktuwaktu pasti akan tiba. Berita kematian Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini menahan tangisnya di depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri pertahanan kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi, diterima dengan kemarahan.

 

 "Kalau aku melarikan diri mana aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu dengan tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan Khitan!"

 

 Maka gemparlah kota raja. Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal, yaitu pengawal Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek puteri itu di Pegunungan Go-bi. Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya yang biasanya memanjakannya itu membentak.

 

 "Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan Raja Talibu yang gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?"

 

 "Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas kematian Ayah!"

 

 "Bodoh! Kalau kau tinggal di sini, engkau pun akan mati."

 

 "Aku tidak takut mati!"

 

 Ratu Mimi menahan tangisnya dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata, "Itulah soalnya. Anakku. Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa di sini, siapakah kelak yang membalaskan kematian ayahmu dan ibumu?

 

 Engkau masih kecil, tenagamu belum ada artinya untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu menyertaimu".Ucapan ini membuat Maya tak dapat membantah lagi. Biarpun dia masih kecil, namun ia cerdik dan tabah. Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari keluar dan ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Go-bi-san. Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu, bukan karena takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka karena perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.

 

 Tiga hari kemudian, kota raja Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang dengan gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia. Akan tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh dan gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih memegang pedang dan surat suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena pada saat terakhir ia melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!

 

 Pasukan Mongol membasmi Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas harta benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas habis-habisan. Gegerlah Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan mungkin benar demikian bagi yang percaya.

 

 Malapetaka hebat yang menimpa Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan oleh Maya yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas orang pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal bernama Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi besar dan berwatak bengis.

 

 Lima belas orang pengawal ini kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya dari kota raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka terdapat perasaan tidak senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota raja. Semua keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka, akan tetapi mereka, lima belas orang ini tidak dapat melindungi keluarga mereka sendiri karena harus melarikan Maya. Dan mereka dapat membayangkan dengan hati perih betapa malapetaka. tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada pelindungnya. Duka dan sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada Puteri Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi sebab celakanya. Kalau mereka tidak Pergi mengawal puteri ini, tentu mereka akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari mengungsi!

 

 Malam pertama, ketika rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak perubahan, hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak cakap. Namun pemimpin mereka, sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa puas. Hal ini dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun merasa tidak senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan dikawininya.

 

 Demikian pula malam ke dua, hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa peristiwa sesuatu sehingga ketika pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.

 

 Akan tetapi, ketika pasukan ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan jatuh, meledaklah rasa ketidakpuasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan Bhutan sendiri mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah pucat.

 

 "Habis semua....!" Demikian antara lain pengungsi itu bercerita. "Mereka itu datang seperti badai mengamuk. Pasukan kita yang mempertahankan, bersama Sang Ratu, digilas habis dan tewas semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan, diperkosa seperti segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena diperkosa banyak orang di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, di mana saja sehingga jerit mereka memenuhi angkasa."

 

 "Semua wanita, katamu?" Bhutan bertanya, suaranya gemetar.

 

 "Ya, semua! Bahkan yang tua-tua juga! yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Habis semua perempuan diperkosa, habis semua pria dibunuh. Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan orang-orang tua yang berkeliaran dan kelaparan kehilangan keluarga...."

 

 "Ibuku....! Bagaimana....?" Tiba-tiba Maya menjerit.

 

 Orang yang bercerita itu menarik napas panjang dan menengadah ke langit.

 

 "Sang Ratu telah gugur, akan tetapi, demi semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan teringat betapa ratu itu tewas dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh luka, tewas sebagai seorang gagah perkasa.... hebat sekali, dan agaknya semangatlah yang memimpin semua perlawanan gigih...."

 

 "Aihhh.... ! Ibu....!" Maya menjerit dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.

 

 "Diammm!" Bhutan tiba-tiba menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat kaget dan heran sekali mengapa panglima itu berani membentaknya seperti itu. Semua pasukan memandang dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat pemimpin mereka kini pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat mereka terpaksa meninggalkan keluarga mereka seperti sekumpulan domba ditinggalkan untuk menjadi mangsa serigala-serigala buas.

 

 "Mengapa engkau menangis? Ditangisipun tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun isteriku, ibuku, keluargaku!" Dan Panglima ini lalu menangis biarpun tidak mengeluarkan suara, hanya mengeluarkan air mata yang menetes turun di kedua pipinya. Juga para anggauta pasukan yang empat belas orang banyaknya itu semua kelihatan termangu-mangu penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing yang tentu telah menjadi korban pula.

 

 "Kita besok melakukan perjalanan, bukan ke Go-bi-san, akan tetapi membalas dendam kita, membakari rumah-rumah dusun yang sudah menjadi jajahan orang Mongol." demikian kata Bhutan dengan wajah bengis. Anak buahnya bersorak gembira. Biarpun mereka berduka, akan tetapi kini ada jalan untuk melampiaskan duka dan kemarahan mereka biarpun kepada dusun-dusun! Hal itu berarti mereka akan dapat memperkosa wanita-wanita seperti isteri-isteri dan keluarga mereka diperkosa, dapat membunuh orang-orang seperti keluarga mereka dibunuh, dapat merampok seperti rumah mereka dirampok!

 

 "Akan tetapi, aku harus kalian antarkan ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di Go-bi-san!" Maya berseru kaget dengan mata terbelalak.

 

 Bhutan tersenyum mengejek. "Mulai sekarang tidak ada lagi yang mengharuskan aku! Engkau tidak boleh lagi memerintahku, bahkan engkau harus tunduk dan menurut segala kehendakku!" Para anak buahnya bersorak mengejek.

 

 Maya meloncat bangun, mengepal kedua tinjunya dan memandang marah.

 

 "Akan tetapi, apa kalian hendak memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan! Engkau harus taat kepadaku!"

 

 "Ha-ha-ha, puteri yang manis! Engkau akan kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun lagi engkau akan menjadi seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku. Bukankah begitu kawan-kawan?" kata Bhutan yang terhimpit kedukaan berubah menjadi bengis dan kejam. Anak buahnya bersorak menyatakan setuju.

 

 "Keparat, kau....!" Maya maju dan mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu, akan tetapi biarpun sejak kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki sembarangan, melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki kepandaian. Dia menangkis terus menangkap lengan kecil itu, memutar dan mendorong sehingga tubuh Maya terlempar dan roboh telentang. Terdengar suara ketawa para pasukan pengawal.

 

 "Ha-ha-ha, engkau tidak boleh galak lagi, Nona kecil!" kata mereka.

 

 Maya meloncat bangun lagi, akan tetapi lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan tangan panglima ini diayun. "Plak-plak-plak-plak" kedua pipi Maya ditampari sampai menjadi merah dan terasa panas!

 

 "Dengar kau, Maya! Ketahuilah bahwa engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya diaku anak, anak angkat!"

 

 Biarpun kedua pipinya terasa panas dan sakit-sakit dan hatinya lebih panas dan sakit lagi mendengar ucapan itu dia terbelalak kaget dan heran. "Apa.... apa, kaubilang....?"

 

 "Duduklah dan dengar baik-baik agar kau tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati segala perintahku karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat menyelamatkanmu. Kerajaan Khitan sudah hancur, keluarga Raja sudah tewas semua. Engkau memang bukan anak Raja Khitan, mana mungkin Raja Khitan dapat memperoleh keturunan? Dia, telah terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina melakukan pelanggaran, keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau sekarang meniadi runtuh!"

 

 "Mengapa begitu?" Air mata Maya mengucur lagi. "Ceritakanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang telah teriadi? Ceritakan tentang keluargaku...."

 

 "Bukan keluargamu, hanya keluarga jauh."

 

 "Kalau begitu, ceritakan siapa aku, siapa orang tuaku!" Maya makin bingung dan karena ingin sekali mendengar penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya bahwa dia tadi ditampar.

 

 Para perajurit yang juga belum mendengar riwayat raja mereka dengan jelas, hanya mendengar berita angin saja, kini juga berkumpul dan mendengarkan penuturan Bhutan yang agaknya tahu akan riwayat itu.

 

 "Dosa pertama dilakukan oleh Ratu Yalina." Bhutan mulai bercerita. "Ratu Yalina yang dijunjung tinggi oleh bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah menikah, ternyata melakukan pelanggaran karena diam-diam melakukan hubungan cinta dengan Pendekar Suling Emas. Dari hubungan gelap, yang mendatangkan kutuk para dewa atas bangsa Khitan itu, terlahirlah anak kembar, lakilaki dan perempuan."

 

 "Anak kembar laki-laki dan perempuan harus dijadikan suami isteri!" Seorang anggauta pasukan pengawal yang sudah berusia empat puluh tahun lebih berkata.

 

 Bhutan mengangguk. "Mestinya demikian. Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan dosa pertama itu, melanjutkan dengan dosa ke dua yang lebih berat lagi dan yang agaknya membuat para dewa memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak kembar itu, yang perempuan adalah pendekar wanita Mutiara Hitam yang sekarang merantau bersama suaminya entah ke mana. Adapun yang laki-laki adalah mendiang Raja Talibu kita yang menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa itu tidak bisa memperoleh keturunan. Biarpun aku tidak tahu di mana adanya Mutiara Hitam, akan tetapi aku yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai keturunan!"

 

 "Tapi aku.... aku, adalah anak raja dan Ratu Khitan!" Maya berteriak.

 

 "Heh-heh, itu adalah dugaanmu saja, anak manis!" Bhutan berkata tertawa.

 

 "Sesungguhnya bukan demikian. Engkau adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi, ibumu adalah puteri bangsawan rendahan yang menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika melahirkan engkau dan ayahmu sudah tewas pula dalam perang. Raja Talibu yang agaknya hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau sebagai anak!Memang jarang ada yang tahu, akan tetapi aku tahu akan itu semua, manis!"

 

 "Tidak....! Tidak....!" Maya menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh Bhutan yang memimpin rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke Go-bi-san, melainkan ke timur!

 

 Dapat dibayangkan betapa hancur dan sengsara rasa hati Maya, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Kalau dia melarikan diri, selain sukar sekali karena ia selalu diawasi, juga ia akan dapat pergi ke manakah? Lebih sengsara lagi hatinya ketika terpaksa ia harus menyaksikan pasukan yang tadinya menjadi pengawalnya yang setia itu kini berubah menjadi segerombolan serigala buas yang tidak mengenal perikemanusiaan, merampok dusun-dusun yang mereka lalui, membunuh, memperkosa dan membakar rumah sambil bersorak-sorak! Dara sekecil ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang mengerikan itu, menyaksikan wanita-wanita yang menjerit-jerit diperkosa dan kemudian dibunuh. Sampai habis air mata ditumpahkan dalam tangis Maya dan dalam waktu sebulan saja ia telah berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati keras seperti baja, ditempa oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan mengerikan. Kalau dahulu ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi pendiam, jarang bicara, jarang pula makan atau tidur kalau tidak terpaksa sekali sehingga mulailah tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat, akan tetapi wajah seperti topeng mati dan sikapnya dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya terbentuklah watak yang keras dan dingin pada jiwa dara cilik ini.

 

 ***

 

 Pergolakan hebat yang terjadi di utara itu bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan menjadi awal pergolakan hebat yang menjalar ke selatan. Pada masa itu di selatan juga terjadi pergolakan hebat, perebutan kekuasaan yang menimbulkan perang di mana-mana.

 

 Suku bangsa Yucen tadinya adalah suku bangsa yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu ketika Ratu Yalina masih memegang tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan menjadi lemah, bangsa Yucen membalas dendam, memberontak dan dibantu pula secara diam-diam oleh Kerajaan Sung dari selatan. Di samping itu, serbuan liar dari bangsa Mongol yang mulai berkembang, membuat Khitan hancur.

 

 Bangsa Yucen "mendapat hati" dan mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin. Sebentar saja Kerajaan Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya Kerajaan Sung, menuntut agar Kerajaan Sung mengirim "upeti" setiap tahun!

 

 Keadaan yang demikian itu menyedihkan hati seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung. Menteri ini bernama Kam Liong dan dia bukan lain adalah putera sulung dari pendekar Sakti Suling Emas! Bahkan Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya telah mewarisi kepandaian ayahnya, juga telah mewarisi senjata pusaka ayahnya yang berupa sebatang suling emas dan sebuah kipas. Kaisar amat percaya kepada Menteri Kam Liong, bukan hanya karena menteri ini! adalah putera pendekar besar Suling Emas, melainkan terutama sekali karena Menteri ini memang amat pandai dan bijaksana, juga amat setia kepada negara. Menteri Kam Liong prihatin dan berduka sekali. Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi amat menggelisahkan hatinya. Dia mendengar akan keadaan Khitan yang terancam hebat oleh bangsa Yucen dan Mongol. Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran tangan bangsa Yucen untuk bersama-sama menyerang dan mengeroyok Kerajaan Khitan. Betapa tidak akan sedih hatinya kalau ingat bahwa Raja Khitan adalah adik tirinya sendiri? Raja Talibu di Khitan adalah putera Suling Emas pula sehingga merupakan saudara seayah dengannya, berlainan ibu. Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia adalah seorang Menteri Kerajaan Sung. dan adik tirinya itu adalah Raja Khitan! Dia harus bersetia kepada negaranya sendiri.

 

 Menteri yang bijaksana ini tidak mempunyai anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid yang amat disayangnya. muridnya mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah perkasa pula. Muridnya itu kini pun mempunyai kedudukan tinggi di dalam kerajaan, yaitu menjadi seorang panglima muda yang diperbantukan kepadanya. Ketika pergolakan di utara terjadi dia mengatur rencana dengan muridnya itu, kemudian mengutus muridnya mengerjakan tugas penyelidikan atas persetujuan Kaisar, ke utara.

 

 Hal yang menyedihkan hati Menteri Kam Liong yang setia, bukan hanya pergolakan di utara yang ia tahu amat pentingnya bagi perdamaian di negara Sung sendiri, akan tetapi terutama sekali melihat kelemahan Sung sebagai akibat tidak cakapnya Kaisar mengemudikan pemerintahan. Kaisar tidak memperhatikan urusan pemerintahan, hanya tenggelam dalam kesenangan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar mereka bernyanyi, melihat mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok. Biarpun Kaisar masih ada namun sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan selir-selir tercantik dan tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang kebiri) yang mendampingi Kaisar dan para selir siang malam! Berkali-kali Kam Liong memperingatkan, namun Kaisar hanya teringatkan untuk waktu singkat saja, kemudian lupa lagi dan berenang dalam kesenangan seperti biasa. Peringatan yang selalu diajukan Kam Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan kebencian saja di hati para pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan Kaisar untuk mengeduk keuntungan pribadi sebanyak mungkin. Hanya karena mereka tahu bahwa Kam Liong merupakan menteri yang dipercaya oleh Kaisar, memiliki pengaruh dan kekuasaan besar, juga memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan, maka para thaikam dan pembesar lain yang membencinya tidak berani turun tangan mengganggunya. Hal ini diketahui pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak peduli karena yang diprihatinkan selalu hanyalah keadaan negara.

 

 Pagi hari itu, Menteri Kam Liong termenung di dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi akan tetapi ia sampai lupa minum sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya tertekan dan ia membayangkan dengan hati penuh duka betapa keluarga adiknya. Raja Khitan terancam bahaya hebat. Dia sudah memberi nasihat kepada Kaisar agar jangan memusuhi Khitan, akan tetapi Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar dan para thaikam, menjawab bahwa kesempatan baik tiba di mana Kerajaan Sung dapat mempergunakan tenaga bangsa Yucen untuk merampas kembali wilayah yang dahulu dikuasai bangsa Khitan! Dia berduka sekali, mengenangkan keadaan keluarga ayahnya yang cerai-berai itu. Ayahnya sendiri , tak pernah terjun ke dunia ramai, tekun bertapa bersama isterinya, bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang menjadi Raja Khitan, Raja Talibu, kini terancam bahaya. Saudara kembar Raja itu, adiknya Si Mutiara Hitam Kam Kwi Lan, kini entah berada di mana karena adiknya yang seorang ini suka sekali merantau, apalagi setelah menikah dengan Tang Hauw Lam, pendekar yang suka pula merantau. Mungkin suami isteri itu kini sedang merantau ke dunia barat lewat Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah terikat oleh tugasnya sebagai Menteri Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai mati.

 

 "Aaahhhh...." ia teringat akan tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan mengeluh. "Pantaslah Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri dari pergaulan ramai karena sesungguhnya, makin banyak kita mengikatkan diri dengan urusan dunia, makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang tidak mempunyai turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau demikian, apa artinya hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian? Bukankah semua itu dipelajari untuk dapat dipergunakan dalam dunia? Biarlah bukankah Ayah dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan gelombang batin yang amat bernilai harganya?"

 

 Pada saat itu, seorang pengawal datang memasuki ruangan dan memberi hormat lalu melaporkan bahwa ada seorang tamu pria muda mohon menghadap Sang Menteri.

 

 Atas pertanyaan Menteri, Pengawal itu menjawab. "Hamba tidak mengenalnya, Taijin, akan tetapi dia mendesak untuk diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya, membawa pedang di punggung dan sikapnya seperti seorang pendekar.

 

 "Namanya?"

 

 "Maaf, Taijin. Ketika hamba tanyakan dia hanya mengatakan bahwa Taijin akan mengenalnya kalau sudah bertemu dan dia tidak memberitahukan namanya."

 

 Menteri Kam Liong yang sedang kesal hatinya itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. Ah, tentu seorang di antara mereka yang masih muda dan ingin sekali mendapatkan kedudukan di kota raja, pikirnya. Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang kepadanya. Kembali ia menghela napas. Betapa banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut dan lemah ini. Pembesarpembesar tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu memberi suapan banyak tentu akan "ditolong" memperoleh kedudukan tinggi! Ingin ia memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi tiba-tiba kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan kecelik dan biarlah dia menerima bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak "menyogok", hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimaki-makinya, kalau perlu dibekali tamparan sebelum diusir pergi!

 

 "Suruh dia masuk!" ia berkata pendek.

 

 Sejenak pengawal itu memandang bingung. Masuk ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang Menteri? Biasanya, apabila menerima tamu, tamu itu disuruh menanti di kamar tamu yang berada di ruangan luar!

 

 "Cepat! Tunggu apalagi?" Menteri Kam Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak. Sang Pengawal terkejut, memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa hari itu majikannya demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong terkenal sebagai atasan dan majikan yang lemah lembut dan halus terhadap anak buahnya.

 

 Menteri Kam Liong sudah mendengar langkah kaki ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan berhenti di depan pintu. Hemm, seorang yang pandai ilmu silat, pikirnya heran. Mengapa seorang ahli silat ingin bertemu dengannya? Ingin melamar pekerjaan pengawal? Tanpa menoleh, sambil minum teh dari cangkirnya, ia berkata tenang. "Masuklah!"

 

 Langkah kaki ringan itu memasuki kamarnya, lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara yang nyaring itu bertanya.

 

 "Apakah saya berhadapan dengan Menteri Kam Liong?"

 

 Hemm, bocah ini sama sekali tidak mempunyai suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak berlebihan menghormatinya seperti biasa dilakukan orang, malah terdengar agak kurang ajar dan tidak memandang kedudukannya yang tinggi! Dengan cangkir the masih di depan mulut, Menteri Kam Liong menoleh sambil berkata.

 

 "Siapa engkau? Katakan keperluanmu!" Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan laki-laki itu.

 

 Seorang pemuda yang amat tampan dan bersikap gagah sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar amat tajam. Jelas bukan seorang pemuda sembarangan! Juga wajah ini.... serasa pernah ia mengenalnya, akan tetapi ia tidak ingat di mana dan kapan. Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah tampan itu, Menteri Kam Liong yang mulai tertarik, meletakkan cangkir tehnya di atas meja lalu memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan mendesak, "Siapakah engkau?"

 

 Pemuda tampan itu lalu menjura dan memberi hormat, suaranya terdengar gembira dan penuh perasaan. "Harap Twako sudi memberi maaf kalau siauwte mengganggu. Siauwte adalah Kam Han Ki...."

 

 Menteri Kam Liong mencelat bangkit dari tempat duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat, jauh bedanya dari sikapnya yang lemah lembut, "Han Ki...? Engkau putera mendiang Paman Kam Bu Sin yang lenyap bertahun-tahun itu....?"

 

 Pemuda yang bernama Kam Han Ki itu mengangkat mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya "kakak tua" itu dengan wajah berseri lalu mengangguk. "Benar, Twako. Saya adalah Kam Han Ki adik sepupu Twako sendiri."

 

 "Ah, Adikku....! Apa saja yang telah terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah, Adikku....!" Menteri itu melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat menjatuhkan diri berlutut dengan penuh perasaan terharu.

 

 Duduklah, Han Ki. Duduklah. Haiii! Pelayan!" Menteri itu memanggil pelayan yang datang berlarian, lalu memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.

 

 "Twako, manakah Twaso (Kakak ipar)? Ijinkan Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana keponakan-keponakan saya?"

 

 Pemuda itu menghentikan pertanyaannya ketika melihat wajah kakak misannya itu menjadi muram. Menteri Kam Liong menghela napas dan berkata,

 

 "Aku hidup sendiri Adikku. Twa-somu telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat, dan kami tidak mempunyai anak."

 

 "Ahhh...., maaf, Twako."

 

 "Tidak apa, Adikku. Sekarang ceritakan pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya tentu ada lima belas tahun engkau hilang. Ke mana saja engkau? Berita tentang dirimu yang terakhir amat mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan dilarikan Siang-mou Sin-ni iblis betina itu!"

 

 Han Ki mengangguk-angguk, lalu berkata, "Benar, seperti yang Twako katakan. Iblis betina Siang-mou Sin-ni membawa saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan." Kemudian Han Ki menceritakan pengalamannya.

 

 Ketika berusia sebelas tahun. Kam Han Ki mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah putera Kam Bu Sin. adik tiri Suling Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke tiga. Kedua orang encinya yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah pergi ikut bersama Kauw Bian Cinjin, paman kakek mereka untuk bertapa dan belajar ilmu di puncak Tai-liang-san (baca cerita MUTIARA HITAM).

 

 Dalam keadaan terluka karena pukulan-pukulan beracun, Kam Han Ki yang berusia sebelas tahun itu dibawa iblis betina Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum), menuju ke Pegunungan Ta-liang-san. Wanita iblis itu lalu mengisap darah Kam Han Ki yang dianggap mempunyai darah yang bersih dan sumsum yang murni. Akan tetapi, iblis betina ini tidak tahu bahwa Han Ki telah minum obat beracun dingin milik kakek sakti Bouw Lek Couwsu (baca cerita MUTIARA HITAM). Sehingga ketika ia menyedot darah anak itu, ia roboh terkena racun obat itu. Han Ki segera menggunakan jarum menusuk dada Si Iblis Betina sampai menembus jantungnya dan tewaslah Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi sebelum roboh tewas, iblis betina itu berhasil pula memukul Han Ki sehingga anak ini roboh pingsan dengan tulang iga patah-patah!

 

 Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Kam Han Ki, muncullah kakek dewa Bu Kek Siansu yang memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu. Dan dibawa ke sebuah guha di lembah Sungai Cin-sha dan diobati. Setelah sembuh, Bu Kek Siansu menggembleng Han Ki yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi itu dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Selama dua tahun pemuda itu diajar teori-teorl ilmu silat yang hebat, kemudian disuruh berlatih sampai sempurna seorang diri di guha itu dengan pesan bahwa kalau belum sempurna tidak boleh keluar guha. Juga dia diajar cara, bersamadhi dan menghimpun sin-kang.

 

 "Dengan dasar teori yang selama ini kuajarkan kepadamu, engkau membutuhkan waktu belasan tahun untuk menyempurnakan latihan-latihanmu, Han Ki. Setelah sempurna, baru pergilah kau ke kota raja dan carilah twakomu Kam Liong. Dialah pengganti orang tuamu dan selanjutnya, dia yang akan membimbingmu." Demikian pesan kakek dewa itu yang lalu pergi menghilang tak pernah muncul lagi.

 

 Han Ki adalah seorang anak yang berhati keras dan berkemauan teguh.

 

 Biarpun kadang-kadang ia merasa tersiksa sekali harus hidup menyendiri di tempat sunyi itu, namun ia terus berlatih dengan rajin sampai sepuluh tahun lamanya!

 

 Setelah ia keluar dari guha itu, dia telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun! Dengan sebatang pedang yang sengaja ditinggalkan Bu Kek Siansu untuknya, mulailah pemuda itu terjun ke dunia ramai dan sekaligus mengguncangkan dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang tinggi. Beberapa kali ia bertemu dengan perampok jahat, namun dengan mudah saja penjahat-penjahat itu ditaklukkannya. Namun, karena teringat akan pesan gurunya, dalam perantauannya itu akhirnya Kam Han Ki tiba di kota raja dan langsung mencari twakonya yang sebelumnya ia selidiki di kota raja dan mendengar bahwa Kam Liong telah menjadi seorang menteri!

 

 Mendengar cerita itu, berulang kali Kam Liong menarik napas panjang.

 

 "Aihh, Adikku, engkau sungguh beruntung sekali dapat menjadi murid Bu Kek Sian su! Apakah setelah beliau pergi meninggalkanmu, tidak pernah datang lagi menjengukmu?"

 

 "Tidak, Twako. Suhu adalah seorang manusia yang sakti dan aneh, yang muncul dan pergi pada saat-saat yang sama sekali tidak terduga manusia. Karena saya mematuhi pesannya, maka saya datang menghadap Twako untuk menghambakan diri."

 

 "Ahhh, Adikku yang baik. Jangan berkata demikian. Bahkan andaikata aku tahu engkau telah menjadi seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, tentu akan kucari karena pada saat ini aku sungguh membutuhkan bantuan orang yang pandai dan boleh kupercaya penuh. Adikku Han Ki, maukah engkau membantuku?"

 

 "Tentu saja, Twako. Mulai sekarang, saya hanya menanti perintah Twako, disuruh apa saja saya akan taat. Twako saya anggap sebagai pengganti orang tua saya, demikian pula pesan Suhu Bu Kek Siansu."

 

 "Bagus, Han Ki! Ah, betapa lega rasa hatiku dengan kedatanganmu yang sama sekali tidak pernah kumimpikan ini.... Adikku, terimalah secawan arak ini dariku untuk mengucapkan selamat datang kepadamu!" Menteri itu lalu menuangkan arak ke dalam sebuah cawan sampai penuh betul, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, cawan yang penuh arak itu terlempar ke atas, berputar-putar cepat sekali akan tetapi araknya tidak tumpah sedikit pun!

 

 "Terimalah, Adikku!"

 

 "Terima kasih, Twako!" Han Ki yang maklum bahwa kakaknya sedang mengujinya, menjadi gembira. Ia mendorongkan tangan kirinya ke arah cawan yang berputaran di udara itu. Cawan menjadi miring dan isinya tumpah, akan tetapi tumpahnya langsung memasuki mulutnya sampai cawan itu menjadi kering, lalu ia menyambar cawan itu dan meletakkannya di atas meja.

 

 "Sayang meja ini agak kotor terkena arak dan kuwah, Twako. Biarlah saya membersihkannya!" Han Ki menggebrak meja dan.... semua mangkok dan cawan beterbangan ke udara! Cepat Han Ki menyambar sebuah kain pembersih menggosok meja dengan gerakan yang cepatnya bukan main sehingga meja menjadi bersih, kemudian ia mengangkat meja itu menerima mangkok piring dan cawan yang meluncur turun, disambutnya dengan baik sehingga semua barang itu tidak ada yang tumpah, setelah itu ia meletakkan meja kembali di depannya.

 

 "Bagus. kau hebat, Adikku!" Menteri Kam Liong girang sekali, kemudian tiba-tiba ia memegang tangan adiknya.

 

 Kam Han Ki merasa betapa dari telapak tangan kakaknya itu keluar getaran hebat yang makin lama makin panas. Ia tahu bahwa itulah penyaluran tenaga sin-kang yang amat kuat, maka cepat ia pun mengerahkan sin-kangnya, menerima tekanan kakaknya dengan muka tidak berubah. Menteri itu merasa betapa tiba-tiba tangan adiknya yang ia pegang dan remas itu menjadi dingin seperti salju dan betapa wajah pemuda itu sama sekali tidak berubah. Ia kagum bukan main dan barulah ia merasa yakin bahwa Bu-Kek Siansu benar-benar telah berlaku murah hati kepada adiknya ini, dan yakin bahwa pemuda ini dapat membantunya meringankan beban yang amat berat terasa olehnya pada waktu itu. Akan tetapi hatinya masih belum puas mengingat betapa pentingnya tugas yang hendak ia serahkan kepada Han Ki.

 

 "Adikku yang baik, marilah ikut bersamaku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!" katanya setelah ia melepaskan tangannya. Han Ki bangkit dan mengikuti menteri itu pergi ke lian-bu-thia.

 

 Para penjaga hanya dapat melihat dengan mata melongo saja betapa kini pemuda yang menjadi tamu itu "bertanding!" dengan hebatnya melawan Sang Menteri. Han Ki menggunakan pedangnya, sedangkan Menteri Kam Liong menggunakan sepasang senjatanya yang selama ini belum pernah terkalahkan, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas.

 

 Diam-diam Kam Han Ki kagum bukan main. Kakaknya yang sudah setengah tua itu ternyata amat hebat. Permainan suling emas dengan ilmu silat pedang Pat-sian Kiam-sut dirangkai dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat benar-benar lihai sekali. Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang cepat dan memiliki jurus-jurus berbahaya, kini dimainkan dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas sungguh menakjubkan.

 

 Adapun Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) juga hebat main, selain gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, juga kalau kipas dikebutkan, angin menyambar keras mengacaukan gerakan lawan.

 

 Namun Han Ki tidak percuma melatih diri selama belasan tahun seorang diri di dalam guha tidak percuma menjadi murid Bu Kek Siansu karena ilmu pedangnya juga amat tinggi. Ilmu pedangnya mempunyai dasar gerakan Hong-in-bun-hoat yaitu gerakan ilmu silat yang dilakukan seolah-olah "menulis" huruf-huruf indah di udara, dan karena semua limu silat yang dimainkan oleh kedua kakak beradik ini berasal dari satu sumber, maka mereka dapat saling mengenal jurus lawan dan dapat mengimbanginya. Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Menteri Kam Liong kagum dan girang sekali. Pada waktu itu, jarang ada lawan, apalagi masih begini muda, yang dapat menandinginya sampai seratus jurus tanpa terdesak sedikit pun, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, adiknya ini malah lebih kuat daripadanya!

 

 "Gu Toan, hebat tidak kepandaian Adikku ini?" Tiba-tiba Menteri Kam Liong berseru gembira sambil meloncat ke belakang menghentikan serangannya, menoleh kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpunggung bongkok dan yang sejak tadi menonton dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo, dengan penuh kekaguman.

 

 Si Bongkok yang bernama Gu Toan itu membungkuk-bungkuk sehingga tubuhnya menjadi makin bongkok, mulutnya berkata. "Hebat.... hebat.... hamba belum pernah menyaksikan yang sehebat itu, Taijin...."

 

 Diam-diam Han Ki terkejut. Seorang pelayan mengapa dapat menilai pertandingan ilmu silat tinggi yang tak dapat diikuti pandangan mata sembarangan orang? Agaknya Menteri Kam Liong maklum akan keheranan hati adiknya maka ia lalu berkata sambil menunjuk ke arah orang bongkok itu.

 

 "Jangan pandang ringan orang ini, Han Ki. Gu Toan ini adalah pelayanku selama belasan tahun dan biarpun dia tidak langsung menjadi muridku, namun dari melihat saja dia telah dapat menguasai dasar-dasar ilmu silat yang kumainkan. Sayang dia sudah tua dan ketika kecil tidak dilatih, padahal dia memiliki bakat yang lebih besar daripada bakatku sendiri. Pula, di dunia ini sukar dicari orang yang lebih setia daripada Gu Toan!"

 

 Gu Toan kelihatan malu-malu dan berkali-kali ia menjura. "Taijin terlalu memuji hamba, terlalu memuji hamba....!Ah, Kongcu benar-benar memiliki ilmu pedang yang tiada keduanya di dunia ini."

 

 "Gu Toan, ketahuilah bahwa pemuda ini adalah adikku sendiri, adik sepupu yang mulai sekarang kuangkat menjadi pengawal pribadiku!"

 

 "Ahh, selamat datang, Kongcu!" pelayan itu berseru girang dan melihat sinar matanya, Han Ki diam-diam membenarkan pendapat kakaknya. Memang pelayan bongkok ini memiliki sinar mata yang hebat, penuh kecerdikan. juga penuh kesetiaan.

 

 Kembali kakak beradik in! duduk berdua di kamar Sang Menteri dan mulailah Menteri Kam Liong menceritakan semua urusan yang memberatkan hatinya.

 

 "Yang memberatkan hatiku adalah dua persoalan." Menteri itu bercerita. "Pertama adalah kekuasaan suku bangsa Yucen yang makin besar. Aku merasa curiga dengan keadaan mereka, oleh karena itu diam-diam aku menyuruh muridku sendiri untuk menyelundup dan bekerja disana sebagai seorang perwira."

 

 Han Ki tertarik sekali dan merasa kagum akan kecerdikan twakonya dan keberanian murid twakonya itu. "Akan tetapi telah beberapa lama ini dia tidak memberi kabar, bahkan aku khawatir sekali kalau-kalau terjadi sesuatu dengan kurir yang sering kali menghubungkan dia dan aku, mengirim berita-berita. Karena itu, engkau harus mewakili aku menyelidiki ke sana, Adikku. Tidak mungkin kalau aku sendiri yang pergi ke sana, karena mereka sudah mengenalku. Aku sendiri akan berangkat ke Khitan menyelidiki keadaan kakak misanmu yang menjadi Raja Khitan."

 

 Menteri itu lalu memperkenalkan Raja Talibu yang juga merupakan putera Suling Emas sehingga Han Ki makin tertarik hatinya. Segera ia menyanggupi tugas yang dibebankan kepadanya.

 

 Akan tetapi, karena dia diangkat sebagai pengawal Menteri Kam Liong, tentu saja dia harus diperkenalkan dengan para pembesar lain, juga bahkan dihadapkan kepada Kaisar oleh Menteri Kam Liong.

 

 Kaisar merasa suka bertemu dengan Han Ki, kagum melihat pemuda yang lemah-lembut, tampan dan gagah perkasa itu. Apalagi ketika Kaisar mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah adik sepupu sendiri dari menterinya yang setia, kepercayaannya bertambah dan ia menerima Han Ki dengan gembira. Bahkan memberi ijin kepada pemuda itu untuk "melihat-lihat" keadaan di sekeliling istana, mengagumi taman bunga istana yang amat indah itu.

 

 Setelah menghaturkan terima kasih, Han Ki lalu memasuki taman, meninggalkan twakonya yang masih bercakap-cakap dengan Kaisar mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda ini kagum bukan main. Taman itu amat luas, pula amat indahnya sehingga dia merasa seolah-oleh tersesat ke alam sorga di dalam mimpi. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan bunga-bunga yang demikian banyak macamnya, serba indah, bangunan indah dalam taman dan burung-burung yang dipelihara dalam sangkar beraneka warna.

 

 Saking tertariknya, pemuda yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian indahnya, sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang, yaltu taman puteri yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar berduri yang tinggi. Namun bagi Han Ki tentu saja pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung berkilauan agaknya terbuat daripada perak dan emas, ia mengenjot tubuhnya dan melompati pagar bunga mawar. Dia sampai berdiri bengong dan menahan napas menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang tumbuh di tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah seperti permadani dari beludru? Seperti dalam mimpi ia berjalan terus, melangkah ke arah sekumpulan bangunan yang dicat merah. Tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungang bahkan lalu mendengar wanita menangis? Cepat ia menyelinap di antara pohon bunga, berlompatan mendekati suara yang datangnya dari balik kelompok bangunan. Ketika ia tiba di situ dan memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali. Kalau tadi ia kagum dan merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia terpesona menyaksikan seorang dara jelita yang kecantikannya seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku? Seorang dara jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur oleh empat orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa orang di antara wanita-wanita itu ada yang sibuk menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.

 

 "Kalau dia tidak mau kembali dan terbang pergi.... ah bagaimana?" Dara cantik yang berpakaian indah itu terisak. Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon, mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!

 

 "Tenanglah, Siocia, kalau kita tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun," seorang di antara empat pelayan itu menghibur.

 

 "Apakah tukang kebun dapat terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang (Kaisar) mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap kemarahan Hong-houw (Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya." Dara itu menangis lagi.

 

 Han Ki merasa kasihan sekali. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa, ia tiba-tiba merasa kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum dan apa urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian gelisah dan melihatnya menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memandang ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang indah sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia bahwa Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas dan kini merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.

 

 Terdorong oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat keluar dan berkata, "Harap Siocia tidak khawatir, saya akan menangkap burung itu!"

 

 Dara berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun menutup mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka, menjadi heran, hanya mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas pohon. Burung itu terkejut dan terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya dan burung itu tertahan terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat turun.

 

 "Nah, ini dia, Siocia, sudah dapat saya tangkap, kembali."

 

 Dara itu girang bukan main, lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan seorang di antara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu sudah aman berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah lima orang wanita itu memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia melihat sinar kagum jelas sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.

 

 "Eh, orang muda, apakah kau pandai terbang?" seorang di antara empat pelayan bertanya.

 

 "Apakah engkau tukang kebun baru?" tanya yang ke dua.

 

 Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun."

 

 Kini puteri itu memutar tubuh dan memandang ke arah wajah Han Ki, penuh kemarahan dan bibir yang merah itu merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.

 

 "Kalau engkau bukan tukang kebun, bagaimana engkau bisa berada di sini?"

 

 Han Ki tak gentar menghadapi pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip menghadapi serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar keluar dari sepasang mata indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!"

 

 "Aku.... aku...., melihat-lihat taman dan melompati pagar bunga mawar!"

 

 "Aihh! Orang muda yang kurang ajar!" Seorang di antara para pelayan membentak. "Kau bicara seenaknya saja di depan seorang puteri Kaisar!"

 

 Han Ki terkejut sekali, akan tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih.

 

 "Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak tahu.... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini...."

 

 Aneh sekali. Kini puteri itu tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar, kemudian ia berkata, "Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini, engkau akan dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini

 

 "Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya yang telah menangkap kembali burung yang terlepas."

 

 "Tidak, Siocia. Saya tidak membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak bersedih? Sungguhpun begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin bebas...."

 

 Sepasang alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu. "Engkau bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kaukatakan bahwa tentu saja burung itu ingin bebas kemudian kau mencelanya sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?" Puteri itu memandang tajam dan kembali jantungnya berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya itu benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.

 

 "Dia bodoh sekali, Siocia. Kalau saya menjadi dia, saya.... saya akan merasa bahagia sekali dikurung dalam sangkar dan berada di sini selamanya!" Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.

 

 Kembali sepasang mata itu terangkat dan sepasang mata indah itu melebar. "Mengapa?"

 

 "Karena.... karena setiap hari akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia...."

 

 "Alihhh....!" Puteri jelita itu membuang muka, wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya, mata seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata kelinci terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum malu, tersipu-sipu!

 

 "Weh-weh, kau laki-laki kurang ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini, kata seorang pelayan, juga tiga orang yang lain marah-marah. "Siapa sih engkau berani mati seperti ini?"

 

 Han Ki menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia bukan menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu. "Saya bernama Kam Han Ki, pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya diperkenankan oleh Hongsiang untuk melihat-lihat Taman, akan tetapi telah tersesat ke sini, harap Siocia sudi memaafkan."

 

 "Oohhh....! Kau.... kau.... adik sepupu Menteri Kam?" Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari pandang matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah, kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka. Sang Puteri dapat menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak.

 

 "Mau apa kalian tersenyum-senyum?"

 

 Empat orang pelayan itu menunduk akan tetapi tetap tersenyum dan seorang di antara mereka yang paling berani lalu berkata, "Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang rendah, Siocia. Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah perkasa, malah pandai terbang melebihi burung. Hemm ...."

 

 Puteri itu tersipu-sipu akan tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona karena wajah puteri itu makin dipandang makin mempesona lalu berkata lirih.

 

 "Kam-taihiap, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan mendapat malu. Harap suka pergi dan.... terima kasih atas bantuanmu tadi."

 

 Han Ki mengangguk, merasa kecewa sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia berkata, "Maaf....!" lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar bunga mawar dengan kedua kaki lemas. Mengapa. hatinya seperti hilang dan semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang lemas saja yang pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri. Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.

 

 "Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?"

 

 Sunyi sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri itu berkata lirih.

 

 "Namaku.... Hong Kwi...."

 

 "Terima kasih!" Han Ki berkata dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati pagar. Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru,

 

 "Dia.... dia menghilang. Jangan-jangan dia.... setan....!"

 

 Puteri itu tertawa, suara tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali. "Hushhh! Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Tai-hiap, seorang pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja....!"

 

 "Hebat.... Betulkah, Siocia? Hi-hihik!" para pelayan tertawa.

 

 "Hushh! Apa ketawa? Kusuruh cambuk kau, seribu kali!" Sang Puteri menghardik.

 

 Akan tetapi empat orang pelayan itu masih terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang sudah dapat mengetahui rahasia hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil berlutut. "Hati hamba sekalian gembira sekali, Siocia, jangankan dicambuk seribu kali, biar selaksa kali hamba terima!"

 

 Tentu saja mereka hanya bergurau karena kalau betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali atau seribu kali, baru dua puluh kali saja kulit-kulit tipis punggung dan pinggul mereka tentu akan pecah-pecah dan nyawa mereka melayang!

 

 Demikianlah, semenjak saat itu, hati Han Ki tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita. Puteri ini adalah puteri Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita. Dan semenjak saat itu, Han Ki selalu mencari kesempatan untuk tersesat atau lebih tepat "menyesatkan diri" ke dalam taman terlarang sehingga dalam waktu sebulan itu, beberapa kali ia "kebetulan" bertemu dengan Sung Hong Kwi, puteri selir itu yang selalu ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat sering datang ke taman untuk duduk termenung sambil memandang burung kuning dalam sangkar! Kini puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada empat orang pelayannya yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong Kwi.

 

 Pada saat malam terang bulan, Hong Kwi duduk melamun di taman. Empat orang pelayan duduk tak jauh dari situ, berbisik-bisik dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang mereka tahu sedang murung memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hati tidak tampak.

 

 Hong Kwi memandang ke arah burung kuning dalam sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh. Dia tidak melihat burung di dalam sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari bibirnya berbisik-bisik "Mungkinkah....? Akukah yang seperti burung dalam sangkar? Bagaimana mampu bebas dan terbang berdua dengan burung di luar sangkar? Ah! Kam-tai-hiap....!"

 

 Seolah-olah mendengar jeritan hatinya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki telah berdiri di hadapannya!

 

 "Kam-taihiap....!" Hong Kwi terkejut sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di tempat itu! Kalau ketahuan, mereka berdua bisa celaka!

 

 Akan tetapi sikap Han Ki tidak gembira seperti biasa. Biarpun biasanya pertemuan antara mereka berdua. hanya lebih banyak pertemuan pandang mata saja daripada percakapan, namun Han Ki selalu bersikap gembira. Namun malam ini, di bawah sinar bulan, wajah yang tampan itu kelihatan muram.

 

 "Siocia...., saya datang.... untuk berpamit...."

 

 Dara jelita itu terkejut, mengangkat muka memandang penuh selidiki. "Berpamit....? Kam-taihiap.... mengapa? Apa yang terjadi? Engkau.... hendak pergikah?"

 

 Pemuda itu hanya mengangguk, kemudian memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata, "Bolehkah saya bicara berdua saja denganmu, Siocia?"

 

 "Ahhh.... tapi.... tapi...." Ia meragu! lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil berkata lirih. "Kalian pergilah sebentar." Empat orang pelayan itu saling pandang, lalu tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu, mereka berlarian menjauh dan bersembunyi di dalam bangunan kecil, agak jauh dari tempat itu.

 

 "Tai-hiap, engkau hendak pergi ke manakah?"

 

 "Siocia, saya mendapat tugas dari Menteri untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa Yucen....!"

 

 "Aihhh....! Bangsa yang biadab itu....!" Sang Puteri berseru kaget sekali.

 

 "Karena itu, maka harus diselidiki keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya harus berangkat besok pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri menghadap Siocia untuk berpamit."

 

 "Kam-taihiap, berapa lamakah kau pergi....?"

 

 Han Ki menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di sana dan.... hemmm, kalau saya sampai tidak kembali menghadap Siocia itu berarti bahwa saya tentu tewas di sana.... eh! Siocia .... ! Siocia ....!"

 

 Han Ki cepat menubruk dan merangkul dara itu yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan mendengar ucapannya itu. Dia merangkul leher dara itu penuh kasih sayang, penuh kemesraan, lalu memondongnya dan memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam. Ia tahu bahwa dara itu hanya pingsan karena kaget, maka perlahan-lahan ia mengurut belakang kepalanya.

 

 Muka itu tengadah, agak pucat namun bibirnya masih merah segar. Pernapasan merasa lega sekali dan tanpa disadarinya ia menunduk mencium dahi yang putih halus itu. Sang Puteri sadar dan berteriak ketika mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya dicium.

 

 "Ahhh, Kam-taihiap....!" Ia merintih dan kedua lengannya merangkul leher.

 

 "Hong Kwi.... Hong Kwi....?" Han Ki juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan mereka yang seolah-olah terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan berpisah! Ia menjadi terharu, bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka ketahui siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa sadar, seolah-olah ada tenaga gaib yang mendorong mereka karena selama hidup mereka belum pernah berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati, seluruh keharuan, seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang seolah-olah takkan pernah terlepas lagi itu mereka terisak, naik sedu-sedan dari dada mereka, ke tengorokan.

 

 Mereka terengah-engah, terbuai oleh gelombang asmara yang hebat, baru melepaskan ciuman setelah napas tak tertahan lagi, saling rangkul seolah-olah tak hendak melepaskan lagi.

 

 "Hong Kwi....!"

 

 "Koko....! Kam-koko....!"

 

 Entah berapa lama mereka saling rangkul, entah berapa kali mereka saling berciuman. Tiada bosan-bosannya Han Ki mencium dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher wanita yang dicintanya, seolah-olah hendak menghisap semua itu dan menyimpannya ke dalam lubuk hatinya. Mereka lupa diri, lupa waktu,lupa keadaan.

 

 "Siocia....!" Suara pelayan menyadarkan mereka. "Hamba mendengar suara peronda....!"

 

 Puteri itu melepaskan diri dari atas pangkuan Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang lengan Han Ki yang kuat. "Koko.... bagaimana dengan kita....? Ahh, Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku pergi.... mari kita minggat malam ini juga...."

 

 Han Ki menutup mulut itu dengan ciuman mesra, tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini kelihatan oleh pelayan yang cepat membuang muka dengan sungkan.

 

 "Hushhh, jangan berkata demiklan, kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali membawa jasa dan tentang masa depan kita, harap jangan khawatir.... Twako Kam Liong tentu akan membantuku dan engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat akan kedudukan dan jasa Menteri, kiranya pinangan itu takkan ditolak oleh Hongsiang. Nah, selamat berpisah, manisku. Itu peronda datang...." Han Ki melepaskan pelukannya dan hendak meloncat pergi.

 

 "Koko ....! Ahh, Koko....!" Puteri itu merintih. Han Ki meloncat kemibali, memberi ciuman yang mesra sekali yang seolah-olah menghisap hati dara itu, kemudian tanpa menoleh ia sudah meloncat cepat lenyap dari situ. Untung bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat sehingga munculnya peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena peronda-peronda itu tidak melihat atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat dan berani mati karena asmara itu. Para peronda memberi hormat kepada Puteri Sung Hong Kwi yang telah menguasai hatinya dan tanpa mengeluarkan kata-kata dara itu kembali ke kamarnya diikuti empat orang pelayannya yang diam-diam saling towel saling cubit dan menutupi senyum dengan tangan mereka.

 

 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kam Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh Menteri Kam Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja bangsa Yucen untuk menyusul Khu Tek San, yaitu murid Menteri Kam Liong yang diselundupkan ke Kerajaan bangsa Yucen.

 

 Adapun Menteri Kam Liong sendiri tak lama kemudian juga pergi seorang diri setelah mendapat perkenan Kaisar, pergi ke Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya yang ia tahu terancam perang besar dengan bangsa Yucen, bahkan barisan Sung sendiri atas pimpinan panglima-panglima perbatasan yang sudah disetujui oleh Kaisar juga membantu bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali, apalagi karena ia pun tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu mengintai daerah-daerah perbatasan!

 

 ***

 

 Maya berjalan seperti kehilangan semangat bersama pasukan pengawal yang kini telah berubah menjadi perampok-perampok, menjadi serigala-serigala haus darah yang amat kejam di bawah pimpinan Bhutan. Anak perempuan yang usianya baru sepuluh atau sebelas tahun ini menderita tekanan batin yang bukan main hebatnya. Pertama-tama tentang keadaan dirinya yang ternyata bukanlah puteri Raja dan Ratu Khitan, melainkan keponakan mereka, dan bahwa ayah bundanya telah tewas. Hal ini saja sudah membuat ia berduka bukan main, sungguhpun andaikata dia benar puteri Raja dan Ratu, mereka ini pun sekarang telah tewas. Ke dua, menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan pasukan itu benar-benar mengerikan sekali. Ke tiga, memikirkan keselamatannya sendiri yang terancam malapetaka hebat.

 

 Malam itu, gerombolan yang dipimpin Bhutan mengaso di sebuah hutan dan mereka itu berpesta-pora dan mabuk-mabukan karena baru saja mereka membasmi sebuah dusun. Di antara suara ketawa-tawa mereka terdengar jerit dan rintih wanita-wanita yang mereka culik dan mereka seret ke dalam hutan itu. Ada di antara mereka yang sekaligus membawa dua orang wanita dan mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus. Maya tidak melihat itu semua, tidak mendengar itu semua. Sudah terlalu sering ia mendengar dan melihat hal-hal mengerikan itu sehingga biarpun kini mata dan telinganya terbuka, namun yang tampak olehnya hanya api unggun di depannya.

 

 Diam-diam dia telah mempersiapkan diri. Di dalam perampokan-perampokan itu, ia menemukan sebuah pisau belati yang runcing dan tajam. Disembunyikannya pisau itu di balik bajunya, diselipkan di ikat pinggang sebelah dalam. Dan ia selalu mencari akal untuk melarikan diri. Mereka sedang mabok-mabokan dan memperkosa wanita rampasan. Kalau saja Bhutan malam itu tidak menjaganya, tentu ia akan dapat melarikan diri di dalam hutan yang gelap itu. Mereka sedang mabok dan sedang mengganggu para wanita. Kalau dia lari, tentu takkan ada yang tahu. Jantungnya sudah berdebar karena dia tidak melihat Bhutan yang tadi rebah-rebahan tidak jauh dari situ.

 

 Akan tetapi harapannya membuyar ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa Bhutan. Suara ketawa yang serak. "Ha-ha-ha, engkau kelihatan manis sekali di dekat api unggun. Kulit wajahmu kemerahan. Wahai, puteriku jelita! Engkau seperti bukan kanak-kanak lagi, heh-heh-heh!" Maya merasa muak dan mau muntah ketika muka Bhutan yang didekatkan itu mengeluarkan bau arak dan daging busuk!

 

 Jantung Maya berdebar tegang. Ia, tahu bahwa orang yang paling dibencinya ini sedang mabok. Dari pandang mata, sikap dan ucapannya, Maya merasa bahwa ada bahaya mengancamnya, bahaya yang selama ini amat ditakutinya. Biasanya Bhutan hanya merayu dan memujinya dengan kata-kata saja, akan tetapi sekali ini agaknya dia, mempunyai niat lain.

 

 "Pergi dan jangan ganggu aku!" Maya membentak marah.

 

 "Ha-ha-ha, Maya yang manis! Tadinya aku hendak menunggu satu dua tahun sampai engkau lebih matang. Akan tetapi aku tidak sabar menunggu sekian lamanya dan engkau.... hemm, engkau sudah cukup matang, engkau seperti setangkai kuncup kembang yang sudah merekah, marilah, Maya manis!" Bhutan yang kini sudah berubah seperti seekor anjing kelaparan itu menangkap tangan Maya dan menarik tubuh anak perempuan itu sehingga roboh ke dalam pelukannya. Bhutan tertawa-tawa dan memondong tubuh Maya yang meronta-ronta, membawanya ke balik gerombolan pohon kembang di mana terdapat tilam rumput hijau yang lunak. Tak jauh dari situ terdapat mayat seorang wanita yang baru saja menjadi korban kebuasan Bhutan. Manusia kejam ini telah memperkosa wanita rampasan itu, kemudian membunuhnya karena wanita itu tidak memuaskan hatinya dan dalam kehausan nafsu yang bernyala-nyala, Bhutan teringat akan Maya dan kini membawa anak perempuan yang meronta-ronta itu ke situ tanpa mempedulikan mayat yang menjadi korban kebuasannya.

 

 Sambil tertawa-tawa dan dengan nafsu makin menyala-nyala, agaknya makin terbangkit oleh perlawanan Maya yang meronta-ronta, Bhutan melempar tubuh Maya ke atas rumput di mana dara cilik itu terbanting roboh telentang, kemudian Bhutan menubruk dan menindihnya. Maya menggerakkan kepala ke kanan kiri untuk mengelakkan ciuman-ciuman Bhutan yang menjijikkan. Biarpun semenjak tadi Maya meronta-ronta dan menjerit-jerit seperti seorang yang tidak berdaya dan yang hanya bisa menjerit dan menangis, namun sesungguhnya diam-diam anak ini telah mempersiapkan seluruh urat tubuhnya dengan perhitungan seorang ahli silat. Ketika melihat lowongan, yaitu kedua tangan Bhutan menjambak rambutnya, agaknya untuk memaksa Maya agar tidak dapat menggerakkan kepala mengelak, kemudian mencium mulut gadis cilik itu penuh nafsu, saat itulah yang dinanti-nanti Maya. Ia mengatupkan mulutnya ,kuat-kuat sehingga yang dicium Bhutan hanya sepasang bibir yang bersembunyi, dan tiba-tiba tangan kanan Maya bergerak, menikamkan pisau belati tepat, ke ulu hati Bhutan dan miring ke kiri, ke arah jantung, sedangkan tangan kirinya yang kecil itu menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah mata lawan. Biarpun Maya merasa muak dan jijik, namun dengan kekuatan hatinya ia dapat menekan perasaannya itu dan dapat melakukan serangan mendadak secara tepat sekali.

 

 Pekik yang keluar dari mulut Bhutan merupakan raungan binatang buas yang direnggut nyawanya. Tusukan jari-jari kecil pada kedua matanya dan rasa sakit pada dadanya membuat Bhutan secara otomatis membawa tangannya ke mata dan dada. Saat yang hanya beberapa detik ini cukup bagi Maya untuk meronta. dan keluar dari tindihan tubuh Bhutan, kemudian meloncat pergi lalu berlari cepat memasuki tempat gelap. Bhutan meloncat bangun, meraung lagi, berusaha mengejar namun roboh terguling, berkelojotan dan dari kerongkongannya terdengar bunyi mengorok seperti babi disembelih. Akhirnya ia tewas tak jauh dari mayat wanita yang telah dibunuhnya.

 

 Akan tetapi perhitungan Maya meleset. Dia tidak memperhitungkan pekik yang keluar dari mulut Bhutan ketika ia melakukan penikaman. Pekik itu menarik perhatian dan mengejutkan beberapa orang anak buah gerombolan yang berada tidak jauh dari tempat itu! Mereka kaget dan meninggalkan wanita korban mereka yang sudah setengah mati, lalu meloncat ke tempat terdengarnya suara, pekikan. Tentu saja merasa terkejut melihat tubuh Bhutan berkelojotan dan lenyapnya Maya. Mereka berteriak-teriak dan tak lama kemudian, empat belas orang bekas pengawal itu telah mengejar Maya!

 

 Akhirnya Maya yang kelelahan dan kehabisan tenaga karena memang tubuhnya sekarang telah menjadi lemah akibat tidak terpelihara dengan baik, makan dan tidur tidak teratur, tertangkap oleh gerombolan itu di luar sebuah dusun menjelang pagi. Empat belas pasang tangan memperebutkannya, dan seorang di antara mereka cepat,berkata,

 

 "Heh, kawan-kawan jangan bodoh!

 

 Kalau diperebutkan begitu, dia akan mampus. Sayang sekali kalau begitu!

 

 Lebih baik dia dirawat dan kita pelihara baik-baik. Dia dijadikan milik kita bersama. Ingat, dia bukan kembang sembarang kembang, harus diperlakukan penuh kelembutan. Ha-ha-ha!"

 

 Mendengar ini, yang lain-lain setuju dan sambil tertawa-tawa mereka menggandeng tangan Maya yang sudah babak belur itu.

 

 "Nah, ini ada dusun, melihat bangunan-bangunannya lumayan juga. Bocah ini masih terlalu kecil, kita pelihara dulu sampai menjadi segar dewasa. Lihat, dia sudah hampir mati kelelahan. Lebih baik kita mencari bunga di dusun itu dan berpesta-pora!" terdengar suara seorang di antara mereka. Setelah Bhutan tewas, empat belas orang itu merupakan gerombolan tanpa pimpinan yang tentu saja menjadi lebih buas seperti srigala-srigala tanpa bimbingan.

 

 Sambil bersorak-sorak, empat belas orang itu menyerbu dusun. Dua orang penjaga di pintu pagar dusun, mereka bunuh tanpa banyak cakap lagi. Mulailah lagi perbuatan jahat dan penuh kebuasan melanda dusun itu. Penduduknya yang terkejut karena tak menyangka akan diserbu pada pagi hari itu, menjadi geger! Ada sebagian penduduk yang nekad melakukan perlawanan, namun tentu saja mereka itu bukan tandingan gerombolan bekas pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mulailah terjadi pembunuhan, disusul perampokan, pembakaran dan perkosaan. Mulailah terdengar pekik-pekik mengerikan, pekik kematian dicampur dengan jerit-jerit penuh ketakutan, jerit-jerit para wanita yang diperlakukan semaunya oleh gerombolan itu. Sementara itu Maya tidak mendapat kesempatan untuk lari karena sewaktu para gerombolan menyerbu dusun, kaki tangannya dibelenggu kuat-kuat dan dia dipaksa menunggu mereka dalam keadaan tidak dapat bergerak, hanya sepasang matanya yang lebar menyaksikan semua kekejian yang terjadi di dusun itu.

 

 Seperti biasa pula pada akhir penyerbuan sebuah dusun, para gerombolan ini menyeret wanita yang mereka pilih, ada yang sibuk mengumpulkan benda-benda berharga, ada yang minum arak sampai mabok dan di antara asap rumah-rumah yang masih menyala, mereka tertawa-tawa dan berkumpul di dekat tumpukan mayat-mayat, memandang rumah terbakar, ada yang mulai mengganggu wanita di depan mata kawan-kawannya, ada yang bernyanyi-nyanyi, menyanyikan lagu kemenangan barisan tentara Khitan. Semua ini terjadi dengan hiruk-pikuk dan Maya terpaksa harus menonton semua yang terjadi di depan mata karena ia berada di tengah-tengah antara mereka. Belenggunya sudah dilepas dan dia menjadi muak dan pening. Di belakangnya, tiga orang gerombolan sedang mengganggu tiga orang wanita yang menjerit-jerit di antara suara ketawa mereka, di depannya juga ada dan di kanan kiri, gerombolan-gerombolan itu tertawa-tawa, minum-minum dan mengamat-amati hasil rampokan mereka dengan gembira!

 

 Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda banyak sekali mendatangi dusun yang terbakar itu. Empat belas orang gerombolan bekas pengawal menjadi terkejut. Akan tetapi mereka sudah terlalu mabok, mabok oleh arak dan mabok nafsu sehingga mereka terlambat untuk mengetahui bahwa yang datang adalah pasukan musuh, pasukan bangsa Yucen yang berjumlah lima puluh orang! Tahu-tahu mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang banyak jumlahnya itu dan terjadilah perang tanding yang berat sebelah. Biarpun gerombolan bekas pengawal ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu sudah setengah mabok dan jumlah mereka kalah banyak. Mereka melakukan perlawanan gigih dan mengamuk. Melihat kesempatan ini, Maya berusaha untuk melarikan diri. Ia meloncat, akan tetapi sebuah tamparan seorang pengawal terdekat membuat ia roboh terpelanting dan pingsan di antara tumpukan mayat!

 

 Perang kecil yang berat sebelah itu berlangsung tidak terlalu lama. Biarpun mengorbankan beberapa orang anak buahnya, namun pasukan Yucen akhirnya berhasil membunuh empat belas orang gerombolan bekas pengawal Khitan itu. Mayat mereka malang-melintang dan bertumpuk-tumpuk di antara mayat-mayat bekas korban mereka, penduduk dusun dan wanita-wanita muda yang mereka perkosa. Sisa pasukan Yucen lalu pergi meninggalkan dusun itu yang kini berubah menjadi tempat yang mengerikan sekali. Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah api yang masih memakan atap-atap rumah. Tampak di sana-sini muncul beberapa orang penduduk yang berani datang untuk mengambil dan mengungsikan barang-barang mereka, akan tetapi tak seorang pun berani mendekati tumpukan mayat empat belas orang gerombolan yang merubah dusun itu menjadi neraka bagi penduduknya.

 

 Tak lama kemudian, dari arah barat tampak dua orang berjalan ke arah dusun itu. Dari jauh sudah tampak bahwa mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita, yang laki-laki berkulit hitam sekali dan yang wanita berkulit putih, akan tetapi tubuh wanita itu tinggi, bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan laki-laki berkulit hitam itu. Kalau dilihat dari dekat, tentu orang akan terheran-heran melihat pakaian dan wajah mereka yang berbeda jauh dari penduduk umumnya. Laki-laki itu tinggi kurus, kulitnya hitam arang, rambutnya yang keriting ditutup sorban kuning, tubuh atas tidak berbaju hanya dilibat kain kuning yang sudah dekil, tubuh bawah memakai celana hitam sampai di bawah lutut, kakinya tidak bersepatu. Sederhana sekali pakaian dan sikapnya, namun wajahnya membayangkan kewibawaan besar dengan sepasang mata yang tajam seperti mata pedang tetapi juga menyeramkan dan liar itu bergerak ke sana-sini.

 

 Si Wanita tidak kalah anehnya. Wajahnya berbentuk seperti laki-laki itu, kening lebar, mata lebar, hidung mancung sekali dan besar, dagu runcing sehingga dia memiliki kecantikan yang aneh dan khas. Telinganya memakai hiasan cincin besar, rambutnya terurai sampai ke punggung. Tubuhnya tinggi besar, nampak kuat seperti tubuh pria namun gerak-geriknya yang lemah-lembut menandakan bahwa dia benar-benar seorang wanita. Memakai baju berlengan pendek dan celana panjang sampai ke kaki berwarna biru, akan tetapi di luar bajunya, ia memakai sutera kuning yang panjang dilibat-libatkan di tubuh. Lengan kirinya yang berkulit putih kemerahan, bukan putih kekuningan seperti kulit wanita pribumi, memakai sebuah gelang emas yang besar dan tebal. Demikian pula kedua pergelangan kakinya dihias gelang kaki terbuat dari pada emas sehingga kadang-kadang kalau kedua kaki berganti langkah, gelang-gelang itu beradu dan menimbulkan suara berdencing nyaring. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata, memasuki dusun itu dan menggeleng-geleng kepala menyaksikan rumah-rumah terbakar dan mayat-mayat bertumpukan dan berserakan.

 

 Ketika tiba di tumpukan mayat empat belas orang bekas pengawal Khitan dan wanita-wanita serta penduduk, mereka berhenti dan bicara dalam bahasa India.

 

 "Bukankah pakaian mereka itu menunjukkan bahwa mereka, pasukan pengawal Khitan?" kata Si Wanita.

 

 "Agaknya begitulah," jawab yang laki-laki suaranya parau dan dalam. "Manusia di mana-mana sama saja, sekali diberi kesempatan, lalu berlumba saling membunuh."

 

 Keduanya sudah akan melangkah pergi lagi ketika tiba-tiba terdengar rintihan yang keluar dari tumpukan mayat.

 

 "Ha! Seorang anak perempuan!" Laki-laki itu berkata dan matanya mengeluarkan sinar aneh, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Angin yang kuat menyambar ke arah tumpukan mayat dan.... sebagian mayat yang bertumpuk di atas terlempar seperti daun-daun kering tertiup angin. Tampaklah kini seorang anak perempuan yang merintih tadi bangun dan berusaha melepaskan diri dari himpitan mayat-mayat. Anak ini adalah Maya yang tadi pingsan kemudian tubuhnya tertindih banyak mayat!

 

 "Aihh! Anak siapa ini?" Wanita itu meloncat maju mendahului Si Laki-laki, gerakannya cepat sekali seperti terbang dan sekali sambar ia telah mencengkeram punggung baju Maya dengan tangan kiri dan mengangkat tubuh Maya ke atas sambil dipandangnya penuh perhatian. Lagak wanita itu seperti seorang wanita sedang memeriksa seekor kepiting yang hendak dibelinya di pasar!

 

 "Haiii! Kesinikan anak itu! Dia milikku karena akulah yang menemukannya, ,aku yang pertama membongkar tumpukan mayat yang menimbunnya!" Laki-laki itu berseru, melangkah maju.

 

 "Tidak!" Wanita itu memondong Maya dan meloncat menjauhi. "Aku yang lebih dulu mengambilnya. Anak ini hebat....!" ia mengelus pipi, memeriksa mata, rambut dan mulut Maya. "Anak hebat....! Ah, manis, siapakah namamu?" tanyanya dalam bahasa Han.

 

 Biarpun dia seorang puteri Khitan, namun sejak kecil ia diajar bahasa Han di samping bahasa Khitan, maka Maya lalu menjawab, "Namaku Maya. Kalian siapakah?" Anak ini lupa akan kesengsaraannya karena heran menyaksikan dua orang aneh yang tadi bicara dalam bahsa yang tak dimengertinya, juga yang mempunyai wajah asing, hidung panjang dan pakaian yang aneh pula.

 

 "Maya? Bagus sekali! Nama yang bagus sekali!" Wanita itu berseru girang dan menciumi kedua pipi Maya. Anak itu mencium bau kembang yang aneh, wangi namun memuakkan baginya, akan tetapi dia tidak melawan dan membiarkan mukanya dihujani ciuman oleh wanita itu. "Kau cocok denganku! Hebat! Engkau tentu suka menjadi kekasihku bukan? Maya, engkau tentu anak Khitan!" Wanita itu kini menggunakan bahasa Khitin dan Maya menjawab dalam bahasa itu juga, suaranya berubah girang. "Benar, aku adalah Puteri Maya, puteri.... Raja dan Ratu Khitan!"

 

 "Apa....?" Laki-laki itu meloncat maju. "Puteri Khitan? Hayo, Dewi, berikan padaku anak itu. Aku yang berhak! Dia berdarah raja, dan tampaknya dia memang memiliki darah murni. Berikan!"

 

 "Tidak!" Wanita itu memondong Maya dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mengepal tinju, mukanya merah menentang dan matanya bersinar-sinar merah kepada laki-laki berkulit hitam itu. "Mahendra! Belum puaskan engkau dengan darah beberapa orang anak yang telah kauhisap habis? Engkau penghisap darah anak yang tiada puasnya! Tidak, anak ini adalah milikku. Engkau tidak boleh mengganggu Maya! Dia punyaku dan kalau engkau memaksa aku akan membunuhmu."

 

 Laki-laki itu yang disebut Mahendra, tertawa bergelak sehingga ngeri hati Maya melihatnya. Muka yang hitam itu kelihatan lebih hitam lagi setelah tertawa dan nampak deretan gigi yang putih mengkilap!

 

 "Ha-ha-ha-ha! Nila Dewi, engkau mengancamku berkali-kali seolah-olah aku ini hanya seekor semut yang mudah mati diinjak! Aku memang haus akan darah anak perempuan, akan tetapi hal itu hanyalah karena aku belum menemukan anak yang darahnya cocok untuk menyempurnakan ilmuku. Kalau aku sudah mendapatkan darah seorang anak seperti Maya ini, tentu aku selanjutnya takkan butuh darah lagi. Berikanlah, sayang. Malam nanti terang bulan, kita dapat berkasih-kasihan. Kalau ada aku di sini, masa engkau butuh belaian seorang bocah seperti itu lagi? Ha-ha-ha!"

 

 "Mahendra, aku tidak main-main. Maya ini milikku dan habis perkara!". Nila Dewi mulai mencium-cium dan mencucup-cucup kulit leher dan pipinya. Gilakah perempuan ini, pikirnya.

 

 "Ha-ha-ha, kalau begitu, sebaiknya kita bertanya kepada Maya agar dia yang memilih." Mahendra memandang Maya dan berkata dalam bahasa Khitan, "Eh, Maya anak manis, dengarlah. Kalau engkau memilih aku, terus terang saja aku akan mengambil darahmu untuk obat, akan kuisap habis dan engkau akan mati seketika tanpa merasa terlalu nyeri. Sebaiknya kalau engkau memilih Nila Dewi, dia akan menjadikan engkau kekasihnya untuk menuruti nafsu berahinya yang selalu berkobar tak pernah padam. Engkau akan dibelai, diperas dan perlahan-lahan engkau pun akan mati! Memilih aku berarti mati seketika tanpa banyak menderita, memilih dia berarti akan mau sekerat demi sekerat dan banyak menderita!"

 

 "Phuaahhh, bohong!" Nila Dewi menjerit marah. "Memilih dia mati seperti seekor ayam disembelih, sedangkan memilih aku, hemmm.... akan mengalami kenikmatan dunia. Andaikata mati, mati dalam kenikmatan, bukankah itu bahagia sekali! Kau memilih aku, ya Maya? Memilih aku, anak manis?" Nila Dewi mendekatkan mukanya dan mencium bibir Maya, mengecupnya lama-lama sampai tersedak-sedak kehabisan napas baru dilepaskan. Kini Maya menjadi takut sekali, hatinya dicengkeram rasa ngeri yang hebat. Kiranya dia terjatuh kedalam tangan dua orang asing yang entah gila entah memang berwatak Seperti iblis! Kalau tahu begini, jauh lebih baik dia pingsan di bawah tumpukan mayat-mayat itu!

 

 "Hayo pilih, pilih siapa engkau. Maya?" Laki-laki berkulit hitam itu mendesak dan melangkah maju.

 

 Maya memandang mereka bergantian dengan mata terbelalak. Bagaimana dia bisa memilih? Keduanya sama menyeramkan dan memilih yang manapun berarti dia akan mati! Kematian di tangan laki-laki itu sudah pasti, darahnya akan disedot habis. Dia bergidik ngeri. Akan tetapi biarpun dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan mati di tangan wanita itu, namun ia sudah membayangkan kengerian yang membuat ia bergidik dan menggigil. Dia dijadikan kekasih! Apa artinya ini?

 

 Kedua orang itu memang bukan manusia-manusia, lumrah. Keduanya adalah saudara seperguruan, murid-murid seorang sakti di Pegunungan Himalaya. Keduanya memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tinggi, akan tetapi mempunyai keahlian yang khusus, yaitu membuat pedang yang ampuh. Guru mereka, bertapa di Himalaya itu memang seorang ahli membuat senjata ampuh, di samping memiliki kesaktian yang tinggi. Ketika mereka, kakak beradik seperguruan ini mulai tergoda nafsu berahi di tempat sunyi itu dan melakukan pelanggaran hubungan kelamin, gurunya marah-marah dan mengusir mereka. Mahendra dan Nila Dewi melarikan diri ke tempat asal mereka, yaitu di India Utara. Akan tetapi, di tempat ini pun mereka terkenal sebagai manusia-manusia iblis yang tidak segan melakukan pembunuhan dan perbuatan-perbuatan keji, menculik anak-anak, sehingga akhirnya mereka dimusuhi pemerintah dan kembali melarikan diri. Sekali ini mereka lari ke Nepal dan di negara ini mereka berdua, berkat kepandaian mereka yang tinggi, diangkat menjadi empu-empu pembuat pusaka kerajaan. Di tempat ini mereka dapat bertahan sampai puluhan tahun karena Raja Nepal selalu menyediakan segala kebutuhan mereka, anak-anak kecil untuk dihisap darahnya oleh Mahendra, anak-anak dan dara-dara jelita untuk dijadikan kekasih Nita Dewi yang mempunyai kesukaan aneh sekali, yaitu suka bermain cinta dengan wanita muda cantik!

 

 Sampai berusia empat puluh tahun lebih, kedua orang saudara seperguruan ini masih menjadi kekasih, kadang-kadang bermain-main cinta dengan mesra, akan tetapi kadang-kadang bercekcok sebagai dua orang musuh besar, bahkan tidak jarang mereka bertanding mati-matian!

 

 Akan tetapi, selalu Mahendra yang mengalah karena diam-diam Mahendra benar-benar jatuh cinta kepada adik seperguruannya ini. Karena cintanya yang besar maka dia pun tidak mengganggu kesukaan kekasihnya yang membagi cintanya dengan anak-anak perempuan cantik.

 

 Kehidupan di Nepal membosankan dua orang manusia iblis ini. Apalagi ketika mendengar bahwa di timur terjadi pergolakan perang antar suku, mereka lalu meninggalkan Nepal untuk menonton keramaian. Di mana terjadi perang, di sana akan banyak ditemukan korban-korban mereka!

 

 "Memilih siapa, anak manis?" Nila Dewi bertanya, suaranya halus lemah-lembut dan penuh kasih sayang sehingga sejenak Maya terpengaruh, membuat dia hampir merangkul wanita itu. Akan tetapi dia teringat dan mulailah anak yang memiliki keberanian luar biasa dan yang sudah berhasil mendinginkan hatinya yang tegang itu memutar otaknya. Kalau memilih Mahendra, berarti terus mati dan tidak ada kesempatan menyelamatkan diri. Dia harus hidup. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan dalam hidupnya! Kalau dia memilih Nila Dewi, berarti akan ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.

 

 "Aku memilih Nila Dewi!" katanya lantang.

 

 Nila Dewi girang sekali, sambil memondong Maya dia menari-nari berputaran. Maya merasa heran dan juga kagum karena tarian Nila Dewi sungguh indah. Tubuhnya dapat bergerak-gerak lemah-gemulai, pinggangnya meliak-liuk seperti tubuh ular dan sepasang gelang pada kakinya saling beradu menimbulkan irama seperti musik yang mengiringi tariannya!

 

 "Anak manis! Anak baik! Kekasihku.... aihh, engkau memilih aku, hi-hik!" Nila Dewi menunduk kembali mencium mulut ,Maya, tangan kiri memondong, sedangkan jari-jari tangan kanannya menggerayangi Maya. Maya terkejut sekali dan merasa betapa semua bulu di tubuhnya bangun berdiri penuh kengerian. Sungguhpun wanita ini tidak menjijikkan seperti Bhutan, akan tetapi perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi wanita, namun belaian-belaiannya sungguh mengerikan hatinya, memuakkan dan menimbulkan jijik dan takut.

 

 Tiba-tiba Mahendra melompat cepat dan Maya merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi berhenti, tubuh wanita itu menjadi lemas kemudian roboh bersama dia!

 

 "Mahendra, engkau pengecut curang....!" Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan tetapi roboh lagi. Mahendra tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat Maya yang melihatnya membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila Dewi telah duduk bersila dekat pohon, kedua lengan ditelikung ke belakang dan diikat kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan membelainya, penuh nafsu berahi yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra telah menyerangnya dan menotok wanita itu roboh terkulai lemas dan tidak dapat melawan lagi!

 

 Timbul rasa takutnya dan ia hendak lari. Akan tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah menangkapnya, kemudian menggunakan sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan tangannya, bahkan tali pengikat kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh Mahendra untuk menggantung tubuh Maya dari cabang pohon. Tali itu diikatkan pada cabang pohon sehingga tubuh Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah dan kedua tangannya terikat ke belakang punggung!

 

 "Mahendra!" Nila Dewi yang duduk bersila di bawah pohon itu berteriak. "Kalau engkau membunuh Maya, aku bersumpah untuk membunuhmu!"

 

 Mahendra tertawa, mengeluarkan sebuah mangkok tanah dan sebatang pisau belati yang tajam sekali dari balik baju yang melibat tubuhnya, berkata, "Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak akan membunuhnya, betapapun ingin aku menyedot habis darahnya melalui leher dengan jalan menggigit urat lehernya dan menyedot sampai tubuhnya kering, betapa ingin aku membelah kepalanya dan makan otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga. Akan tetapi aku ingat akan kebutuhanmu. Tidak, aku tidak akan membunuhnya, maka kukeluarkan pisau dan mangkok ini. Aku hanya akan mengambil darahnya semangkok untuk kuminum, dia tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya. Boleh bukan?"

 

 "Keparat kau! Iblis kau! Awas kalau sampai dia cacat!" Nila Dewi mencaci-maki.

 

 "Tenanglah, kekasihku. Aku akan mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak cacad. Aku hanya menginginkan semangkok darah dan.... sedikit sumsumnya. Kalau kukerat sedikit punggungnya, kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah darahnya, kemudian lukanya kuobati, dia tidak akan cacad, heh-heh!"

 

 "Jahanam sialan engkau!" Nila Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa Mahendra tidak akan membunuh Maya.

 

 Dapat dibayangkan betapa ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Khitan itu. Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua tangannya.

 

 "Heh-heh. merontalah kuat-kuat Anak manis. Agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!" Mahendra melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih! Maya sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta tiada gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi ia sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat harapan lagi.

 

 "Siluman jahat, apa yang kaulakukan?" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua buah benda, yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata, yang sebuah lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.

 

 "Harrggghhh....!" Mahendra menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang. Tali yang menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu kemudian bergulingan. Kedua tangan dan kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.

 

 Sementara itu, Mahendra menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di tangan kiri. Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan cepat, juga mendatangkan angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat sekali. Namun berkali-kali Mahendra mengeluarkan seruan kaget dan karena laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan membalas dengan serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas tanda sin-kang yang amat kuat!

 

 Siapa pria setengah tua yang perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia bukan lain adalah Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong pergi seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau bangsa, Mongol. Betapa adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Go-bi-san mencari kakek dan neneknya. Kalau saja waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul ke Go-bi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi Go-bi-san terlalu jauh dan dia harus segera kembali ke selatan berhubung dengan gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara ini. Maka dengan hati tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang anak perempuan secara kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya, karena memang anak Raja Khitan itu tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu tentulah anak pelarian para pengungsi yang dusunnya dilanda perang.

 

 Diam-diam Kam Liong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat mendesak lawannya. Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali dan karena Mahendra berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh, makin lama dua orang yang bertanding ini makin menjahui tempat di mana Maya berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.

 

 "Maya kekasihku, jangan pergi. Aku akan melindungimu." Nila Dewi berkata. lembut sambil berusaha pula membebaskan ikatan kedua tangannya. Akan tetapi totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar maka diam-diam ia memaki Mahendra dan kemudian memejamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau jalan darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tentu akan putus tali pengikat tangannya. Maya agaknya mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului nenek itu untuk melepaskan diri dan lari.

 

 Kalau di sebelah sana tampak berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, di sini terjadi pula perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlumba melawan Nila Dewi untuk lebih dulu membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti bahwa kalau dia kalah dalam perlumbaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan kesempatan untuk melarikan, karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding dengan orang gagah yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari! Untung bagi Maya bahwa Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu kuat, berbeda dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga untuk memulihkan jalan darah berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua kakinya. Akhirnya ia berhasil melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat bangun dan dengan kedua tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.

 

 "Robohlah....!" Tiba-tiba terdengar suara Nila Dewi nyaring dan bagaikan didorong tenaga mujijat Maya terguling roboh! Ia cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya wanita ini tadi telah menggunakan sin-kang untuk menendangnya dari jarak jauh, akan tetapi penggunaan sin-kang ini melenyapkan tenaga yang sudah mulai terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang pohon. Melihat ini, Maya tidak mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun dan lari lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!

 

 "Berhenti.... ahhhh, kekasihku, tega engkau meninggalkan aku....?" Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa menengok Maya terus lari secepatnya.

 

 Sementara itu, pertandingan antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau menangkis dengan kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan mangkok tanah pada Kam Liong. Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.

 

 "Brakkk!" Mangkok itu pecah berkeping-keping.

 

 "Mampuslah!" Mahendra berseru dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam Liong. Pendekar ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan seperti seorang nelayan melempar jaring ikan!

 

 Cepat ia mengelak, namun kain itu digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk "menjaringnya"! Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih dan dia telah memegang suling emas dan kipasnya.

 

 "Suling Emas....!" Mahendra terkejut, meloncat ke belakang dan.... melarikan diri seperti orang ketakutan melihat setan.

 

 Kam Liong tidak mengejar, sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh kagum. Nama ayahnya, Pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga orang hitam aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan! Ia cepat meloncat ke tempat di mana anak tadi digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan menghimpun kekuatan dalam. Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil melarikan diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya. Dia tidak mengenal dua orang India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya menolong anak perempuan itu dan setelah anak, perempuan itu berhasil menyelamatkan diri, dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di selatan.

 

 Di dalam perjalanan pulang ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya Raja Talibu, berprihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat juga Kam Liong merasa gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi duri dalam daging baginya. Perjalanannya ke utara telah menghasilkan pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang desas-desus bahwa di antara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan, termasuk pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat

 

 Suma Kiat adalah putera tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas. Namun semenjak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu (baca ceritaMUTIARA HITAM) sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari keluarga keturunan Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat bahwa Suma Kiat masih saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan berkat usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat panglima dalam, pasukan pertahanan pemerintah. Memang Suma Kiat bukan seorang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang, amat tinggi mewarisi ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma, menjadi seorang bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia dalam gedungnya di kota raja, Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal ini sebagian besar adalah karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi daripadanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula.

 

 Kini Suma Kiat telah menjadi seorang setengah tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah.

 

 Ia telah menikah dengan seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan lemah-lembut seperti Ibunya. Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan filsafat, diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari pendekar besar Suling Emas, maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi dari ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang agaknya menurun dan mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu berahi dan berwatak mata keranjang!

 

 Selain puteranya sendiri, Suma Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan Lee. Anak ini mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biarpun bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra namun berkat kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali dalam ilmu silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu mengumpulkan ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan di kantor menjadi seorang "bangsawan" kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.

 

 Banyak hal terjadi sebagai akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun tangan dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru berusia kurang lebih dua puluh tahun.

 

 Pada suatu hari, Suma Hoat diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang merupakan sebuah di antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping kesukaannya mengujungi tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi dan menari kemudian memilih yang tercantik di antara mereka untuk diajak bersenang-senang.

 

 Dengan menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan tampan dan gagah perkasa. Pakaiannya serba indah, terbuat daripada sutera halus, rambutnya yang hitam panjang itu dihias dengan hiasan berupa seekor naga emas bertabur batu kemala, gagang pedangnya yang terbuat dari emas menghias punggungnya, wajahnya yang berkulit putih berseri-seri dengan sepasang mata lebar dan lincah pandangnya, bibirnya selalu tersenyum. Banyak wanita akan terguncang hatinya apabila melihat pemuda bangsawan yang tampan ini membalapkan kuda putihnya. Didampingi pemuda Siangkoan Lee yang buruk rupa, Suma Hoat kelihatan lebih tampan lagi.

 

 Para wanita cantik di rumah-rumah hiburan yang semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda Suma) ini, berkumpul di jendela loteng dan melambai-lambaikan saputangan sutera yang harum, melontarkan senyum memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas senyuman mereka dan tidak berhenti karena memang sekali ini tidak ingin menghibur hati dengan wanita-wanita cantik itu, melainkan hendak pergi berburu binatang buas di hutan. Pula, ia sudah mulai bosan dengan wanita-wanita cantik yang akan menghibur pria manapun juga asal yang beruang itu, bosan dengan cinta yang diobral mereka, cinta kasih yang dijual.

 

 Dua orang pemuda itu membalapkan kuda mereka keluar dari kota raja dan memasuki dusun-dusun menuju ke hutan yang besar. Di sebuah dusun mereka mendengar keluh kesah rakyat tentang gangguan seekor harimau besar yang sudah banyak mencuri kambing dan kerbau penduduk, bahkan telah membunuh dua orang anak kecil. Mendengar ini, bangkit semangat Suma Hoat untuk membunuh harimau itu.

 

 "Kita harus dapat menangkapnya dan membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!" demikian Suma Hoat berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya, juga yang menjadi sutenya.

 

 "Asal saja dia berani keluar dari tempat sembunyiannya, Kongcu," jawab Siangkoan Lee yang masih menyebut "kongcu" kepada suhengnya itu, mengingat akan kedudukan mereka.

 

 Demikianlah, kedua orang muda itu menjelajah hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang harimau. Telah sepekan lamanya mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Harimau besar yang dicari-carinya tidak tampak, Suma Hoat menjadi penasaran sekali. Dia sampai lupa akan niatnya semula, yaitu berburu binatang. Banyak sudah selama sepekan ini dia melihat binatang-binatang hutan, namun semua itu dibiarkannya saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mencari harimau yang telah mengganas di dusun-dusun sekeliling daerah pegunungan itu.

 

 Berkali-kali Siangkoan Lee membujuk kongcunya untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis berkerut, Suma Hoat yang berkemauan keras ini malah membentaknya.

 

 "Sudah kukatakan bahwa sebelum berhasil membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau pulang. Jangankan baru sepekan, biar selama hidupku di sini aku tetap harus mencarinya sampai dapat!"

 

 Siangkoan Lee yang meninggalkan pekerjaan khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya, tetapi ia tidak berani membantah lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau malam mereka pun mengintai, baru kalau sudah lelah sekali tidur di bawah pohon saja sambil membuat api unggun. Suma Hoat benar-benar mempunyai kemauan yang keras sekali dan pantang mundur sebelum niatnya terpenuhi.

 

 Pada pagi hari yang ke sembilan, dua orang pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung, hutan yang tidak berapa besar akan tetapi yang belum mereka datangi, berada di lereng dekat kaki bukit. Mereka berjalan kaki menuntun kuda masing-masing sambil memandang tajam mencari-cari kalau-kalau ada gerakan binatang yang mereka cari-cari.

 

 Tiba-tiba mereka mendengar suara lapat-lapat, jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma Hoat menoleh kepada Siangkoan koan Lee. "Adakah engkau mendengar suara di sana?"

 

 "Siangkoan Lee mengangguk. "Seperti jerit seorang wanita."

 

 "Benar! Kita menunggu apa lagi? Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!" Cepat sekali Suma Hoat sudah melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan Lee.

 

 Setelah menuruni lereng, mereka tiba di jalan umum yang datang dari timur dan dari atas sudah tampak oleh mereka sebuah kereta terguling di pinggir jalan dan beberapa orang laki-laki yang berpakaian pelayan dan pengawal malang-melintang di sekitar tempat itu. Jauh dari kereta itu tampak serombongan orang sedang mengangkuti barang-barang dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda dan memangku seorang wanita yang meronta-ronta dan agaknya wanita itulah yang tadi mengeluarkan jeritan.

 

 "Bukan harimau yang menyerangnya, Kongcu," kata Siangkoan Lee.

 

 "Memang bukan, akan tetapi lebih jahat daripada harimau. Mereka perampok keparat yang bosan hidup! Kaubasmi anak buahnya, aku akan menolong wanita itu!"

 

 Dua orang muda itu membedal kuda mereka dan sebentar saja mereka sudah tiba di tempat itu. Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari kuda dan membentak

 

 "Kalian perampok-perampok hina. Tahan dulu!"

 

 Para anak buah perampok yang sedang tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi barang-barang berharga seperti perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan berkayu-kayu, menjadi marah ketika melihat Siangkoan Lee, seorang pemuda yang masih hijau dan kelihatannya tidak menakutkan itu. Jumlah mereka ada sembilan orang, tentu saja mereka tidak takut.

 

 Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan kelihatan kuat terbukti dari bawaannya, yaitu sebuah peti yang berat sekali, melangkah maju dan melotot kepada Siangkoan Lee, kemudian membentak, "Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau apa?"

 

 "Jawab dulu, apakah engkau ini telah melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan pelayan itu?"

 

 "Ha-ha-ha! Benar sekali! Tidak hanya pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar telah menjadi mayat di dalam kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan menggairahkan, menjadi bagian tai-ong kami! Kau mau bagian? Jangan main-main! Para pengawal yang kuat itu semua mampus oleh kami. Nih, terima bagianmu!" Tiba-tiba Si Tinggi Kurus itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan Lee.

 

 Peti yang beratnya lebih dari seratus kati itu melayang ke arah Siangkoan Lee dan para anggauta gerombolan itu tertawa-tawa, yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu akan roboh tertimpa peti dan gepeng tubuhnya. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti dan mereka melongo ketika melihat Siangkoan Lee menerima sambaran peti itu hanya dengan telapak tangannya dan Si Pemuda kurus itu melontar-lontarkan peti itu ke atas seperti seorang anak kecil mempermainkan sebuah bola karet, kemudian tangan itu mendorong maju, peti melayang ke arah, Si Tinggi Kurus dengan kekuatan dahsyat.

 

 "Ahhh....!" Perampok tinggi kurus itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima peti, akan tetapi tak tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya pecah tertimpa peti yang berat!

 

 Para perampok yang tinggal delapan orang itu menjadi marah sekali. Mereka menurunkan bawaan masing-masing, mencabut senjata lalu menerjang Siangkoan Lee seperti serombongan srigala mengamuk. Pemuda kurus ini pun membentak keras dan mencabut sebatang golok melengkung yang amat tajam, memutar golok menghadapi pengeroyokan delapan orang itu tanpa merasa gentar sedikit pun. Ternyata olehnya bahwa para perampok itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan penjahat-penjahat kawakan yang pandai ilmu silat dan bertenaga besar. Namun, Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan hebat dan sebagai murid yang tekun dari Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu saja gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga sin-kang yang kuat.

 

 Sementara itu, Suma Hoat membalapkan kudanya melewati para anak buah perampok yang ia serahkan kepada sutenya, terus mengejar kepala perampok yang melarikan wanita itu. Karena kepala rampok itu menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa dan tangannya menggerayangi tubuh wanita rampasannya, sambil mencium dan kelihatan makin gembira karena wanita itu meronta-ronta, sebentar saja kuda Suma Hoat telah menyusulnya.

 

 "Berhenti kamu keparat hina!" bentak Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri menghadang di depan kuda yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu. Kepala perampok yang tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar. Kumis dan jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia menjadi marah sekali.

 

 "Heh, siapa engkau bocah yang bosan hidup?" bentaknya sambil melompat turun dan masih memondong wanita yang kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar matanya timbul harapan yang tadinya sudah patah.

 

 "Serrr....!" Jantung Suma Hoat seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu. Tak disangkanya dia akan melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita, manis dan berwajah seperti bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor kepala perampok itu tadi menggerayangi tubuh Si Jelita, apalagi mengingat betapa wajah menyeramkan penuh cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu halus, bibir yang begitu merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti mendidih.

 

 "Binatang rendah!" ia memaki sambil menunjuk ke arah muka kepala perampok itu. "Engkau tidak mengenal Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat? Engkau telah merampok, membunuh orang dan menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau mampus di tangan Suma Hoat!"

 

 "Heh-heh-heh! Aku Si Tangan Besi Ciu Ok mana kenal segala macam bangsawan tukang korup? Kalau engkau sudah bosan hidup, marilah!" Perampok itu melepaskan tubuh dara itu setelah menotok punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas rumput. "Kautunggulah sebentar, calon biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati baik-baik betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!"

 

 Akan tetapi Suma Hoat sudah menerjangnya dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis, mengandalkan kekuatan tangannya. Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena kedua tangannya amat kuat dan keras seperti besi, hasil latihan ilmu Tiat-ciang-kang yang latihannya menggunakan bubuk besi panas. Akan tetapi begitu ia menangkis, ia terpekik kaget karena lengannya terasa sakit dan ia terhuyung ke belakang. Kudanya kaget, meringkik dan lari.

 

 "Kepala perampok laknat, kematianmu sudah di depan mata!" Suma Hoat yang marah sekali itu sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mautnya. Si Kepala Perampok adalah seorang ahli silat, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak dapat dibandingkan dengan Suma Hoat yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat yang dimiliki kepala perampok ini adalah ilmu silat kasar dan dia selama ini hanya mengandalkan kedua tangannya yang kuat. Namun, bertemu dengan pemuda itu, seolah-olah kedua tangannya bertemu dengan baja yang lebih keras lagi!

 

 Setelah tiga kali menangkis dan tiga kali terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan panas, kepala perampok itu memekik keras dan mencabut keluar senjatanya berupa sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi bola baja berduri. Cepat ia mengayun senjatanya menerjang lawan.

 

 "Wuuut-wuut-wuuttt....!" Angin menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya terputar-putar. Namun dengan mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya setelah menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia menghadapi lawan yang bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke kanan kiri dengan lincahnya menanti kesempatan baik.

 

 Dara cantik yang tertotok dan rebah miring, dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari mulutnya yang kecil terdengar jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang dahsyat itu menyambar, mengancam wajah yang halus tampan Si Pemuda penolongnya. Biarpun dara itu tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia merasa heran mengapa pemuda tampan itu tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!

 

 "In-kong (Tuan Penolong)...., pergunakan. pedangmu....!" Akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatiran hatinya lagi melihat betapa nyaris kepala pemuda itu dihantam bola berduri, begitu dekat bola itu menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat. Aneh sekali, dara itu sudah lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri, sebaliknya khawatir kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.

 

 Mendengar suara itu, Suma Hoat tersenyum gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku, pikirnya gembira seperti lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan kepandaiannya di depan seorang dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah gerakannya, sekarang tubuhnya berkelebat cepat sekali sehinga Si Kepala Rampok berkali-kali berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma Hoat mendapat kesempatan baik, ketika bola berduri menyambar ia menggunakan tangannya dari samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola ke arah muka penyerangnya.

 

 "Prokkk! Adduuuuhhh....!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang dengan muka berubah menjadi onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang tak lama kemudian.

 

 Dara jelita itu memejamkan mata penuh kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma Hoat cepat berlutut dan sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari pengaruh totokan Si Kepala Rampok. "Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si Keparat laknat tewas."

 

 Dara itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Hoat, "In-kong telah menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi.... hu-hu-huuukkkk.... ayah bundaku telah terbunuh.... di dalam kereta....!”

 

 Suma Hoat terkejut dan marah sekali. "Mari kita lihat, temanku sedang mem­basmi kawanan perampok, perlu bantuan­ku!" Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa meloncat ke atas punggung kudanya yang tidak lari karena kuda itu sudah terlatih baik, kemudian membalapkan kudanya ke arah pertempuran yang masih berlangsung dekat kereta.

 

 Ternyata bahwa Siangkoan Lee dengan mudah telah merobohkan tiga orang pe­ngeroyok dengan goloknya dan kini yang lima orang masih mengeroyoknya mati­-matian. Melihat ini Suma Hoat sambil memeluk pinggang dara itu dengan le­ngan kiri, mencabut pedang dengan ta­ngan kanan, kudanya menyerbu, pedang­nya berkelebat dan terdengarlah pekik-­pekik kesakitan dan empat orang peram­pok roboh dan tewas. Siangkoan Lee berhasil merobohkan perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan pe­dangnya lalu menurunkan tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah kereta yang rebah miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah bundanya.

 

 Suma Hoat meloncat dekat kereta. Cepat ia mengeluarkan tubuh seorang setengah tua yang terluka dadanya. Orang itu masih hidup dan cepat pemuda ini mengeluarkan obat luka yang merah warnanya, mengobati luka itu dan mem­balutnya. Ayah dara itu masih hidup biarpun terluka parah, akan tetapi ibunya telah tewas karena tusukan pedang yang menembus jantungnya!

 

 "Terima kasih.... Kongcu.... saya Ciok Khun menghaturkan terima kasih kepa­damu...."

 

 "Paman hendak pergi ke manakah?" Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk karena kasihan melihat dara itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.

 

 Dengan suara tersendat-sendat laki-laki itu bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak jauh dari kota raja. Mereka, suami isteri itu, hendak mengan­tarkan anak dara mereka yang bernama Ciok Kim Hwa, yang hendak dljodohkan dengan putera bangsawan Thio di kota raja. Karena itulah maka mereka berke­reta membawa barang-barang berharga, dikawal oleh pasukan bangsawan Thio yang menjemput mereka dan yang ter­bunuh semua oleh para perampok.

 

 "Siangkoan Lee, kau cepat antarkan Paman Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota raja. Biar aku yang mengawal Ciok-siocia, kata Suma Hoat. Siangkoan Lee mengangguk, maklum bahwa keadaan orang yang terluka perlu perawatan dengan cepat dan bahwa kalau Si Nona ikut dalam kereta, tentu nona itu akan berduka sekali menyaksikan jenazah ibunya. Maka ia lalu mengumpul­kan barang-barang yang berceceran, di masukkan barang-barang itu ke dalam kereta, kemudian ia mengikat kudanya di depan dua ekor kuda penarik kereta dan membalapkan kereta ke kota raja.

 

 "Mari, Nona. Kau akan kukawal ke kota raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa raga­ku."

 

 Ucapan ini membuat wajah Si Dara Jelita menjadi merah, akan tetapi ke­dukaannya terlalu besar sehingga me­ngurangi rasa kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga dadanya ketika ia duduk atas panggung kuda, di depan pemuda tampan yang telah menolongnya itu.

 

 Selama hidupnya, baru pertama kali itu Suma Hoat mengalami hal yang aneh dalam hatinya. Jantungnya berdebar luar biasa sekali, rasa girang yang amat besar menyelimuti hatinya, dan di balik rasa girang ini terselip rasa sakit di hatinya ,karena dara ini hendak dikawinkan de­ngan orang lain! Kekecewaan yang amat keras dan aneh. Mengapa dia menjadi begini? Tak dapat disangkal bahwa dia selalu tertarik oleh wajah cantik jelita, akan tetapi selamanya dia tidak pernah menginginkan wanita yang menjadi milik orang lain!

 

 "Eh, Suma Hoat, kau ini mengapa­kah?" Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri, tak terasa lagi menjalan­kan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat tiba di kota raja, tidak ingin dirampas kenikmatan dan kebaha­giaan hatinya duduk berdua di atas kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim Hwa ini!

 

 Kereta yang dibalapkan Siangkoan Lee sudah jauh sekali dan sudah tidak tam­pak, juga tidak terdengar derap kaki, kuda dan roda kereta.... Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia bertanya halus,

 

 "Nona...." Ia meragu dan tidak melan­jutkan kata-katanya.

 

 Dara itu menanti sebentar, karena lama pemuda itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan berkata, "Ada apakah, In­kong?"

 

 Suma Hoat memejamkan mata karena tidak kuat menyaksikan wajah yang be­gitu dekat dengannya, mencium bau ha­rum yang keluar dari rambut dan muka dara itu.

 

 "Kenapa, In-kong?" tanya Kim Hwa yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.

 

 "Jadi.... Nona akan.... menikah dengan pemuda keluarga Thio....?"

 

 Wajah itu tiba-tiba menjadi merah sekali dan cepat dipalingkan tidak berani menentang pandang mata Suma Hoat. Sampai lama nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat merasa betapa tubuh didepannya itu gemetar. Akhirnya ter­dengar nona itu menjawab lirih.

 

 "Bu.... bukan pemuda, melainkan se­orang duda tua, adik dari Thio-taijin....!"

 

 Suma Hoat mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. "Seorang duda tua?"

 

 Dara itu mengangguk dan menarik napas panjang.

 

 "Kenapa engkau mau, Nona?"

 

 Kim Hwa mengangkat muka meman­dang. "Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua, In-kong? Yang me­lamar adalah Thio-taijin untuk adiknya yang sudah mempunyai belasan orang anak, dan yang telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya dapat meno­lak....?" Kalimat terakhir itu mengandung isak dan Kim Hwa menundukkan muka, kelihatan berduka sekali.

 

 "Ah, kasihan engkau, Nona. Seorang dara semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan seorang bandot tua!" Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan Suma Hoat, Kim Hwa terisak-isak menangis sesenggukan. Suma Hoat merasa makin kasihan. Dengan ge­rakan halus ia menyentuh pundak yang bergoyang-goyang itu dan berkata,

 

 "Jangan menangis, Nona, dan jangan berputus asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga Thio itu, kautolak saja dan aku yang akan melindungimu!”

 

 Ucapan penuh semangat ini membuat Kim Hwa menjadi terharu dan berterima kasih sekali sehingga tangisnya makin mengguguk. Ketika Suma Hoat menghi­burnya dengan mengelus rambut kepala­nya yang hitam panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan merebahkan kepalanya di atas dada Suma Hoat! Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, tanpa kata-kata namun keduanya yakin apa yang terjadi dengan perasaan hati masing-masing. Kuda yang mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya tidak mau mengganggu majikan­nya yang sedang dilanda asmara. Jari­-jari tangan Suma Hoat yang mengelus-­elus rambut itu seolah-olah mengeluar­kan getaran yang membuat Kim Hwa memejamkan mata dengan sepasang pi­pinya, yang menjadi kemerahan.

 

 Tiba-tiba kuda putih yang tadinya melangkah, perlahan dan tenang, meng­hentikan langkahnya hidungnya kembang-kempis, kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan keempat kakinya menggaruk-garuk tanah.

 

 "Eh, Pek-ma (Kuda Putih), ada apakah?" Suma Hoat yang sedang diterbang­kan ke angkasa kemesraan itu terkejut, melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan cepat menyambar kendali untuk menguasai kudanya.

 

 Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan hutan itu, gerengan seekor harimau yang ber­ada di dalam gerumbulan dan yang kini keluar sambil memandang ke arah kuda.

 

 "Celaka, In-kong....!" Kim Hwa men­jerit penuh kengerian dan kedua lengan­nya otomatis merangkul pinggang pemuda itu, tubuhnya gemetar.

 

 "Tenanglah, Nona. Aku memang se­dang mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kautunggu saja di sini sampai aku selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini."

 

 Tanpa menanti jawaban, Suma Hoat sudah memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas punggung kuda putih yang juga berdiri menggigil ketakutan. Ia menurun­kan Kim Hwa yang berdiri dengan muka pucat di dekat kuda, matanya terbelalak memandang ke arah harimau yang besar­nya luar biasa dan kepada penolongnya yang kini melangkah maju menghampiri harimau dengan senyum tenang di wajahnya yang tampan!

 

 Suma Hoat memandang harimau yang dihampirinya itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun tidak berdaya meng­hadapi pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa besarnya, sebe­sar anak lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang angkuh dan memandang rendah seperti sikap seorang raja besar!

 

 "In-kong...., pedangmu.... gunakan pe­dangmu....!" Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh kekhawatiran. Dara ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan harimau akan tetapi masih saja bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang melawan harimau sebesar itu dengan tangan kosong, pikir­nya, maka karena kekhawatirannya, ia memaksa diri memperingatkan. Mendengar ini Suma Hoat menoleh dan ter­senyum!

 

 "Kim Hwa-moi, jangan khawatir. Dia ini bagiku hanyalah seekor kucing...."

 

 "Awas.... ah, In-kong....!" Kim Hwa menjerit. Akan tetapi tanpa diperingat­kan juga, telinga Suma Hoat yang terla­tih sudah mendengar gerakan harimau itu dan dengan mudah saja ia menggerakkan tubuh ke kiri mengelak, dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi harimau itu benar-benar berbeda dengan harimau-harimau biasa yang pernah ditangkap dan dibunuh Suma Hoat dengan tangan kosong. Begitu tubrukannya luput dan kakinya menyentuh tanah, tubuh harimau itu sudah membalik dengan cepat sekali, kedua kaki depan mencakar dari kanan kiri dan kaki bela­kangnya mengenjot tanah sehingga tubuh­nya kembali sudah menerkam ke arah Suma Hoat!

 

 "In-kong....!" Suara jerit Kim Hwa mengandung isak.

 

 Suma Hoat terkejut dan kagum me­nyaksikan ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat besar itu. Timbul rasa sayangnya dan ia hendak mengambil kulit binatang besar ini tanpa cacad.

 

 Ketika tubuh yang menubruknya itu me­layang ke arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut harimau sehingga kembali tubrukan itu luput dan sebelum harimau dapat membalik, Suma Hoat telah me­nangkap ekornya yang panjang, menge­rahkan tenaga dan.... tubuh harimau itu terangkat dan diputar-putar di atas kepa­lanya! Harimau meronta-ronta dan meng­gereng-gereng berusaha mencakar atau menggigit tangan kuat yang memegangi ekornya.

 

 Penglihatan itu mengerikan dan menegangkan sekali. "In-konggg....!" kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka dengan kedua tangan, tidak tahan meli­hat perkelahian itu karena ia tidak mau melihat tubuh penolongnya dicakar atau digigit sampai pecah-pecah kulitnya dan berlumuran darahnya! Hal itu tentu akan terjadi karena penolongnya itu terlampau berani, tidak mau menggunakan pedang membunuh binatang yang demikian besar dan kuatnya!

 

 Suma Hoat melepaskan ekor yang di­pegangnya. Tubuh harimau terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas tanah. Biasanya, harimau yang terbanting seper­ti ini tentu akan pingsan dan menjadi lemah, maka Suma Hoat tersenyum-se­nyum menghampiri Kim Hwa dan berka­ta, "Jangan khawatir, dia...."

 

 "In-konggggg....!" Kim Hwa menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang terbanting itu tiba-tiba sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat! Saat itu, perhatian Suma Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak agak terlambat dan kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya sehingga tubuhnya terpelanting! Harimau menggereng marah dan menubruk tubuh lawan yang sudah jatuh itu.

 

 “In-konggggg....!" Jeritan Kim Hwa sekali ini lemah sekali dan ia sudah ter­kulai, lemas dan roboh pingsan di atas tanah!Suma Hoat dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila itu, maka timbul kemarahannya. Ketika hari­mau menerkamnya ia menyambut dengan sebuah tendangan yang menge­nai perut harimau sehingga binatang itu terpental ke samping,

 

 kemudian se­belum harimau itu sempat menyerangnya kembali, Suma Hoat sudah melompat ke atas punggungnya! Harimau marah, me­loncat-loncat, bergulingan, akan tetapi Suma Hoat tetap di atas punggungnya, kemudian jari tangannya bergerak ke depan.

 

 "Crapp!" Harimau mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua matanya yang sudah berlu­bang! Suma Hoat melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya itu menerjang ke depan secara ngawur. Bina­tang itu menjadi seperti gila saking nyeri dan bingungnya, mukanya dicakarinya sendiri, menggereng-gereng, kemudian meloncat ke depan sekuat tenaga.

 

 "Desssss!" Kepala harimau itu, me­nubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat.

 

 Suma Hoat tidak mempedulikan lagi bangkai harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh Kim Hwa yang meng­geletak pingsan di atas tanah.

 

 "Kim Hwa....!" Ia memanggil dan mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa tidak menjawab dan tubuhnya lemas. Ketika Suma Hoat me­raba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia bahwa kegelisahan dan ke­takutan membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia akan terserang demam. Cepat ia pergi meninggalkan gadis yang pingsan itu untuk mencari air karena dalam keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk membasmi kepala dan dahinya.

 

 Ia harus pergi agak jauh juga untuk mencari air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung karena tidak membawa tem­pat air, kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan jubah ke dalam air dingin, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik keras disusul jerit Kim Hwa!

 

 "Hwa-moi....!" Suma Hoat berteriak, menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan berlari cepat ke tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia melihat kuda putihnya sudah lari dan Kim Hwa sudah berdiri dan terbelalak ketakutan memandang ke arah seekor harimau besar yang berdiri dekat sekali di depan dara itu! Suma Hoat kaget dan heran, ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di tempat tadi, tahulah dia bahwa harimau besar ke dua ini adalah harimau betina. Kiranya ada dua ekor harimau, sepasang binatang buas yang amat besar yang telah mengganggu dusun.

 

 Tiba-tiba gadis itu menjerit dan hen­dak lari, akan tetapi harimau menerkam ke depan dan dara itu roboh telentang.

 

 "Hwa-moi....!" Dengan beberapa kali loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya ekor harimau dan di­renggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.

 

 "Breeeettt!" Baju Kim Hwa terbawa oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang putih mulus itu. Su­ma Hoat yang merasa khawatir dan ma­rah sekali, mencabut pedang dan tampak sinar berkelebat disusul muncratnya da­rah dari leher harimau yang hampir putus terbabat pedang!

 

 "Kim Hwa....!" Suma Hoat cepat ber­lutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merin­tih dan membuka matanya. Ketika me­lihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan jubah basah adalah pe­muda penolongnya, ia mengeluarkan jerit tertahan dan menangis.

 

 "Diamlah, Moi-moi, diamlah manis.... syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja, tergores cakar harimau laknat....!" Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas luka kecil itu. Darah telah berhenti dan kini, seperti tak disadarinya, jari tangannya mengelus kulit di seputar luka. Matanya tak pernah berkedip memandang wajah itu, dada yang terbuka itu, leher itu dan ia terpesona.

 

 Kim Hwa tadinya memejamkan mata­nya, kemudian kesadarannya kembali dan mulailah dia merasa betapa dadanya tak tertutup lagi, betapa tangan yang hangat menggetar-getar itu mengelus-elus dan membelainya. Ia membuka matanya per­lahan melihat wajah yang tampan, mata yang penuh kemesraan itu memandang­nya, dada yang bidang itu pun tak ber­baju karena bajunya tadi dipakai mencuci lukanya. Perasaan aneh dan mesra me­menuhi rongga dada Kim Hwa. Seperti disentakkan ia menangkap tangan yang mengelus dadanya, membawanya ke de­pan hidung dan mulut, menciumi tangan pemuda yang telah dua kali menyelamat­kan nyawanya.

 

 "Moi-moi....!" Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia menja­tuhkan mukanya ke atas dada itu.

 

 "Koko....!" Kim hwa terisak, memeluk kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga dekat, dengan sinar mata yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan napas terengah yang saling meniup muka mereka, kemudian dua muka yang sama eloknya itu saling mendekat, dua pasang lengan saling rangkul, saling mendekap.

 

 "Moi-moi....!"

 

 "Koko....!"

 

 Mereka terisak, berciuman seperti tak sadar lagi. Akhirnya Suma Hoat tersen­tak kaget. Belum pernah ia merasai se­perti ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan wanita cantik, akan tetapi mere­ka itu wanita-wanita yang menjual cinta! Dan dia hanya menurutkan dorongan nafsu belaka. Sekarang jauh sekali be­danya! Di samping nafsu yang bergolak dan menindih membakar seluruh urat syaraf di tubuhnya, terdapat perasaan lain. Dia tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia tidak ingin mengganggu dara ini, dia menaruh kasihan dan kesayangan yang luar biasa. Dia rela mati untuk kebahagiaan dara ini! Sungguh bedanya seperti bumi dengan langit dibandingkan dengan wanita-wanita yang biasa dicinta­nya. Belaian jari tangan wanita ini pada pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu lembut dan mesra dan ia merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan ini, membuat ia terharu sekali dan ketika ia mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu, kedua mata Suma Hoat menjadi basah. Juga ia melihat Kim Hwa menitikkan air mata yang berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun mulut yang merah dan panas itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata berpandangan, bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak berani meyakinkan hatinya, maka ia berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.

 

 "Moi-moi.... bolehkah....? Benarkah ini....? Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu, menjadikan engkau milikku, lahir batin, hati dan tubuhmu.... akan tetapi... engkau seorang gadis terhor­mat.... bahkan calon isteri orang lain.... ahh, Moi-moi, katakanlah, betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku memilikimu sehingga kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela mati daripada memaksamu, daripada menyusahkanmu.... Moi-moi, jawablah, bolehkah aku....?" Suara Suma Hoat mengandung isak, bercampur rin­tihan hatinya dan dua titik air mata membasahi pipinya.

 

 Kim Hwa tersenyum, senyum penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta, senyum yang ha­nya dimiliki seorang ibu terhadap anak­nya, walaupun air matanya sendiri menetes-netes, kemudian dara itu mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik air mata dari pipi Suma Hoat, kemudian kedua lengan itu merangkul leher, mulut­nya berbisik lirih sekali.

 

 "Suma-koko...., aku.... aku rela me­nyerahkan jiwa ragaku kepadamu.... biar­lah aku menikmati kebahagiaan sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku.... sebelum aku memasuki neraka bersama laki-laki pilihan orang tuaku.... Koko.... cintailah aku.... aku menyerah, serela-relanya demi Tuhan....!”

 

 "Moi-moi...!" Suma Hoat memeluk dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.

 

 "Koko....!" Kim Hwa terengah men­jerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan terlupa oleh Suma Hoat. Dengan penuh kemesra­an, dengan nafsu yang terkendalikan oleh cinta murni, dengan pandang mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.

 

 Sehari semalam mereka lupa diri, yang teringat hanyalah orang yang di­cintanya, yang tak pernah terpisah se­kejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin, dan dalam keadaan seperti itu, bagi me­reka berdua yang ada hanyalah cinta kasih di antara mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia ini terasa kosong dan yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain di dunia ini kecuali peluapan as­mara, apalagikah yang dapat mereka ingat?

 

 Sungguh patut dikasihani kedua orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya mengumpulkan wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan selir-­selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik, seringkali bahkan dia tanpa se­ngaja menyaksikan ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa orang selir di dalam taman atau di dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila bercinta dengan selir­-selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak seorang pria yang haus akan cinta. Sebagai putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan semenjak berusia enam belas tahun, Su­ma Hoat sudah mencari-cari dan, mengejar-ngejar cinta. Namun, apa yang didapatnya di dalam tubuh dan hati wa­nita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam pelukannya? Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta naf­su. Wanita-wanita itu sudah tidak me­ngenal cinta murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin lagi berpi­sah, ingin hidup bersama selamanya, menempuh hidup berdua, suka sama dinikmati, duka sama diderita! Kini, ber­temu dengan Kim Hwa, dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apabila dia terpesona dan lupa diri, lupa segala! Yang teringat hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yahg harus disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai mati!

 

 Adapun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun, sebagai seorang dara terpelajar, dia maklum apa artinya dijodohkan de­ngan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia berduka dan putus asa. Kalau tidak kepada ayah bundanya, ingin dia membunuh diri saja daripada setiap saat menderita batin, harus menurut dan tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak di­cintanya. Kini, bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nya­wanya, yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah menimbulkan cinta kasih­nya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan dorongan dan rang­sangan nafsu berahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila ia menyerahkan diri bulat-bulat, penuh ke­relaan dan kemesraan yang timbul dari keputusasaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!

 

 Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia telah menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak me­nyenangkan. Manusia tidak dapat ber­gerak bebas menurutkan perasaan hati­nya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan cinta! Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum, kesusilaan, kebudaya­an, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak bisa hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan terbentur dan.... gagal! Dalam segala hal, juga da­lam cinta, manusia harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.

 

 Karena itu, sekali lagi, patut dika­sihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun dan bersenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu di mana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan per­jalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa kendali.

 

 Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh ke­mesraan. Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan kirinya di leher Si Jelita, tangan kanan membelai-belai rambut, mengusap leher dan pipi.

 

 "Koko...." terdengar Kim Hwa berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh telinga mereka.

 

 "Hemmm....?" Jawaban ini mengan­dung kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang. Memang cinta kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu, ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!

 

 "Suma-koko, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku."

 

 Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum.

 

 "Aku pun cinta padamu, Hwa-moi. Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin besarlah kebahagiaan hatiku."

 

 Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan pelukan.

 

 "Koko, aku.... aku takut...." Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.

 

 "Jangan takut, Moi-moi, ada aku di sampingmu, takut apakah?" Suma Hoat memperkuat pelukannya.

 

 "Kalau sudah sampai di kota raja, aku.... ah, tentu akan dikawinkan...."

 

 "Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Ja­ngan khawatir, engkau tentu akan men­jadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!"

 

 Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium bibir pemuda itu. "Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia maupun di akhirat! Lebih baik aku mati daripada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi milikmu."

 

 Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat se­gera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan takkan terpisah lagi selamanya. Ma­ka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota raja!

 

 Ketika akhirnya Suma Hoat menurun­kan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh bangsawan itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi, keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan Ciok Khun yang telah dito­long, juga tidak berani berkata apa-apa sungguhpun hati ayah ini tidak enak ka­rena puterinya menyusul demikian ter­lambat. Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang tuanya.

 

  

 

 ***

 

  

 

 "Taijin, mohon Paduka sudi menolong hamba....!" Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan yang mengancam pencemaran nama ke­luarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.

 

 "Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk Suma-kongcu! Padahal, dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin. Kalau sampai dibatalkan, bagaimana pendapat oraang akan nama baik keluarga hamba?"          

 

 Menteri Kam Liong mengerutkan alis­nya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, pu­tera tunggal adik misannya itu yang ter­kenal sebagai seorang pemuda mata ke­ranjang dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma tidak patut, hendak merampas calon isteri orang lain!

 

 "Hemmm, sungguh tidak benar per­buatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada Suma-ciangkun agar suka menarik kem­bali pinangannya dan minta maaf kepa­da Ciok Khun!"

 

 Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi.... uhhh...."

 

 "Apa lagi?" Menteri Kam Liong mem­bentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan hatinya itu.

 

 "Mengenai pinangan itu, kalau Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi, sungguh hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...."

 

 "Dia kenapa?" Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya.

 

 "Dia.... setiap malam.... mengunjungi Ciok Kim Hwa di kamarnya.... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?"

 

 "Apa....!" Menteri itu menggebrak meja dan bangkit berdiri. "Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan meng­hadapinya setelah surat kukirim dan pi­nangan ditarik kembali. Kalau dia masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!"

 

 Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam Liong lalu menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hati­nya. Berulang kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak patut.

 

 Ketika menerima surat dari kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal­-ngepal tinju dengan hati bingung. Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilaku­kannya. Siapa kira, kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani membantah. Segera dikirim­nya utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok di gedung keluarga bang­sawan Thio, membatalkan pinangan. Berita ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio. Akan tetapi, diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang me­ngunci pintu dan tidak mau makan, ha­nya menangis saja dalam kamar tertutup.

 

 Ketika Suma Hoat pulang, dia disam­but oleh maki-makian ayahnya yang ma­rah-marah dan menganggap puteranya itu membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya, menangis, dan menin­u-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur. “Aku akan lari bersamanya!" Ia ber­kata seorang diri, matanya menjadi merah dan liar. "Malam ini aku mengajak dia larl minggat! Itulah jalan satu-satunya!"

 

 Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio. Menteri Kam Liong dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa di kamarnya.

 

 Para penjaga sudah disiapkan ber­sembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma kongcu datang di kamar itu seperti bia­sa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu, mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang lihai itu.

 

 Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan ke­pada mereka yang masih makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama adik­nya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguhpun hatinya panas, malu dan marah. Betapa­pun juga, Suma Hoat adalah keponakan­nya dan perbuatan itu berarti mencemar­kan nama baiknya pula.

 

 Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasih­nya melalui genteng. Sambil membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan, akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan mem­bahagiakannya. Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemu­kan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar. Ia mendu­ga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis. Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan.... pembaringan itu kosong! Matanya men­cari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan.... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya meng­gigil, matanya terbelalak memandang ke­arah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.

 

 Suma Hoat memaksa kakinya melang­kah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit. "Kekasihku, marilah.... kenapa kau tidak menyambut aku....?" Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibir­nya sendiri sampai robek berdarah, na­mun tetap saja tubuh kekasihnya itu ter­gantung, tak bergerak.

 

 "Kim Hwa....!" Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat Kim Hwa yang masih tergantung!

 

 Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.

 

 "Kim Hwa anakku....!" Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bang­sawan Thio ketika hendak menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.

 

 "Suma Hoat....!" Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.

 

 Suma Hoat bergerak perlahan, me­ngeluh lalu berdongak. "Kim Hwa....!" Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan se­kali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya."Kim Hwa....! Kekasihku.... Isteriku.... kau.... kau.... aduh, Kim Hwa.... mengapa kau membunuh diri....?" Suma Hoat me­nangis, mengguguk diatas dada mayat kekasihnya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur

 

 Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu diselimuti­nya dan ia berkata lirih, "Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau mengan­tuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu...." Kemudian mata­nya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan, ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan me­rintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya, "Kim Hwa, engkau.... engkau mati....? Ah, mana bisa.... engkau.... aduuhhh.... engkau benar­-benar mati? Kim Hwa....!" Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.

 

 Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan ber­kurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian mendalam antara mereka. Keti­ka ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bang­sawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa.

 

 Suma Hoat siuman kembali, lalu me­nangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sam­pai akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra melainkan terus terpejam.

 

 "Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri.... tidak! Engkau dibunuh" Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahan­nya meluap.

 

 "Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan membalas dendam!" Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua ta­ngannya bergerak memukul dengan pukul­an maut yang amat kuat ke arah Bang­sawan Thio adiknya.

 

 "Bressss!" Tubuh Suma Hoat terlem­par ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini me­langkah maju dengan pandang mata be­ngis.

 

 Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pek­hunya, air matanya bercucuran dan lu­tutnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak.

 

 "Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...."

 

 Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi. "Laki-laki ma­cam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!"

 

 Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk. "Pek-hu...." Ia terengah-engah."....lebih baik saya mati.... saya... mencinta Kim hwa.... mengapa Pek-hu melarang? Mengapa semua orang mela­rang? Aku dan dia sudah saling mencintai Tuhan pun tidak melarangnya! Me­ngapa kalian mengganggu kami....? Hu­hu-huuukkkk!" Suma Hoat menangis se­perti anak kecil, menunduk di depan uwanya.

 

 Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan tangan kiri menampar. "Plakk!" pipi kanan Suma Hoat ditatapnya sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran.

 

 Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini.

 

 "Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki sejati lebih mementingkan ke­benaran daripada nyawa dan apapun juga di dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa ini adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan per­buatanmu. Mengerti?"

 

 Pemuda itu terbelalak memandang pek-hunya, penuh penasaran. "Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku,...." kami saling mencinta dan bersumpah untuk...."

 

 "Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu me­rupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih dari itu, engkaulah yang menyebabkan kema­tian nona ini yang sudah terlanjur men­cintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak ber­dosa? Hemm, biarlah peristiwa ini men­jadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai menge­kang nafsu dan menyalurkannya melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas. Pergilah!"

 

 Bentakan terakhir ini mengan­dung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia meloncat keluar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.

 

 “Perempuan....! Aku benci....! Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun meninggalkan aku! Aihhh, benci aku....! Benci aku....! Benci.... !” Suara itu makin menjauh.

 

 Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran kalau me­ngenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa heran mngapa seorang pemuda yang ia tahu berwatak mata ke­ranjang dan suka mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap seorang gadis!

 

 Melihat keluarga itu berduka dan ber­kabung, Menteri Kam Liong pun berpa­mit, disepanjang jalan menyesali nasib keluarganya.

 

 Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh saklt. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain.

 

 Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya, tentu saja menjadi bingung dan mengun­dang semua tabib yang ahli untuk meng­obati puteranya.

 

 Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar, tanpa membuka mata­nya ia mengenangkan semua persitiwa yang menimpanya terkenang kembali kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, “Semua perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!”

 

 Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat pembaringan. “Tidak semua perem­puan palsu cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya meminta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun.... kalau diberi kesempatan....!” Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan saputangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di dadanya.

 

 Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerah­an, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang cium! Wanita yang matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya me­nunjukkan seorang ahli silat! Wanita can­tik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!

 

 “Kau.... siapakah....?” Suma Hoat ber­tanya diam-diam kagum melihat wajah itu.

 

 “Aku? Namaku Bu Ci Goat, aku.... baru setengah bulan di sini, Aku selir ayahmu yang paling baru.”

 

 “Oohhh....!” Tanpa disadari, seruan ini mengandung kekecewaan.

 

 “Mengapa? Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seper­ti aku?” Bu Ci Goat mendekatkan muka­nya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali. Jantungnya berdebar dan ia me­negur.

 

 “Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau apa?”

 

 Wanita itu tersenyum dari memegang tangan Suma Hoat. “Engkau sakit, dan sudah sepatutnya aku menengok dan menjaga. Aku pun seorang ahli meng­obati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah saja obatnya!”

 

 “Apa?”

 

 “Ini....!” Berkata demikian, wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapat­kan tangan pemuda itu ke dadanya, se­hingga terasalah oleh peniuda itu gum­palan daging yang hangat.

 

 “Ahh.... jangan....!” Suma Hoat mena­rik tangannya akan tetapi terkejut ka­rena ternyata tangan yang memegangnya itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biar­pun belum tentu wanita ini memiliki kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!

 

 “Mengapa tidak? Engkau menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya satu! Dan aku.... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kaubuktikan sendiri!” Setelah berkata demikian, wanita itu lalu merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan membelainya, jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan itu telah mem­bukai pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri seperti telah terbuka sendiri sehingga bagian tubuhnya yang menggairah­kan tampak. Tanpa diketahuinya bagai­mana mula-mulanya karena kesadarannya belum pulih benar, Suma Hoat mendapat­kan dirinya dlpeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat, serangan ciuman dan belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!

 

 Ketika Suma Hoat mulai terangsang dan lupa diri, seolah-olah menemukan pegangan baru setelah dirinya hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar menggai­rahkan, berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan Kim Hwa.

 

 Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Suma Kiat, ayahnya!

 

 “Bocah setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri? Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu! Engkau benar-benar men­cemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi!. Hayo minggat dari sini! Engkau tidak patut menjadi puteraku!”

 

 Wajah Suma Hoat menjadi pucat se­kali dan ia meloncat turun dari pemba­ringan, membereskan pakaiannya yang “dilucuti” oleh Bu Ci Goat tadi.

 

 Bu Ci Goat dengan tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian menghampiri suaminya, memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil berkata, suaranya merayu, “Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha untuk mengobati sakitnya, dia menderita sakit rindu yang hebat....”

 

 Wajah Suma Kiat yang tadinya marah dan kemerahan itu, matanya yang be­ringas, menjadi lunak ketika ia menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat dikasihi­nya, Ia lalu berkata. “Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat. Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat cintamu kepadaku terbagi, biarpun dengan puteraku!”

 

 Menyaksikan semua ini, kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahanlagi. Ia lalu berkata nyaring, “Baik! Aku pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka ini!” Pemuda itu lalu melompat keluar dari kamarnya dan pergi. Semen­jak saat itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah ayahnya!

 

 Dan mulai saat itu pula, di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dengan ke­pandaiannya yang hebat, dengan kebera­niannya yang mendirikan bulu roma para penjahat. Akan tetapi, di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda ini memiliki kebiasaan yang keji sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita! Dia seringkali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis remaja, siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat, dan hebatnya, seba­gian besar wanita-wanita itu tidak me­nolak kedatangan penjahat pemetik bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepan­daian merayu wanita secara istimewa sekali ini! Dialah Suma Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat diper­caya, bahwa wanita hanya lebih pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar alat pemuas nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci Goat dan ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya! Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang pemerkosa nomor satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!

 

 Keadaan keluarga Suma inilah yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali, apalagi ketika ia melaku­kan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak buahnya merupakan tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di utara yang membujuk Kaisar, untuk me­musuhi Khitan!

 

 Seringkali menteri yang bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pen­dekar hebat dan disegani di dunia kang-ouw seperti pendekar sakti Suling Emas pendekar wanita Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi, juga terkenal sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka, seperti ketu­runan keluarga Suma itu. Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena dahulu di waktu mudanya. Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesunnguhnya kepada keturunan Suling Emas, hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena kebenciannya kepada Raja Khitan yang juga merupakan putera Su­Ung Emas, maka dia berusaha keras un­tuk menghancurkan Khitan.

 

  

 

 ***

 

  

 

 Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari se­perti terbang cepatnya melalui padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai saputangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu ter­senyum-senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Adapun yang wanita ber­wajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jerih. Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik me­reka, tak dapat disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang ber­ilmu tinggi. Memang tepat sekali dugaan ini karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang apabila disebut nama­nya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan membuat tokoh-to­koh dunia hitam gemetar. “Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) “Tang Hauw Lam, sedangkan, wanita itu adalah isteri­nya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!

 

 Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami (baca cerita MUTIARA HITAM). Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang diduga oleh kakak tiri Mu­tiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan barat. Mereka mele­wati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik mata berwar­na biru, coklat atau hijau, rambut kepa­la berwarna merah darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja peran­tauan suami isteri pendekar selama be­lasan tahun ini selain menambah penga­laman mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.

 

 Suami isteri yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang yaitu bahwa selama belas­an tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan kekecewaan yang kadang-kadang mem­buat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka mencucur­kan air mata!

 

 Betapa indah pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga ke­pada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya yang aneh dan penuh bahaya, amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biarpun suami isteri ini merupakan orang-orang gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh­-aneh. Banyak mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan Himala­ya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung rak­sasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang menge­rikan.

 

 Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa pe­rahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam pelayaran inilah, mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu. Anak-anak itu baru ber­usia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa. Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.

 

 Demikianlah, ketika mereka mende­ngar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Ratu Talibu di Khitan, lalu mereka ber­empat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suami­nya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir hutan, mereka berhenti dan Pek-kong-to. Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khi-kangnya.

 

 “Ji Kun.... ! Yan Hwa....!” Hayo cepat kalian menyusul ke sini!”

 

 Mutiara Hitam berkata sambil meng­hela napas panjang. “Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan ber­lumba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?”

 

 Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda! “Ha-ha-ha, mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan eng­kau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlumba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat.”

 

 Mutiara Hitam mengerutkan kening­nya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan. Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam per­saingan dan percekcokan di antara me­reka!”

 

 “He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sam­pai bagaimanapun juga, mana bisa aku menangkan engkau?”Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga.

 

 Hidup di samping suaminya yang selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah? “Sesukamulah, akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun.”

 

 “Tentu saja.... tentu....! Jangan khawa­tir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam! Ilmu ke­turunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!”

 

 Pada saat itu, tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang ber­lari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan berlumba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di situ, Ji Kun menang be­berapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka cemberut sung­guhpun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!

 

 “Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari kami!” Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.

 

 Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat di­bayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apalagi ketika ia mendengar bah­wa Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat mena­han kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang murid­nya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Pula, merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia me­nangis.

 

 Setelah beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi se­orang diri dan memesan kedua orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri isteri­nya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata halus.

 

 “Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Me­nurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di tangan, mempertahan­kan kerajaan dengan titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak kem­barmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangis­mu?”

 

 Mendengar ucapan suaminya ini, Mu­tiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi ketika menoleh memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram pandang mata yang biasanya berseri itu kini sayu dan penuh iba kepa­danya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil menangis lagi.

 

 Tang Hauw Lam memeluk tubuh is­terinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. “Hemm, tenanglah.... tenang, isteriku. Lihat.... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!”

 

 Mutiara Hitam menghentikan tangis­nya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati menderi­ta itu dia minta bantuan kekuatan sua­minya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata, “Aku harus membalaskan kematian mereka! Si

 

 keparat bangsa Yucen!”

 

 “Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, is­teriku dan pergunakanlah akal budl dan pertimbangan pikiranmu, jangan dikeruh­kan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang mene­waskan mereka. Gugur dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita ha­rus memusuhi seluruh bangsa Yucen dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai dengan jiwa kapendekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahat­an manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tu­gas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyata­kan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?”

 

 Teringatlah Mutiara Hitam dan ke­marahannya mereda. “Heran sekali, me­ngapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?” kata­nya perlahan.

 

 “Agaknya aku dapat meraba pendirian Ga-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mer­tua). Beliau berdua adalah orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak men­campuri urusan dunia, apalagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini men­campuri, bukankah akan sia-sia saja me­reka menyucikan diri? Pula, kerajaan telah, diserahkan kepada mendiang ka­kakmu, Raja Talibu, maka menjadi tang­gung-jawabnyalah semua urusan kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib putera kakakmu? Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mem­punyai seorang puteri?”

 

 “Benar!” Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. “Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Go-bi-san!”Tang Hauw Lam mengangguk-angguk. “Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begi­tulah. Agaknya sudah pasti bahwa kepo­nakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Go-bi-san. Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”

 

 Akan tetapi Mutiara Hitam mengerut­kan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku masih khawatir. Ayah dan Ibu tidak per­nah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apa­kah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di sana, sekalian klta menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui. Aku sudah rindu kepada mereka.”

 

 “Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita,”

 

 Suami isteri pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju ke barat, ke arah Pegunungan Go-bi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang perjalanan menuju ke Go-bi­-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah di mana perang terjadi dan me­reka selalu menghindarkan diri dari pe­rang ,antar suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang mdnjadi kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara dan timur.

 

  

 

 ***

 

  

 

 Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam kea­daan tertotok dan Mahendra sedang ber­tanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat me­larikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki se­buah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput, terengah-engah. Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua perge­langan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam. Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani ber­henti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.

 

 Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya ter­kejut sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi, mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa oleh­nya angin menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh! Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan daripada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan me­nyeramkan! Yang pria banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang beram­but pun rambutnya gimbal menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti se­kumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata gen­dut biarpun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak cacingan! Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telan­jang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergan­tungan seperti buah pepaya. Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Ada pula yang me­makai hiasan kalung terbuat dari.... batu kerikil biasa! Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!

 

 Mereka itu mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan ber­lari-lari memutarinya, mengeluarkan sua­ra aneh, akan tetapi ada sebagian kata­kata bahasa Khitan yang dapat ia tang­kap. “Kejar....! Tangkap....!” Mereka ter­tawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak kecil yang ber­ada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara, “Kejar dan tangkap!”, malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira. “Ikut.... Ikut....!” Mereka ini jugaa ikut mengeli­linginya           dan           bersorak-sorak. “Kejar! Tangkap!”Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khi­tan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main “kucing-tikus”, yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan keduduk­annya menjadi kucing. Permainan anak kecil! Biarpun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di antara mereka, seorang wanita ter­dekat. Ia menubruk dengan menggunakan gin-kangnya.

 

 “Wusss!” Luput! Maya hampir tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki ge­rakan yang luar biasa cepat dan ringan­nya sehingga biarpun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelin­cahan begitu hebat! Ia lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-lakl ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak! Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang gila yang memiliki gin-kang istimewa!

 

 Karena disoraki dan ditertawai, tim­bul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapapun ia mencoba menangkap, ta­ngannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menang­kap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini ber­watak seperti anak kecil, dan agaknya kecerdikannyapun tidak akan lebih dari­pada seorang anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil daripadanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!

 

 “Lihat ular besar....!” Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke arah pohon di depan. Semua orang kaget dan me­noleh. Pada saat itulah Maya lalu me­nubruk wanita yang buah dadanya pan­jang di dekatnya sambil tertawa, me­megangi lengannya dan berkata, “Tang­kap....!”

 

 Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang tertawa-tawa.

 

 “Tertangkap! Tertangkap!” mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Ma­ya.

 

 Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat ta­ngan kanan ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring. “Dengarlah kalian!” Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!”

 

 Akan tetapi orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong menggemas­kan hati Maya, dan seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, men­jawab,

 

 “Raja Khitan? Kami tidak kenal.Namamu Maya?”

 

 “Benar!” jawab Maya kesal.

 

 Orang-orang itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, “Kejar! Tangkap!”

 

 Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti. “Dengar. Aku mempu­nyai permainan yang lebih bagus dari ini.243”

 

 Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemim­pin mereka dan yang agaknya lebih “cer­dik” daripada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata, “Permainan apa?

 

 “Yang jenderal berada di tengah dan....”

 

 “Apa jenderal?” semua bertanya, ter­masuk nenek-nenek berkalung.

 

 “Jenderal.... ya jenderal! Goblok kamu!” Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepat­cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?”

 

 Ada di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka sa­ling bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini, lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu bau­nya.... ledis dan apek sekali, tanda tak ­pernah mengenal air rupanya!

 

 “Nah, bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia memben­tak.

 

 “Berjongkok....!”

 

 Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintah­kan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling ter­lambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.

 

 “Wah, tidak beres!” kata Maya. “Ka­lian jangan tergesa-gesa, harus mende­ngarkan perintahku baik-baik, baru ber­lumba menanti perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?” Mereka semua mengangguk sambil ter­kekeh-kekeh.

 

 “Awas, ya sekarang?” Maya bertolak plnggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perin­tahnya atau menahannya di tengah-te­ngah.

 

 “Ber....“

 

 Baru saja bilang “ber....“ semua orang sudah terpelanting karena berlumba untuk berjongkok.

 

 “....lari....!” Maya melanjutkan perin­tahnya. Tentu saja orang-orang yang, tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa, Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan solah-tingkah mereka itu.

 

 Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggauta ke­luarga mereka sendiri. Mereka bermain­-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.

 

 “Pulang? Pulang ke mana?” Maya bertanya.

 

 Wanita tua berkalung menggandeng tangannya, “Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!” Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kaki­nya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya. Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki guha yang amat dalam, merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!

 

 Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan me­reka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di depan guha, serombongan anjing srigala menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri ka­rena gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan srigala­-srigala yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluar­kan suara menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan srigala itu mendekam ketakutan, kemudian seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan srigala itu pergi de­ngan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!

 

 Di dalam ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang be­gitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Kare­na perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.

 

 Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan ke­mewahan itu kini diterima menjadi ang­gauta keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal per­adaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran me­reka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,

 

 Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali, memilikl keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biarpun te­naga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat! Dia benar-benar merasa heran sekali dan pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.

 

 “Dari mana kalian mempelajari gerak­an yang demikian ringan dan cepat?”

 

 Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya meng­ajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng ta­ngan Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.

 

 “Eh-eh, perlahan dulu.... wah, bisa jatuh aku....!” Maya terengah-engah ka­rena temannya itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung guha itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.

 

 “Makan itu!” Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah seba­tang pohon yang tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata, “Aku takut! Takut!” dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.

 

 Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini?Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, ba­tangnya tinggi sekali seperti pohon rak­sasa. Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan? Ma­ya termenung dan memutar otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikir­an anak yang ia tahu amat sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang gin-kang mereka, kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang gin­kang mereka, atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu meru­pakan rahasia mereka, agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat ber­guna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya. Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan gin­-kang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buah­nya ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya, maka dia yang telah membawa Maya ke situ tentu saja takut kalau mendapat hukuman.

 

 Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikit­nya ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tam­pak jauh di bawah pohon itu, curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama halnya jatuh dari langitl

 

 Maya bergidik ngeri. Betapa mengeri­kan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan? Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pem­bunuhan sambil menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan sepa­sang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu? Tidak sebe­rapa!

 

 Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia alaminya, semua kengerian yang dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan gin-kang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus men­datanginya. Bahaya terpeleset yang di­hadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau dia berha­sil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!

 

 Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi sedikit turun ke bawah, kakinya yang meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih dulu ke­kuatan akar atau batu itu sebelum diper­gunakan untuk menahan tubuhnya karena sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam! Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh keringat, kaki tangan menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!

 

 Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah­-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah. pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini me­rupakan tempat yang paling aman. Tanpa mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu mengatakan “makan itu”? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apalagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan gin-kangnya.Habislah lima butir buah itu dan Ma­ya merasa kenyang sekali. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makan lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya, cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya. Setelah isi perutnya ter­kuras keluar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tu­lang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tu­langnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di bawah pohon!

 

 Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan air yang mengucur keluar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan pe­rutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaian­nya tercuci bersih, Maya kembali me­manjat pohon. Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya, dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan pe­rutnya amat lapar, tenaganya habis se­hingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apalagi kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.

 

 Kenekatan hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jerih setelah menderita hebat akibat makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi de­ngan hati-hati, hanya menghabiskan se­butir, perutnya kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali leblh tinggi daripada biasa!

 

 Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawa­tir. Betapapun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali ke­pada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya kemudian ia mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya! Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat naik, berpe­gang kepada lubang-lubang dan akar-akar di permukaan dinding tebing, Hal ini adalah karena beberapa hal, Pertama memang khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah daripada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.

 

 Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia mem­balik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang aneh yang ,berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya, ter­ganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?

 

 Maya memasuki terowongan dan, ber­lari cepat sekali Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun, Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya dan karena perutnya lapar sekali, makan buah mentah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perut­nya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu. Daging panggang yang masih hangat, dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.

 

 Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan guha dan bermain-main, bahkan kini rombongan srigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain-­main di situ, “dipimpin” oleh seorang anak lakl-lakl memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan betapa binatang-binatang srigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar dijanjikan kini lebih jinak daripada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan se­orang kanak-kanak! 999

 

 Akan tetapi ketika ia memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan na­pas. Di antara mereka itu ada yang se­dang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor, binatang buruan tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah.... mayat ma­nusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya ber­gidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.

 

 “Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”

 

 Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang. “Heeiii, Maya telah kembali!” Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini memban­ting kaki dan membentak.

 

 “Kenapa kalian membunuh orang ini?” Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!

 

 “Dia membunuh, kami pun membu­nuh. Sama!” Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang kuda, telah membunuh seekor di antara srigala-srigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai me­manggang dagingnya!

 

 “Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya....!” Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pe­mimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.

 

 Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berte­riak-teriak, ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!

 

 Maya terkejut, cepat melompat meng­hindar. Orang-orang itu sejenak meman­dangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas. Agaknya semua orang itu berlumba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari. Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu. Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling. Maya cepat mendahului melon­cat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerom­bolan srigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan larl menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.

 

 Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari samping bukit muncul serom­bongan srigala lain, dan dari belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah me­ngejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanya­lah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di anta­ra batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.

 

 “Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor srigala dari belakang!

 

 “Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.

 

 “Setan!!” Maya menjadi marah, mem­balikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.

 

 “Prakk! Kainggg.... kaingggg....!” Sri­gala ke dua memekik-mekik dan berkelo­jotan dengan kepala hampir remuk. Se­gera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusup­kan tubuhnya ke dalam guha kecil ke­mudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha kecil! Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.

 

 Akan tetapi tidak ada srigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.

 

 Akhirnya terowongan kecil itu mem­bawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan di situ sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mere­ka? Tiba-tiba Maya mendapet pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu be­ramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka umtuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengam­bil keputusan untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apalagi sete­lah melihat mereka membunuh dan ma­kan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik dengan mereka dan kelak men­cari kesempatan untuk meninggalkan mereka.

 

 Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhir­nya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah. Kira­nya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan hebat­nya, besar kecil tua muda semua me­manjat pohon dan beramai-ramai meng­ambil buah sambil bersorak-sorak!

 

 “Kraaaakkkk....!”

 

 Seketika wajah Maya menjadi pucat. “Celaka!” serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!

 

 Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang tu­run itu tidak kelihatan lagi. Ia meme­jamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terla­lu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan “menghabiskan” buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa ke­cuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang masih pentil! Akibat­nya, karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil ber­sorak-sorak, pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat ka­rena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mem­punyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya merabakantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan srigala.

 

 ***

Berpikir demikian teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakan­nya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang me­nanti di luar guha?

 

 Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki kebe­ranian luar biasa. Apalagi semenjak ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah dia keluar dari kota raja Khitan dan meng­alami hal-hal yang amat menderita, berputus asa menghadapi rintangan apapun juga. Setelah memikir-mikir, ia menda­patkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit­-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, di­ikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu sampai ber­nyala.

 

 Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari keluar, menjaga jangan sam­pai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba di pintu guha depan, su­dah terdengarlah gerengan-gerengan sri­gala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu srigala-srigala itu lari menyerbu, ia me­mutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu me­lengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu. Rombongan srigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mengurahkan perhatiannya kepada kemajuan gin-kang­nya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mugkin. Tu­buhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebo­dohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia me­larikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya!

 

 Dengan dada lapang Maya lari, ram­butnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda!

 

  

 

 ***

 

  Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu bang­sa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat keduduk­annya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di se­belah utara Shan-si dan pernah ditunduk­kan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali sehing­ga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!

 

  Dengan terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Nai­man dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!

 

 Perang antar suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena itu, perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan pe­rang-perangan kecil sampai perang ber­akhir dan hutan itu penuh mayat bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya berani turun dari pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha yang lembab dan dingin kotor sampai berhari­-hari.

 

 Pada suatu senja. Maya yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Go-bi yang penuh dengan selingan padang pasir luas, merasa bingung ketika melihat dari se­buah lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki bukit. Entah berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak seperti laut! Ia merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus menyeberangi padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengar­nya dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh pa­dang pasir itu. Bahkan pernah ia men­dengar betapa orang-orang yang kehabis­an air dan persediaan makan yang kela­paran dan terutama sekali kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-pimpah akan tetapi apabila didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman ting­gal di tempat itu dan setiap saat silum­an-siluman itu mengganggu manusia!

 

 Maka Maya tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui pegunungan yang biarpun amat sukar ditempuh, na­mun setidaknya sudah dikenalnya. Sejak kecil ia sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini dikenalnya, tidak seperti pa­dang pasir, yang gundul dan mengerikan itu. Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesok­an harinya, berangkatlah ia ke barat. Siapa kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga sampai mata­hari naik tinggi, belum juga ia sampai ke tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangan­nya dari puncak bukit.Ia menjadi girang ketika melihat se­buah bangunan tak jauh didepan. Biarpun dia sudah lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher, namun me­lihat bangunan itu, Maya melupakan ke­lelahannya dan berjalan lagi menuruni le­reng. Tentu di situlah dusun yang dilihat­nya semalam dari puncak. Akan tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi kini sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biar­pun demikian, lumayan untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.

 

  Tiba-tiba Maya cepat memasuki ba­ngunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena hampir saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan main. Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya, akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka berbisik-bisik.

 

 “Benarkah dia sedang mendatangi ke sini?”

 

 “Tidak salah,” jawab yang berpakaian perwira Yucen. “Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lo­los.”

 

 “Akan tetapi yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya?” Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.

 

 “Betul dia! Memang dia pandai me­nyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik sehingga tidak pernah meninggalkan be­kas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah orangnya.”

 

 “Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah yang akan menangkap­nya! pemuda muka kuda berbisik. Si Perwira Yucen mengangguk dan bersem­bunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur ke jalan depan kuil.

 

 Biarpun Maya hanya dapat mengintai melalui lubang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca, dan tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini berdebartegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat, sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya! Apakah artinya semua itu?Setelah derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terde­ngar suara kuda meringkik keras dan ter­dengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding Maya meng­gunakan keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat persembunyi­an di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan meng­intai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang me­makai topi lebar itu gagah dan gerakan­nya lihai sekali, akan tetapi dengan he­ran Maya, mendapat kenyataan, bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung ditangan pemuda itu

 

 Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau menyerangku?”

 

 Namun pemuda muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar itu makin terdesak. “Engkau.... engkau mengkhianati kerajaan....?” Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya, akan tetapi pada saat itu, tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan ko­song karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak ta­ngan ke depan.

 

 “Blukk! Aiihhhh....!” Laki-laki bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntah­kan darah segar, akan tetapi masih ber­usaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh, goloknya menyambar ke depan dari sam­ping.

 

 “Crokk!” Terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas siku!

 

 Maya menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan se­perti itu saja, dahulu ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan, setiap hari dilihatnya, bahkan yang lebih dari itu pun! Akan tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup, menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan amplop ke mulutnya.

 

 “Crass!” Kembali golok menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.

 

 Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah, “Siang­koan Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!”

 

 Terpaksa Maya membuang muka ke­tika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun golok dan.... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah muncul sambil berkata, “Bawa kepalanya!”

 

 Perwira Yucen ini dengan muka ber­seri girang menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, me­muji. “Sungguh hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!”

 

 “Aku hanya menjalankan tugas. Mari­lah!” kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, bekas pelayan murid dan juga pembantu Panglima Suma Kiat.Dua orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa kepala yang masih meneteskan darah itu. Entah mengapa, hati Maya tertarik sekali dan perasaan­nya condong untuk membantu orang yang disebut Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gu­runya, tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan Lee, dan kagum menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih hendak melindungi Khu-ciangkun dan bahkan hendak memus­nahkan sampul suratnya! Dia tidak me­ngerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka bahkan membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang belum pernah dilihatnya. Kare­na itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat per­kembangannya dan kalau mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya

 

 belakang Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, Siang­koan Lee adalah bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma Kiat. Se­telah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota raja dan ming­gat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki kecer­dikan luar biasa dan kini tanpa ragu­-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak berun­ding dan mengatur siasat dalam, meng­hadapi musuh-musuhnya.

 

 Peristiwa yang terjadi mengenai ke­luarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut campur, menambah rasa dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apalagi karena urusan itu mengakibatkan putera­nya patah hati dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluar­ga Raja Khitan! Kini dia mulai mengintai dan ingin sekali menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong! Akhirnya berkat kelicinannya dan pe­nyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa ke­pergian seorang panglima pembantu Men­teri Kam Liong yang bernama Panglima Khu Tek San, bukanlah ditugaskan men­jaga tapal batas sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya oleh Pe­merintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di Yucen, bekerja demi kepentingan Keraja­an Sung atau lebih tepat lagi, dia beker­ja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!

 

 Demikianlah, Suma Kiat lalu menu­gaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan agar supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya hal itu tentu akan memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan sekutu­nya, yaitu para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar mereka dan sudah siap-siap untuk memberontak jika ada kesempatan.

 

 Biarpun usianya masih muda, namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan baik sekali. Dia tidak mau begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu yang di Yucen amat dihormati sebagai seorang panglima gagah perkasa yang selalu ikut berperang membela Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu bekerja sebagai mata-mata di Yucen, tentu ada satu cara dari panglima itu untuk mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya. Menteri Kam Liong. Akhirnya, setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui bahwa memang ada seorang kurir yang meng­hubungkan guru dan murid itu. Dengan petunjuk seorang perwira Yucen, akhirnya Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir, memenggal kepalanya dan merampas suratnya, kemudian dengan bekal dua tanda bukti ini berangkatlah dia ke per­kemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di tempat itu dalam operasi pem­bersihan. Raja Yucen disertai para pang­lima, di antaranya Panglima Khu yang dipercaya!

 

 Akan tetapi, sungguh Siangkoan Lee tidak pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan masak dan di­lakukan dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah menyaksikan semua perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka sudah tiba di perkemahan di waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap melalui perkemahan.

 

 Maya menjadi bingung. Bagaimana dia harus menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang manakah Panglima itu dan di mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani menanggung ba­hayanya. Dengan langkah lebar ia meng­hampiri beberapa orang tentara yang menjaga. Tiga orang tentara itu terce­ngang keheranan ketika tiba-tiba dari tempat gelap muncul seorang anak pe­rempuan yang begitu cantik dan bersikap begitu tabah dan berani.

 

 “Eh, kau siapakah?”

 

 “Aku adalah keponakan dari Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun nanti kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk ka­lian.”

 

 Tiga orang anggauta tentara Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-he­ran dan ragu-ragu. Panglima Khu adalah seorang di antara para panglima Yucen yang gagah perkasa dan dipercaya oleh Raja. Memang semua orang tahu bahwa itu panglima berdarah Han, akan tetapi sepak terjangnya sudah membuktikan ke­setiaannya terhadap Kerajaan Yucen. Kini tiba-tiba muncul seorang anak pe­rempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka menolak dan mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bah­wa anak ini betul keponakan panglima gagah itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi, kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andaikata anak itu membohong, tentu anak ini yang akan dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam hutan pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu, akan tetapi segera mere­ka berkata,

 

 “Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi ka­lau engkau membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!”

 

 Apa boleh buat, pikir Maya. Dia ber­iktikad baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin kalau pamrih baik dibalas hukuman mati! “Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!”

 

 Tiga orang tentara itu membawa Maya ke sebuah kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga. Me­reka menceritakan bahwa anak ini meng­aku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar menghadap.

 

 “Hemm, kalian mencari penyakit,” kata dua orang penjaga. “Akan tetapi, masuklah, Ciangkun sedang duduk sendiri, kalau kalian dimaki jangan bersambat kepada kami.”

 

 Maya diajak masuk dan ketika Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat puluhan tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah Panglima Khu. Maka ia lalu berlari ke depan menjatuh­kan diri dan berlutut dan berkata, “Pa­man Khu.... saya mohon bicara empat mata dengan Paman mengenai surat ber­sampul kuning dan laki-laki bertopi le­bar!”

 

 Mula-mula panglima itu terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang perajurit memasuki kemahnya membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan gadis itu, berubahlah sikapnya. “Pergilah!” ka­tanya kepada tiga orang perajurit sambil melempar beberapa mata uang ke arah, mereka. “Dan terima kasih sudah meng­antar keponakanku ke sini!”Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran panglima itu. Setelah tiga orang perajurit yang kegi­rangan tadi menerima hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan mengham­piri panglima itu sambil bertanya, “Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan

 

 “anak baik engkau siapakah dan apa artinya kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar Khu-ciangkun.” Perwira itu memegang tangan Maya dan menarik­nya duduk di atas bangku di dekatnya sambil memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak sembarangan, pikir­nya.

 

 “Ketahuilah, kalau engkau seorang Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu malah lebih se­nang melihat engkau mampus! Akan te­tapi karena engkau panglima palsu dan tentu engkau memusuhi Yucen, aku ber­sedia menolongmu.”

 

 Terbelalak mata panglima itu. “Apa maksudmu?” Ia berbisik dan menoleh keluar kemah. “Bicara perlahan.”

 

 Maya juga cerdik dan tahu bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak boleh didengar orang lain, maka ia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Maya puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah hancur oleh bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang bertopi lebar yang membawa sampul kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan sampul suratnya dibawa oleh seorang yang ber­nama Siangkoan Lee. Kau akan dilaporkan....“

 

 “Cepat! Kita harus pergi dari sini, sekarang juga!” Panglima itu dengan ge­rakan cepat dan kuat telah menyambar tubuh Maya dan dipondongnya.

 

 “Engkau pergilah, aku.... biar aku lari sendiri!”

 

 “Tidak, Paduka. harus saya selamat­kan! Harus!” Panglima itu berkata dengan hati penuh keharuan dan ketegangan. Sungguh mimpi pun tidak dia akan ber­temu dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja Khitan adalah adik tiri guru­nya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan gurunya sendiri yang harus dia selamatkan! Rahasianya sudah diketahui orang, entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang bernama Siangkoan Lee itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak perempuan ini adalah puteri Kera­jaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.

 

 Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini, wajah panglima itu ber­ubah. “Terlambat....! Paduka.... jangan mengaku sebagai Puteri Khitan, tetap mengaku keponakan.... keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir. Mengerti?”

 

 Maya membelalakkan mata akan teta­pi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan berterima kasih. Keputusan hatinya untuk menolong panglima ini ternyata tidak sia-sia! Panglima ini se­orang yang gagah perkasa, yang dalam saat berbahaya itu lebih mementingkan keselamatannya daripada keselamatan sendiri!

 

 Dengan langkah tenang sambil meng­gandeng tangan Maya, Panglima Khu berjalan keluar dan menuju ke perkemah­an besar di mana semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi terompet tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran, panglima dan perwira. Dengan sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang siap dengan senjata mereka, juga pasukan anak buahnya sen­diri sehingga diam-diam ia mengerti bahwa keadaan amat berbahaya dan agaknya Raja yang telah mengetahui rahasianya telah siap menangkapnya. Biarlah ia berkorban nyawa untuk negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang digandengnya, dia menjadi bingung!

 

 Para panglima telah siap semua ber­kumpul di depan kemah Sri Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan mereka itu memandang heran kepada Khu-ciang­kun yang datang menggandeng seorang anak perempuan cantik.

 

 “Keponakan.... selirku!” jawab panglima ini pendek ketika rekan-rekannya berta­nya sehingga di sana-sini terdengar suara ketawa.

 

 Akan tetapi, mereka semua menjadi diam dan bersikap menghormat ketika terdengar suara terompet dari dalam kemah, tanda bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat dimulai. Tempat di depan kemah itu telah menjadi te­rang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan para perajurit pengawal. Raja keluar dari kemah dengan.... menunggang kuda! Memang Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau menghadapi para panglimanya den bangsa Yucen me­rupakan bangsa yang paling ahli berpe­rang di atas kuda.

 

 Di belakang Raja tampak seorang laki-laki bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.

 

 “Khu-ciangkun....!”           Tiba-tiba      Raja berseru keras memanggil.

 

 “Hamba siap!” Khu-ciangkun melang­kah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya dengan sikap gagah dan hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di bela­kang dan anak itu memandang dengan hati tegang.

 

 “Khu-ciangkun! Selama ini aku per­caya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira, ternyata engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!”

 

 Semua panglima saling pandang dan terdengar suara mereka berisik sekali, karena tuduhan ini benar-benar amat hebat! “Ampun, Tuanku, akan tetapi tu­duhan yang tidak ada buktinya merupa­kan fitnah keji!” Khu-ciangkun menjawab dengan suara tenang.

 

 “Fitnah, ya?” Raja membentak dan memberi tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera membuka kantung dan melemparkan sebuah benda diatas tanah. Benda itu adalah kepala orang! Semua orang memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja ber­kata lagi, “Orang she Khu! Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghu­bungkan engkau dengan gurumu di Kerajaan Sung! Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong. Hayo mengaku!”

 

 Khu-ciangkun tetap tenang. “Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang yang mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah buktinya, Tuanku?”

 

 “Bukti lagi? Lihat ini! Surat Menteri Kam Liong untukmu, keparat!” Raja itu mengeluarkan sebuah sampul kuning dari sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.

 

 Akan tetapi, dalam suasana yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan Yucen yang dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda dan mereka ini menyeret tubuh dua orang anak yang meronta-ronta!

 

 Apakah yang telah terjadi? Siapakah dua orang bocah yang ditawan oleh pasu­kan Yucen itu? Mereka itu bukan lain adalah Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya. Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen?

 

 Seperti telah dituturkan di bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya, Pek-kong-to Tang Hauw Lam, bersama kedua orang muridnya itu, sete­lah mendengar akan kehancuran Khitan dan tewasnya raja dan ratu lalu bermak­sud mengejar pasukan yang mengunnakan Maya ke Go-bi-san.

 

 Karena pengejaran itu dimaksudkan untuk melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak tahu jalan mana yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan le­bih, maka mereka melakukan perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.

 

 Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru mereka, maka seringkali kedua orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang melakukan penyelidikan setelah memberi tahu bahwa me­reka berdua akan mendahului ke atas bukit di depan atau padang rumput di depan.

 

 Pada sore hati itu, kembali dua orang anak itu mendahului guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput yang luas. Tiba-tiba, muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil tertawa-tawa. Dua orang bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja bangsa Yu­cen yang di dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan, ingin mempermain­kan dua orang anak ini.“Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik, berlututlah kalian dan minta ampun ke­pada tuan-tuan besarmu, baru kami akan melepaskan kalian!” berkata seorang di antara para panglima Yucen yang me­nunggang kuda.

 

 Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak yang sejak kecil sudah mene­rima gemblengan ilmu silat tinggi. Selain berani dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua orang gurunya, terutama sekali nama be­sar ibu gurunya. Siapa berani menggang­gu mereka?

 

 “Kalian ini berandal dari mana berani mengganggu kami? Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak memberi ampun lagi!” bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang. Juga Ok Yan Hwa bertolak pinggang sambil membentak.

 

 “Sungguh tak tahu diri, berani meng­ganggu anak naga dan harimau!”

 

 Dua orang anggauta pasukan itu ter­tawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. “Ha-ha-ha, engkau anak naga, ya? Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila?” Seorang di antara me­reka menghampiri Can Ji Kun.

 

 “Wah, yang ini biarpun masih belum dewasa, sudah cantik sekali!” Tentara ke dua menghampiri Ok Yan Hwa, tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis cilik itu.

 

 Tiba-tiba dua orang anak itu mener­jang ke depan, terdengar teriakan-teriak­an keras dan dua orang anggauta pasukan itu roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah rasanya, di­hantam oleh dua orang anak-anak itu!

 

 Terkejutlah semua pasukan, terkejut dan marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan membunuh, akan tetapi empat orang panglima berseru, “Jangan bunuh! Biarkan kami menangkap harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri Baginda. Siapa tahu mereka ini ada gunanya kelak!”

 

 Setelah berkata demikian, empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang melingkar-lingkar di lengan kiri mereka. Ujung tali itu dibuat semacam lasso dan kini mereka berempat yang menunggang kuda mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang tetap diputar-putar. Dua orang anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi me­reka bingung ketika dikurung empat ekor kuda dan memandang tali berujung lasso yang diputar-putar. Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa. Dara cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso itu mengejarnya, ia menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji Kun dapat menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso menyambar. Bahkan sampai berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke arah mereka, namun dengan lincah sekali dua orang anak itu tetap dapat meng­elak.

 

 Empat orang Panglima Yucen ini men­jadi penasaran sekali. Mereka lalu ber­pencar menjadi dua rombongan dan me­ngeroyok setiap anak dengan lasso me­reka. Kini repotlah dua orang anak kecil itu dan tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan tertangkap! Dua orang panglima memegangi lengan setiap anak dan mengangkat tubuh anak itu di antara kuda mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak minta tolong, hanya memaki-maki dan meronta-ronta.

 

 Sikap dua orang anak inilah yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak memperlihatkan sikap yang berani luar biasa, tentu me­reka dianggap anak-anak biasa dan sudah dibunuh. Kini para panglima itu menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh kedua orang anak itu dan merasa perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa itu kepada raja yang kebetulan berada di perkemahan.Sementara itu, Khu Tek San yang melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia tidak dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan untuk mengor­bankan dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam pekerjaannya memata-matai Yucen.

 

 Yang terpenting sekarang adalah berusaha menyelamatkan diri Puteri Ma­ya dan menyuruh puteri Kerajaan Khitan itu pergi ke selatan menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan berita tentang kematiannya. Maka ketika me­lihat keributan dengan datangnya panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, dia cepat berbisik kepada Maya,

 

 “Engkau larilah sekarang, cepat!”

 

 Akan tetapi Maya menggeleng kepala. “Aku hanya mau lari kalau bersama eng­kau!”

 

 Panglima she Khu itu memandang penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu Suling Emas, pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan!

 

 Tiba-tiba Panglima Khu dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu. Yang perempuan berkata galak.

 

 “Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan mampus!”

 

 “Guru kami, pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, tentu akan membalas dendam!” kata anak laki-laki, sikap me­reka berdua sedikit pun tidak takut di­hadapkan pada Raja Yucen.

 

 Tentu saja Khu Tek San terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal yang begini kebetulan secara berturut-turut? Pekerja­an rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya, dan kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik tirl suhunya pula, karena itu, bukan hanya Maya yang harus diselamatkan, melainkan juga dua orang bocah itu!

 

 “Apa pun yang terjadi, aku harus ber­usaha menyelamatkan mereka,” bisik Khu Tek San kepada Maya. “Kaularilah dalam keributan ini!” Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu. Cepat bagaikan se­ekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima muda yang meme­gangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian Khu-ciang­kun, maka mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar tangan Can Ji Kun, anak laki-laki itu. Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak.

 

 “Budak cilik! Aku tidak butuh perto­longanmu!” Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di situ pula, tadi menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik mendekatinya. Ia merasa makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam keributan seperti yang dipesankannya, malah me­nyusulnya meloncat ke depan untuk me­nolong dua orang murid Mutiara Hitam!

 

 Keadaan menjadi geger. “Kurung....! Tangkap....!” Raja Yucen berteriak ma­rah sekali dan Tek San bersama tiga orang anak itu dikurung rapat oleh pa­sukan panglima yang telah menghunus senjata. Tek San menjadi khawatir sekali. Bagi dia tidak takut mati di tangan mu­suh-musuh ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak itu?

 

 “Sri Baginda Yucen....!” Ia berteriak lantang. “Aku Khu Tek San sebagai se­orang laki-laki sejati, telah mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata terbuka! Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biarpun kami berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret nyawa beberapa orang pengawalmu!”

 

 Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali membentak. “Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si Pengkhianat ini dan tiga orang anak iblis itu!”

 

 Tek San yang mengambil keputusan untuk melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap menghadapi pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali dan tak dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu pun telah bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya sehingga mereka berempat beradu pung­gung menghadap ke empat penjuru! Bu­kan main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar­-benar merupakan anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil itu, menghadapi bahaya maut tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!

 

 Keadaan sudah menegangkan sekali. Pengurungan makin ketat dan sudah da­pat dibayangkan bahwa betapapun gagah­nya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu banyak­nya panglima, perwira dan perajurit Yu­cen, tentu dia takkan menang.

 

 “Tahannnn....!” tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang mengejut­kan semua orang.

 

 Lengking nyaring ini disusul berkele­batnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang diduduki Raja Yucen dan bayangan ke dua me­nyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang berada di sebelah kanan raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan suara “ah-uh-ah-uh” disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang pang­lima tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja se­mua pasukan menjadi terkejut dan meng­alihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga orang bocah itu.

 

 “Suhu....!” Ji Kun berteriak girang.

 

 “Subo....!” Yan Hwa juga bersorak.

 

 Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri seorang wa­nita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung dengan Raja ke belakang tubuh dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepa­la itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.

 

 “Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh!” Wa­nita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu membentak.

 

 “Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga!” Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. ”Dan penukaran ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak perem­puannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami tukar dengan dua pu­luh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!”

 

 Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. “Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?”

 

 “Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah panglima-panglima Sri Ba­ginda yang tentu akan tewas di tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-ma­sing sambil menanti penukaran ini!” ja­wab Pek-kong-to Tang Hauw Lam se­enaknya.

 

 “Bebaskan mereka. Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.

 

 Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.

 

 “Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke sini!” Mutiara Hitam berteriak. Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan ge­rakan indah serta ringan mereka mela­yang ke atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang lebih cepat lagi!

 

 “Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam?” Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh kagum. Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran menyaksikan bocah pe­rempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya.

 

 “Siapa engkau? Dan siapakah orang gagah di bawah itu?”

 

 Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat. “Tee­cu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan ber­terima kasih atas pertolongan Ji-wi.”

 

 “Ahhh....!” Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri! “Dan bocah ini....?”

 

 “Dia adalah keponakan Sukouw sen­diri, Puteri Maya....!”

 

 “Aihhh....!” Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya dan di­peluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih “menelikung” Raja Yucen.

 

 “Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan ka­mi! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?”

 

 “Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.”

 

 Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah me­rasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San, maka ia menggeleng kepala dan berkata,

 

 “Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!”

 

 Mutiara Hitam menghela napas pan­jang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirobah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponak­annya, tidak banyak berbantah lagi. Ha­tinya masih tetap keras dan angkuh.

 

 “Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu) Kam Liong pun sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa orang-orang Yucen tidak akan menggang­gu perjalanan kalian.”

 

 Khu Tek San memberi hormat, ke­mudian menggandeng tangan Maya sambil berkata,

 

 “Marilah kita pergi!” Keduanya me­lompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang mem­bunuh kurirnya.

 

 Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh, Mutiara Hitam melepaskan dengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya tadi. Mutiara Hitam menjura kepa­da raja itu dan berkata,

 

 “Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian....”

 

 “Ahhhh, tuduhan keji itu!” Raja Yucen membentak marah. “Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gu­gur! Bukan kami yang membunuhnya!”

 

 Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam ber­kata,

 

 “Siapapun yang membunuhnya, kakak­ku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam per­musuhan dengan siapa juga, dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memu­suhi kami dan memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami!

 

 Raja itu bersungut-sungut. “Musuh kami hanya negara lain, bukan perorang­an. Apa untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam? Asal engkau tidak meng­ganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa kami memusuhimu?”

 

 “Bagus, dengan demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda dan maaf sekali lagi!” Mu­tiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.

 

 “Sialan!” Raja Yucen membanting-banting kaki. “Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada penyele­saian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung!” Raja itu mencak-mencak dan ma­rah-marah.

 

  

 

 ***

 

  

 

 Karena sudah bertemu dengan kepo­nakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak melanjutkan perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san di mana terdapat sebuah guha besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi di mana-mana.

 

 Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-mu­ridnya tidak terlibat.

 

 Akan tetapi, dapat dibayangkan beta­pa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya tiba di depan guha di puncak Yin-san, dan melihat seorang ka­kek dan nenek hidung mancung telah menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek.

 

 “Kalian siapakah? Mau apa di sini?” Mutiara Hitam membentak sambil me­mandang tajam. Karena sekali pandang saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia menegur dalam bahasa India.

 

 Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu tertawa. “Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!”

 

 Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru,

 

 “Wah-wah-wah, bukankah kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita di Himalaya, bukan?”

 

 Mutiara Hitam teringat dan dia ber­tukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hi­tam berkata, “Aihh, kebetulan sekali!”

 

 “Heh-heh-heh!” Nenek India yang ber­nama Nila Dewi terkekeh. “Memang ke­betulan bagi kami akan tetapi tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!”

 

 Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berka­ta, “Kami sudah mengenal guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama ka­lian?”

 

 “Aku Nila Dewi dan dia ini Mahen­dra,” jawab Si Nenek India.

 

 “Maksud kedatangan kalian?”

 

 Melihat sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata, “Wah, kami melihat sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benar­benar seperti mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!”

 

 “Mahendra, tidak perlu banyak menji­lat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat kami?”

 

 Mahendra tertawa, akan tetapi keta­wanya ini agak dipaksakan, untuk menu­tupi rasa gentarnya terhadap wanita sakti itu. “Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa ke­hilangan murid mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu. Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti guha di puncak ini!”

 

 Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan plintat-plintut di­rentang panjang itu. “Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan kehendak kalian!”

 

 “Mutiara Hitam, kami mencontoh per­buatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan kami kembalikan kepada­mu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan....“ Dua orang India itu tertawa­-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!

 

 “Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak tingkah!” Mutiara Hitam memben­tak.

 

 “Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehi­langan murid mudah dicari gantinya dan....“

 

 “Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara se­karang! Eh, Hitam Jangkung! Kaukatakan, kalau kami tidak mau memberikan mu­rid-murid kami, lalu bagaimana?” Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.

 

 “Kami pun tidak memberikan tempat ini!” jawab Mahendra dan bernama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan guha.

 

 Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik se­perti dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya ma­sih bersabar dan setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata me­reka, Mutiara Hitam lalu berkata,

 

 “Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Nah, coba kalian ka­lahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan merintangi murid-murid kami kalian bawa.”

 

 “Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin ka­gum saja kepadamu,” kata Mahendra. “Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan pergi tanpa banyak ribut lagi.”

 

 “Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan membetulkan. Kalau kami kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian juga harus mengor­bankan sesuatu.”

 

 “Apa?” Nila Dewi menjerit. “Kau menghendaki nyawa kami?”

 

 “Bodoh! Kami tidak haus darah seper­ti kalian. Kalau kalian kalah, kalian ha­rus membuatkan sepasang pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami, karena tu­kang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak sanggup.”

 

 Mahendra tertawa. “Wah, hebat logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagai­mana pertandingan ini diatur?”

 

 Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melu­kai atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga me­reka.

 

 “Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sen­diri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!”

 

 Mahendra dan Nila Dewl saling pan­dang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan tangan kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu menca­but sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.

 

 “Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepa­sang senjataku dengan tangan kosong?”

 

 “Seorang gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapi­mu dengan tangan kosong, Mahendra. Nah, bersiaplah engkau!” Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan guha dan mereka berhadapan. Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lutut­nya, merendahkan diri dan kedua tangan­nya dipentang lebar, pisau belati digeng­gam erat-erat dengan mata pisau meng­hadap keluar, ketika ia menggoyang ke­dua pisaunya, sinar matahari yang me­nimpa permukaan pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.

 

 “Sepasang senjata yang bagus!” Mutia­ra Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan dah­syat. Mahendra cepat mengelak dan sa­mbil miringkan tubuh, pisau kirinya me­nangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.

 

 Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton dengan wajah tenang-te­nang saja karena hatinya mempunyai kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju dan menentang untuk menghadapi lawan de­ngan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan Mahen­dra dengan melukainya! Padahal, isteri nya sudah lama sekali merasa penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu membuatnya menjadi pedang!

 

 Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika dia berdua isterinya melaku­kan perjalanan dari barat ke timur. Me­reka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke ti­mur menyusuri pantai Sungai Brahma Pu­tera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunung­an Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah suara meng­gelegar tak jauh di depan.

 

 Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh me­reka sudah melihat sinar putih di atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!

 

 “Agaknya itulah yang disebut batu bintang!” kata Mutiara Hitam.

 

 “Jatuh begitu saja dari langit? Sung­guh luar biasa!” Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu. Baru pada keesokan harinya, berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi girang dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika mereka, sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan sepasang pe­dang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua ahli pedang tidak sanggup meng­olah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih tetap keras saja!

 

 Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang murid pendeta Naragita meng­girangkan hati Mutiara Hitam dan suami­nya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.

 

  

 

 Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh, cepat gerakan sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar bergulung­-gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan setiap serangannya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Namun, Mutiara Hitam meng­hadapinya dengan ketenangan yang me­ngagumkan. Bermacam ilmu silat tangan kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan se­orang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melin­dungi tubuhnya dari sepasang pisau la­wan, baginya amat mudah. Gerakan la­wannya bagi dia terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mu­dah baginya untuk mengelak. Yang men­jadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.

 

  

 

 Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan, suara me­lengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khi-kang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.

 

  

 

 Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan sin-kang untuk melawan gerakan suara mujijat ini, Mutiara Hitam sudah mener­jangnya dan mainkan ilmu silat yang me­miliki gaya tidak lumrah dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di anta­ra semua ilmu silat tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!

 

 Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung, kacau-balau gerak­annya ketika angin menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mu­tiara Hitam. Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpu­sing Mengeluarkan Kilat). Tubuhnya ber­kelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu, kedua tangan dan kakinya kadang-kadang me­nyambar secara tak terduga-duga!

 

 “Ciaaatttt!” Mutiara Hitam berseru, tangan kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam pisaunya hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu mengandung tenaga sin-kang yang membuat cepitan­nya sekuat cepitan baja dan ada bahaya­nya pisaunya terampas. Cepat ia meng­angkat tangannya ke atas. Mutiara Hitam tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat. Dia tadi telah kena dipancing sehingga me­nekuk tengannya melindungi pisau, akan tetapi kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehing­ga seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana terjadi­nya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.

 

 ***

Bagus! Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum ka­lah!” Mahendra membentak dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanan­nya. Mutiara Hitam melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang me­nerima pisau itu dan memeriksanya pe­nuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat kuat pula.

 

 “Mahendra, bersiaplah engkau untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk membayar taruhanmu!” Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu mener­jang lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung. Tubuh wanita itu lenyap dan yang tam­pak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main, namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Rontok­kan Bunga) dari ketigabelas jurus ilmu silat sakti! Mahendra berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula, lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!

 

 “Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam!” kata kakek hitam itu penuh kagum.

 

 Juga Nila Dewi yang mengikuti jalan­nya pertandingan dengan seksama me­ngerti bahwa dia pun bukanlah tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata, “Kami tidak mendapat kesenangan memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati keme­nangan pertandingan, biarlah kita menik­mati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh. Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlum­ba membuatkan pedang terbagus untuk­mu.”

 

 Tang Hauw Lam mengeluarkan dua butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu, mereka terbelalak dan mem­buat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra berkata lirih, “Ya, Tuhan...., ini.... besi bintang putih....!”

 

 Nila Dewi juga terbelalak, mukanya agak pucat dan ia berkata, “Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat kehormatan membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!”

 

 Mutiara Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemu­dian ia berkata, “Apakah kalian hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari buah benda bola logam ini?”

 

 “Bisa? Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencam­puri dan mengganggu kami membuat pedang!” kata Nila Dewi.

 

 “Benar.” Mahendra mengangguk-ang­guk. “Kami minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu. Betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan po-kiam, apalagi menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangan mencampuri pekerjaan kami.”

 

 Mutiara Hitam mengangguk-angguk. “Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya harus seperti ini!” Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas tanah dan menerangkan model­nya, ukurannya dan lain-lain, diperlihat­kan oleh dua orang India itu yang meng­angguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahu­lah mereka pedang macam apa yang harus mereka bikin.

 

 “Kalian boleh menggunakan dua buah guha di kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu, akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan pedang itu?”

 

 Mahendra dan Nila Dewi berpikir­-pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung. “Untuk mempersiapkan tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja.” kata Mahendra.

 

 “Hemm, yang harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan dibentuk!” Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di tangannya.

 

 “Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu kata pula Mahendra, kemudian ia meno­leh kepada Mutiara Hitam. “Kami minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Ka­lau dalam waktu seratus hari pedang ini belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.”

 

 Mutiara Hitam menghela napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang aneh dan ia per­caya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam, ia pun mengharapkan agar mereka akan dapat berhasil mem­buat sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua buah benda putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mujijat dalam kedua benda itu, pada satu ujung­nya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!

 

 Sepasang guha yang dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari guha yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat cahaya api dari dalam guha-guha itu. Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang itu telah pergi meninggalkan guha tanpa pamit.

 

 “Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat?” Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.

 

 “Benar, aku pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah logam keramat itu!” Ok Yan Hwa juga berkata.

 

 Mutiara Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur, “Camkan­lah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan putih maupun hitam, golongan bersih maupun sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah daripada tidak-memenuhi janji!”

 

 Dua orang murid itu mundur dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin anehlah keadaan di sepasang guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu malam, terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang guha itu.

 

 “Keparat!” Tang Hauw Lam yang bia­sanya bersikap gembira dan tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi “Mereka menculik anak­anak!”

 

 Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah jeritan-jeritan itu tidak didengarnya. “Eh, masa kita harus mendiamkan saja mereka meng­gangu anak-anak? Mungkin membunuhnya!”

 

 Mutiara Hitam menghela napas. “Bu­kankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”

 

 “Memang tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau me­reka membunuh anak-anak, tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi!” Tang Hauw Lam yang biasanya bergem­bira itu sudah bangkit berdiri dan mem­bawa goloknya, siap untuk mandatangi sepasang guha itu dan menyerbu.

 

 “Nanti dulu, Suamiku!” Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan.

 

 “Apakah engkau mau melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”

 

 “Siapa mau mencampuri? Apa hubung­annya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?” Tang Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya, penasaran.

 

 “Apakah engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang hanya dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?”

 

 Tang Hauw Lam sejenak memandang isterinya dengan mata terbelalak, ke­mudian wajahnya berubah pucat. “Kau.... kaumaksudkan.... anak-anak itu....?”

 

 Mutiara Hitam mengangguk. “Mereka itu biarpun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh mela­kukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku.”

 

 Wajah Hauw Lam makin pucat. “Ka­lau begitu.... pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!”

 

 Mutiara Hitam mengangguk. “Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka ki­ta harus lebih waspada lagi menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminys sendiri agar tidak menimbulkan malapetaka!”

 

 Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang guha itu dari jauh dan berte­riak.

 

 “Mahendra! Aku tidak akan mencam­puri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!”

 

 Sunyi saja sepasang guha itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaan­nya, terdengar suara Mahendra meng­omel. “Keparat! Dengan mengganggu samadhiku, engkau membikin aku keting­galan sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!”

 

 “Hanya tentang jeritan suara anak­-anak semalam....”

 

 “Pek-kong-to! Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanya­anmu ini bisa kuanggap bahwa engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh engkau! Di dalam guha manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang tidak ter­dapat pada tubuh mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah logam ini dapat dicari­kan! Apa lagi?”

 

 Tang Hauw Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil. “Sudah cukup!” kata­nya dan ia lari kembali ke guha di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.

 

 “Benar sekali!” Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.

 

 “Sungguh tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang su­dah dibuat, sepasang pedang yang sifat­nya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita harus membasmi pedang-pe­dang itu!”

 

 “Benar, kita hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi.”

 

 Mulai hari itu, setiap hari terdengar­lah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang guha, tanda bahwa dua orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua orang ini memang aneh. Mereka sesung­guhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlumba tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlumba membuatkan pedang untuk Mutiara Hi­tam, pedang yang sama bahannya, sama bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlumba untuk membuatkan pedang yang sebagus-bagusnya!

 

 Memang cara mereka membuat pe­dang dari logam putih itu amat menye­ramkan. Setelah beberapa hari gagal membikin logam itu mencair atau me­lunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra menculik seorang anak perempuan se­dangkan Nila Dewi menculik seorang anak lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan Nila Dewl menculik anak laki-laki? Se­betulnya keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang “betina” dengan menggunakan darah dan tubuh serorang anak perempuan. Demikian pula dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu akan membuat sebatang pedang “jantan” maka dia lalu membuat pedang “jantan” untuk mengalahkan saingannya itu! Tanpa me­reka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang “betina” sedangkan Nila Dewi membuat sepasang pedang “jantan”!

 

 Anak yang mereka culik itu, mereka gantung dengan kepala di bawah, ke­mudian mereka mengerat urat nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam itu “dicuci” dan di­rendam, kemudian tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kwali besar untuk direbus bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini, logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!

 

 Kurang lebih tiga bulan kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan sua­minya terkejut mendengar suara beradu­nya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali. Mereka cepat meloncat keluar menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang mereka lihat? Mahendra dan Nila Dewi sedang bertan­ding mati-matian mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar-nyambar. Dari jauh saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu mera­sai adanya getaran pengaruh mujijat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat indah buatannya, per­sis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Ma­hendra agak kecil sedikit.

 

 “Aihhh.... mengapa kalian? Jangan berkelahi....!” Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai, akan te­tapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat ke belakang.

 

 “Jangan mencampuri!” Mahendra membentak. “Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!”

 

 “Manusia sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu yang sombong!” Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.

 

 “Cring-sing-tranggg....!” Bunga api berhamburan menyilaukan mata dan ke­dua pedang itu terpental setiap kali ber­temu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.

 

 “Celaka...., tahan....!” Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.

 

 “Trang-trangggg.... aiihhh....!” Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika goloknya tertang­kis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetok oleh dua tenaga berten­tangan yang amat kuat.

 

 Mutiara Hitam juga menerjang maju, kini pedang Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga ketika ia menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan tetapi, kem­bali sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mujijat dan kerja sama yang mengheran­kan.

 

 “Trak-trakkk!” Juga Mutiara Hitam menghadapi kenyataan mujijat karena pedangnya yang jarang menemui tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang yang sinarnya seperti kilat itu!

 

 Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya, “Kalau mereka sudah gila untuk saling bunuh, biarkan­lah!”

 

 Dan memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau dibiarkan, saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau tidak dipisah­kan, mereka berdua membalik dan me­ngeroyok lawan yang mengganggu me­reka! Tentu saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk menghentikan pertandingan mereka!

 

 Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini memandang pertandingan dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu. Selama ini kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara guru me­reka tentang sepasang pedang yang se­dang dibuat secara aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali memiliki pe­dang yang luar biasa itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang itu jadi, melihat sinar pedang seperti kilat, mereka makin ka­gum.

 

 Pertandingan Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang ber­bahaya sekali. Mutiara Hitam dan suami­nya maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan roboh terluka, akan tetapi karena mereka tidak dapat ber­buat apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis berkerut.

 

 “Cringggg!” sepasang pedang itu ber­temu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan....           “Blesss....! Blesss....!” pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya pedang wani­ta itu menembus dada Mahendra. Kedua­nya terhuyung, melepaskan pedang ma­sing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke kanan kiri!

 

 “Gila!” Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.

 

 Mahendra memandang Mutiara Hitam dan tertawa! “Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah rampung, Mutiara Hi­tam! Sepasang Pedang Iblis! Disempurna­kan dengan rendaman darah kami sendiri. Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!”

 

 Nila Dewi terbelalak dan juga ter­tawa. “Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam sepasang pedang ini. Sepa­sang Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu bersaing.... ha-ha!”

 

 Biarpun Mutiara Hitam dan Pek-kong­-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak hal-hal aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada pe­dang “jantan” yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan kepada pe­dang “betina” yang menancap di dada Nila Dewi.

 

 “Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu?” Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan perasaan jijik. “Tak enak rasanya memegang kedua pe­dang itu.”

 

 Mutiara Hitam mengangkat muka memandang suaminya. “Apa? Engkau.... takut?”

 

 Suaminya tersenyum. “Takut sih tidak, hanya.... hemm, ngeri!” Ia memandang kepada dua mayat itu. “Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!”

 

 “Tidak baik begitu!” Mutiara Hitam mencela. “Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?”

 

 “Apa....? Kau sebatang dan aku se­batang? Jangan-jangan setelah kita ber­dua masing-masing menyimpan sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka.” Hauw Lam menggeleng-geleng kepala dan menggo­yang-goyang tangan.

 

 “Tahyul!” Mutiara Hitam mencela.“Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan. Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya.” Mutiara Hitam lalu mencabut! sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.

 

 “Benar-benar Sepasang Pedang Iblis yang suka minum darah.... !” Tang Hauw Lam berseru dengan muka pucat. Ter­nyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan dada yang terluka dan ditembus podang itu pun tidak berdarah, seolah-­olah semua darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!

 

 “Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan harus disingkirkan!” Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba ia membentak dua orang murid yang datang mandekat, “Ho, kalian mau apa?”

 

 “Subo, berikan pedang betina kepada taecu!” kata Ok Yan Hwa.

 

 “Dan yang Jantan untuk teecu, Subo!” kata pula Can Ji Kun.

 

 Dua orang suami isteri itu saling pandang. “Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?” Kemudian Mutiara Hitam ber­kata untuk membantah sendiri ketahyul­annya terhadap sifat sepasang pedang itu. “Karena baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lubang-lubang dan hawa panas oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya menghisap.” Betapa­pun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan halus, bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang berbeda sedikit besarnya. Ia mem­pertemukan ujung pedang yang runcing dan.... kedua pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba­-tiba ada kekuatan aneh yang membuat gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.

 

 “Hemm, mengandung sembrani yang kuat....“ katanya perlahan. Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa kematian dua orang India itu.

 

 Tang Hauw Lam yang amat bijaksana dan amat mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya ber­ubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan. Isterinya sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan melihat ma­tanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu secara sembunyi-sembunyi suka menangis.

 

 Pada suatu hari, selagi mereka beris­tirahat di atas lereng dan mereka mem­biarkan dua orang murid bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk mendampingi isterinya dan berkata lirih.

 

 “Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapa­kah?”

 

 Kwi Lan yang seperti orang terme­nung itu, menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, “Tidak apa-apa.”

 

 Hauw Lam menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih. “Kita telah menjadi suami isteri selama belasan tahun, setiap harl kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tu­buhku sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu. Eng­kau membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukan­lah bangsa Yucen, melainkan bangsa Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak kembarmu, bukan? Kedukaan yang mem­buat engkau menjadi dingin, tak pedulian, kejam....“

 

 Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan menangis terse­du-sedu. “Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko....? Aihh.... l”

 

 Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan is­terinya menangis sepuasnya untuk memberi jalan keluar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.

 

 “Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bu­kan?” 

 

 Kembali Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak sepasang matanya memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia me­lihat betapa suaminya memandang kepa­danya penuh pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.

 

 “Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa men­

 

 jadl gila dikejar-kejar dendaml Aku..., aku harus membalas dendam lnl, aku harus membunuh Raja Mongoll”

 

 Tang Hauw Lam menarik napas, ke­mudian berkata suaranya penuh kedukaan. “Aku mengerti, Isteriku. Biarpun keputus­an hatimu Ini sebenarnya jeliru, namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu betul apa yang terjadi dalam hati­mu.”

 

 Mutiara Hitam merangkul suaminya. “Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau be­gini penuh pengertian terhadap aku, pe­nuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh, lam-ko... akan tetapi, kalau aku tldak membalas dendam kematlan kakakku, agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu dlgoda bayangan Kakak Talibu yang me­nuntut dlbalaskan kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa selama beberapa malam ini... didatangi bayangan Kakak Talibu.... “ Mutiara Hitam menangls lagi terisak-isak.

 

 Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali.

 

 Dia mengerti bahwa' memang ikatan ba­tin dan lkatan getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka Ia mengeraskan hatinya dan berta­nya.

 

 “Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang katakanlah terus te­rang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang selama ini kautahan-tahan dan kau­tekan-tekan?”

 

 Mutiara Hitam menyusut air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini seperti biasa, tenang dan penuh kesungguhan. “Lam-ko, aku lngin pergi ke Mongol dan membunuh Raja Mongoll”

 

 Biarpun jantung Hauw Lam berdebar karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh diri, namun ia mengangguk dan berkata, “Balk sekali! Kapan kita berangkat, aku siap, Isteriku.”

 

 “Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang. kepadamu, Lam­ko. Aku harus pergi sendiri!”

 

 Berkerut sepasang alls Tang Hauw Lam ketika la memandang tajam wajah lsterlnya. “Mengapa demikian, . Lan-mo1?”

 

 “Ucusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan apI!”

 

 Tang Hauw Lam tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitaml Apa kau­klra aku lnl orang yang takut matl?”

 

 “Jangan berkelakar. Lam-ko. Dalam urusan laln, tentu saja aku leblh suka sehldup semati dl sampingmu. Akan tetapi urusan Ini lain lagi, lnl merupakan urusan pclbadi bagiku dan aku tidak mau menarlk dirlmu menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku ' juga menjadi korban dalam urusan ini. Selain Itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan murid-murid kita? Tidak, suami­ku dan kuharap engkau suka memenuhi permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku aku akan berterima kasih sekali kepadam u.”

 

 “Kwi Lan.... !” Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya tidak

 

 main-main dan sudah mengambil keputus­an tetap yang takkan dapat dirubah lagi. .

 

 Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang. “Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagl aku

 

 akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak dl sebelah utara kota raja Khitan, kaulngat tempat yang dlsediakan untuk menjadi tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas? Nah, kautunggulah aku dI sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kltabku, juga Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesal tugasku di Mongol dan aku dapat keluar dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., an­daikata aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kaupimpin balk-baik kedua orang murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, Suamiku.”

 

 “Lan-mol.... i” Sekali Ini . Hauw Lam yang mencucurkan alr mata. Semalam ltu suaml lsteri ini mencurahkan kasih sa­yang sepenuhnya karena mereka merase di dalam hati bahwa mungkin sekali

 

 mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan kali!

 

 ..Pada keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu menlnggalkan pesan.

 

 “Aku mau pergi, mungkin lama sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati semua perintah suhu - kalian, belajar dengan te­kun dan rajin sehingga kelak dapat men­jadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jangan membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian, kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan kalau aku sudah mati, arwah­ku yang akan menghukum kalian. Me­ngerti?”

 

 Dua orang murid itu mengangguk­angguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah mendengar bahwa

 

 subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembalil Setelah berpeluk­an untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata hanya sinar mata . mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan hidup ataupun matti mereka pastl akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang di­kasihinya!

 

 Tang Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak me­nikah dengan Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang ter­cinta itu. Merantau ke negeri jauh ber­dua, menghadapi bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka selalu berdua dan bersatu hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang amat berbahaya! Le­mah seluruh tubuhnya dan kalau di situ tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini akan menangis menggerung­gerung.

 

 Dia lalu mengajak kedua muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju ke Bu­kit Merak di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam. Ma­tahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa kehilangan kein­dahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia tidak per­nah mengeluh di depan kedua orang muridnya. Setelah tiba di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun, akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap­-harap siang malam akan kembalinya Mu­tiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang ke jauh, kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus sekali dan wa­jahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah? Masih hidupkah isterinya? Ataukah sudah tewas?

 

 Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka ini adalah seorang yang gembira selalu, tidak per­nah marah, maka mereka itu amat manja terhadap suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari Hauw Lam mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan, adapun dari Mu­tiara Hitam mereka mendapatkan tekan­an agar rajin dan mengenal disiplin. Kini setelah Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biarpun mereka masih tekun belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka.

 

 Hal ini adalah karena Tang Hauw Lam Juga sudah seperti sebuah arca, kehilang­an semangatnya sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu silat.

 

 Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo mereka pergi hendak mem­bunuh Raja Mongol dan melakukan tugas yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharap-harap­kan.

 

  

 

 ***

 

  

 

 “Mengapa Paduka tidak suka ikut ber­sama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan ikut beliau, Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat tinggi­ yang dimiliki pendekar sakti Mutiara Hitam?” Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.

 

 Maya menarik napas panjang. Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya, aku bukanlah pu­teri Khitan aseli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Me­reka tidak mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah, maka aku tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman Khu.”

 

 Khu Tek San mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi, anak sendiri ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.

 

 “Baiklah, Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai keponakanku. Marilah kita melan­jutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu, adalah benteng bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Se­telah bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang kuda.”

 

 Berangkatlah mereka berdua dan ka­rena biarpun baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian lumayan, apalagi setelah ia makan buah-buah me­rah yang biarpun kini khasiatnya sudah banyak berkurang namun telah memper­tinggi gin-kangnya, maka perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara, dan agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu ke­tahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!

 

 Mereka melewatkan malam di lereng bukit dan pada keesokan harinya, se­belum tengah hari mereka telah tiba di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia mengajak Maya untuk mempercepat ja­lannya. Gembira hatinya akan bertemu dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi rekan­-rekannya.

 

 Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat penja­gaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa orang panglima berkuda yang mengha­dapinya dengan sikap keren, bahkan se­orang panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.

 

 “Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!” Panglima itu lalu memberi perintah kepada anak buahnya. “Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!”

 

 “Apa artinya ini....?” Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan te­linganya sendiri!

 

 “Hemmm, Khu Tek San! Apakah eng­kau hendak memberontak pula, melawan pasukan negara?” tanya panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka melaku­kan tugas ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap, dengan wajah murung.

 

 “Aku tidak akan melawan. Silakan!” Khu Tek San memberikan kedua lengan­nya yang segera dibelenggu dengan be­lenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San den­gan mata terbelalak tidak melawan ke­tika kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm, agak­nya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San. Kemudian ia memandang kepada tiga orang pang­lima itu dan berkata lantang.

 

 “Ong Ki Bu! Cong Hai dan engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal sepak terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?”

 

 Sejenak tiga orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi besar itu, berkata, “Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaat perintah atasan! Engkau di­tuduh telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena itu, kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!”

 

 “Apa....?” Khu Tek San membentak marah. “Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apapun juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang pang­lima baru akan menjalani hukuman sete­lah diperiksa di pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?”

 

 Kembali tiga orang panglima itu ke­lihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara serak dan terpaksa. Ong Ki Bu berkata, “Se­mua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San, melainkan atas perintah.”

 

 “Atas perintah siapa? Apakah Hong­ Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah dari Kaisar!”

 

 “Kaisar tidak mengurus hal-hal keten­taraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?” jawab Ong Ki Bu yang agak­nya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar segera selasai. “Kalau engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah!” Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan mem­baca dengan suara lantang.

 

 “Karena sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhia­natan terhadap negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal batas, untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia ditangkap!”

 

 Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun tidak kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan penasaran dan amarah. “Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini, Ong-ciangkun?”

 

 “Perintah atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah untuk menjalani hukuman gantung,” Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buah­nya dan menunjuk ke depan. Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon bahkan telah ter­sedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan, tetapi ia mengenal betul tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang ga­gah dan taat sehingga tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mence­lakakan dirinya. Yang benar tentulah yang menjatuhkan perintah ini!

 

 “Paman, kurasa ini pun hasil perbuat­an manusia bernama Siangkoan Lee itu....“ Tiba-tiba Maya berbisik. Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.

 

 “Benar....! Kau benar....!” Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di antara rantai belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lan­tang.

 

 “Aku Khu Tek San, sebagai, seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan bunyi perintah dan karena tidak diadakan pe­ngadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri. Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas rekan yang baik, sukalah mengantar keponak­anku ini kepada Menteri Kam Liong!”

 

 “Permintaanmu kuterima, Khu Tek San!” Terdengar Ong-ciangkun menggun­tur. “Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!”

 

 Khu Tek San tersenyum dan wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu. “Terima kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong, juga terima kasih karena sikapmu ini mem­buktikan bahwa Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!”

 

 Khu Tek San melangkah maju meng­hampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak, bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!

 

 Seorang perajurit yang menerima perintah, sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk me­narik ujung tali dari belakang batang pohon bersama tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka lebar, siap menerima da­tangnya maut.

 

 “Siaaappp!” terdengar aba-aba, lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lubang gantungan akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.

 

 “Krekkk!” Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San! Se­mua orang terheran lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi, Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali melihat betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di situ terdapat banyak orang pandai!

 

 Melihat, pemuda itu jelas datang hen­dak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang, ka­rena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan me­lawan perintah atasan, Maka ia berseru.

 

 “Hei, Enghiong muda yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan. keten­taraan! Aku Khu Tek San dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan mencampurinya?”

 

 Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan biarpun menghadapi pasu­kan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang saja.

 

 “Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi, yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, me­lainkan hukum rimba! Di mana ada atur­annya seorang panglima yang sudah banyak jasanya seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung di dalam rimba? Tidak malu­kah para panglima yang melakukan tugas rendah ini?”

 

 “Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas pelak­sanaan hukuman ini. Engkau siapa?”

 

 Pemuda itu melayang turun, gerakan­nya ringan dan indah ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan tersenyum tenag!. “Aku bernama Kam Han Ki....”

 

 “Ohhh....!” Khu Tek San tak dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja ia mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang semenjak kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang tahu-taru muncul dl situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani me­nentang pasukan bala tentara Sung!

 

 “Kami melaksanakan hukuman atas perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani mengatakan hukum rimba?” Ong Ki Bu membentak marah.

 

 “Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima adalah orang­-orang gagah perkasa seperti Khu-ciang­kun, yang setia akan tugas dan melak­sanakan perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kauperlihatkan, atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu­-ciangkun? Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!”

 

 Semua orang terkejut dan dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak mempercayai dirinya. Ong Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan membukanya di depan orang banyak sambil berseru keras.

 

 “Yang menjatuhkan perintah adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah ma­sih tidak dipercaya lagi?”

 

 “Hemm, hemm.... surat bisa dipalsu­kan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun?” Han Ki ber­tanya.

 

 Ong-ciangkun melotot kepada Han Ki dan membentak. “Orang muda, sudah puluhan tahun aku menjadi panglima! Apa kaukira aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat perintah tulen atau palsu? Surat ini tulen, apalagi yang membawa ke sini adalah murid dan pembantu Su­ma-goanswe sendiri!”

 

 “Di mana dia? Harap engkau suka memanggilnya!” Han Ki mendesak.

 

 Panglima itu menyuruh anak buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada. “Wah, dia.... dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!” Ong-ciangkun berkata heran.

 

 Kam Han Ki lalu berkata, Ong-ciang­kun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah. Aku ada­lah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun ada­lah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari Men­teri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintah­nya!” Han Ki mengeluarkan segulung surat pula.

 

 Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu me­nerima dan membaca surat perintah itu yang berbunyi :Menteri Kam Liong mengutus petugas Kam Han Ki untuk menjemput dan memanggil pulang Pang­lima Khu Tek San ke kota raja.

 

 Wajah panglima tinggi besar itu ber­seri-seri dan ia tertawa bergelak. “Ha­-ha-ha! Lega hatiku sekarang! Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah perintah beliau? Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma, tidak ada yang akan menyalahkan aku. Ha­-ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nya­wamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu be­tapa tak senang hati kami semua melak­sanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?”

 

 “Aku mengerti, Sahabat Ong, dan te­rima kasih,” kata Khu Tek San dan se­telah dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menja­tuhkan diri berlutut di depan Kam Han Ki sambil berkata,

 

 “Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!”

 

 Kam Han Ki cepat mengangkat ba­ngun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu. “Khu-ciangkun harap jangan berlaku sungkan. Mari kuantar ke kota raja ber­sama anak yang kautolong itu. Maya namanya, bukan?”

 

 Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San.

 

 “Paman Khu, dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak layak, membikin dia besar kepala dan sombong saja!”

 

 “Hushh, Maya, jangan berkata demi­kian! Dia itu paman guruku!” kata Khu Tek San cepat-cepat.

 

 “Hemm, aku berani bertaruh, kepan­daiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?”

 

 Khu Tek San merasa tidak enak se­kali, dan Kam Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan mata marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa­-apa, hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja yang memaki, “Bocah nakal cerewet kau!”

 

 Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San dan para panglima, dia tidak mau cekcok dengan seorang anak perem­puan! Maka untuk menutupi kemendong­kolan hatinya ia berkata, “Khu-ciangkun, harap engkau suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perja­lanan yang jauh ke kota raja.”

 

 Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan dengan suka hati para rekannya lalu mempersiapkan pakaian sipil untuk Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka. Se­telah berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San, Kam Han Ki dan Maya menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan.

 

 Di sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa dia diutus oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian setelah menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.

 

 “Aku mendengar cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya. Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu!” kata Han Ki. “Karena mendengar bahwa eng­kau telah pergi ke selatan, maka aku cepat menyusul dan untung bahwa Kam­-taijin telah waspada dan membekali se­gulung surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan memaksa mereka melepaskanmu!”

 

 “Memang telah terjadi hal-hal yang amat aneh.” kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya, betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang ber­nama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong Mutiara Hitam.

 

 “Hebatnya, orang yang bernama Siang­koan Lee itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk mencelakakanku! Akan tetapi.... hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia adalah murid dan pembantu Suma-goanswe....” Khu Tek San mengakhiri ceritanya sambil mengangguk-angguk.

 

 “Kenapakah, Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe musuhmu?” Han Ki ber­tanya.

 

 Tek San menggeleng kepala. “Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka memukul aku untuk melukai Su­hu.”

 

 “Ah, begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam? Mengapa?”

 

 Kembali Tek San menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hal itu adalah urusan keluarga, aku tidak ber­hak mencampuri. Susiok tentu dapat ber­tanya kepada Suhu.”

 

 “Keluarga Suma adalah keluarga Iblis! Tentu saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman, Khu!” Maya yang sejak tadi mendengarkan per­cakapan mereka, tiba-tiba berkata ge­mas.

 

 Kam Han Ki yang masih marah ke­pada gadis cilik, memandang dan berkata dengan suara dingin, “Huh, kau bocah tahu apa?”

 

 Maya membalas pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya, “Kalau aku bocah, apa­kah engkau ini seorang kakek? Sombong­nya, merasa diri sendiri paling tua dan paling pandai!”

 

 “Eh, Maya, jangan bersikap begitu kurang ajarl” Khu Tek San cepat men­cela bekas puteri Khitan itu. “Kam-su­siok ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti masih saudara misan dari mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf.”

 

 Maya duduk di atas punggung kuda­nya, menoleh ke arah Han Ki dan men­cibirkan bibirnya! Akan tetapi karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya dengan mata terbelalak marah, Ia lalu berkata, “Dia bukan pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja seperti kakek-kakek!”

 

 “Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini?” Khu Tek San membentak dengan muka merah.

 

 “Paman Khu, aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apalagi terhadap seorang yang sombong seperti dia,”

 

 “Maya!” Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke arah Han Ki.

 

 “Sudahlah Khu-ciangkun. bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah rusak karena terlalu dimanja,” Han Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi sebenarnya pemuda ini mera­sa betapa perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia menempiling kepala gadis cilik yang menggemaskan itu.

 

 Kedua pipi Maya menjadi merah sa­king marahnya dan ia membusungkan dada menegakkan kepala ketika meman­dang Han Ki sambil berkata, “Aku sudah rusak karena dimanja, ya? Dan kau sudah bobrok karena sombong!”

 

 “Maya!” Khu Tek San membentak marah. “Kenapa sikapmu tiba-tiba ber­ubah seperti ini? Engkau amat sopan dan hormat kepadaku, mengapa kepada Kam­susiok....”

 

 “Karena engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini.... hemm....”

 

 “Dia pamanmu sendiri!” Khu Tek San memperingatkan.

 

 “Paman apa? Aku tidak mempunyai paman seperti dia!”

 

 “Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!”

 

 Maya mencibirkan bibirnya. “Aku pun bukan puteri Raja Khitan....”

 

 “Apa....?” Khu Tek San berseru he­ran, bahkan Han Ki juga menoleh, me­mandang anak perempuan itu dengan alis berkerut. Memang pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang “terlalu” cantik jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!

 

 “Sesungguhnyalah, Paman Khu. Tadi­nya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku sebenarnya bukan Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanya­lah seorang keponakan luar saja yang diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah anak angkat saja!”

 

 Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata, “Biarpun demikian, berarti eng­kau adalah puteri Raja Khitan. Maya! Dan karena itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia adalah adik misan Raja Khitan! Se­lain itu, kalau tidak ada Kam-susiok ini, apakah, kaukira kita dapat selamat?”

 

 “Cukuplah, Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat di daerah sunyi ini,” kata Han Ki.

 

 “Baiklah, Susiok.” Khu Tek San lalu mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan kudanya. Maya me­nurut dengan mulut cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepa­da Han Ki semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh, yang dianggapnya tidak me­naruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu me­nyapu lewat begitu saja seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada har­ganya untuk dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama sekali tidak memper­hatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!

 

 Khu Tek San diam-diam merasa ka­gum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa benar-benar terdapat se­rombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi susioknya itu. Hal ini saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!

 

 Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di atas se­buah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah se­rombongan piauwsu yang mengawal ba­rang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi huruf “Gin-to Piauw-kiok” (Perusahaan Pengawal Golok Perak).

 

 Melihat datangnya tiga orang penung­ang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik. Pang­lima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu “Golok Perak”, maka ia cepat menjura dan berkata,

 

 “Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?”

 

 Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa, sedangkan Kam Han Ki biarpun memba­wa pedang di punggungnya namun keli­hatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggauta perampok, apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,

 

 “Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke manakah?”

 

 Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama “Istana kaisar” untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersanyum dan berkata, “Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!”

 

 Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, “Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sum­bangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.”

 

 Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan, seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pem­bantu Menteri Kam, maka cepat dia ber­tanya.

 

 “Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan pem­besar mengirim sumbangan kepada Kaisar?”

 

  

 

 *** 

 

  

 

 “Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!" Pimpinan piauwsui itu berseru heran. "Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang di antara puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri ter­cantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja YucenT”

 

 “Ouhhh....!”

 

 “Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah.....”

 

 Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.

 

 “Ahhh...., tidak apa-apa....“ Han Ki berkata, ia sudah dapat menguasai kem­bali hatinya yang terguncang hebat men­dengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat. “Mari.... kita melan­jutkan perjalanan secepatnya!”

 

 Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia ber­kata,

 

 “Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan ba­rang-barang ini sampai ke istana. Seba­liknya kita melakukan perjalanan bersama mereka.”

 

 Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk. Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar penga­kuaan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.

 

 Di sepanjang perjalanan, Maya men­dapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia mem­benci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapap dia se­lalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disa­darinya, dia selalu memandang dan mem­perhatikan pemuda yang “dibencinya” itu sehingga delapan orang teman seperjalan­ dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki. Pemuda itu ke­lihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap­-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak olehh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti seba­tang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki. Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sung­guhpun tak permah ia dapat melihat air matanya.Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung Menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu, akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk pera­saannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.

 

 Kalau saja Hong Kwi ada­lah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencinta­nya saja sudah merupakan hal yang lang­ka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini, Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin! ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia laku­kan? Han Ki tidak dapat menjawab per­tanyaannya sendiri dan dia makin gelisah berduka dan putus harapan.

 

 Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka, wajahnya selalu mu­rung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini, melihat keada­an pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begituu bersedih den untuk ber­tanya, dia tidak berani. Sebagai seorang yang berpengalarman, Khu Tek San mak­lum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan keti­daksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.

 

 Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang bcsar karena hujan turun sebelum mereka da­pat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.

 

 Hujan telah mereda dan akhirnya ter­henti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari guha dan du­duk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setdah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih memburu. Hawa udara malam itu amat di­ngin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api ung­gun di dalam guha. Namun, Han Ki du­duk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah me­miliki sin-kang yang amat kuat di tubuh­nya sehingga dia dapat membuat tubuh­nya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.

 

 Blarpun sedang melamun dan sema­ngatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Lang­kah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biar­pun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala bahaya.

 

 “Paman Han Ki....”

 

 Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak “percekcokan” mereka dahulu, gadis cantik itu tidak permah menegurnya, bahkan tidak permah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersi­lang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!

 

 “Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.

 

 Akan tetapi Maya melanjutkan lang­kahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.

 

 “Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku da­tang membawa makanan untukmu. Ma­kanlah!”Han Ki terkejut dan terheran sehing­ga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-­benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia.

 

 . Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap, seorang pu­teranya, dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han Ki dan ia men­jawab ketus.

 

 “Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau da­tang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kauma­kan sendiri!”

 

 Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh menghe­rankan. Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.

 

 “Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur, wajahmu pucat tubuh­mu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?”

 

 Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang urusan yang, menjadi rahasia hatinya! Kalau dia           ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!

 

 “Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sang­kut-pautnya dengan dirimu!” la memben­tak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam guha.

 

 “Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadi­nya peristiwa itu. Mau diterima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada mena­ngis, lebih baik tertawa! Daripada ber­duka, lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”

 

 Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan mulut termganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.

 

 “Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah ber­pendapat sedalam itu??”

 

 Maya tersenyum, girang mellhat beta­pa ucapannya scolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. “Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah.... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak permah ku­kenal, telah gugur semua. Kerajaan Khi­tan hancur, semua milikku, semua ke­luargaku, terbasmi habis. Adakah keseng­saraan yang lebih hebat daripada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluarga­ku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?”

 

 Sejenak Han Ki memejamkan mata­nya dan teringatlah ia akan semua nasi­hat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadar­lah dia betapa selama ini ia benar-benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia ter­haru sekali dan tiba-tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!

 

 “Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat kepo­nakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!”

 

 Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!”

 

 Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa!

 

 “Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melain­kan sahabatku. Sahabat baik! Nah, ma­kanlah!”

 

 Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dengan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebah­kan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekat­nya, memandang wajahnya sambil terse­nyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke da­lam guha untuk tidur ditemani Khu Tek San.

 

 Semenjak malam itu, Han K! dapat menguasai dirinva lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dengan kebu­tuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungan­nya dengan Maya menjadi baik dan bah­kan akrab, sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.

 

 Akan tetapi, tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hati­nya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, Mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya ke­lincahan Maya saja yang selalu membu­yarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.

 

 Sementara itu, rombongan telah me­lakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar disebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal se­bagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-­perampok ganas yang menghadang perja­lanan yang menghubungkan kota raja dengan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingat­kan para piauwsu. Para piauwsu itu ter­tawa dan berkata, “Setelah kami dite­mani oleh Khu-ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dengan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami, dan keselamatan dua orang keluar­ga Ciangkun, dapat sama-sama kita lindungi!”

 

 Mendengar ini, Khu Tek San hanya mengangguk-angguk, di hatinya merasa geli karena ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi! Han Ki yang berada agak jauh dari mereka, dengan pende­ngarannya yang tajam sekali, juga men­dengar kata-kata permimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dengan Maya sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.

 

 Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-­tiba terdengar suara lengkingan-lengking­an panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat meng­hentikan kereta kawalan mereka, men­cabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-­tanda yang dikeluarkan oleh para peram­pok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, meng­kilap putih tertimpa sinar matahari. Ta­ngan kiri bertolak pinggang, tangan ka­nan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar mata mereka berge­rak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.

 

 Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga. meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan. meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon, menunduk. Maya memandang te­gang kepada para piauwsu gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kuda­nya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki, jantung­nya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi, dia kecewa rmelihat Han Ki sama sekali ti­dak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!

 

 Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah, mukanya brewok dan matanya           lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi, rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.

 

 Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok, segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok-peram­pok biasa, melainkan pasukan yang ter­latih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi ge­rombolan perampok. Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi ge­rombolan perampok yang ganas.

 

 “Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertan­ding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!” Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa ber­gelak.

 

 Permimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu Gin-to Piauw­kiok yang selamanya tidak permah ben­trok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenal­kan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang mermim­pin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.”

 

 Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mu­kanya itu, tangan kirinya bertolak ping­gang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik-lirik ke arah kereta, ke­mudian ke arah Maya yang berdiri te­nang. 1

 

 “Bagus!Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak tahu           Kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal           kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di­ tukar dengan           segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian,bukan?”

 

 Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, permimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, “Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah per­kenalkan namamu dan nama gerombolan­mu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.”

 

 Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. “Ha­-ha-ha! Pantas kalau kalian belum me­ngenalku, memang perang dan kekacauan yang merobah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!”

 

 “Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawal­anku. Hendaknya diketahui bahwa barang-­barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar dengan Raja Yucen!” kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang Kerait itu tanpa pertempuran.

 

 Akan tetapi, permimpin rombongan piauwski ini kecelik karena orang brewok­an itu tertawa bergelak mendengar ucap­annya dan menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak itu dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!”

 

 “Perampok busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.

 

 Kakek bangsa Kerait itu sambil ter­tawa miringkan tubuhnya dan tangan kiri­nya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.

 

 “Krekkk!!”

 

 Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke be­lakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuh­an melebihi golok atau pedang!

 

 “Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?” orang bre­wok itu berkata sambil tertawa. “Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!”

 

 Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan me­nyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Adapun Khu Tek San yang me­nyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar nama­nya, teringatlah ia karena ketika ia men­jadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar narma ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak

 

 “Manusia sombong, akulah lawanmu!” Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang           ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.

 

 Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu ha­nyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (1lmu Pedang Delapan Dewa) dan Ilmu Silat Lo-hai San-hoat (11mu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar dipela­jari, maka Khu Tek San hanya memper­dalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lo­hai San-hoat.

 

 Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukan­lah ilmu sembarangan. Biarpun hanya di­mainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya daripada sen­jata tajam yang bagaimanapun juga. Gagang dan batang-batang kipas itu me­rupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka maupun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang maupun penangkis yang ampuh, apalagi kalau dimmainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!

 

 Begitu mellhat senjata aneh ini me­nyarmbar, Ganya berseru kaget dan se­bagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar. Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang. Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan permutaran pergelangan tangan, meng­gunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan me­nangkis cengkeraman tangan kanan Ga­nya.

 

 “Dukkk!” Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kir lawan. Dua buah le­ngan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sin-kang bertemu, mem­buat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San mermandang kagum. Jarang ada orang yang dapat meng­imbangi tenaga sin-kangnya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat oleh­nya. Maka ia menerjang lagi dan terjadi­lah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.

 

 Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disam­but oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya, senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.

 

 Maya berdiri memandang dengan ka­gum ke arah Khu Tek San. Hebat me­mang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya armat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalan­an mendekati kota raja.

 

 “Eh, kenapa engkau malah melamun saja?” Maya yang tidak sabar lagi men­dekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya. “Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”

 

 Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu, seorang anggauta perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang, kena di­,sambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke be­lakang, roboh dan merintih-rintih.

 

 “Khu-Ciangkun tidak akan kalah!” kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput. Memang di dalam hatinya, pemuda ini merasa enggan untuk membantu para Piauwsu menghadapi perampok-pc­rampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan.... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Kare­na itu, dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!

 

 Kembali Maya mengguncang pundak­nya. “Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!”

 

 Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian daripada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!”

 

 Kini lima orang perampok tinggi be­sar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke ba­wah, menggenggam pasir kasar dan meng­ayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat! Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya. itu roboh ber­pelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan kesakit­an ini disusul pula oleh tujuh orang pe­rampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir. Han Ki telah ber­hasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!

 

 Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-peram­pok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.

 

 Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan peram­pok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatian­nya terpecah ketika ia mendengar pekik­-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi daripada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat “lowongan” dan me­masuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.

 

 “Krekk!” Tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mun­dur! Sebagai bekas pasukan yang berdisi­plin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke be­lakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih meng­aduh-aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka men­jadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka untuk membunuh.

 

 “Cring-cring-cring.... !” Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.

 

 “Para piauwsu harap jangan melakukan permbunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan,           mengapa         mau membunuh orang?”

 

 Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan malapeta­ka kepada orang lain,”

 

 Han Ki menggeleng kepala. “Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan pe­rampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasu­kan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak           menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-ba­rang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”

 

 Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata,

 

 “Cu-wi Piauwsu harap jangan banyak membentak lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!'

 

 Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biarpun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang peram­pok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.

 

 Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun, keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki tera­sa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna warna! itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!

 

 Setelah menghaturkan terima kasih rombongan piauwsu memisahkan diri, Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. De­ngan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.

 

 “Suhu..... !” Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya. Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal ka­kek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepa­sang iblis dari India kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang mendongnya! Jadi kakek ini­lah guru penolongnya? Dan kakek inilah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?

 

 “Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini.... siapakah dia?” Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak pe­rempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak me­ngenal Maya. Apalagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.

 

 “Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Adapun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.”

 

 Menteri Kam Liong terbelalak me­mandang Maya. “Aiihhh....! Kasihan seka­li engkau Anakku....!” Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. “Aku adalah uwamu sendiri, Maya.” .

 

 Akan tetapi Maya tidak merasa ter­haru. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya ke­pada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini!

 

 “Tidak, aku tidak mempunyai uwa tidak mempunyai saudara atau keluarga., Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.”

 

 “Maya....!” Khu Tek San menegur kaget dan marah. Akan tetapi Menteri Kam Liong ter­senyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyela­matkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi menge­luarkan ucapan seperti itu. Dia meman­dang kagum. Biarpun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut men­jadi keponakan Mutiara Hitam karena mermiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tiri­nya itu!

 

 Hati Tek San tidak enak sekali me­nyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, “Kalau Suhu memper­bolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain­-main dengan anak teecu Siauw Bwee.”

 

 Menteri Kam Liong mengangguk-ang­guk. “Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwakmu?”

 

 “Aku ingin tinggal bersama Paman Khu” jawab Maya tegas.

 

 “Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki”

 

 Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya menda­pat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghor­mat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.

 

 Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya, menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh se­orang wanita cantik dan scorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.

 

 “Ayahhh....!” Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun daripada Maya itu dengan sikap manja lari meng­hampiri ayahnya. Tek San tertawa, di­sambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi lalu dipeluk dan dicium pipinya.

 

 “Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang” Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, pe­nuh kerinduan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pan­dang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.

 

 “Maya, inilah bibimu!” kata Tek San yang melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.”

 

 “Aihhh....!” Isteri Khu-ciangkun meng­hampiri dan mengelus rambut kepala Ma­ya. Anak ini menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee           disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia, tidak punya siapa-siapa! Setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya, dia menjadi makin terharu.

 

 “Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cici­mu, Maya.”

 

 Siauw Bwee diturunkan dari pondong­an ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, meng­hampirinya dan memegang tangannya. “Enci Maya....!”

 

 Begitu bertemu hati Maya telah ter­tarik dan suka seKali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata,

 

 “Adik Siauw Bwee....!”

 

 “Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuh­nya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol keluar di atas selalu memandang langit!” Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.

 

 Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat me­numpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman dan tanpa berkata-kata. Tek San melingkarkan le­ngan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan-jalan memasuki kamar.

 

 Tak lama kemudian, Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.

 

 “Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian.” Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!”

 

 Khu Tek San mengangguk-angguk. “Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu, hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?”

 

 Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia telah bersekongkol dengan pasukan­-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan berma­cam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan memba­hayakan.”

 

 “Siasat apalagi, Suhu?” tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir.           Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di anta­ra para thaikam dan menteri-menteri yang tidak setia.

 

 “Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!” Menteri tua itu menggeleng­-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.

 

 “Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?”

 

 “Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan-lawan dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, mu­ridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena dibakar hati­nya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi mata­mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa-jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yuceng ke­mudian membujuk Kaisar agar menyerah­kan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!”

 

 Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerang­an yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.

 

 Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang.

 

 “Karenaengkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahui­lah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah dida­hului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya, hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sa­saran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!”

 

 “Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu?” tanya Tek San penasaran.

 

 Gurunya mengelus jenggot dan meng­hela napas panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. “Memang begitu­lah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bermama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Na­mun menurut riwayat nenek moyang keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga Kami Sungguh menyedihkan kalau diingat.”

 

 “Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?”

 

 Menteri itu menggerakkan pundaknya. bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangan­nya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah di­umumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikah­an. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, se­telah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunnyai iktikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku.”

 

 Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya, Han Ki merasa makin berduka, Dia harus hadir dalam perjamuan me­nyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin!

 

 “Enci Maya, aku sudah minta perke­nan Ayah,akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para           thaikam dan orang-orang besar saja. “Anak-anak mana boleh turut?” Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa ke­pada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.

 

 Khu Siauw Bwee adalah puteri tung­gal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak pe­rempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecer­dikan, sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat keta­jaman otaknya, biarpun masih kecil, be­lum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.

 

 Maya tidak rasa kecewa hatinya ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya juga ingin sekali melihat utusan Yucen. Ter­utama sekali melihat puteri-puteri istana yang kabarnya cantik-cantik seperti bi­dadari.”

 

 “Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik daripada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut se­orang gadis yang cantik!” Siauw Bwee berkata sungguh-sungguh sambil meman­dang wajah Maya yang amat mengagum­kan hatinya.

 

 “Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja, maka sekarang, melihat ayahmu melarang eng­kau padahal hanya ingin menonton kera­maian sungguh-sungguh aku merasa pena­saran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan....hemm, kaudengar baik-baik....! Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.

 

 Wajah Siauw Bwee berubah dan mata­nya terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagai­mana kalau sampai ketahuan?”

 

 Dengan ibu jari tangah kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. “Akulah yang akan bertanggung jawab,jangan engkau khawatir!”

 

 Sambil tertawa terkekeh-kekeh, kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Ter­dengar mereka berdua masih tertawa-­tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.

 

 Apa yang menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada Mu­ridnya memang tepat. Peristiwa yangg menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata­-mata kemudian tertangkapnya oleh re­kan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas. Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha murid­nya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.

 

 “Puteri Paduka Sung Hong Kwi ter­kenal sebagai bunga istana, hal ini bah­kan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan,” demikian antara lain bujuk­an yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.

 

 “Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?” Kaisar bertanya.

 

 “Pertama, puteri Paduka akan terang­kat sebagai seorang Junjungan yang di­hormati di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Ke dua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, ber­arti Paduka mengangkat kedudukan Padu­ka jauh lebih tinggi daripada Raja Yu­cen. Kemudian ke tiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”

 

 Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyeli­diknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam mela­lui Han Ki!

 

 Demikianlah, secara cepat sekali, ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apalagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diar­tikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuh­nya.

 

 Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah, untuk menghormati mereka. Se­suai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan yang memang di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena biasa mereka itu makan minum sambil duduk di lantai menghadapi bangku kecil terdapat makan­an. Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar-­jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri yang berkedudukan ting­gi, hadir dalam perjamuan itu, di antara­nya tampak Menteri Kam Liong, Pang­lima Khu Tek San, Kam Han Ki penga­wal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.

 

 Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi, hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi-­kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan me­nonton pesta orang-orang besar di ruang­an dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.

 

 Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu maupun dari pihak tuan rumah berkali-kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing­-masing pihak, di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan, terjadi sedikit keributan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka meno­laknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan mema­ki-maki.

 

 “Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku, adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian ingin dipecat dan dihu­kum?” Suara Panglima itu nyaring dan bening.

 

 Pemimpin pengawal menjadi gugup akan tetapi berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba.... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun?”

 

 “Goblok! Mana mungkin kallan dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkatnya yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!”

 

 Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut me­nyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti Si Pang­lima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!

 

 Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng limu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi me­reka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini sete­lah ditutup pakaian Khu Tek San berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.

 

 Setelah berhasil mengelabuhi penjaga­an terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyeli­nap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka, menjadi heran dan ada yang menegur.

 

 Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. “Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”

 

 Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat “ber­diplomasi” dan menggunakan kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada scorang pun di antara mereka berani menyatakan kebe­ratan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apalagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira karena dua orang bocah itu biarpun masih keeil, merupakan “peman­dangan” yang menarik dan memiliki ke­cantikan yang mengagumkan.

 

 Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar, bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-­cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca, akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu kadang-kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang.

 

 Tiba-tiba panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, ber­cambang bauk, matanya tajam dan sikap­nya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah, mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlu­tut sebelah kaki ke arah Kaisar, suara­nya terdengar garang dan keren,

 

 “Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demi­kian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama, akibat per­buatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen, sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah­-olah lebih berkuasa daripada kaisarnya sendiri!”

 

 Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimak­sudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang saja.

 

 *** 

 

  

 

 Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, "Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.”

 

            “Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyu­kai sikap jujur seperti kami. Bagus se­kali! Yang kami maksudkan adalah Men­teri Kam Liong, yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mence­tuskan perang?”

 

 Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bim­bang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penye­lundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.

 

 Sebelum ada yang menjawab, tiba-­tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan ter­dengar suaranya nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang membawa per­damaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti meng­hina Kaisar dan kerajaan!”

 

 Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini, dan se­orang pengawal Yucen yang berdiri men­jaga di belakang Sri Panglima Besar, su­dah menghadang ke depan dan melintangkan tombaknya memandang panglima tinggikurus itu.

 

 “Eh, eh, mau apa engkau?” Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat. Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan pang­lima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.

 

 “Buk-buk....!” Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga la­wan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biarpun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!

 

 Panglima besar Yocen dan guru ne­gara marah sekali. Mereka sudah bangkit memandang panglima berdiri dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.

 

 “Beginikah caranya menerma utusan kerajaan calon besan?”

 

 Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyak­sikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintah­kan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.

 

 “Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamai­an tetap dipertahankan.”

 

 Kaisar mengangguk.

 

 “Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yu­cen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biar­lah saya akan memberi penjelasan.”

 

 “Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan mem­bikin malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.

 

 “Pertanyaan yang tepat!” Panglima Besar Yucen berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari­-cari untuk menyelamatkan diri!”

 

 Menteri Kam Liong dengan sikap te­nang lalu bangkit dan menghampiri pang­lima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!”

 

 Panglima kurus itu mencoba menghin­dar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengar robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pun­dak temannya. Pantas saja tadi dari “perut” panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah! Maya, segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tatasusila istana, dermikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terke­nal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.

 

 Kam Han Ki tak dapat menahan ke­tawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Me­mang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak pe­rempuan!

 

 “Siauw Bwee.... !” Khu Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya me­manggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia me­noleh ke arah ayahnya dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena se­mua ini sayalah yang bertanggung ja­wab!”

 

 Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.

 

 “Siapakah mereka ini?”

 

 “Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak kepo­nakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”

 

 Kaisar mengangguk-angguk. Pantas,pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menteri­nya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang ter­kenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil tertawa Kai­sar berkata.

 

 “Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!” Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menang­kap buah appel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.

 

 “Bagus! Mereka ini kelak akan menja­di pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian se­karang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini.”

 

 Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat meng­ampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguhpun para pang­lima di ruangan luar masih terheran­-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.

 

 Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa­pun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lan­tang.

 

 “Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membe­reskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasar­an kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan me­ngirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”

 

 Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesung­guhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San untuk me­nyelundup ke Yucen dan menjadl pang­lima di sana sambil mengawasi gerak­-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik un­tuk mengetahui keadaan negara tetangga, dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-pe­nyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan ke­rugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam­-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”

 

 Panglima Besar Yucen tertawa. “Ki­ranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macam­nya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaan­nya sudah ada dan pemerintahannya ber­jalan terus, seperti ini. Perlu apa diseli­diki lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam­taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini!” Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemu­dian menyambar ke arah Menteri Kam Liong! Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sin-kang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah t1dak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sin-kang seperti itu hanya merupakan permainan kanak­kanak bagi gurunya.

 

 Memang dermiklanlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu­-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan ki­pas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.

 

 Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalam­nya kosong? Ataukah berisi? Serupa atau­kah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola -besi ini sesungguhnya!”

 

 Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah ter­babat malang-melintang tiga kali sehing­ga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja de­pan panglima besar dari Yucen!

 

 “Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui sete­lah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”

 

 Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sin-kang yang hebat dan keam­puhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata.

 

 “Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar ma­sih belurm dibicarakan selesai.” Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan pe­rundingan untuk menentukan hari perte­muan pengantin dilanjutkan sambil dise­ling makan minum dan hiburan tari nya­nyi oleh seniwati-seniwati istana.

 

 Berkat sikap Menteri Kam yang bijak­sana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah men­dengar dari Han Ki akan hubungan pe­muda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya Itu. Kalau ia, pikir­-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall. Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina. Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu se­benarmya masih merupakan keluarga de­kat dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.

 

  

 

 ***

 

  

 

 “Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menim­bulkan bencana....?” Dalam perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.

 

 “Aihhh! Kau benar-benar terlalu se­kali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kausebut Susiok-couw? Benar-benar ter­lalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.

 

 “Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”

 

 “Wah, tidak patut! Tidak patut! Ja­ngan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.

 

 Mau tidak mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponak­anku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”

 

 “Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko.” Maya berseru girang.

 

 “Koko, engkau kelihatan begini ber­duka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat per­buatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).

 

 Han Ki menggeleng kepalanya. “Kura­sa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukan­lah seorang yang dapat dicelakakan be­gitu saja oleh lawan. Aku tidak khawa­tir....”

 

 “Akan tetapi, mengapa wajahmu be­gini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?”

 

 Maya mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!”

 

 Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, “Engkau tahu apa?”

 

 Maya tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!”

 

 Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. “Maya! Da­ri mana kautahu??” Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.

 

 “Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting” Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar! “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urus­an ini. Kenapa kau begini bodoh, meng­hadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan keluar yang Meng­untungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”

 

 Han Ki terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!”

 

 “Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguhpun aku belum ya­kin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagi­mu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintai­mu seperti yang ku.... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersa­mamu daripada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!”

 

 Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran akan tetapi harus ia akui bahwa “nasihat” Maya itu cocok benar dengan isi hatinya! “Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”

 

 Maya bertolak pinggang. “Koko engkau memang orang yang kurang peneri­ma! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasih­mu sebelum terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kautemani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan, Adik Siauw Bwee?”

 

 Siauw Bwee mengangguk. Han Ki me­narik napas panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu me­nuruti permintaan Maya. Bocah ini me­mang liar!” Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, ti­dak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.

 

 “Awas dia! Kalau bertemu lagi de­nganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.

 

 “Dia... dia hebat sekali, ya Enci Ma­ya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.

 

 “Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya mendengus marah. “Mari kita per­gi, Siauw Bwee.”

 

 Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah me­nutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak.

 

 Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali, akan tetapi ketika mereka meli­hat dan mengenal kakek yang mengha­dang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen!

 

 Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa meman­dang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu. Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata,

 

 “Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama kami!”

 

 Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Mayaq mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.

 

 “Buk! Bukk!” Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena larmbung dan perut yang mereka pukul, itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melem­parkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan Siauw Bwee terkejut se­tengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang armat dalam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan telah menanti dua orang laki-laki diatas perahu. Mereka inilah yang me­nyambar tubuh mereka.

 

 “Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha­ha-ha!”

 

 Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu­-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat melihat muka. dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangan­nya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarah­an.

 

 Setelah malam berganti pagi, barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.

 

 “Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”

 

 Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,

 

 “Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan menga­pa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.”

 

 Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak se­nang dan sungkan di balik ucapan laki­-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu me­ngirim serangan halus dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini merm­bantu kerajaan asing?”

 

 “Kau anak kecil tahu apa!!” Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah men­jengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.

 

 “Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim.” Maya melanjutkan.

 

 Si Tahi Lalat kini berkata “Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga ke­luarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi permerintah Sung? Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah meMalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”

 

 Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk­-angguk dan berkata mengejek “Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perem­puan. Dan sukar bagiku untuk mengata­kan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”

 

 Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih tajam daripada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.

 

 “Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning.

 

 “Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau be­rani membebaskan belenggu kami, baru­lah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.”

 

 Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. “Nah, apakah kalian sekarang hendak menye­rang kami?” tanyanya menyeringai.

 

 Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. “Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin karmi dapat menang.”

 

 “Kami pun tidak suka, membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi. Itulah se­babnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!”

 

 Maya mengangguk-angguk. “Ahh, se­karang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kaubawa ke manakah?”

 

 “Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai kaliah di­musuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan surmbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”

 

 “Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengata­kan bahwa nasib kami tidak buruk? Apa­kah kalau kami diberikan sebagai sum­bangan begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.

 

 “Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian ti­dak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan keke­rasan, hal itu sesungguhnya bukan kehen­dak kami.”

 

 “Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?”

 

 Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, “Agaknya ke­dua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kallan berdua tidak akan lancang menawan kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.”

 

 Dua orang laki-laki itu kini meman­dang penuh perhatian. “Siapakah kalian ini?”

 

 “Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!” Siauw Bwee berka­ta tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.

 

 “Kami hanya melakukan perintah!” Dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu, kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.

 

 Tidak jauh dari pantai Lautan Po­-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui­ daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang me­nampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok­ lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu. Tokoh besar ini lebih ter­kenal dengan sebutannya, yaitu Coa­ bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pe­mimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memper­hatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghor­matinya.

 

 Demikianlah, ketika Bengcu ini mera­yakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sam­pai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki mau­pun perempuan, terutama yang tampan­-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!

 

 Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biarpun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang­-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang menen­tang permerintah pada waktu itu.

 

 Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berha­sil menyelamatkan diri dan lari ke timur, untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai de­ngan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini seba­gai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-vang-kauw.

 

 Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang armat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.

 

 Tuan rumah Coa-bengcu sendiri, telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil ber­bagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sum­bangan. Isteri Bengoi, seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, can­tik dan sikapnya gagah pula karena nyo­nya Bengcu ini pun bukan orang sem­barangan melainkan seorang murid Hoa­san-pai, duduk di samping suaminya sam­bil tersenyum-senyum bangga menyaksi­kan pengaruh suaminya yang menarik da­tangnya semua orang gagah dari dua golongan itu. Adapun putera tunggal Coa­bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu, yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk me­nerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja be­sar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi­pemudi yang tampan-tampan dan cantik­-cantik serta memiliki gerakan vang ce­katan sekali.

 

 Biarpun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mere­ka tidak berani bersikap kurang ajar ter­hadap pelayan-pelayan wanita yang can­tik-cantik itu karena sermua orang mak­lum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coa­bengcu.

 

 Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kermala, sutera-­sutera yang indah sekali warnanya, bah­kan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu ma­sih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,

 

 “Saya Kiang Bu adalah seorang mis­kin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyum­bangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”

 

 Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, Tho-te-kong (Malai­kat Bumi) sungguh berlaku sungkan seka­li. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”

 

 Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.

 

 “Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.

 

 Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Ma­laikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bung­kusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?

 

 “Apa.... apa maksudmu ini?” Coa Kiong membentak dan tangan kanan pe­muda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.

 

 Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,“Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!”

 

 Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malalkat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira She Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekua­saan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!

 

 Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan lang­sung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata,

 

 “Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucap­an selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.”

 

 Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah­-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang me­lihat keadaan suami itu lalu berbisik, “Mereka menanti jawaban!”

 

 Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada. “Ha-ha-ha,sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehor­matan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?”

 

 “Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!” Kata Si Tahi Lalat. Semua tamu kembali men­jadi terheran dan keadaan menjadi te­gang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan teman­nya.

 

 “Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua. orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bermama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khtan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”

 

 Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. “Sungguh merupakan hadiah yang tak termilai harganya!” katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan....? Puteri Panglima Khu....?”

 

 Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.

 

 “Puteri Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba seorang lain meloncat dan ber­seru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.

 

 “Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di ka­langan kamil” Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tu­buhnya. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat­-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari se­orang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.

 

 “Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Men­teri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pu­la!” teriak yang lain.

 

 “Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain.

 

 Ributlah keadaan di ruangan itu kare­na banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak pe­rempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.

 

 Coa-bengcu bangkit berdiri dan meng­angkat kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan mem­buat gaduh. Setelah suasana meredap ter­dengarlah suaranya lantang, “Aku me­ngerti apa yang terkandung di hati Sau­dara-saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat membe­rikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menye­rahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!” Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali. Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus menganadal­kan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepa­da dua orang gadis cilik yang jelas me­miliki kelebihan mencolok kalau diban­dingkan dengan murid-muridnya perem­puan yang manapun juga. Kalau dia ber­kukuh menahan, tentu dia akan menim­bulkan rasa tidak senang kepada para tamunya. Kalau dia, berikan begitu saja, selain dia, merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian, masih ada harapan baginya untuk menda­patkan dua orang gadis itu tanpa menim­bulkan rasa tidak suka di hati orang lain.

 

 “Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?” Beberapa suara ter­dengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.

 

 Coa-bengcu tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?”

 

 “Setuju! Akur! Tepat sekali!” Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee. Adapun tokoh-tokoh wakil partai­-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin men­campuri urusan mereka yang menaruh dendam kepada nenek moyang anak-anak itu.

 

 Kembali Coa-bengcu mengangkat ke­dua tangan minta agar semua orang ti­dak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba ter­dengar Maya berkata.

 

 “Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri un­tuk memperebutkan aku dan adikku, tanpa bertanya persetujuan kami yang tersang­kut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Begini­kah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang t1dak mengenal prikemanusiaan?”

 

 Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.

 

 Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat “Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan, tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita sermua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu ba­nyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi con­toh.”Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemu­dian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa. Pemuda-­pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan te­naga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa be­ratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur ter­atur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.

 

 Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil terse­nyum. “Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguii mereka, sungguhpun aku benar-benar meragukan kebiasaan sendiri untuk menan­dingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menan­dingi Suling Emas dan keturunannya apabila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!” Setelah berkata de­mikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu, menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan.... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya terge­tar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalarm beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.

 

 “Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini, adapun syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit­-langit itui” Setelah berkata dermikian, tangan kakek itu merogoh saku dan ber­gerak.

 

 “Cuat-cuat-cuat....!” Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi! Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ri­ngan sekali melayang ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya, menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu gin-kang yang amat tinggi. Balok melin­tang di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.

 

 “Sekarang kami mempersilakan Cu­wi mencoba,” kata Coa-bengcu sambil melangkah kermbali ke tempat duduknya.

 

 Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri, setelab dilepas ia lalu menarik ta­ngan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcui Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyarmbar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga me­nuangkan minuman pada dua buah cawan.

 

 Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini, diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk me­lihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.

 

 Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengang­kat singa besi. Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati pundak. Yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kem­bali, sedangkan yang dua setelah me­ngelurkan suara ah-ah-uh-uh dan mena­rik-narik singa besi itu sedikit pun tak dapat menggerakkannya!

 

 Menyaksikan kegagalan ermpat orang berturut-turut empat orang yang kelihat­an kuat sekali hati, para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu se­dikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!

 

 “Hemm? biarkan aku mencobanya”, Terdengar suara keras dan ketika ba­yangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah be­kas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi de­ngan kedua tangan, mengerahkan tenaga­nya dan terangkatlah singa besi Itu sam­pai ke atas pundaknya, kermudian cepatia melepaskannya kembali singa besi jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.

 

 Biarpun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama ka­rena, dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang me­masuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bah­wa orang ini adalah musuh ayahnya, ma­ka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya. Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.”

 

 Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hmpir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorak­an memuji.

 

 Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya, tersenyum-senyum penuh aksi, apalagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tarmu dan kini me­nonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah se­ekor harimau supaya kellhatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tu­buhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagah­an melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!

 

 “Heh-heh-heh, maafkan....! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi, karena sayembara ini mempere­butkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).”

 

 Melihat sermua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagak­nya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tam­paknya, kemudian ia membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja,menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!

 

 “Uhhh.... brooooottt!!”

 

 Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu ter­tawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar ja­ngan tampak mereka tertawa. Maya sen­diri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri se­hingga membuat Maya makin terpingkal­-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang me­menuhi perut gendut itu menerobos ke­luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar!

 

 Biarpun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini ter­tawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti seorang iagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia me­mandang ke atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki telan­jang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gen­dut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!

 

 Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biarpun tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin gin-kangnya tidak seting­gi Coa-bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa sin-kang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada din­ding seperti telapak kaki cecak!

 

 “Aihh, aku suka kalau dia yang me­nang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut,” bisik Siauw Bwee yang masih tertawa-tawa ditahan.

 

 “Hussh, siapa sudi? Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa keluar!” jawab Maya.

 

 “Ihhh....! Jijik....!” Keduanya tertawa­-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan. Dua orang anak perem­puan yang masih kecil dalam keadaan seperti itu menjadi tawanan, bahkan di­jadikan barang sumbangan dan kini di­jadikan hadiah perebutan sayembara, masih enak-enak makan minum dan ter­tawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak-anak lain yang meng­alami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah mati!

 

 Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcut kemmudian menurunkan semua paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, me­nerima sebatang kemudian melontarkan paku-paku lainnya kembali ke atas de­ngan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!

 

 Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayem­bara. Para tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedang­ kan tokoh-tokoh kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!

 

 Kini terkumpul sepuluh orang bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara me­reka dan berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan de­ngan Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melain­kan berjalan pelahan ke pintu.

 

 ***  

 

  “He. ke mana kalian mau lari?” Tiba­-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan mendengar ini, Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-murid­nya, juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap! Mereka mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perem­puan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak­-teriak. Akan tetapi, dua orang anak pe­rempuan itu berlari di kanan kiri Si Ka­kek yang rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempe­dulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-beng­cu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, ke­semuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tu­buh belakang kakek itu, tepat sekali, dan anehnya, tidak sebatang pun me­ngenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata raha­sia yang dilontarkan dengan tenaga sin­kang dan yang tepat mengenai tubuh be­lakang Si kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!

 

 Akhirnya, semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran, menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian besar mengandung racun. Na­mun, tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak se­buah pun senjata rahasia melukai pung­gungnya. Kini para tokoh itu menghenti­kan pengejaran, saling pandang dengan mata terbelalak.

 

 “Siancai....! Kiranya di dunia ini ha­nya satu orang saja yang memiliki ke­pandaian seperti itu....!” Seorang tosu yang menjadi tamu berkata lirih.

 

 Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.

 

 “Suling Emaskah....?”

 

 Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. “Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu, beliau adalah.... Bu Kek Siansu....“

 

 “Aihhh....! Mana mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih percaya kalau dia tadi adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!”

 

 “Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan meroboh­kan semua lawan dengan berdepan. Se­baliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya me­mang benar dugaan Totiang, beliau ada­lah Bu Kek Siansu....“

 

 Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara ditia­dakan. Betapapun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?

 

 Maya dan Siauw Bwee masih terhe­ran-heran dan mereka melongo menman­dang wajah kakek berambut panjang pu­tih yang menggandeng tangan mereka. Tadi, ketika mereka ketahuan dan dike­jar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik keluar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.

 

 Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah men­dengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak saja ber­jalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya? Mereka berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu me­reka tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam apakah kakek yang me­nolong ini. Seorang baik-baikkah? Atau­kah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada sekumpulan manusia sesat tadi!

 

 “Kong-kong (Kakek), engkau siapa­kah?” tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.

 

 Akan tetapi kakek itu tidak menja­wab, seolah-olah tidak mendengar per­tanyaan ini. Masih melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang ke de­pan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang.

 

 Maya menjadi curiga dan tidak sabar. “Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa eng­kau membawa kami lari dari mereka?”

 

 Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.

 

 “Enci Maya, jangan-jangan dia tuli!” Siauw Bwee berkata tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.

 

 “Hemm, kalau hanya tuli masih un­tung! jangan-jangan dia ini malah lebih jahat daripada Bengcu dan kawan-kawan­nya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia Iblis!” kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.

 

 “Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergan­tunglah kepada tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu.”

 

 “Ohhh....!” Siauw Bwee melongo.

 

 “Ahhh....!” Maya juga berseru dengan mata terbelalak! Kedua orang anak pe­rempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing, akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa, bernama Bu Kek Siansu yang mun­cul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari, ber­sumber daripada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut. Mereka mentaati permintaan ka­kek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.

 

 Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika para peronda itu, perhatian mereka ter­pecah dan kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah pohon-pohon me­nuju ke taman bunga. Jantungnya ber­debar keras dan ia tahu bahwa dia me­lakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri Sung Hong Kwi, kekasih­nya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain, bahkan di halaman tamu is­tana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati dia menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat. Hebat bu­kan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biarpun dia itu masih belum de­wasa. Kalalu memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa!

 

 Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar, dia melihat keka­sihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dangan hiasan rambut terbuat dari permata, terhias mutiara, yang membuat kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehing­ga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.

 

 Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki! Dia mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yu­cen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan berkasih­kasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu!

 

 “Han Ki-koko....!” Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pela­yan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya, berlutut dan mengelus­-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.

 

 Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis se­demikian sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. “Dewi pujaan hatiku.... kekasihku....,

 

 “Hong Kwi....!”

 

 Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mu­kanya perlahan, ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada di dekat didepannya, matanya yang basah terbela­lak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Ke­mudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. “Koko.... ah, Koko....! Aku.... aku telah....”

 

 Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya, dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata mengalir deras sambil berbisik.

 

 “Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini....”

 

 “Aduh, Koko.... bagaimana dengan nasibku....? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta, saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana....?” IA tersedu kembali.

 

  “Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!”

 

 “Aihhh....!” Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh selidik, “Kaumaksudkan.... minggat?”

 

 “Mengapa tidak? Bukankah kita saling mencinta?' Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. “Kita pergi bersama, takkan saling ber­pisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu se­bagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, , Hong Kwi....!”

 

 “Tidak! Tidak bisa begitu, Koko....! Aku lebih baik mati. Lebih baik kaubu­nuh saja aku sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi....? Koko, kaubunuhlah aku....!”

 

 Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadibingung. Ia dapat memaklumi isi ­hati kekasihnya. Kekasihnya adalah se­orang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!

 

 “Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hon Kwi kekasihku?”

 

 “Ada jalan yang lebih baik Koko!” Tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu se­karang menjadi kemerahan, merah jam­bon berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya, berseri-seri aneh. “Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku se­lamanya adalah kepunyaanmu, tidak da­pat dirampas oleh siapapun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku menyerahkan tubuhku kepa­damu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini, Koko... ambillah tubuhku.... barulah aku akan dapat me­nahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain, secara paksa!”

 

 Han Ki meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mu­kanya pucat sekali dan bulu tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah gadis yang dicintanya itu.

 

 “Bagaimana, Koko....? Apakah.... apa­kah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku terakhir ini?” Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul ping­gangnya sehingga tubuh mereka merapat.

 

 “Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku.... ah...., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan ko­tor! Lebih baik aku mati daripada mengotori dirimu yang murni! Tidak, beta­papun besar hasrat hatiku, betapa darah­ku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu berahiku terhadap­mu! sudah hampir menggelapkan mataku, namun.... aku.... aku tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi!”

 

 “Kalau begitu, bagaimana baiknya.... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita.... Gadis bang­sawan itu terisak-isak lagi sambil berpe­lukan dengan Han Ki.

 

 Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. “Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup ber­sama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Adapun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang lakl-laki hina­dina, setelah melakukan pelanggaran suslia, menikmati pelanggaran, mence­markan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau yang akan me­nanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apalagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didu­nia ini!”

 

 “Aduhhh, Koko.... bagaimana baik­nya....?”

 

 “Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapapun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita.... ah, Hong Kwi....“ Dua orang yang dima­bok cinta dan kedukaan itu, seperti ter­getar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.

 

 “Aduhhh.... Sri Baginda datang....” Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pe­lukannya.

 

 “Koko....! Cepat.... Bersembunyi....” Hong Kwi berseru lirih.

 

 “Di mana....? Lebih baik aku pergi saja....”

 

 “Jangan! Kau bisa ketahuan dan.... dan kita celaka! Lekas.... kolam itu, kauma­suklah dan bersembunyi di bawah daun teratai....”

 

 Karena kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluar­kan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.

 

 “Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman.... eh, kau.... habis menangis?” Kaisar me­negur puterinya dengan suara keren dan marah. Memang Kaisar tahu bahwa pu­terinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan penasaran. Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang “pengganggu kesusilaan”!

 

 Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.

 

 “Apakah ada orang luar masuk ke sini malam ini?” Kembali Sri Baginda berta­nya dengan suara keren.

 

 Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.

 

 “Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi?” Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.

 

 “Ham.... hamba ti.... tidak melihat­nya....” Pelayan itu menjawab lirih sam­bil membentur-benturkan dahi di atas tanah di depannya.

 

 “Periksa semua tempat di sekitar sini!” Kaisar memerintahkan para penga­walnya yang segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tem­pat gelap dengan lampu-lampu yang me­reka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.

 

 “Mulai saat ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali­-kali keluar. Mengerti?” Kaisar memben­tak dan kembali Hong Kwi mengangguk. Para pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu men­dengus dan meninggalkan taman itu di­iringkan para pengawalnya.

 

 Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani bangkit ber­diri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri de­ngan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.

 

 “Hong Kwi....!” Ia berkata lalu melon­cat keluar.

 

 “Koko.... ahhh...., hampir saja....! Aku harus segera masuk. Han Ki-koko, sela­mat berpisah, selamat tinggal.... sampai jumpa pula di akherat kelak....“ puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayan­nya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.

 

 “Hong Kwi....“ ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal Istana yang dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!

 

 “Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu aku pula karena biarpun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlu­tutlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!”

 

 Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misan­nya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang ha­nya satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menja­wab.

 

 “Goanswe, perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga, apalagi namamu!”

 

 Wajah Suma Kiat menjadi merah sa­king marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian men­teri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belas­an tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalah­an yang amat berat yaitu berani menyelundup ke dalam taman istana dan me­lakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan ke­pada Kaisar bahwa pemuda itu benar­-benar berada di taman sehingga menang­kap atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.

 

 “Kam Han Ki manusia berdosa! Sete­lah engkau melakukan pelanggaran me­masuki taman seperti maling, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?” Kembali Suma Kiat membentak sambil mencabut pe­dangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak buah pasukan dan para pang­lima juga mencabut senjata masing-masing.

 

 Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilih­an lain bagi dia yang sudah “tertangkap basah” ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam telinganya.

 

 “Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaran­mu menghadapi orang yang lebih kuat pun.”

 

 Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta, dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah, Karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak ber­salah karena itu dia tidak akan menye­rahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan Istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu memba­likkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.

 

 Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kem­bali ke depan Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia me­loncat hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.

 

 “Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau ma­ling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki Hong-siang agar menerima hukuman!” Suma Kiat tertawa mengejek.

 

 Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepu­punya, Menteri Kam. Kalau dia melaku­kan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam? Dia akan men­celakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengam­bil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa membunuh orang.

 

 “Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe!” katanya gagah sambil mencabut pedang­nya juga.

 

 “Apa? Kau hendak melawan? Serbu!” Suma Kiat berseru dan mendahului ka­wan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher. Ilmu kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri Suling Emas yang pernah men­jadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menye­ramkan.

 

 Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu mem­buat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang se­dangkan totokan jari tangan kiri itu di­kenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan ber­bahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!

 

 “Cringgg....! Dukkk!” Han Ki yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya se­hingga dua pedang dan dua lengan berte­mu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya geme­tar dan tubuhnya bertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sin-­kang yang amat kuat. Namun ia berseru keras dan menyerang lagi, dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.

 

 Pemuda ini terpaksa memutar pedang­nya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehing­ga semua senjata para pengeroyok ter­pukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun, pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuh­nya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki ke­pandaian tinggi itu.

 

 Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jan­tung para pengeroyoknya dan membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan me­nunda gerakan senjata. Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman serangan ke arah kepala para pengero­yoknya. Demikian ganas dan cepat sam­baran pedangnya itu sehingga para pe­ngeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang. Kesempatan yang amat baik, pikir Han Ki dan sekali ia mengenjot tubuhnya sambil menang­kis serangan susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.

 

 “Penjahat cabul hendak lari ke ma­na?” Terdengar bentakan keras dan se­batang tombak menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.

 

 “Cringg.... tranggg.... wuuuttt!” Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cu­kup tinggi, terbukti dari serangan-serang­an tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati Istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya.“Siuuttt!” Kembali Han Ki harus me­loncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya ku­ningan yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak ke kanan kiri dan menge­rahkan tenaga lalu membabat dari samping.

 

 “Tranggg!” Bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya terguling lalu ia bergu­lingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu, Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya, telah mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki di­kurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok ka­rena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!

 

 Betapapun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokah begitu banyak orang lihai sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewa­lahan. Dia memang menerima gembleng­an seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu sllat yang amat tinggi, bahkan telah mempe­lajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan da­sarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran, apalagi dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai!

 

 Namun, harus dipuji keuletan pemuda ini. Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-ka­dang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya de­ngan pengerahan sin-kang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya, me­robohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan mengakibat­kan luka ringan saja.

 

 Jenderal Suma Kiat yang memimpin

 

 pengeroyokan ini, berulang-ulang me­nyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pa­sukan pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu mem­bekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada be­lasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalu­kan!

 

 “Panggil semua panglima yang berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!” bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.

 

 Han KI masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi, kering kembali melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata lawan dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka­-luka itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.

 

 “Habis aku sekali ini....“ keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai malam ter­ganti pagi! Telapak tangannya yang me­megang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi satu de­ngan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya ha­nyalah sekalian masuk ke dalam istana! Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan te­tapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak kamar-kamar­nya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi jumlah penge­royok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau setidaknya ber­sembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dika­barkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk “menyikat” hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di da­pur sampai berpekan-pekan?

 

 Dia harus dapat menyelinap ke Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang berloncatan ke sana sini seperti orang nekat. Semenjak dike­royok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengero­yok yang tidak terlalu kuat dengan ten­dangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambit­kan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya.

 

 “Awas senjata rahasia!” bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang ber­ilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menem­bus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!

 

 Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk me­lalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke ka­nan kiri sedangkan tombak panjang me­reka patah-patah!

 

 “Kejar! Tangkap dia, mati atau hi­dup!” Suma Kiat membentak para pe­ngawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki istana. Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-­pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu ka­rena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!

 

 Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?

 

 Han Ki yang berhasil menerobos me­masuki Istana, terus berlari melalui lo­rong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking lelah­nya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan. Tiba­-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang se­olah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.

 

 Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang menge jarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pe­ngawal yang menuju ke tempat itu!

 

 “Kita harus mengepung seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!

 

 Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui me­reka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupa­kan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjaga­an di atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang ber­bahaya sekali. Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, ke­mudian ia meloncat ke dalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputa­ngan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang se­dang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wa­nita yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.

 

 “Jahgan menjerit!” Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. “Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!”

 

 Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri ber­lutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, ha­nya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. “Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?”

 

 Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Hamba dike­jar-kejar pengawal dan mohon perlindungan....”

 

 Sejenak nenek itu menunduk, meman­dang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu. “Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?”

 

 “Benar, hambalah orang itu!”

 

 “Siapa namamu?”

 

 “Hamba Kam Han Ki....”

 

 “She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?”

 

 “Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba....”

 

 “Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak meng­hadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”

 

 Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya ber­sembuny di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!

 

 Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus, “Siapa di luar?”

 

 “Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba meme­riksa di dalam!” terdengar jawaban dari luar.

 

 “Masuklah, daun pintu tidak dikunci,” jawab Si Nenek dengan tenang!

 

 Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakut­an dan menubruk kaki nyonya majikan­nya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.

 

 “Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?” tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pe­dangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu!

 

 Han Ki tidak menjawab dan kini ne­nek itu berkata, “Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar.” Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pe­ngawal memberi hormat dan setelah me­lempar pandang mata marah sekalilagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.

 

 “Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat per­buatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.”

 

 “Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!” kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela ka­mar itu.

 

 Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pe­ngawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pe­dang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki meroboh­kan orang dengan niat agar yang diro­bohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!

 

 Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang men­jadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan seba­gai seorang buronan yang telah menga­caukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh!

 

 Han Ki mengamuk dengan hebat. Pe­dangnya lenyap menjadi sinar yang ber­gulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibanding­kan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah se­kali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!

 

 Setengah malam suntuk ia telah ber­tanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikero­yok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.

 

 “Aku tidak bersalah! Aku datang me­nemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak me­lakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!”

 

 “Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.

 

 “Rrrrtt.... cring-cring....!” Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang me­ngandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam­-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini he­bat sekali kepandaiannya.

 

 Kembali Han Ki terkena pukulan-pu­kulan, bahkan bajunya robek-robek ter­makan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang penge­royok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah!

 

 Akan tetapi kehilangan darah dan ke­lelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung. Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sin­kangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya ter­lepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan!

 

 Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitusaja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukum­an gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu “enak” bagi Han Ki yang dibencinya! Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia me­nahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!

 

 Dalam keadaan pingsan dan terbeleng­gu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.

 

 Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apa­lagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia ter­ingat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap me­ngacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat “mematikan rasa” sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datang­nya maut dalam bentuk apapun juga.

 

  

 

 ***

 

  

 

 Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan.

 

  

 

 Ketika Menteri Kam Liong dan mu­ridnya, Panglima Khu Tek San mening­galkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati me­reka amat tidak enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sen­diri dengan tergesa-gesa. Dia ingin se­gera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya.

 

 Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!

 

 “Apa....? Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!” Panglima ini berkata dengan suara keras. Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh su­sioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.

 

 Akan tetapi, malam itu ternyata ter­jadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, kare­na waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.

 

 Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya?

 

 Tiada jalan lain bagi Panglima Khu se­lain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.

 

 Seperti telah diduganya, gurunya te­lah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut keda­tangan Tek San dengan muka gelisah.

 

 “Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah men­dengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja be­lum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?”

 

 “Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu....“

 

 “Apa....?” Menteri tua itu menjadi terkejut.

 

 “Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.

 

 Menteri Kam Liong mengelus jenggot­nya dan menarik napas panjang berkali-­kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih, “.... mengapa.... menga­pa....?” dan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sen­diri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluar­ga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?

 

 “Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan ber­tanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya se­karang juga aku melihat keadaan.”

 

 Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat ber­kata, “Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaik­nya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan.”

 

 Menteri Kam Liong mengangguk-ang­guk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki se­orang yang paling dekat. Kalau memban­tu berarti ia terancam bahaya bermusuh­an dengan istana!

 

 Sampai Han Ki tertawan dan dima­sukkan dalam penjara, Khu Tek San me­nyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan kamar ta­hanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan.

 

  

 

 Menteri Kam Liong mengurut jeng­gotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, “Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diri­ku....”

 

 “Suhu....!” Tek San berseru kaget.

 

 Menteri Kam Liong memandang mu­ridnya yang setia. “Tek San, engkau mu­ridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Ten­tu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengam­puni Han Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan keke­rasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kaupulanglah!”

 

 Dengan hati berat dan penuh kekha­watiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gu­runya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong!

 

 Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada se­orang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai terta­wan.

 

 Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderita­an batin menteri itu selama tiga hari ini.

 

 “Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilak­sanakanbesok. S i Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar se­hingga, Han Ki tak dapat diampuni, bah­kan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi ber­sama dia menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Adapun tentang dirimu sebaik­nya engkau mengundurkan diri saja sete­lah keributan yang kusebabkan mereda.”

 

 Tek San kaget sekali. “Akan tetapi.... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?”

 

 “Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku su­dah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, me­nyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.

 

 “Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!

 

 Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuhkeberanian. Ia tidak ragu-ragu akan ke­beranian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini, mereka bukan melaku­kan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.

 

 “Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena ke­luarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.”

 

  

 

 *** 

 

 Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan mem­bantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.”

 

 “Akan tetapi.... keluargamu?”

 

 “Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.”

 

 “Tapi.... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai....“

 

 “Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun ke­kuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada se­orang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudi­an teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti.”

 

 Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isteri­nya, dengan isterinya yang berwajah pu­cat dan mata merah, karena terlalu ba­nyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sen­diri tidak tahu!

 

 Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan­ wajahnya buruk. Akan tetapi dia mem­punyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehing­ga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah ma­jikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksana­kan dengan taruhan nyawanya!

 

 “Gu Toan,” kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan di­kasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. “Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.”

 

 “Hamba mengerti, Taijin.”

 

 “Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah se­latan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa ben­da-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan eng­kau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat­cepat memberi kabar ke Go-bi-san, kau­carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?”

 

 Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. “Nah, kau berkemaslah,” kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hati­nya bahwa dia mempunyai seorang pela­yan demikian setia.

 

 Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti da­tangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisa­nya tentu sudah mengantuk berjaga sam­pai hampir pagi.

 

 Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang ber­kelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di pung­gungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat se­perti itu karena ketika ia memperlihat­kan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan ma­ta mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.

 

 Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam ge­lap itu sukarlah mengikuti gerakan me­reka dan kalau kebetulan ada yang me­lihat tentu tidak menduga bahwa ber­kelebatnya dua sosok bayangan itu ada­lah dua orang manusia. Mereka mengena­kan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua ce­lananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang me­nutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian men­teri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju pe­rang yang terlindung kulit tebal di ba­gian bahu, dengan dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergan­tung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!

 

 Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah da­lam dan mulailah mereka berjalan menu­ju ke bangunan penjaga di belakang ista­na yang terjaga ketat.   

 

 Tepat seperti yang diduga dan diperhi­tungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan te­tapi mereka tidak jadi menyambar senja­ta atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.

 

 “Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu....” Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.

 

 “Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.

 

 “Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh....“ Kepala pengawal menjadi bi­ngung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.

 

 “Aku memerintahkan, dan di sini ha­dir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?” Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengan­cam.

 

 “Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....“

 

 “Bukalah!” kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. “Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.”

 

 Mendengar ini, penjaga itu tidak be­rani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan pen­jara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena ter­totok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.

 

 Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa membe­ri hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh “pulas” di tempatnya.

 

 Setelah melampaui penjagaan-penjaga­an dengan mudah, akhirnya mereka ber­dua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!

 

 Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Pang­lima Khu, dua orang itu meloncat kaget.

 

 Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.

 

 “Plak!” Panglima muda yang mener­jang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.

 

 “Tek San! Cepat, kaupondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!” Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh murid­nya. Menteri Kam Liong kembali meng­gunakan jari-jari tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada saat itu, ter­dengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.

 

 “Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!” Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilih­an dari istana. Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaima­na yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa men­jaga tempat tahanan, sedangkan dia sen­diri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihu­bungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan pen­jagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!

 

 “Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pembe­rontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!”

 

 “Tek San, ikuti aku!” Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan ge­rakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki de­ngan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sen­diri.

 

 Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kai­sar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kai­sar sendiri! Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepan­daian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar suling­nya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok ter­lepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sam­baran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar meru­pakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.

 

 “Trangggg, tringg.... cringggg....!” Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedang­kan para panglima pengawal lainnya ter­huyung ke belakang.

 

 “Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang!” Menteri Kam Liong ber­teriak sambil memutar suling emasnya menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.

 

 Karena maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak cepat-cepat da­pat keluar dari kota taja tentu mereka terancam bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang di­panggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila pemuda per­kasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mere­ka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar deri kota raja!

 

 Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sung­kan karena dia maklum bahwa persoalan­nya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggeli­sahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayah­nya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.

 

 Melihat betapa orang-orang yang di­bencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pesukan, juga memerintahkan agar pasuken-pasu­kan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jum­lahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, meng­amuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya me­rupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun ter­utama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa me­ngenal ampun lagi.

 

 “Suma Kiat! Jika kau tidak ingin me­lihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!” bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hati­nya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetul­nya penuh kesetiaan kepada kerajaan.

 

 “Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!” Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.

 

 Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi se­orang pengkhianat dan pemberontak ren­dah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluar­ganya.

 

 “Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kaubebaskan!” Teriak­nya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kela­liman para pembesar, malah mengurung­nya dengan ketat.

 

 “Tek San! Lari....!” Kam Liong ber­teriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi kor­ban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergu­nakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya meroboh­kan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu me­ngejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.

 

 “Wirrr.... wirrr....!” Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari be­lakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.

 

 Namun, pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka ber­dua menangkis sambil berlari terus me­nuju ke selatan karena mereka bermak­sud melarikan diri keluar dari pintu ger­bang kota raja sebelah selatan.

 

 Akan tetapi, dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujan­kan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melari­kan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.

 

 “Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!” Kam Liong berkata kepa­da muridnya. “Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di se­keliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.

 

 “Suhu....!” Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.

 

 “Hemm, bicaralah!” Kam Liong ber­kata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan ke­dukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.

 

 “Cet-cet cettt....!” Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.

 

 “Keparat!” Kam Liong berseru, suling­nya diputar menangkis dan kipasnya ber­hasil menangkap atau menjepit tiga ba­tang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan roboh­nya dua orang pengawal dari atas gen­teng itu, dahi mereka “termakan” piauw mereka sendiri.

 

 “Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!”

 

 Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nya­wa sendiri yang terancam maut, melain­kan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengece­wakan hati gurunya.

 

 “Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menang­kap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun ber­seru keras, pedangnya berkelebat mero­bohkan dua orang pengeroyok di depan­nya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.

 

 “Kejar....“

 

 “Tangkap....!”

 

 “Bunuh mereka semua....!” Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan me­ngejar larinya Tek San!

 

 Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Ce­pat ia miringkan tubuhnya dan mengge­rakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.

 

 “Tring-tranggg....!”

 

 Khu Tek San terkejut karena tangan­nya yang memegang pedang menjadi ter­getar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.

 

 “Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat!” Tek San memben­tak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembe­sar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.

 

 “Cringgg....!” Dua batang pedang ber­temu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memon­dong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.

 

 “Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!”

 

 “Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!” Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sem­bil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah ter­desak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempe­dulikan lagi akan keselamatan diri me­reka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas pang­lima itu menjadi benar-benar repot se­kali.

 

 Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.

 

 “Tranggg....!”

 

 Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Ka­rena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya

 

 “Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!” Kam Liong berkata kepa­da muridnya. “Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di se­keliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.

 

 “Suhu....!” Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.

 

 “Hemm, bicaralah!” Kam Liong ber­kata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan ke­dukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.

 

 “Cet-cet cettt....!” Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.

 

 “Keparat!” Kam Liong berseru, suling­nya diputar menangkis dan kipasnya ber­hasil menangkap atau menjepit tiga ba­tang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan roboh­nya dua orang pengawal dari atas gen­teng itu, dahi mereka “termakan” piauw mereka sendiri.

 

 “Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!”

 

 Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nya­wa sendiri yang terancam maut, melain­kan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengece­wakan hati gurunya.

 

 “Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menang­kap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun ber­seru keras, pedangnya berkelebat mero­bohkan dua orang pengeroyok di depan­nya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.

 

 “Kejar....“

 

 “Tangkap....!”

 

 “Bunuh mereka semua....!” Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan me­ngejar larinya Tek San!

 

 Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Ce­pat ia miringkan tubuhnya dan mengge­rakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.

 

 “Tring-tranggg....!”

 

 Khu Tek San terkejut karena tangan­nya yang memegang pedang menjadi ter­getar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.

 

 “Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat!” Tek San memben­tak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembe­sar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.

 

 “Cringgg....!” Dua batang pedang ber­temu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memon­dong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.

 

 “Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!”

 

 “Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!” Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sem­bil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah ter­desak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempe­dulikan lagi akan keselamatan diri me­reka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas pang­lima itu menjadi benar-benar repot se­kali.

 

 Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.

 

 “Tranggg....!”

 

 Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Ka­rena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedang­kan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya meng­elak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang ka­nan.

 

 “Cett!” Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan lon­catan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah melon­cat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang pang­lima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.

 

 “Keparat, hendak lari ke mana kau!” Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglimuntuk menggunakan pedang menangkis, sedang­kan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya meng­elak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang ka­nan.

 

 “Cett!” Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan lon­catan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah melon­cat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang pang­lima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.

 

 “Keparat, hendak lari ke mana kau!” Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglima perkasa ini terancam ba­haya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli se­perti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah ter­luka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!

 

 “Trik-trik!” Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.

 

 “Suhu, awas....“ Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuh­nya ke belakang terus bergulingan. Un­tung bahwa Siangkoan Lee memperingat­kan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan penge­royokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, meng­hadang menteri sakti ini, membantu muridnya.

 

 “Tek San, lari....!” Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah me­loncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sam­bil melindungi muridnya itu.

 

 Biarpun dihadang, dikepung dan dihu­jani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pe­ngawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk men­dengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam se­bagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati ke­pada Menteri Kam Liong, merasa berdu­ka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan mala­petaka besar akan menimpa keluarga mereka.

 

 Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula men­dahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!

 

 “Tek San, saat terakhir yang menen­tukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!”

 

 Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipeduli­kan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah mero­bohkan empat orang panglima lalu me­masuki terowongan pintu gerbang.

 

 Menteri Kam Liong juga sudah ter­luka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang pangli­ma, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang pera­jurit pengawal, akan tetapi pundak kiri­nya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan meng­amuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangan­nya seolah-olah menjadi makin berkilauan “tercuci” darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek men­jadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai. Akan tetapi, karena kini ia berge­rak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedih­kan hati orang lain. Akan tetapi, murid­nya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih se­orang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawa­nya demi dua orang yang disayangnya itu.

 

 Setelah merobohkan tiga orang penja­ga lagi, yang merupakan orang-orang ter­akhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pin­tu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya ber­kunang. Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran meng­hadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apa­lagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang meru­pakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipas­nya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan,seluruh tenaga­nya diperas hampir habis, napasnya ter­engah-engah dan pandang matanya men­jadi kabur.

 

 Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya un­tuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah­-olah melekat atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya su­dah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang ga­gah ini masih mampu bertahan selama ini.

 

 Guru dan murid itu tidak pernah pu­tus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada bebe­rapa orang saja yang akan dapat menge­jar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya baagi mereka ber­dua. Setelah melakukan pertempuran se­lama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.

 

 Akan tetapi, Kam Liong kurang mem­perhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok ka­kak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu ger­bang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang ber­ilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pema­nah yang pilihan untuk naik ke atas pin­tu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.

 

 Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah melun­cur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.

 

 “Tek, San           awas anak panah....!” Kam Liong yang sudah mulai payah sa­king lelahnya itu masih sempat memper­ingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.

 

 Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!

 

 “Suhu....!” Khu Tek San berseru, pe­dangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.

 

 Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, meng­gandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!

 

 Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang pang­lima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan ter­kejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksi­kan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.

 

 “Ayahhhh....!” Khu Siauw Bwee men­jerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.

 

 “Pek-hu....!” Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke bela­kang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.

 

 Akan, tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wa­jah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pe­ngawal yang tadinya terbelalak dan terhe­ran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak me­nyerang.

 

 “Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....!” Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan per­gelangan tangannya digoyang-goyang se­perti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang, kakek itu meng­hampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata lirih.

 

 “Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?” Sungguh mengherankan, dua orang perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang meli­hat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pun­daknya.

 

 Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang laki-laki bong­kok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.

 

 Kakek tua renta itu mengangguk-­angguk. “Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kubur­kan abunya di kuburan keluarga mereka,”

 

 Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri ber­lutut di depan kaki kakek tua renta sam­bil berkata,

 

 “Hamba mohon petunjuk.”

 

 Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Se­bagai seorang pelayan yang dapat di­katakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini mak­lum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang muji­jat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke da­lam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang sekali dan “membuka” semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa be­tapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi, maklum bah­wa dalam saat yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada yang dapat ber­gerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian me­langkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggang­nya.

 

 Kelak akan ternyata bahwa Si Bong­kok Gu Toan ini menguburkan abu jena­zah kedua orang gagah itu di tanah pe­kuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kese­tiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia mene­rima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.

 

 Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya “besar”, namun sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.

 

 Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh­-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa­-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, me­miliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat merobohkan­nya!

 

 Dengan langkah tenang, Bu Kek Sian­su yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian mening­galkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik kare­na getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka. Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.

 

 Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee dan dalam keadaan ber­duka, ia membenamkan diri dalam peluk­an dan hiburan selirnya yang paling can­tik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat.

 

 Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.

 

 Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai se­buah bola besar yang merah seperti bu­lan, purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak ge­rakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhir­nya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.

 

 Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu me­narik napas panjang dan berkata halus.

 

 “Han Ki....”

 

 Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum da­pat menyelami dan mengenal watak ka­kek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara ka­kek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia me­lakukan perjalanan bersama Maya den Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba me­manggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.

 

 “Suhu....!” Ia menjawab sambil meng­hampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani ba­nyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.

 

 “Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.

 

 “Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.

 

 Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. “Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbe­bas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu mem­peringatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu. Eng­kaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan meng­aturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan. Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha batu karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke mata­hari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.”

 

 “Pulau Es....?” Han Ki berdebar te­gang.

 

 “Pulau tempat kerajaan nenek mo­yangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri....“ kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.

 

 Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri ber­lutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.

 

 “Suhu hendak ke manakah?” tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.

 

 Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee.”

 

 “Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?” Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar me­mandang gurunya.

 

 “Bertanyalah selagi ada kesempetan, Maya.” .

 

 “Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?”

 

 Kakek itu tersenyum den memandang kepada Han Ki. “Jawabannya boleh kau­dengar dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal dapat kautanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.“

 

 Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil me­mandang anak perempuan itu. “Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bah­wa menaklukkan orang lain hanya mem­butuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki ­nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpenga­ruh dan melakukan penyelewengan. Meng­hadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Ka­rena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”

 

 Pelajaran ini adalah pelajaran keba­tinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ke­tika mereka mempelajari kesusastraan, maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia ter­diam.

 

 “Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid­-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap.... Cinta....!” Kakek itu tidak me­lanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah tebing!

 

 “Suhu....!” Han Ki berteriak kaget

 

 “Suhu....!” Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, men­jenguk ke bawah tebing dengan hati te­gang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ke­timur.

 

 “Suhu....!” Mereka berteriak.

 

 Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mu­lai bergerak, gelombang mulai berda­tangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesu­nyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.

 

 “Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Su­hu.”

 

 Maya dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, “Suheng.... Suhu pergi ke manakah?”

 

 Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. “Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?”

 

 Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia me­lihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Ma­ya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee. Akan tetapi tiba­-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata,”Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!”

 

 Han Ki terseayum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa kelak akan sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.

 

 “Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan bere s,” katanya perlahan.

 

 “Engkau adalah suheng kami, peng­ganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi Khu­sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya.”

 

 Han Ki mengerutkan kening. Dia ti­dak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu. “Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.

 

 “Tentu saja!” jawab Maya cepat, “Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.”

 

 “Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?”

 

 “Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua.”

 

 Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, “Siauw Bwee sumoi, bagaimana pendapatmu?”

 

 Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, “Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.”

 

 Mendengar ucapan ini, Han Ki me­mandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat me­ngerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat memper­gunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khi­tan, anak atau anak angkat kakak sepu­punya, yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk menye­lamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluar­ganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nya­wa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.

 

 “Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan mem­bela seperti tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Ka­lian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.”

 

 “Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita berlumba!” Maya berkata dan me­nantang Siauw Bee.

 

 “Baik, marilah, Suci!” Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin. Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang su­moinya dari belakang sambil memper­hatikan cara mereka berlari cepat.

 

  

 

 *** 

 

  

 

 Ke dua orang gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat beta­pa Siauw Bwee dengan nekat memperce­pat larinya agar dapat mengimbangi ke­cepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerak­an kakinya, melampaui mereka dan ber­kata tertawa.

 

 “Wah, kalau kalian beriari begini lam­bat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan ka­lian, Sumoi!” Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan gin­kangnya dan beriari cepat sekali, mem­buat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka tadi.

 

 “Suheng, larimu cepat sekali!” Maya berseru kagum.

 

 “Seperti Suhu ketika mermbawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?” Siauw Bwee juga berkata.

 

 “Inilah yang disebut Cio-siang-hui!” jawab Han Ki.

 

 “Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku!” Maya berseru dengan kagum karena ilmu “terbang di atas rumput” ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.

 

 “Tunggu sampai kita dapat menemu­kan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang tak­kan kuajarkan kepada kalian berdua. Se­karang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi, hanya lari biasa, me­lainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadi­nya mentaati pesan suhengnya dan me­mejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-ka­dang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.

 

 “Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!”

 

 Melihat betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam­-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil

 

 murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai sese­orang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat ber­sikap tenang, berarti dia sudah kehilang­an setengah ilmunya.

 

 “Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di, depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!”

 

 Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berba­haya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi sehing­ga biarpun menggandeng dua orang su­moinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang tercipta oleh gempuran ombak se­tiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara guha-guha ini, tampak­lah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya merun­cing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cu­kup untuk tempat berteduh dari terik matahari.

 

 “Ini perahu Suhu!” Han Ki berseru girang. “Marilah!”

 

 Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian me­lihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan mendorongnya ke atas air laut.

 

 Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahu­nya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.

 

 Maya dan Siauw Bwee tertarik meli­hat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.

 

 “Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.”

 

 Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerindu­annya. Ia mengangguk. “Tentu saja, Su­moi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menye­lidiki ke kota raja kelak, akan ada ke­nalan orang tuamu yang tahu akan raha­sia itu, tahu ke mana Ibumu pergi meng­ungsi dengan sembunyi.”

 

 “Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!”

 

 Kim Haa Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. “Hemmm.... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Su­moi?”

 

 “Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!”

 

 Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada ke­rajaan-karajaan tiga negara,. bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam pe­rang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoinya yang seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apalagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan sau­dara sepupunya pula, maka ia hanya ber­kata tenang, “Cita-citamu itu. amat sukar dilaksanakan, akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi.”

 

 “Dan engkau sendiri, bagaimana urus­anmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu, Suheng?” Tiba-tiba Maya bertanya.

 

 Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak di­sangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita­-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apalagi yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.

 

 Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan sucinya, ketika sucinya meman­dang, ia berkedip dan menggerakkan muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanya­annya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, mengangkat se­dikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung, mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menya­nyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengar­kan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali, apalagi menyanyi­kan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan, dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu. Han Ki yang perasaannya mendapat pu­kulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba tadi, ketika mendengar nyanyian ini, merasa makin nelangsa, pikirannya mela­yang-layang dan teringatlah ia akan segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya. Teringatlah dia akan nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya sehingga dia dapat me­nerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanya­an tiba-tiba dari Maya membuat ia ter­kejut dan terpukul, terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasih­nya itu dirampas oleh orang lain!

 

 “Hong Kwi....!” Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. “Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian selama­nya jangan menyebut-nyebut lagi namanya....“

 

 Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu.

 

 “Baik, Suheng,” jawabnya.

 

 “Baik, Suheng,” kata pule Siauw Bwee.

 

 Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan , maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air laut mengumandangkan nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoinya, karena kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan. Kini Han Ki dapat memikirkan dan me­rasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda dan berdarah panas, mudah dikua­sai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat neenahan diri dan akan menimbuikan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain, dan dia harus dapat melupa­kanya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.

 

 “Hei....! Ikan banyak sekali....!” Tiba­-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki memandang dan memang benar. Di dalam air, ter­sinar bagai matahari, tampak banyak ikan se­besar paha berenang ke sana ke mari banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati dan ketiganya tidak meng­gerakkan dayung membuat perahu terhen­ti dan mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Karena matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah mempesonakan.

 

 “Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini;” kata Siauw Bwee.

 

 “Itu ada perahu datang!” Han Ki ber­kata. Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali. Setelah de­kat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang laki-lakiyang berkepala gundul.

 

 “Seperti seorang hwesio!” kata Siauw Bwee. “Bukan, bantah Maya. “Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio tidak berjubah?”Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. “Bukan hwesio. Akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakai­annya hanya cawat, kumisnya kecil me­lintang.

 

 Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik.”

 

 Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sam­pai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk dl luar bibir perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya, muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.

 

 “Wah, dia gila....!” Maya berseru.

 

 “Dia bisa celaka....!” Siauw Bwee ber­kata penuh keheranan.

 

 “Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?”

 

 Pertanyaein Han Ki itu segera men­dapat jawaban yang merupakan peman­dangan aneh sekali. Tiba-tiba air berge­lombang dan.... dari dari dalam air tadi meloncatlah orang yang tadi ke dalam perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia me­loncat ke air, Han Ki berkata.

 

 “Bukan main! Selama, hidupku, men­dengarpun belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan dia!” Han Ki berseru dan men­dayung perahu mendekat.

 

 Pada saat itu, air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke ba­wah, “Lihat....!”

 

 Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi dan ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar daripada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat. “Suheng, bantulah dia....!” Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.

 

 “Tidak perlu, Sumoi. Lihat!”

 

 Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya, me­ngempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu me­lempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.

 

 “Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali!” Han Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya didepan dada memberi hormat. Akan tetapi orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han.

 

 “Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus?” Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.

 

 “Celaka! Orangnya sombong seperti setan!” Maya memaki marah. “Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?”

 

 “Lopek, awas....! Ikan hiu....!” Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.

 

 “Suheng....dia bisa celaka....!” Siauw Bwee berseru.

 

 “Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa!” Maya juga berseru.

 

 Seekor Ikan hiu yang ganas dan liar, sebesar manusia, menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah mem­buang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul me­nangkap ekor ikan dan mencengkerem sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menang­kap moncong ikan dengan kedua tangan, membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.

 

 “Lopek,naiklah ke perahu banyak ikan hiu....!” Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang. Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air, mereka berda­tangan seperti beriumba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang be­ear-besar. Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!

 

 Siauw Bwee menjerit ngeri menyak­sikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri,agaknya ia girang melihat orang sombong itu terancem bahaya.

 

 Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.

 

 “Desss!” Pukulan itu hebat dan biar­pun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.

 

 “Pukulan Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?” Han Ki makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!

 

 Akan tetapi tidak ada yang depat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas , dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yanag menerjang dari kanan kir! Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan ta­ngan, dengan menginjak kepala ikan se­bagai landasan, Han Ki berhasil melon­tarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke pe­rahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.

 

 “Kau.... kau siapa?” Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan meman­dang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.

 

 Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri! “Na­maku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tampat tinggal lopek?”

 

 Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian meng­hela napas panjang dan berkata, “Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.

 

 “Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.” Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nela­yan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya me­layang ke arah perahunya sendiri. Gerak­an ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.

 

 “Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?” Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.

 

 “Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keada­an keluarganya. Tentu ada, hubungannya antara mereka dengan Suhu,” Han Ki berkata lirih.

 

 “Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!” Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung pe­rahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki. Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya me­rupakan tebing batu karang yang curam.

 

 Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.

 

 Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan meng­ikatkan perahu, Ia berkata, “Engkau me­mang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.

 

 “Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat.” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya.” Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang su­moinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.

 

 Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita me­makai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan “mode” bagi mereka!

 

 Ketika mereka melihat Han KI dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak­-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepan­daian tinggi, orang-orang itu makin ter­tarik dan memuji-muji.

 

 “Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,” demikian Si Ne­layan Gundul menutup ceritanya.

 

 Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,

 

 “Siapakah di antara Cu-wi yang men­jadi Tocu (Majikan Pulau)?”

 

 “Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini,” jawab Si Nelayan Gundul.

 

 “Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.

 

 “Orang-orang yang berada di situ ter­tawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, “Kami sekeluarga tidak mempunyai pe­mimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?”

 

 Han Ki terheran-heran. “Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah?” Apakah turun temurun terus berada di sini?”

 

 Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak. “Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.”

 

 Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkat­nya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gu­lungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak di­sangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.

 

 “Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!”

 

 Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum­pernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerak­an aseli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan se­rangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.

 

 “Srattt!” Tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru. “Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!” Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera menge­nal gerakan pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan ter­jadilah adu ilmu pedang yang lebih me­nyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh! Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Ne­layan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.

 

 Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru “Pemuda ini adalah keluarga sendiri!”

 

 Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan ke­luarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya, kembali dan men­jura.

 

 “Locianpwe, maafkan kekurangajaran­ku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiat dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku.”

 

 “Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu, kata kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong.

 

 “Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?”

 

 Kakek itu mengangkat pundak. “Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.”

 

 “Locianpwe, sukakah Locianpwe men­ceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?”

 

 Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.

 

 “Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turan-temurun menjadi nela­yan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau seka­rang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya.Kau boleh tinggal disini selama kau dan sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh me­ngunjunginya. Mengertikah, orang muda?”

 

 Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.

 

 Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu, “Kakek, tempat apakah itu yang kausebut tempat keramat?”

 

 Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus, “Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!”

 

 Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, ke­mudian mereka mengajak Han Ki dan dua orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula. Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyam­but kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anak­anak itu mengelilingi Maya dan Siauw­ Bwee, memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada meraka. Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping itu, semen­jak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.

 

 Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak, ber­nama.

 

 Keadaan mereka yang aneh, kepandai­an mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini. Maka ting­gallah dia bersama kedua orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidik­an dan akhirnya ia, menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhunya. Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya ke­padanya, sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai bere­nang.

 

 ***

 

 Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Ba­yangan Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menun­tut dibalaskan kematiannya.

 

 Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami ­yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat di­lakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol! Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercin­ta itu meninggalkannya. Semenjak me­nikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan, bersama dua orang muridnya. Pendekar yang di waktu mudanya terke­nal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.

 

 Berbulan-bulan ia menunggu dan di lubuk hatinya, Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kelau dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?

 

 Gunung Merak merupakan bukit kecil, dan, tanah kuburan Raja-raja Khitan ber­ada di lereng bukit itu. Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isteri­nya. Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia, sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah ku­buran, dan hidup sebagai pertapa di tem­pat itu bersama dua orang muridnya.

 

 Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua orang muridnya.

 

 “Suhu! Ada orang membongkar kubur­an!”           '

 

 Tang Hauw Lam membuka matanya yang klni tampak sayu dan muram. Wa­jahnya kurus sekali karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang menge­jutkan itu diterimanya dengan tenang.

 

 “Ceritakan yang betul, apa yang ter­ladi, katanya kepada dua orang murid­nya yang sudah berlutut di depannya.

 

 “Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu ber­dua dan mengusir,” kata Can Ji Kun.

 

 “Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, meng­usir teecu seperti anjing saja!” Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.

 

 Tang Hauw Lam maklum akan kena­kalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam. “Apa­kah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberi­tahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?”

 

 Melihat sinar mata gurunya penuh se­lidik, Can Ji Kun tidak berani membo­hong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan se­buah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.

 

 “Haii! Engkau tentu maling yang hen­dak merampok isi kuburan!”

 

 “Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.

 

 Laki-laki bongkok itu menunda peker­jaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata ter­heran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.

 

 “Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!” Dan dia melanjutkan peker­jaannys menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun memben­tak,

 

 “Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok

 

 “Dukk!” Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat ke­ras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.

 

 Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?” anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan me­reka.

 

 “Plakk! Aduh....!” Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa ter­pelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.

 

 Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih­belum kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan ber­bareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.

 

 “Hemm.... anak-anak nakal!” Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.

 

 “Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!”

 

 “Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?” kata Ok Yan Hwa.

 

 Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kelau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah ku­buran keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,

 

 “Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan se­kali-kali lancang mencampuri.” Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.

 

 Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jaun dari kuburan raja Khitan. Ia mem­perhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya se­derhana seperti pakaian pelayan, wajah­nya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu jenazah sem­barang orang dimakamkan di tanah ku­buran keluarga Raja Khitan?

 

 “Sobat, apa yang kaulakukan di sini?” Ia menegur.

 

 Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis ber­kerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun ku­rus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-­laki gagah itu, Ia menjawab singkat.

 

 “Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergi­lah, aku sedang sibuk!”

 

 Tang Hauw Lam mengerutkan kening­nya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan meman­dang rendah kepadanya.

 

 “Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!”

 

 Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan. “Hemm.... siapa yang melarangnya?”

 

 “Aku yang melarangnya!” Hauw Lam berkata tegas.

 

 Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. “Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engikau mau apa?”

 

 Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. “Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”

 

 “Hemm, kaukira akan gampang saja? Cobalah!”

 

 Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka mela­yani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pema­rah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak “Manusia sombong! Pergilah!” Sambil membentak demikian, ia mener­jang maju dan menggunakan tangan ka­nannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukul­an Pek-kong-ciang yang amat ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.

 

 Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya. “Desss....!“

 

 “Ahhh....!” Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa le­ngan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat he­bat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia telah mem­peroleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kong­to Tang Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini. Akan tetapi, dalam pertemuan te­naga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki ke pandaian sehebat ini? Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawan­nya bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya menghalanginya karena sebab yang remeh seperti menga­lahkan dua orang muridnya. tadi.

 

 “Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah ma­jikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!” De­ngan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alas­an mengapa dia bersikeras hendak me­ngubur abu jenazah di situ.

 

 Tang Hauw Lam belum pernah men­dengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun men­jawab.

 

 “Dan aku pun mempertaruhkan nya­waku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!”

 

 Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya. “Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”

 

 “Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”

 

 Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, “Mutiara Hitam....?”                 

 

 Hauw Lam mengangguk. “Isteriku!”

 

 Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang murid­nya karena di luar dugaannya sama se­kali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata ter­isak-isak.

 

 “Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba.... men­diang Menteri Kam Liong....!”

 

 Wajah Hauw Lam menjadi pucat se­ketika dan matanya terbelalak meman­dang ke arah guci terisi abu jenazah. “Apa? Kanda, Kam Liong.... mati....? Benarkah....?”

 

 “Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid -majikan hamba .... mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap....”

 

 “Ahhh....!” Tang Hauw Lam menjatuh­kan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, “Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!”

 

 Sambil berlutut, Gu Toan lalu men­ceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab­-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abujenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu. Tang Hauw Lam mendengar­kan penuturan itu dengan penuh keharu­an. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenang­kan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan ter­basmi seluruh keluargaberikut kerajaan­nya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya!Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya !

 

 “Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas se­mua pembelaanmu, dan kaumaafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang is­teriku....” Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya. Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khid­mat dia bersama muridnya menyembah­yangi kuburan baru itu.

 

 Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.

 

 Tak lama kemudian muncullah serom­bongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.

 

 Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.

 

 “Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!”

 

 Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata, “Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keper­luan apakah pasukan Mongol mencari aku?”

 

 Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dari kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, “Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita per­kasa seperti Mutiara Hitam!”

 

 Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud mem­bunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu ber­khawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,

 

 “Apa yang terjadi dengan isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mu­tar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?”

 

 “Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!”

 

 Panglima Mongol itu mengambil se­buah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar te­gang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membuka­nya.

 

 “Tang-taihiap, kami telah melaksana­kan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.”

 

 “Tunggu dulu!” Hauw Lam tidak me­lanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata, “Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!”

 

 “Tang-taihiap, kami tidak berhak bi­cara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang ber­ada di dalam bungkusan. Selamat ting­gal!” Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka mem­bentuk barisan yang rapi dan ketika pa­sukan bergerak pergi, tampak debu me­ngebul tinggi menutupi barisan yang per­gi dengan cepatnya.

 

 Tang Hauw Lam masih berdiri ter­mangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, “Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna.”

 

 Tang Hauw Lam membalikkan tubuh­nya, berlutut menghadapi bungkusan su­tera kuning, hampir tidak berani mem­buka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat men­duga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.

 

 Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali su­tera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tung­gu-tunggu dan duga-duga. Ternyata bah­wa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipa­kai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!

 

 Betapapun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tem­payan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan terdengar keluhnya, “Lan-moi.... isteri­ku....!” Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tem­payan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usaha­nya dan mengorbankan nyawa, kini pa­kaian dan abu jenazahnya dikirim kem­bali oleh Raja Mongol.

 

 “Kwi Lan....!” Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesa­darannya.

 

 “Subo....!” Can Ji Kun berseru sambil menangis.

 

 “Subo....!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!”

 

 “Aku juga!” Can Ji Kun juga melon­cat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan pasukan Mongol.

 

 “Ji Kun,, Yan Hwa! Berhenti....!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya ber­gerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”

 

 Kedua orang anak itu merangkak meng­hampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. “Subo telah mereka bunuh....!” Ok Yan Hwa menge­luh sambil menangis.

 

 “Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormat­an besar dari Raja Mongol, dari musuh­nya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”           Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya ber­gerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha is­terinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambut­nya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!

 

 “Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,” demikian penutup surat yang panjang lebar itu. “Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang de­ngan perasaan pribadi. Kami memperabu­kan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.”

 

 “Kwi Lan....!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya men­jadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Pengu­buran abu jenazah Mutiara Hitam dilaku­kan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berka­bung di dekat kuburan isterinya.

 

 Setelah lewat sebulan, dia menyerah­kan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil ber­kata, “Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kubur­an keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”

 

 “Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satu­nya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”

 

 “Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”

 

 “Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap.”

 

 Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan ter­akhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “.... andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kaupimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.”

 

 Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku ya­kin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!” Sambil menggandeng tangan kedua murid­nya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan meng­hela napas panjang.

 

 ***

 

 Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hu­bungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu.

 

 Biarpun kepandaiannya sudah menca­pai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan ter­lihat oleh mereka. Dia tidak takut keta­huan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia ja­ngan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?

 

 Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidik­annya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding ba­tunya banyak yang longsor. Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.

 

 “Inilah yang kucari!” serunya girang. Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu ada­lah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruan­nya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.

 

 Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nela­yan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahu­lu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pu­lau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.

 

 Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesak­tian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu ke­pandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucu­nya.

 

 Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluar­ga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang ba­gaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebe­tulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga pera­hu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepan­daian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyap­lah pengetahuan baca tulis, bahkan pa­kaian serta watak mereka menjadi seder­hana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!

 

 Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.

 

 Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang me­ngerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas. Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa di­sengaja menyentuh peti sehingga tergu­ling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti. “Trik-cringgg....!”

 

 “Ayaaa....!” Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.

 

 Kini, di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki ting­kat kepandaian yang lebih tinggi daripada para penghuni Pulau Nelayan.

 

 Han Ki mengerahkan seluruh kepan­daiannya karena orang kembar itu, ber­beda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.

 

 “Heii, nanti dulu! Aku bukan mu­suh....!” Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemu­da ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.

 

 Tiba-tiba, seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, “Mataku.... ahhh.... silaunya....!”

 

 Han Ki terheran melihat betapa ke­adaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan mem­bakar kitab yang tadi dibacanya!

 

 “Aduh.... silau....!”

 

 “Tak dapat melihat....”

 

 Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi kor­ban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Mengha­dapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat per­tempuran tadi.

 

 Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu dibelenggu!

 

 “Eh.... aku.... aku tidak melakukan apa­-apa....” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoi­nya kalau mereka itu berniat buruk.

 

 “Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.

 

 “Akan tetapi.... dia.... dia yang menye­rangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!”

 

 Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asing­kan di tempat keramat.”

 

 “Akan tetapi mereka.... lihai sekali!”

 

 “Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang de­ngan empat tangan empat kaki dua ke­pala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pan­tangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!”

 

 “Akan tetapi....!” Han Ki membantah.

 

 “Apakah engkau lebih suka kalau ka­lian bertiga kami bunuh dan kami kor­bankan untuk mencegah kemarahan peng­huni pulau?”

 

 Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah. “Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”

 

 “Sekarang juga!”

 

 “Suheng, mengapa membantah? Mere­ka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bu­kan pulau ini?”

 

 Han Ki mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!” Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perem­puan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum me­nyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak, menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan ber­kata kepada kakek botak.

 

 “Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda ba­dai taufan. Kalian adalah keturunan rak­yat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepa­sang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar te­rang. Kapandaian mereka itu hebat seka­li, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”

 

 Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu per­gi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular me­rayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pan­tai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.

 

 Dua orang gadis ciiik itu mendengar­kan penuturan Han Ki dengan hati ter­tarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya se­perti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek mo­yang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.

 

 Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhir­nya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tam­pak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.

 

 “Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.

 

 Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Me­mang dari jauh sudah tampak lain dari­pada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar ma­tahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit ka­rang.

 

 “Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.

 

 “Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.

 

 “Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Ka­lau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”

 

 Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang dan me­nyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga ti­dak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah­-olah terbuat dari bongkahan es yang amat beSar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.

 

 “Pulau Es ini kosong, tidak ada mah­luk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru, gembira dan kagum.

 

 “Bagaimana kita dapat hidup di tem­pat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kela­paran di sini!”

 

 “Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.

 

 Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin­-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan te­naga sin-kang yang kuat.

 

 “Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”

 

 Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Ka­rena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupa­kan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.

 

 “Mari kita masuk!” Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu ba­ngunan yang besar, Siauw Bwee meng­hentikan langkahnya dan bertanya,

 

 “ Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di....“

 

 “Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andaikata ada penghuninya se­kalipun kita takut apa?” Maya mencela dengan suara nyaring.

 

 “ Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani meng­ganggu. Marilah!” Han Ki bergandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula mereng­gut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukun­an di antara kedua orang sumoinya itu.

 

 Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran­-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan. Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring din­ding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu be­sar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belasmacam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!

 

 Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perem­puan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdpat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab pening­galan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan me­reka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya. Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi­nya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totok­an-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.

 

 Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masak­an, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhengnya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.

 

 “Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?” Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.

 

 “Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk bebe­rapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke mana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.

 

 “Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.

 

 “Hemm, kalau engkau mempunyai ke­pandaian seperti para nelayan yang ting­gal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, eng­kau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”

 

 Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,

 

 “Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian. berdua me­mang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita me­lalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buah­an serta seyur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik membantu aku un­tuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk me­ngisi perut. Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoinya me­lupeken perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling me­ngalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoinya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya.

 

 Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua arang anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupa­kan ”murid-murid” yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru ka­rena sifat mereka tidak mau saling me­ngalah. Betapapun lelahnya, seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dara bimbingan Han Ki mereka “sikat” satu demi satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai ter­bawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu­nya. Dengan, dasar yang telah dimiliki­nya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih ting­gi.        

 

 Akan tetapi, di samping kegembiraan­nya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut­-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.

 

 “Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh­-musuhku!” Pada suatu malam Maya ber­kata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, beum lega hatiku!”

 

 Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya meng­angguk. “Lebih baik sekarang mempela­jari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”

 

 Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ignin melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan ter­tawa, segera bertanya, “Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingge kau hendak membasminya semua?”

 

 “Musuh-mushku?” Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemer­lang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya men­colok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah­-olah mengeluarkan api! “Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubas­mi mereka semua kelak!”

 

 Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya ini akan lebih “ngotot” lagi, maka dia diam saja.

 

 Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau “kalah” begitu saja dan ia langsung mencela, “Aihhh, Suci. Pan­danganmu itu keliru sekali!”

 

 “Apa? Keliru katamu kalau aku men­dendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?” Biarpun Maya menyebut “sumoi yang manis” namun jelas bahwa dia ma­rah terhadap Siauw Bwee dan menan­tangnya untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak menge­tahui bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.

 

 “Suci,” jawab Siauw Bwee dan kem­bali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik keha­lusannya itu tersembunyi kekuatan dan

ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendamkepada seluruh kerajaan Sung!Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kakitangannya.”

 

 “Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam ini keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena   engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.

 

 Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi,dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”

 

 Seperti biasa, Siauw Bwee yang cer­dik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka”

 

 Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau sendiri mengalami kece­lakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepa­danya?” Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi ter­heran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab.

 

 “Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya “siansu”. “Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!”

 

 “Akan tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, diten­tukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu , sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”

 

 Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. “Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan suda kan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”

 

 Maya mengerutkan alisnya, sama se­kali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.

 

 “Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai ke­mauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa pun yang di­kehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mence­lakakan kita!”

 

 Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh semangat itu. “Ucapan­mu benar, Sumoi. Memang, manusia wa­jib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentu­annya adalah di tangan Tuhan juga.”

 

 “Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasar­an. “Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang penglima yang setia! Aku sendiri tertim­pa malapetaka, ayahku yang setia ter­hadap kerajaan tewas oleh kerajaan sen­diri dan aku terlunta-lunta bersama Su­heng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah ka­rena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, ke­jahatan apakah yang telah kita lakukan?”

 

 Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan se­mangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. “Sumoi, manusia terlahir bukan atas ke­hendaknya sendiri, melainkan atas kehen­dak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan cara­nya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sung­guhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupa­kan hukum yang penuh rahasia bagi manu­sia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh ke­yakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kaiau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, se­baliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala pe­ristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.”

 

 “Ah, mana mungkin?” Maya memban­tah. Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk ber­buat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”

 

 Han Ki menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manu­sia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apa­kah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan peran­nya yang penting, melainkan cara manu­sia memainkan perannya itu. Biarpun se­seorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biar­pun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu me­mainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak ter­jang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menye­nangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelaku­annya di atas garis kebenaran dan ke­adilan.”

 

 Dua orang anak perempuan itu me­ngerutkan kening. Makanan batin itu ter­lampau keras dan alot untuk hati me­reka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.

 

 “Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.

 

 “Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!” Siauw Bwee ber­kata.

 

 Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia bela­ka. Kesadaran datang bukan oleh palajar­an dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mung­kin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apa­kah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pe­ngalaman pahit aken membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.

 

 “Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk ber­latih.

 

 Dua orang anak perempuan itu men­jadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebe­lum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi dan untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini me­reka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.

 

 Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak pe­rempuan itu, biarpun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi, dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-lon­catan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.

 

 Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan pe­tunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menye­rang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti se­ekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas me­nit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebalik­nya untuk menotok jalan darah tiong­-teng-hiat yang lebih besar, harus diper­gunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Ha­rap kaulatih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi.”

 

 Maya mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan keti­dakpuasan hatinya.

 

 “Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoinya yang ke dua.

 

 “Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesa­lahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulai­lah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca, jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai bersilat dan menghabis­kan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata,

 

 “Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kece­patanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpul­kan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik.”

 

 Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata,

 

 “Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!” Tanpa menanti jawab­an Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat

 

 “Krakkk! Dada arca itu retak-retak dan Maya, menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.

 

 “Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusak­kan arca!” Han Ki berseru marah. Kare­na dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mende­ngar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, me­lainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl

 

 Mendengar teguran Han Ki dan me­lihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata,”Salah­ku, Suheng. Aku bersalah dan siap me­nerima hukuman....“

 

 Han Ki menghela napas panjang. Ma­ya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap di­hukum seperti itu, hati siapa tidak mera­sa iba dan sayang? Siauw Bwee melang­kah maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak, bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.”

 

 Han Ki tersenyum. Kedua orang su­moinya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindungi­nya! “Arca ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus dapat membuatkan penggantinya.”

 

 Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar se­bongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya dan Siauw Bwee ber­seru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga­-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya.

 

 Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalen Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah men­jadi orang-orang yang amat lihai, apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapat­lah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa. Han Ki adalah seorang pemuda yang tempan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpan­dai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersa­ma dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagai­mana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di da­lam dirinya sendiri?

 

 Kalau Han Ki sedang, melatih silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yan cantik jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam. Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada serangkaian peristiwa yang amat hebat! 

 

 ***

 

  

 

 “Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!” Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam­-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu ber­lari-lari pergi mencari Maya yang ber­latih di belakang istana.

 

 Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah ber­pesan kepadanya bahwa setelah kitab­kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.

 

 “Kitab-kitab pelajaran iimu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata guru­nya. “Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Kare­na itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”

 

 Karena inilah, maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisi­kan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pe­lajari.

 

 Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulis­annya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya meme­gang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.

 

 “Prakkk” Burung batu itu pecah men­jadi perkeping-keping dan jatuh berham­buran ke atas tanah!

 

 “Ohhh....! Burungku.... aih, burungku pecah....!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pe­cah berantakan di depan lututnya.

 

 Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,

 

 “Ahh, begitu saja menangis. Ce­ngeng....!”

 

 “Maya-sumoi!” Apa yang kaulakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.

 

 “Aku hanya ingin meminjam, dan me­lihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!“

 

 “Tidak! Dia memang hendak meram­pasnya!” Siauw Bwee membantah, ter­isak-isak.

 

 “Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.

 

 “Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku.”

 

 Han Ki mengerutkan keningnya. “Su­moi, burung batu itu kubuat atas per­mintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf ke­pada Khu-sumoi!”

 

 “Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.” Siauw Bwee bangun ber­diri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.

 

 “Lihat, Khu,sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali menegur.

 

 Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian meno­leh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. “Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya memba­likkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.

 

 “Suci, kau hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.

 

 “Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri.” Karena di dalam hati­nya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja ka­rena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.

 

 Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.

 

 “Kucari kemana-mana tidak ada . Suheng.Jangan-jangan dia....“

 

 “Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah dimana nak nakal itu!”   

 

 “Suheng, Suci tidak nakal! Ahh.... dia harus dapat ditemukan kembali, Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....“

 

 “Tenanglah. Kaupersiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya ssmpai depat.” Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nya­ring memanggil nama Maya.

 

 “Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....! Di mana engkau....?”

 

 Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergu­nakan khi-kang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiap­annya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.

 

 “Maya....! Maya....! Maya....!”

 

 Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya, terutama sekali suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoinya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!

 

 Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau meng­ingat betapa Han Ki membuatkan mainan sumoinya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suhengnya membela sumoi­nya, bahkan memarahinya di depan su­moinya. Hatinya sakit sekali. Biar seka­rang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka! Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi su­hengnya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ. Kalau dia tumpuk di depan rak sen­jata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengang­katnya. Namun, arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan! Ia berdiri me­mandang penuh penasaran. Sin-kangnya sudah kuat, masa dia tidak dapat meng­angkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekalipun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, mem­betot dan memutar.

 

 Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu, lantainya berlubang? Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata, “Ini­lah tempat sembunyi yang baik!” Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran kare­na di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat se­buah lorong rahasia ke bawah tanah!

 

 Dengan hati-hati akan tetapi sedikitpun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil, Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain ter­bukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melain­kan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan me­lalui lubang-lubang rahasia.

 

  

 

 *** 

 

  

 

 Akantetapikarenapenerangandi malam itu hanya datang daribeberapa buah kamar saja di atas, yaitukamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamarHan Ki,jugadidapur, maka makinia turun ke bawah makin gelaplah cua­ca.Mayaberhenti dan duduk menga­so. Teringatlah ia kembali akan tujuan­nya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tem­pat sembunyi yang baik dan tidak mung­kin Han Ki dapat mencarinya di sini. Iatersenyum puas, akan tetapi mulai mera­sa ngeri karena tak lama kemudian tem­pat itu menjadi gelap sekali. Hal inikarena adalah penerangan di dapur, yangletaknya di atas tempat itu, dipadamkanoleh Siauw Bwee yang sudah selesai me­masak.

 

 “Dia tidak ada!” Kata Han Ki sambilmenghela napas panjang, kini penuh ke­khawatiran.

 

 “Beginigelap,tentusukarmencari­nya,” kata Siauw Bwee.

 

 “Besok akan kucari lagi sampai dapat.Heran sekali, ke mana perginya anaknakal itu?”

 

 “Dia tidak nakal, Suheng....”

 

 Kembali pemuda itu menghela napas,“Hemm,diaseringkalimengganggumudan kau selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kaumakanlah, Sumoi.”

 

 “Marilah, Suheng.”

 

 “Makanlah, aku tidak lapar.”

 

 “Suheng mengkhawatirkan keselamatanSuci?”

 

 “Tentu saja. Entah di mana anak itu.Aku bertanggung jawab atas keselamat­annya. Dia lenyap, bagaimana aku tidakkhawatir?”

 

 “Kalau Suheng tidak mau makan, akupun tidak makan.”

 

 “Makanlah, Sumoi, aku akan pergilagimencarinya.”Han Kiberkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya yanghilang.

 

 Siauw Bwee berdiri menghadapi ma­kanan, alisnya berkerut.“Dia.... dia men­cintai Suci“ Tiba-tiba ia menjatuhkandiri di atas bangku dan menyandarkanmuka berbantal lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bweemenangis!

 

 Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur,gelisahdidalam kamarnya. Makananyang telah dibuatnya dan disediakan diruangan belakang di atas meja, tidaktersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bah­kan semalaman itu ia tidak kembali keistana, karena dia terus mencari Mayadiseluruh Pulau Es, beberapa kalimengelilingi pulau sehingga setiap tempatyang mungkin dijadikan tempat sembunyisumoinya itu dijenguknya sampai dua tigakali. Namun hasilnya sia-sia belaka.

 

 Setelah matahari terbit, ia berdiritermenung ditepi laut. Tiba-tiba iamenepuk kepalanya sendiri. Ah, ke manaMaya dapat pergi? Tidak mungkin dapatmeninggalkan pulau tanpa perahu! Tentuberada di pulau dan karena semalampenuh ia mencari di luar istana, ten­tu sumoinya itu bersembunyi di dalamistana!Mengapadiabegini bodoh?Ber­gegasialarimemasukibangunanbesaritudanmencari-cari.Semuakamardi­masukinya danakhirnyaiamemasuki ruanganbawah,tempatmerekaberlatihtiam-hiat-hoat.Begitu masuk,ia men­ciumsesuatuyanganeh,harum-harumdan amis, juga tampak olehnya lubang diatas lantai dekat kaki arca yang pecah!Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ra­gu-ragu lagi ia merayap memasuki lubangitu.

 

 Maya yang tertidur sambil duduk ber­sandar dinding batu, terbangun dan me­lihat betapa tempat yang gelap itu kinimenjadi terang. Ia dapat menduga bahwatentu malam telah terganti pagi karenasinar yang masuk dari atas adalah sinarmatahari. Timbul keinginan hatinya untukmelanjutkanpenyelidikannya,maka iaterusberjalanturun, menurunianak tangga batu. Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batudanmelihat ke depan ternyata bahwaanak tangga itu berakhir di dalam sebuahruangan yang lebar dan di atas lantaitampak uap mengebul memenuhi ruangan.Ia tertarik dan mendekat. Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendaklari naik karena kini matanya yang sudahbiasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah.Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya!Ular-ular berkulitmerahberdesis-desis salingbelitdanagaknyaular-ularitu melihat kedatangannya karena ular-ular itu mengangkat kepala memandangkepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan.

 

 Dengan hati penuh kengerian Mayamelangkahhendaklarimenaiki anaktangga dan pergi dari tempat yang me­ nyeramkanitu, akan tetapitiba-tibakepalanya terasa pusing, pandang mata­nya berkunang dan seluruh tubuhnya pa­nas, kakinya gemetar lemas dan akhirnyagadis cilik ini terguling roboh di atasanak tangga. Ratusan ekor ular merayap perlahanmenghampirinya,akan tetapikarena anak tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayapnaik,barusampaidekatkakiMayasudahterpelesetjatuhkembalikebawah.Akantetapi,uapputihharumamisyang keluardarimulut wereka ma­kin tebal memenuhi ruangan. Maya tidakmelihat kengerian ini karena dia sudahpingsan, rebah terpelantingdi atas anaktangga .

 

 “Maya....!” Han Ki terkejut dan ce­massekalimenyaksikantubuhMayamenggeletak di atas anak tangga sedang­kan di bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik. Cepatpemudayangbanyak pengalaman danmaklum bahwa uap putih harum itu ada­lah hawa beracun, menahan napas danmenyambar tubuh Maya, dibawanya larinaik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantailorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega.Jalan darah sumoinya tidak berubah, per­napasannya biasa, hanya tubuhnya agakpanasdanmungkin sumoinyapingsankarena kaget. Cepat ia memijit beberapajalan darah di tengkuk dan pundak Maya. Maya mengeluh,bergerakperlahan,membuka matadan napasnya mulai terengah-engah!Halini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.

 

 “Maya-sumoi....!”

 

 Maya memandangkepadaHan Ki.Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yangindah itukinimengandung sinaryang

amatluarbiasa,seolah-olahmengeluar­kanapi,wajahyangjelita i tumenjadikemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnyadahulu,yaituputeriSung

Kwi diwaktuberlumba asmaradengan dia!

 

 “Maya....”

 

 Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tibaMaya merangkul lehernya dengan kedualengan,merangkulerat-eratdanme­nyembunyikan muka ke dadanya,didekapkankuat-kuat sambil berbisik, “Suheng ....ah, Suheng....!” Kemudian gadis cilik itumenangis! “Suheng....apakah kau sayangkepadaku....?”

 

 HatiHanKimenjadi lega karenatangismenandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Mayamembuat ia merasa aneh.

 

 “Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,” jawabnya dengan cepat, karenamemang tentu saja dia sayang kepadasumoinya,baikMayamaupunSiauwBwee.

 

 Jawaban ini dijawab dengan rangkulanyang lebih ketat lagi sehingga ia merasatidak enak sendiri, lalu berusaha mele­paskanrangkulanMaya.Akantetapi,kedua lengan itu merangkul makin ketatdan mulut Maya betbisik, “Peluklah akuerat-erat....Suheng....,jangan lepaskanlagi....!”

 

 “Maya....!”Han Ki berseru kaget danjantungnya berdebar.

 

 “Suheng....aku cinta padamu, Suheng....ahhh....!”Kini Maya mengangkat mulut­nya dan membuat gerakan hendak men­cium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejutseperti diserang ularberbisa.Melihatmatayangpenuhgairahdarisumoinya,iamengertibahwatentuuapputihha­rumituyangmengandungracunaneh sehingga mempengaruhi watak Maya yangluar biasa ini, seolah-olah gadis cilik ituberubahmenjadiseorangwanitayangpenuh nafsu berahi! Cepat ia menotoktubuh sumoinya sehingga Maya mengeluhdan terkulai lemas, kemudian ia memon­dongnya dan membawanya lari naik.

 

 “Suheng....!Sucikenapa....?”SiauwBwee ternyata mencari sucinya dan ber­hasil menemukan lubang rahasia. lalu me­masukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naikdari bawah memondong tubuhsucinya yangterkulai lemas.

 

 “Khu-sumoi, lekas kembali! Di siniberbahaya!” kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar darilubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yangkeluarlebihdahulumembantutubuhMaya yang didorong keluar dari bawaholeh Han Ki. Kemudian Han Ki memon­dong tubuh itu dibawa ke dalam kamarMayayangberadadisebelah kamar Siauw Bwee.

 

 “Di bawah banyak ular merah bera­cun.Agaknyadiaterkenaracunuapputih yang keluar dari mulut ular-ularitu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itusegera tertidur pulas, “Dia perluberisti­rahat, biarkandia tidur agar hawabera­cun lenyapdari tubuhnya.”

 

 SeharisemalamMayatidurpulas,bahkan dia tidak terbangun ketika SiauwBwee menuangkan air obat yang dibuatoleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan tela­pak tangannya di punggung Maya, meng­gunakan sin-kangnya untuk “membersih­kan”tubuhsumoinya dari pengaruh hawaberacun.Pada keesokan harinya, Mayaterbangundan ia bangkit duduk, meng­usap-usap matanya dan memandang kepa­daSiauw Bwee.

 

 “Ular....banyak sekali ....,ular me­rah....!” katanyagugup.

 

 Siauw Bwee merangkulnya dengan hatilega.“Engkausudahaman,Suci.Suheng menyelamatkanmu.”

 

 “Akudisini,Sumoi,”HanKimema­sukikamar,menekanperasaannyaagarguncanganhatinyatidakterlihatdiwa­jahnya. Diapun menekan kemarahannyaatas perbuatanMayayangmembingung­kan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.

 

 “Ahhh,kiniaku teringat....lubangrahasia di bawah arca....           lorong di ba­wah tanah....dan ular-ular merah! Hiiih,menjijikkan!Suheng,kaumaafkanaku,ya?”

 

 “Tidakadayangperludimaafkan,Sumoi. Akugirang bahwaengkausela­mat. Ular-ular itu berbahaya sekali, en­tah bagaimanabisa berada dibawah sana. Harus dibasmi.”

 

 “Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee ber­kata penuh semangat.

 

 “Akujuga ikut!” kata Maya sambilmelompat turun dari pembaringan.HanKi tersenyum. Maya telah pulih kembali,telah memperlihatkansikap tidak maumengalah seperti biasa.

 

 “Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”

 

 “Aku belum!” jawab Maya, mendadakmerasabetapaperutnyalapar sekali. “Bukan hanya semalam,sudah dua haridua malam aku tidak makan!”

 

 “Aku juga belum sama sekali!”SiauwBwee berkata.

 

 “Aihh! Mengapa Sumoi?”, Maya berta­nya.

 

 “Diagelisahmemikirkanmu,manabisa makan?” Han Ki berkata.

 

 Maya memandang SiauwBwee, lalumerangkul danmencium pipi sumoinya.Melihat ini, HanKi berdebar,teringatakanperbuatanMayasepertiitu terha­dapnyaketika Maya dikuasai racun ular.

 

 “Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguhsayang kepadamu, Sumoi!”

 

 Siauw Bweebalas memeluk. “Makajangan kau pergi lagi, Suci.Aku tidakbisa makan dan tidur kalau, kaupergi,”jawab Siauw Bwee.

 

 Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”

 

 JantungHanKiberdebar.IasepertimelihatbetapasinarmataMayainiber­bedadaribiasanya, bukanpandangmatakanak-kanaklagi,melainkanpandangmataseoranggadis yangsudahmulaidewasa,pandangmata seorang wanita! Iamenekan debar jantungnya dan memasangmuka cemberut, menjawab, “Aku sete­ngah mati mencarimu, mana ingat makandan tidur?”

 

 “Aihh!Akumembikinsusah kalian!Maafkansaja.Biarkumasakkan yangenak untuk kalian!” Maya berlari ke da­pur dan Siauw Bwee tertawa, menolehkepada Han Ki, berkata,

 

 “Lihat! Suci begitu baik, mana bisadibilang nakal?” Dan ia pun lari menge­jar untuk membantu Maya mempersiap­kan makanan.

 

 Setelahmakan, tiga orangitulalubersamamemasukilorongrahasiadibawah tanah. Tadinya Siauw Bwee danMaya membawa sebatang pedang karenamereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi merekadilarang oleh Han Ki yang berkata,

 

 “Ular-ular itu berbahayasekali. Baruuap yang keluardari mulut mereka sajasudahamatberbahaya. Tidakmungkinkita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.”

 

 “Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”tanya Mayayang masih belum tahu bahw­a dia nyaris menjadi korban uap bera­cun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ularmerah itumasih belum lenyap samasekali dari tubuhnya, yang membuat iakini merasa ada sesuatu yang aneh dalamhatinyaterhadapHanKi,yangmendatangkangairahdan rangsanganberahi namunbelum dimengerti benar oleh hati­ nya yang masih belum matang.

 

 “Aku akanmenggunakan api. Tidakmungkinular-ularitu berada di sanatadinya. Suhu tentu tidak akan membuarkan ular-ular berbahaya itu memenuhiruangan. Tentu ular-ular itu datang darilain tempat, maka biarlah kuusir merekaitudariruanganbawahtanah.Kalautidakmau pergi, binatang-binatang ituakan kubasmi dengan api. “

 

 Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapakalipergimenggunakanperahu untukmencaribahan makanan,binatang buruan,buah-buahandansayur-sayuran,jugaranting-rantingkeringuntukbahanbakardarlpulau-pulauyangberdekatan.Kini iamerrrbawa ranting-rantingdan daunkeringsertamenyalakanoborrnemasuki lorong rahasia itubersamakeduaorang sumoinya yang juga memba­wa ranting-ranting kering.

 

 Denganhati-hatimerekamenuruniannktangga,dan dari atastampaklaholehmereka ular-ularitu dengan uap yangharum.

 

 “Kitanyalakanranting-rantingdanmelemparkankebawah.Akantetapi hati-hatilah,kalaumendekatkesanaharus menahan napas. Jika sudah tidaktertahan, segeranaik lagi dan bernapas ditempat yang tak ada uap putihnya. UA itu berbahaya sekali!” Han Ki ber­kata,“Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapididekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihatdi sudut ruangan itu adalemari dan meja, jangan sampaibarang­barang itu terbakar. Siapatahu kalau-kalauSuhu menyimpansesuatudisana.”

 

 Tiga orang itu membakar ranting danmelemparkankebawah.Melihatme­nyambarnyaranting-rantingberapi itu,beberapa ekor ular lalu menerjang dantentu saja mereka bertemu dengan apidan seketika mereka berkelojotan. Han­Ki dan kedua orang sumoinya melempar­kan lagi beberapa batang ranting berapi.Kembali ular-ular itu menyerang sambilmendesis-desis dan begitu bertemu api,binatang-binatangituberkelojotandanmenyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahubahwa benda-benda bernyala itu berbaha­ya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik,bergerak saling terjang, saling belit danberlumbalarimemasuki sebuah lubangyang terdapat di sudut ruangan itu.

 

 Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee,meloncatnaikkeatas menjauhiuapberacun untuk bernapas, sedangkan HanKi yang lebih kuat masih bertahan terus.

 

 “Lihat, mereka lari dari sebuah lu­bang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembusruanganitu.Merekamenggunakan ruanganitusebagaisa­rang!”

 

 Dengan hatipenuh rasa jijikdan nge­ri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerakpergi dan tak lama ke­mudian, di ruanganitu hanya tinggalbelasan ekor ular yang mati danadayang masih berkelojotan. Uap putih yangtadi memenuhi ruangan bawah itu kinitelah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar mataharimenerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itumemang sengaja dibuatuntuklubanghawadanlubangmemasukkansinar matahari.

 

 “Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!”Maya berseru dan hendak berlari turun.Akan tetapi, Han Ki memegang lengan­nya mencegah,

 

 “Hati-hati, Sumoi.Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telahlenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”Setelahberkatademikian,dengan hati-hati Han Ki menuruni anaktangga dan menggunakan kakinya melern­ par-lemparkan bangkaidan tubuh ularyangberkelojotankeluardari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda inimencabut pedang,memotong dindingbatu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruang­an.Denganpengerahantenaganya, iamendorongkanbatu sebesar lubang itulebih dulu sebagal penyumbat,baru me­letakkan batu besar itu di luarlubang.Kemudian ia menghampiri lemariyangdaun pintunya terbuka separuh memper­lihatkan beberapa jilid kitab tua. Akantetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertu­tup dan “disegel' dengan sepotong kainsuterayangadatulisannya.Agaknyakarena tua dan lapuk, terutama'sekalikarena bisa ular, kain itu robek dan daunpintunya terbuka separuh. Han Kime­ngenal tulisan di atas kain, yaitu tulisantangan suhunya dengan huruf-huruf kem­bang yang amat rapi, maka dia tidakberani berlaku lancang. Dipegangnya kain suteraitu, disambungkannya kembali barudibaca.Kagetlah iaketika membacatulisan suhunya itu!

 

  

 

 “Ilmu-ilmusilatdalam kitab­-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka,tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.”

 

  

 

 Membaca tulisan suhunyaitu, Han Kicepat menutupkan kembali daun pintulemari, kemudian iameloncat naikmenghampiri kedua orang sumoinya yangmemandang dengan heran.

 

 “Suheng,kitab-kitabapakahitu?”Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Sepertijuga sucinya, dia selalu ingin sekali me­lihat dan mempelajari ilmu-ilmu barudari kitab-kitab yang berada di istanaitu.

 

 “Kenapa tidak diambil, bahkan tidakkauperiksa isinya, Suheng?” Maya jugabertanya.

 

 “Mari kita kembali ke atas, nantikuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanyalagi karena melihat wajahserius suhengmereka, setelah tiba di atas, barulahHan Ki menarik napas panjang dan ber­kata.

 

 “Memang ruangan di bawah ituhanyapantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari padasekumpulan ular berbisa itu.”

 

 “Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?”tanya Maya.

 

 “Kitab-kitab itu sengaja disembunyi­kanolehSiansuagar jangandibacaorang, dan lemari itu tadinya dipasangitulisansuhunyayangmelarang orangmembaca kitab-kitab yang katanya amat keji,ciptaantokoh-tokoh buangan diPulau Neraka dan tidak patut dipelajarioleh orang-orang gagah pembela kebenar­an dan, keadilan.”

 

 “OrangbuangandiPulau Neraka?Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee ber­tanya.

 

 “Aku sendiri pun tidak tahu jelas,Akan tetapi ada disebut sedikit di dalamkitab yang kubaca ditempat keramatpenghuni PulauNelayan. KetikakerajaankecildiPulauEsinimasihberdiri,yang istananyakinikitatempati,terdapatorang-orangyangmelanggar peraturandandihukumbuangkesebuah pulau yangmerupakan neraka dunia, sukar, bahkantak mungkin orang hidup di sana, disebutPulau Neraka. Tentu hanya orang-orangyang melakukan perbuatan-perbuatan kejisaja yang dibuang di sana,dan melihatbetapa rakyat Pulau Es itu sajasudahamat lihai seperti kita buktikan padaketurunanmerekadi PulauNelayan,maka para penjahatnya amat lihai.Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaanorang-orang yang menjadi tokoh-tokohbuangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main.Sete­lah Suhu kita sendiri melarang,perlu apakita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”

 

 Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam­-diam Maya merasa penasaran dan tidaksetuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantungkepada orangnya! Akan tetapi ia takutuntukmembantah,apalagimengingatbahwa terdapat larangan oleh suhunyasendiri.Semenjak peristiwa itu, Mayatidak banyakrewelseperti biasa akantetapi ada perubahan yang membuat hatiHan Kimakin khawatir, yaitu bahwasering kali pandang mata Maya kepada­nya mengingatkan ia akan pandang mataPuteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, me­mandangnya penuh cinta kasih! Dia tidaktahubahwadiam-diam,sesuaidenganwataknya yang halus, Siauw Bwee jugasering kali memandangnya seperti itu. Cinta kasihbersemi di dalam lubuk hatikeduaorang gadis remaja itu terhadapsuheng mereka. Dan perlumbaan dianta­ ra merekadahuluuntuk menarik perhatiansuhengmereka, kini diam-diam merekamelanjutkan dengan perlumbaan mencintapemuda itu!

 

 Hal ini terjadi dengan diam-diamkarena kedua orang gadis yang berangkatdewasa itu mempunyai perasaan kewani­taan yang halus, yang membuat merekasaling mengerti bahwa mereka mencintaHan Ki, bukan kasih sayang seorang su­moi terhadap suhengnya, melainkan kasihsayangseorangwanitaterhadapseorangpria.Biarpunkeduanyatidakpernahmembuka rahasiahatidarimulutme­reka, namun keduanyasalingmengerti.Halinisamasekalitidak diketahuiolehHan Ki,danmasihadalagihalyangtidakdiketahuiHan Ki,yaitubahwadiam-diam Mayatelahturunkedalam ruanganrahasia itudandiam-diammem­ buka dan membacakitab-kitabciptaantokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!

 

 Yang diketahui oleh Han Ki hanyalahbahwa keduaorang sumoinya itu belajar Ilmudenganamattekunnyasehingga merekamemperoleh kemajuan pesat dansemuainimembuathatinyagembirasekali karenaia merasa bahwa dia telah memenuhitugas yang dibebankansuhunyadengan baik.

 

 Waktu berjalan denganamat cepatnyasehingga tanpamereka sadari, merekabertiga telah tinggal di atas Pulau Esselamalimatahun,Kini Mayatelahmenjadi seorang dara jelita berusia de lapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seoranggadiscantikberusiatujuhbelastahun.Biarpunmerekaber­ tigatinggaldi ataspulauyang kosng, namununtukkepentingan mereka,HanKi pergi menggunakan perahunya membelibahan-bahan pakaian untukmsrekasehingga mereka selalu dapatberpakaiandenganbaik,sepertitelahdapat didugasebelumnya olehHan Ki,setelah kini kepandaiankeduaorangsumoinya itumenjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali, yangme mungkinkannyabergerak seperti seekorburung walet dan pandaipula menggerak.kan tenaga sin-kangnya menjaditenagahalus yang memungkinkan dara inimem pergunakan telapak tangannya menghadapisenjata lawan yang keras dan tajam. Dilain pihak,Maya juga memperoleh ke­majuanluarbiasa, tenaga sin-kangnyamengagumkan,kuatsekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalauMaya memainkan ilmu silat yangsifatnyapanas,darikeduatelapaktangannyamenyambar hawa yang panas seperti apimembara!JugaMayadapatbersilatdengan gerakan indahseperti menari­-narisehingga dara yang memilikl kecan­tikanluar biasa dan khas Khitan itutampak seperti bidadari kahyangan me­nari-nari.

 

 Han Kisendiri memperoleh kemajuanyang sukar diukur lagi. Dia menjadi se­orang pendekar sakti yang sukar dicaritandingnya di waktu itu. Usianyn sudahtiga puluh tahun, namun sikapnya sudahseperti seorang tua, pendiam dan seringkali bersamadhi. Di samping kepandaiansilatnya,jugakepandaiannyamengukirbatu memperoleh kemajuan karena seringia latih. Dan pada waktu kedua orangsumoinya telah men jadi dara-dara dewa­sa, Han Ki mencari tiga bongkah batukarang yang seperti batu pualam putih,dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arcamereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.

 

  

 

 ***

 

  

 

 “Jangan tinggalkan aku....ohhh, Koko....jangan tinggalkan aku....,bawalahaku pergi....!” Rintihan ini keluar darimulutseorangwanitamuda,seoranggadis berusia delapan belas tahun yangcantik jelita, yang pakaiannya setengahtelanjangdandicobanya membetulkanletak pakaian ketika ia turun dari pembaringanmenghampiri seorang laki-lakiyang sedang berkemas membetulkan pa­kaian di dekat pintu kamar.

 

 Kamar itu mewah dan indah, kamarseorang puteri bangsawan atau hartawan,bersih dan harum semerbak. Dara ituamat cantik, kulit muka dan lengannyaputih seperti salju, halus seperti sutera.Rambutnya terural lepas, hitam dan pan­jang agak berombak, berbau harum sarlbunga.Pakaianyang dipakalnya, yangsedang dibetulkan letakrrya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. DI atasmeja dekat pembarlngan tampak hiasan­hiasanbajudan hiasan-hlasan- rambutdaripada emas dan batu kumala, serbaindah, dan mahal. Mudah diduga bahwadaraberusiadelapanbelas tahuniniadalahputeriseorangbangsawan atau seoranghartawan.Adapunpriayangsedangmembetulkanpakaiandengansikaptidakacuh ituadalahseoranglaki­-lakiyangtampandansikapnyagagahperkasa,berusiakuranglebihduapuluhlimatahun,pakaiannyajuga indahdan pesoleksekalisikapnya ketika membetul­kan baju dan membereskan rambutnya.

 

  “Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidakbolehmengingatakulagi.Pertemuankita hanya sekali ini dan untuk terakhirkali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagidi antara kita.”

 

 Dara itu memandang terbelalak, se­olah-olah tidak percaya kepadatelinga­nya sendiri. Benarkah ucapan yang tadipenuhrayuan,yangmanisdansedapdidengar,yangmembahagiakanhatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengansikap demikian dingin?

 

 Ah, tidak mungkin! Dara itu lari kedepan dan menubruk laki-laki itu, me­rangkul pinggangnya dari belakang danmenjatuhkandiri berlutut,“Koko...., ja­ngantinggalkanaku....,ahhh,tidakkahengkau mencintaku? Bukankah tadi telahkaubisikkankata-katacintakepadaku? Mungkinkahorangseperti engkau akanbegitutegameninggalkanaku?Ahh,Koko!”

 

 “Hemm, cinta telah mati dihatiku.Mati karena cinta palsuperempuan-pe­rempuan sepertimu.”

 

 “Koko...., aku....,aku cinta padamu ....,uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....?”.Dara itu menangis.

 

 “Engkau?Perempuan?Mencintade­nganseluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!”Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara tawa­nya mengandung kepahitan.

 

 “Koko....,sudah kubuktikan tadi cintakasihku kepadamu. Bukankah sudah kube­rikan kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya....?”

 

 “HA-ha-ha,itukahbuktinyacinta?Seperti semua perempuan yang telah ku­kenal.Bagimu, bukticinta adalah pe­nyerahan tubuhmu?Ha-ha-ha,pergilah, danbiarkanakupergi!

 

 “Tidak....! Tidak....!Koko,jangantinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mauikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!”

 

 Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya kebelakangdan tubuh dara ituterlempar ke atas pembaringan. Dia ter­banting ringan dan gerakan laki-laki itucukup menjadi bukti akan kelihaiannya.SiDaraterbanting telentang diataspembaringan dan menangis terisak-isakmemandanglaki-laki itu yang perlahanmenoleh sambil berkata,

 

 “Tidak adacinta lagi bagiku! Akutidak percaya akancinta. Yang ada ha nyalahnafsu,kebutuhantubuh.Yangkauberikankepadakutadijuganafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi danmemintauntukmernuaskannafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”

 

 “Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta....!”

 

 “Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nonamanis. Akuadalah seorang yang dikutukbanyakorang,yangdianggapsejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Eng­kau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapabanyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian ber­arti Dewa Pemetik Bunga), akan tetapi,bukan kupatahkan tangkainya melainkankupetik atas kerelaansi bunga sendiri.Ha-ha-ha!Aku penjahatbesar Jai-hwa-siandanengkau seorang di antara ratus­an orang korbanku. Mau Ikut? Mencinta­ ku? Ha-ha,menggelikan sekali. Selamattinggal,Nona manis, apayang terjadi semalam i tuhanyamenjadikenanganmanis.”

 

 Sekali berkelebat, laki-laki itu telahlenyap daridalam kamar yang mewah.Hanya bayangan saja tampak melayang keluar dari jendelakamar yang seketikamenjadi sunyisenyap, kemudian disusuldengan isaktangis tertahan dara itu.Terbayanglahsemuayang terjadiolehdarajelitaitu.Tigahariyanglalu,ketika dia bersamaayahnya berpesiar naikperahu di telaga, perahunya bertumbukandenganperahu lain dan terguling.Untungdariperahuyangmenumbuknyaitumeloncatkeluarseorangpemudatampan dangagahyangmenyambardia danayahnya,bahkanmembalikkanperahusekaligus, danmenurunkanmerekadi atasperahu. Ayahnyaseorangkayarayadantentu saja para pelayan yang berada diperahu lain cepat memberi pertolongan, akan tetapi andaikata tidak ada pemuda i tu, agaknya ayahnya dan dia akan meng­alami kekagetan dan basah kuyup sebe­lum tertolong. Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiriyangddidayung pergi dengan cepat, tidakmempededulikan teriakanayahnya.Akantetapi, ketikatadi menolongnya,menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikanpemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis.”

 

 Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapikadang-kadang keduapipinya menjadimerah danjantungnyaberdebartidakkaruan kalau ia terbayang akanwajahyang tampan, bentuk tubuhyang gagahdan sikap yang halus dari pemuda itu.Dan dia tidak berani menceritakan ten­tang bisikan itukepada orang tuanya.Benarkahpemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu?” Ah, tidak mungkin! Be­tapapun juga,hatinya menjadi gelisahdan malam itu iamengunci semua jen­dela dan pintu kamarnya. Setelah mere­bahkan diri dan menjelang malam barupulas dengan hati lega akan tetapi jugakecewa, lega karena yang dlkhawatirkantidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memanganeh), tertidurlah Si Dara manis.

 

 Akan tetapi, belum lama ia pulas, iaterbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat,kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiapdetik sebelum pulas tadi kini telah rebahdi sampingnya! Dia memang ada meng­harapkan hal ini,akan tetapi setelahbenar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendakmenjerit.Akan tetapi sekali bergerak, jari tanganpemudaitutelahmenotokjalandarah dilehernya membuat dia tak dapat menge­luarkansuara.Kemudian,denganhalusdanmenarik,pemuda itumencumbura­yu,membujuk-bujukdengan halus sehing­ga ketika totokannya dibebaskan, dara inisama sekali tidakmenjerit atau mela­wan.Jangankan melawan, bahkan diamembalas setiap rayuan laki-laki yangtelah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuhdan mabok, menyerahkan segalanya de­ngan hati rela karena dia merasa yakinbahwa pemuda itu mencintanya, makatentu akan meminangnya.

 

 “Aahhh....!”Dara itu menangis makinsedih ketika teringat akan itu semua.Kiranya dia menjadi korban seoranglaki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian,terdengar suara aneh dari dalam kamaritu, seperti suara leher dicekik, suarayang akan menggegerkan seisi rumahpada esok harinya karena suara itu ke­luar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!

 

 Laki-laki itu bukan lain adalah SumaHoat! Seperti telah diceritakan di bagiandepan, karena patah hati sebagai akibatterputusnya cinta kasihnya dengan CiokKun Hwa, kemudian ditambah lagi de­ngan peristiwa bersama ibu tirinya se­hingga dia diusir oleh ayahnya sendlri,Suma Hoatmenjadi seorang laki-lakiyang suka mempermainkan cinta wanita. Mula-muladia hanya ingin membalaskansakit hatinya kepada wanita, akan tetapilama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaandan menjadi penyakit sehingga dia ber­ubah menjadi seorang yang selalu men­ cari korban, seperti seekor burung elangyangselalu kelaparan mengintai dariangkasa mencari anak ayam! Karena ilmukepandaiannya tinggi dan tidak pernah iadapat ditangkap, bahkan banyak oranggagah yang roboh ketika berusaha me­nangkapnya, Suma Hoat diberl julukanJai-hwa-slan(DewaPemetikBunga),bahkan nama aselinya dilupakan orang.

 

 Nona hartawan yang menggantung diridi kamarnya itu adalah korban yang en­tah ke berapa ratus, dan begitu kelu­ar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri darayang telah menjadi korbannya. Dia tahubahwa banyak di antara mereka yangmembunuhdiriuntuklaridariaibdanmalu,adapulayangdiam-diammeraha­siakanperistiwasatu malam itu,akantetapidia tidakpedulidanjugatidakingintahu.Begitu keluardarikamar,dianggapnyabahwadiantaradiadankorbannyasudahtidakadasangkut-pautlagi,tidakadahubunganatauurusanapa-apalagi.

 

 Sudahlebihdarilimatahuniame­ninggalkankotaraja,meninggalkanorangtuanyadanselamaperantauannyadiduniakang-ouw,iamenyaksikandenganmatakepalasendirisepakterjang orang-oranggagahdankekejaman-kekejamanyang dilakukan oleh orang-orang golonganhitam. Biarpun dia sendiri tidak beranimenganggap dirinya sebagai orang gagahatau pendekar budiman, namun di lubukhatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikankelakuan tokoh-tokoh dunia hitam. Mulai­lah terbuka mata hatinya betapa ayahnyaselama ini melakukan perbuatan-perbuat­ansewenang-wenangdan mulailahiame­naruh penghargaan kepada Menteri Kam,

 

 paman tuanya yang amat ia takuti itu.Dan ia berjanji di dalam hatinya untukberusaha menjadi atau sedikitnya men­contohperbuatan-perbuatanpara oranggagah.Karenaitu,pemudaini selalu mengulurkan tangankepada pihak yangtertindas dan menentang golongan duniahitam sungguhpunia tidak dapatnaening­galkan kesukaannya merayu wanita-wanitauntuk menjadi korbannya, bahkan ka­ lauperlumenggunakankekerasan! Iamaklumbahwaperbuatannya itutidakbaik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya,ter­utama sekalikalau ia ingat akan sakit hatidan patah hatinya. Inilah sebabnya, di sampingkebiasaannyamemperkosawanita, ia pun seringkali menolongorang-­orang lemah tertindassehingga diadisamping julukan Pemetik Bunga(Pemerkosa) jugadi juluki Dewa!

 

 Pada masa itu, terjadilah perubahan besar.Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yu­cen yangmenjadi makin kuat, kemudianmalah barisan Mongol ikut pula menyer­bu, diam-diam dibantu olehpasukan-pa­sukanSungyangberadadalam kekuasaanJenderalSumaKiat, makaKerajaanYu­cen bolehdibilangtidakadalagisaing­annyadi daerahutaradi luartembok besar. BenarbahwabangsaMongolsudahmulaimemperlihatkankekuatannya,na­munbangaainisedangmembangundanmenyusunkekuatan mengatasibentrokan- bentrokandidalam,diantarabangsa sendiri.MakabangsaYucenmenjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendiri­kansebuahwangsa baru yangdisebutWangsa Cin. Namun segera menjadi ke­ nyatean pahit bagi KerajaanSungbahwaKerajaanCinyangbaru initernyatalebih bengis dan sewenang-wenangdari­pada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh.Biarpun dahulu Kerajaan Khitan juga me­rupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung,dansetiaptahun KerajaanSungmengirim upeti sebagai tanda persahabatan,namunRaja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak danselalumemperlihatkan sikap yang ber­sahabatdan saling menghormat. Kinibangsa Cinyang tahu akan kelemahanSung, menuntutupetiyang lebih besardan yang sifatnya memaksa, seolah-olahupetiharus dlberikansebagaitandapengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.

 

 KalaudahulubangsaKhitantidakpernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikapmenghina kepadabangsa Han, bahkan sedikit demi sedikitdaerah-daerahdi utarayang termasukwilayahSungdirampasdengankekerasan. Kerajaan Sungtak dapat mempertahankandaerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.

 

 Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenang­an pribadi saja, seolah-olahtidak mem­pedulikanbetaparakyatnyadisebelahutaraditindas,dirampok,ditawandandipaksaolehbangsaYucenyangkinimempunyaiKerajaanCinyangmakinkuat. Pesta pora, bersenang-senang,me­lakukanpemilihan dara-dara muda jelitasetiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik,membuang-buangkakayaansemena-menatanpamempedulikanbahwa semua itu adalahhasil keringatrakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakanoleh kaisardan keluar­ganya setiap saat

 

 Diluaristana,pembesar-pembesarkorup berbuat sekehendak hatinya, mera­ jalelatanpaadapengawasan,masing-masingmempunyaikekuasaanseperti raja-raja kecil di daerah masing-masing,mempergunakan kekuasannyauntukme­lakukan apa sajademi kesenangan diripribadi, memeras,memaksa,merampasdan mengadakan peraturan-peraturanyangmenekanbawahan.Setiap protesdannasihat dianggap melawan kekuasaandanterjadilahpenangkapan-penangkapandan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.

 

 Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisarhanyasepertiboneka hidupyangtenggelamdalam pelukan data-dara mudajelita,dalamarak-arakwangi dan hidanganserbalezat,mabok olehtubuhramping berlenggak-lenggokmenari, ter­buai suara musik dan nyanyian-nyanyianmerdu, dan terlena oleh bisik dan bujukrayu kaum penjilat.Kekuasaan yang se­sungguhnya tidak terletak ditangan Kai­sar,melainkandipegangoleh para pem­besarthaikam(orang kebiri) melaluilidah dan tubuh menggairahkan pera se­lir.Sedemikian besarkekuasaandanpe­ngaruh parathaikam dan selir muda i tu sehinggabolehdibilangseluruhurusankerajaan merekalah yang memutuskannya.Urusan pengangkatan pembesar-pembesar,baik sipilmaupunmiliter tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usuldan Kaisar menelannya begitu saja. Ka­renaini,timbullahsistimkonco-isme,keluarga-isme,dansogok-isme,sogokan yang berupa apa saja, benda mati mau­pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dansutera-sutera halus,benda hidup berupa dara-dara jelita!

 

 Keadaansemacaminitentusajamengakibatkan makin lemahnya KerajaanSung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partaipersilatan dan perkumpulan-perkumpulanoranggagah merasa marahsekali dan kecewabukan main sehinggamereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu.Me­reka inilaluterpecah-pecah, mendukung danmembantupembesar-pembesar danraja-raja muda yang menguasai daerah­- daerahdan yangmulaimemberontak dantidak mengakuikedaulatan pemerintahKerajaan Sung pusat. Yang paling dibenciolehtokoh-tokohkang-ouw danolehpembesar-pembesardaerah, diantarapara pembesar daerah, di antara pembe­sar pusat yang korup,adalah JenderalSuma Kiat.Kebencian mereka memuncakketika pera pembesar daerah ini men­dengar akan perbuatam Suma Kiat terhadapMenteri Kam yang mereka hor­mati, mereka percaya sepenuhnya sebagaipenegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalammenentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas. Bukan hanya para pmbesardaerahyang membenciSuma Kiat, juga terutama sekalipara tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu,menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.

 

 Mulailah terjadi kesimpangsiuran danbentrokan-bentrokan ketika pata pembe­sar daerah ini berkuasa danberdaulat didaerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokohkang-ouw dan juga mata-mataparapembesar daerah.

 

 Hampir semua partai persilatan meng­adakan aksi anti Kaisar dan anti Keraja­anSung.KecualiSiauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketuaSiauw­-lim-pai adalah seorang hwesio tua yangamat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Ho Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,“Omitohud ....,segala peristiwa telah dikehendaki YangMaha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang manusia yang selalu dikua­sainafsupribadinya!Kitaadalahorang-orang beragama yang bertugas menyebar­kanagama,adasangkut-pautapakahdengan urusan kerajaan? Siapa pun yangmenjadi pembesar, bagi kita sama saja,mereka adalahmanusia-manusia yangbelum sadar dan sudah menjadi kewajibankita untuk memberi penerangan. Meng­ikuti perputaran dan pertentangan ke­ rajaan,berarti terjatuhkedalamapipermusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita.Tidak,Siauw­-lim-paitidak boleh terbawa-bawa dankalian semua pinceng larang untuk men­campuri pertentangan di antara pembe­sar-pembesar daerah, orang-orang kang­ouw dan pemerintah pusat.”

 

 “Maaf, Supek, teecu sekalian tentusaja mentaati pesan Supek dan semuanasihat Supek benar belaka,”katase­orang hwesio yang menjadi murid kepala,yaitu Ceng San Hwesio yang dianggapsebagai seorang hwesio yang paling “ma­ju”danyangdiharapkan kelakmenggan­tikan kedudukanKetua Siauw-lim-paisetelah ketua sekarang yang terhitungsupeknya itu mengundurkan diri, “akantetapiapabilabadaimengamuk,semuapohon besar kecil akan diamuk badai.Binatang-binataang kecilseperti burung sekalipun akan berusaha menyelamatkan diri , apakahkita harus mandah saja men­jadikorban keganasan badai?” Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendakmengatakanbahwa pertentangan antaraparapembesardaerahdibantuorangkang-ouw dengan pemerintah pusat tentuakanmendatangkan perang dan mereka tentuakanterlanda akibatperang.

 

 Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim­-pai, disamping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela. “Pohon akantunduk oleh kekuasaan alam danakancondong ke mana angin bertiuptanpa perlawanan. Mencontoh sifatpohonbukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnyatirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatandiri tanpa merusak dan merugikan pihak lain.Nah, kalian tentu mengerti dan lak­sanakanlah pesan pinceng ini.Setelahberkata demikian, Kian Ti Hosiang ber­sila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancaradantelahmulaibersamadhi. Maka mereka pun bubaran.

 

 Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.

 

 CabangSiauw-lim-paidikotaLo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itumelakukan tugas mereka sehari-hari didalam kelenteng dengan tekun dan ten­teram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang mem­butuhkan bantuan. Beberapa kali merekadidatangitokoh-tokohkang-ouw,kakitangan para pembesar daerah, dan petu­gas-petugas pembesar pusat untuk mena­rik mereka yang merupakan tenaga kuatuntuk berpihak, namun semua permintaanditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwe­sio,ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo­-kiu itu.

 

 Pada waktuitu memang belum ada terjadi perangterbuka, namuntelahadabentrokan-bentrokankecilantarakakitangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasukdi Lo-kiu, terdapatpertentanganpahamdandiam-diam terdapatmata-matasemuapihakyang saing menyelidiki.Namunseperti biasa,rakyatyangsudahkenyangakanperten­tangan itu dan mash melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamuyangdatanguntukmakan minum sambil bercakap-cakap. Ditempat-tempat seperti inilah sering kalidijadikan tempat pertemuan antara te­mangolongan masing-masingsehinggatidak jarang pula terjadi bentrokan-ben­trokan yangmengakibatkan luka-luka dankematian. Akan tetapi, hal ini amatlahmengherankan dan mengagumkan pihakyang melakukan bentrokan selalumengganti kerugian pemilikrestoranataurakyat yang menderita rugi akibatben­trokan-bentrokanitu.Haliniadalahka­renamasing-masing golonganbukan ha­nya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba untuk merebut hatirakyatyangamat diperlukan dukungannya.Karena itulah, makapemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuribentrokan-bentrokan i tukarena sekali mereka ini mencampuri danberat sebelah, berarti mereka akanme­nanam permusuhan!

 

 Pada suatu pagi, restoranitu sudahhampirpenuholeh tamuyang datangberbelanja. Ketika seorang pemuda tam­ pan yang pakaiannyaindah, dengan pe­ dang bergantung di punggung, gagah se­kali sikapnya, memasukirestoran,pela­yanmenyambutnyadenganramahdanmempersilakanduduk di meja sudut se­belah dalamyangkosong.Pemuda inibukan lain adalah Suma Hoat. Semenjakmeninggalkan gadis yang kemudianmem­bunuh diri, dua hari yang lalu, dia belumi bertemu dengan wanita yang menggerakkan berahinyasehingga hatinyamenjadi kesal.Iamemasukikota Lo-kiu, jugadenganniatmencaricalonkorbannya,akan tetapi wanita didaerah ini tidakadayangmenarikhatinya.

 

 Iamenanggalkanpedangbuntalanpakaiannya,meletakkandiatasmejadanmemesanmakanandanminuman.Setelahpelayanpergiuntukmelayanipesanannya,pemudainimenyapuruanganrestorandenganpandangmatanya.Tamu yang memenuhitempat ituterdiridariber­macam-macam golongan,dan ramailah merekaitu bercakap-cakap dengan temanmasing-masing yang duduk semeja. Tidakada yang menarik perhatian Suma Hoat,karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Me­lihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil berca­ kap-cakapbersendau-gurau,keadaannampaknya tenang tenteram dan damai.

 

 Akan tetapi ketika seorang tamu barumemasuki restoran, perhatian Suma Hoatsegera tertarik sekali. Orang ini adalah seoranglaki-lakiyangusianyasebaya dengannya, paling tinggi dua puluh limatahun usianya, pakaiannya sederhanase­ kali, bahkan yang amat mencolok adalahkakinya yang tidak bersepatu, telanjangsamasekali! Laki-lakiinimemanggulsebuah tongkat dan ujung tongkat tampaksebuah buntalan kain kuning yang agak­nya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak adakeanehan menonjol pada dirinya, kecualikakitelanjangitu dan sinar matanyayang tajam, senyumnya yang seolah-olahmengejek pada keadaan di sekitarnya.Rambutnya diikat ke atas dan dia lebihmirip seorang tosu perantau, hanya pa­ kaiannya tidak seperti pendeta To-kauw(Agama To), melainkan seperti seorangpetani yang bangkrut!

 

 Tidaklahmengherankan apabila pela­yan restoran menyambut tamu istimewaini dengan alis berkerut, hati curiga danpandang mata pelayanitu naik turunmelalui pakaian sederhana dan kaki te­lanjang. Laki-laki itu menglkuti pandangmata Si Pelayan lalu berkata,

 

 “Bung Pelayan, engkautidak melayanipakaian dan sepatu, bukan? Yang kaula­yanibukanpulaorangnya,melainkanuangnya, bukan?Nah, akumempunyaiuang itu, maka jangan ragu-ragu melayaniuangku!”Setelahberkatademikian, laki-laki i tu menepuk-nepuk bungkusannya danterdengarlah suara berkerincingnya perak.Pelayan itucepat membungkukdan mempersilakantamu aneh itu dan ti­dak jauhdarimeja Suma Hoat. Ketikamelewati meja ini, laki-laki tadi melirikke arah pedang yang terletak di mejaSuma Hoat, mengerling tajam ke arahSuma Hoat, lalu tersenyum dan mem­bungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarikhatinya, Suma Hoat pura-pura tidak me­lihatnya. Didalamhatinya ia merasagelidanmenganggapbetapatepatnyaucapan orang aneh itu. Memang tidakdapat disangkal betapa palsu sikap manu­sia yang matanya sudah tertutup oleh bayanganperak danemas,silauolehharta dunia sehinggasetiapgerakan me­rekamerupakanpengabdian terhadapharta dunia! Orang menilai orang lainbukandariorangnya,melainkandaripakaian, kekayaan, dankedudukannya,pendeknya yangdinilaiadalahhal-halyang sekiranya dapat mendatangkan ke­senangan dankeuntungan bagi yang me­nilai! Buktinya tersebar di mana-mana.Datanglahkerumahseseorangddengan pakaian butut dannama tak terkenal,maka engkau akan disambut dengan penuh curiga,pandangrendahdanpenghinaan karenaSi TuanRumahmanganggap bahwa engkau hanya akan men­datangkan kerugian dan ketidaksenangan belaka. Sebaliknya, kalau engkaudatang dengan pakaian serba indah,dengankekayaanberlimpah,dengankeretamewahdandengan namabesarsertakedudukan,tentuengkauakandisambutdenganter­bongkok-bongkokdantersenyum-senyumkarena engkau dianggap akanmendatangkan keuntungan ataukesenang­an! Hal ini tak mungkin dapatdibantah lagikarena memang kenyataannya demi­kianlah.

 

 Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya kaena ada sesuatu yang menarikhatinyadan didalamhatinyatimbulpula keyakinanbahwa munculnyaseorangto­ kohluarbiasa sepertiinitentuakan disusuldenganperistiwayangmenarik.Akantetapi iameragu.Jangan-jangan orangyangmasihmudainihanyaberla­gaksaja,karenapadawaktuitumemangtidakjarang orangberlagakdenganpa­kaiandan sikapyanganeh-anehagardi­anggaporanganeh,atausetidaknyaagardianggap bahwadiaadalahlain daripadayanglain!

 

 SiPelayanyangsudahbiasamelayaniorang-orangkang-ouw,kalautadinyamenganggaplaki-lakiitusebangsape­ngemlsyang merugikan,kinidapatmen­dugapulabahwaoranganehitutentulahseorangkang-ouwmakaiabertanyadengansikap hormat.

 

 “Sicu hendak memesan apakah?”

 

 Akah tetapi orang itu tidak menja­wab, hanya memandang ke arah pintudepan. Si Pelayan menoleh ke arahpintudan tiba-tiba mukanya berubah, senyum­nya melebar dan serta-merta ia mening­galkan orang itu dan lari terbungkuk­-bungkukmenyambut datangnya serombongan tamu yang tiba. Melihat ini, Su­ma Hoat memandang pula dan diam-diamia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalahorang-orangpenting dan orang-orang yangmemiliki ilmu kepandaian tinggi. Merekaitu terdiri dari dua orang yang pakaiannyaseperti perwira tinggi, dua orang pulaberpakaian sebagai orang-orang kang-ouwdengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul danberpakaian serba kuning.Pada waktusekacauitu,melihat seorang pendetahwesio memasuki restoranbukanmerupa­kan penglihatan aneh.Lima orang itumemasuki ruangan sambilbercakap-cakapdan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayanyang menyambut -segera berkata,

 

 “Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Ber­lima) yang terhormat! Pesanan ciangkunkemarin telah kami sediakan. Silakan, disanalah tempat terhormat Ngo-wi!” Pe­layan itu dengan bantuan beberapa orangtemannya lalu mengatur meja, tiga mejadisatukan di tengahruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjangkaki. Dengan sikap angkuh lima orang itumenarik kursidanduduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangiSuma Hoat dan Si Tosu membelakangimeja laki-laki berkaki telanjang.

 

 Suma Hoat mulai makan, akan tetapidiam-diam ia memperhatikan lima orangitu, dan jugamemperhatikan Si KakiTelanjang yang masih belummemesan makanankarenaditinggalkanpelayanyang kini sibuk melayani lima orang itu.Karena lima orang itu menanti pesananmakanan mereka yang amat banyak sam­bil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telingadan me­nangkap percakapan mereka.

 

 “Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!” kata seorang perwirayang bertubuh tinggi besar.

 

 Akantetapi,mulaimalamnantimereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!” kata perwira kurus sambil tertawa.

“Kabarnya mereka lihai,” kata orangyang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunyaberwarna biru.

 

 “Aahh, yang lihai hanya ketuanya, danpinto sanggup melawannya,” kata Si Tosudengan suara rendah. “Pinto akan mem­perkenalkandirisebagaitokoh Hoa­san....”

 

 “Sstt, harap Totiang hati-hati,” per­wira gemuk mencela dan menolehkekanan kiri.

 

 “Takutapa?”Tosu itu berseru danmelirikke arah Suma Hoatyang masihmakandanberpura-pura tidakmendengar. “Semua sudah diatur baik.”

 

 “Memang Hoa-totiangbenar. Kalaupusatperkumpulan merekamendengarbahwa cabang mereka terbasmiolehperwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendakkulihat apakah ketua pusatnya akan tetapdingin saja,” kata pula perwira kurus.

 

 Percakapan merekaterhenti karenamunculnya empat orang pelayan yangmembawa hidangan yang mereka pesan.Banyak benar hidangan itu dan merekasudah mempersiapkan sumpit ketika me­reka dikejutkan oleh suara orang meng­gebrak meja sambil berseru,

 

 “He, Bung Pelayan yang tidak adil! Akusudahdatanglebihduludan pesanlebihdulu,mengapaorang-oranglainyangdatangbelakangandilayanilebihdulu? Sungguh menjemukan!”

 

 “Sicu,harapbersabar....!”Pelayanmembujuk dengan wajah ketakutan, bukantakut terhadap Si Kaki Telanjang, me­lainkantakutkepadarombonganlimaorang itu karena ia membungkuk-bungkukkepada dua orang perwira sambil meng­gumam, “Ciangkun, maafkan.... !”

 

 Melihat ini, Suma Hoat menjadi panasperutnya dan ia pun berkata, “Pelayan,tugasmu melayani tamuyang sama-samamembayartanpapilihkedudukandanpilih kasih!”

 

 Pelayan itumakinketakutandan empat orang pelayan mundur-mundurketikamelihatbetapalima orang itumelototkanmatamereka.SiPerwirakurus memencet hidungnyadanberkata,“Wah-wah, banyak sekali lalat di sini!Membikin orang kurang bernafsu makansaja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!” katanya dan menyambar kain lap dari pundak se­orang pelayan, kain itu ia gerakkan keatas, ke kanan kiridan.... belasan ekor la­latyang memang banyak terdapat di situterkena sambaran angin pukulan, runtuhsemuake atas meja SiKaki Telanjang!

 

 SiKakiTelanjangmelihatbangkaibelasan ekor lalat di atas mejanya, danterdengarlah suara ketawa lima orang ituterbahak-bahak, “Ha-ha-ha!” Si PerwiraKurus yang memperlihatkan kepandaian­nya itu tertawa. “Kalau sudah amat ke­laparan,lalatpun merupakan hidanganyang lumayan!”

 

 “Ha-ha-ha-ha!” Limaorang itu ber­tawa lagi, yang paling keras ketawanyaadalah Si Perwira Kurus karena ia sengajahendak menghina Si Kaki telanjangyang menoleh sambil tertawa mangerlingke arahSi KakiTelanjang.

 

 “Ha-ha-ha-hauuup....!”Tiba-tibe SiPerwira kurus menghentikan ketawanya,matanyamendelik,ia terbatuk-batuk danberusahamengeluarkantiga ekor lalatyangmenyambarmemasukimulutnya yangtaditertawadankinibersarangketenggorokkannya.

 

 “Haaak-agghh....haaakk-huaaakkk!”

 

 “Eh,kaukenapa?”Temannya,SiPer­wiraGemuk,bertanya,jugatigaoranglainnyamemandangheran,menghentikanketawamereka.

 

 “Ughh-ughh....,lalat....,masukmulut...., sibedebah!”Perwirakurus itu terbatuk-batuk danempat orang temannya terta­wa-tawa geli, akan tetapi mereka itumenjadi terheran-heran juga mengapa adalalat bisa masuk ke mulut teman mere­ka.

 

 “Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!”Perwiraitumenyumpah-nyumpahdanterpaksa menelan tiga ekor lalat itu ka­renatidakberhasilmengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.

 

 Suma Hoat memandang denganka­gum. Iamelihat tadi betapa Si Kaki Te­lanjang itu menggunakan telunjuk kirinyamenyentil tiga ekor bangkai lalat dariatas mejanya dan menerbangkan bangkaitiga ekor lalat itu memasuki mulut SiPerwira Kurus. Dia ikut merasa gembiradan tak dapat menahan ketawanya.

 

 “Ha-ha-ha, memang bagi yang kela­paran, tiga ekor bangkai lalatjugame­rupakan hidangan lumayan!”

 

 Lima orang itu semuamenengok ke­pada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuklaluminumaraknyasetelahberkata, “Menangkap lalat banyak caranya, akusuka dengan cara ini!” Setelah minumarak semulut penuh, ia lalu menyembur­kan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yangbeterbangan.Belasan ekor lalat disambar percikan arak, danberikutpercikan araknya, bangkai-bangkai lalatitu menyambar ke arah Suma Hoat! Inipun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnyaSi Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu punmenyemburdengan pengerahan tenagasin-kang yang kuat.

 

 Dengan tenangSuma Hoat melambai­kantangankirinya dan percikanarakbersama bangkai-bangkai lalatitu terputar-putarkemudian iamengangkatmangkokkuahdansemuapercikan arakberikut bangkai lalatmasukkedalammangkok itu, semua masuk dengan tepatseolah-olahdituangkankesitu.SumaHoat memandang kepada Si Gemuk danberkata,

 

 “Kalau orang gemar kuah deging la­lat, silakanminum!”Makaterbanglahmangkok dan kuah itu ke arah Si PerwiraGemuk.

 

  

 

 “Setan....!” Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur ke­palanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping­-keping!

 

 “Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat, ha­-ha-ha!” Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.

 

 “Makanlah!” Si Perwira Kurus me­nyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya se­hingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.

 

 “Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!” katanya gembira.

 

 Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyam­bar mangkok-mangkok masakan dan me­lemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.

 

 “Singggg....!” Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga “senjata rahasia” itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sam­baran mangkok-mangkok terakhir.

 

 “Ke sini....!” Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan penge­rahan sin-kangnya yang kuat dan...., pi­ring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan mela­yang ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang mele­takkannya ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakannya ke atas meja.

 

 Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam res­toran itu terdapat dua orang yang demi­kian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.

 

 “Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata.” Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai.

 

 Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.

 

 “Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?” Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.

 

 “Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan sia­papun juga,” kata Suma Hoat acuh.

 

 “Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau,” kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.

 

 “Kalau begitu, sekali lagi maaf,” kata Si Perwira Kurus. “Karena belum menge­nal, kami telah bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”

 

 “Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?”

 

 Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil berkata, “Hi­dangan kami hanya sekedarnya, harap Ji­wi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.

 

 “Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. “Harap jangan memper­mainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa memba­yar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!”

 

 “Sahabat, biarlah aku yang membayar­nya!” Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.

 

 “Tidak, mereka memberi hadiah, ke­napa harus kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang berkata membantah.

 

 Perwira gemuk merogoh kantung baju­nya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk, “Ini bayaran hi­dangan!” kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberi­kan kepada Si Pelayan. Si Pelayan mene­rima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia ber­gidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.

 

 “Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?” Si Kaki Telanjang menegur pelayan. “Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!”“Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi....“ Pelayan itu memperlihat­kan perak yang berada di telapak ta­ngannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah men­jadi satu sepertidijepit jepitan baja yang amat kuat!

 

 Si Kaki Telanjang tertawa, “Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!” Pelayan ini pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apa­lagi dia!

 

 “Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!”

 

 Suma Hoat menjawab, “Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!”

 

 Si Kaki Telanjang terbelalak, kemu­dian bangkit berdiri dan membungkuk. “Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Per­kenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu.”

 

 Suma Hoat terkejut. Dia sudah men­dengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, na­mun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap “mur­tad”, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh dan gila­-gilaan akan tetapi selalu menindas keja­hatan. Ia pun menjura dan berkata, “Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang­-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-­hwa-sian!”

 

 “Haiii!” Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya, “Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!”

 

 “Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan....”

 

 “Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!”

 

 Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telan­jang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.

 

 “Benarkah engkau Jai-hwa-sian?” Ti­ba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.

 

 “Kalau benar mengapa?” Suma Hoat balas bertanya.

 

 Im-yang Seng-cu tertawa. “Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu.”

 

 “Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal.”

 

 “Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah arti­nya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali de­nganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagai­mana pendapatmu tentang lima orang tadi?”

 

 “Mereka lihai, akan tetapi sombong.”

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Ge­muk yang mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kaulakukan terhadap rencana mereka?”

 

 “Rencana yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,” jawab Suma Hoat.

 

 “Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!”

 

 Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat men­dengarkan dengan sikap dingin dan me­lanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.

 

 “Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” jawabnya.

 

 “Apa?” Im-yang Seng-cu membelalak­kan matanya. “Jai -Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang keja­hatan?”

 

 Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. “Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar.”

 

 Im-yang Seng-cu menggeleng-geleng­kan kepalanya. “Aih-aihh...., sampai be­gitu jauhkah engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan keraja­an?”

 

 “Aku tidak ada urusan dengan keraja­an dan dunia kang-ouw.”

 

 “Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik,” Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia me­nambahkan, “Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Ho­siang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak pendirian­nya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa­-san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak ka­sihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?”

 

 Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sen­diri, hal yang amat menyesalkan hatinya.

 

 “Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si ?”

 

 Yang ditanya tertawa, “Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentsng kele­dai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan me­reka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang eng­kau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”

 

 Suma Hoat tersenyum dingin. “Sila­kan!”

 

 Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.

 

 “Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pe­metik Bunga) saja! Selamat tinggal!” Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.

 

  

 

 ***

 

  

 

 Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang ber­ada di sebelah barat, di ujung kota.

 

 ”Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini, kata­nya kepada penjaga kuil.

 

 Penjaga kuil itu, seorang hwesio mu­da, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab, “Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu.

 

 Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka kata­nya keras, “Aku mempunyai urusan pen­ting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga ter­masuk urusan mati hidupmu. Harap ja­ngan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!”

 

 Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikap­nya begini angkuh? “Maaf Sicu,” jawab­nya dengan sikap yang sopan namun ke­ras. Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya melayanl orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan bersembahyang.”

 

 Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan ber­kata lagi, “Engkau sungguh terlalu curiga dan kleras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mo­hon bertemu!”

 

 Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai ada­lah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di du­nia kang-ouw.

 

 Sambil menjura hwesio itu berkata, Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim­-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai.”

 

 “Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kauberi­tahukan kepada suhumu sebelum terlam­bat.”

 

 Tiba-tiba dari sebelah dalam terde­ngar suara. halus, “Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?”

 

 Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia ce­pat menjura dan bertanya. “Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?”.

 

 “Benar, Sicu.” Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.

 

 “Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu.”

 

 “Omitohud.... ! Pinceng merasa mene­rima kehormatan besar sekali dengan­ kunjungan seorang pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam.”

 

 Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih se­kali, dan duduk berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, “Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!”

 

 Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua ma­tanya. “Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapa­kah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami sela­manya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua go­longan....“

 

 “Aku mengerti Losuhu!” Im-yang Seng-cu memotong tak sabar. “Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ke­tua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti.”

 

 Mulailah hwesio itu tertarik. “Siapa­kah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?”

 

 “Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung.” Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu.

 

 Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw­-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di pusat, yaitu Ceng San Hwe­sio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerut­kan alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.

 

 “Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu.”

 

 Im-yang Seng-cu membelalakkan ma­ta, “Losuhu, aku akan membantumu!”

 

 “Tidak baik kalau pihak luar men­campuri, kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar se­hingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!”

 

 Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, “Dasar si bodoh yang ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! “Selamat tinggal, Losuhu!” Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.

 

 “Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya ja­ngan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjut­kan niat jahat mereka sehingga perda­maian dapat dijaga dan dipertahankan.”

 

 Akan tetapi, Im-yang Seng-cu men­dengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jeng­kelnya dan biarpun penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw­-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya na­mun juga amat keras kepalanya itu.

 

 Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu penerang­an atas perintah Gin Sim Hwesio. Biar­pun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa ke­dudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melaku­kan samadhi di tengah ruangan depan.

 

 Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, “Siap....!” Dan perintah ini segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang ditugaskan menjaga di dalam, segera ke­luar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan itu makin ce­merlang menerangi wajah enam orang itu. Gin Sim Hwesio sudah bangkit ber­diri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan , memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan se­orang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi, orangnya gendut pendek dan mu­lutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih em­pat puluh tahun.

 

 “Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?”

 

 Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari pinggangnya, “Kami adalah dua orang perwira tinggi ,Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!”

 

 “Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!” kata Si Tosu sambil mengejek.

 

 “Omitohud! harap Cu-wi tidak mem­bohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira­-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang menggang­gu? Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga, dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw­-lim-pai dan memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!”

 

 Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak, “Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang membocorkan....!” teriak Si Perwira Kurus.

 

 Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah keta­gihan lalat lagi dan datang ke sini hen­dak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!”

 

 “Engkau.... Im-yang Seng-cu!” Tiba-tiba orang pendek gemuk yang terse­nyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur.

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahu­lah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!?”

 

 “Setan kau!” Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.

 

 Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pe­dang, dan sambil meloncat mundur men­cari tempat luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si, “Bagai­mana, Losuhu? Berhasilkah engkau meng­hadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!”

 

 “Omitohud...., terpaksa pinceng me­langgar pantangan berkelahi!” Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat hwesionya dan melanjutkan, “Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!”

 

 Akan tetapi, biarpun mulutnya ber­kata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang lawannya, terutama Si Gendut yang de­ngan gerakan golok besarnya di tangan kanan telah membuat senjata para mu­ridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh ter­jengkang dan muntah darah!

 

 “Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!” Im-yang, Seng-cu tertawa lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang campur­aduk, ia berhasil mengacaukan pertahan­an keempat orang pengeroyoknya. Im­yang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang meru­pakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat. Memang mem­pelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian ilmu silat Hoa­san-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga, baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu silat dan “mengawin-ngawinkan” semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu.

 

 Selain segala keanehan yang dimiliki­nya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sam­bil bernyanyi, suaranya lantang dan nya­ring:

 

  

 

 “Betapa dunia takkan kacau-balau oleh tingkah mahluk bernama manusia

 

 pendeta tidak segan berbuat dosa

 

 pejabat tidak segan bsrbuat khianat

 

 Pendekar berubah menjadi penjahat

 

 Si bengcu cerdik menggoyang kaki

 

 membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang

 

 tinggal dia menanti hasil terakhir!

 

 Oh dunia....!Oh manusia....!

 

 Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan”

 

  

 

 Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ke­tiaknya dan langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus.

 

 “Pletak!” Tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.

 

 “Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!” Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasa­nya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.

 

 “Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti ke­masukkan lalat lagi!” Im-yang Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pe­ngeroyoknya.

 

 “Im-yang Seng-cu, manusia sombong!” Tiba-tiba sebatang golok besar menyam­bar dari belakang.

 

 “Syuuutt...., tranggg!” Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggal­kan Gin Sim Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas. Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya me­nyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepa­la, tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.

 

 Adapun Im-yang Seng-cu, biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini ber­silat dengan hati-hati sekali. Setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan, akan te­tapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya.

 

 “Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?” Im-yang Seng-cu masih meng­ejek.

 

 “Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan, bertelanjang kaki!”

 

 Im-yang Seng-cu tertawa dan diam­-diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya.Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan pada saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tuuh si gendut tu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.

 

 “Ngekkk....broooottt!” Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!

 

 “Idiiih....! Bau....! Bau....!” Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.

 

 Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut! Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam “penyakit” yang mungkin timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan sekarang, karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki,

 

 “Im-yang Seng-cu calon bangkai! Ma­kanlah golokku!” Hebat bukan main se­rangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan se­rangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia ter­desak hebat seperti halnya Gin Sim Hwe­sio dan murid kepalanya.

 

 Gin Sim Hwesio mulai merasa khawa­tir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru, “Celaka....!” Dan ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bah­kan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu berkele­bat ke bawah melukai pahanya. Ia ter­huyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya.

 

 Tiba-tiba terdengar sorak-sorai me­nyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu ter­lempar ke belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru,

 

 “Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian (Dewa), bukannya Kwi (Se­tan)!”

 

 Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedang­nya, diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.

 

 “Siapa engkau....?” Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan ke­hebatan gerak pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im­-yang Seng-cu sudah memperkenalkan,

 

 “Mau kenal sahabatku ini? Dialah Jai-hwa-sian!”

 

 Si Gendut terkejut sekali. “Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-­lim-pai?”

 

 Sebagai jawaban Jai-hwa-sian mener­jang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.

 

 “Cringggg!” Golok dan pedang ber­temu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher Suma Hoat dari belakang.

 

 “Pergilah....!” Suma Hoat membentak, menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga pedang perwira gemuk menyambar atas kepala­nya. Detik itu juga, pedang Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira men­jerit, pedangnya terlepas dan ia terjeng­kang roboh, darah muncrat-muncrat ke­luar dari perutnya.

 

 Akan tetapi, puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan ga­dis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid dari Coa Sin Cu, beng­cu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang yang membakar kuil dan me­madamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng­-cu.

 

 Terjadilah pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang memper­tahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.

 

 “Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!” Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar keting­galannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerak­kan tongkatnya untuk melindungi tubuh­nya.

 

 Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku bernama Thian Ek Cinjin, Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat Im-yang seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, sedangkan Gin Sim Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.

 

 Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para pengeroyoknya yang masih muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya maut dengan serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan menimpa dirinya.

 

 “Trang-trang-trang....!” Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang meninggalkan para penge­royoknya untuk menolong Gin Sim Hwesio. Hwesio itu kini sempat bangun kem­bali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat mema­sang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya kena ujung pedang se­orang pengeroyok, bajunya robek dan ku­litnya ikut robek sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya menyambut datang­nya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.

 

 Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biarpun ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sin-kang sambil emmbanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:

 

  

 

 “Malang-melintang di dunia kang-ouw

 

 menentang kejahatan mengabdi kebenaran

 

 tongkat di tangan haus darah dan nyawa

 

 para penjahat angkara murka

 

 biarpun tewas dalam membela kebenaran

 

 dengan senjata tongkat tetap di tangan

 

 apa lagi yang membuat penasaran?”

 

  

 

 “Bress! Prookk!” Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah ber­hasil membacok ke arah lehernya. Im­-yang Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.

 

 Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan mata tertim­pa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman-temannya mundur, kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk meloncat jauh menyambar tubuh Im-yang Seng-cu, dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih memperta­hankan diri.

 

 “Kalian berdua mempertahankan di belakangku!” kata Suma Hoat dan mulai­lah terjadi pengepungan yang ketat ter­hadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga Im-yang Seng­cu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu me­ngirim serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.

 

 Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat. Biarpun pun­daknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua orang yang terluka sambil balas mener­jang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban. Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim­-pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya me­nyaksikan sepak terjang Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi

 

  

 

 “Dia dikatakaan Pemetik Bunga

 

 perbuatannya bergelimang darah menghitam

 

 kini dia mati-matian membela

 

 kebenaran dengan taruhan nyawa penuh rela

 

 hitam atau putihkah dia?

 

 Dia disebut berbudi seperti dewa

 

 tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara

 

 menangis dengan hati merana

 

 setan atau dewakah dia?”

 

  

 

 Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian ini hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si Kaki telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya diujung pedang dan amukannya membuat gentar Thai-lek Siauw-hud. Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka. Malam sudah hampir terganti pagi dsn mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.

 

 “Engkau ikut denganku!” Tiba-tiba Suma Hoat berseru, tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar ping­gang seorang di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedang­nya membacok, akan tetapi sekali menge­tuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi.

 

 Kemudian, tanpa menoleh lagi, Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.

 

 “Eh, nanti dulu!” Im-yang Seng-cu berseru.

 

 “Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih

 

 Gin Sim Hwesio juga berteriak, akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab.

 

 Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, “Itulah seorang pendekar besar yang rusak hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!” Im-yang Seng­-cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.

 

 “Omitohod....!” Gin Sim Hwesio me­rangkap kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus mengakui bahwa kese­lamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam perten­tangan adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang.

 

 Im-yang Seng-cu, melakuan pengejar­an. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar hatinya, Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar yang mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka mengganggu wanita! Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad untuk membela kebenaran dengan taruhan nya­wa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhir­nya dicemarkan oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda dan cantik. Penculikan yang jelas diketa­hui apa maksudnya! Padahal, di waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut dan kalau dikehendaki. Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat melarikan diri. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri tidak mau meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!

 

 “Jai-hwa-sian.... bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?” Im-yang Seng-cu berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa­-sian yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok­-kiu!

 

 Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang itu, dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersa­ma korbannya berada di balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi korban itu. Betapapun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang perlu di­tolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa­-sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa! Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang diantara para pnyerbu kuil semalam, seorang anak buah Coa Sin Cu akan tetapi persoalan­nya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang terancam kehormat­annya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar yang semalam mempertahankan nya­wanya untuk membela kebenaran!

 

 Ia menduga bahwa tentu akan men­dengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat Pe­merkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau mengancam. Akan tetapi, muka Im­-yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak ketika ia mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.

 

 “Koko.... aku.... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau.... betapa.... tampan dan mesra! Koko, aku rela men­jadi milikmu selamanya...., aku cinta padamu!”

 

 Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, “Aku tidak percaya akan cinta! Perem­puan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya naf­su! Nafsu berahi! Dan aku....” Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul ben­takan,

 

 “Im-yang Seng-cu! Aku suka bersaha­bat denganmu karena aku kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagum­anku dan terpaksa engkau akan kuanggap penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!”

 

 Im-yang Seng-cu menarik napas pan­jang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan, dan kedua telinganya sendiri jelas men­dengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini? Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,

 

 “Jai-hwa-sian, aku hanya ingin meli­hat engkau sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran.”

 

 “Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau aku terpaksa mengguna­kan kekerasan?”

 

 Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian, sungguhpun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia sudah terluka cukup parah. Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas dan terhina. Akan tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan “per­tolongannya”? Bahkan, kalau ia mencam­puri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia men­campuri urusan ini? Ia menggerakkan pundak lalu pergi dari tempat itu.

 

  

 

 ***

 

  

 

 Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoinya. Baru sekarang ia dapat me­mandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya. Memang he­bat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.

 

 Gerakan harus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia me­ngenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat membedakannya. Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang ber­lainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.

 

 “Suheng....”      

 

 Han Ki menoleh tersenyum.

 

 “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”

 

 Maya berlutut di dekat suhengnya.

 

 “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”

 

 Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu saja arcaku sendiri!”

 

 “Ah, Suheng sombong!” Han Ki hanya tertawa.

 

 “Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”

 

 Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemu­dian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”

 

 Wajah yang itu berseri, manis pan­dang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memi­kat. “Suheng....” Maya menyentuh lengan suhengnya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”

 

 Han Ki menatap wajah sumoinya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh “Eng­kau memang cantik jelita, Sumoi.”

 

 “Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.

 

 Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya ber­debar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”

 

 Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini

 

 “Maya....!” Han Ki membantah kaget.

 

 Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan.

 

 “Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”

 

 “Maya-sumoi....!”

 

 Maya sudah menjatuhkan diri ke da­lam pelukan suhengnya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi...., aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu....?”

 

 Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyen­tuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.

 

 “Suheng....!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.

 

 “ Maya-sumoi, jangan....!” Han Ki ber­kata dan melepas kedua lengan yang me­rangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoinya. Kini ia telah me­nguasai nafsunya dan matanya meman­carkan pandang mata penuh teguran.

 

 “Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”

 

 “Suheng....! Aku.... cinta padamu, Su­heng....”

 

 “Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”

 

 Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak.

 

 Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintai­nya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang­-terangan, namun ia dapat menduga bah­wa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi? Namun ahhh...., dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya, mem­buat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, se­mudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Ce­laka!

 

 “Kau...., kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayang­lah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,

 

 “Aku tidak lapar dan tidak mengan­tuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri.”

 

 Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu den memandang suhengnya, kemudian berkata, “Ini tentu kesa­lahan suci entah apa sebabnya!”

 

 Han Ki terkejut, akan tetapi menin­das perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat demikian?”

 

 “Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya ddan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”

 

 “Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!”

 

 Sejenak Siauw Bwee berdiri di bela­kangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”

 

 “Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”

 

 “Suheng, selama lima tahun kita ting­gal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis, Suheng, eng­kau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, disamping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka....”

 

 Han Ki memejamkan mata, jantung­nya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri ter­senyum dan berkata, “Engkau ini aneh­-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau­buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk meng­alihkan perhatian sumoinya itu.

 

 “Sudah, Suheng. Layar yang kauberi sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu”

 

 Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana.”

 

 “Aku ingin menagkap kijang.“

 

 “Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pem­biakannya tidak terganggu.”

 

 “Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini.”

 

 Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoinya. “Apa? di sini ada aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”

 

 Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku...., aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng tarutama sekali.... sekarang ini....”

 

 Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.

 

 “Hei....! Khu-sumoi....?” Han Ki me­manggil akan tetapi dara itu tidak me­noleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

 

 “Perempuan....!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.

 

 Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kengan kedua sumoinya itu. Untuk melupakan pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.

 

 ***

 

  

 

  

 

 Pada keesokan harinya, barulah pe­kerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Biasanya, desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih akan tetapi sekali ini, desir angin hebat itu diseling suara ben­takan-bentakan nyaring orang bertempur. Ia merasa heran dan khawatir sekali cepat meloncat bangun dan melesat ke­luar dari Istana Pulau Es. Ketika ia tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoinya sudah saling se­rang dengan hebatnya! Pohon tumbang batu berhamburan dilanggar angin pukul­an kedua sumoinya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Se­kali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh­sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya me­nyerang seperti seekor singa betina ke­hilangan anaknya.

 

 “Maya....! Siauw Bwee....!” Berhen­ti....!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.

 

 Akan tetapi ia tertegun dan menghen­tikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sin­-kang seperti tadi, melainkan mengguna­kan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.

 

 “Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”

 

 “Dan engkau....! Engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya membalas de­ngan teriakan marah.

 

 “Begitukah? Kalau benar dia mencin­taku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.

 

 “Kau perempuan tak bermalu!”

 

 “Engkau yang tidak tahu malu!”

 

 “Sumoi.... !” Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung.

 

 “Kau.... membelanya....!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.

 

 “Kau.... kau.... melemparku dahulu, kau.... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.

 

 “Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apa­kah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku.... aku.... ahhh.... !” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia me­nangis!

 

 “Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.

 

 “Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah.... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut ja­waban pasti.

 

 Wajah Han Ki menjadi pucat. Ke­mudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang mata­nya terasa berkunang-kunang, dan sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak tahu..., aku tidak tahu kalian adalah kedua orang sumoiku, seperti adik-adikku sendiri...., aku tidak cinta siapa-siapa....!”

 

 Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukup­lah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan meman­dang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang ber­tiup membawa datang salju-salju tipis. Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkah­kan kaki mencari kedua orang sumoinya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi, mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang se­buah lagiselatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!

 

 Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii....!” Akan tetapi, sa­mar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoinya itu menoleh dan melambaikan tangan kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah pe­rahu itu lenyap dari pandang matanya.Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi, kini kedua orang sumoinya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, me­nempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya. Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoinya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoi-sumoinya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dika­sihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, mem­bantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapapun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha.

 

 Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee, lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoinya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai, termenung, hatinya kosong, pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini. Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia dahulu selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian, pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun, rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoinya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoinya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana,

 

 “Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kaupersalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab daripada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga daripada mengenal cacat selaksa orang lain.”

 

 Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini, lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.

 

 “Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka maupun duka!”

 

 Han Ki termenung mengerutkan alis­nya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia. Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan keduduk­annya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka. Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoinya, mencin­tainya, maka kini kehilangan dan menim­bulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andaikata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!

 

 “Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki, pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”

 

 Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat yang amat mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi, sungguhpun ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak dada. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoinya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!

           Mulai  saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana,meninggalkan Pulau Es,meninggalkan tiga buah arca mereka yang seolah-olah menjadi mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.

 

 Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoinya. Dia mencintai suhengnya, dan melihat sikap suhengnya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suhengnya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara! Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan, menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suhengnya mengukir arcanya, jari-jari tangan suhengnya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suhengnya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suhengnya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suhengnya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?

 

 Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal dan larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-cita­nya. Dia harus membalas dendam keluar­ganya. Membalas kematian ayah bunda­nya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek­-hunya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suheng­nya, Kam Han Ki. Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biarpun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapa­pun juga di Kerajaan Sung!

 

 Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia beium me­lihat daratan besar, hanya bertemu de­ngan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak lalu di­dekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka? Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang meng­akibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membu­buhg tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.

 

 Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu ter­bakar dan di atas lautan yang bergelom­bang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang berk gerak-gerak naik turun oleh ombak. Uda­ra yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak. Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyam­bar perahu-perahu dan terbakarlah pera­hu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara perahu memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan ma­nusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut, teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati. Banyak sekali di antara perajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang adakalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air.

 

 Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpin­an bekas pengawal Bhutan, amatlah he­batnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya. Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berpe­rang! Dia tidak tahu siapa yang berpe­rang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu, Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh ba­nyak perahu-perahu kecil, ia mendekat­kan perahunya ke tempat itu.

 

 Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buah­nya mempertahankan perahu besar itu. Setiap kali ada perajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjuk­kan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi, serangan anak panah yang seperti hujan lebatnya, telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan ma­yat-mayat perajurit. Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis se­mua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya karena mereka itu amat gagah perkasa, dan bukan hanya melindungi diri sendiri na­mun juga orang ini membagi-bagi perin­tah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang pan­jang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar, berjenggot pan­jang dan sudah putih.

 

 Adapun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar-be­sar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar seba­gian!

 

 “Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, sekarang telah terkepung menye­rahlah!” Terdengar teriakan dari perahu­perahu kecil, dan mendengar ini, segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak ter­hadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibas­minya!

 

 Dengan dayungnya, Maya lalu men­dayung perahunya menuju ke tengah me­dan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekat­kan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan pera­hu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.

 

 “Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh. Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, kemudian mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksi­kan seorang dara jelita yang masih re­maja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedang­kan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang. Dalam waktu beberapa me­nit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat keluar dari perahu besar terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu besar. Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang per­wira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Dan kini dara perkasa itu menga­muk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri.

 

 Akan tetapi di sebelah belakang pe­rahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dam­pit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali, dan Maya segera teringat akan cerita suhengnya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu, perwira pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepa­sang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya. Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi, Si Dampit itu, lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!

 

 “Tawan dan bawa dia ke sini!” Ter­dengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.

 

  Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya. Apalagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya, ma­ka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.

 

 “Wuuuuttt.... tranggg....!”

 

 Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun, manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sin-kangnya, akan tetapi juga amat lihai gin-kangnya.

 

 “Lepaskan dia....!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi. Se­lama berada di Pulau Es, dia dan sumoi­nya paling tekun mempelajari ilmu pe­dang dan ilmu pedang yang mereka latih baersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru slnar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan la­wan, apalagi kini ia mendesak dari jarak dekat! Sepasang manusia dampit itu tadi­nya memandang rendah dan mengandal­kan tiga buah tangan mereka, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Pang­lima Muda, untuk melawan Maya. Na­mun, sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedang­nya, amatlah hebat gerakannya, selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sin-kang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di anta­ra mereka yang kepalanya botak, ber­seru,

 

 “Gadis siluman!”

 

 Orang ke dua yang berambut riap­-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”

 

 Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya, membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat keluar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.

 

 Akan tetapi, Maya juga meloncat, ge­rakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran. “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang. Si Rambut Pan­jang yang berada di sebelah belakang, menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke.... air! Maya terkejut, me­ngira bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biarpun dia pandai bere­nang, namun kepandaiannya di air tidak­lah boleh diandalkan untuk melawan la­wan lihai seperti Si Dampit itu.

 

 Akan tetapi ternyata bahwa Si Dam­pit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang menga­pung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyam­bar, akan tetapi Si Dampit sudah me­lompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi gin-kangnya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.

 

 “Aduhhh....!” Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas. Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedang­nya, berjungkir balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang menyambar kelinci, sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan pera­hu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya  itu ke atas dek pe­rahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengero­yok, berkata,

 

 “Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyu­kur melhat pembantunya selamat, dan kagum bukan main, berkata, “Li-hiap.... harap memperkenalkan nama yang mu­lia....”

 

 “Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama dan dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya kebakaran dan pasukan musuh yang berloncatan itu ada yang meloncat ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, po­koknya mereka dapat lari dari dara per­kasa yang seperti setan itu!           

 

 Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung mem­buat Maya seperti seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengar­lah perintah menyuruh perahu-perahu kecil mundur!

 

 Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberon­tak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati, ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menye­lamatkan diri, ada yang terapung di pe­cahan-pecahan perahu.

 

 Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak, dengan wajah berseri, dadanya turun naik, napasnya agak mem­buru karena dia telah mengeluarkan ba­nyak tenaga. Baru sekarang terasa be­tapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golokp para pengeroyok yang tadi ketika ia mengamuk tidak dirasakannya.

 

 Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget, balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu saja tubuh­nya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi, tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam!

 

  

 

 ***

 

  

 

 Kita tinggalkan dulu Maya yang ter­ancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pe­kerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak kembarnya, Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan me­nyerbu Kerajaan Mongol. Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir isteri­nya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya. Kini ia mencurahkan seluruh kepandaian­nya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua ke­pandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah. dlcarl pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.

 

 Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya seperti itu sehingga tubuh Tang Hauw Lam kurus kering dan, wajahnya selalu muram dan pucat, bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal pendi­dikan. Bekas pendekar besar yang seka­rang seperti pohon layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya. telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanak­kanak dan perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka.

 

 Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah dia me­nurunkan ilmu pedang yang dahulu mem­buat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perem­puannya Ok Yan Hwa ini telah ia pela­jari dari kitab peninggalan Mutiara Hi­tam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa. Pada waktu yang sama, ia menye­rahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan Ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini mampu mengubah Ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan me­nurunkan ilmu pedang ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk memper­lengkap ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu ke­pada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperda­lam Pek-kong Kiam-sut.

 

 Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.

 

 Karena sikapnya yang tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral mu­rid-muridnya, dan di samping mengajar­kan ilmu silat, Tang Hauw Lam hanya selalu tekun besamadhi, bekas pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya. Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah dan menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan karena mereka hidup ter­asing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh, yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain de­ngan asmara!

 

 Barulah Tang Hauw Lam terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami isteri!

 

 “Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.

 

 Kedua orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarah­annya mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu me­nimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.

 

 “Ahhh.... dua orang muridku....? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali.... aku...., aku telah gagal mendidik kali­an....” Ia tak dapat melanjutkan kata­-katanya, dengan terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.

 

 Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut, beradu­nya pedang dan angin pukulan yangber­desir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau ber­latih, bukan seperti itu gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini, kedua pedang itu bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang ber­tempur mati-matian ia meloncat, tubuh­nya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini mem­buat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadl makin lemah.

 

 Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertan­ding mati-matian dengan pedang di ta­ngan. Sepasang pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam sa­ling melimpahkan kasih sayangnya satu sama lain? Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh kema­rahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mu­lai merayu dan memikat. Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-ma­sing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai, pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara mati­matian! Baru sekali ini. mereka bertan­ding sungguh-sungguh, dan anehnya, be­gitu kedua pedang mereka saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasar­an dan tidak akan merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih panas hatlnya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana harus menga­lahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap semua cinta kasih di antara me­reka, bahkan lenyap pula semua persoal­an saling menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya, lebih ampuh!

 

 Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati­-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang di saksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan ke­kecewaan. Juga dia terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding, melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepa­sang Pedang Iblis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!

 

 “Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertan­ding....!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya. Akan tetapi, seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya, setiap seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang murid­nya saling menyerang semakin dahsyat.

 

 “Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke depen dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu mem­buat gerakan salingmenusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengah­tengah antara mereka sambil mendorong­kan kedua tangannya ke kanan kiri.

 

 Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menge­luarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu!

 

 “Suhu....!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya menangis terisak-isak.

 

 “Suhu.... harap Suhu bunuh saja tee­cu....” Can Ji Kun meratap.

 

 “Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa....!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.

 

 Sepasang mata Tang Hauw Lam me­lotot memandang ke arah sepasang pe­dang di atas tanah. Pedang itu dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik me­nyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah bergerak seper­ti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu baglan mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang saling tarik!

 

 “Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk.... aaahhhh....!”

 

 “Suhu.... teecu berdosa....!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.

 

 “Suhu, bunuh saja teecu....!” Yan Hwa juga meratap lagi.

 

 Tang Hauw Lam menunduk, meman­dang kedua muridnya. Kemarahannya le­nyap dan kini ia tersenyum! “Tidak, kalian tidak sengaja.... dan.... dan terima kasih.... aku girang sekali.... akan dapat berjumpa dengan subo kalian.... akan te­tapi kalian.... ahh, hati-hatilah.... pedang-pedang itu terkutuk.... aaaahhhh!” Wajah yang berseri itu memucat, matanya me­mandang ke atas, lalu ia tersenyum le­bar, “Kwi Lan.... isteriku, engkau masih menunggu aku....? Ha-ha, tunggulah, ke­kasihku, aku datang....!” Tubuhnya terguling. Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah te­was, matanya terbuka mulutnya tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!

 

 “Suhu....!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk mayat suhunya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoinya.

 

 Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan dan dikuburkan di sebuah makam Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengu­bur jenazah Tang Hauw Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pe­dang masing-masing.

 

 “Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita, akan saling merindukan....” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoinya setelah ber­hari-hari ia membujuk dengan sia-sia.

 

 Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng. Sebaliknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung kedukaan.­

 

 “Sumoi, bukankah engkau cinta pada­ku seperti besarnya cintaku kepadamu?”

 

 Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusang­kal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau engkau su­dah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiamku (pedang pusakaku).”

 

 Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmu­ku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih lihai darimu!”

 

 “Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”

 

 Ji Kun bergidik, teringat betapa per­temuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguhpun hal itu tarjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan den mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan berdosa.

 

 “Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan menderita....”

 

 “Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah kau me­ngakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”

 

 “Gila....!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berpeda pendapat seperti itu bukan hanya sumoi­nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan terganggu apabila sumoinya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya.

 

 Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah telah kemasukan roh deri Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada wak­tu itu, kembali dunia kang-ouw kemasuk­an dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki seba­tang Pedang Iblis!

 

  

 

 ***

 

 Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain yang melakukan perjalanan seorang diri, meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suhengnya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan. Seperti juga sucinya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya. Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayah­nya, mendiang Panglima Khu Tek San yang gagah perkasa, bersama suhunya, Menteri Kam Liong yang sakti, melaku­kan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik sucinya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.

 

 Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai, ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang menyambutnya de­ngan heran melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri, “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka me­nukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”

 

 Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biarpun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.

 

 Siauw Bwee memilih seekor kuda ber­bulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.”

 

 Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee. “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan selalu me­rasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai me­nunggang kuda?”

 

 Nelayan itu jujur sekali tampaknya­ dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”

 

 Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biarpun hatiku amat me­nyesal karena tidak jadi mendapat ke­untungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”

 

 Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”

 

 “Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”

 

 Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersernyum manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andaikata aku sampai dilemparkan dan mati sekalipun.”

 

 “Nona....!” Beberapa mulut para ne­layan berseru mencegah.

 

 “Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwree berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya su­dah meloncat naik ke punggung kuda hi­tam besar itu. Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu melon­cat tinggi, melengkungkan punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh dan ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggung­yya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang menggoyang-goyang tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh un­tuk menggigit orang yang menduduki punggungnya. Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi, mereka melongo menyaksikan betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hen­dak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya, setiap kali menoleh ditampar dan dia mengerahkan sin-kangnya, menekan tubuhnya sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya masih tetap di atas punggung!

 

 “Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun dan kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirlk takut ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.

 

 “Hebat.... bukan main.... siapakah.... siapakah Nona....?” tanya nelayan itu, kini mukanya, seperti muka teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.

 

 “Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.

 

 Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas dapat berlari cepat dan tidak pernah mogok atau rewel, tidak berhenti sebelum ia hentikan, biarpun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat. Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak me­ngenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota raja Kerajaan Sung. Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar ma­kian nyaring dari atas!

 

 “Setan! Siluman! Keluarlah kalau me­mang kalian memiliki kegagahan dan la­wanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!”

 

 Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!

 

 Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Akhirnya Siauw Bwee yang mem­buka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum,

 

 “Sobat, kau sedang apa di situ? Me­ngapa terjala seperti ikan? Ataukah eng­kau memang seekor burung dalam ku­rungan?” Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun kurang lebih, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang yang jujur dan penuh keberanian.

 

 Mendengar ucapan yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membe­lalakkan mata saking marahnya. Tangan­nya keluar dari celah-celah jala menu­ding ke arah muka Siauw Bwee, mulut­nya terbuka lebar mengeluarkan kata-kata keras.

 

 “Eh, bocah, cilik nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku bukan harimau atau biruang yang boleh kaujeret seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku akan....”

 

 “Kau akan apa? Melepaskan diri sen­diri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!” Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biarpun engkau bukan harimau atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”

 

 “Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia kang-ouw se­hingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?”

 

 Siauw Bwee tidak membenci orang itu. Sebaliknya malah, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba teli­nganya mendengar gerakan banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.

 

 “Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu, siapa yang akan membebaskan aku? Aku.... aku ngeri melihat ke bawah....!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.

 

 Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong keheran­an memandang mereka. Mereka itu ter­diri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat ber­cagak yang mereka kempit di ketiak kanan. Biarpun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang tergantun di pohon, mereka bardiri tegak dengan sikap penuh wibawa.

 

 Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mu­lailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti perkembangan selanjutnya.

 

 “Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.

 

 Kakek itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemu­dian mpngangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggauta mereka yang terjerat. Akan tetapi karena dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap Suhu.”

 

 Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi!”

 

 “Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam persem­bunyiannya, Siauw Bwee menahan keta­wanya. Nah ketemu batunya kau, orang kasar, pikirnya.

 

 Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku akan dapat pergi!”

 

 Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku se­orang saja di sini, engkau si goblok ini mana bisa pergi, apalagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya mem­babat dan “brettt!” Tali yang menggan­tung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah. Akan tetapi, ternyata gin-kang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat, tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersung­kur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.

 

 “Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”

 

 Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”

 

 Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya keren. “Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut ber­sama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima kepu­tusan ketua kami.”

 

 Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?" bantah Hok Sun.

 

 "Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?"

 

 "Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!" bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar. Dari tempat persembunyiannya, Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Go-bi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.

 

 Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki gin-kang yang hebat. Biarpun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!

 

 "Hemm, manusia bandel!" Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan. Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya, dan sekaligus, kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jarijari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biarpun murid dari Go-bi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apalagi memang gerakan kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!

 

 "Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!" Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.

 

 Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula, dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga ingin dia lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh. Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit.

 

 Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula. Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andaikata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini!

 

 Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai dan sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.

 

 "Ohh...., tidak....! Mimpi burukkah aku....?" Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.

 

 Akan tetapi, adakah yang lebih aneh daripada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang! Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan! Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Adapun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggauta rombongan kaki buntung!

 

 Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!

 

 Pemimpin rombongan itu, kakek yang berjenggot dan memegang tongkat Si Kaki Buntung, menggunakan ujung tongkat itu mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian, terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang keluar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian, dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.

 

 Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jauh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacad itu yang mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.

 

 Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat keluar, menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur, suaranya penuh kebencian, keras dan dingin,

 

 "Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan dengan menawan seorang anggauta kami?"

 

 Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab, suaranya tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama, "Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacad orang tanpa melihat akan besarnya cacad sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak bertulang, kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggauta kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?"

 

 Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.

 

 "Tidak.... tidak.... Suci.... dan Suheng.... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!" Si Tawanan membantah.

 

 Kakek berlengan satu tertawa mengejek, "Hemm, mana ada maling mau mengaku?"

 

 Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa, "Menghadapi perkara, tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!"

 

 "Baik!" kata kakek lengan satu. "Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!" Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!

 

 Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu, akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan "pintu gerbang" saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah! Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat daripada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!

 

 Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong? Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali, lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang lihai ini. Tiba-tiba terdengar gerakan halus, Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya, akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali. Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata,

 

 "Apakah Locianpwe ketua dari kaum.... eh, kaki buntung ini?"

 

 Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, "Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung."

 

 "Maaf, Liong-locianpwe, kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa."

 

 "Tidak mempunyai kesalahan? Hemm.... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini, sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona."

 

 Siauw Bwee mengerutkan alisnya, "Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?"

 

 "Terpaksa, begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami."

 

 "Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm.... kurasa tidak akan begitu mudah."

 

 Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam, "Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Go-bi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung."

 

 "Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee."

 

 "Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda."

 

 "Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?"

 

 "Suhu, biarkan teecu menawannya!" kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, "Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda."

 

 Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. "Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biarpun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik, sebaliknya, hendaknya kauketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami."

 

 Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apalagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja."

 

 "Bocah sombong!" Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee. Cepat bukan main gerakan itu, akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangan menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.

 

 "Aihhh....!" Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee. Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat, maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kirinya menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.

 

 "Plakk!"

 

 "Aihhh....!" Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!

 

 Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa dan dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacad kaki mereka! Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biarpun dia agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sin-kang, pula dalam hal gin-kang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.

 

 "Hebat....! Luar biasa....! Sukar dipercaya!" Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee. Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, sucinya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan! Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran gin-kang yang istimewa, juga amat berbahaya maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.

 

 "Wuuuutttt!" Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit batu ruangan itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit, Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek

 

 "Ah, kasihan engkau, nenek cacad. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?"

 

 Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan, seperti itu.

 

 "Bocah sombong keparat!" Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya mengenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.

 

 "Jangan....!" Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali karena kalau seorang dara remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya! Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!

 

 "Aihhh....!" Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah. Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapapun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.

 

 Baru saja Siauw Bwee turun ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya, tanpa menggunakan tongkat dan dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia kalah pengalaman, apapula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh. Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sin-kangnya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini, kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.

 

 "Celaka....!" Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.

 

 Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sin-kang dan besamadhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya. Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sin-kang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki, keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati. Ketika berlatih sin-kang di Istana Pulau Es, suhengnya telah membikin rahasia ilmu "mematikan raga" yang luar biasa, maka kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini dan tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan detik pada nadi tangannya berhenti, tubuhnya seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!

 

 Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. "Aihh, celaka. Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah mencapai tingkat lebih tinggi daripada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat." Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka bersama pimpinan mereka.

 

 Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa "jenazahnya" keluar dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam. Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu dan terdengarlah gerengan menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor biruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang, bahkan Liong Ki Bok berkata,

 

 "Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri."

 

 Biruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan, bagaikan mengerti akan ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!

 

 "Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!"

 

 Biruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu, ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.

 

 Biruang itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu membalikkan tubuh memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan pengerahan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.

 

 "Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi. Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku lebih besar daripada ketika terpaksa membunuhmu." Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee.

 

 "Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...."

 

 Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala biruang sambil berkata, "Hek-mo, kaujagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah."

 

 Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya biruang itu bertugas menjaga ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak! Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip, akan tetapi hampir saja ia lupa bahwa dia telah "mati" dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah keluar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak dan mayat-mayat kering melihat seorang "mayat hidup", tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati seorang gadis remaja, biarpun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar menjadi pingsan!

 

 Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanakkanak melihat setan itu mengintai dari balik peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi makanan. Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja, akan tetapi, tiba-tiba ia mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari bawah. Agaknya jurus ini merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari, tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!

 

 Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!

 

 Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik. Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si Mayat Hidup, dia menjadi makin geli hatinya melihat betapa "mayat hidup" itu matanya melotot memandang kepadanya kedua kaki mayat hidup itu menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup! Terdorong oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara mengerikan, "He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik, enak diganyang jantungnya!"

 

 Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju.

 

 "Hiiiihh!" Kini "mayat hidup" itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.

 

 Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, kau tahu sekarang rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!" katanya. "Orang she Cia, mengapa engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?"

 

 Orang yang tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. "Aahhh..., sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!" katanya, suaranya besar dan agak parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.

 

 "Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup," Siauw Bwee berkata sambil tertawa geli.

 

 Orang itu meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. "Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?"

 

 Siauw Bwee menjebirkan bibirnya. "Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa berada di sini dan beraksi sebagai mayat?"

 

 Sejenak laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan menghela napas. "Sukar dipercaya.... akan tetapi.... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan dibawa ke sini?"

 

 "Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan napas dan nemindahkan denyut perjalanan darah."

 

 Mata orang itu terbelalak. "Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?"

 

 "Jangan terlalu memuji, Sobat." Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa "senasib". "Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan berpura-pura mati."

 

 "Aku lain lagi. Aku memang hampir mati ketika dibawa ke sini.... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?"

 

 Siauw Bwee maklum bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan penyelidikan sendiri. "Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap melanggar wilayah mereka."

 

 Orang itu mengangguk-angguk. "Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya. Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung yang saling bermusuhan."

 

 "Akan tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.

 

 "Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!"

 

 Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. "Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?"

 

 Orang itu mengangguk. "Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau lengannya."

 

 "Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?"

 

 "Memang banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam guha-guha batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan itu. Adapun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka."

 

 Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. "Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung.

 

 Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?"

 

 "Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini."

 

 "Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?"

 

 Cia Cen Thok menghela napas panjang. "Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi, karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat."

 

 Siauw Bwee mengangguk-angguk. "Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh."

 

 "Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan buntung, untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini."

 

 "Tiga tahun?" Siauw Bwee bergidik.

 

 "Ya, tiga tahun kurang lebih."

 

 "Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!"

 

 Cia Cen Thok memandang kagum. "Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biarpun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri."

 

 "Berapakah jumlah mereka?"

 

 "Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang."

 

 "Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Huieng Liem Hok Sun itu."

 

 "Apamukah dia itu, Nona?"

 

 "Hemm.... bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar, juga dia murid Go-bi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini."

 

 "Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kaulakukan ini."

 

 Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan biruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,

 

 "Nona, kaupergunakan pedang ini. Mari kita menerjang keluar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!" Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. "Dia.... eh, dia.... siapa ini....?"

 

 "Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?"

 

 Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa, "Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang keluar sebelum terlambat!"

 

 Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk mengerti. "Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!"

 

 "Eh, kau mengenal aku?"

 

 "Aku yang memberitahukan namamu kepadanya," kata Siauw Bwee.

 

 "Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri...., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari keluar?"

 

 Cia Cen Thok mengangguk. "Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan."

 

 Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat biruang itu sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap biruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia diam saja dan terus berlari keluar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.

 

 Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat keluar empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.

 

 Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga sin-kang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.

 

 "Trakk!" Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian, pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.

 

 "Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!" Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!

 

 "Hayo cepat keluar!" Siauw Bwee berkata dan kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos keluar dari lubang kecil yang merupakan "pintu kamar" bangunan setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.

 

 Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia Cen Thok, biarpun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang, gin-kang, maupun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka. Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini mernang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sin-kang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan didesak hebat. Adapun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat sungguhpun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.

 

 Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.

 

 "Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!" teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan. Hok Sun bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini, mereka berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.

 

 "Awas....!" Siauw Bwee berbisik, "aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka....!"

 

 "Ahhh, mana bisa....?" Hok Sun menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda itu bicara nyaring, "Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para ...."

 

 Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan pinggul.

 

 "Auhhh....! Apakah pinggulmu dari baja, Nona?" Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam daribelakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.

 

 "Aihhh....!" Hok Sun terhuyung akan tetapi hantaman tongkat itu luput. "Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan ataukah lawan?"

 

 "Bodoh!" Siauw Bwee berbisik gemas. "Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!" Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan tenaga yang hebat bukan main. Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri, diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee. Setelah Si Dogol itu terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar pedangnya dan dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali. Tentu Si Dogol itu masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.

 

 Siauw Bwee tersenyum geli dan hatinya lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan diri, menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam tak bergerak. Tentu saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati melihat dan mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar mayat, kini tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk! Ketika melihat Siauw Bwee, mereka tidak begitu kaget dan heran karena mereka segera mengerti bahwa dara perkasa itu sebetulnya belum mati ketika tadi dimasukkan ke kamar jenazah. Akan tetapi berbeda lagi dengan Cia Cen Thok yang sudah tiga tahun menjadi mayat, dan dahulu mereka ikut pula mengeroyok dan membunuh orang ini. Dan pakaian Cia Cen Thok yang hanya merupakan cawat itu menambah keseraman.

 

 Setelah melihat dua orang itu jauh dan lenyap bayangannya, Siauw Bwee tertawa nyaring, pedangnya dilempar ke atas tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan selagi semua orang berdongak dan mengikuti gerakan luar biasa itu, tubuh Siauw Bwee telah lari jauh dan dia menyusul ke arah larinya Hok Sun dan Cia Cen Thok. Orang-orang berkaki buntung mengejar cepat, namun mereka itu bukanlah tandingan Siauw Bwee dalam hal ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja tubuh dan bayangan Siauw Bwee telah lenyap dari pandang mata mereka. Tak lama kemudian Siauw Bwee telah dapat mengejar Hok Sun dan Cen Thok. Dia heran melihat dua orang itu berhenti dan kelihatan bingung.

 

 "Kenapa kalian berhenti di sini?"

 

 Siauw Bwee menegur.

 

 "Wah, celaka, Li-hiap!" Kini Hok Sun yang amat kagum akan kelihaian Siauw Bwee tidak segan-segan menyebut lihiap (pendekar wanita), "Semua jalan keluar sudah dihadang setan-setan buntung itu!"

 

 Siauw Bwee memandang kepada Cen Thok dan bekas mayat hidup ini mengangguk.

 

 "Memang benar, Li-hiap. Jalan menuju ke tempat tinggal kaum dengan buntung sudah dihadang semua dan penuh perangkap dan jerat yang dipasang mereka. Satu-satunya jalan hanya melalui rawa, daerah yang dianggap berbahaya dan tidak pernah ada yang berani melalui tempat itu. Aku sendiri sama sekali tidak mengenal daerah itu, Li-hiap." Ucapan terakhir ini seolah-olah minta keputusan dan nasihat Siauw Bwee yang biarpun paling muda namun mereka anggap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukan dan tingkatnya daripada mereka.

 

 "Kalau begitu, kita melalui rawa!" kata Siauw Bwee dengan suara tetap,"Bagaimanapun juga, kita harus dapat keluar dari daerah berbahaya ini!"

 

 "Baik, kalau begitu marilah ikut bersamaku!" Cen Thok berkata dan mendahului lari. Hok Sun dan Siauw Bwee juga meloncat dan lari mengikuti orang bercawat itu. Tak lama kemudian mereka tibalah di daerah yang penuh rawa, daerah luas dan mati.

 

 "Ke mana jalannya?" tanya Siauw Bwee, agak ngeri juga menyaksikan daerah luas dan mati, rawa yang seolah-olah tanpa tepi sehingga amat mengerikan keadaannya.

 

 "Aku sendiri pun tidak tahu, Li-hiap. Kita harus mencari jalan, akan tetapi hati-hatilah. Rawa ini kabarnya berbahaya sekali, banyak terdapat bagian-bagian yang pada permukaannya kelihatan rumput dan tanah, akan tetapi di bawahnya adalah lumpur yang menyedot dan adakalanya air amat dalam."

 

 Siauw Bwee yang mengandalkan gin-kangnya segera mengambil keputusan, "Biarlah aku mencari jalan. Dengan keringanan tubuh, kiranya aku tidak akan terancam bahaya." Tanpa menanti jawaban ia lalu mulai menyeberangi rawa, memilih bagian yang cukup tebal dan kuat. Kalau kakinya salah injak bagian yang tipis, sebelum ia terjeblos ia sudah dapat meloncat lagi. Melihat ini, dua orang itu selain merasa kagum juga ngeri karena kalau kurang tinggi ilmu gin-kangnya, tentu sekali terjeblos akan berarti bahaya maut!

 

 Matahari telah condong ke barat dan mereka masih belum menemukan jalan keluar dari daerah itu karena jalan penyeberangan rawa yang mereka tempuh membelak-belok harus memilih bagian yang aman. Tiba-tiba Hok Sun berteriak, "Aihh, apa itu....?"

 

 Dua orang temannya menengok dan berdongak memandang ke atas, arah yang ditunjuk oleh Hok Sun. Tampak awan hitam memenuhi udara, akan tetapi jelas bukan awan yang bergerak terbawa angin karena gerakan awan itu cepat sekali.

 

 "Burung-burung....!" Siauw Bwee berseru ngeri karena belum pernah ia melihat burung-burung terbang berkelompok sebanyak itu sehingga merupakan awan hitam yang bergerak cepat.

 

 "Eh, dia ke sini....!" Cen Thok berseru kaget.

 

 "Mereka meluncur turun....!" Hok Sun berteriak pula.

 

 Benar saja. Sekumpulan burung itu seolah-olah menerima pertanda rahasia dan mereka kini meluncur turun ke arah tiga orang ini dan segera mereka diserang oleh ratusan ekor burung elang!

 

 Di tengah rawa yang amat berbahaya itu tiga orang ini menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ribuan ekor burung. Hok Sun menggerak-gerakkan kedua tangannya menangkis dan menghantam burung-burung yang menyerangnya. Juga Cen Thok sibuk membela diri dan membunuhi burung-burung yang tak terhitung banyaknya. Namun mereka ini kewalahan, bingung dan panik, apalagi setelah kulit-kulit tangan mereka mulai berdarah oleh patukan-patukan burung yang kuat itu. Mereka bertanding melawan keroyokan burung-burung sambil berteriak-teriak dan tak lama kemudian Siauw Bwee terpisah dari mereka. Dara perkasa ini pun repot menghadapi pengeroyokan binatang-binatang yang kelihatannya marah, haus darah dan buas itu, sampokan-sampokan kedua tangan dara ini sekaligus membunuhi banyak burung, akan tetapi binatang-binatang itu sungguh ganas. Mati lima datang sepuluh, mati sepuluh datang dua puluh.

 

 ***

 

 Kepanikan menyerang hati Siauw Bwee. Dia merasa jijik dan ngeri sekali karena para pengeroyoknya ini seperti bukan burung-burung biasa, begitu nekat dan agaknya mereka kelaparan semua. Bajunya mulai robekrobek, bahkan pundak dan kedua lengannya mulai berdarah. Serangan datangnya seperti hujan, sukar untuk dihindarkan semua. Dia tidak lagi dapat memperhatikan dua orang temannya dan teriakan-teriakan mereka sudah tidak terdengar lagi karena mereka saling berpisah makin jauh setelah Siauw Bwee mulai berloncatan untuk menghindarkan burung-burung itu. Dia menggunakan gin-kangnya, meloncat tinggi dan jauh dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi burung-burung itu tetap mengejarnya. Sampai jauh Siauw Bwee melawan sambil berloncatan menjauhi dan kemarahannya timbul sehingga ketika dia menggerakkan kedua tangan, makin banyaklah burung-burung itu menjadi bangkai, memenuhi rawa.

 

 Entah berapa jam lamanya Siauw Bwee bertanding melawan burung-burung itu, akan tetapi kini matahari sudah makin doyong ke barat dan sinarnya mulai menyuram. Entah berapa ratus ekor burung telah dibunuhnya. Kepalanya menjadi pening oleh suara burung yang menjerit-jerit sambil menyerang, pandang matanya berkunang oleh bayangan burung-burung yang tiada hentinya menyambar di depan mukanya. Dia mulai lelah, kepalanya pening dan patukan burung mulai banyak mengenai kulit lengannya. Celaka, pikirnya, tidak pernah mengira bahwa dia akan tewas oleh pengeroyokan burung-burung. Betapa memalukan dan menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan burung-burung!

 

 Tiba-tiba di antara suara mencicitnya burung yang memekakkan telinga, terdengar suara manusia! Lirih saja, akan tetapi amatlah jelas seolah-olah ada yang berbisik di dekat telinganya.

 

 "Sungguh keberanian dan kenekatan yang bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung? Kalau berlindung ke air bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah daripada melawan dengan nekat?"

 

 Siauw Bwee terkejut. Tidak, dia bukan sedang mimpi, juga tidak mendengar suara setan rawa! Dia mendengar suara manusia, seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang menolongnya dengan nasihat itu. Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat jauh menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit yang hanya dapat dilakukan dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat! Suhengnya dapat melakukan hal itu, dan dia pun kalau mau melatih diri, menggabungkan sin-kang dengan khi-kang, tentu akan dapat melakukannya pula. Suhengnya! Jantung Siauw Bwee berdebar. Suhengnyakah orang itu? Ah, tidak mungkin. Suhengnya selalu bicara dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan suara orang itu sama sekali tidak halus dan ramah, bahkan setengah memakinya bodoh dan kalah cerdik oleh burung! Siapa pun adanya orang itu, jelas bahwa nasihatnya patut diperhatikan. Maka ia lalu mencari bagian rawa yang penuh alang-alang dan yang airnya agak dalam, kemudian setelah menggerakkan kedua tangannya membunuh burung-burung yang menyerangnya, ia lalu menjatuhkan diri ke dalam air rawa, menyembunyikan tubuhnya sampai ke atas mulut ke dalam air di bawah alang-alang. Hidungnya mencium bau busuk alang-alang yang membusuk, membuatnya muak, akan tetapi ia tahankan. Benar saja, burung-burung itu hanya beterbangan di atas alang-alang, tidak ada lagi yang menyerangnya.

 

 Siauw Bwee merasa lega dan berterima kasih. Akan tetapi burung-burung itu tetap saja beterbangan di atas alang-alang, agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan siap menyerang. Burung sialan, ia memaki. Merendam diri di dalam air lumpur kotor itu sungguh bukan hal yang menyenangkan, apalagi baunya amat tidak enak dan tubuhnya mulai merasa gatal-gatal.

 

 Dua jam kemudian, setelah matahari makin turun ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak ada tenaganya lagi, setelah Siauw Bwee hampir tidak kuat bertahan dan ingin mengamuk lagi, tiba-tiba burung-burung itu terbang pergi meninggalkan Siauw Bwee dan meninggalkan rawa yang banyak bangkai burungnya.

 

 Siauw Bwee meloncat dan keluar dari dalam air. Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya mengkirik, menggigil dengan jijik dan geli ketika ia melihat bahwa puluhan ekor lintah telah menempel di tubuhnya dan menggigit, menghisap darahnya tanpa ia rasakan tadi! Dengan bulu tengkuk berdiri dan mengkirik ia sibuk mencabuti dan meremas serta membanting lintah-lintah itu sehingga darah binatang-binatang itu berceceran ke mana-mana. Bukan darah binatang-binatang itu melainkan darahnya yang telah dihisap mereka! Siauw Bwee sampai hampir menelanjangi tubuhnya sendiri karena lintah-lintah itu ada yang menyelinap memasuki baju dan celananya, menggigit dan menghisap darah tanpa memilih tempat.

 

 "Setan! Bedebah! Kurang ajar!" Siauw Bwee memaki-maki dan membunuhi lintah-lintah itu, dan setelah memeriksa semua tubuh dan pakaiannya, barulah ia memakai kembali pakaiannya. Sementara itu, matahari telah tenggelam dan ketika Siauw Bwee memandang ke sekeliling, dia tidak melihat lagi adanya dua orang temannya tadi, juga tidak dapat menduga ke mana larinya mereka yang tadi ketakutan dikeroyok burung.

 

 Siauw Bwee mulai melangkah lagi melanjutkan usahanya keluar dari tempat itu. Dia tidak lagi dapat mencari kedua orang temannya, maka dia pun kini harus mengingat keadaannya sendiri. Dia harus dapat keluar dari daerah rawa yang amat luas ini. Dia mulai mencari-cari, akan tetapi tetap saja tidak dapat keluar, bahkan beberapa kali ia lewat lagi di tempat di mana dia dikeroyok burung karena di situ terdapat banyak bangkai burung berserakan di atas rawa!

 

 "Tempat celaka! Neraka dunia!" Ia mengomel karena kini malam sudah mulai tiba, cuaca mulai gelap. Tiba-tiba terdengar suara air berkecipakan. Dia memandang ke depan dan bukan main kagetnya ketika melihat serombongan ular berenang menyeberangi rawa menuju ke arah dia berdiri! Ular-ular yang besar kecil beraneka warna, ada yang putih, hijau, coklat, hitam dan merah! Kembali bulu tengkuk Siauw Bwee berdiri. Teringatlah ia akan ular-ular merah di bawah Istana Pulau Es. Tak jauh dari tempat ia berdiri terdapat sebatang pohon yang sudah tumbang tengahnya, tinggal merupakan tonggak, akan tetapi tingginya masih ada dua meter. Cepat Siauw Bwee mengayun tubuh meloncat ke atas tonggak itu, berdiri tegak dan memandang ke bawah. Betapa ngeri hatinya ketika ia melihat ular-ular itu mulai berebut, memperebutkan bangkai-bangkai burung. Bangkai-bangkai burung yang terapung di atas air itu mereka serang, moncong-moncong ular dibuka lebar dan bangkai-bangkai dicaploki dan ditelan berikut bulu-bulunya sehingga tak lama kemudian beratus buah bangkai burung itu telah habis, pindah ke dalam perut ular-ular yang kini menggembung. Pemandangan ini amat mengerikan hati Siauw Bwee sehingga tonggak yang ia injak bergoyang-goyang, tanda bahwa kakinya menggigil terbawa oleh hati yang ngeri. Baiknya dara perkasa ini sudah memiliki gin-kang yang luar biasa, kalau tidak, ada bahayanya ia terguling jatuh dan dikeroyok ular saking ngerinya.

 

 Malam telah tiba dan keadaan gelap sekali. Selagi Siauw Bwee kebingungan karena tidak mungkin kini ia berdiri terus semalam suntuk di atas tonggak, juga tidak mungkin dia meloncat turun tanpa mengetahui lebih dulu apakah ular-ular itu tidak berada di situ, tiba-tiba tampak olehnya sinar terang dari jauh. Dari atas tonggak itu ia dapat menduga bahwa sinar itu adalah obor-obor yang dipegang orang. Karena rawa itu luas dan sinar obor-obor yang bersatu itu cukup terang, maka sebagian sinarnya dapat mencapai tempat Siauw Bwee. Giranglah hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa ular-ular yang sudah kekenyangan itu kini merayap pergi, agaknya takut akan sinar obor.

 

 Dengan bantuan sinar yang datang dari obor-obor itu, Siauw Bwee dapat meloncat turun ke tempat yang tidak ada ularnya, kemudian mulailah ia berlari dengan hati-hati menuju ke arah orang-orang yang membawa obor. Tadinya ia mengira bahwa kedua orang temannya yang membawa obor itu, akan tetapi kini tampak olehnya bahwa yang membawa obor adalah tiga orang, jadi jelas bukan dua orang temannya itu. Tiga orang itu membawa enam buah obor, masing-masing dua buah yang disatukan di satu tangan. Apakah orang-orang berkaki buntung yang masih berusaha mengejar dan mencarinya? Siauw Bwee menggigit bibirnya dengan gemas. Aku telah menderita karena mereka, pikirnya. Dikeroyok burung, hampir dikeroyok ular dan benar-benar telah dikeroyok lintah! Dan merendam tubuhnya di air kotor berbau! Kalau dia bukan bekas penghuni Pulau Es, tentu sekarang telah menderita kedinginan luar biasa pula! Biarlah, mereka hanya bertiga, mungkin pimpinan mereka dan sekali ini aku akan membikin mereka tahu rasa!

 

 Dengan hati gemas dan marah Siauw Bwee mempercepat larinya, berloncatan menghampiri tiga orang yang membawa obor itu dan setelah dekat ia tercengang karena tiga orang itu tidak memakai tongkat dan kini tampak jelaslah bahwa mereka bukan tiga orang berkaki buntung, melainkan tiga orang berlengan buntung sebelah! Kiranya mereka itu adalah tiga orang dari kaum lengan buntung! Hati Siauw Bwee tertarik sekali dan juga girang. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk keluar dari daerah rawa yang berbahaya itu! Diam-diam ia membayangi mereka dan benarlah dugaannya, tiga orang berlengan kiri buntung itu membawanya keluar dari daerah rawa dan memasuki sebuah hutan yang tandus.

 

 Karena keadaan gelap dan penerangan obor itu tidaklah cukup menerangi daerah sekitarnya, maka Siauw Bwee tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh sehingga dapat keluar dari daerah rawa, akan tetapi ternyata untuk keluar dari daerah rawa itu mereka telah menghabiskan waktu semalam suntuk!

 

 Mereka telah memadamkan obor dan membuangnya karena malam telah terganti pagi ketika tiga orang itu berjalan cepat sekali menuju ke sebuah pondok bambu yang berdiri di tengah hutan tandus. Gerak kaki mereka ketika berlari itu cepat bukan main dan diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Gerakan orang-orang berlengan kiri buntung itu ternyata amat hebat dan dalam hal berlari cepat, jelas bahwa orang-orang berkaki buntung bukanlah lawan mereka ini! Dia sendiri harus mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat-cepat untuk dapat membayangi mereka dan tidak tertinggal.

 

 Ketika tiga orang itu mengampiri pondok, Siauw Bwee menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai. Pakaiannya sudah kering kembali, akan tetapi robek-robek di bagian lutut, paha, betis dan lengan kanan kiri. Burung-burung sialan, ia memaki. Bekal pakaiannya masih tertinggal di atas punggung kuda hitamnya yang sekarang entah bagaimana nasibnya.

 

 Siauw Bwee memandang heran ketika melihat seorang laki-laki tua renta dan bertubuh kurus kering duduk di atas bangku bambu depan pondok itu. Laki-laki itu keadaannya amat menyedihkan. Kedua kakinya buntung sebatas paha, lengan kirinya juga buntung seperti tiga orang pendatang itu dan yang tinggal hanyalah lengan kanannya yang kurus dan yang memegang sebatang tongkat seperti milik para anggauta kaum kaki buntung. Siauw Bwee memandang heran dan menduga. Termasuk golongan manakah kakek itu? Lengan kirinya buntung seperti tiga orang pendatang itu, akan tetapi belum tentu dia merupakan anggauta kaum lengan buntung karena kakinya juga buntung, tidak hanya kaki kanan, bahkan kedua-duanya! Dan kakek itu duduk tanpa kaki seperti orang sedang bersila, tangan kanan memegang tongkat yang melintang di depannya, lengan baju kiri tergantung lepas tanpa isi, kedua matanya terpejam seolah-olah dia tidak tahu akan kedatangan tiga orang itu.

 

 Siauw Bwee mengalihkan pandangnya. Di antara tiga orang lengan buntung ini, tidak seorang pun pernah dilihatnya di antara mereka yang dulu pernah dilihatnya ketika lima orang lengan buntung membawa tawanan seorang kaki buntung. Yang seorang adalah seorang nenek yang mukanya masam dan kelihatan galak. Yang ke dua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, lebih muda daripada Si Nenek, sikapnya gagah dan agaknya dia yang memimpin rombongan tiga orang itu. Orang ke tiga adalah seorang laki-laki bermuka tampan akan tetapi membayangkan kesombongan. Ketiganya kini berdiri di depan kakek tua renta itu, kemudian terdengarlah laki-laki tinggi tegap yang memimpin rombongan itu berkata,

 

 "Twa-supek, kami diperintah oleh Suhu untuk memperingatkan Supek yang terakhir kalinya agar supek suka memberitahukan rahasia gerak tangan kilat kaum kaki buntung!" Biarpun laki-laki itu menyebut twa-supek (uwa guru tertua), namun nada suaranya amat tidak menghormat, bahkan mengandung ancaman dan kekerasan.

 

 Kakek itu membuka matanya dan terkejutlah Siauw Bwee menyaksikan betapa sinar mata kakek tua renta itu mengandung penderitaan seperti mata orang yang sakit berat! Kemudian terdengar kakek itu berkata lirih, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi mencampuri permusuhan terkutuk itu! Pergilah kalian!"

 

 "Twa-supek! Kalau begitu benar keterangan para penyelidik bahwa supek menerima kedatangan orang-orang berkaki buntung, tentu supek telah membuka rahasia ilmu kami!"

 

 "Benar, mereka datang pula ke sini membujuk akan tetapi aku tidak sudi pula membantu mereka. Seperti juga kaum lengan buntung, kaum kaki buntung adalah anak muridku pula. Betapa aku sudi membantu mereka yang saling bermusuhan sendiri?"

 

 "Twa-supek! Kiranya sampai sekarang, setelah menerima kutukan dari roh para nenek moyang, Twa-supek masih saja mengkhianati sumpah...."

 

 "Sudahlah, tutup mulutmu!" Kakek itu membentak.

 

 Orang itu melotot marah. "Orang tua, biarpun engkau terhitung supek sendiri, akan tetapi engkau telah hampir mati, hanya mempunyai sebuah lengan saja. Kalau kami turun tangan, apakah kau sanggup melawan kami?"

 

 Kakek itu menundukkan kepalanya. "Hanya kesesatan itu yang belum kalian lakukan, kalau kalian hendak membunuhku, silakan!"

 

 Siauw Bwee terkejut ketika mendengar suara kakek itu. Teringatlah ia akan suara yang dikirim dengan ilmu Coan-im-jip-bit dan yang telah menolongnya dari serangan burung-burung liar. Kini mendengar ancaman laki-laki lengan buntung, Siauw Bwee tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat sekali, tahu-tahu telah berdiri di depan laki-laki tinggi tegap yang menyerang kakek itu dengan kata-kata keras tadi.

 

 "Engkau manusia yang tak tahu aturan!" Siauw Bwee tidak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk pulih kembali dari rasa kaget mereka melihat munculnya seorang dara yang gerakannya seperti burung walet. "Tidak menghormati supek sendiri, dan tidak menghiraukan alasan-alasan yang begitu bijaksana, melainkan bersikap seperti tiga ekor kerbau gila yang hanya bertindak karena dorongan nafsu bermusuhan dan haus darah! Kalian hendak membunuh Locianpwe ini? Hi-hik, bicara sih mudah! Baru melawan aku saja kalian sudah takkan bisa menang, apalagi melawan Locianpwe ini!"

 

 Tiba-tiba muncul seorang dara jelita yang masih remaja dan datang-datang memaki-makinya membuat laki-laki tinggi tegap bertangan satu itu tercengang dan sejenak tak dapat berkata-kata. Akan tetapi kemudian timbul kemarahannya. Dia tadi hanya mengancam saja dan sama sekali bukan bermaksud menyerang apalagi membunuh kakek itu. Karena ancamannya itu kini disaksikan orang luar, tentu saja hal ini amat memalukan dan merendahkan dirinya, maka dia amat marah.

 

 "Bocah siluman dari mana berani mencampuri urusan kami!" bentaknya.

 

 "Bocah dari mana tak perlu kau tahu. Pendeknya, lekas kau mentaati petintah Locianpwe inl untuk segera angkat kaki dari tempat ini, kalau tidak, jangan sesalkan aku menggunakan kekerasan mengusir kalian bertiga!"

 

 Ucapan ini tekebur sekali dan tentu saja murid kepala kaum lengan buntung itu saking marahnya sampai memandang dengan mata mendelik. "Bocah kurang ajar! Engkau ada hubungan apakah degan kakek itu?"

 

 "Bukan sanak bukan teman, akan tetapi aku akan melindunginya dari keganasan kalian!"

 

 "Hemm, kulihat engkau masih amat muda, masih bocah. Ingat lebih baik jangan mencampuri urusan kaum lengan buntng kalau kau sayang nyawamu."

 

 "Tentu saja aku sayang nyawaku, akan tetapi aku siap membelanya dengan nyawaku karena aku yakin nyawaku tidak akan apa-apa kalau hanya melawan orang-orang kejam macam kalian!"

 

 "Keparat!" Laki-laki itu tak dapat menahan kesabarannya lagi dan ia sudah menerjang dengan sambaran lengan baju kirinya ke arah muka Siauw Bwee, dan tangan kanannya sudah cepat mengirim susulan dengan tonjokan ke arah leher! Cepat sekali gerakannya ini, namun terlalu lambat bagi Siauw Bwee yang sudah dapat mengelak dengan jalan menarik muka ke belakang kemudian menggerakkan tangan kiri menangkis tangan kanan yang memukul.

 

 "Plakk!" Tubuh Laki-laki itu hampir terjengkang ke belakang sehingga ia mengeluarkan seruan kaget dan heran. Siauw Bwee tidak peduli dan sudah menerjang maju dengan tamparan kedua tangannya susul-menyusul. Akan tetapi kini dara ini yang merasa kaget karena tubuh laki-laki itu dengan amat indah dan cepatnya sudah bergerak dan semua tamparannya luput! Kiranya laki-laki itu mempunyai gerak langkah yang amat luar biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan cepatnya! Siauw Bwee makin terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara cepat ia dapat menghindar. Namun, dengan langkah-langkah yang aneh dan berputar, laki-laki itu telah berada di belakangnya dan lengannya mencengkeram kepala disusul tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau bunting saking kuatnya!

 

 "Ayaaaa....! Siauw Bwee berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali kemudian dari atas, ketika tubuhnya meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong. Laki-laki itu kagum sekali menyaksikan gin-kang yang begitu sempurna, akan tetapi ia juga girang karena kalau tubuh itu turun ia akan dapat menyambut dengan serangan dahsyat. Siapa kira, dari telapak kedua tangan dara itu menyambar hawa yang kuat dan ketika ia berusaha menangkis, hawa dingin yang luar biasa membuat tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.

 

 "Aihhh....!" Laki-laki itu berseru keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah menerjang maju mengeroyok Siauw Bwee.

 

 "Bagus, majulah semua kalian orang-orang tak tahu malu!" Siauw Bwee mengejek, akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh orang-orang itu benar-benar merupakan lawan amat berat! Tingkat sin-kang dan gin-kang mereka tidaklah seberapa hebat, akan tetapi dia dibikin bingung oleh gerak langkah mereka yang amat luar biasa itu. Teringatlah ia akan penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan buntung ini telah mencipta semacam ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini dia terdesak terus. Sungguhpun dengan ilmu silatnya yang tinggi, sin-kangnya yang kuat dan gin-kangnya yang sempurna dia dapat selalu mengelak atau menangkis namun dia tidak diberi kesempatan membalas sama sekali. Terkejutlah dara perkasa itu karena mendapat kenyataan bahwa kaum lengan buntung ini benar-benar memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki kaum kaki buntung dengan gerak tangan kilat mereka!

 

 Tiba-tiba terdengar kelepak sayap yang riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap tertutup bayangan dari atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke atas dan seketika wajah mereka menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap itu ternyata bukanlah sayap melainkan suara cecowetan separti suara kera yang banyak sekali dan dari mulut tiga orang lengan buntung itu terdengar jerit ketakutan.

 

 "Celaka....! Kelelawar siang!"

 

 Siauw Bwee menjadi heran sekali melihat tiga orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala mereka dengan tubuh menggigil ketakutan. Dia mendongak dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir menjerit. Yang disebut kelelawar siang itu memang sesungguhnya kelelawar, akan tetapi banyaknya bukan main, sama banyaknya dengan burung-burung yang menyerangnya kemarin! Dan yang hebat, kelelawar-kelelawar itu agaknya berbeda dengan kelelawar biasa, tidak takut sinar matahari dan tubuh mereka hitam seperti arang! Biarpun merasa ngeri sekali, akan tetapi Siauw Bwee tidak mau bersikap penakut seperti tiga orang bekas lawan itu, maka ia masih berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan.

 

 "Nona, lekas berlutut, serendah mungkin. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyerang lebih tinggi dari satu meter di atas tanah, dan gigitannya seekor saja cukup membuat manusia menjadi gila!"

 

 Mendengar suara lirih di dekat telinganya yang sama dengan suara ketika dia dikeroyok burung, Siauw Bwee terkejut. Pada saat itu beberapa ekor kelelawar sudah menyambar turun mengarah kepalanya! Menjadi gila kalau digigit? Dia makin ngeri dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan tiga orang lengan buntung, hanya dia tidak menutup kepalanya melainkan memandang ke atas penuh perhatian.

 

 Tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan melihat bahwa suara itu keluar dari mulut Si Kakek Tua, suara yang dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang yant tinggi. Aneh sekali, ketika terdengar suara melengking tinggi penuh getaran ini, kelelawar-kelelawar itu menjadi kacau-balau terbangnya, menabrak sana sini dan kelihatan panik. Akan tetapi, sebelum suara itu cukup kuat untuk mengusir semua kelelawar, suara itu makin melemah dan Siauw Bwee melihat kakek itu terengah-engah kehabisan tenaga.

 

 Siauw Bwee adalah seorang dara yang cerdik. Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan lengkingan itu adalah cara untuk mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan bahwa pada saat itu Si Kakek yang lihai sedang menderita sakit maka pengerahan sin-kang yang kuat membuatnya kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengerahkan sin-kang dan keluarlah suara melengking tinggi dengan getaran kuat dari dalam dada Siauw Bwee. Dia hampir menari kegirangan ketika melihat hasil tiruannya. Binatang-binatang itu menjadi makin panik dan kacau, beterbangan membubung setinggi mungkin, agaknya untuk menghindari getaran lengkingan maut itu dan tak lama kemudian mereka sudah terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata. Barulah Siauw Bwee menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang tiga orang lengan buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.

 

 "Mau dilanjutkan?" Siauw Bwee menantang berani.

 

 "Kalian bertiga tidak lekas pergi? Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!" kata Si Kakek Tua.

 

 Tiga orang itu sudah melihat bukti kelihaian Siauw Bwee. Selain merasa gentar, juga mereka tahu bahwa. berkat pertolongan gadis itulah maka mereka lolos dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, maka tanpa berkata-kata mereka lalu berlari pergi.

 

 Siauw Bwee membalikkan tubuh memandang kakek tua itu. "Locianpwe, kau sedang menderita sakit."

 

 Kakek itu mengangguk, tersenyum dan lengan tunggalnya melambai. "Ke sinilah, anak baik. Siapa namamu?"

 

 "Nama saya Khu Siauw Bwee, Locianpwe."

 

 "Ha-ha-ha, jangan menyebut locianpwe. Kepandaianmu lebih hebat daripada sedikit ilmu yang kumiliki. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara semuda engkau telah memiliki sin-kang yang sedemikian hebat. Siapakah gurumu?"

 

 Siauw Bwee sudah mendapat pesan suhengnya bahwa mereka bertiga tidak boleh menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, sesuai dengan pesan kakek manusia dewa itu. Maka dia menjawab menyimpang, "Guruku tidak boleh disebut namanya, aku hanya belajar dari suhengku yang bernama Kam Han Ki. Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi bangga dan sombong."

 

 Kembali kakek itu tertawa. "Engkau benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga rendah hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum mengenal aku akan tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku mati-matian."

 

 Siauw Bwee tertawa manis dan dia berkata,

 

 "Aihhh, Locianpwe membikin aku merasa malu saja. Aku tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela mati-matian kepada Locianpwe yang telah menolongku kemarin."

 

 Mata kakek itu terbelalak. "Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?"

 

 "Waah, Locianpwe pandai berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit menyelamatkan aku dari serangan burung-buruhg gila? Kalau tidak ada pertolongan Locianpwe, agaknya aku akan mati di tengah rawa!"

 

 "Ah, engkaukah orangnya? Aku tidak mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku kebetulan berjalan-jalan di dekat rawa dan melihat orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah orangnya?"

 

 Hati Siauw Bwee menjadi geli. Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa berjalan-jalan? Ingin dia menyaksikan bagaimana orang tak berkaki bisa berjalan.

 

 "Akulah orangnya, Locianpwe. Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu," Siauw Bwee menjura dengan hormat.

 

 Kakek itu tertawa bergelak dan sejenak wajahnya yang muram itu berseri gembira. "Wah, pengakuanmu ini meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala kebaikanmu, engkau jujur dan ingat budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya yang akan dapat menolong kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga setiap tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon kepada-mu, Nona, sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!"

 

 Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan seperti itu masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum buntung kaki dan buntung lengan yang memperlakukannya dengan buruk.

 

 "Apakah maksudmu, Locianpwe? Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai. Bagaimana aku dapat mencampuri dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak yang saling bermusuhan?"

 

 "Duduklah, Nona, dan dengarkan ceritaku." Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum yang cacat itu, yang sebagian sudah ia dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu duduk di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.

 

 "Tahukah engkau mengapa kedua kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?"

 

 Siauw Bwee mengangguk. "Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan yang bermusuhan dan dalam pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang seorang lagi kehilangan lengan kiri."

 

 "Benar, dan aku tadinya adalah seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi, sejak dahulu aku tidak menyetujui permusuhan antara saudara sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung sebenarnya adalah saudara-saudara seperguruan. Apalagi cara mereka menerima murid-murid yang harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti kaum mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat keji. Aku adalah suheng dari The Bian Le dan aku berusaha membujuk suteku yang menjadi ketua kaum lengan buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak kaki buntung. Pada waktu itu akulah yang menjadi ketua kaum lengan buntung. Usul itu diterima dengan penuh kemarahan dan mereka memberontak. Aku yang menjadi ketua mereka malah mereka anggap pengkhianat sumpah leluhur dan aku dikeroyok, kemudian kaki kananku mereka buntungkan dan aku diusir dengan kata-kata menghina bahwa aku berpihak kepada kaum kaki buntung, maka kaki kananku dibuntungi dan aku diusir."

 

 Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya dan berkata, "Betapa kejamnya!"

 

 Kakek itu menggeleng kepala, "Merceka patut dikasihani, Nona. Aku tidak menyesal karena kakiku dibuntungi sebelah, melainkan menyesal bahwa usahaku itu gagal sama sekali. Aku lalu pergi ke tempat kaum kaki buntung. Biarpun kaki kananku sudah buntung seperti lengan kiriku, aku tidak putus harapan dan berusaha menghubungi Liong Ki Bok, ketua mereka yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah suteku sendiri pula. Akan tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung, aku dicurigai dan malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi pula."

 

 "Ahhh....! Biadab! Jahat benar mereka itu!"

 

 Kembali kakek itu menggeleng kepala. "Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh dendam permusuhan. Akulah orangnya yang patut disesalkan karena berusaha mendamaikan mereka. Akan tetapi aku malah tetap penasaran dan aku takkan dapat mati dengan meram kalau belum berhasil mendamaikan mereka." Kakek itu kelihatan berduka sekali dan diam-diam Siauw Bwee merasa terharu dan kasihan, juga kagum menyaksikan iktikad baik yang tak kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya sudah cacad seperti itu.

 

 "Apa hubungannya semua itu dengan aku, Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang tadinya adalah ketua kaum lengan buntung sama sekali tidak dapat mendamaikan mereka bahkan dianggap pengkhianat, bagalmana aku akan dapat mengusahakannya?"

 

 "Dengan jalan lain pasti dapat, Khu-lihiap. Akan tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku terasing di antara mereka kedua pihak dan aku, dengan tekad untuk tetap hidup dan terus berusaha mendamaikan mereka, dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan kanan ini sampai ke tempat ini, terpencil dan terasing. Sepuluh tahun lamanya aku berdiam di sini, menggembleng diri dan terutama sekali mempelajari rahasia ilmu-ilmu kedua pihak yang sesungguhnya memang sesumber. Dan ketekunanku selama sepuluh tahun ini berhasil baik, Nona! Aku telah memecahkan kedua ilmu mereka, maksudku aku telah menemukan cara pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung dan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung. Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau perlu dengan kekerasan!"

 

 Wajah Siauw Bwee berseri, dia ikut merasa gembira akan hasil kakek itu yang akan dapat memenuhi cita-cita hidupnya, yaitu menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang bersaudara akan tetapi permusuhan itu. "Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu, Locianpwe pergunakan saja ilmu itu untuk menghajar orang-orang keras kepala itu!" serunya.

 

 "Nona, lihatlah keadaanku. Aku hanya mempunyai sebuah lengan dan aku.... karena terlalu tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu, aku menderita sakit jantung yang hebat dan takkan terobati lagi. Biarpun semua teori silat mereka sudah berada di telapak tanganku kalau aku hanya mempunyai satu lengan saja, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi mereka?"

 

 "Ohhh....! Maafkan aku, Locianpwe," Siauw Bwee berkata dengan muka merah karena dalam kegembiraannya tadi ia sampai lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.

 

 "Tidak apa, Nona. Bahkan akulah yang minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang luar untuk mewakili aku...."

 

 "Maksudmu....?"

 

 "Ilmu kepandaianmu hebat, Nona. Baik Liong Ki Bok maupun The Bian Le, malah aku sendiri tidak akan dapat menandingimu. Engkau tentu murid seorang yang amat sakti. Akan tetapi, kalau engkau dikeroyok dan menghadapi ilmu silat gerak tangan sakti dan gerak kaki sakti, engkau yang masih kurang pengalaman tentu akan menjadi bingung sehingga keadaanmu akan berbahaya. Akan tetapi kalau engkau kuberi pelajaran rahasia tentang kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan mudah engkau akan dapat mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi permintaan seorang tua yang sudah hampir mati dan sudikah engkau membiarkan aku mati dalam keadaan meram dan tenang karena menyaksikan kedua kaum itu telah dapat dipaksa berdamai?" Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan disambungnya dengan suara parau. "Andaikata aku memiliki dua buah kaki, aku akan berlutut memohon kepadamu, Khu-lihiap!"

 

 Siauw Bwee merasa terharu sekali. Dia memiliki watak yang halus dan perasa, penuh welas asih, bagaimana mungkin ia dapat menolak permintaan itu? "Aihh, Locianpwe harap jangan terlalu sungkan. Aku sudah Locianpwe tolong dari ancaman maut dikeroyok burung-burung liar dan aku belum dapat membalas budi itu. Tentu saja aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu."

 

 "Terima kasih, Li-hiap! Semoga Tuhan memberkatimu! Dan jangan bicara tentang budi pertolongan dariku, karena aku tahu bahwa tanpa kunasihatkan untuk menyelam juga, burung-burung gila itu mana mungkin dapat menjatuhkan seorang seperti Li-hiap? Nah, marilah kita mulai dengan latihan ilmu-ilmu tangan kilat dan kaki kilat, Nona. Waktu untuk pibu (mengadu ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi, cukup lama bagimu untuk menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan pibu Nona dapat maju dan mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu, tentu mereka tidak berani membantah dan akan memenuhi permintaan Li-hiap untuk berdamai dan bersumpah mengubur semua permusuhan di antara kedua kaum!"

 

 Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar dan berarti bahwa perjalanan akan tertunda selama tiga bulan. Akan tetapi waktu itu tidak dibuang sia-sia, dan sebagai seorang ahli silat seperti Siauw Bwee, tentu saja akan girang sekali, menerima pelajaran dua macam ilmu yang demikian hebat. Apalagi kalau diingat bahwa dia sedang melakukan tugas yang mulia yaitu berusaha mendamaikan permusuhan semua saudara sehingga kalau berhasil berarti dia telah menyelamatkan entah berapa banyak nyawa yang setiap tahun pasti ada yang jatuh menjadi korban pibu.

 

 Demikianlah, mulai hari itu, Siauw Bwee menerima petunjuk-petunjuk kakek cacad itu melatih diri dengan ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dan karena dasar ilmu silatnya malah lebih tinggi tingkatnya daripada kedua ilmu itu dia dapat melatih diri dengan mudah dan hasilnya amat hebat, lebih hebat daripada kalau kedua ilmu itu dilatih oleh tubuh Si Kakek sendiri andaikata dia tidak bercacad!

 

 ***

 

 Terpaksa kita tinggalkan dulu Siauw Bwee yang setiap hari tekun berlatih kedua macam ilmu silat istimewa itu dan sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki, karena hal ini untuk memperlancar jalannya cerita.

 

 Telah kita ketahui betapa Kam Han Ki merana hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup ketika kedua orang sumoinya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga dia tinggal seorang diri di Pulau Es. Karena tidak dapat menahan kesepian yang menggerogoti hatinya, juga karena khawatir akan keadaan kedua orang sumoinya, Han Ki lalu membuat sebuah perahu dan berlayarlah dia meninggalkan Pulau Es dengan maksud hendak mencari kedua orang sumoinya, atau setidaknya, seorang di antara mereka.

 

 Setelah mendarat di tepi pantai daratan Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia tidak tahu di sebelah mana kedua orang sumoinya mendarat dan ke mana pula mereka pergi. Akan tetapi, dia berjalan terus ke barat dan di sepanjang jalan dia berusaha menemukan jejak kedua orang sumoinya dengan bertanya-tanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan. Akan tetapi, sampai berpekan-pekan ia melakukan perjalanan, belum juga ia mendapatkan jejak kedua orang sumoinya. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang ditanyainya pernah melihat dua orang gadis itu, sebaliknya, Han Ki mendengar akan keadaan kerajaan baru yang makin luas saja wilayahnya, yaitu Kerajaan Cin yang dibangun oleh bangsa Yucen. Kini di daerah utara, hampir seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke tangan Kerajaan Cin. Dari dia mendengar pula tentang pergolakan di Kerajaan Sung, tentang para pembesar yang memberontak dan berdiri sendiri-sendiri menguasai wilayah masing-masing. Mendengar pula akan pergerakan bangsa Mancu di samping bangsa Yucen.

 

 Ketika ia mendengar bahwa dia memasuki daerah yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai mengangkat pejabat-pejabat daerah sebagai pegawai Kerajaan Cin, teringatlah Han Ki akan kekasihnya, Sung Hong Kwi yang dahulu akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Timbul hasrat hatinya untuk mendengar berita tentang kekasihnya itu, dan kalau mungkin.... menjumpainya! Masih hidupkah Hong Kwi kekasihnya itu? Apakah kini telah menjadi seorang yang mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir rendahan saja? Hatinya terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa raja-raja yang berkuasa, seperti halnya Kaisar Kerajaan Sung, paling suka mempermainkan wanita dan setiap hari berganti wanita, yang lama dicampakkan begitu saja. Jangan-jangan seperti itu pula nasib Hong Kwi. Kekhawatiran ini mendorong hasratnya untuk menyelidiki keadaan Hong Kwi.

 

 Akhirnya, karena dorongan hasrat ingin bertemu bekas kekasihnya tak dapat ditahannya lagi, Han Ki mendatangi kota raja Yucen dan berhasil pada suatu malam menyelundup masuk ke taman Istana Raja Yucen! Dilihatnya bahwa dia telah memasuki harem (keputren, tempat selir-selir raja) dan ketika ia melihat beberapa orang wanita cantik berpakaian indah bersendau-gurau di dekat kolam ikan, ia lalu melompat ke dekat mereka. Wanita-wanita itu terkejut dan menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat tangannya dan berkata halus,

 

 "Harap kalian jangan takut. Aku datang tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan Sung Hong Kwi. Adakah dia di sini?"

 

 Ketika melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lenyaplah rasa takut wanita-wanita itu dan di antara mereka bahkan ada yang tersenyum-senyum dan melirik-lirik tajam. Mereka adalah wanita-wanita yang selalu dikurung dan hanya kadang-kadang melayani Raja Yucen yang sudah tua, tentu saja jantung mereka berdebar tegang dan aneh ketika berhadapan dengan seorang pemuda tampan dan gagah seperti itu. Seorang di antara mereka yang paling berani, segera berkata,

 

 "Engkau sungguh berani mati memasuki tempat ini. Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para pengawal yang menjaga di luar?"

 

 "Hal itu tidak penting. Yang penting, adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa dengan dia."

 

 "Siapa itu Sung Hong Kwi? Kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya."

 

 Han Ki mengerutkan kening. Salahkah dugaannya bahwa kekasihnya itu diboyong oleh Raja Yucen? "Lima tahun yang lalu, ada seorang puteri Kerajaan Sung dikawinkan dengan Raja Yucen...."

 

 "Ohhh! Kaumaksudkan dia?" Seorang selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh tahun akan tetapi masih amat cantik, segera berkata, "Puteri yang rewel itu? Dia tidak menjadi selir sribaginda, akan tetapi diberikan kepada Pangeran Dhanu yang tergila-gila kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran Dhanu yang tampan, rela tidak memelihara selir akan tetapi isterinya itu selalu merongrongnya!"

 

 Han Ki terkejut. "Pangeran Dhanu? Di mana istananya?"

 

 Wanita itu tertawa. "Mana ada waktu beristirahat dengan tenang di istana? Isterinya, Puteri Sung itu terlalu rewel, bahkan kini kabarnya sakit sehingga diajak tetirah ke Hutan Bunga Bwee di tepi sungai"

 

 "Di mana tempat itu?"

 

 "Ihh, mau apa sih engkau mencari puteri yang sakit-sakitan? Di sini banyak...."

 

 "Lekas katakan!" Han Ki membentak marah ketika mendengar wanita-wanita itu mulai tertawa memikat. "Kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!" Ia sengaja mengancam dan berhasillah dia karena wanita-wanita itu menjadi pucat dan ketakutan.

 

 "Di luar kota raja, di sebelah utara, dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah beberapa hari mereka di sana.... aihhh....!" Wanita itu dan temantemannya menjerit ketika tiba-tiba tubuh Han Ki berkelebat dan pemuda gagah itu sudah lenyap dari depan mereka.

 

 "Setan....! Siluman....!" Mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri, ada yang terkencing-kencing ketakutan dan bahkan ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak malam itu, sampai beberapa lama pemuda itu menjadi bahan percakapan para selir dengan penuh rasa ngeri dan juga rindu!

 

 Akan tetapi ketika Han Ki tiba di hutan yang dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan mendapat kabar bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh gerombolan pasukan Mancu yang memang telah bermusuhan dengan pihak Yucen. Banyak terdapat mayat-mayat bangsa Mancu dan Yucen dan ketika dia tiba di situ, pasukan Yucen sedang mengangkuti mayat-mayat itu dan melakukan penjagaan ketat. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki berhasil mendekati sampai di luar perkemahan yang ditinggali Pangeran Dhanu dan isterinya. Di luar perkemahan dia dihadang oleh para pengawal!

 

 "Berhenti! Siapa engkau dan ada keperluan apa?" bentak pengawal-pengawal itu.

 

 "Aku hendak berjumpa dengan Pangeran Dhanu. Aku adalah.... seorang saudara dari isterinya, hendak menengoknya, karena kabarnya sakit."

 

 Para pengawal mengepungnya dengan pandang mata curiga. "Sang Pangeran sedang sibuk, Sang Puteri sakit keras...."

 

 Tiba-tiba Han Ki meloncat ke dalam kemah, gerakannya amat cepat sehingga para pengawal itu sejenak melongo karena kehilangan pemuda itu. Baru mereka tahu bahwa pemuda itu menerobos masuk ketika mendengar pemuda itu menjerit, "Hong-Kwi....!" Mendengar kekasihnya sakit keras, pemuda itu seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil nama kekasihnya.

 

 "Han Ki-koko....? Ohhh...."

 

 Suara ini cukup bagi Han Ki. Dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat memasuki sebuah kamar di dalam perkemahan besar itu dan dia berdiri pucat dengan mata terbelalak memandang tubuh kekasihnya yang rebah telentang seperti mati di atas pembaringan. Di kepala pembaringan itu duduk seorang laki-laki yang berkumis tipis berpakaian indah dan bersikap gagah namun wajahnya diliputi kedukaan besar. Laki-laki ini meloncat bangun dan tangannya meraba gagang pedangnya. Seorang pelayan wanita mundur-mundur ketakutan memandang Han Ki.

 

 Wajah Hong Kwi pucat sekali, matanya sayu dan rambutnya yang hitam itu terurai lepas, tubuhnya kelihatan lemah. Dia memandang Han Ki, beberapa kali bibirnya bergerak namun tidak ada suara keluar. Air mata seperti butiran-butiran mutiara menetes turun dan akhirnya dia dapat juga bersuara,

 

 "Han Ki-koko.... kau datang....? Ahh, Koko.... bawalah aku pergi.... bawalah....!" Kedua lengannya diangkat lemah, diulurkan ke arah Han Ki, akan tetapi tiba-tiba kedua lengannya terkulai kembali di atas pembaringan, mukanya yang tadinya menghadap ke Han Ki itu tergolek ke kiri, matanya terpejam, hanya mulutnya yang masih agak terbuka seolah-olah dia belum selesai bicara.

 

 "Hong Kwi....!" Han Ki tidak mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di kerongkongannya.

 

 "Isteriku....!" Pangeran Dhanu, laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Kemudian ia meloncat bangun, memandang Han Ki dan berkata, air matanya masih menetes-netes, "Jadi engkaukah Kam Han Ki, laki-laki kejam yang menghancurkan hati isteriku? Engkau datang $ hanya untuk menyaksikan kematiannya? Betapa kejam engkau!"

 

 Ucapan ini bagaikan petir menyambar karena seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya, telah meninggal dunia. Dia menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong Kwi, diguncang-guncangnya pundak mayat itu. "Hong Kwi.... Hong Kwi....! Ini aku Kam Han Ki! Aku telah datang. Hong Kwi....! Hong Kwi, bukalah matamu, pandanglah aku, bicaralah....!"

 

 Menyaksikan sikap pemuda itu, Pangeran Dhanu agak berkurang kemarahannya dan memandang dengan kening, berkerut. Di belakang Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan di luar kamar itu, seorang pengawal berdiri tegak menjaga, dalam keadaan siap seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, sungguhpun alisnya berkerut menandakan bahwa dia ikut prihatin terharu.

 

 "Hong Kwi...., kekasihku.... Hong Kwi, aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau bawalah aku....!" Han Ki yang biasanya tenang itu kini tidak dapat menahan pukulan batin yang amat hebat itu. Dia masih mencinta Hong Kwi, bahkan belum pernah dia berhenti mencintanya. Kini melihat kekasihnya mati setelah bertemu dengannya, dia merasa berdosa dan berduka.

 

 "Hemm, dia sudah mati baru engkau datang dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan seorang laki-laki yang patut dipuji!"

 

 Ucapan yang bernada keras ini membuat Han Ki sadar bahwa dia telah berada di tempat orang, bahkan sadar bahwa mayat yang dipeluknya itu adalah mayat isteri orang lain. Dia bangkit, menekan perasaannya, berdiri lemas dan dengan mata merah dan pipi basah ia memandang Pangeran Dhanu. Sejenak kedua orang laki-laki itu saling berpandangan.

 

 "Engkau tentu Pangeran Dhanu...." katanya perlahan.

 

 "Benar! Akulah Pangeran Dhanu, laki-laki yang mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, yang selama bertahun-tahun ikut menderita bersamanya, yang berusaha menghiburnya, yang memenuhi segala permintaannya. Akan tetapi, pada saat terakhir, namamulah yang diucapkannya!" Di dalam ucapan pangeran itu terdapat kegetiran yang hebat sehingga diam-diam Han Ki merasa kasihan dan bersalah.

 

 "Pangeran, selama bertahun-tahun aku berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan tetapi engkau.... selama itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita daripada engkau."

 

 "Aku sudah mendengar akan namamu, dia bercerita tentang dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia asal dia dapat membalas dan menerima cintaku. Akan tetapi.... dia selalu berduka, teringat kepadamu, selalu sakit-sakitan.... kuajak tetirah ke mana-mana untuk menghiburnya, kukorbankan tugas-tugasku. Semalam anjing-anjing Mancu menyerbu perkemahan, biarpun dapat dipukul mundur akan tetapi isteriku menderita kaget yang hebat, Jantungnya lemah.... dan.... kemudian kau datang.... ah, isteriku....!" Pangeran itu mengusap air matanya.

 

 "Pangeran, maafkan aku. Betapapun juga, engkau yang mencintanya telah menjadi suaminya selama lima tahun. Engkau telah memiliki dia sebagai isteri yang tercinta...."

 

 "Memang aku memiliki tubuhnya akan tetapi tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas hatinya, keparat!"

 

 "Dan orang-orang Mancu telah merampas nyawanya. Aku akan membalas ini!"

 

 "Orang she Kam! Tidak perlu menimpakan kesalahan kepada orang lain. Engkaulah yang telah membunuh isteriku! Engkaulah yang menghancurkan hidupnya, dan engkau pula yang merampas kebahagiaan hidupku! Pengawal, tengkap orang ini!"

 

 Belasan orang pengawal menerjang masuk dengan tombak di tangan. Han Ki berseru, Hong Kwi, kalau rohmu masih di sini, dengarlah sumpahku. Aku tidak akan menikah dengan wanita lain di dunia ini!" Setelah barkata demikian, tubuhnya berkelebat keluar dan robohlah enam orang pengawal yang menghadangnya. Dia tidak membunuh karena dia maklum betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa pangeran itu betul-betul mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang Mancu karena andaikata malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga tidak mengagetkan hati Hong Kwi yang jantungnya lemah karena sakit, tentu pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu tidak berskhir dengan kematian Hong Kwi!

 

 Biarpun Pangeran Dhanu yang marah, berduka dan sakit hati itu mengerahkan semua sisa pasukannya, namun mereka tidak dapat mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar dari hutan itu dengan gerakan cepat seperti menghilang.

 

 Han Ki berlari cepat meninggalkan Kerajaan Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan diri dengan barisan Kerajaan Sung, melupakan semua peristiwa yang membuat ia menjadi orang buruan. Ingin ia membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya. Akan tetapi, tentu dia akan ditangkap begitu muncul di kota raja! Ah, biarpun tanpa pasukan, dia tetap berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi kepada bala tentara Mancu! Dengan keputusan bulat, Han Ki melanjutkan perjalanannya, hatinya makin merana. Dia tidak saja kehilangan Maya dan Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi yang sampai detik terakhir masih mencintanya! Kenyataan ini makin memberatkan hatinya, dan ia selalu merasa telah berbuat dosa yang amat besar kepada Hong Kwi. Cinta kasih di antara mereka yang terenggut putus, yang disangkanya hanya membuat dia seorang menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa lagi bagi Hong Kwi sampai dibawanya mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan ia merasa dirinya sudah tua sekali. Padahal pada waktu itu, usia Han Ki baru tiga puluh satu atau tiga puluh dua tahun

 

 Maya membuka matanya. Sudah matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah bahwa dia terseret ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Tentu sudah mati. Akan tetapi mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam orang perajurit di perahu itu, perahu yang didayung cepat. Tidak! Dia tentu belum mati. Ataukah perahu ini perahu yang akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu malaikat-malaikat? Tak mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti perajurit dunia! Keparat, tentu mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka yang menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan tertawan. Dia menjadi marah dan menggerakkan tangan.... akan tetapi, kedua tangan dan kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia lelah sekali sehingga tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu, dan ketika ia memandang, kiranya belenggu itu terbuat daripada baja yang tebal dan kuat sekali! Maya pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak, diam-diam mengumpulkan hawa murni ke lengannya.

 

 Perahu itu kini menempel pada sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.

 

 "Wah, dia sudah sadar!" kata seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya membuka mata.

 

 Karena sudah ketahuan, Maya tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuhnya, ia berhasil bangun duduk. "Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?" Akan tetapi ketika melihat pakaian seragam mereka adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu berkata, "Hemm.... kalian tentu anjing-anjing Kerajaan Sung!"

 

 "Perempuan liar. Bangunlah dan ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke atas perahu?"

 

 Karena belum mendapat kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba kedua kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang perajurit terlempar ke dalam air!

 

 "Wah! Wah! Awas...., betina ini liar sekali!" Seru seorang di antara mereka dan kini dari atas perahu besar meloncat turun banyak perajurit. Tubuh Maya diringkus dan dia dipaksa naik ke atas perahu besar. Dua orang perajurit yang bertubuh kuat memegang ujung rantai yang membelenggu kedua tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa memasuki ruangan besar di atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima mereka. Kalau nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini!

 

 Dengan dada membusung dan kepala tegak Maya berjalan terpincang-pincang karena kedua kakinya dibelenggu, memasuki ruangan. Ketika ia melihat dua orang panglima duduk di atas kursi dalam ruangan itu, matanya terbelalak. Ia mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu besar yang telah ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit berdiri adalah panglima muda yang ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai!

 

 Juga panglima besar yang berjenggot itu memandang dengan kaget. "Engkau....? Engkau pendekar wanita penolong kami....!" Ia lalu membentak anak buahnya, "Apakah kalian ini buta dan gila semua? Hayo cepat lepaskan belenggunya!"

 

 "Krek! Krekkk!" Tiba-tiba Maya yang sudah berhasil mengumpulkan kembali tenaganya, sekali mengerahkan telah mematahkan belenggu kaki tangannya! Dia melangkah maju dan termanyum. "Ciangkun, selamat berjumpa!"

 

 Panglima besar itu meloncat dari tempat duduknya dan cepat menjura. "Selamat datang, Li-hiap!" Dan kepada anak buahnya ia membentak, "Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol! Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu ada artinya bagi Li-hiap yang sakti!" Kemudian ia membentak makin nyaring, "Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Li-hiap!"

 

 Enam orang itu, yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti burung-burung saling sahut mereka berseru, "Mohon maaf kepada Li-hiap, karena kami tidak tahu maka...."

 

 Maya menggerakkan tangannya. "Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian bekuk!"

 

 "Li-hiap, silakan duduk!" Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang kagum. Ketika ia ditolong dari tangan lawan dampit yang lihai dia tidak dapat melihat jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik jelita seperti bidadari!

 

 "Lekas ambil pakaian bersih dan kering untuk Li-hiap! Dan sediakan meja perjamuan!" Panglima besar itu memberi perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan itu.

 

 "Li-hiap, silakan berganti pakaian kering dulu. Nanti kita bicara," Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.

 

 "Wah, betapa lucunya aku berpakaian seperti ini!" Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar dari kamar, tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.

 

 "Engkau gagah sekali dan patut dalam pakaian itu, Li-hiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku." Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak makin gagah perkasa.

 

 Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab, "Namaku Maya dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku karena hal itu takkan dapat kuterangkan.

 

 Seandainya aku tidak melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?"

 

 ***

 

 Wajah panglima tua itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, setelah arak yang disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata,

 

 "Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman."

 

 "Hemm...., jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?"

 

 Panglima she Bu itu menarik napas panjang. "Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi, sekarang ini Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam Suma-goanswe. Karena itu, banyak sekali panglima yang memberontak, pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal diam, apalagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas daripada penindasan para pembesar korup."

 

 Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apalagi karena jelas bahwa panglima ini bersetiakawan dengan pek-hunya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata, "Kalau

begitu, aku siap membantumu, Ciangkun!"

 

 Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata,

 

 "Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima kasih, Li-hiap, terima kasih!"

 

 "Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu menyerbu ke kota raja Sung!"

 

 Hampir saja kedua orang panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak tanpa rintangan. Perjalanan ribuan li itu sebelum ditempuh sepersepuluhnya sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya. Dara ini bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang perang, dan agar jangan menyinggung perasaan, kedua orang panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.

 

 "Li-hiap, serahkan urusan perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu. Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi, kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan Li-hiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di garis depan."

 

 Maya mengangguk. "Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik."

 

 "Bagus! Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan dan siasat kita."

 

 Dengan panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat menyerang ke selatan. Mendengar ini, Maya tidak ambil peduli. Baginya, bersekutu dengan Mancu pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!

 

 "Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!"

 

 Bu-ciangkun tertawa bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan jujur, "Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang akan kauhadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan Sung."

 

 "Bagus!" Maya, girang sekali. "Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!"

 

 Demikianlah, mulai hari itu, Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.

 

 Mula-mula Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya melatih pasukannya. Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama Menteri Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung. Diam-diam ia menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapapun juga.

 

 Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang, "Barisan Mancu yang menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan, maka sebaiknya seorrang di antara kalian harus membawa pasukan untuk menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalahan itu jauh, melalui daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?"

 

 Seperti telah diduganya, dan juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab, "Aku sanggup!"

 

 Empat orang panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya, segera berkata, "Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan pasukan mautnya."

 

 Bu-ciangkun mengangguk-angguk. "Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan. Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa."

 

 "Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir."

 

 "Selain mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Li-ciangkun mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat membantu perjuangan kita."

 

 "Baik!" jawab Maya yang teringat, akan rakyat Khitan. Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka masuk menjadi perajurit di bawah pimpinannya, betapa akan senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!

 

 Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing seekor kuda, adapun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang perajurit untuk setiap kuda seekor. Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di depan, yang berkuda, seratus orang banyaknya, di belakang. Bu-ciangkun sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan.

 

 Dua buah bendera itu berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh Bu-ciangkun sendiri, yaitu "Pasukan Maut"! Dan bendera yang sebuah lagi bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!

 

 Perjalanan ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi perajurit Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina.

 

 Belasan hari kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.

 

 "Basmi anjing-anjing Yucen!" Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti harimau-harimau kelaparan, pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah, menjadi kewalahan. Apalagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk, pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan Yucen menjadi gentar. Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat, Maya melompat, pedangnya memenggal leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju Panglima Yucen itu terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan kaget melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis,

 

 "Engkau Panglima Yucen keparat. Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?"

 

 Wajah panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala, "Aku.... aku tidak....!" Akan tetapi kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru,

 

 "Heii.... anjing-anjing Yucen! Lihat kepala siapa ini?" Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka, sebaliknya makin bersemangatlah Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari berserabutan.

 

 "Hidup Maya Li-ciangkun!" Sorak para perajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.

 

 Hanya setelah ada perintah Maya saja para perajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan perajurit yang terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para perajurit Yucen dibiarkan saja berserakan. Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi.

 

  

 

 "Pasukan Maut yang gagah perkasa. Serbu....!"

 

 Barulah pasukan Yucen itu menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang dari atas puncak dan mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita yang menurut cerita perajurit Yucen yang melarikan diri memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari puncak, melainkan dari bawah, dari belakang mereka!

 

 Terjadilah perang tanding yang jauh lebih hebat mengerikan daripada tadi, akan tetapi lebih celaka lagi akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka berada dalam keadaan panik dan siasat mereka hancur sehingga mereka berada di pihak yang diserang. Keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik secara tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu tidak sempat lagi memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan mempertahankan diri secara kacau-balau dan mencari selamat sendiri-sendiri! Di lain pihak, tentara Pasukan Maut yang bergerak secara terpimpin dan teratur, ditambah kegembiraan mereka karena baru sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat pimpinan mereka, tumbuh semangatnya dan terjadilah penyembelihan besar-besaran seperti yang semula direncanakan pasukan Yucen, akan tetapi sekarang merekalah yang menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga yang terjun ke jurang dan tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan hanya ada dua ratus orang saja yang sempat melarikan diri menerobos kepungan musuh dan terus lari sipat-kuping ke bawah bukit!

 

 Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung sampai pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya mendapat kenyataan bahwa dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga ratus orang musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun tidak semua tewas dan masih ada yang dapat tertolong karena hanya menderita luka-luka saja! Kemenangan yang membesarkan hatinya dan hati anak buahnya itu sekali ini benar-benar dirayakan mereka dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau menceritakan pengalaman masing-masing dalam pertempuran semalam!

 

 Maya membawa pasukannya turun bukit dan beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang luas sehingga mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat dilanjutkan dengan semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di depan pasukannya, kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia mengucapkan kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga semua anak buahnya merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka yang ketika panglima di atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata terang-terangan,

 

 "Hidup Maya Li-ciangkun! Kami siap mati membelamu!"

 

 Maya tersenyum mengangguk dan berkata dengan suara merdu, "Aku pun siap mati membela Pasukan Maut! Setiap orang dari Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku sendiri!" Tentu saja ucapan panglima wanita remaja yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai gembira.

 

 Ketika pasukan pada beberapa hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan berhenti. Maya yang sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju ke depan. Kiranya di depan pasukannya menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan keningnya dan memerintahkan perwiranya mengurus hal itu. Akan tetapi sampai agak lama pasukan masih belum bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan cepat ia menuju ke bagian depan. Seorang perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan para penggembala domba, bahkan terjadi perkelahiani Maya terkejut, cepat ia menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira roboh dan terluka, dia marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan lari ke depan.

 

 Dilihatnya bahwa para perwiranya sedang berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik sekali menyaksikan kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya dia itu pemimpinnya, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan kiri memondong seekor anak domba. Gerakan penggembala muda ini hebat dan cepat sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar ganas, merobohkan dua orang perwira sekaligus dan yang masih menandinginya adalah Kwa-huciang, seorang di antara perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang bersenjata pedang dan kini terjadilah pertandingan antara kedua orang itu. Maya menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan kegagahan pemuda penggembala muda itu. Setelah bertanding belasan jurus, tiba-tiba penggembala yang melawan Kwa-huciang sambil memondong domba itu berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang dibetot dan perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh terpelanting dan kini penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas dada Kwa-huciang sambil berkata nyaring,

 

 "Hayo lekas perintahkan pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!"

 

 "Eh, galak amat!" Maya berseru sambil melompat maju. "Penggembala berbau domba, kau sombong sekali. Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para perwiraku!"

 

 Penggembala domba itu menengok dan kelihatan tercengang lalu menjawab,

 

 "Domba kami banyak yang terinjak mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami sedang makan rumput, mengapa pasukan kalian mengganggu? Mengapa tidak mengambil jalan memutar? Lihat, domba kecil ini sampai patah kakinya!" Ia menoleh ke arah domba yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada Maya sambil bertanya, "Eh, engkau ini perajurit wanita, mau apa?"

 

 Maya tersenyum. "Orang kasar, agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba daripada dengan manusia."

 

 "Tentu saja! Apa sih baiknya manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi srigala. Domba-domba adalah mahluk yang lemah, selalu mengalah dan...."

 

 "Dan engkau lupa bahwa kau sendiri juga seorang manusia!" Maya memotong. "Ataukah barangkali engkau ini pun seekor domba yang menyamar manusia?"

 

 Pemuda itu gelagapan, merasa kalah bicara maka ia membentak, "Kau siapa dan mau apa?"

 

 "Aku adalah panglima Pasukan Maut ini!" jawab Maya dengan sikap keren.

 

 Tiba-tiba penggembala domba yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang mampu bernapas lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang-guncang dan mukanya memandang langit.

 

 "Ha-ha-ha-ha! Panglimanya seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan cantik! Pasukan macam apa ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah daripada domba!"

 

 Kwa-huciang marah sekali. Dia sudah bangkit duduk dan kini ia bangun sambil membentak, "Penggembala kurang ajar! Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?"

 

 Akan tetapi Maya menggoyang tangan berkata, "Kwa-huciang, kaumundurlah dan biar aku sendiri yang memberi hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah! Engkau kira bahwa engkau sudah paling jempolan setelah mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan tetap berdiri di sini, sedikit pun tidak akan memindahkan kedua kakiku. Kau boleh menyerangku, kalau sampai aku merobah kedudukan kedua kakiku, aku mengaku kalah padamu!"

 

 "Kalau hanya mengaku kalah saja apa gunanya bagiku?" Pemuda itu membantah dan memandang Maya penuh selidik, seolah-olah ia dapat merasa bahwa biarpun hanya seorang wanita muda, panglima itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak berkepandaian tinggi, mana mungkin bersikap demikian tekebur?

 

 Kembali Maya tersenyum, "Eh, pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merobah kedudukan kakiku, selain aku mengaku kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan memutar dan akan kuganti harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi bagaimana kalau kau tidak mampu merobah kedudukan kakiku malah kau akan roboh olehku kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kaupertaruhkan?"

 

 Mata yang lebar penuh kepolosan itu terbelalak. "Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut dan menyembah seratus kali kepadamu!"

 

 "Kalau hanya disembah seratus kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?" Maya membalas bantahan pemuda penggembala itu.

 

 Pemuda itu kembali merasa kalah bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis jelita yang perkasa itu. "Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin, hanya menjadi buruh menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya sebulan dimakan dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan!"

 

 Maya mengangguk-angguk. "Engkau punya banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran, kesetiaan. He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku merobohkan engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka menjadi seorang perwira Pasukan Mautku!"

 

 Pemuda penggembala itu mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun hasrat hatinya menjadi perwira atau perajurit. Akan tetapi, ditantang seperti itu, dia menjadi penasaran. Pula, kalau benar panglima wanita muda ini dapat merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua kaki, berarti panglima ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali menjadi pembantu panglima dewa atau dewi!

 

 "Baiklah! Nah, rasakan lihainya pecutku!" Penggembala itu melangkah maju menghampiri Maya, pecutnya ia gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil yang nyaring.

 

 Ketika sinar hitam pecut itu melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan gerakan ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri dan.... pecut itu sudah berada di tangannya, yaitu ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat betapa ujung pecutnya tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga terbang ke arah tangan panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum dipakai menyerang sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan dengan membetot keras.

 

 Maya tersenyum. "Aku hanya menahan sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu melepaskan dombamu. Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!"

 

 Bukan main heran hati penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang yang dapat bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Maka ia pun tidak menjadi sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya perlahan domba yang dipondong lengan kirinya. Maya juga melepaskan ujung pecut itu dan memandang tersenyum melihat pemuda itu mulai menghampirinya, dengan gerak langkah satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau menghampiri calon mangsanya. Maya memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini. Pakaiannya kasar sederhana, kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari terbuka dan telapak tangan menghadap langit, sepasang matanya yang lebar memandang tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap seorang ahli silat yang kuat!

 

 Sementara itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di tempat yang liar sehingga keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah. Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan wanita-wanita. Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka yang lemah, pula, karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang rendah. Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur, apalagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar. Mengingat pula akan janji wanita muda itu tidak akan merobah kedudukan kedua kakinya, maka Si Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang dari belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merobah kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki. Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!

 

 Ia lalu menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang adalah kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak!

 

 Akan tetapi Maya sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu sambil mengerahkan sin-kang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya mendorong dengan pukulan jarak jauh.

 

 "Brettt.... dessss....! Auggghhh....!" Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia menggigil!

 

 Para perwira dan perajurit bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu,

 

 "Engkau sudah kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba."

 

 Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di depan Maya sambil berkata,

 

 "Saya Cia Kim Seng adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!

 

 Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan perajurit.

 

 "Para perwira dan perajurit Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira pembantuku, sebagai seorang anggauta pasukan kita yang jaya!"

 

 Terdengar sorak-sorai riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.

 

 Tiba-tiba semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng, menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka, "Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?"

 

 "Kalau engkau masuk menjadi anggauta Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon diterima pula menjadi anggauta pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!" kata seorang di antara mereka.

 

 Maya tertawa gembira, "Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima kalian!"

 

 Para penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi perajurit Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?

 

 Di sepanjang jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa "muridnya" ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala itu ternyata menjadi perajurit-perajurit yang baik dan kuat. Di sepanjang perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat.

 

 Pada suatu hati, pasukan telah tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ menanti beberapa orang utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu.

 

 Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para perajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!

 

 Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,

 

 "Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor."

 

 Sepasang alis Maya berkerut. "Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita."

 

 Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan di antara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena ke mana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua perajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.

 

 Akan tetapi, biarpun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian banyaknya?' Kalau dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah mungkin karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para perajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.

 

 "Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja," kata Kwa-huciang, kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.

 

 "Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng," bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu tersinggung. "Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri."

 

 "Hahhh....?" Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.

 

 "Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?" tanya Kim Seng.

 

 Maya tersenyum, "Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!"

 

 Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di luar pintu kemah, masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.

 

 Selagi para perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya.

 

 Tiba-tiba wanita sakti inl berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas. Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga, tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring,

 

 "Mata-mata keparat turunlah!" Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.

 

 "Brettt!" Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.

 

 "Cringgg....!" Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar. Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya. Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandian Kim Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan.

 

 Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,

 

 "Engkaukah yang bernama Maya?"

 

 Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin, "Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!"

 

 Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya...., Maya...., tadinya kukira mengenal nama ini.... hemm, apakah engkau puteri...."

 

 Maya memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar, "Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian bicara! Engkau siapakah dan menaapa engkau menyelundup seperti maling ke sini?"

 

 "Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai seperti dewi!"

 

 Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang di antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

 

 "Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?"

 

 Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru, "Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...."

 

 "Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?"

 

 Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka, "Subo.... Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping kuburan Suhu...."

 

 Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol. "Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...."

 

 Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk. "Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit...."

 

 Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika mendengar pemimpin mereka menyebut "bibi" kepada pendekar sakti wanita Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya memandang mereka dan berkata,

 

 "Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Adapun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam."

 

 Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!

 

 "Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan."

 

 Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja di sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.

 

 "Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu.... engkau mau apa?"

 

 "Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu, hemmm...., baiklah aku pergi saja!"

 

 "Tahan!" Maya membentak, menahan kemarahannya. Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapapun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya.

 

 Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh. "Engkau mau apa?" tanyanya, sikapnya congkak sekali.

 

 "Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang di antara pembantu-pembantuku. Bagaimana?" "Li-ciangkun! Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!" Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,

 

 "Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?"

 

 Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa, "Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!"

 

 "Sombong!" bentak Kim Seng dan bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.

 

 "Menggelindinglah kalian!" Tiba-tiba Can Ji Kun membentak, tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua tangannya mendorong dengan tenaga sin-kangnya yang ampuh. Kim Seng kena disambar pukulan sin-kang, terhuyung-huyung ke belakang sedangkan sepuluh orang perwira lainnya terguling roboh!

 

 Kesombongan Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak. "Ji Kun, ternyata engkau hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang gagah!" bentak Maya. "Majulah!"

 

 Ji Kun berseru nyaring, kini kedua lengannya dilonjorkan mengirim, pukulan sin-kang ke arah Maya. Maya mengerahkan sin-kangnya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.

 

 "Desss!" dua tenaga sin-kang raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke belakang sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata terbelalak. Maya masih berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang maklum bahwa yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri mepet pada kemah dan menonton dengan mata di buka lebar-lebar, tentu saja dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.

 

 Can Ji Kun merasa penasaran sekali. Sin-kangnya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari sumoinya, turun gunung dan malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan dunia penjahat karena kelihaian dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun, tidak pernah ada lawan yang mampu menandingi kekuatan sinkangnya, apalagi ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan kedua tangannya hanya dilawan dengan sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia lalu menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya mengeluarkan bunyi berkerotakan ketika sin-kangnya bekerja.

 

 "Wut-wut.... plak-plak....!" Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini malah sampai lima langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang bergerak cepat melakukan pukulan-pukulan dahsyat tadi kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak halus itu namun yang mengandung tenaga mujijat yang membuatnya tergetar, kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.

 

 Rasa penasaran dan malu membuat Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia mengeluarkan suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat, menerjang maju dan menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum. Biarpun mulutnya tersenyum, akan tetapi Maya bersikap tenang dan hati-hati sekali menyaksikan gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus serangan yang dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh buah jari tangan pemuda itu bergerak-gerak melakukan totokan dan cengkeraman. Itulah jurus yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling luar biasa dari Mutiara Hitam, yaitu Capsha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)! Menghadapi serangan ini, Maya maklum bahwa dia tidak boleh lengah. Dia lalu mempergunakan gin-kangnya, tubuhnya berkelebat cepat sekali, mengelak ke sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga tampak gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung yang menolak dan menangkis semua serangan lawan.

 

 Ji Kun makin marah dan tiba-tiba ia merobah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti tadi ketika ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar seperti gasing mengejar lawan dan dari putaran itu kadang-kadang kedua tangannya mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangka-sangka. Inilah jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara Tiga Belas Jurus Sakti!

 

 Maya terkejut sekali. Akan tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah digembleng secara tekun dan hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus aneh ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri tegak, tidak menghiraukan bayangan tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada waktu tampak berkelebatnya lengan tangan dari putaran itu menyambar, dia memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan dorongan dengan tenaga saktinya. Ketika Ji Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap lawannya yang lihai, tiba-tiba tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya. Sebagai murid seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa lawannya menggunakan gin-kang yang amat hebat, yang lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri, maka cepat ia membalikkan tubuh. Dan memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di belakangnya. Cepat Ji Kun melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang perwiranya seketika merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi terdorong ke belakang dan hampir saja ia roboh terbanting kalau tidak cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan tetapi wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya!

 

 Melihat ini, Maya terkejut sekali dan menegur, Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan senjata? Belum terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini takkan terlawan olehmu dan mungkin hanya mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan dapat menandingiku?"

 

 "Kalau kau belum mengalahkan pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!" jawab Can Ji Kun dengan keras kepala.

 

 Maya menghela napas. Untuk mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak mudah. Dia maklum bahwa biarpun kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun ilmu silatnya masih berada di atas tingkat Ji Kun, demikian pula gin-kang dan sinkangnya. Hanya melihat pedang itu, dia merasa ngeri.

 

 "Pedangmu dahsyat dan mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku takut menghadapi pedangmu. Marilah!" Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah mencabut pedang panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai pemberian Bu-taiciangkun sendiri. Sebuah pedang yang amat baik, terbuat daripada baja biru, akan tetapi bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di tangan Ji Kun.

 

 "Awaslah terhadap seranganku ini, Maya!" Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju, didahului oleh sinar putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.

 

 Maya tidak menjawab, melainkan mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya menusuk mata kaki lawan. Serangan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke dada Maya. Ji Kun mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin sekali Menteri Kam Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Mutiara Hitam, maka diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw Lam. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa biarpun dalam hal pengalaman masih kalah jauh oleh Menteri Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat Maya malah lebih tinggi daripada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena dara ini adalah penghuni, Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek Siansu!

 

 Menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum sekali dan memuji kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang. Terutama sekali pedang pusaka di tangan Ji Kun membuat ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa maut yang menggetar dan dingin sekali. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh getaran itu yang akan mengacaukanpermainan pedangnya. Dia pun tak berani mengadukan pedangnya dengan pedang lawan, dan ketika Ji Kun mendesaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya mengelebatkan pedang menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.

 

 "Takkk!" Maya terkejut bukan main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang seolah-olah mempunyai daya tarik atau daya sedot yang mujijat! Dan kesempatan ini dipergunakan Ji Kun untuk menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala Maya! Maya mengelak cepat.

 

 "Breet!" Robek dan putuslah ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji Kun tersenyum girang dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang pusaka itu selain mempunyai wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot. Pengetahuan ini membuat dia memutar otak mencari akal.

 

 Ketika untuk kesekian kalinya sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim tusukan, kembali ia menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena pertemuan langsung itu mungkin sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan, dia berani menangkis dari samping. Dia sengaja menangkis dari atas sehingga ketika pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada di atas pedang lawan dan sebelum Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak,. Maya telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sin-kang yang membentuk hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya bukan kepalang, yang oleh Han Ki tdisebut pukulan Swat-im Sin-jiu!

 

 Tubuh Ji Kun seperti terkena aliran halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari tangannya. Dia berusaha mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah tubuhnya terguling, dan hanya jatuh duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan matanya, mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dadanya yang terserang hawa dingin luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan tidak ada yang bergerak, semua terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang belum pernah mereka saksikan selama hidup mereka.

 

 Maya menyimpan pedangnya, membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan tangannya menggigil. "Bukan main....!" serunya sambil menggeleng kepala. Memegang pedang itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang amat kejam!

 

 Can Ji Kun membuka matanya dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata,

 

 "Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini."

 

 Bayangan khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit berdiri,menyimpan pedangnya dan berkata, "Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo."

 

 "Ahhh.... sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu," kata Maya perlahan, kemudian sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya"Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?"

 

 Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab, "Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."

 

 Sebelas orang perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!

 

 "Ji Kun, mulai sekarang engkau menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang. Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan Hwa. Di manakah dia sekarang?"

 

 Diingatkan kepada Ok Yan Hwa, sumoinya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya (betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram. "Aku tidak tahu. Kami saling berpisah setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung."

 

 Mungkin karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak. Pada keesokan harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas, yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan!

 

 Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua belas orang pembantunya. "Karena sudah jelas bahwa barisan Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"

 

 "Baik!" jawab Can Ji Kun yang segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa surat laporan Maya dan berangkat pada hari itu juga ke timur. Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke barat.

 

 "Sayang kita tidak tahu pasti ke mana mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak ada yang mengenal baik daerah ini."

 

 "Li-ciangkun, harap jangan khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak akan keliru kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke selatan."

 

 Maya tercengang. Banyak hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala domba ini! "Mengapa kau berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak terdapat barisan Sung?"

 

 "Jalan mundur satu-satunya yang paling lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan dengan barisan Yucen yang kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat terdapat pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan Sung, akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin lemah daripada menghadapi barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi pasukan Sung. Maka kiranya tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa barisan Mancu itu tentu mengundurkan diri ke selatan."

 

 Maya mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si Penggembala domba ini memiliki pemandangan yang luas dan cerdik. "Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke selatan."

 

 Berangkatlah pasukan itu pada keesokan harinya, menuju ke selatan dan ketika para penyelidik memberi pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke selatan, Maya makin kagum terhadap pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat sunyi, karena sebagian besar penduduk mnengungsi dari daerah yang dilanda perang itu.

 

 Kita kembali mengikuti perjalanan dan pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung dan lengan kirinya juga buntung. Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacad saja sudah begitu hebat, apalagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu silat yang, tingkatnya jauh lebih tinggi pula. Disamping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu itu!

 

 "Bagus! Li-hiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna! Andaikata. Aku sendiri yang melatih dengan kaki tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!" Lu Gak, demikian nama kakek itu, tertawa puas. Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya memburu.

 

 "Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat."

 

 "Baiklah.... baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami kedua pihak di mana terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah aku Li-hiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata terpejam."

 

 "Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan lancar," jawab Siauw Bwee dan hatinya lega menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok. Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan satu, namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.

 

 Pada keesokan harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan, telah berkumpul seluruh anggauta kaum kaki buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung. Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan tahun depan, akan tetapi adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga semua anggauta saling serang merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak korban di kedua pihak.

 

 Kedua pihak telah mengajukan lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan tugas hidupnya!

 

 Melihat munculnya Siauw Bwee, yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini pernah bentrok, Kedua kaum cacad itu menjadi terkejut dan marah.

 

 "Bocah pengecut!" Bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah "membunuh" gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun itupun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang ilmunya tinggi itu berada di situ!

 

 "Mau apa engkau?" bentak The Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak berpihak kepada siapapun.

 

 Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan suara bernada dingin,

 

 "Kalian ini orang-orang tua, sudah bercacad tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu, haus darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini masih juga dilanjutkan?"

 

 "Eh, bocah setan. Mau apa engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu?" bentak Liong Ki Bok.

 

 "Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan denganmu!" bentak pula The Bian Le.

 

 Siauw Bwee tertawa, "Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya saling bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian besikap seperti hendak bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai kalian dapat saling tolong-menolong?"

 

 "Banyak cerewet!" The Bian Le berteriak, "Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara kami musnah, barulah akan terhenti!"

 

 "Wah, wah! Memang aku tahu bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara sendiri!"

 

 "Engkau terlalu menghina kami!" teriak Liong Ki Bok.

 

 "Perempuan keparat!" The Bian Le membentak.

 

 Siauw Bwee mengangkat kedua tangan ke atas. "Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanak-kanak kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan merobah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu mengalahkan aku kalau bisa!"

 

 Dua orang ketua itu tertegun. Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga memperlengkap kekurangan mereka.

 

 "Nona, jangan main-main!" teriak Liong Ki Bok.

 

 "Engkau mencari mampus!" teriak pula The Bian Le.

 

 "Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?"

 

 "Keparat! Siapa takut?" Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.

 

 "Kalau begitu, kalian menerima taruhanku?" tanya Siauw Bwee dengan girang.

 

 Kedua orang ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.

 

 "Aku terima!" kata Liong KI Bok.

 

 "Marilah!" kata The Bian Le.

 

 "Bagus! Nah, seranglah!" Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.

 

 Liong Ki Bok sudah menggerakkan. kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat. Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan yang dahsyat! Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek. Makin diserang, makin cepat ia mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking cepatnya. Demikian pula, The Bian Le seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang menghujankan tendangan dengan gerak, kaki yang indah dan rapi.

 

 "Duk!" Kedua orang ketua itu terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The Bian Le sudah kena ditepuk!

 

 "Nah, bukankah ilmu kalian seperti ilmu kanak-kanak?" Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.

 

 Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan pemecahan rahasia kedua ilmu mereka.

 

 Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan gerakan mereka! Setelah bertanding selama seratus, jurus, akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua itu mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh!

 

 Siauw Bwee bertolak pinggang. "Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?"

 

 Liong Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum cacad itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.

 

 "Aku mengaku kalah. Nona lihai sekali, akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak tangan kilat kami?" kata Liong Ki Bok.

 

 "Hal itu tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji untuk menghentikan permusuhan!"

 

 Tiba-tiba The Bian Le berseru, "Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah. Sampai lain tahun!" Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!

 

 "Kami memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk kali ini!" kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan pergi diikuti semua anak buahnya.

 

 Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak roboh dengan mata mendelik!

 

 "Lu-locianpwe!" Siauw Bwee cepat memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh yang hanya berlengan satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek itu setelah sadar lalu mengeluh panjang dan menggeleng kepalanya.

 

 "Keras kepala.... keras kepala mereka itu.... Li-hiap....!"

 

 "Aku akan menghajar mereka, Locianpwe. Akan kupaksa mereka!" Siauw Bwee berkata gemas, maklum bahwa kakek ini merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa kedua kaum itu masih saja tidak mau menghentikan permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah gagal!

 

 Akan tetapi, dengan napas terengah-engah kakek itu berkata, "Percuma, Lihiap....! Ahh....! Kiranya hanya Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka mata mereka bahwa semua permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik...."

 

 "Tenanglah, Locianpwe. Yang paling penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahan-lahan kita mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu."

 

 "Aihh, kau baik sekali, Li-hiap. Akan tetapi mereka, aahhh...." Dan kakek itu lalu menangis terisak-isak! Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan kakek itu yang telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Dengan sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu.

 

 Tiga hari kemudian, selagi Siauw Bwee menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat keluar dan tampaklah semua anggauta kedua kaum bercacad itu berkumpul di luar pondok dan saling memaki,

 

 "Sudah jelas betapa rendah dan curangnya Si Lengan Buntung!" teriak seorang nenek berkaki buntung sambil menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang memandang marah. "Siapa lagi kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan bantuan gadis setan itu? Orang she Lu adalah seorang di antara kaummu, tentu membantu kalian!"

 

 "Tutup mulutmu yang kotor!" bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan telunjuk lengan tunggalnya kepada rombongan kaki buntung, "Gadis itu pernah berada di tempat kalian, tentu dia telah membantu kalian menculik ketua kami!"

 

 Mendengar ini Siauw Bwee yang baru keluar berseru, "Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?"

 

 Semua orang menengok dan ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando saja mereka kedua pihak telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee.

 

 Dara perkasa ini terkejut dan heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan, menyambar-nyambar laksana burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga terdengarlah orang-orang mengaduh disusul robohnya belasan orang berturut-turut! Untung bagi mereka bahwa Siauw Bwee masih menaruh kasihan, menganggap mereka itu orang-orang keras kepala yang bodoh dan dimabok dendam, maka dia masih menahan tenaganya dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.

 

 "Tahan.... Apakah kalian telah gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua....!"

 

 Siauw Bwee melompat kedekat pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan pintu, menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum cacad itu memandang Lu Gak dan seorang kakek lengan buntung berkata,

 

 "Lu-supek, Suhu The Bian Le telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona ini?"

 

 "Juga ketua kami diculik oleh Nona ini!" berkata seorang tokoh kaki buntung.

 

 Lu Gak menggeleng-gelengkan kepalanya, "Hemm.... kalian sudah gila semua, gila oleh dendam permusuhan sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta. Apakah kalian melihat sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?"

 

 "Kemarin pagi ketua kami menyatakan hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat rawa melawan ketua lengan buntung," demikian kakek yang berkaki buntung bercerita, "Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan diantara kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui oleh Nona ini yang melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang, maka terpaksa kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami tiba di dekat rawa, kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga mencari ketua mereka. Akan tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan lengan baju yang buntung dari ketua lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak kelihatan mayat di situ, berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan Nona ini?"

 

 Tiba-tiba Siauw Bwee melangkah maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah mundur. Mereka jerih terhadap Siauw Bwee yang luar biasa lihainya. "Permusuhan di antara kalian telah menimbulkan banyak malapetaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah satu-satunya orang yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua kakinya! Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah jalan yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan kalian datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa besar, rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang gila, agaknya aku akan senang untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalat-lalat busuk yang hanya mengotori dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian sehingga ketua kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku berjanji untuk membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka bersumpah untuk menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari mereka?"

 

 Orang-orang kedua rombongan saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.

 

 "Ingat, orang yang dapat menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku akan berusaha mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua kalian, Akan tetapi bersumpahlah lebih dulu bahwa semenjak saat ini, semua dendam di antara kalian telah habis dan kalian tidak akan saling bermusuhan lagi, bagaimana, sanggupkah?"

 

 Hening sejenak dan terdengar mereka semua berbisik -bisik. Kemudian, kakek kaki buntung memelapor teman-temannya, "Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup asal ketua kami diselamatkan!"

 

 Siauw Bwee tersenyum. Memang pihak kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya, "Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan mencari dan menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!"

 

 "Kami.... kami sanggup dan bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami diselamatkan!" Akhirnya nenek lengan buntung berseru.

 

 Siauw Bwee masih belum puas. Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan di antara mereka dan siapa tahu kalau nanti ketua mereka telah berada di tengah mereka, permusuhan akan dilanjutkan.

 

 "Bagaimana kalau kelak ternyata bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan permusuhan?"

 

 Hening pula sejenak dan tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian berkata, "Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian menaati kehendak ketua kalian yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih nekat saling bermusuhan dan tidak menaati janji dengan Khu-lihiap, kita hancurkan saja mereka yang menjadi sarang dan bibit permusuhan."

 

 "Akurr....!" Kini semua anggauta kedua kaum itu berteriak.

 

 Wajah Siauw Bwee berseri, "Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap meninggalkan lengan baju dan tongkat!"

 

 Berangkatlah mereka menuju ke rawa di mana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok burung-burung liar. Ketika mereka tiba di tepi rawa di mana mereka menemukan tongkat Liong Ki Bok dan lengan baju The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke sekitarnya dan dia mengerutkan kening. Rawa itu amat luas dan tidak tampak tempat yang kiranya dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal orang yang menculik kedua orang ketua itu. Dia merasa heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik, tentu tidak disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat. Tempat terbuka. luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan orang? Dia memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan tempat sarang maut dan teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok burung, yaitu Cia Cen Thok si bekas "mayat hidup" dan pemuda Co-bi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu mereka itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau.... dikeroyok ular. Siauw Bwee bergidik.

 

 "Li-hiap, ke mana sekarang kita mencari mereka?" Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan semua orang kini memandang kepada Siauw Bwee.

 

 Siauw Bwee menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka yang sejak tadi mengerutkan alisnya dan memandangi daerah rawa yang luas, berkata,

 

 "Ahh, aku tahu! Tidak salah lagi....!"

 

 Semua orang kini memandang kakek itu dan Siauw Bwee bertanya, "Di mana mereka menurut pendapatmu, Locianpwe?"

 

 Semua orang diam mendengarkan jawaban kakek itu, "Kedua orang sute itu kalau diculik orang tentu disembunyikan di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk maksud itu dan satu-satunya tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!"

 

 Orang-orang kedua kaum cacad itu saling pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai kelihatan murung dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu, kecuali jika diadakan pibu! Namun, melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak pergi menuju ke kuil tua, mereka mengikuti dari belakang.

 

 "Lihat itu....! Siauw Bwee berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda beterbangan di atas kuil.

 

 "Kelelawar-kelelawar siang!" Anggauta kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan langkah. Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah kuil. Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah takut-takut.

 

 Siauw Bwee lebih dulu tiba di kuil dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menambus ke halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang mengejutkan hatinya. Dua orang kakek itu, Liong Ki Bok dan The Bian Le, rebah telentang di atas rumput, agaknya terluka dan tertotok, terbelalak memandang ke arah ratusan kelelawar yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara seperti sekumpulan anjing dan kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak berdaya itu! Melihat ini, Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini, Siauw Bwee teringat dan melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan tenaga khi-kang, ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan mengandung getaran, hebat. Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri dengan terbang membumbung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu makin bingung, bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara melengking yang begitu dahsyatnya.

 

 Tiba-tiba di luar kuil terdengar suara tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan suara gedebak-gedebuk orang berkelahi.

 

 "Locianpwe, harap menjaga agar binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu memaksa diri. Aku akan melihat keluar!" Tubuh dara perkasa itu sudah berkelebat keluar kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak keheranan. Puluhan orang-orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah belasan orang anggauta kedua kaum itu roboh tewas, banyak pula yang terluka dan kedua orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.

 

 "Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja rawa! Lebih banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa kelelawar!" teriak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat saja, tubuhnya penuh lumpur.

 

 "Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran rawa-rawa!"

 

 Siauw Bwee menahan napas melihat orang ke dua itu, yang pakaiannya robek-robek tidak karuan hampir telanjang dan seperti orang pertama rambutnya riap-riapan tubuhnya penuh lumpur dan mata mereka itu merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian mereka luar biasa sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja akan tetapi setiap tangan mereka bertemu dengan anggauta-anggauta kedua kaum yang mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!

 

 "Cia Cen Thok, Liem Hok Sun ....!" Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran. "Semua orang mundur, jangan melawan mereka!" Mendengar seruan ini dan karena memang takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu, anak buah kedua kaum cacad itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya Siauw Bwee saja yang berhadapan dengan dua oranggila. ia menoleh dan berkata kepada orang-orang itu. "Ketua kalian selamat, di halaman belakang!" Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.

 

 "Cia Cen Thok, Liem Hok Sun, apa yang kalian lakukan ini?" Siauw Bwee memberanikan diri menegur dengan hati gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak waras lagi dan tidak normal.

 

 "Ha-ha-ha!" Kedua orang itu tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.

 

 "Cia Cen Thok! Liem Hok Sun! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!"

 

 "Ha-ha-ha! Korban lunak untuk para dewa kelelawar!" Tiba-tiba Cia Cen Thok yang tertawa-tawa itu menyerang hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak. Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka semua beracun! Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri dari pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain gila, tubuh mereka menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua orang gila itu telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat sekali!

 

 Pada saat Siauw Bwee mengelak dan mengandalkan- gin-kangnya agar jangan sampai kulit tubuhnya tersentuh tangan-tangan beracun itu, para anggauta kedua kaum telah memapah keluar ketua mereka, mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka tidak membantu karena ketua mereka berkata, "Dua orang itu korban kelelawar, tubuh mereka beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan mereka!"

 

 Siauw Bwee harus menggunakan seluruh kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu. Yang menyulitkannya adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa mungkin dia tega untuk membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena kedua orang itu menyerangnya dengan nafsu membunuh, setelah menjadi korban gigitan kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga gerakan mereka menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai daripada sebelum gila.

 

 Bukan main ramai dan serunya pertandingan itu. Biarpun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa bagian pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet cakaran tangan Hok Sun sehingga mengeluarkan darah. Rasa gatal dan panas pada pundaknya membuat, Siauw Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun. Terpaksa dia harus mengerahkan sin-kangnya dan dengan hawa murni itu dia mendesak hawa beracun di pundaknya sehingga tidak menjalar lebih luas. Ketika ia agak lengah karena melirik ke arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok dengan tendangan yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya. "Desss!" Tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah! Dua orang gila itu terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan seperti dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa pahanya panas sekali, cepat ia menggunakan sin-kang melindungi darahnya dan melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas, gila atau tidak, mereka itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia robohkan, tentu akhirnya dia sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka menubruk maju Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya dan menyambut tubuh mereka dengan tendangan kedua kakinya!

 

 "Bukk! Bukk!"

 

 Dua orang gila itu berteriak seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar ke belakang dan mereka bergulingan menekan perut yang rasanya seperti diremas-remas! Mereka kini meringis dan Siauw Bwee sudah melompat bangun, kepalanya pening akibat bau racun dan tubuhnya agak terhuyung. Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali melihat dua bekas lawan yang gila itu meraung-raung kesakitan. Namun, kedua orang itu kini sudah bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya.

 

 Siauw Bwee terkejut. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Dia harus membagi sin-kang untuk melindungi tubuhnya dari kedua lukanya. Luka di kulit pundak dan kulit pahanya. Tendangan Cen Thok tadi merobek celananya di paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan keracunan pula bertemu dengan kaki Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu sudah menyerbu lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan.

 

 Tubuh kedua orang gila itu seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi biru, tubuh mereka menggigil dan mereka bergulingan sampai jauh kemudian berhasil merangkak bangun dan melarikan diri sambil berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki buntung dan seorang anggauta lengan buntung cepat menolongnya, memegang kedua lengannya menuntunnya memasuki kuil tua.

 

 "Lepaskan aku...." Siauw Bwee berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.

 

 Para anggauta kedua kaum itu mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersamadhi menghimpun tenaga dan hawa murni untuk mengobati luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian Le memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee. Mereka pergi ke ruangan depan di mana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa bersatu dan lenyaplah. rasa permusuhan di antara mereka setelah kedua pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan dami untuk mendamaikan mereka!

 

 Mereka tidak mau meninggalkan Siauw Bwee dan beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk dan pergi lagi ketika melihat Siauw Bwee masih tetap bersamadhi. Malam tiba dan para anggauta kedua kaum itu menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan. Kini tampaklah suasana yang mengharukan di mana seorang kaki buntung dan seorang lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu halaman kuil! Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling membicarakan kedua ilmu mereka, membuka rahasia gerak kilat masing-masing!

 

 Setelah malam tiba dan lampu penerangan dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di pundak dan pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah karena ia terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran racun-racun berbahaya itu dan ketika ia bangkit, ia mengeluh dan terhuyung. Kemudian dengan terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung.

 

 "Mana kedua ketua kalian?" tanyanya ketika ia dipapah keluar. Kedua orang kakek itu sudah menyambutnya dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw Bwee, mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu!

 

 "Terima kasih kami haturkan kepada Li-hiap yang sudah menolong kami!" kata The Bian Le yang berlutut dan mengangkat sebelah tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan.

 

 "Terima kasih sekali, terutama karena Li-hiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah untuk mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami bersatu sebagai saudara-saudara seperguruan," kata Liong Ki Bok.

 

 Bukan main girangnya hati Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini, biarpun ditebusnya dengan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang karena mengingat betapa akan bahagianya rasa hati Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya,

 

 "Mana dia?"

 

 Dua orang ketua itu saling pandang, "Siapakah yang Li-hiap cari?" tanya Liong Ki Bok.

 

 "Hemmm, betapa kalian telah melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian! Mana Locianpwe Lu Gak?"

 

 "Ahh....!" Barulah semua orang teringat akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.

 

 "Lekas, jemput dia di pondoknya!" Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu menyuruh mereka karena dia sendiri masih terlalu lemah. Dua orang kakek itu cepat pergi sendiri dan tak lama kemudian mereka datang dengan wajah berduka sambil memanggul tubuh yang hanya berlengan satu dan yang sudah tak bernyawa itu!

 

 Hati yang duka dari Siauw Bwee berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu Gak. Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya saking girangnya menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang dengan hati girang dan rasa girang yang berlebihan menyerang jantungnya dan membuatnya mati dalam keadaan penuh bahagia!

 

 Jenazah Kakek Lu dikubur di halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah, Siauw Bwee berkata dalam pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh, "Kuharap saja kalian akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk permusuhan dan membuntungi kaki dan lengan orang, dan anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai lambang perdamaian abadi."

 

 Siauw Bwee diantar oleh semua anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu itu, diberi pakaian, kuda dan bekal secukupnya. Kedua ketua itu berlinang air mata ketika Siauw Bwee melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal, meninggalkan tempat yang takkan dapat ia lupakan itu karena di situ dia telah mengalami hal-hal yang hebat.

 

 Setelah meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan mencari ibunya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar berita dari seorang perwira Sung bekas sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri mengungsi itu, telah meninggal dunia karena sakit sesudah mendengar bahwa suaminya gugur. Siauw Bwee sempat mengunjungi kuburan ibunya, bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan ibunya di dusun sunyi sampai beberapa hari, kemudian karena mendengar keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin barisan besar ke utara untuk melawan para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu di perbatasan utara, dia lalu melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara. Kebenciannya terhadap musuh besar itu meningkat karena dia menganggap bahwa kematian ibunya pun disebabkan oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan setiap saat teringat dengan hati penuh rindu kepada suhengnya, Kam Han Ki, kini melakukan perjalanan dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya menjadi pendiam dan kurang gembira.

 

 ***

 

 Kota-kota dan dusun-dusun daerah utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi karena selain tidak tahu harus pergi ke mana, juga mereka merasa sayang untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Ada pula yang menyuruh keluarganya saja pergi mengungsi. Karena banyak warung, toko dan restoran tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan toko merupakan usaha yang amat baik dan menguntungkan. Warung-warung nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat itu sewaktu-waktu kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan bangkunya butut, tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan yang disediakan pun amat sederhana, walaupun harganya sama sekali tidak sederhana, melainkan harga pukulan!

 

 Bagi restoran-restoran di dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat dusun itu. Para perajurit yang makan-makan di restoran tidak berani berbuat sewenang-wenang, dan selalu membayar karena pemilik-pemilik restoran itu dengan cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan mengirim hidangan-hidangan yang lezat. Selama ini, juga dengan adanya rumah-rumah makan itu mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak bayar dan semua restoran tutup, tentu mereka akan kehilangan.

 

 Pada suatu pagi, Panglima Maya dan sebelas orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup besar di kota dekat tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta para perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu dilayani penuh hormat. Para pengawal cukup duduk di ruangan bawah saja dan mereka menghadapi meja sambil bersendau-gurau, karena para pemimpin mereka berada di loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dan bersendau-gurau saling menggoda.

 

 Tiba-tiba delapan orang perajurit pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu menghentikan sendau-gurau mereka dan semua mata memandang ke arah pintu restoran, mulut mereka tersenyum-senyum. Siapa orangnya yang tidak akan terpesona menyaksikan seorang dara jelita memasuki restoran itu dengan langkah tegap dan lenggangnya menggiurkan itu? Dara itu masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning dengan leher baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh debu dapat diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh. Wajah dara ini cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk indah, kerlingnya tajam dan menyentuh berahi. Ketika seorang pelayan menghampirinya, dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh lengan Si Pelayan sambil berkata,

 

 "Cepat sediakan nasi lauk-pauk seadanya dan minuman teh panas!"

 

 Para perajurit tertawa-tawa gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani dan ramah, berani memegang lengan seorang pelayan laki-laki tanpa sungkan –sungkan lagi.

 

 "Wah, sayang bukan lenganku....!" Terdengar seorang perajurit berkata sambil mengelus-elus tangannya sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya. Dara itu tidak peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng. Para perajurit itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh oleh dara baju kuning itu seketika menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan setelah dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan yang dipesan, sikapnya amat hormat dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang perajurit dari meja yang telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang belum dilayani.

 

 Seorang perajurit dari meja kosong menggebrak meja, "Apa ini? Pelayan, kami memesan lebih dulu, kenapa melayani orang yang datangnya belakangan? Apa kaukira kami tidak membayar?"

 

 "Ha-ha-ha!" Seorang perajurit dari meja, yang sudah dilayani tertawa, "Kenapa mencak-mencak? Kalau mukamu cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu! Ha-ha-ha!" Teman-temannya tertawa dan empat orang perajurit yang belum dilayani itu makin marah.

 

 "He! Pelayan! Ke sini kau, kalau mau tahu rasanya pukulan perajurlt-perajurit Pasukan Maut!"

 

 Pelayan itu berdiri dengan kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja, telah menuangkan teh ke dalam cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si Pelayan, "Pelayan, jangan layani anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama sekali yang menggunakan nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak baik lagi!"

 

 Mendengar ini, empat orang perajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja gadis, itu, mengurung dari empat penjuru. Seorang di antara mereka yang berada di belakang gadis itu mencabut golok dan berkata,

 

 "Eh, engkau perempuan kang-ouw merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam dari mulutmu yang manis!"

 

 Gadis itu masih memegang cawan teh panas, menunda minumnya dan, matanya yang indah bergerak melirik ke kanan kiri dan depan.

 

 Perajurit yang berada di depannya sudah membentak, "Engkau sungguh kurang ajar, datang-datang minta dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda cantik, kami masih mengalah dan hanya ingin menegur pelayan. Kenapa kau memaki kami? Penghinaan itu baru lunas kalau kau membayar dengan sebuah ciuman dari bibirmu yang ma.... ougghhh....!" Perajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mukanya sudah kena siraman air teh panas yang telah "meloncat" dari cawan yang dipegangi dara itu. Tiga orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan tetapi dari dalam cawan itu kini air teh "meloncat" ke tiga penjuru, ke kiri kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang perajurit yang menjadi gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan tetapi juga karena percikan air yang mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum menusuk!

 

 Empat orang perajurit lain menjadi marah menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan mengusap-usap mata seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.

 

 "Tentu dia mata-mata musuh! Serang! Bunuh....!"

 

 Dara itu bangkit berdiri, tangannya meraih ke depan dan sebuah piring melayang-layang terbang menyambar empat orang perajurit itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang perajurit itu roboh dengan lengan mereka berdarah karena ketika mereka menangkis, lengan mereka tergores piring yang menjadi tajam karena berpusing itu, melebihi pisau! Akan tetapi tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara kemudian berdesing turun menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget, menangkap piring, meletakkannya di atas meja lalu dia menoleh ke arah anak tangga menuju loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu memandang tajam dan kakinya menendang meja di depannya sehingga meja itu terlempar jauh. Agaknya dia tahu bahwa dia kedatangan lawan tangguh, maka ingin mencari tempat yang luas untuk menghadapi pengeroyokan.

 

 Ketika para perwira lari-lari turun dari loteng dan para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru, "Tahan! Mundur semua! Aku mau bicara.... dengan dia!"

 

 Dara itu telah siap berdiri dengan tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang juga tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat karena masing-masing seperti telah mengenal.

 

 Ketika Maya melihat gagang pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan segera menegur, "Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?"

 

 Dara itu kelihatan kaget sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya, "Bagaimana engkau bisa tahu?"

 

 Maya tersenyum lebar, "Kalau benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa kepadaku!"

 

 Dara perkasa itu memang benar Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan teringat, lalu berkata, "Dan engkau agaknya Maya...."

 

 "Benar, Yan Hwa, kebetulan sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak mengenal wanita perkasa! Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta maaf!"

 

 Mendengar bahwa dara baju kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun, delapan orang perajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata, "Lihiap, mohon sudi mengampuni kami yang bermata tapi seperti buta!"

 

 Akan tetapi Ok Yan Hwa yang berwatak angkuh tidak mempedulikan mereka, apalagi karena ia tertarik dan terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari "Can-huciang"!

 

 "Apa maksudmu, Maya? Benarkah Suheng berada di sini?"

 

 "Benar, Yan Hwa. Dia adalah seorang di antara pembantu-pembantuku yang utama."

 

 "Suheng? Ah, mana mungkin Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?"

 

 Maya mengerti bahwa dalam hal keangkuhan, gadis itu tidak kalah oleh suhengnya. Maka ia pun berterus terang dan tersenyum, "Dia menjadi perwira pembantuku karena kalah taruhan."

 

 Yan Hwa mengerutkan alisnya, memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar mata marah karena mengira bahwa Maya bicara main-main, "Maksudmu?"

 

 "Dia telah mengadu kepandaian melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut, dan kalau dia yang kalah dia akan membantuku dan menjadi perwiraku."

 

 Yan Hwa membelalakkan matanya yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang. Ketidakpercayaan membayang jelas di wajahnya, "Aku tidak percaya. Mana dia?"

 

 "Dia sedang bertugas ke pantai timur, menjalankan perintahku."

 

 "Hemmm..., aku lebih tidak percaya lagi."

 

 "Bahwa dia menjadi perwira pembantuku?"

 

 "Aku tidak percaya bahwa dia telah kalah olehmu!"

 

 "Namun kenyataannya demikianlah, Yan Hwa, karena suhengmu sudah menjadi pembantumu, bagaimana kalau engkau juga membantu aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung yang telah menewaskan Menteri Kam Liong kakak subomu, kita membasmi tentara Yucen, dan terutama sekali kita membasmi bangsa Mongol yang telah membunuh subomu. Bagaimana?"

 

 Sejenak Yan Hwa diam memutar pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suhengnya, karena rindu dan juga karena ingin melihat apakah sekarang, setelah merantau sekian lamanya, dia sudah dapat menundukkan suhengnya itu.

 

 "Aku tetap tidak percaya bahwa Suheng telah kalah olehmu." Ia mengamati wajah Maya yang amat cantik jelita itu. Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu! "Kalau benar Suheng menjadi perwira pembantumu, aku lebih percaya kalau dia lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu."

 

 Wajah Maya menjadi merah, akan tetapi ia tetap tersenyum dan berkata dengan ejekan yang disengaja, "Yan Hwa, engkau tetap angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak percaya, bagaimana kalau kita pun mengadakan pertaruhan seperti yang telah dilakukan suhengmu?"

 

 "Engkau menantangku?" Sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.

 

 "Bukan menantang, murid bibiku yang manis, melainkan aku mengajak engkau berjuang bahu-membahu, dan untuk meyakinkan hatimu maka marilah kita mencoba kepandaian, tentu saja kalau kau berani."

 

 "Singggg....!" Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut pedangnya. Jantung Maya berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa terheran-heran mengapa mendiang bibinya yang terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang sakti dan gagah perkasa, suka memiliki dua buah pedang seperti yang diwariskan kepada Ji Kun dan Yan Hwa ini. Pedang di tangan Yan Hwa mempunyai wibawa yang sama dengan Pedang Iblis Jantan milik Ji Kun.

 

 "Engkau menerima pertaruhan ini?" Dia bertanya.

 

 Yan Hwa mengangkat pedangnya, tegak lurus di depan dahinya. "Maya, aku telah bersumpah demi kehormatan nama suhu dan subo, pedangku ini hanya akan menghirup darah orang-orang jahat. Baru sekarang tercabut keluar dari sarangnya bukan untuk membasmi penjahat. Akan tetapi ketahuilah, sekali pedang ini tercabut, dia tidak akan kembali ke sarungnya sebelum menghirup darah. Karena itu, katakan bahwa engkau membohong, bahwa Suheng tidak pernah kaukalahkan, dan aku akan menyimpannya kembali dan pergi dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah penjahat di lain tempat yang kudapatkan."

 

 Maya tersenyum. "Yan Hwa, engkau tidak memalukan menjadi murid mendiang Bibi, Mutiara Hitam, engkau seorang pendekar, akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam hatimu. Aku tidak pernah membohong, dan biarpun aku tidak mamiliki sebatang pedang pusaka sekeji pedangmu itu, namun aku tidak takut menghadapinya." Sambil berkata demikian perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan membuka jubah luarnya yang ia lemparkan kepada Cia Kim Seng. Bekas penggembala domba ini menerima jubah dan dia bersama para perwira lain kini mencari tempat yang enak buat menonton pertandingan yang akan terjadi. Para perajurit pengawal sudah menjauh-jauhkan meja kursi di dalam restoran itu sehingga ruangan restoran yang cukup luas itu kini menjadi sebuah arena pertandingan yang dapat diduga akan terjadi dengan dahsyat dan seru.

 

 "Maya, bersiaplah engkau!" Sebelum gema suara ini habis, tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah berkelebat ke depan didahului sinar putih berkilat yang menyilaukan mata. Diam-diam Maya kagum. Kiranya Yan Hwa memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan daripada Ji Kun, maka ia bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas dengan tusukan pedangnya dari samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang pusakanya maka dia menyabetkan pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dengan maksud merusak pedang lawan.

 

 "Bagus!" Maya memuji dan meloncat tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah kakinya. Dari atas, jubah Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya mengancam ubun-ubun kepala lawan. Hebat bukan main gerakan Maya ini, selain indah juga amat sukar dilakukan sehingga para perwira pembantunya memuji. Juga Yan Hwa kagum sekali, akan tetapi watak dara ini tidak ada bedanya dengan watak suhengnya. Dia tahu bahwa Maya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya kalau Maya dapat mengalahkan suhengnya, atau dia dengan Pedang Iblis Betina di tangannya! Maka serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan dengan merendahkan tubuh lalu menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika serangan Maya itu luput dan panglima wanita ini sudah berjungkir balik lagi membuat salto dan kakinya menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan Hwa sudah berkelebat lagi, sinar pedangnya berubah seperti payung, merupakan gulungan yang bundar dan dari gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang dan mengandung hawa panas!

 

 Maya makin kagum. Harus ia akui bahwa dalam hal kecepatan gerak dan ilmu pedang, ternyata Yan Hwa ini tidak kalah oleh suhengnya, bahkan mungkin lebih berbahaya serangan-serangannya. Maka dengan hati kagum, gembira namun juga waspada dan mengimbangi permainan lawan dengan gerakannya yang lebih cepat lagi. Dia berlaku hati-hati, tidak pernah pedang mereka bentrok secara langsung. Paling-paling hanya bersentuhan sedikit dan bergeseran, namun itu pun sudah membuat pedangnya mengeluarkan api dan kadang-kadang hampir dapat tersedot dan menempel! Hanya dengan sin-kangnya yang kuat saja dia dapat mencegah pedangnya melekat pada pedang lawan.

 

 Mata para perwira, apalagi para perajurit sudah berkunang-kunang karena silau menyaksikan sinar kilat pedang Yan Hwa berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah lewat tanpa ada yang tampak terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh Maya. Kalau ia mau, dengan sin-kangnya yang amat tinggi dan kuat, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya dengan pukulan yang membahayakan bagi keselamatan Yan Hwa, namun dia tahu bahwa jika dia mengalahkan Yan Hwa dalam waktu singkat, tentu hati dara yang angkuh ini akan tersinggung.

 

 "Yan Hwa, inikah Siang-bhok Kiam-sut dari mendiang Bibi? Hebat bukan main....!" Maya cepat mengelak karena kembali ada sinar kilat menyambar ke arah lehernya.

 

 "Singggg! Wuuuusssshhhh!"

 

 Diam-diam Yan Hwa terkejut dan juga kagum sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar amat hebat kepandaiannya, ilmu pedangnya aneh dan dalam hal gin-kang. Maya bahkan melampaui tingkatnya! Seperti juga Ji Kun, dia terheran-heran mengapa bocah yang dahulu ikut bersama Panglima Khu Tek San itu kini telah menjadi seorang yang begini lihai. Tentu Menteri Kam Liong, kakak subonya yang kabarnya lebih lihai dari subonya itu yang menjadi gurunya.

 

 "Maya, engkau, pun hebat! Agak berkurang ketidakpercayaanku. Akan tetapi aku belum kalah!" kata Yan Hwa yang sudah menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak menguras semua kepandaiannya untuk mencapai kemenangan.

 

 Maya maklum bahwa untuk menundukkan orang seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia lalu mengeluarkan suara melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan sedemikian cepatnya sehingga Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan pandang matanya berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar pedang pusakanya sehingga tubuhnya terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat. Menghadapi pertahanan seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya hanya memancing agar pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi kecepatannya dan menahan serangannya. Melihat bahwa gerakan Maya tidak secepat tadi, Yan Hwa juga berhenti melindungi tubuh dan ia mendapat kesempatan untuk menyerang lagi dengan tusukan kilat ke dada Maya.

 

 "Bagus!" Maya memuji, pedangnya menangkis dari samping.

 

 "Trakk! Pedangnya menempel dan tersedot oleh Li-mo-kiam, dan melihat kini lawan berani mengadu pedang sehingga tertempel oleh pedang pusakanya, Yang Hwa menjadi girang sekali dan melanjutkan pedangnya isang sudah membikin tak berdaya pedang lawan itu untuk menusuk ke perut. Kesempatan ini yang dipergunakan Maya. Ia melepaskan pedangnya, membanting diri ke kiri dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah ia mengirim pukulan sin-kang ke arah lengan tangan Yan Hwa yang memegang pedang.

 

 "Aiiihhh...." Yan Hwa memekik, pedangnya yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh dan tubuhnya menggigil kedinginan, rasa dingin yang terus menjalar ke dalamdadanya. Ia maklum bahwa dia telah terkena pukulan sin-kang yang amat kuat dan berbahaya, maka tanpa mempedulikan sesuatu ia lalu duduk bersila dan mengatur napas.

 

 Maya telah melompat dan sekaligus menyambar dua buah pedang yang saling menempel itu. Dengan tenaga sin-kang ia melepaskan pedangnya yang tersedot dan menempel pada Li-mo-kiam, menyarungkan pedangnya dan mengamat-amati pedang Yan Hwa dengan penuh kengerian.

 

 Yan Hwa membuka matanya, lega bahwa lukanya tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena pukulan seperti itu, agaknya dia akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan menggunakan pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin dia dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh. Jangankan baru dia atau suhengnya, bahkan mendiang suhunya atau subonya sekalipun agaknya belum tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian hebatnya.

 

 Maya menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. "Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu."

 

 Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata, "Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu."

 

 Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk.

 

 "Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."

 

 Maya tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri.

 

 Maya menghela napas, "Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu itu di samping pedang Ji Kun, adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan malapetaka hebat."

 

 Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa maupun terhadap Ji Kun kelak.

 

 Para perwira dan perajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.

 

 Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik depan bahwa ada berita di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.

 

 Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke depan. "Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu," kata Yan Hwa di tengah jalan.

 

 Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri. Biarpun dalam ilmu silat, wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia menjawab,

 

 "Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu."

 

 "Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga."

 

 Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu."

 

 Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, "Awas belakangmu!"

 

 Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.

 

 "Kita lari....!" Cia Kim Seng berteriak.

 

 "Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!" Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, merangkak paling depan, tampak seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan serigala itu!

 

 "Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-hu-ciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia pemimpinnya!" Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.

 

 Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit!

 

 Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.

 

 "Desss!" Tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu, akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.

 

 Melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan dan keadaannya benar terancam bahaya, Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ia lalu miringkan tubuh ketika laki-lakl gundul itu menerjangnya, dari samplng ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.

 

 "Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!" Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!

 

 "Aduhhh...., ampun.... lepaskan aku....!"

 

 "Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!"

 

 Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan.... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!

 

 Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. "Buhuh saja manusia serigala itu!" katanya marah.

 

 "Ampun....!" Si Laki-laki gundul berkata.

 

 "Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!" bentak Yan Hwa.

 

 "Baik...., baik...., aku berjanji....!"

 

 Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar. "Ceritakan siapa kau?"

 

 "Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku.... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...."

 

 "Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!" Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu itu. Muka Theng Kok menjadi pucat dan ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. "Aku menurut.... menurut....!"

 

 Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.

 

 Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata,

 

 "Pangeran....!"

 

 Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,

 

 "Siapa yang memimpin barisan ini?"

 

 "Panglima Durbana, Pangeran!" jawab perwira itu penuh hormat.

 

 "Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?"

 

 "Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...."

 

 "Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!"

 

 "Baik, Pangeran!" Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.

 

 Ok Yan Hwa memandang "rekannya" itu penuh takjub.

 

 "Jadi kau.... kau.... seorang Pangeran Mancu....?"

 

 Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata, "Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun.

 

 Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.

 

 "Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung!" Pangeran itu menegur dengan suara marah.

 

 "Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apalagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantupembantunya yang berkepandaian tinggi."

 

 Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa.

 

 "Ok-li-huciang. Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan bantuan segera."

 

 "Baik, Cia.... eh, Pangeran Bharigan, Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu, Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu, Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat, berada di depan!

 

 "Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!"

 

 Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

 

 Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.

 

 "Hemm...., kiranya engkau di sini?" Terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoinya.

 

 "Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?" Ok Yan Hwa menjawab pula, suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu.

 

 Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung bahwa saat itu mereka sedang, sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata,

 

 "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat."

 

 Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.

 

 "Jangan khawatir, Si Tua Bangka, keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!" kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.

 

 "Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!" Yan Hwa tidak mau kalah.

 

 Maya tersenyum. "Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian, aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos." Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata, " Ji Kun,, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat."

 

 Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta! Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm.... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita. Hemmm.... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta? Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia sendiri...., dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suhengnya! Ah, betapapun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua anggauta pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas! Akan tetapi...., apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.

 

 Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan yang kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apalagi ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya, menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.

 

 Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apalagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya. Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang ke dua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

 

 Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya, dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi. Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat (baca cerita MUTIARA HITAM).

 

 Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, suka sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali "ter" lagi karena dia mempunyai perasaan lebih daripada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain. Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa, disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri. Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting daripada menilai diri orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya.

 

 Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi. Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditumbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya! Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biarpun dengan kepandaian dan kedudukannya, dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.

 

 Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pesnberontak. Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguhpun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.

 

 Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya, dan sehari itu dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh . Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka, apalagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu.

 

 Yang didengar oleh Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit. Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya,

 

 "Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak perajurit. Biarkan perajurit-perajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita akan siap untuk menyambut dan menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!" Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.

 

 Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata, "Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita bersenang-senang."

 

 Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa. "Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!" Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu. Akan tetapi, sepasang alis wanita itu agak mengerut, dan dia tidak melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati, karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin! Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan, dan menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua akan tetapi sebenarnya, secara diam-diam dia cerdik, setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan daripada suaminya!

 

 Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi, orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih berahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu berahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu? Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, karena dia sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan. Sang Panglima!

 

 Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu berahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi, dia tidak mau peduli asal tidak menyolok di depan matanya!

 

 Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San. dan mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apabila keadaan memungkinkan.

 

 Kita tinggalkan dulu dua pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan.

 

 Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segalagalanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain sekali. Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu berahi besar dan seorang pria yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya membentuk watak yang mengerikan dalam hati pemuda tampan ini.

 

 Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya! Dan dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh diri.

 

 Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian! Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya karena cintanya putus, cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang ke dua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya, mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum wanita! Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh nafsu berahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci! Dia memperkosa wanita, menyakitkan hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan adakalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya!

 

 Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita dan untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah berahinya. Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang "play boy" besar yang tiada tandingannya.

 

 Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biarpun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacad celanya hanya dengan melihat dari balakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.

 

 Perutnya mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi!

 

 Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yanglumayan. Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang berbeda. Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak membosankan.

 

 Adapun gadis ke dua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya aga lonjong dengan dagu meruncing manis. Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di pantai. Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguhpun sifat mereka berlawanan.

 

 Melihat seorang pemuda tampan dan gagah, memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.

 

 Kedua orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya karena biarpun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sin-kang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.

 

 "Suci, kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...." bisik gadis baju merah kepada gadis baju biru.

 

 "Hemm, melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!" bisik Si Kakak Seperguruan.

 

 Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada pelayan, "Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan manis!" Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang kepadany. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi.

 

 Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang sikap yang akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan mereka. Pasti!

 

 "Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar maupun penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san."

 

 "Baiklah, Suci."

 

 Kedua orang gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun, selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu berahinya.

 

 "Setelah makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di perjalanan," kata pula gadis baju biru.

 

 "Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?"

 

 "Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda."

 

 "Akan tetapi tidak melelahkan, Su-ci...."

 

 "Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah, jangan rewel...."

 

 Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran, diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.

 

 "Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...."

 

 "Sumoi!"

 

 Sumoinya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. "Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa dan selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati? Betapapun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh, Suci...."

 

 "Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!"

 

 Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang sucinya dengan mata berseri. "Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kaukatakan melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita dan...."

 

 "Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!"

 

 "Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...."

 

 "Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!" Si Gadis Baju Biru lalu bangkit berdiri, diikuti sumoinya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan,

 

 "Hitung semua berapa!" kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya. Dia mengenal sumoinya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak tahu malu!

 

 Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,

 

 "Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.

 

 "Sudah dibayar? Oleh sahabat yang mana?" Gadis baju biru bertanya.

 

 Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum. "Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...."

 

 Gadis baju biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoinya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata,

 

 "Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja." Ia menarik tangan sucinya keluar dari restoran itu.

 

 "Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!" Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari restoran.

 

 "Aihhh, mengapa Suci marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih malah dimaki-maki?" Sumoinya mencela.

 

 "Sumoi!" Sucinya membentak marah dan melototkan matanya yang bening. "Apakah harga diri kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?"

 

 "Eh-eh.... mengapa Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?"

 

 Sucinya menghela napas panjang. "Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis pria."

 

 "Suci...."

 

 "Sudahlah! Mari kita ke hotel!"

 

 Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan ke dua yang membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh "sahabat" itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh "sahabat" itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoinya membisikkan bahwa kalau Sang Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih memalukan lagi?

 

 "Kita terima dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?" "Hemm... malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi."

 

 Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat. "Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi." Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.

 

 "Wah, sampulnya berbau harum!" bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati sucinya yang merobek ujung sampul dengan gerakan

kasar lalu mencabut keluar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang singkat :

 

 Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Li-hiap berhati-hati kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.

 

 Teriring hormatnya

 

 Sahabat Ji-wi.

 

 Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi merah. "Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak kekurangajarannya!"

 

 Biarpun berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoinya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.

 

 Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoinya bernama Kim Cui Leng, keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai! Biarpun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai maka mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.

 

 Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan Pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguhpun sumoinya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu.

 

 Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.

 

 "Untung kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati," kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.

 

 "Huh, siapa percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!" jawab Liang Bi marah.

 

 "Eh, eh....! Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?" Muka Liang Bi menjadi merah. Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan kekurangajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!"

 

 "Awas, Suci....!" Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya.

 

 Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.

 

 "Kau masih tidak percaya, Suci?" Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.

 

 Namun sucinya menjawab kaku, "Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!"

 

 Akan tetapi setelah gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang, ternyata bukan dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Adapun semua anggauta perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam. Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.

 

 "Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!" Perampok ke dua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.

 

 "Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san," kata perampok ke satu yang matanya merah.

 

 "Keparat yang bosan hidup!" Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya. "Jangan sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!"

 

 "Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu sumoinya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar sucinya itu untukmu, lebih cocok."

 

 "Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang hemm...., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!"

 

 "Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!" bentak Cui Leng.

 

 "Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!" kata Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoinya yang sudah marah sekali.

 

 Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu, Dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.

 

 Andaikata dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu akan mudah dibasmi oleh Liang Bi dan Cui Leng. Akan tetapi kiranya dua orang kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu.

 

 Atas perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua. Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang. Biarpun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.

 

 "Crokkk!" Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!

 

 Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat, sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati. Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkah lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.

 

 Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun, Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.

 

 Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.

 

 "Tangkap mereka hidup-hidup!" teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.

 

 Liang Bi, dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.

 

 Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggauta perampok.

 

 "Ular....! Ular....!"

 

 Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka! Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.

 

 "Tar! Tar!" Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renpgut kedua batang cambuk, itu putus tengahnya! Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.

 

 Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya. Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam, waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.

 

 Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan "lagu" sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.

 

 Adapun Liang Bi, dan Cui Leng, cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.,

 

 "Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya," terdengar Suma Hoat berkata.

 

 Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.

 

 "Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!" kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.

 

 Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata, "Terima kasih atas pertolongan Kongcu."

 

 Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin. .

 

 "Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."

 

 Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, "Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...."

 

 "AihMhh....! Ji-wi terluka....? Aduh celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!" tiba-tiba Suma Hoat berseru.

 

 Liang Bi menjawab dingin, "Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."

 

 "Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang tidak mempunyai sin-kang, tentu, akan tewas dalam waktu dua belas jam. Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi."

 

 "Suci...." Cui Leng memandang sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah!

 

 Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat, "Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami."

 

 Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata, "Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah." Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.

 

 "Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?" Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.

 

 Liang Bi menoleh ke arah adiknya. "Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan."

 

 "Suci, aku....!"

 

 "Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita harus cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan racun!" Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.

 

 Cui Leng berusaha untuk meniru sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.

 

 Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa sucinya telah "pulas" dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi, dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.

 

 Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.

 

 "Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Li-hiap suka datang...."

 

 Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu. "Aku.... aku hendak minta obat.... aku tidak mau menjadi bopeng...."

 

 "Tentu saja! Sayang, sekali kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"

 

 "Dia.... dia tidak mau, dia.... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali."

 

 "Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi."

 

 Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata,

 

 "Li-hiap, orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut keluar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?"

 

 Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali. "Di.... sedot....? Akan tetapi aku.... aku terluka di sini...." dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat, "Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kauobati."

 

 Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan tersenyum. "Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah kepada Li-hiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa." Pemuda itu membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan.

 

 Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar, "Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng."

 

 Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,

 

 "Engkau tidak usah khawatir, Li-hiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud baik." Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan,

 

 "Harap kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun." Ia menanti sampal Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah," terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.

 

 "Aku sudah siap, Kongcu," kata gadis itu perlahan.

 

 "Baik, sekarang minumlah dulu obat ini." Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.

 

 Gadis itu terbatuk. "Ughh-ughh....! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!" serunya sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.

 

 "Memang obat itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Li-hiap. Sudah disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!"

 

 Cul Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.

 

 "Aihhh!" Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.

 

 "Sakit sedikit, Li-hiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?" Sambil bertanya demikian, Suma Hoat mengangkat muka, memandang dan Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?

 

 Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk, "Lakukanlah...."

 

 Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberl jalan keluar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.

 

 Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. "Arak obat" yang diberikannya tadi sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila dihati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.

 

 Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!

 

 Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu dan satu-satunya. percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.

 

 "Kekasihku, siapakah namamu?"

 

 Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih, " Namaku Kim Cui Leng.... dan kau, Koko....?"

 

 "Panggil saja aku Hoat."

 

 "Hoat-ko.... aku cinta padamu...."

 

 Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangansegala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf "Hoat" saja! Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah seorang "Jai-hwa-sian" yang pahdai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar jatuh!

 

 Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu. Suma Hoat memeluknya.

 

 "Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?"

 

 "Tidak....! Tidak....! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...."

 

 Suma Hoat menciuminya. "Mengapa menangis?"

 

 "Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!"

 

 Suma Hoat tertawa, "Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kaukira. Lihat ini!" Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai. Terdengar suara "plak! Plak!" dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.

 

 "Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!" serunya kagum.

 

 "Dan lihat ini!" Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan.... "wuuuuttt!" guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak araknya!

 

 "Wah, Koko....! Sin-kangmu hebat bukan main!"

 

 "Nah, masih takutkah engkau? Biar sucimu datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu."

 

 "Akan tetapi, namaku akan ternoda! Koko, bagaimana baiknya....?" Wajah gadis itu menjadi pucat.

 

 "Karena ketahuan Sucimu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar sucimu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. Dengan demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling menyimpan rahasia!"

 

 "Kau....!" Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.

 

 "Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan? Tidak ada yang memaksa! Aku adalah, seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar sucimu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?"

 

 Cui Leng terisak. "Kau.... kau.... mata keranjang!"

 

 "Ha-ha-ha!" Suma Hoat tertawa. "Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik! Dan sucimu juga cantik jelita, sungguhpun tidak sepanas engkau. Bagaimana?

 

 Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau sucinya juga "terjun" dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing.

 

 "Jadi kau.... kau tidak akan memperisteri aku?"

 

 "Moi-moi? Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri."

 

 "Mengapa?" Dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.

 

 "Mengapa? Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk sucimu agar keadaannya sama denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?"

 

 "Tidakf jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kaukehendaki kepada suci kalau.... kalau.... itu merupakan satu-satunya jalan...."

 

 Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah. Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng. "Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!" Dia membawa Cui Leng lari keluar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.

 

 "Sumoi....!"

 

 Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Lian Bi ketika ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.

 

 "Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Li-hiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!" kata Suma Hoat.

 

 Saking bingung dan takutnya melihat sucinya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya, "Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko....!"

 

 "Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk" dengan kemarahan meluap Liang Bi mencabut pedangnya. "Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!"

 

 "Suci....!"

 

 "Tenanglah, Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!" Setelah berkata demikian sekali melompat tubuh Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.

 

 Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki, dewasa bertelanjang bulat berdiri di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.

 

 Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang bertubi-tubi.

 

 "Ah, Nona yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoimu dan aku sama-sama menikmati cinta kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah engkau membunuh aku yang tidak berdosa?" Sambil mengelak dengan mempergunakan gin-kangnya yang tinggi, Suma Hoat membujuk.

 

 "Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!"

 

 Liang Bi menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.

 

 Kembali Suma Hoat mengelak. "Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!"

 

 Ucapan merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Lian Bi makin berkobar. Kalau pria ini mencinta sumoinya, bagaimana sekarang di depan sumoinya berani mengeluarkan kata-kata mencintanya?

 

 "Keparat biadab!" Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar.

 

 "Aduh, cantik dan gagah sekali engkau!" Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak. Tiba-tiba Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung sepatu. Suma Hoat terguling!

 

 "Mampuslah engkau!" Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan yang bertubi-tubi.

 

 "Suci....!" Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak peduli terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.

 

 Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh

Suma Hoat mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis

itu. Liang Bi menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!

 

 "Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau....!" Suma Hoat berbisik-bisik.

 

 "Bunuh aku....! Bunuh saja aku.... !" Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.

 

 Kalau saja Suma Hoat tidak ingat bahwa Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak ingat atau menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat dan di tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya! Kalau dia memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoinya sehingga mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian, dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!

 

 Melihat Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran. "Sucimu keras hati, akan tetapi aku harus menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku, akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi kebaikanmu."

 

 Cui Leng tak dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali perbuatannya, akan tetapi betapapun juga harus dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau sucinya sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.

 

 Ketika siuman dari pingsannya, Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih dan, megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir pembaringan, Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum memandangnya ketika ia membuka mata.

 

 "Jahanam....!" Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.

 

 Suma Hoat tersenyum. "Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bi-moi," Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu. Liang Bi membuang muka dengan gerakan kasar.

 

 "Jangan sentuh aku! Lebih baik kaubunuh saja!" teriaknya dan dua butir air mata meloncat keluar dari sepasang matanya.

 

 "Aihh, sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti aku saling mencinta?" .

 

 "Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kaupermainkan! Aku lebih baik mati daripada melakukan perbuatan terkutuk!"

 

 Akan tetapi Suma Hoat tertawa dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi. Liang Bi meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali tidak bergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan perbuatannya.

 

 "Hemm, engkau benar keras hati dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!" Pemuda yang kalau berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan. "Kauminumlah arak obat ini, manis!"

 

 "Tidak sudi! Engkau telah menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!" Liang Bi membuang muka ke samping.

 

 Akan tetapi sambil tertawa Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.

 

 "Binatang! Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!" ia meronta-ronta dan memandang Suma Hoat yang tertawa-tawa penuh kebencian.

 

 Suma Hoat hanya duduk dan memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang, pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia akan mati. Akan tetapi ia tidak peduli. Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda itu yang kelihatan amat tampan dan menggairahkan. Namun, karena pada dasarnya dia tidak sudi melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis itu.

 

 "Suci, mengapa Suci tidak mau menurut! Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku.... aku cinta padanya dan kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya.!"

 

 Mendengar suara sumoinya ini, Liang Bi membuka mata dan menoleh. "Perempuan hina! Perempuan rendah! Orang macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya untuk hidup!" .

 

 Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa, "Leng-moi, sucimu lebih suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!" Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng ke atas pembaringan dimana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia mulai membelai Cui Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain cinta! Biarpun Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati sucinya dan dia amat memerlukan sucinya ikut terjun dalam permainan itu yang akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun menurut saja.

 

 Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan didalam tubuhnya makin menghebat, nafsu berahinya menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan godaan yang datangnya dari dalam. Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, "Bunuhlah aku.... bunuhlah.... ahhh, terkutuk kalian.... bunuhlah aku....!" Kemudian diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.

 

 Suma Hoat yang melakukan perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan, hati Liang Bi, turun dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya. "Bimoi.... aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi...., kau menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia...." Jari tangannya membelai dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun dia menggigit bibir dan menggeleng kepada dengan mata dipejamkan, tak kuasa menjawab.

 

 Suma Hoat menjadi jengkel. Belumpernah ia menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak! "Hemmm, kau berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!"

 

 Ia lalu menotok tubuh Liang Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.

 

 "Hoat-ko....!" Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh sucinya. "Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai dimana keteguhan dan kekerasan hatinya!"

 

 Pemuda itu membawa tubuh Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap mendekati Liang Bi!

 

 "Hoat-ko....!" Cui Leng menjerit.

 

 Akan tetapi Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak. mertakut-nakuti Liang Bi.

 

 Yang menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa sucinya itu paling jijik dan takut melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja sucinya menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.

 

 Suma Hoat menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu dekat. "Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!"

 

 Liang -Bi sudah tertotok,, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, "Bunuhlah aku! Aku tidak sudi!"

 

 Suma Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Lian Bi yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu, taring yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar membuat ia hampir pingsan saking takutnya. Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari ancaman ular-ular ini! Dia menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoinya. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih baik mati daripada menyerah dan terperosok ke dalam pecomberan yang berupa perbuatan melanggar, susila yang terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah, kehormatan seribu kali lebih berharga daripada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai seorang pendekar wanita yang bersih daripada hidup sebagai seorang perempuan ternoda!

 

 "Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" Ia berteriak.

 

 Sinar yang buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas tanah.

 

 "Crat-crat-crat!"

 

 Sinar putih menyilaukan mata itu lenyap dan disitu telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam sekarat.

 

 Cui Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,

 

 "Penjahat keji, perbuatanmu melampaui batas perikemanusiaan. Sekarang, setelah kami datang bersiaplah untuk mati!"

 

 Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke depan menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.

 

 "Dan engkau wanita kejam patut mampus, juga!" teriak wanita ke dua yang juga cepat sekali gerakannya menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.

 

 "Cringgg...., tranggg....!"

 

 Pertemuan pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng menimbulkan, bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang suling itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Adapun wanita ke dua juga merasa bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan "dahsyat.

 

 Namun, Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka telah bertanding dengan seru.

 

 Diam-diam ia kagum karena ternyata wanitabaju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan balas menyerang.

 

 Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya tahan kokoh kuat.

 

 "Tahan....!" Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti encinya. Wanita ini memandang Cui Leng dan bertanya, "Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Ilmu pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!"

 

 Cui Leng menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil memandang kedua wanita itu.

 

 "Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan sucinya itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main, mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?"

 

 Kedua orang wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan ucapan Suma Hoat yang main-main, Juga panggilan dengan embel-embel "yang cantik dan gagah" yang pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan bertanya.

 

 "Engkau.... dan sucimu.... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?"

 

 Cui Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung.

 

 "Aku.... aku...." Sukar sekali dia melanjutkan kata-katanya.

 

 "Kembali Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding. Mari kita ke rumah kami." Suma Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.

 

 "Aihhh...., bagaimana ini? "Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung

 

 "Hui-moi, mari kita pergi" kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

 

 Cui Leng membanting-bantingkan kakinya. "Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua adalah orang-orang Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!"

 

 Suma Hoat tertawa, "Takut apa, Moi moi? Ada aku di sini, mengapa takut?"

 

 Cui Leng memandang sucinya yang masih rebah telentang, dan ternyata sucinya telah pingsan saking ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.

 

 "Wah, bagaimana ini? Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu. Rahasia tentu akan terbongkar....!"

 

 "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Sucimu takut ular, aku masih ada jalan lain." Setelah berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?

 

 Ya, siapakah mereka? Dua orang wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dan mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!

 

 Kedua orang kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan, akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw. Mereka belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai jandajanda yang tekun melatih diri di puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai Ci-sha. Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai dan yang melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya, Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang jahat. Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal. Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek dan juga mereka, tewas di tangan Hoat Bhok Lama!

 

 Demikianlah, dalam usaha mereka untuk menentang, Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan, Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.

 

 Tentu saja. mereka segera turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil, dan yang kini malah membantu pemuda tampan itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa jadinya? Maka mereka bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.

 

 Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka. Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang dan diselewengkan. Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa adik mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran. Apalagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak hal ini akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.

 

 Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Ciung-lai, tidak jauh dari situ di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai.

 

 Kian Ti Hosiang menerima kedatangan mereka dan dengan sabar dan tenang mendengarkan penuturan mereka. Biarpun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata,

 

 "Omitohud...., Ji-wi Toanio telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka."

 

 "Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu," kata Kam Siang Kui yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.

 

 Biarpun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.

 

 Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai, dan akan dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.

 

 "Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami," Kam Siang Kui berkata penuh permohonan. "Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya."

 

 Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang. "Kita lihat sajalah nanti, Toanio. Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan pernbunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!"

 

 Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.

 

 ***

 

 Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepalarampok. Ia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng. Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sin-kang untuk melepaskan diri.

 

 Cui Leng memandang kepada sucinya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian ia melangkah maju, membujuk, "Suci, mengapa engkau berkeras? Suci, Hoat-koko benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan.... dan.... engkau tentu akan merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua. Sekarang...., aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita menikmatinya berdua...."

 

 "Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau menyeret nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat terperosok serendah ini?"

 

 "Suci, apakah artinya malu? Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa mesti malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya! Suci, kausambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki sin-kang yang amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah senangnya!"

 

 "Sumoi! Aku masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kaulepaskan aku, mari kita pergi dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum tersesat terlalu jauh...."

 

 Akan tetapi Cui Leng menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati kebahagiaan bersama, setelah itu.... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati aman...."

 

 Liang Bi membelalakkan matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoinya bersikeras minta agar dia melayani niat keji pemuda itu!

 

 Senja telah mendatang ketika dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya. Padahal, di antara segala mahluk di dunia ini, ular adalah binatang yang paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga biarpun kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya menjadi pucat dan napasnya terengah. Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan bibirnya tersenyum.

 

 "Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!"

 

 Makin pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya dan.... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti, mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu lenyap.

 

 "Bi-moi, bagaimana? Apakah engkau masih keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima cintaku seperti yang dilakukan sumoimu, dan kita bertiga hidup bahagia."

 

 "Tidak sudi. Lebih baik mati!"

 

 "Begitukah? Hemm.... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!" Suma Hoat lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak keluar masuk mulutnya yang merah.

 

 Liang Bi memandang ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya.... Liang Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan tetapi, bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa geli dan jijik.

 

 Namun celaka baginya, Suma Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya, melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu berdenyut-denyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan, kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.

 

 "Bunuh aku.... iihhhh.... bunuh aku.... uhu-hu-huu.... suruh dia pergi....!" Akhirnya ia merintih.

 

 Akan tetapi Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan leher Lian Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan terbebas. Akan tetapi celaka, dia masih sadar dan harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.

 

 "Suci, menyerahlah....!" Terdengar suara Cui Leng membujuk. Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba kepada sucinya. Akan tetapi, karena ia maklum bahwa sebelum sucinya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia menguatkan hatanya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa sucinya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk membujuk sucinya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!

 

 Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh mahluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu berahi dan didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini, sebuah di antara banyak sekali sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita! Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis, akan berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan semacam "hiburan" bagi seorang yang sedang menderita. Memang amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, "penyakit" ini telah diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.

 

 Perbuatan Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya itu dengan menggunakan nafsu berahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin! Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat nafsu berahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!

 

 Tubuh Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi, tiba-tiba ular itu berubah gerakannya kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!

 

 "Iihhhh.... ouhhhh...." Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam. "Aduuuuhhhh.... tolongggg.... ihhhh.... ambil dia.... ambil binatang ini.... uhu-hu-huuuu....!"

 

 "Engkau menyerah?" Suma Hoat bertanya.

 

 Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. "....aku menyerah.... hu-hu-huuuuhh...."

 

 Suma Hoat melompat ke dekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.

 

 Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita! Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan! Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir ait matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.

 

 Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.

 

 Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.

 

 "Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!" katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.

 

 "Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?" Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.

 

 Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. "Bahagia? Aku berbahagia....?" Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini, wajah Liang Bi menjadi makin pucat.

 

 "Jangan....! Jangan panggil ular...." Ia merintih.

 

 Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. "Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakutkan engkau lagi?" Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka. Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.

 

 "Bahagia, siapakah gerangan Anda?

 

 Seribu kali bayanganmu menggapai

 

 kuraih kupeluk mesra

 

 hanya mendapatkan kenyataan hampa

 

 bahwa semua bayanganmu itu

 

 bukanlah anda!

 

 serasa tampak anda mengintai

 

 di balik kelopak bunga mengharum

 

 menunggang cahaya matahari pagi

 

 di balik senyum kekasih jelita

 

 di antara tawa sahabat-sahabat

 

 di dalam gelak anak-anak

 

 di antara tumpukan harta benda

 

 di atas kedudukan mulia

 

 di balik kemasyhuran nama

 

 namun....

 

 setelah didekap dalam pelukan

 

 semua itu pun hampa

 

 bukan anda?

 

 duhai kebahagiaan

 

 siapa dan di mana gerangan anda?"

 

 Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.

 

 "Mempunyai mata seperti buta

 

 sudah ada dicari-cari keluar menjauh

 

 siapa bisa memisahkan bayangan

 

 dari badan?

 

 yang mencari takkan mendapatkan

 

 yang mendapatkan takkan memiliki

 

 yang memiliki akan kehilangan

 

 yang mengharap akan kecewa

 

 tanpa dicari, tanpa diharap

 

 tanpa dimiliki, tanpa pamrih

 

 hanya membuka mata ke dalam

 

 sadar bahwa semua telah ada

 

 setelah bersatu dengan keadaan

 

 apa lagi yang dicari?"

 

 Suma Hoat meloncat bangun, suling di tangannya, wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apalagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.

 

 Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.

 

 "Suhu....!" Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.

 

 "Omitohud....!" Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang dan Kian Ti Hosiang lalu berkata,

 

 "Sayang....! Sungguh sayang sekali....! Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?"

 

 Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu, dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasai selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Agaknya, kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata,

 

 "Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!"

 

 "Oohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan malapetaka besar itu!

 

 "Kau.... kau.... Suma Hoat....?" Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.

 

 Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata,

 

 "Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!"

 

 Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding, "Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?"

 

 Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dua orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!

 

 Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab,

 

 "Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu."

 

 "Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kaubasmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?"

 

 Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!

 

 Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. "Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!"

 

 Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!

 

 "Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai kedua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?"

 

 Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. "Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat dan perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu."

 

 "Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!"

 

 "Suma Hoat manusia iblis!" Kam Siang Kui membentak marah sekali.

 

 Suma Hoat tersenyum lebar. "Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...."

 

 "Jahanam!" Kam Siang Hui yang mendengar encinya dihina seperti itu, sudah tidak dapat mehahan lagi hatinya dan dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sin-kang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.

 

 "Plak! Plak!" Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya. Adapun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.

 

 "Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?"

 

 "Suma Hoat, bocah celaka!" Kam Siang Kui kembali membentak.

 

 "Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia," kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.

 

 "Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?" Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.

 

 "Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kaulakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya."

 

 Wajah Suma Hoat menjadi merah. "Kalau aku menolak?" Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaanbaginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!

 

 Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. "Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh."

 

 "Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?"

 

 Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. "Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup."

 

 "Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?"

 

 Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. "Pinceng tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu."

 

 "Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasihatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?"

 

 Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. "Omitohud....! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima syarat itu...."

 

 "Locianpwe....!" Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. "Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!"

 

 "Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya." Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.

 

 Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. "Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik."

 

 Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! "Apa? Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?"

 

 Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. "Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat."

 

 Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini. "Baik, aku berjanji!" bentaknya.

 

 "Nah, silakan memukul dua kali, Sicu." Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.

 

 Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sin-kang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sin-kang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat. Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi, sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati daripada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan. Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sin-kang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang. Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!

 

 "Krekkk! Krekkkk!" Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.

 

 Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.

 

 "Kau.... kau....! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati.... terimalah ini....!" Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati daripada melihat ia cacad selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!

 

 Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.

 

 "Desss....!" Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!

 

 "Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?" Dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sin-kang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.

 

 "Oohhh, bocah setan yang kejam....!" Kam Siang Kui menggeram.

 

 "Manusia iblis yang patut dibasmi!" Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang,

 

 "Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!" Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi,

 

 "Bagaimana, Suma Hoat. Apakah engkau akan memegang janji?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.

 

 Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini? Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab,

 

 "Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi.... aku tidak yakin apakah akan berhasil...."

 

 "Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu."

 

 "Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...."

 

 Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya. Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoinya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.

 

 Kian Ti Hosiang menoleh merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, "Omitohud.... dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi." Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.

 

 Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya, melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya dan biarpun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.

 

 "Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!" terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.

 

 "Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!" Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, "Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!"

 

 Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum.

 

 "Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biarpun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!"

 

 "Keparat bermulut busuk!" Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.

 

 "Plakkk!" Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biarpun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. "Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kaulanggar, bedebah!"

 

 "Ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biarpun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat....!"

 

 "Plak-plak!" Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.

 

 "Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masakmasaknya, manis dan...."

 

 "Kubunuh engkau!" Kam Siang Hui membentak dan "srat!" pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.

 

 "Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu," Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.

 

 "Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kauhina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!" Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.

 

 "Ahhhh....!" Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!

 

 "Aduhhh.... ampunkan aku.... kedua bibi.... ampunkan aku...." ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!

 

 "Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin...."

 

 Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.

 

 "Ahhh.... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati...." Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.

 

 "Jai-hwa-sian.... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menerita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu masih belum aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh.... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu.... ceritakanlah apa yang terjadi?"

 

 Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!

 

 Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak, Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di sampingdorongan berahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!

 

 Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.

 

 Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.

 

 "Aihhh...., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah.... ah...., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas.... pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!"

 

 Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. "Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...."

 

 Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian, dan di samping itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!"

 

 Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.

 

 "Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"

 

 "Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!"

 

 "Eh, mengapa begitu?"

 

 Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. "Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang ke dua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka, dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu."

 

 Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. "Aihhhh....! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?" Dia mengeluh penuh penyesalan.

 

 Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu."

 

 "Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?" Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya. Ia membalas pegangan itu dan berkata,

 

 "Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama."

 

 Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. "Bagus sekali! Terima kasih atas nasihatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!"

 

 Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali.

 

 "Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!" Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.

 

 ***

 

 Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat. Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!

 

 Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?

 

 Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suhengnya masih berada di sana? Dan sumoirya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoinya itu pun berada di sana?

 

 Teringat akan suhengnya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!

 

 "Maya...."

 

 Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,

 

 "Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?"

 

 "Maya.... aku.... aku...." Ji Kun menggagap.

 

 Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya "li-ciangkun".

 

 "Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!"

 

 Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, "Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kauanggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?" Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, "Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu."

 

 "Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh, semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!"

 

 Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras,

 

 "Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kaukira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kcpadaku?"

 

 "Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!"

 

 "Sudahlah!" Maya berkata jengkel. "Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?"

 

 "Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?" Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!

 

 Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, "Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!"

 

 "Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...."

 

 "Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!"

 

 "Maya.... apakah.... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?"

 

 Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya,

 

 "Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!"

 

 Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. "Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!" Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,

 

 "Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"

 

 Ji Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah. Betapapun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.

 

 Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!

 

 Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.

 

 "Cring-cring....!" Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.

 

 "Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!" bentak Maya.

 

 "Aku harus membunuhnya!" Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.

 

 "Perempuan sombong, kaukira begitu mudah?" Ji Kun balas membentak.

 

 "Tranggg.....!" Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.

 

 "Berhenti kataku!" Maya menerjang lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.

 

 "Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!"

 

 Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.

 

 "Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi."

 

 Yan Hwa menarik napas panjang. "Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf."

 

 Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!"

 

 "Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."

 

 "Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati."

 

 "Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?"

 

 Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?

 

 Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya. Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!

 

 Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh, karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.

 

 Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat. Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.

 

 Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan-awan gelap nenutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.

 

 Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan. Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu! Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah. Akan tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala, liar yang langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala, tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaanpasukannya. Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.

 

 "Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!" bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di atas kudanya ke depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok. Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling berlumba, berbanyak-banyakan membabat musuh! Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu barisan Mancu.

 

 "Bala bantuan datang!" Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar tidak berani mendekati mereka.

 

 Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadatan yang membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah mereka kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.

 

 Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee.

 

 Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah,

 

 "Apakah kalian bertiga sudah menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"

 

 Ong Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata,

 

 "Suma Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"

 

 Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.

 

 "Krekkkk! Desss!" Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!

 

 "Hayo kalian berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!" Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat Ong Ki Bu.

 

 Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.

 

 Akan tetapi biarpun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini, Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara dahsyat.

 

 "Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!" Can Ji Kun ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.

 

 "Trang-trang....!" Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,

 

 "Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"

 

 "Buka telingamu lebar-lebar!" Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. "Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!"

 

 Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas. Matanya melotot dan ia membentak,

 

 "Kebetulan sekali! Aku tidak berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!"

 

 Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.

 

 "Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup darahmu!" Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah dulu!

 

 Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa. Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang mengandung hawa mujijat yang mengerikan!

 

 Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para perajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingikehebatan ilmu pedang Yan Hwa.

 

 Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.

 

 "Trangggg....!" Tubuh Suma Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.

 

 "Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?" bentaknya.

 

 Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat. "Benar, akulah Maya. Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan Yucen?"

 

 Suma Kiat membelalakkan matanya. "Engkau....? Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?" Diam-diam ia bergidik. Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu! Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya sudah tidak dapat membebaskandiri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.

 

 "Persetan kalian! Mampuslah!" Kedua tangan panglima ini bergerak.

 

 "Awas jarum berbisa!" Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri Kwa-huciang.

 

 "Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!" Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.

 

 "Biar kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih balk tangkap dia!" Ia menuding ke depan. Maya baru teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas ubun-ubun!

 

 "Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!" Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.

 

 "Pengecut besar!" Maya berseru. "Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima macam apa engkau ini?"

 

 Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah. "Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"

 

 "Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!" Pangeran Bharigan yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, "Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"

 

 Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, "Tahan!"

 

 Kedua orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata, "Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?"

 

 "Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?"

 

 "Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki slfat kegagahan!"

 

 "Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku. Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?"

 

 "Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!"

 

 "Ha-ha-ha! Maya, engkau membela mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan! Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya? Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri...."

 

 "Keparat busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!" Pangeran Bharigan membentak marah sekali.

 

 "Suma Kiat, bagaimana?" Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.

 

 "Ha-ha-ha, baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!" Suma Kiat melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.

 

 "Trang-tranggg....!"

 

 "Ehhh! Engkau.... melindungi dan membela dia?" Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak. Maya menyarungkan kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan menghalang tadi, menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.

 

 "Tidak, aku tidak membela dia melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji sendiri? Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah perkasa?"

 

 Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak hal, Maya ini menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.

 

 "Heiii! Tahan senjata! Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!" Pangeran Bharigan berseru dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,

 

 "Panglima Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!"

 

 Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekall tidak menyembunyikan perasaan di hati pangeran itu terhadap dirinya!

 

 Kemenangan besar di hari itu disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh Pangeran Bharigan sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia mengepalai laksaan perajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu, diangkat menjadi penasihat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang yang berkepandaian.

 

 Karena memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada Pemerintah Sung, kepada bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya. Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.

 

 Raja Mancu yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini, berlaku cerdik dan bijaksana. Maya dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan menghadapi pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah mengetahui riwayat Maya.

 

 Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara Mancu menjadi kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.

 

 Biarpun kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja ia menderita rindu kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi hal-hal yang memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja! Akan tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang dengan senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk "memanaskan" hati Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.

 

 Akan tetapi, hal itu tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terang-terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!

 

 "Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar. Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi negara besar!" Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.

 

 Maya menghela napas panjang. "Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan cinta kasihmu terhadap aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah sekarang kita telah bekerja sama? Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak."

 

 "Apakah.... apakah tidak ada cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?" Pertanyaan Pangeran itu yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan membuat kedua pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.

 

 "Pangeran, maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si penggembala domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan, budiman, berkedudukan tinggi, pendeknya, tiada cacad celanya bagi seorang gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran."

 

 Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta pria lain?"

 

 Maya mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan jujur, "Benar, Pangeran."

 

 Pangeran Bharigan menghela napas panjang. "Aihhh, betapa bahagianya pria itu...."

 

 Di dalam suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan dara ini berkata, "Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku."

 

 Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal tinju. "Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia itu orang gila!"

 

 "Pangeran!"

 

 "Maafkan aku, Maya....!" Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri bergembira sambil berkata, "Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia, dan.... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya."

 

 Biarpun semenjak saat itu sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung, teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suhengnya dan juga gurunya yang amat dicintanya.

 

 Pada suatu hari, selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya, membicarakan pergerakan bala tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat! Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir. Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!

 

 Perwira itu berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar menahan marah ketika ia membentak,

 

 "Kubur kepala itu dengan upacara kebesaran!"

 

 Perwira itu pergi dan Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram, "Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah kepada kita!"

 

 Seorang perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu berantakan. Juga Panglima Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.

 

 "Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!" kata Maya dengan marah.

 

 "Aih, menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja. Tidak perlu engkau merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya."

 

 Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya. "Kalau begitu, aku akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk menghancurkan pasukan Yucen."

 

 Pangeran Bharigan mengangguk, "Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlumba membunuh musuh itu maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis." Dia tersenyum puas karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun kedudukan mereka sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu seakan-akan berlumba, berbanyak-banyak minum darah musuh! Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)!

 

 Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil bernyanyi-nyanyi.

 

 Setelah tiba di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru. Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan golok pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah mulai membasahi rumput dan tanah.

 

 Ji Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka berubah menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit seorang lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban mereka.

 

 Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama sekali menyaksikan pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.

 

 Akan tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlumba dengan telapak tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan pedang sama mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau dada seorang perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau perajurit, akan tetapi agaknya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini muncul.

 

 Laki-laki muda rupawan ini bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu yang dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas kekasihnya itu. Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah yang memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.

 

 Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah. Seperti berlumba mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu mengamuk.

 

 Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka, menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar pedang yang mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu, bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu. Yang menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu, pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.

 

 Adapun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka, terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki itu mencelat ke belakang.

 

 "Sumoi, mari kita lihat siapa di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!"

 

 "Ah, sukar menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!"

 

 Han Ki mengerutkan keningnya dan berkata, "Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian lumayan, namun berwatak tinggi hati. Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak meningkatkan akhlak kalian."

 

 Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak, "Setan sombong! Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul engkau mencaci guru kami, keparat!"

 

 "Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka mulut besar!"

 

 Benar saja, Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena Mutiara Hitam adalah piauw-cinya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya mendalam.

 

 "Bagus! Kiranya kalian murid Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!"

 

 "Jahanam bermulut kotor!" Yan Hwa kembali memaki, "Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...."

 

 "Buka matamu lebar-lebar!" Han Ki memotong. "Apakah pakaianku seperti perajurit? Tidak, aku tidak membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan Yucen sekalipun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran kepada kalian bocah-bocah murtad!"

 

 "Sombong!" Ji Kun sudah menerjang lagi dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan pedangnya.

 

 Para perajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan mundur di belakang "jago" masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.

 

 Tadi, ketika kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid piauw-cinya. Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan bahwa mereka menjadi Panglima-panglima Maricu. Kalau benar murid piauw-cinya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat, sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat permainan ilmu pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga sin-kang yang amat kuat, dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin membunuh dua orang murid piauw-cinya ini.

 

 "Kalian murid-murid murtad!" Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur, menurunkan pedang dan "membuka" pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!

 

 Tadi, setiap kali ia menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat sin-kangnya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan kekuatan sin-kang yang amat luar biasa, selalu menarik kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga sin-kang. Kini, melihat pancingannya berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

 

 "Trakkk!" Dua batang Pedang Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang mereka. Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat. Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya dari Yan Hwa. Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga sudah menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.

 

 Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mujijat yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!

 

 Namun Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis itu dia menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang sambil kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.

 

 "Trak-trakk.... plak-plak!"

 

 Kedua orang murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak dapat dielakkan lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main karena tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan. Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!

 

 Han Ki yang berhasil merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.

 

 "Hemmm, sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki senjata-senjata yang begini keji!" Ia berkata.

 

 Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya, "Siapakah.... siapakah engkau?"

 

 "orang-orang murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak Mutiara Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku."

 

 Kedua orang muda itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek Siansu, berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan teringat akan guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.

 

 "Mohon Susiok sudi memaafkan. Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas kehancuran Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!"

 

 Kam Han Ki menarik napas panjang. "Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini? Kalian boleh pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang iblis ini."

 

 "Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!"

 

 Mendengar ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata itu. "Apa? Benarkah itu?"

 

 "Sumoi tidak membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu berdua."

 

 Han Ki menghela napas dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu. "Baiklah, sebetulnya baik buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini, pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi nama gurumu, karena kalau kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!"

 

 Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati karena kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.

 

 Pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan istimewa yang terlatih, rata-rata perajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang ganas dan pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya. Perang yang terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur. Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan biarpun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya, namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging. Hujan senjata pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek, kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecawaan hatinya, segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya, merobohkan siapa saja yang menentangnya.

 

 Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi pengamukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke tempat yang sudah dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin perajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya. Han Ki tidak tahu akan jebakan ini maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang ditutupi ranting dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.

 

 "Cring-tranggg.... brettt!" Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus. Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak, terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati jaring yang menyelimutinya.

 

 Akan tetapi baru saja ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru, anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang mengandung api! Bukan main berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han Ki yang sudah lelah sekali itu memutar pedangnya melindungitubuh. Ia maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan berhenti dan akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang menghujankan anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah berikutnya, pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di sebelah kirinya.

 

 Han Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apalagi karena pihak Mancu harus menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biarpun tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun pengamukan pemuda sakti itu terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.

 

 Perang di antara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia sudah tidak mengamuk lagi. Apalagi mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya awut-awutan, seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.

 

 Namun, tidak ada yang berani mendekatinya biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu. Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda itu kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan dan belakang dan.... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang. Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.

 

 Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai tenaganya habis! Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya, pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang perajurit Yucen! Dia membunuhi manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.

 

 "Ya Tuhan...., apakah yang telah kulakukan tadi....?" Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah berapa ratus atau berapa ribu orang!

 

 Teringat akan semua perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki, apalagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasihat gurunya sehingga dia sampai melakukan pembunuhan besar-besaran ini?

 

 Tiba-tiba ia mendengar derap banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak diserang orang, bahkan dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata diserang orang sekalipun belum tentu dia mau membela diri.

 

 "Suheng....!"

 

 Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.

 

 "Suheng....!"

 

 Han Ki membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Seorang wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.

 

 "Maya-sumoi....!" Han Ki tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar Mancu. "Kau.... kau seorang Panglima Mancu?"

 

 "Aihh, Suheng. Kiranya engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah, Suheng, mana mungkin ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah mengakibatkan kehancuran Khitan? Suheng...."

 

 "Diam!" Han Ki membentak marah lalu bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan perajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan pribadi.... aku.... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan tetapi engkau.... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah, sekarang engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa? Mau menangkapku? Membunuhku?"

 

 "Suheng....!"

 

 Maya bangkit pula berdiri dan mukanya pucat sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku? Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku.... aku bukan gila kedudukan. Aku.... aku menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita, Suheng...."

 

 Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak. "Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kautinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."

 

 Maya mengerutkan keningnya menjawab perlahan, "Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita ke mana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa depan kita."

 

 "Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...." Dengan hati penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoinya itu ternyata telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh hendak pergi.

 

 "Tunggu, Suheng....!" Maya berkelebat dan sudah mFloncat menghadang ke depan suhengnya, memandang dengan sepasang mata merah dan basah.

 

 Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. "Bagus, Sumoi. Lekas kaubuang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari Khu-sumoi."

 

 "Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena.... hal itu.... hal itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan...."

 

 "Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?" Han Ki membentak.

 

 "Suheng, tidak tahukah engkau....? Aku.... aku.... dan Sumoi.... kami.... ah, tak mungkin kami berdua hidup di sampingmu bersama-sama...."

 

 "Omong kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari sini. Mari ikut bersamaku."

 

 "Tidak, Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es aku tidak bisa ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami."

 

 "Maya....!"

 

 Maya terisak menangis. "Selamat berpisah, Suheng...." Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya menyerang pasukan Yucen yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.

 

 Han Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu kepada Siauw Bwee!

 

 Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, "Maya.... kenapa engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoiku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta kepada kalian yang kukenal sejak kecil? Maya.... apa yang harus kulakukan kini? Siauw Bwee, aku harus mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau Es...." Dengan hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari sumoinya yang ke dua, yaitu Khu Siauw Bwee setelah gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, bahkan mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw Bwee.

 

 Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan tenaganya dan kini, setelah ia sadar akan segala perbuatannya ditambah dengan pertemuannya dengan Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan. Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan tetapi tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata batinnya betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat menjadi begitu lemah.

 

 Teringat ia akan suhunya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang manusia dewa yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan yang amat tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang menentukan nilai seseorang bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan kekuatan batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa batinnya masih lemah, masih mudah dikuasai oleh nafsudendam. Ia merasa menyesal sekali.

 

 Ia harus dapat membujuk Maya agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan kewajibannya. Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoinya itu sehingga dalan keadaan seperti sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.

 

 "Aku harus dapat menemukan Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku membujuk Maya, Khu-sumoi, di manakah engkau....?" Han Ki mengeluh.

 

 Dalam keadaan berduka itu teringatlah Han Ki akan semua pengalamannya sejak kecil. Dan teringat ia akan kedua orang encinya. Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua orang kakak perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di Ta-liang-san belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya kepada kedua orang encinya itu. Akhirnya, setelah bersamadhi di lereng gunung itu selama semalam untuk memulihkan tenaganya, pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liang-san karena dia tahu bahwa kedua orang sucinya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng oleh paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin.

 

 ***

 

 Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk di kaki pegunungan ini seringkali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan adakalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.

 

 Biarpun semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.

 

 Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan kepandaiannya yang tinggi. Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan dan karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu dibawa ke bentengnya, kemudian dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik!

 

 Karena inilah, maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah! Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya.

 

 Pihak pimpinan Beng-kauw yang aseli, sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi, juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.

 

 Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta dibunuh termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu ditawan. Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, adapun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biarpun kedua orang encinya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula, maka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.

 

 Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya. Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.

 

 "Tok-tok-tok! Suhu....!" Terdengar ketukan di pintu kamar itu.

 

 "Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?" Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.

 

 "Teecu hendak melapor, ada musuh datang!" Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.

 

 "Heh, keparat!" Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena muridnya cantik.

 

 "Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?"

 

 "Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kaujaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!" Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang sambil menangis mengguguk.

 

 Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.

 

 "Di mana mereka? Dan berapa orang yang datang?"

 

 "Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama)," jawab seorang pembantunya. "Enci adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga."

 

 "Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka."

 

 "Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?"

 

 "Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?"

 

 "Mereka mendaki dari lereng sebelah utara."

 

 "Aku tidak ingin mengorbankan anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka." Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.

 

 Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong. Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran, akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali Beng-kauw. Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka. Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mujijat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga muridnya.

 

 "Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku menduga bahwa di bagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki."

 

 "Baik, Cici," jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman disamping lebih tinggi tingkat ilmunya.

 

 Mereka berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.

 

 "Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!" kata Siang Hui.

 

 "Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi jebakan." Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.

 

 "Trakk!" Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw aseli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!

 

 "Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?"

 

 "Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!" Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.

 

 "Crengggg....!" Siang Kui terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di tangannya.

 

 "Tar-tar....!" Ujung cambuk hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.

 

 "Cringgg....!" Seperti juga encinya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan tangan kanannya tergetar.

 

 "Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!" Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar seperti dua bola api.

 

 "Sing-sing-sing, crenggg....!" Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang senjata ini. Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong. Di samping senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sin-kang amat kuat.

 

 "Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!" Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu, pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk membalas serangan lawan.

 

 Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia dapat mengeluarkan itmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga betina yang ganas. Di samping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepadanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan, pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan ke dua ia akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biarpun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya!

 

 Karena itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh olehnya!

 

 "Cuit-cuit-tar-tar-tar!" Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.

 

 "Aihhhh!" Hoat Bhok Lama terkejut sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke belakang. Namun, sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya. Namun, sin-kang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing!

 

 Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh, membuat mereka berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka. Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!

 

 Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka. Untuk memusatkan sin-kang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.

 

 "Cuit-cuittt....!" Ketika Hoat Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja, dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka.

 

 "Cret-crett!" Ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali. Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!

 

 "Siuuut! Siuuutt!" Dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri. Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas, mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.

 

 Ketua Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat ke belakang, ke arah padang rumput.

 

 "Manusia terkutuk, hendak lari ke mana kau?" Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang Hui.

 

 "Kedua bibi jangan kejar dia!" Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan.

 

 Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apalagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras.

 

 "Moi-moi, ikuti jejak kakiku!" Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya.

 

 Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di belakang encinya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling ke dalam air! Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air.

 

 Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan tetapi setelah mereka tercebur ke dalam air yang ternyata dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan, mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui. Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!

 

 "Cepat, kita harus menolong mereka!" teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat. Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui. Namun berat tubuh dua orang terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di seberang yang lebih dekat.

 

 Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sernpat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah depan.

 

 Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.

 

 "Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!" Im-yang Seng-cu berkata, "Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!"

 

 Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.

 

 Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya.

 

 Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,

 

 "Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"

 

 Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telan insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.

 

 Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang ringan, mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,

 

 "Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"

 

 Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,

 

 "Anak buah Beng-kauw yang kaupimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang aseli. Bagaimana?"

 

 Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. "Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"

 

 Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, "Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"

 

 "Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!" bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.

 

 "Cringgg! Tranggg!" Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!

 

 Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid ke dua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat. Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu. Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.

 

 Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah. Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang lebih.

 

 Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh jebakan.

 

 "Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka....!" Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang.

 

 Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

 

 "Bibi.... awaaasss....!" Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!

 

 "Moi-moi, turun....!" Siang Kui berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawa.

 

 "Cici....!" Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?

 

 Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.

 

 "Desss!" Biarpun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.

 

 Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya,

 

 "Bagaimana?"

 

 Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku, berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.

 

 "Bibi....! Bibi....!" Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.

 

 "Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?" Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.

 

 "Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan orang itu.

 

 "Bi....!" Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!

 

 Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.

 

 "Takkk!" Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.

 

 Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!

 

 "Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?" Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan.

 

 Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.

 

 "Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!" Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.

 

 "Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar, dan kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus." Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!

 

 Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, "Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."

 

 Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Di dalam perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin. Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu.

 

 Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam cerita "Mutiara Hitam" kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal. Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh.

 

 Karena itu, dapat dibayangkan betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!

 

 "Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?"

 

 Suma Hoat cepat menjawab, "Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."

 

 "Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang kaumiliki!"

 

 Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu." Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.

 

 "Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?"

 

 "Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu," kata Im-yang Seng-cu.

 

 Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. "Kau betul! Mari kita kejar dia!"

 

 "Heitt, nanti dulu!" Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat. "Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!"

 

 Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira, "Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?"

 

 Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata, "Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teccu menyerang!" Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.

 

 "Cuss! Cusss!"

 

 "Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?" Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mujijat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.

 

 "Teecu mohon petunjuk."

 

 Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih. "Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!"

 

 "Beliau adalah nenek teecu!" Suma Hoat berkata.

 

 "Aihhhh! Pantas.... pantas....!" Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil. "Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...."

 

 "Dia adalah ayah teecu!" Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.

 

 "Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?"

 

 "Tentu saja yang baik, Locianpwe!"

 

 Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu berahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita.

 

 Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi. "Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"

 

 Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, "Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"

 

 Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya. "Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?"

 

 "Teecu siap, Suhu."

 

 "Nah, kalau begitu, mari kauikut aku pergi dari tempat ini!" Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri.

 

 "Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?" Im-yang Seng-cu menegur.

 

 Suma Hoat memandang gurunya. "Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu"

 

 Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya. "Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua bibimu?"

 

 Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab,

 

 "Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membonuhnya karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari ancaman perbuatan jahat mereka."

 

 Kembali kakek itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!"

 

 Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu. Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapapun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya, terdapat rasa simpati yang besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.

 

 Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam.

 

 Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke bangunan yang dikelillngl pagar tembok tinggi. Menjelang senja barulah ia sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga di depan pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan jebakan berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun terasa amat sunyi karena tidak ada suara, namun di sebelah dalam benteng itu tampak kesibukan orang-orang.

 

 Im-yang Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia yang malang-melintang di tempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para pembantunya. Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala yang gundul itu!

 

 Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang dengan khawatir, bahkan seorang di antara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh hormat dan berkata,

 

 "Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma Taihiap."

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk kagum, maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya dan menundukkan anak buahnya.

 

 "Apa yang telah terjadi?" tanyanya.

 

 Orang itu memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini. "Bukankah Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?"

 

 "Benar, akan tetapi aku tertinggal di sana. Harap kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini."

 

 Qrang itu menarik napas panjang, kemudian setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata, "Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan saya akan menceritakan semuanya."

 

 Im-yang Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah dan setelah duduk menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kiam, orang itu yang dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan tingginya.

 

 "Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya mula-myla menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula di tangan Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi, dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw yang setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi, kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama, pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain, Hoat Bhok Lama mengatakan bahwa Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!"

 

 "Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw," kata Im-yang Seng-cu. "Apa saja yang dikatakannya mengenai penyelewengan itu?"

 

 Lauw Kian lalu bercerita. Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus dan anggauta Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism) didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan Terang dari selubungan Kegelapan. Jadi menurut pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama, karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya. Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki kegelapan!

 

 "Betapa mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa mengetahui kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan, apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak akan sukar lagi untuk menundukkannya!"

 

 Demikianlah bujukan dan pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan daripada menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan. Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh, sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat minat yang besar sekali dari para bekas anggauta Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih "bijaksana" daripada para bekas pengurus lama. Apalagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas panjang. Dia masih belum tua namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh di dunia ini yang membuat pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh agama apapun juga dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya. Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biarpun dengan akal budi dan pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat menyedihkan. Pertentangan antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi, yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya, biarpun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.

 

 "Hem, dia memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya," kata Im-yang Seng-cu. "Dan bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?"

 

 "Hal itu terjadi dua bulan yang lalu," kata Lauw Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, ke markas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian sahabat yang dikenalnya itu.

 

 Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk agar kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai ke seluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu Bu-tek Lo-jin memasuki guha di puncak yang merupakan tempat jebakan yang amat berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke dalam lubang jebakan yang terdapat di guha puncak gunung itu.

 

 "Hoat Bhok Lama menutup lubang dan guha itu, kami menganggap kakek itu telah tewas." Lauw Kian menutup ceritanya. "Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup di dalam sumur guha itu."

 

 Im-yang Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup di dalam sumur di puncak, bahkan ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula ke bawah, dia masih mampu menyelamatkan diri.

 

 "Setelah kini kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan kalian lakukan?" Im-yang Seng-cu bertanya.

 

 "Kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas para anggauta Beng-kauw, bsrsama-sama membangun ksmbali Beng-kauw," jawab Lauw Kian dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan lagi.

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk, "Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian. Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya bersimpang jalan. Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan slnar rohaninya, digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan tukang pukul, yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga msmancarkan sinar tsrang membantu mereka yang ksgslapan. Semoga kalian berhasil."

 

 Im-yang Ssng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha, diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selaln memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga!

 

 ***

 

 "Aiihhh...., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh, Suheng.... di manakah engkau....?"

 

 Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke dua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.

 

 Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.

 

 Di dalam perantauannya semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.

 

 Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya, menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun, segala kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik. Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di hatinya. Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidaksenangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan! Biarpun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu.

 

 ".... kosong melengang...."

 

 pikiran melayang

 

 mengejar kenangan

 

 dihimpit kesunyian....

 

 seperti iblis mentertawakan

 

 bunyi daun berkelisik

 

 kerik jengkerik

 

 kerok katak

 

 kokok burung hartu

 

 di luar bising....

 

 namun betapa sunyi melengang

 

 terasa di dalam

 

 seribu suara malam

 

 menambah rasa kesepian...."

 

 Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.

 

 "Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...."

 

 Betapapun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sckelilingnya. Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu. Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak maupun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya keluar, tidak pernah KE DALAM, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.

 

 Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.

 

 Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan. Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Adapun ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat aseli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini orang tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman.

 

 Malam itu, kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri. Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani berkutik, khwatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.

 

 Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang di mana disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harlmau merunduknya!

 

 Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik. "Srattt!" Sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya. Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli!

 

 Karena terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah apa. Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo terheran-heran penuh kekaguman.

 

 Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!

 

 Seluruh urat saraf di tubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas dengan melongo penuh kagum.

 

 Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang mengancamnya. Apapun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun, menambah kayu dan api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.

 

 Yu Goan yang berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian dan karena dia berada di tempat tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.

 

 Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali, muncul di sekitar tempat itu! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu "padam" dan lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.

 

 Kini Siauw Bwee kembali ke tempatnya dengan muka penuh karingat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang mengganggunya!

 

 Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimanapun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh, kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera meninggalkan hutan berhantu ini!

 

 Siauw Bwee menghela napas, tak berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini. Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya dari keadaan di sekelilingnya.

 

 Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di dekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur ke atas ke arah pemuda yang menjadi terkejut bukan main.

 

 "Wuuuuttt! Trakkk!" Biarpun hztnya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya diduduki Yu Goan, menjadi patah terkena hantamannya. Pemuda itu sudah meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru,

 

 "Heit, saya bukan musuh....! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah mahluk-mahluk mengerikan yang memiliki mata mencorong itu!"

 

 Siauw Bwee memandang tajam ke arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki di atas pohon itu yang mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan, mereka saling pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona. Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita daripada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!

 

 "Mudah saja membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak menyangkal lagi?" Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.

 

 Yu Goan menggeleng kepala. "Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah berada di atas pohon lama sebelum Nona datang dan membuat api unggun di bawah pohon ini."

 

 Siauw Bwee memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini. "Engkau membohong!"

 

 Yu Goan menarik napas panjang. "Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andaikata Nona yang berada di sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi."

 

 Siauw Bwee termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu karena biarpun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali.

 

 "Kalau begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?"

 

 "Habis, apa yang harus kulakukan, Nona?"

 

 "Mengapa engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?"

 

 "Ahh, mana aku berani, Nona? Andaikata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya mengkhawatirkan suatu hal...." Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan mukanya yang tampan menjadi merah sekali, ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur, menurutkan suara hatinya.

 

 Siauw Bwee kini sudah hilang kemarahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus, pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusunrapi. Ia percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak,

 

 "Apa yang kaukhawatirkan itu? Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!"

 

 "Yang kukhawatirkan tadi.... eh, anu...., aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan hal yang bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas pohon, karena kalau engkau melakukannya, aku benar-benar akan celaka!"

 

 "Eh, jangan bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau khawatir aku lakukan?"

 

 ".... hem.... misalnya.... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka.... sepatu.... atau.... eh, berganti pakaian.... maaf...."

 

 Tiba-tiba Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air di situ. Kalau ada, tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini.... bertelanjang bulat di situ, di bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya,

 

 "Andaikata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kaukatakan akan celaka?"

 

 "Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi."

 

 Siauw Bwee tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. "Sungguh lega hatiku sambitanku tadi tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat sopan dan jujur. Siapakah engkau?"

 

 Pemuda itu menjura dengan hormat, wajahnya berseri karena dia senang sekali bahwa Nona yang dikaguminya itu tidak marah. "Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau yang kemalaman di sini maka bermalam di atas pohon. Dan Nona...."

 

 "Eh, apakah engkau tadi melihat benda-benda mencorong yang aneh itu?" Siauw Bwee memotongnya.

 

 "Aku melihatnya, dan aku kagum sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat."

 

 "Hemm, kalau gerakanmu demikian cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah benda-benda itu tadi?"

 

 "Aku pun tidak tahu, Nona. Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau sampai Nona yang demikian cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku bukan seorang yang percaya akan tahyul, hanya.... kiranya tak mungkin manusia memiliki mata seperti itu. Aihh, sampai sekarang pun aku masih merasa ngeri dan merasa seolah-olah saat ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita."

 

 Siauw Bwee bergidik, hatinya ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia mendapatkan seorang kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja, matanya melirik ke bawah dan memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali dan sikapnya halus seperti itu jarang ia jumpai dan munculnya tidak wajar. Jangan-jangan penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu?

 

 Tiba-tiba pemuda itu tertawa geli. "Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman! Sungguh mati, aku manusia biasa!"

 

 Wajah Siauw Bwee menjadi merah dan ia pun tersenyum. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menyangka engkau siluman?"

 

 "Nona memandang ke arah kakiku untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan? Menurut dongeng, bangsa siluman kalau menjelma menjadi manusia dapat dikenal dari kakinya yang tidak menginjak tanah, melainkan berada sejengkal di atas tanah, dan kalau ada cermin, dia tidak mempunyai bayangan."

 

 "Ihh, aku harus berhati-hati terhadapmu. Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik oleh rasa ngeri memikirkan benda-benda mencorong itu."

 

 Pemuda itu mengangguk. "Kalau tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung kita saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada. Engkau mengasolah, Nona. Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman takut akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga jangan sampai padam."

 

 Siauw Bwee menggeleng kepala. "Setelah munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur? Engkau tidurlah, biar aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan muncul lagi.... hemmm, ingin aku menggempur mereka!"

 

 "Tidak, Nona. Engkau yang harus tidur dan aku yang menjaga."

 

 "Tidak! Aku yang menjaga!"

 

 Keduanya saling pandang dan melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru saja bertemu, sudah berbantahan!

 

 "Aku telah tahu bahwa ilmu kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat kepandaianku. Akan tetapi, betapapun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Mana mungkin seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas dan membiarkan seorang wanita melakukan penjagaan? Biarpun bodoh, aku tidaklah sekasar dan kurang ajar seperti itu, Nona."

 

 Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul lagi benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku. Dan jangan lupa, kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas itu sudah lenyap, tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso."

 

 Yu Goan mengangguk. "Baiklah."

 

 "Akan tetapi awas, jangan kau terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan marah!"

 

 Yu Goan tersenyum. Makin tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi bidadari impian hatinya, berilmu tinggi sekali, pemberani dan tabah sehingga seorang diri berani bermain di dalam hutan, dirundung keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara air mata mendatangkan perasaan iba di hatinya, dan sekarang ternyata selain berwatak halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur! Seorang dara yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain!

 

 Siauw Bwee rebah miring membelakangi api unggun. dan Si Pemuda. Biarpun dia merasa yakin akan sifat-sifat baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian maka dia hanya akan merasa aman kalau tidur sambil menghadap ke arah kegelapan dari mana tadi muncul benda-benda aneh.

 

 Hati Yu Goan merasa lega. Kalau gadis itu rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia tidak akan berani menatap wajah gadis itu. Kini, gadis itu membelakanginya sehingga dia mendapat kebebasan untuk memandangnya, biarpun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung tubuh belakang di balik pakaian sederhana, dan sedikit kulit tengkuk yang putih kuning yang membayang di antara dua kepang rambut yang hitam subur, anak-anak rambut yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi kemerahan dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis.

 

 Semalam suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh muncul. Yu Goan tenggelam dalam kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa malam telah lewat. Dirasakannya sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutam berkokok dan sinar keemasan membayang di timur. Malam telah lewat dan pagi mulai menjenguk di ambang timur!

 

 Siauw Bwee mengulet enak sekali, membalikkan tubuh, menegangkan otot-otot dan mengembangkan kedua lengan ke atas kepala, menguap kecil. Pemandangan ini sedemikian indah mengharukan bagi Yu Goan, membuatnya terpesona akan tetapi ketika hatinya mencela mata yang menikmati pemandangan itu, dia cepat mengalihkan pandang dari tubuh dan muka yang kini telentang itu, menunduk.

 

 Kokok ayam hutan memasuki pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan memandang ke arah api unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda yang masih duduk dekat api unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia membentak,

 

 "Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau tidak membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak memberi kesempatan padaku untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?"

 

 Yu Goan bangkit berdiri dan menjawab halus, "Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku malam tadi. Pertama, aku harus melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan Nona. Ke dua, aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan Nona. Dari dua pilihan itu, aku memilih yang ke dua. Aku menerima salah dan siap menerima hukuman."

 

 Bagaimana mungkin orang bisa marah menghadapi sikap yang menyerah seperti inl? Apalagi pemuda itu jelas bermaksud bahwa rela dimarahi daripada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau dia toh marah terus, berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan hati Siauw Bwee lenyap dan dara ini menurunkan kedua lengan yang tadi menegang, membanting kaki kiri dan berkata,

 

 "Aihhhh! Engkau membikin aku tidak enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikitpun juga, apalagi tidur semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan penjagaan!"

 

 "Tapi aku senang sekali melakukan penjagaan, Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu. Agaknya iblis-iblis itu telah merasa takut mendengarkan ancamanmu."

 

 Siauw Bwee teringat dan cepat ia menyambar pedangnya, digantungkan di punggung. "Ahh, sekarang kita dapat mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti bukan iblis!"

 

 "Engkau benar, Nona. Mari kita mencari!"

 

 Dua orang muda itu lalu mencari di antara rumput alang-alang dan tetumbuhan di sekitar tempat itu, di tempat-tempat di mana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!

 

 "Bukan main! Manusia-manusia apakah mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?" Yu Goan berseru.

 

 "Hebatnya, bagaimana mereka dapat bergerak demikian cepatnya?" Siauw Bwee berkata lirih dan diam-diam ia terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti gerak kaki tangan kilat dari rombongan kaki buntung dan lengan buntung, gin-kangnya mencapai tingkat tinggi sekali. Akan tetapi mengapa semalam dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh ini? Mungkinkah mereka memiliki kepandaian menghilang seperti setan?

 

 "Jumlah mereka banyak dan tapak kaki mereka menuju ke satu jurusan. Kita dapat mengikuti mereka." Yu Goan berkata sambil meneliti tanah.

 

 "Hemm, aku merasa curiga sekali. Mari kita cari mereka!" Siauw Bwee berkata.

 

 Kedua orang itu lalu berjalan mengikuti arah jejak tapak kaki yang menuju ke selatan. Setelah berjalan dua jam lamanya, mereka berdua berhenti di tepi sebuah tebing yang amat curam.

 

 "Ah, tentu di bawah itu sarang mereka....!" kata Yu Goan menunjuk ke bawah.

 

 Tebing itu amat curam, kiranya tidak kurang dari dua ribu kaki. Dan jauh di bawah sana kelihatan kecil sekali seperti mainan kanak-kanak, tampak sebuah perkampungan kecil dengan beberapa buah rumah sederhana. Lembah di bawah itu kelihatan sunyi, seolah-olah perkampungan itu tidak ada penghuninya.

 

 "Aneh sekali. Lembah di bawah itu dikelilingi tebing yang begini curam, seolah-olah terpisah dari dunia ramai. Siapakah gerangan yang tinggal di bawah sana?" Siauw Bwee berkata, termangu-mangu.

 

 "Sebaiknya kita mencari jalan turun ke sana untuk menyelidikinya, Nona."

 

 "Memang begitu kehendakku. Akan tetapi, aku mendapat firasat di hati bahwa tempat itu amat berbahaya, dan agaknya orang-orang yang tinggal di tempat seperti itu tentulah orang-orang aneh yang berilmu tinggi. Aku tidak ingin melihat engkau menghadapi malapetaka di sana, Yu-twako."

 

 Yu Goan menoleh, mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. "Engkau baik sekali, Nona. Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri dengan pedangku."

 

 Sejenak Siauw Bwee memandang pemuda itu. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, aku pun percaya bahwa engkau bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako. Mari kita mencari jalan turun!"

 

 "Nanti dulu, Nona!"

 

 Siauw Bwee membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia bertanya, "Ada apakah?"

 

 Pemuda itu kelihatan bingung dan ragu-ragu, agaknya sukar sekali membuka mulut menyatakan isi hatinya. "Harap Nona sudi memaafkan kalau aku bersikap kurang ajar, karena sungguh tidak sopan bagi seorang pemuda untuk mengajukan pertanyaan ini kepada seorang dara terhormat...."

 

 "Aihhh, katakanlah. Apa yang ingin kaukatakan, Twako? Engkau terlalu sungkan."

 

 "Aku terpaksa mengajukan pertanyaan ini, Nona, mengingat bahwa kita telah saling berkenalan dan kita bersama menghadapi hal yang belum kita ketahui bagaimana sifatnya, mungkin berbahaya."

 

 Siauw Bwee mengangguk tak sabar. "Tanyalah!"

 

 "Aku ingin mengetahui siapakah Nona? Dan siapakah nama Nona yang mulia?"

 

 Siauw Bwee tertawa dan menggunakan tangan kiri menutupi mulut. "Hi-hi-hik! Engkau benar-benar lucu sekali, Twako! Engkau terlalu ditekan dan diselubungi kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya nama saja apa sih dosanya? Tentu saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku yang lupa belum memperkenalkan diri, padahal aku telah mengetahui namamu. Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu, minta maaf segala? Dengarlah, namaku adalah Khu Siauw Bwee."

 

 "Khu Siauw Bwee....?" Yu Goan mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar nama ini. Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang. "Khu-lihiap (Pendekar Wanita she Khu), aku pernah mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam Liong yang menjadi menteri, murid Menteri Kam Liong itu seorang pahlawan yang gagah perkasa, dan yang telah gugur bersama gurunya di kota raja karena fitnah. Namanya Khu Tek San, dan mengingat she itu...." Yu Goan berhenti bicara dan memandang terbelalak ke wajah jelita yang berubah agak pucat. Dua butir air mata menitik turun dan bibir yang kecil merah itu bergerak-gerak lalu digigit.

 

 "Khu-lihiap, maafkan aku. Apakah mendiang Khu Tek San itu...."

 

 Siauw Bwee mengangguk. "Dia adalah ayahku sendiri!"

 

 Yu Goan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, membungkuk penuh hormat. "Ahhh, sudah kuduga bahwa Nona tentulah bukan orang sembarangan! Kiranya puteri mendiang Khu-ciangkun, murid yang setia dan gagah perkasa dari mendiang Menteri Kam yang terkenal di seluruh dunia! Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!"

 

 Siauw Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan hormat itu bisa membuat orang salah mengerti, mengira bahwa engkau memiliki watak penjilat. Bagimu mungkin aku puteri seorang pahlawan, akan tetapi banyak orang menganggap aku puteri seorang pemberontak! Aku tahu bahwa engkau seorang yang terpelajar dan berbudi halus, penuh kesopanan, dan aku suka bersahabat denganmu, Twako. Akan tetapi kalau engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan dan sopan itu, aku akan benci padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang menunduk-nunduk seperti seorang penjilat!"

 

 Wajah Yu Goan menjadi merah sekali. "Tidak ada seujung rambut pun di dalam hatiku ingin menjilat kepadamu atau kepada siapa pun di dunia ini, Nona. Sikapku tidak kubuat-buat dan sewajarnya, sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak kecil kuterima dalam pendidikan. Karena itu maafkan aku, Lihiap."

 

 "Twako, aku ingin sekali mengetahui bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal nama Menteri Kam?"

 

 "Ayah bundaku mengenal baik Menteri Kam yang sakti, Nona. Terutama sekali ayahku, dia banyak bercerita tentang pendekar-pendekar sakti keturunan Suling Emas. Ayah amat kagum terhadap keturunan Suling Emas, kekaguman yang tertanam pula di dalam hatiku. Ah, betapa ayah dan ibu akan merasa bangga bahwa aku dapat bertemu dan bersahabat dengan puteri Khu-ciangkun yang terkenal, murid Menteri Kam!"

 

 "Sudahlah, Twako. Aku menjadi pening mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang kosong itu! Lihat, di bawah itu mulai ada gerakan!" Siauw Bwee menuding dan ketika Yu Goan memandang ke bawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak ke sana ke mari akan tetapi karena jaraknya amat jauh sehingga manusia-manusia di bawah itu hanya kelihatan sebesar jari tangan, maka mereka tidak dapat melihat jelas.

 

 Dengan hati-hati dari berindap-indap, Siauw Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun ke lembah di bawah yang penuh rahasia itu. Akan tetapi dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa tebing yang amat curam itu tidak mungkin dapat dituruni. Mana mungkin turun melalui dinding karang yang ratusan kaki tingginya, licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak atau tangan bergantung? Untuk menggunakan gin-kang meloncat ke bawah? Lebih tak masuk akal lagi.

 

 Namun Siauw Bwee dan Yu Goan bukanlah orang-orang lemah yang muda berputus asa. Mereka terus mencari, meneliti setiap kemungkinan menuruni tebing dan memeriksa sekeliling tebing yang berada di situ sampai setengah hari mereka mencari jalan turun, namun hasilnya sia-sia. Lembah di bawah itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak mungkin dituruni atau didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak mungkin menuruni tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat menahan tubuh. Perkampungan di lembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali dari dunia luar daerah mereka. Mereka seperti hidup di dalam sebuah mangkok, tidak mungkin dapat menjenguk keluar dari bibir mangkok yang merupakan tebing yang mengelilingi tempat tinggal mereka.

 

 Akhirnya Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa mengaku kalah. Mereka telah melakukan pemeriksaan mengitari sekeliling lembah sampai kembali ke tempat mereka berangkat, tempat mereka mula-mula melakukan pemeriksaan. Keduanya duduk mengaso di tepi tebing sambil memandang ke bawah dengan hati penasaran. Dari atas tampak manusia di bawah itu menuju ke suatu tempat di tengah perkampungan, kemudian tampak api bernyala, asap mengepul tinggi seolah-olah mereka yang berada di bawah itu membakar sesuatu. Terlalu tinggi tempat itu untuk dapat melihat jelas apa yang dikerjakan oleh manusia-manusia di lembah itu.

 

 "Tanpa sayap seperti burung, mana mungkin menuruni tempat itu?" Yu Goan berkata sambil menghapus peluh dari lehernya.

 

 "Memang tidak mungkin, kecuali kalau menggunakan alat." Siauw Bwee berkata memandang ke bawah dengan alis berkerut. "Menggunakan kaitan besi atau tali untuk merayap ke bawah."

 

 "Akan tetapi terlalu berbahaya. Biarpun merayap ke bawah tidak amat berbahaya, namun kalau orang-orang di bawah itu menyambut dengan sikap bermusuh, kita sedang merayap tak berdaya itu tentu merupakan sasaran yang lunak."

 

 Siauw Bwee mengangguk-angguk. "Memang aneh sekali. Makin sukar tempat itu didatangi, makin tertarik hatiku untuk membongkar rahasia mereka itu. Yang mengherankan hati, kalau memang benar mereka di bawah sana itu yang malam tadi mengganggu kita, bagaimana cara mereka mendaki tebing?"

 

 "Dan gerakan mereka begitu cepat seperti menghilang!" Yu Goan berkata.

 

 "Yu-twako, awasss....!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya duduk di atas rumput dekat pemuda itu, mencelat ke belakang, berjungkir-balik beberapa kali. Yu Goan terkejut pula, meloncat ke atas dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat dara jelita itu telah mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap kuat dan berpakaian sederhana kasar seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis itu mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya bergerak merobohkan lawan! Dari gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat kepandaian dara ini jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia dapat menduga bahwa dara itu lebih pandai daripada ibunya, atau ayahnya sekalipun!

 

 Akan tetapi dia terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang mengurung tempat itu bukan hanya dua orang yang didorong roboh oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak sekali. Sebagian sudah memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang menyelinap di balik pohon-pohon dan tetumbuhan!

 

 Siauw Bwee tadi sengaja mendorong dua orang terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa heran hatinya ketika melihat dua orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika ia tadi berloncatan berjungkir balik lalu menyerang, dua orang itu membuat gerakan tangan yang baginya amat canggung dan tidak ada artinya sehingga mudah saja dia mendorong mereka dan menotok pundak mereka. Akan tetapi sungguh luar biasa. Kedua orang kasar itu bukan roboh tertotok, melainkan terguling karena tenaga dorongan dan begitu menyentuh tanah mereka sudah meloncat bangun kembali. Dan kini tampak belasan orang mengurung dia dan Yu Goan.

 

 "Tahan!" Siauw Bwee membentak ketika melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak menyerang. Dia melihat orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti manusia-manusia liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan kebodohan, akan tetapi sepasang mata mereka mengeluarkan sinar berkilat! Ah, kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka yang aneh seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun! Diam-diam Siauw Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suhengnya, hanya orang-orang yang memiliki sin-kang tingkat tinggi saja yang dapat membuat matanya mencorong seperti mata harimau. Dia dan suci serta suhengnya pun dapat membuat matanya mencorong kalau dia kehendaki, akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan itu karena hal demikian hanya akan membuat dia menjadi tontonan! Akan tetapi orang-orang kasar ini semua memiliki sinar mata yang mencorong!

 

 "Siapakah kalian dan mengapa kalian mengurung kami berdua?" Siauw Bwee membentak.

 

 Orang-orang itu saling pandang, tidak ada yang menjawab.

 

 "Heii! Apakah kalian tuli, atau gagu?" Siauw Bwee membentak lagi.

 

 "Mereka hanya melaksanakan perintah!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dari belakang sebatang pohon besar. Siauw Bwee dan Yu Goan menoleh dan mereka mengerutkan kening melihat bahwa orang itu tidak segolongan para pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa, bahkan pakaiannya bersih dari sutera mahal, bentuk pakaian seorang sastrawan, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya, juga pancaran pandang mata orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu.

 

 "Perintah siapa?" Siauw Bwee bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang menjadi komandan pasukan orang liar yang mengepung.

 

 "Tentu saja perintah ketua kami. Kalian berdua memasuki daerah kami, daerah terlarang, karenanya kalian harus menyerah sebagai tawanan kami untuk kami bawa menghadap Ketua!"

 

 "Hemm, kami berdua tidak salah apa-apa, mengapa akan dijadikan tawanan?" Yu Goan membantah. "Mau apa kalian menawan kami?"

 

 Sastrawan itu memandang Yu Goan dan tersenyum mengejek. "Hanya ketua kami yang akan memutuskan."

 

 "Aku tidak sudi menyerah!" Siauw Bwee membentak. "Pergilah kalian, jangan menggangguku. Kalian akan menyesal nanti!"

 

 Sastrawan itu mengerutkan kening, memberi aba-aba dan menyerbulah belasan orang liar itu. Gerakan mereka kaku sekali, akan tetapi baik Siauw Bwee maupun Yu Goat terkejut sekali ketika dari gerakan tangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!

 

 "Hati-hati, Twako. Sin-kang mereka amat kuat!" Siauw Bwee berseru dan dara perkasa ini sengaja berkelebatan cepat mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, mempergunakan ilmu mujijat gerak kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan delapan orang terrnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi, kembali dia terkejut karena seperti halnya dua orang yang pertama kali dia robohkan tadi, delapan orang ini pun meloncat bangun begitu tubuh mereka terbanting ke tanah, sedikitpun tidak tampak tanda-tanda mereka itu menderita nyeri.

 

 Yu Goan juga cepat mengerahkan gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini, karena tanpa peringatan Siauw Bwee pun dia maklum betapa pukulan-pukulan para pengurung liar ini mendatangkan angin keras. Sambil mengelak, dia sudah menotok jalan darah di leher seorang pengeroyok, dan pada detik berikutnya, kakinya sudah menendang sambungan lutut seorang pengeroyok lain. Kedua orang itu terpelanting, akan tetapi mereka mencelat bangun lagi. Baik totokannya maupun tendangannya tidak hanya membuat kedua orang itu terpelanting, akan tetapi sama sekali tidak mengalahkan mereka.

 

 Berkali-kali Siauw Bwee dan Yu Goan merobohkan para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan Si Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi Siauw Bwee biasa saja. Akan tetapi jelas terbukti bahwa segala macam pukulan, totokan, tendangan, tidak mampu merobohkan para pengeroyok yang agaknya memiliki kekebalan luar biasa, atau tubuh mereka seolah-olah dilindungi oleh semacam hawa mujijat.

 

 Siauw Bwee merasa terheran-heran dan diam-diam ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki keadaan lawan. Ketika ia sengaja menerima pukulan dengan telapak tangannya, ia merasa ada hawa yang panas keluar dari kepalan orang itu, yang cepat dapat ia enyahkan dengan sin-kangnya. Akan tetapi pukulan kedua orang dari orang yang sama, mengandung hawa yang sejuk nyaman. Juga Im-kang yang aneh ini tentu saja dapat ia lawan dengan sin-kang yang amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau Es. Biarpun Siauw Bwee belum tahu dengan jelas, namun kini ia sudah dapat menduga bahwa para pengeroyoknya itu biarpun tidak memiliki ilmu silat tinggi, namun memiliki inti tenaga sin-kang yang amat kuat dan aneh, dan agaknya mereka yang masih rendah ilmu silatnya ini secara luar biasa telah dapat menggabungkan tenaga sakti Im dan Yang.

 

 "Twako, pergunakan senjatamu!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut pedangnya.

 

 "Sing! Singgg!" Dia sinar berkelebat ketika dua orang muda itu mencabut pedang mereka dan benar saja seperti yang diduga Siauw Bwee, para pengeroyok itu, kecuali Si Sastrawan, kelihatan jerih.

 

 "Twako, robohkan akan tetapi jangan bunuh orang!" Kembali Siauw Bwee berseru dan diam-diam Yu Goan menjadi makin suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang ternyata selain lihai, cantik jelita, juga hatinya lembut, tidak kejam.

 

 Orang-orang ini biarpun kelihatan jerih, namun mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu Goan membacokkan pedangnya, mengarah bagian yang tidak berbahaya. Dua kali pedangnya berkelebat, menyambar pangkal lengan seorang dan paha orang ke dua.

 

 "Plak! Plak!" Pedangnya itu mengenai sasaran, akan tetapi telapak tangannya terasa panas karena dua kali pedangnya membalik seperti membacok karet yang ulet dan kuat. Dua orang itu terhuyung. Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi lukanya hanya merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak terluka sama sekali. Darah yang keluar hanya merupakan goresan merah pada kulit yang terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek pedang daripada kulit mereka.

 

 Demikian pula Siauw Bwee mengalami hal yang sama. Dia kaget dan makin kagum. Kekebalan yang hebat sekali dimiliki oleh orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu mereka ini orang-orang yang kasar dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih sin-kang yang amat mujijat! Apalagi ketika ia menyerang Si Sastrawan yang dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia lebih terkejut lagi. Pedangnya selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya ke samping! Hal ini membuktikan sin-kang yang amat kuat, dan untung baginya bahwa sin-kang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sin-kang yang sedemikian kuatnya itu dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sin-kangnya!

 

 "Tangkap mereka dengan jala!" Tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.

 

 "Wuuuuttt! Wuuuuutttt!" Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa. Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, biruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.

 

 Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap saja!

 

 Sementara itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh ke kiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki orang ke dua.

 

 "Dukkk!" Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya. Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biarpun pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena mengandung tenaga sin-kang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu, bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke arah kepalanya!

 

 Yu Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan ke atas tanah. Akan tetapi, ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi.

 

 Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan gin-kangnya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan tetapi, jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!

 

 Melihat ini, Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sin-kangnya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan gin-kangnya yang membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat menangkapnya! Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di antara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali! Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya.

 

 "Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!" bentaknya dan bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan, didahului sinar pedangnya yang menyambar. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi, "brettt!" kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!

 

 "Kalau tidak kaulepaskan dia, lehermu yang akan putus!" Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak.

 

 Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.

 

 "Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!" Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.

 

 Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala. Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan!

 

 Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang menlnggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi, biarpun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya dan begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!

 

 "Tahan....!" Tiba-tiba terdengar seruan halus dan mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.

 

 "Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!" Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.

 

 Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala, menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungklnan tanpa mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu. Adapun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan, sikapnya palsu dan hal ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih, matanya yang cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong daripada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.

 

 "Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?"

 

 Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang di antara mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu.

 

 Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata, "Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?"

 

 Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, "Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi, mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran."

 

 Kakek itu mengerutkan keningnya. "Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!"

 

 Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee, akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.

 

 Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, "Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti."

 

 Siauw Bwee tersenyum. Biarpun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata, "Kami berdua hanya kebetulan lewat saja lewat di hutan sana akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu.... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?"

 

 Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat dan ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, "Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri." Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan, mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.

 

 "Pangcu...."

 

 "Sssttt....!" Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.

 

 Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!

 

 "Pangcu...." Kembali Siauw Bwee melangkah maju.

 

 "Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya."

 

 Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan!

 

 Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan.

 

 "Maafkan.... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...."

 

 "Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!"

 

 Kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Bagaimana Sicu bisa tahu?"

 

 "Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?"

 

 Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata,

 

 "Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sin-kang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin adakalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?"

 

 Kakek itu terbelalak. "Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?"

 

 "Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin."

 

 "Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?" kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. "Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menalong nyawaku."

 

 "Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sin-kang yang amat besar dan pula bukan di sini tempatnya."

 

 "Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!"

 

 Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan. Di tengah jalan Siauw Bwee berkata,

 

 "Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako."

 

 "Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula, aku merasa sangsi apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini."

 

 "Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini."

 

 Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, "Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan."

 

 Biarpun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.

 

 "Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia," kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya. Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi, nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka.

 

 Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan. Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar. Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi, dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan jntung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!

 

 Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat daripada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini!

 

 Mereka duduk berhadapan di atas dipan, Yu Goan dan Ouw-pangcu. Adapun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari situ mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.

 

 "Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena pukul," kata kakek itu, menyatakan keheranannya biarpun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.

 

 "Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sin-kang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri."

 

 Kakek itu membelalakkan matanya. "Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi.... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sin-kang yang.... yang...." Kakek itu kelihatan ragu-ragu.

 

 "Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sin-kang secara berbareng dan pandai menggunakan kedua sin-kang itu secara berbareng?" Tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.

 

 Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. "Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia, akan tetapi heran sekali mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok."

 

 "Hemm, apa anehnya Pangcu?" Siauw Bwee berkata. "Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sin-kang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...."

 

 Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. "Aihh! Apakah bisa jadi....?"

 

 "Apa yang hendak kaukatakan, Pangcu?" Yu Goan berkata.

 

 "Racun itu....! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia.... Ang-siucai itu.... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu....!" Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik, "Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu."

 

 Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri, dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.

 

 "Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, malapetaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan."

 

 "Penyakit apakah, Pangcu?" Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.

 

 "Penyakit kusta."

 

 "Kysta....?" Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. "Lalu bagaimana, Pangcu?"

 

 "Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah."

 

 "Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?" tanya Siauw Bwee.

 

 "Benar, jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sin-kang yang disebut Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sin-kang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sin-kang itu sendiri."

 

 "Kenapa engkau keracunan, Pangcu. Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu," kata Yu Goan.

 

 "Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sin-kang, dan satu-satunya.... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis. Mungkinkah dia....? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi."

 

 "Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantumu membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sin-kang di tubuhmu." kata Yu Goan. Pemuda ini lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu, kemudian ia menempelkan kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sin-kangnya.

 

 Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan matanya terbelalak.

 

 Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri. Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. "Bagaimana, Sicu?"

 

 "Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?" Siauw Bwee juga bertanya.

 

 Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. "Percuma. Agaknya Jit-goat-sin-kang yang kaumiliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sin-kang jauh lebih tinggi daripada kekuatanmu sendiri. Sin-kangmu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sin-kang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sin-kangmu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sin-kangku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sin-kang yang saling berlawanan itu, apalagi untuk mengusir hawa beracun."

 

 "Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau samnpai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku semua...." Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.

 

 "Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?"

 

 "Khu-lihiap...., hal itu.... berbahaya sekali. Jit-goat-sin-kang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!"

 

 "Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku," Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus.

 

 Siauw Bwee tersenyum. "Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya."

 

 "Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sin-kangmu lebih lemah daripada sin-kangku, akan tetapi betapapun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sin-kang yang liar di tubuh Ouw-pangcu."

 

 Kembali Siauw Bwee tersenyum. "Ouw-pangcu, Locianpwe yang kausebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?"

 

 Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak. "Ini.... ini.... rahasia besar.... bagaimana Lihiap bisa tahu....?" tanyanya gugup dan Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal daripada nama Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!

 

 "Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suhengku ketika aku digemblengnya di Pulau Es."

 

 "Pulau Es....?" Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.

 

 "Khu-lihiap, jadi engkau.... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu....?" Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.

 

 Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. "Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suciku dan suhengku."

 

 "Ah, aku bersikap kurang hormat....!" Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan! Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata,

 

 "Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!"

 

 "Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu."

 

 Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu, "Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!"

 

 Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, "Twako, kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya." Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu. Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sin-kang yang amat kuat, juga sin-kang yang keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sin-kang, panas dan dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sin-kang? Sebenarnya bukanlah demikian, Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sin-kang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.

 

 Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ, telah menurunkan ilmu silat kepada para kawan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.

 

 "Bunuh Ouw-pangcu!" terdengar teriakan Ang-siucai dan ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura. Biasanya, dia menyembunyikan kepandaiannya maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ, akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sin-kang yang telah dimilikinya walaupun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal Ouw-pangcu!

 

 Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sin-kang itu tidak dapat dihentikan di tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.

 

 Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dan sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya. Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit. Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas, akan tetapi Yu Goan yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung ke belakang, cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan ini yang menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya lalu terjungkal. Adapun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh. Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher dan biarpun leher itu juga kebal, namun goresan mengenai jalan darah di leher sehingga tampak getar ketika bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu. Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai, dan dua orang Han yang lihai!

 

 Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!

 

 Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andaikata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat keluar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk. Kini, di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.

 

 "Kurung dia rapat-rapat!" Ang-siucai berseru dan kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat keluar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.

 

 "Trang-trang! Cepp! Cepp!" Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sin-kang karena serangan itu datangnya amat cepatnya.

 

 "Bukkk!" Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang golok dan pedang menghunjam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini, akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!

 

 Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Dua orang ini menubruk dan karena tanpa berunding lebih dulu memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang ke dua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!

 

 "Auugghhh!"

 

 "Aiiighhh!"

 

 Dua orang itu begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Adapun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!

 

 "Ihhhh....!" Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu. Namun terlambat dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika! Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sin-kangnya akan mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu.

 

 Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat dan Yu Goan yang masih mengamuk dan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya, sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan, bertekad melawan sampai detik terakhir.

 

 Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring, "Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!"

 

 "Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako."

 

 Kedua orang ini meloncat keluar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding, begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah telapak tangan kirinya. Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, di antara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri. Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, dan mengobati yang terluka.

 

 Yu Goan mencerita luka, namun tidak ada yang berbahaya sehingga setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini masih sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka.

 

 Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata,

 

 "Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!"

 

 Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang akhirnya keduanya mengangguk.

 

 "Baiklah, Gihu!"

 

 "Bangkitlah sekarang, Gihu!" kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek itu. Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan.

 

 "Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!"

 

 Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar. "Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sin-kang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai."

 

 Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sin-kang yang lebih dahsyat daripada yang dimlilki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki sin-kang yang dahsyat, pun akan dapat memetik hawa mujijat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan.

 

 Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu, bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan rahasia. Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Akan tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri, ada tiga puluh orang.

 

 Setelah tinggal di tempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia daripada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka.

 

 Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sin-kang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.

 

 Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di tempat Pulau Es yang sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan.

 

 Juga Yu Goan, di samping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sin-kang, juga merasa amat senang tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar tinggal di dalam neraka sekalipun dia akan merasa senang kalau di situ terdapat Siauw Bwee di sampingnya! Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat mendalam.

 

 Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suhengnya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih, dan ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda itu.

 

 Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sin-kang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.

 

 "Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang. Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di manapun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal di tempat ini."

 

 Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, "Ucapanmu benar, Lihiap...."

 

 "Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?"

 

 "Terima kasih, ....eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendeker wanita yang tiada keduanya di dunia ini, den aku.... aku merasa terlalu rendah untuk manyebutmu adik."

 

 "Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya."

 

 "Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kaukatakan tadi benar bahwa kita sudah memaharni Jit-goat-sin-kang dan sudah terlalu lama tinggal di sini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi...., kita akan pergi ke manakah?"

 

 Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini.

 

 "Aku akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri."

 

 Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan. "Bwee-moi...., mengapa.... mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan sucimu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!"

 

 Siauw Bwee menggeleng kepalanya. "Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan bersama, apalagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa kembali."

 

 Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di wajahnya. "Ah, Bwee-moi.... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu.... jangan kita saling berpisah lagi...."

 

 Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak, "Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?"

 

 Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya.

 

 "Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...."

 

 "Cukup, Twako!" Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk "mengobati" penyakit yang menyerang hati pemuda itu. "Aku bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi makin berat."

 

 Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee.

 

 "Meng.... mengapa tidak mungkin...., Bwee-moi?" Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak. Ketika dibukanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suhengnya itu dengan pria lain yang manapun juga, betapa tampan dan baik pun!

 

 "Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena.... karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako."

 

 Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, "Ahhhh.... maafkan aku, Bwee-moi.... maafkan aku....!"

 

 Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya, "Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?"

 

 Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. "Maafkan aku.... maafkan...."

 

 Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu. "Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku melainkan mencinta dirimu sendiri!"

 

 Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. "Apa maksudmu, Bwee-moi?"

 

 "Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako, siapakah yang kaucinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?"

 

 Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk. "Akan tetapi.... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?"

 

 "Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, robahlah cintamu itu, bersihkan daripada nafsu berahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?"

 

 Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk.

 

 Aku mengerti, Bwee-moi." Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih daripada nafsu, jauh daripada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih.

 

 Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biarpun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun.

 

 "Bwee-moi, terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan bersih daripada nafsu?"

 

 Wajah Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika menjawab, "Aku.... aku juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku.... aku mencinta dia seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh.... sudah mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah daripada engkau, Twako." Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu karena dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada dia ataukah kepada Maya?

 

 Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya perlahan sambil berkata, "Bwee-moi, kasihan engkau....! Engkau sedang menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu."

 

 "Terima kasih, Yu-twako, engkau baik sekali."

 

 Tiba-tiba kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu, kembali ke perkampungan dan mereka melihat orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul di depan pondok Ouw-pangcu.

 

 Ketika melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang, Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya, berbondong-bondong lari menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu dari belakang.

 

 Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan bertemu dengan penghuni lembah di bawah, atau setidaknya ketuanya karena mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari Bu-tek Lo-jin. Biarpun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan menyaksikan sendiri keadaan mereka. Akan tetapi menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah, pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah yang penuh rahasia itu.

 

 Siauw Bwee dan Yu Goan yang mengikuti rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka menerobos ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa, kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya ke arah suara itulah mereka menuju.

 

 Rombongan itu berhenti di dalam sebuah hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Di bawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh berbentuk sebuah kepala raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu, berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi di situ.

 

 Suara melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak ke arah batu besar itu. Batu itu bergerak perlahan, bergeser dari kanan ke kiri. Dan tampaklah sebuah lubang di bawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu terus menggeser sampai lubang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris tengah satu meter.

 

 Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai dari dalam lubang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak memandang ke arah lubang sumur itu. Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri seorang manusia yang amat menyeramkan! Demikian cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri di depan lubang. Hanya pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang, maka dara sakti ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan, ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Orang itu benar-benar amat menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek di pinggir dan ujungnya. Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun karena robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang mengerikan. Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang, tinggal sisanya sedikit saja. Tangan kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar dari lengan baju amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga buah saja. Kulit yang membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah di sana-sini seperti digerogoti rayap. Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu memandang ke arah muka orang itu, ia merasa betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu di bagian atas sehingga yang tampak hanya mulai dari alis ke bawah. Akan tetapi itu pun sudah amat menakutkan!

 

 Kalau kulit kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan. Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang. Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lubang hitam. Matanya seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri di depan lubang itu tak patut disebut manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat!

 

 Di samping perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar di hati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu.

 

 Kini muncul dua orang lain dari dalam lubang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang pertama. Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi, melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri di kanan kiri orang pertama yang sudah marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal sepotong, bicaranya sukar dimengerti. Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di perkampungan yang dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah tentang peristiwa pertempuran di antara orang-orang tebing.

 

 "Harap para Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada Pangcu di bawah bahwa kami semua tidak pernah melanggar perintah."

 

 Orang penderita kusta yang pertama itu kembali bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan kekagetan dan ketakutan.

 

 Ia menggoyang tangan kiri yang diangkat ke atas sambil berkata, "Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak mau ikut Locianpwe turun ke bawah!"

 

 Orang ke dua yang berdiri di sebelah kanan orang pertama, mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki gin-kang yang amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu, orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu.

 

 "Crottt!" Empat buah jari tangan itu menancap di pundak seperti empat buah pisau tajam, akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental ke belakang karena Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Ketika terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal di pundak Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sin-kang yang demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak Ouw-pangcu juga tercabut keluar terdorong oleh daya tolak sin-kang Ouw-pangcu. Anehnya, biarpun dua buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!

 

 "Maaf, saya tidak sengaja menyusahkan para Locianpwe," kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan akibatnya tadi.

 

 Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan bendera kecil itu di atas kepalanya. Melihat bendera kecil itu, Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera sambil berkata,

 

 "Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau Locianpwe tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah dan mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah."

 

 Si Tangan Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada anak buahnya yang masih berlutut ketakutan.

 

 "Kalian kembalilah dan bekerja seperti biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di lembah maka jangan kalian memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya, kalian boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari, kalau aku tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku pergi. Marilah Sam-wi Locianpwe." Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti tiga orang penderita kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan lorong di bawah tanah yang menuju ke lembah jauh di bawah! Setelah empat orang itu memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi lubang. Keadaan menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu baru berani bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi.

 

 Setelah anak buah Ouw-pangcu meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi mereka.

 

 "Setan-setan itu! Mengapa kau tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?"

 

 "Gi-hu ikut dengan mereka secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang lembah itu memang mempunyai kekuatan lebih besar dan Gi-hu harus tunduk kepada ketua orang lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak berlawanan dengan isi hati Gi-hu sendiri."

 

 "Akan tetapi Gi-hu dibawa mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami bencana di bawah sana?"

 

 "Tidak, kita tidak akan membiarkan saja. Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa yang terjadi."

 

 "Bagus! Mari kita kejar mereka, biar kugeser batu ini!" Yu Goan meloncat akan tetapi baru saja ia menyentuh batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya.

 

 "Jangan, Twako. Kalau kita masuk atau turun melalui jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku harus bertanding dengan orang-orang seperti itu.... hiiiihhhh, aku bisa mati karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita malah menambah kesalahan Gi-hu dalam pandangan mereka. Mereka itu menjijikkan, akan tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan menemui kegagalan di tengah jalan sebelum sampai di lembah. Lorong yang merupakan jalan satu-satunya ini pasti terjaga kuat oleh mereka."

 

 Yu Goan mengangguk-angguk dan kagum sekali. "Habis, bagaimana kita bisa turun kembali ke lembah?"

 

 "Perkampungan mereka di bawah itu kelihatan dari atas tebing. Biarpun curam dan sukar, kalau kita menggunakan besi pengait, pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak dapat turun ke bawah?"

 

 Yu Goan setuju dan mereka segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian mulailah kedua orang itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan kepandaian mereka yang tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka merayap turun perlahan, menggunakan pedang ditancapkan pada dinding batu karang, melorot turun dengan bergantung kepada tambang. Biarpun sukar sekali, dan tidak dapat cepat karena mereka harus amat berhati-hati, sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka dapat merayap ke bawah.

 

 Akan tetapi ternyata oleh mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biarpun mereka mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar beberapa kali kalau menghadapi jalan buntu, di mana tebing itu berakhir dengan jurang yang tak mungkin dapat dilalui, batunya pecah di bagian bawah. Terpaksa mereka mencari jalan baru untuk turun dan adakalanya mereka terpaksa merayap ke atas lagi untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan terpaksa mereka harus melewatkan malam di dalam guha yang terdapat di dinding batu karang yang licin!

 

 Pada keesokan harinya, setelah cuaca terang, barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengambil jalan memutar ke selatan, mereka melihat dataran di tengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding di bagian ini ternyata menembus ke sebuah dataran yang merupakan dataran ke dua di bawah puncak tebing, sungguh merupakan keadaan yang ajaib! Dataran yang berada di perut gunung, luasnya paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil di puncak, dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan yang amat berlawanan dengan lembah itu yang di kelilingi tebing tinggi!

 

 "Mari kita ke sana, siapa tahu dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah," kata Siauw Bwee.

 

 "Baik.... heiii, ada rumahnya di sana!" Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba menuding.

 

 Benar saja, dari lereng tebing itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana di dataran itu, tanda bahwa di sana ada manusianya! Hal ini mendorong semangat mereka dan mereka merayap ke arah dataran itu, kemudian meloncat turun di atas tanah yang rata. Dengan hati-hati mereka berjalan ke tengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang modelnya sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya, bahkan dua pondok itu lebih sederhana lagi.

 

 Setelah dekat dan menghampiri pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap di balik pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari pondok membawa setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti daun-daun kering, akar-akar dan buah-buahan kering. Laki-laki itu usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat sederhana, tanpa lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak. Celananya hitam dan digulung di bagian bawahnya, sampai ke lutut.

 

 Tiba-tiba kakek itu berhenti di depan pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga tumpukan tampah yang jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas dengan tangan kanan dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar ke udara dan berputar-putar seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikit pun! Tampah pertama masih melayang-layang ketika tampah ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul sehingga dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang di udara seperti sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian tampah-tampah itu meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang dipasang di depan pondok sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya yang terlempar keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

 

 "Bukan main....!" Yu Goan berbisik dan Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga loncatan tampah-tampah tadi pun di "kendalikan" oleh tenaga sin-kang! Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek itu sudah tahu akan kedatangan meceka, karena demonstrasi tenaga sin-kang tadi, tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan, yaitu sengaja diperlihatkan orang untuk menggertak. Kalau kakek itu tidak tahu bahwa mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang, perlu apa main-main dengan tenaga sin-kang seperti itu? Maka ia bersikap waspada dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek itu tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah, mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu "melayang" berputaran menuju ke arah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti seekor burung garuda menyambar dua ekor domba!

 

 "Celaka!" Yu Goan berseru dan pemuda itu sudah mencabut pedangnya, akan tetapi Siauw Bwee menyentuh lengan pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua lengan mendorongkan kedua telapak tangan ke atas, ke arah tampah yang meluncur turun. Dia tidak berani mempergunakan Jit-goat-sin-kang yang belum dilatih sempurna itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suhengnya. Tampah yang sudah meluncur turun itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke arah Siauw Bwee, melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas dipan yang masih kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu agak tergetar karena ada dua tenaga sin-kang raksasa yang mengemudikannya dari arah berlawanan!

 

 "Tahan dulu, Locianpwe!" Siauw Bwee sudah berseru dan melompat keluar dari tempat sembunyinya, lompatannya seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak enam meter terhalang dipan penjemur obat-obatan di atas tampah-tampah.

 

 Sejenak kakek itu memandang dengan alis berkerut, matanya terbelalak penuh keheranan dan agaknya dia masih tidak mau percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu melayang turun, hanyalah seorang dara remaja.

 

 "Bagus! Coba engkau tahan ini!" serunya dan tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia lemparkan ke udara, kini bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan. Kedua tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya meluncur hawa sin-kang yang "mengemudikan" tampah berisi bahan obat itu.

 

 Siauw Bwee maklum bahwa kakek itu kini mengerahkan tenaga sin-kang yang besar sekali karena tidak hanya tampah itu berputaran di udara, akan tetapi juga isinya ikut berputaran di atas tampah. Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa kakek itu menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk, maka kini hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia pun lalu mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan ke depan. Hawa sin-kang yang kuat meniup keluar dari kedua tangannya, membubung ke atas menerima tampah itu.

 

 Tampah yang berpusing di udara itu tiba-tiba berhenti dan mengambang di udara seolah-olah terpegang tangan yang kuat lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke arah pelemparnya. Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan seluruh tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar hawa yang panas sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk melawannya. Tiba-tiba hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee yang sengaja hendak menguji pula, segera merobah sin-kangnya menjadi Yang-kang.

 

 Tampah itu seperti hidup. Sebentar bergerak ke arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sdbentar karena kembali terdorong ke arah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya dan akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju ke arah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang terbelalak. Akhirnya ia berseru keras melompat ke kiri dan menurunkan kedua lengannya. Tampah itu jatuh ke bawah, hancur dan isinya berantakan, akan tetapi seperti tampah yang hancur bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk pecah-pecah dan ada yang gosong seperti terbakar!

 

 "Hebat! Wanita muda, dari mana engkau mempelajari Jit-goat-sin-kang?" Pertanyaan ini mengandung penasaran besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu.

 

 Siauw Bwee yang kini sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki Ilmu Jit-goat-sin-kang seperti yang dimiliki Ouw-pangcu, malah lebih kuat, segera menjura dan menjawab, "Untuk menghadapi Jit-goat-sin-kangmu tadi, aku tidak menggunakan sin-kang yang sama, orang tua!"

 

 "Tidak mungkin! Sin-kang biasa mana mampu menghadapi Jit-goat-sin-kang seperti itu?"

 

 Yu Goan kini sudah muncul dan meloncat dekat Siauw Bwee. Dia tadi menyaksikan adu tenaga sin-kang itu dan kekagumannya terhadap Siauw Bwee meningkat. Dengan sabar ia menjura dan mendahului Siauw Bwee.

 

 "Locianpwe, sesungguhnya kami pernah mempelajari Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu."

 

 "Ahh, tidak mungkin! Selain Ouw-pangcu tidak akan berani lancang menurunkan ilmunya kepada orang luar, juga tidak mungkin kalau hanya murid-muridnya mampu mengalahkan kekuatanku. Dia sendiri masih jauh di bawahku, ataukah.... dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapapun juga, dia melanggar dan harus dihukum!"

 

 Yu Goan terkejut dan cepat membela, "Locianpwe, harap jangan menyalahkan dia karena Ouw-pangcu adalah gi-hu kami. Tiada salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak angkatnya sendiri."

 

 Wajah yang penasaran dan marah itu berubah. "Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat kalian? Betapa anehnya! Akan tetapi.... tenaga sin-kang Nona muda ini amat luar biasa, betapa mungkin...."

 

 "Harap Locianpwe tidak menjadi heran karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian gi-hu sendiri. Dan kalau benar Locianpwe adalah suheng dari gi-hu, harap kauketahui bahwa kami berdua sedang berusaha menyelamatkan gi-hu yang terancam bahaya besar di lembah di bawah sana."

 

 "Apa? Apa yang terjadi? Orang muda, duduklah. Dan kau juga, Nona yang amat lihai. Duduklah dan ceritakan semua. Apa yang telah terjadi di atas tebing, dan di bawah lembah sana?"

 

 Yu Goan dan Siauw Bwee duduk di atas dipan bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu Yu Goan menceritakan semua pengalaman mereka sejak bertemu dengan Ouw-pangcu, mengobati luka ketua itu, dan tentang pemberontakan di atas tebing yang dipimpin oleh Ang-siucai. Setelah mendengar penuturan itu sampai habis, kakek tadi menarik napas panjang.

 

 "Hemm, memang banyak resikonya menjadi ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang diri tanpa dibebani peraturan. Sute telah lancang menerima seorang asing seperti sastrawan she Ang itu, maka dia memetik buah dari tanamannya sendiri. Akan tetapi siapakah engkau orang muda yang pandai ilmu pengobatan? Aku sendiri senang dengan ilmu itu, maka kepandaianmu menarik hatiku, dan siapa pula Nona yang amat lihai ini? Sukakah kalian memperkenalkan diri setelah mengetahui bahwa aku adalah suheng dari gi-humu?"

 

 Yu Goan tidak berani lancang, maka dia menoleh dan mernandang Siauw Bwee. Bagi dia sendiri, dia tidak akan ragu memperkenalkan diri kepada siapapun juga. Akan tetapi Siauw Bwee adalah penghuni Istana Pulau Es, dan biarpun dara itu tidak pernah memperingatkannya, dia tahu bahwa gadis itu tentu akan merahasiakan Pulau Es dan keadaan dirinya. Akan tetapi Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk, maka Yu Goan lalu berkata,

 

 "Karena Locianpwe adalah suheng dari gi-hu, maka sepatutnya kalau kami menyebut supek kepadamu. Harap Supek ketahui bahwa sahabatku ini bernama Khu Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak angkat gi-hu dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini adalah.... seorang di antara penghuni-penghuni Istana Pulau Es."

 

 Seperti telah diduganya, kakek itu mencelat dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjura,

 

 "Aihhh.... mataku seperti buta tidak mengetahui orang pandai. Maaf....!"

 

 Siauw Bwee cepat berdiri membalas penghormatan itu dan berkata sederhana,

 

 "Supek, mengapa begini sungkan? Yu-twako hanya pandai memuji setinggi langit padahal aku hanyalah seorang muda yang masih perlu menerima bimbingan orang pandai seperti Supek. Dalam melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang saja, dibandingkan dengan tingkat Supek, aku belum ada persepuluhnya!"

 

 "Aihhh! Sudah lihai masih pandai merendah pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu, tanpa Jit-goat-sin-kang sekalipun sin-kangmu sudah amat luar biasa dan aku tidak menjadi heran mengingat bahwa engkau adalah penghuni Istana Pulau Es, murid langsung dari Bu Kek Siansu. Hebat.... hebat....! Dan engkau sendiri, orang muda, siapakah engkau?"

 

 "Aku bernama Yu Goan, ilmu silatku yang kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Khu-siauwmoi kudapatkan dari ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki, sedangkan sedikit ilmu pengobatan kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin Song Hai."

 

 Kembali kakek itu mengangguk-angguk kagum. "Aku pernah mendengar nama besar ayahmu itu, bukankah dia putera Ketua Khong-sim Kai-pang? Dan Yok-san-jin....! Hemmm, siapa yang belum mendengar namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan mendengar bahwa kalian adalah anak-anak angkat suteku. Aihhhh, bukan main beruntungnya Ouw-sute!"

 

 "Akan tetapi sekarang gi-hu terancam bahaya, Supek," kata Siauw Bwee.

 

 Kakek itu mengerutkan alisnya. "Aku heran sekali. Biasanya suheng kami, yaitu ketua lembah, adalah orang yang amat sabar. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Suhu Bu-tek Lo-jin datang ke tempat ini, dia mengangkat tiga orang murid. Pertama adalah Lie Soan Hu yang kini menjadi ketua orang lembah setelah dia terkena pula penyakit kusta yang mengerikan itu. Murid ke dua adalah aku sendiri. Namaku adalah Coa Leng Bu, dan berbeda dengan suheng dan sute, aku lebih senang hidup bersunyi diri di tempat ini, mengumpulkan obat-obat untuk kuberikan kepada anak buah suheng di lembah dan anak buah sute di atas tebing. Murid ke tiga adalah Ouw-sute sendiri. Setelah Lie-suheng menderita penyakit kusta, dia menjadi penyabar sekali, bahkan tidak pernah keluar dari lembah. Sungguhpun amat mengherankan kalau sekarang dia menyuruh pembantu-pembantunya menangkap Ouw-sute. Apalagi semua itu dilakukan tanpa memberi tahu kepadaku. Hemm, benar-benar peristiwa itu mencurigakan sekali dan agaknya perlu kuselidiki sendiri. Kalian jangan khawatir. Biarlah aku menyertai kalian turun ke lembah dan dari tempat ini memang ada jalan rahasia ke lembah yang lebih mudah dilalui. Tentu saja dengan kepandaian yang kalian miliki, tanpa melalui jalan rahasia itu pun kalian akan dapat mencapai lembah, akan tetapi selain hal itu akan makan waktu lama dan perjalanan yang sukar sekali, juga berarti kalian akan menjadi seorang yang melanggar larangan. Mari kita pergi sekarang sebelum terlambat, karena aku menduga bahwa seperti halnya di atas tebing, di lembah sana terjadi sesuatu yang tidak wajar. Sudah terlalu lama aku tidak pernah datang ke lembah atau ke tebing, obat-obat itu hanya diambil saja oleh anak buah yang disuruh Sute atau Suheng."

 

 Girang sekali hati kedua orang muda itu. Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi meninggalkan pondok dan menuruni tebing melalui jalan turun yang bukan merupakan jalan, melainkan rangkaian akar-akar dan batu-batu yang sengaja dibuat untuk jalan naik turun. Karena "jalan" ini tertutup oleh tetumbuhan, maka kalau tidak bersama kakek itu, tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin akan dapat menemukannya. Jalan ini bukanlah jalan mudah bagi orang biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga merupakan jalan yang amat mudah, bergantung sana-sini melompati sana-sini dan mereka dapat turun dengan cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena perjalanan kali ini jauh lebih mudah dan cepat daripada yang mereka lakukan kemarin. Tak lama kemudian mereka sudah mencapai lembah.

 

 Akan tetapi, begitu ketiganya melompat turun, mereka diserbu oleh belasan orang penderita kusta dan orang-orang penghuni tebing yang tadinya memberontak, juga tampak beberapa orang berpakaian Han yang ikut menyerbu.

 

 "Merekalah yang memberontak di atas tebing!" seru Yu Goan.

 

 Coa Leng Bu menjadi marah sekali. Ia melompat maju dan membentak, "Mundur semua! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?"

 

 Akan tetapi orang-orang itu tidak menjawab dan terus menyerangnya! "Keparat! Setan busuk, mana Suheng? Suruh dia keluar sebelum aku membunuh kalian semua, keparat!"

 

 Akan tetapi orang-orang itu telah menyerbunya dan Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki tangannya merobohkan dua orang penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur bahkan kini menerjang dengan senjata-senjata mereka.

 

 "Twako, kita berpencar, mencari Gi-hu!" Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang yang menjijikkan itu. Karena tidak tahan harus bertanding melawan orang-orang yang begitu mengerikan, setelah mengelak ke sana-sini, Siauw Bwee melesat jauh dan mulai mencari gi-hunya yang tertawan. Yu Goan mencabut pedangnya dan mengamuk bersama Coa Leng Bu. Betapapun juga, melihat bahwa tukang obat itu tidak mau menurunkan tangan membunuh orang-orang yang masih murid keponakannya sendiri, Yu Goan juga menggerakkan pedang secara hati-hati agar tidak sampai membunuh orang. Namun, tingkat kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun seperti Siauw Bwee, merasa jijik disamping rasa kasihan, maka kini melihat Siauw Bwee telah pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan keluar dari kepungan lalu melarikan diri ke depan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih dikeroyok murid-murid keponakannya sendiri.

 

 Beberapa orang penderita penyakit kusta mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han yang menjadi kawan Ang-siucai. Yu Goan marah sekali terhadap orang ini karena dia tahu bahwa biang keladi semua keributan di tebing maupun di lembah ini tentulah Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah gagal di atas tebing, Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang tebing yang dipengaruhinya melarikan diri ke lembah. Hanya dia merasa heran mengapa sastrawan itu dapat pula menguasai lembah! Karena marahnya, tiba-tiba dia membalik dan pedangnya menyambar ke arah orang Han yang ikut mengejarnya. Orang itu menangkis akan tetapi tiba-tiba ia menjerit keras ketika tangan kiri Yu Goan berhasil menotoknya, kemudian mengempit lehernya.

 

 "Suruh mereka mundur sebelum kupatahkan batang lehermu!" Yu Goan mengancam dan memperkuat jepitan lengannya pada leher orang itu.

 

 Orang itu ternyata takut mati dan cepat membentak orang-orang penderita kusta untuk mundur. Di samping sifat pengecutnya, orang itu pun cerdik sekali. Agaknya semua kawan Ang-siucai cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian Siauw Bwee dan Si Tukang Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu berpencar sehingga lebih mudah dikuasai kawannya.

 

 Setelah semua orang penderita kusta mundur dan mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan mereka terhadap Coa Leng Bu dan sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang melarikan diri, orang itu berkata,

 

 "Ampunkan saya, Taihiap...."

 

 "Hemm, manusia busuk! Karena engkau menuruti permintaanku, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kau harus memberi tahu kepadaku di mana Ouw-pangcu ditahan!"

 

 Diam-diam orang itu menjadi girang. "Ahhh, kalau begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa terlambat. Mereka.... mereka tadi sedang menggiring Ouw-pangcu ke tempat pembakaran mayat, hendak membakarnya!"

 

 "Apa?" Yu Goan terkejut sekali. "Dia.... dia.... sudah mati....?"

 

 "Tidak, Taihiap. Belum, akan tetapi tentu akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak membakarnya hidup-hidup!"

 

 "Keparat! Di mana tempat itu?"

 

 "Mari kutunjukkan padamu."

 

 "Awas kalau kau menjebakku, aku akan menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih rusak daripada orang-orang yang dimakan kusta itu!" Yu Goan mengancam.

 

 "Aku tidak menipumu, Taihiap."

 

 Yu Goan mengikuti tawanan itu sambil memegang lengannya. Mereka menuju ke bagian belakang lembah dan tiba di sebuah pintu di mana tampak anak tangga menurun ke bawah. Orang tawanan itu menuruni anak tangga, terus diikuti oleh Yu Goan dari belakang. Ketika tiba di sebuah tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan di bawah anak tangga, belasan meter di bawah tempat itu berdiri, Ouw-pangcu berdiri bersandar tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang tergantung pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar tubuhnya dan beberapa orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap untuk membakar kayu-kayu kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup!

 

 Cepat tangan Yu Goan bergerak dan tawanan itu berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu Goan tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andaikata orang itu tidak menunjukkan tempat ini, dan andaikata tadi dia tidak berjanji tentu dia dan kawan-kawannya telah mendatangkan kekacauan di tempat yang tenteram seperti di atas tebing dan di lembah ini.

 

 "Lepaskan Ouw-pangcu!" Dengan suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga.

 

 Enam orang penderita kusta itu menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan melihat Yu Goan, dia berteriak, "Yu-sicu.... pergilah tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan memikirkan diriku!"

 

 "Tenanglah, Gi-hu. Aku dan Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah untuk menolongmu dan menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!"

 

 Mendengar bahwa suhengnya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali. Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar di depannya itu terlempar ke kanan kiri. Tiga orang penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang Ouw-pangcu yang masih terbelenggu. Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu terpaksa meloncat mundur dan membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu Goam kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat kilat pedangnya membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng. Terdengar suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang ini tergantung dari kedua tangan kakek itu yang segera meloncat ke depan dan membantu anak angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung dari kedua tangannya, sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadap enam orang yang bersenjata golok.

 

 Biarpun enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sin-kang terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua di antara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat.

 

 "Gi-hu, kita harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!"

 

 "Baik, akan tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang, yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan pemberontakan," kata Ouw-pangcu.

 

 Akan tetapi sebelum mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng. Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya, sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak buahnya sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala mereka!

 

 Namun pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di tempat yang sempit oleh belasan orang dan betapapun mereka mengamuk, dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang di paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan mengeluarkan darah.

 

 "Gi-hu, kita keluar!" Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan yang mengenai pusar.

 

 "Tidak sudi lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!" Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat.

 

 "Bukan melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!"

 

 "Hemm, baiklah!" Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!

 

 Sementara itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana bertemu dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa di antara mereka ada yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian.

 

 Akhirnya Siauw Bwee yang selalu dapat menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan ditawan di mana. Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan perlawanan anak buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.

 

 Akan tetapi, ketika ia tiba di depan pondok, dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan!

 

 Karena rasa jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantu-pembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada anggauta biasa.

 

 "Lihiap, tahan mereka!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di tempat itu. Dia pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang di antara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek itu.

 

 "Kalian manusia-manusia gila!" Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot. Orang yang memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak dapat bertahan maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.

 

 Siauw Bwee merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga di sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh. Ketua orang lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk suling dengan tempat tembakau di ujungnya. Kiranya kakek ketua lembah yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak muntah. Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah jarinya! Di dekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di atas tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.

 

 "Tarr....!" Cambuk di tangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan.

 

 "Keparat she Ang, mampuslah!" Coa Leng Bu membentak.

 

 "Sute, jangan kurang ajar!" Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih ke arah muka Coa Leng Bu. Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya memuakkan itu.

 

 "Setan tua, kau melindungi pengacau?" Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi ketua lembah yang amat lihai itu.

 

 "Lihiap, jangan!" Coa Leng Bu berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya. "Dia.... Suheng.... telah terbujuk penjahat...." Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih rebah di atas dipan. "Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang membujukmu untuk mengisap racun itu!"

 

 "Coa Leng Bu, pergilah sebelum kubunuh engkau!" Kakek itu berseru. "Jangan kurang ajar terhadap tamu dan sahabat baikku. Hayo pergi!"

 

 "Supek, kuhadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...." bisik Siauw Bwee.

 

 "Coa Leng Bu, tidak pergi juga engkau?" Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut.

 

 "Teecu tidak berani membantah....!"

 

 Tiba-tiba Ang-siucai yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke depan.

 

 "Trangggg!" Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.

 

 "Tolong, Lie-pangcu.... perempuan siluman itu lihai sekali!" Ang-siucai berseru minta bantuan ketua lembah. Akan tetapi Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar dari pondok itu.

 

 "Supek, mengapa kau selemah itu melihat bendera itu?"

 

 "Bendera itu adalah peninggalan Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti Suhu sendiri. Bagaimana aku berani melawan?"

 

 "Hemm, kalau Twa-supek sudah terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita lekas menolong Gi-hu dan keluar dari neraka ini."

 

 "Usulmu baik sekali, Lihiap." Biarpun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu jelas membayangkan kedukaan hebat. Ketika mereka tiba di luar pondok, kembali mereka dikepung oleh para penderita kusta dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan diri untuk mencari Ouw-pangcu.

 

 "Tentu dia ditahan dalam ruangan tahanan atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!" Coa Leng Bu berkata sambil melawan para pengeroyok yang selalu menghadang, mereka mencari-cari di seluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok mereka robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena selain tidak dapat menemukan gi-hunya, juga tidak kelihatan bayangan Yu Goan!

 

 "Sute benar-benar kurang ajar. Aaahh, tidak kusangka dua orang suteku semua menentangku!" Ketua lembah yang sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang mabok.

 

 "Pangcu, orang-orang yang memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu berjanji untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah sekarang aku melihatnya?" Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar yang daun pintunya tertutup.

 

 "Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh orang lain masuk ke kamar itu kecuali aku!" Ketua lembah sudah bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti oleh Ang-siucai yang sudah memegang goloknya lagi.

 

 "Selain kitab-kitab kuno simpananku yang tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan sebuah kitab yang amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab itu adalah peninggalan Suhu kepada kami...."

 

 "Kitab pelajaran Jit-goat-sin-kang?" tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah.

 

 "Jit-goat-sin-kang termasuk ilmu yang berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain yang tidak dapat diturunkan kepada siapapun juga. Engkau amat baik kepadaku, Sicu. Maka aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi tidak boleh dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku maklum bahwa engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk...."

 

 Ketika memasuki kamar, ketua lembah itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali. Diam-diam Ang-siucai menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan sebentar lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat menahan dan jatuh tertidur nyenyak!

 

 "Yang manakah kitab peninggalan Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?"

 

 Kakek itu kini sudah lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat menuding ke arah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning, terletak di atas meja di sudut kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai terus tidur mendengkur!

 

 Ang-siucai girang sekali. Cepat ia menghampiri meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain kuning, membukanya dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus melangkahi tubuh Lie-pangcu yang tidur mendengkur di atas lantai, dia berhenti dan melirik dengan sinar mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai daripada Ouw-pangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat lenyapnya kitab dan mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang amat berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja? Setelah berpikir demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya erat-erat lalu mengayun goloknya itu ke arah leher kakek yang tidur pulas. Saking gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan Hu, ketua lembah.

 

 "Crookk!" Pundak itu putus berikut lengan kanan Si Kakek yang pulas. Akan tetapi, mata Ang-siucai terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka di pundak itu tidak mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur mendengkur! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu mempermainkannya, maka segera ia meloncat keluar kamar dan memasuki pintu rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia lari dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang masih mengamuk di luar.

 

 Pada saat itu, keadaan Yu Goan dan Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu bahwa dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat melarikan diri lagi. Biarpun banyak pula pengeroyok yang mereka robohkan, namun karena jumlah mereka amat banyak, kedua orang yang sudah luka-luka ini mulai kehabisan tenaga.

 

 "Jangan bunuh mereka, tangkap hidup-hidup!" Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba di tempat itu. Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu nengamuk dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat mengharapkan bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi. Pula, benda yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai berbulan-bulan di tebing dan lembah, kini telah tersimpan di balik jubahnya. Tugasnya telah selesai, kini tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat Ouw-pangcu dan Yu Goan terkepung rapat, dia melihat jalan keluar itu, maka segera ia berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.

 

 Betapapun juga, seruan ini menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok menubruk dengan nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang datang bersamanya. Dia datang ke daerah itu dan diam-diam kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya, akan tetapi sekarang teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja. Selebihnya sudah tewas, sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.

 

 Dengan cepat Ang-siucai mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng, kemudian mereka berenam meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui terowongan yang menembus di puncak tebing di daerah orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu.

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan dan dibawa lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring,

 

 "Tahan semua senjata! Hentikan semua pertempuran!"

 

 Mereka semua menoleh dan seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri kakek Lie Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan kiri mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak kehilangan suaranya seperti para penderita lain, berkata,

 

 "Ang Hok Ci manusia jahat.... kitab peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan....! Sute.... lekas kejar....!" Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biarpun luka di pundaknya tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.

 

 Pucat wajah Si Tukang Obat mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak,

 

 "Hai, kalian orang-orang yang telah berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia she Ang itu! Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana adanya bangsat itu?"

 

 Beberapa orang penderita kusta menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak dimengerti oleh Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang Obat menjadi terkejut, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat.

 

 "Lekas kejar, Lihiap."

 

 "Apa sih artinya keterangan mereka?"

 

 "Si keparat itu telah merampas kitab peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan diri melalui terowongan yang menembus ke atas tebing."

 

 "Celaka! Mari kita kejar!" Siauw Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak tebing tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.

 

 ***

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terus melakukan pengejaran. Biarpun mereka berdua sudah tertinggal jauh, namun mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang melarikan diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju ke kota Sian-yang. Ketika mereka tiba di luar tembok kota Sian-yang, mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi sebuah kuburan baru!

 

 "Yu-twako....!"

 

 Yu Goan melompat bangun dan memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang. Akan tetapi segera wajahnya men jadi muram ketika ia berkata, "Bwee-moi, Gi-hu telah meninggal dunia dan inilah kuburannya," ia menunjuk ke arah kuburan baru.

 

 "Keparat! Mereka membunuhnya?" Siauw Bwee berteriak marah.

 

 Yu Goan menggeleng kepala. "Tidak, Bwee-moi, Gi-hu tewas karena luka-lukanya, terutama sekali karena penyakitnya yang lama kambuh kembali."

 

 "Di mana penjahat itu? Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?"

 

 "Bwee-moi, Supek, mereka itu ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan rahasia dari pemerintah. Mereka membebaskan aku di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu, dan mereka tadinya menawan kami berdua hanya untuk dapat mempergunakan kami sebagai perisai ketika mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah dan aku sendiri telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang Hok Ci itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya ke lembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin."

 

 "Siapa pun dia, jelas dia adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!" kata Coa Leng Bu.

 

 "Yu-twako, di mana mereka?"

 

 "Mereka memasuki kota Sian-yang untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota itu. Aku ditinggalkan di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu. Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka itu adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?"

 

 "Yu-twako! Aku tidak peduli mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga maupun raja neraka! Yang jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah menimbulkan malapetaka di atas tebing dan di lembah, dan mereka telah menyebabkan kematian Gi-hu, bahkan telah mencuri kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku untuk memusuhi mereka, tidak peduli mereka itu orang macam apa! Bagaimana dengan pendapatmu, Twako?"

 

 Yu Goan mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. "Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku telah memesan dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak melakukan perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi kepentingan tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang mereka yang ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan memberi surat perkenalan kepada komandan pasukan di Sian-yang? Bwee-moi, harap engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya petugas-petugas belaka, dan kalau kita memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi pemerintah. Mungkinkan kita memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi bangsa sendiri?"

 

 Siauw Bwee tersenyum pahit. "Twako, banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan bangsa! Jalannya pemerintahan berada di tangan raja dan semua pembantunya, dan justeru pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga orang-orang yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat macam orang she Ang itu bisa saja dianggap pahlawan!"

 

 "Aku akan mengejar ke Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka, dan membunuh orang she Ang. Apakah Ji-wi mau ikut?" Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu, berkata dan meloncat ke depan meninggalkan mereka.

 

 "Aku ikut, Supek! Twako, apakah engkau mau pergi juga?"

 

 Yu Goan menggeleng kepala. "Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku."

 

 "Sayang sekali, Twako. Nah, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Siauw Bwee telah lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke pintu gerbang kota Sian-yang. Yu Goan duduk termenung dan berkali-kali menarik napas panjang. Ia merasa seolah-olah semangatnya terbawa terbang melayang bersama Siauw Bwee. Akan tetapi dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia dapat melihat bahwa memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini, yaitu tentang pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka yang akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal. Seperginya Siauw Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan mengeluarkan sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat perkenalan untuk komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia akan bekerja dan mendapat kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang dianjurkan oleh orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee.

 

 Setelah hari hampir gelap, barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan mendiang Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ke tembok kota Sian-yang yang sudah tampak dari situ.

 

 Kota Sian-yang adalah kota yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan tetapi juga menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang amat kuat. Dalam keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam dari pelbagai jurusan, setiap kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan Sian-yang tidak terkecuali. Bahkan Sian-yang dijadikan kota benteng yang menjadi pusat dari daerah di sekitarnya, menjadi sebuah di antara benteng pertahanan jalan yang menuju ke kota raja.

 

 Penduduk kota Sian-yang yang padat itu setiap hari masih melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar tetap ramai, tontonan-tontonan masih terus mengadakan pertunjukan, restoran-restoran dan penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap di suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa, tenang dan tenteram

 

 Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di kota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang jenderal yang memegang kedudukan penting. Biarpun kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang turut datang ke kota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia.

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia di dalam kota. Mereka menyewa kamar di sebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di restoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang tamu. Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba di kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di antaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan Koksu dan para pembantunya.

 

 Setelah selesai makan dan kembali ke kamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, "Supek, amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam kota sebesar ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu berada di sana, aku akan menyergapnya!"

 

 Coa Leng Bu mengerutkan alisnya. "Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain berkedudukan tinggi, menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan mencelakakan diri saja."

 

 "Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?"

 

 Malam hari ini dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung di punggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala daerah yang menjadi temnpat pertemuan para pembesar pada malam hari itu. Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!

 

 Dengan gerakan ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka. Mereka merayap di atas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba di atas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai ke bawah.

 

 Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah.

 

 Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik, "Di depannya itulah Bu-koksu...." Ah, kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu. Siauw Bwee cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh! Kalau apa yang ia dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung gerakan mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat.

 

 Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan berkata, "Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!"

 

 Siauw Bwee menoleh ke arah pembesar itu memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa. Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!

 

 "Kam-taihiap! Duduklah di sini!" Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.

 

 Akan tetapi pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab, "Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang mengintai kalian!"

 

 Mendengar ini, semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi. "Lari....!" kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka. Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas ruangan itu sambil berseru,

 

 "Suheng....!"

 

 Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya tidak mengenalnya?

 

 Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, "Siapa menyebutku suheng?"

 

 "Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee....!" Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!

 

 "Tangkap pengacau itu!" Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk di sudut ruangan. Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali.

 

 Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang.

 

 Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.

 

 "Crot!"

 

 Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.

 

 Biarpun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah!

 

 Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah suhengnya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!

 

 Pertandingan itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya.

 

 Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki, kajau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik selihai itu. Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa ke dua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam ceritaSamkok ) membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee.

 

 Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apalagi kini melihat pengawal ke dua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal ke dua ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua yang memegang tombak panjang.

 

 "Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!" Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.

 

 Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu yang menuju ke ulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot.

 

 "Hekkk!" Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh.

 

 Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.

 

 "Trangggg!" Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh!

 

 Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring, "Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!" Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.

 

 "Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!" Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.

 

 "Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu," bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya. "Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"

 

 Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.

 

 "Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!" Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.

 

 "Satu lawan satu!" terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya,

 

 "Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!" Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya.

 

 Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.

 

 "Majulah, petani busuk!" Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.

 

 "Taijin, kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!" kata Coa Leng Bu dengan suara tenang.

 

 "Tak perlu mencari muka, sambut tanganku!" Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri ke arah perut.

 

 "Plak-plakk!" Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan.

 

 Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es. Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!

 

 Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara. Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu. Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas dendam itu. Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia, apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!

 

 Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee!

 

 Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua! Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!

 

 Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana? Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin.

 

 Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san, luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa. Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa.

 

 Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, "Di puncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!"

 

 Mendengar ini, Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil. Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan "Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.

 

 "Paman, mohon tanya di mana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"

 

 Kakek petani itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kaumaksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh.... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada? Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana...." Suara orang itu penuh duka dan keharuan. "Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik hati?"

 

 "Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat Beng-kauw?"

 

 Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan. "Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"

 

 Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.

 

 "Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku."

 

 Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita,

 

 "Saya dahulu juga seorang anggauta Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama."

 

 Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali. "Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!" Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.

 

 "Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!"

 

 Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun di sepanjang jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang.

 

 Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal di situ hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.

 

 "Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"

 

 Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat.

 

 Tentu saja Han Ki terkejut bukan main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika!

 

 "Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"

 

 Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka bertanya.

 

 "Maaf...., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"

 

 "Sahabatnya? Dan apa kaubilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?"

 

 Enam orang itu menarik napas lega. "Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?"

 

 Han Ki sudah mendengat nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.

 

 "Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."

 

 "Ahhhhh...., mengapa Taihiap datang terlambat....?" Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.

 

 "Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"

 

 Orang tertua dari mereka berkata, "Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi.... ah.... Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas...."

 

 Seketika pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat, "Ceritakan....!"

 

 Orang tertua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa kedua orang encinya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan batu-batu gunung.

 

 "Di mana mereka terpendam? Lekas tunjukkan kepadaku!"

 

 Enam orang itu lalu menuju ke bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. "Pergilah kalian, jangan ganggu aku!" bentaknya dan enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali, ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka. Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka.

 

 Memang Han Ki seperti menjadi gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar ke dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.

 

 Saking tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di tengah sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!

 

 "Aduh, Kui-cici...., Hui-cici....!" Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu, kemudian ia mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka, kemudian menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang encinya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam keadaan pingsan!

 

 "Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!" Terdengar orang berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka mendengar penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin. Kedatangan mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah merampas Beng-kauw, mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan dengan suhengnya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan ke situ selain disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu.

 

 Untung sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur dua orang encinya. Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggauta Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar.

 

 Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar. Biarpun Han Ki hampir kehabisan tenaga membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu.

 

 "Jangan!" Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu, mencegah. "Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi kita." Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu, bungkusan dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.

 

 "Buka mulutnya, paksa obat ini masuk ke perutnya!" katanya.

 

 Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa.

 

 "Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan terus!"

 

 Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya. Karena masuknya arak ini ke perut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri, akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki perutnya.

 

 "Hebat, dia lihai bukan main!" Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi terlempar jatuh.

 

 "Mengapa tidak dibunuh saja orang yang berbahaya ini?" Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.

 

 "Ah, dia tepat sekali bagi kita," kata Coa Sin Cu. "Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja, aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan, tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah. Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!"

 

 Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar ini berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari!

 

 Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja. Dia sudah mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang pengawal seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak kekurangan akal. Dia, di samping ilmunya yang tinggi, juga sudah lama tinggal di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya, buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala perintah orang yang menguasainya pada pertama kali.

 

 Demikianlah, dengan menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki, selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan pingsan dan hampir mati.

 

 Han Ki adalah seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar tidak pernah melepas

budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biarpun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit dan hampir mati, kenyataannya bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah, dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat setia.

 

 Namun, ada hal yang mengecewakan hati Bu-koksu. Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda!

 

 Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta, kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi. Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia!

 

 Marilah kita kembali ke dalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong!

 

 Seperti telah diduga Siauw Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. Ia terjengkang dan roboh, meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului, selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan sin-kang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh lawannya!

 

 "Kurasa sudah cukup Totiang!" kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?

 

 "Mundurlah, Cinjin, biar aku yang melawannya!"

 

 Bentakan ini keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok. Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.

 

 "Ihhhh....! Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau. Tahulah dia bahwa lawannya itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari bawah ke arah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat!

 

 Menghadapi pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan Jit-goat-sin-kang, karena hanya dengan tenaga sin-kang ini sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali namun setiap gerakan tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar di sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.

 

 Siauw Bwee memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sin-kang yang dikuasai supeknya sekarang. Terasa betapa di ruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supeknya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang supeknya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supeknya masih kalah jauh dan begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat.

 

 Si Sastrawan Ang Hok Ci berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan Jit-goat-sin-kang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa! "Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal ini? Kalau hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?"

 

 Mendengar ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempeiajari Jit-goat-sin-kang. Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya? Salah-salah supeknya akan terbunuh!

 

 Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw, "Petani busuk, menggelindinglah engkau!"

 

 Ternyata setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Biarpun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga sin-kang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang berhati kejam itu.

 

 "Supek, mundur!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru nyaring, tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua orang yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera muhdur sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya. Kakek ini memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur,

 

 "Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?"

 

 Siauw Bwee tersenyum mengejek. "Biarpun belum kaurobohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh? Anggap saja dia mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin memamerkan kepandaianmu!"

 

 Pat-jiu Sin-kauw adalah seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring, "Kalau supekmu saja sudah kalah olehku, apalagi engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?"

 

 Siauw Bwee menoleh ke arah Bu-koksu dan berkata nyaring, "Koksu, begini sajakah jago-jagomu? Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!"

 

 Ejekan ini benar-benar hebat, membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara Bu-koksu, "Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan itu?" Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di sana-sini.

 

 "Bocah setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!"

 

 Dengan gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan sin-kang.

 

 "Plakkk!" Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya.... tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting!

 

 Semua orang berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu.

 

 Semua orang memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ.

 

 Betapa heran hati mereka yang menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dus lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga langkah! Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan ilmu silat maupun tenaga sin-kang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biarpun dara itu hanya menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke belakang.

 

 Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagaimana caranya dara itu menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati!

 

 Akan tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang setelah pendengarannya, menangkap gerakan lawan di belakangnya, akan tetapi dia hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening. Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mujijat dan cepat sekali.

 

 Setelah menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee!

 

 "Aihh, engkau orang tua terlalu sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?" Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.

 

 Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.

 

 "Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!"

 

 Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika mendengar perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru,

 

 "Suheng....!"

 

 Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan Siauw Bwee!

 

 Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah siap untuk menerjangnya.

 

 "Suheng.... jangan melawanku....!" Ia berkata dengan hati bingung.

 

 Han Ki memandangnya dengan sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata,

 

 "Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!"

 

 "Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee....! Suheng....!"

 

 Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya.

 

 "Eh, kau pandai juga!" Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar ke arah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kemball tangkapannya luput!

 

 "Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!" Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, "Dia datang mengacau!"

 

 Han Ki mengerutkan alisnya. "Baik, Loheng!" Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis.

 

 "Plakkk!" Tubuh Siauw Bwee terhuyung ke samping karena betapapun juga, tenaga sin-kangnya masih belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat berbahaya. Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan Han Ki dari dapat melarikan suhengnya itu dari situ!

 

 "Eh, kau lihai!" Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.

 

 "Plakk!" Sebelum tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki ke dua dari dara itu telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.

 

 "Aihhh.... bagaimana kau bisa sehebat ini?" Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Siauw Bwee tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang berlatih, melalnkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!

 

 "Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!" Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes turun.

 

 "Wuuutttt!"

 

 "Alhhh.... plakkk!" Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya, yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!

 

 Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apalagi dia!

 

 Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Suhengnya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan menawan suhengnya, untuk melarikannya. Akan tetapi ternyata olehnya bahwa biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya! Dia hanya mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas, bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak memiliki dasar watak yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suhengnya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya!

 

 Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi perajurit-perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan.

 

 "Hemm, berapa jumlah mereka?" Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.

 

 "Menurut hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!"

 

 "Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar sendiri!" Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. "Kam-siauwte, hentikan pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal, tangkap dua orang itu!"

 

 Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!

 

 Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.

 

 Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapapun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.

 

 Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat.

 

 "Krakkk! Cusss!" Tangan kirinya dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga leher orang ke dua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil menendang dengan kedua kakinya.

 

 "Dess! Bukkk!" Tubuh Si Dampit terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti itu. Dengan kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.

 

 "Krekkk!"

 

 seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai masuk ke dalam leher dan orang ke dua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik! Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan. Manusia yang belum sadar dan pandang mata batinnya diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapapun juga kecuali terhadap tubuh sendiri, selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang laln untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!

 

 Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!

 

 Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun di dasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!

 

 Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia. Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan.

 

 Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.

 

 Karena maklum bahwa keselamatan supeknya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ, kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela! Gegerlah para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supeknya telah lenyap. Ketika semua orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang lebih menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger. Di sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka kewalahan dan terdesak. Mereka mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang di seluruh pelosok kota. Di sana-sini bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau. Penduduk menjadi panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi ke lain tempat. Akan tetapi para pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa pemberontak yang dikejar-kejar.

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap di antara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik tidak karuan itu sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak mereka. Siauw Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan orang mata-mata Mancu yang menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak.

 

 Dengan marah, Bu-koksu sendiri turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan, menjaga tempat-tempat penting. Ke mana pun dia bergerak, Han Ki selalu mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki, menunggang kuda dan berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang melakukan pembersihan. Namun, karena malam tiba dan para mata-mata itu melakukan taktik bersembunyi di antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan. Memang benar bahwa para serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan biarpun para penjaga telah melakukan penggeledahan di seluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena para mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi ke dalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan pura-pura menjadi anggauta keluarga penghuni rumah itu.

 

 Malam itu merupakan malam yang paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari ke sana ke mari dan tingkah-polah para anggauta tentara yang mencari mata-mata ini menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk memukuli rakyat yang dacurigai menyembunyikan para mata-mata musuh. Semalam suntuk terjadi kebakaran di sana-sini dan para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu saja setelah melakukan pembakaran, berada di tempat yang jauh dari kebakaran di mana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat. Semalam suntuk, tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam kota, amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu gerbang.

 

 Paginya, pagi-pagi sekali penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu dan di luar rumah, di jalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggauta tentara yang berlarian menuju ke benteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu ke kota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang.

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyelinap di antara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang tinggi di dekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini mereka mengintai ke atas benteng dan keluar benteng. Kiranya dari jauh tampak barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota Sian-yang! Setiap pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang gagah. Paling depan tampak beberapa orang perajurit berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang pangllma Mancu yang juga menunggang kuda. Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat bahwa di antara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima wanlta. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh. Dia menduga-duga dengan penuh keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati benteng, menuju ke atas pintu gerbang di mana berdiri Koksu dan para panglimanya. Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam melambal-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah pasukan itu menyilaukan mata.

 

 Dari tempat sembunyinya yang jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya yang bergerak maju pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan berkuda dan bergolok panjang dikempit dengan lengan kanan.

 

 Melihat ini, Koksu lalu memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya. Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada perwira-perwira pembantunya ke bawah. Pasukannya disiapkan, juga berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan di luar benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang turun dari atas benteng!

 

 "Wah, hebat juga gin-kangnya....!" Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang turun dan tubuhnya tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng! Seorang pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal kuda ke depan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jerih pihak musuh.

 

 Panglima Mancu yang bertubuh tinggi besar itu mengeprak kudanya maju, menyeret golok panjangnya menyambut majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan, terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang, trang-tring-trang-tring diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.

 

 Pertandingan itu berlangsung seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang. Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan mati-matian itu berjalan makin seru. Sungguh tidak beruntung bagi panglima muka kuning, ketika lawannya menghantam sekuat tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak. Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang.

 

 Sorak-sorai pasukan Mancu yang menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung di bawah pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja pasukan Mancu tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian.

 

 Terjadilah perang yang dahsyat antara dua ribu orang perajurlt itu, perang campuh di atas kuda yang menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul tinggi!

 

 Pasukan Mancu itu adalah pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya maka mereka bertanding dengan semangat tinggi, kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehllangan dua ratus orang lebih itu mundur melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan musuh.

 

 Koksu yang marah sekali melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng menghujankan anak panah ke arah musuh, kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang perajurit menyerbu keluar.

 

 Pasukan pengejar yang dihujani anak panah itu menghentikan pengejaran, kemudian merekalah yang mengundurkan diri karena ada aba-aba dari belakang agar mereka mundur. Panglima Wanita Maya melihat keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua ribu orang lalu memerintahkan Kwa-huciang, pembantu utamanya, menyambut serbuan musuh itu dengan membawa tiga ribu orang perajurit.

 

 Kini terjadilah perang yang lebih hebat lagi, sebagian berkuda, sebagian pasukan berjalan kaki dan makin banyaklah kini darah berhamburan, nyawa melayang dan debu mengebul makin tinggi.

 

 Panglima Maya mempergunakan sisa pasukannya untuk menyerbu ke benteng dan di pihak Sung mengadakan perlawanan, menghujankan anak panah dari atas tembok yang dibawa oleh pihak penyerbu. Karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat menyerbu masuk dan Koksu yang dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah, melarikan diri dari belakang merobohkan pihak penyerbu yang mengurung kota itu dari belakang pula. Berkat kelihaian Han Ki, akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah Sian-yang, dapat melarikan diri menunggang kuda dan terus lari ke selatan, menuju ke kota Ta-tung di mana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi sebagai benteng pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan kota Sian-yang, sebagian pula ada yang berhasil menyelamatkan diri ke selatan, akan tetapi lebih banyak yang roboh dan tewas menjadi korban amukan tentara Mancu yang bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyerbuan kota itu menjadi mudah berhasil berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak buah Panglima Maya.

 

 Dalam keributan ketika pasukan Mancu menyerbu, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang tadinya bersembunyi di atas pohon itu cepat meloncat turun dan terpaksa melarikan diri memasuki kota dan bersembunyi di dalam sebuah kuil tua di mana ternyata sudah terdapat banyak orang bersembunyi pula.

 

 Sudah menjadi lajimnya manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka hebat di mana perikemanusiaan sudah diinjak-injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap. Di dalam perang biasanya yang menang seperti harimau haus darah, ingin membunuh sebanyak mungkin, ingin menyiksa sepuas hatinya karena selalu teringat olehnya bahwa kalau dia kalah, maka dialah yang akan tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya siapa yang lebih dulu membunuh, dia wenang! Kemudian akibat kemenangan ini membuat mereka yang haus darah menjadi kejam sekali, perampokan terjadi di mana-mana, pembunuhan, penyiksaan dan perkosaan!

 

 Dengan dalih "pembersihan", bala tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh siapa saja yang dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita muda diganggunya, diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis membubung tinggi di angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun, dalam perang, siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak berada di tangan yang menang. Andaikata keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang menjadi penyerbu dan pemenang, keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah menjadi sifat manusia pada umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun dan mohon perlindungan Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam kebencian yang hebat. Kalau sedang menang dan jaya lupa akan perikemanusiaan, berbuat sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan.

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mencari jalan keluar dari kota itu, namun sia-sia. Pihak Mancu, atas perintah Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, lalu mengatur penjagaan ketat, menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus. Kemudian Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu, menjatuhkan perintah kepada semua perajurit, melarang mereka melanjutkan perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya ditangkap dan akan diperiksa. Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman berat.

 

 Maya memang cerdik. Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang melihat hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa, maka pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan larangan, hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi, juga tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut. Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.

 

 Pengumuman ini membuat rakyat yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali. Penghuni kota diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh pemerintah baru. Betapapun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih terjadi di sana-sini sungguhpun perajurit-perajurit itu tidak lagi berani membunuh orang. Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.

 

 Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang perajurit Mancu yang galak-galak. Para pengungsi di dalam kuil terdiri dari dua puluh orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh masuknya belasan orang perajurit itu. Waktu itu, pengumuman dari Panglima Mancu belum ada, maka para perajurit itu segera menyerbu, menendangi orang dan merampas buntalan-buntalan. Beberapa orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi ke situ, ditendang roboh dan dirampas buntalan mereka. Buntalan dibuka dan isinya dibuang ke sana-sini, hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada di antara para pengungsi itu hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh. Seorang wanita tua lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para perajurit yang merampas buntalannya. Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki.

 

 Siauw Bwee menjadi merah mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu yang berbisik, "Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan kita...."

 

 Kemudian Coa Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat penyembelihan manusia dan menjadi tempat perbuatan sewenang-wenang itu. Akan tetapi mereka melihat Siauw Bwee dan segera terdengar seruan-seruan girang.

 

 "Aduhhhh! Ada yang sejelita ini sembunyi di sini! Wah, untung besar kita.... ha-ha-ha!"

 

 Seorang perwira Mancu yang agaknya menjadi kepala pasukan kecil ini sudah meloncat menubruk, matanya bernyala penuh gairah nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu maklum bahwa kalau perwira itu sampai mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu takkan membiarkannya dan menerjang ke depan, menyambut perwira itu dengan tendangan yang membuatnya terjengkang!

 

 Melihat betapa supeknya jelas dengan sengaja tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee menjadi sadar. Dia maklum bahwa kota yang sudah diduduki bala tentara Mancu itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Mereka tidak dapat lolos keluar dan kalau sampai mereka membunuh tentara lalu dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya bagi mereka. Maka sambil menahan kemacahan, ia pun lalu berkelebat merobohkan para perajurit Mancu yang kini datang mengeroyok mereka berdua. Dalam waktu singkat saja dia dan supeknya telah berhasil meloloskan diri dari mereka dan cepat melarikan diri, menyelinap di antara banyak orang dan mencari tempat persembunyian baru.

 

 Tiba-tiba terdengar jerit wanita dan Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ke tempat itu, di balik sebuah jalan tikungan di mana tampak orang-orang melarikan diri dan perajurit-perajurit Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok. Ketika Siauw Bwee dan supeknya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang serdadu yang tertawa-tawa dan dari dalam kereta itu terdengar jerit wanita-wanita tadi, dara sakti ini tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tanpa mempedulikan pencegahan supeknya, dia telah menerjang maju, membuat empat orang perajurit terpelanting ke kanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi kereta. Kiranya ada empat orang perajurit di dalam kereta, sedang tertawa-tawa dan hendak memperkosa dua orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan seorang pula adalah ibu dara itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan berpakaian seperti seorang wanita bangsawan.

 

 Siauw Bwee mereggerakkan tangan empat kali dan tubuh empat orang perajurit itu terlempar keluar dari kereta dengan kepala pecah! Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Akan tetapi, Siauw Bwee telah menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat keluar dari dalam kereta sambil berseru,

 

 "Supek, kita harus selamatkan mareka!"

 

 "Celaka...., hayo cepat lari!" Coa Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan Siauw Bwee karena menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu tak mungkin tinggal diam.

 

 Wanita bangsawan itu berkata, "Nona penolong, bawa kami pergi ke ujung selatan kota di sana ada tinggal seorang adikku, membuka toko obat."

 

 "Supek, mari kita ke sana!" kata Siauw Bwee dan dengan cepat mereka itu lenyap menyelinap di antara banyak pengungsi dan akhirnya mereka berhasil tiba di toko obat dan cepat-cepat mereka disembunyikan di ruangan belakang. Kiranya nyonya itu adalah isteri seorang pembesar di kota itu. Rumahnya sudah habis dirampok dan suaminya mati terbunuh, bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu dan anak gadisnya yang berhasil melarikan diri melalui pintu belakang, ditolong oleh kusir mereka yang setia. Akan tetapi sial bagi mereka, di tengah jalan mereka dihentikan oleh pasukan tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja mereka menjadi korban kebuasan perajurit-perajurit Mancu kalau saja tidak tertolong oleh Siauw Bwee.

 

 Nyonya bangsawan itu bersama puterinya berlutut menghaturkan terima kaaih kepada Siauw Bwee, akan tetapi dara perkasa ini membangunkan mereka sambli berkata, "Dalam keadaan seperti ini, tidak ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta yang senasib saling melindungi. Sekarang pun aku dan supekku minta perlindungan kalian, agar kami diperbolehkan bersembunyi di rumah ini sampai malam. Menjelang tengah malam, kami akan berusaha menyelundup keluar kota."

 

 "Lihiap telah menolong keluarga kami, tentu saja Lihiap boleh sembunyi di sini," kata adik nyonya bangsawan pemilik toko obat itu. Coa Leng Bu dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar di ruangan paling belakang dan setelah mengisi perut dengan hidangan yang hangat, mereka berdua mengaso dan bercakap-cakap.

 

 "Kita baru dapat keluar kalau keadaan sudah gelap sekali. Kita harus dapat melewati tembok kota dan sebaiknya kalau aku yang lebih dulu mencari jalan keluar. Tembok kota raja luar terkurung air dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan menimbulkan banyak perhatian apalagi para serdadu itu seperti serigala kelaparan kalau melihat wanita muda. Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar sebagai seorang pengungsi yang mencari keluarganya yang tercerai dalam keributan dan akan kucari bagian yang paling lemah untuk diterobos. Kau menanti di sini dan beristirahatiah."

 

 Siauw Bwee tak dapat membantah. Biarpun dia jauh lebih lihai daripada supeknya, akan tetapi dia adalah seorang wanita muda yang tentu akan menimbulkan banyak kesukaran dalam usaha itu.

 

 "Baiklah, Coa-supek. Akan tetapi harap Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak orang pandai sehingga Koksu sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat dikalahkan dan kota ini diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk mengejar Kam-suheng."

 

 Mendengar ini Coa Leng Bu mengerutkan alisnya dan ia teringat akan pemuda tampan yang lihainya bukan main itu, lalu ia menghela napas. "Telah kuperhatikan ketika mendengar engkau menyebut suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung sekali mataku dapat memandang murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Akan tetapi, menurut penglihatanku berdasarkan pengalaman, suhengmu itu berada dalam keadaan yang tidak wajar, Khu-lihiap."

 

 "Itulah yang membingungkan hatiku, Supek. Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap seaneh itu?"

 

 Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Tidak, Lihiap. Kalau aku tidak salah duga suhengmu itu tentu telah diracuni dengan semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga dia lupa akan segala hal yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh Bu-koksu."

 

 "I-hun-san....?" Siauw Bwee memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. "Akan tetapi, suhengku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai terkena racun....?"

 

 Kakek itu menghela hapas. "Boleh jadi dia lihai sekali. Menyakslkan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi cukup untuk melindungi diri daripada serangan yang kasar, namun untuk dapat melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman. Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya, tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota."

 

 Siauw Bwee mengangguk dan supeknya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan atas meloncat ke atas genteng dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat.

 

 Malam itu Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah di atas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang terkurung di dalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam Han Ki, suhengnya. Memikirkan suhengnya yang dicintanya itu, selain gelisah, hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa suhengnya, seperti juga dia, adalah keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa pahlawan, dan andaikata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan tenaga untuk kepentingan mereka. Suhengnya adalah keturunan keluarga Suling Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak, hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negara. Dan sekarang, tenaga suhengnya dipergunakan oleh negara secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andaikata saat itu ia berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.

 

 "Eiiggghhhh....! Toloooongggg....!" Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut yang berteriak itu didekap. Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia meloncat keluar kamar dan lari ke depan. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas di atas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya.

 

 "Iblis....!" Ia membentak dan menerjang maju. Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak, tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental, pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee telah menyambar seperti kilat dan mereka itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!

 

 Dari bawah sinar lampu, Siauw Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu dilarikan serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki sebuah warung kosong di mana ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang di tangan kanan, ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu di atas meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa, seorang serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu ke dua sambil memegang lengan gadis itu, menampari mulut gadis disuruh diam!

 

 "Anjing busuk!" Siauw Bwee memaki, pedangnya berkelebat.

 

 "Singgg....! Crotttt!" Punggung serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh mandi darahnya sendiri. Serdadu ke dua terkejut, mencabut pedangnya, namun kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!

 

 Tiba-tiba dari luar warung itu datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka di dalam rumah obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.

 

 Melihat munculnya dua belas orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw Bwee seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang lain-lain menjadi terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak dan Siauw Bwee terus menerjang maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan mudah ia meloncat keluar. Akan tetapi, di luar warung telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget. Mereka segera mengurung dan memberi aba-aba kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan orang!

 

 Sepak terjang Siauw Bwee menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari jarak jauh dan dengan sikap jerih. Betapapun juga, dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat keluar dari kepungan itu.

 

 "Aku akan mengadu nyawa dengan kalian anjing-anjing Mancu!" bentaknya dan pedangnya bergerak makin cepat, diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari sukar diikuti pandang mata para pengeroyoknya. Namun, ke mana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar, kepungan masih ada ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya.

 

 Tiba-tiba kepungan itu agak kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya, akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat seorang pemuda tampan yang sama sekali tidak dikenalnya. Di bawah sinar penerangan lampu-lampu di depan rumah dan obor-obor yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan Jit-goat-sin-kang yang dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin!

 

 "Nona, harap lekas lari melalui pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!" Pemuda tampan itu kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan dara ini dan menuding ke selatan.

 

 Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata, "Terima kasih!" dan tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia lari melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan Jit-goat-sin-kang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng Bu maupun mendiang Ouw Teng sendiri! Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk di antara awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik sekali!

 

 Kalau saja pemuda itu tidak terbukti telah membantunya keluar dari kepungan tentu Siauw Bwee akan marah dan menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan gin-kangnya dan meloncat jauh ke depan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya. Karena kini empat orang perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos keluar karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh pasukan yang berteriak-teriak.

 

 Ketika tiba di pintu gerbang sebelah selatan, di situ sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supeknya, Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini, Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan pertempuran sehingga para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan saja belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee. Coa Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah serdadu lain. Di sekeliling tempat itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang.

 

 Coa Leng Bu juga girang sekali melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat berkata, "Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku, cepat!"

 

 Siauw Bwee maklum bahwa kalau mereka terus mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu. Apalagi kalau sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira saja yang mengeroyoknya tadi, sudah memiliki kepandaian yang lihai, apalagi kalau para panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para Panglima Sung!

 

 Kini mereka berdua menerobos kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air yang cukup lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu tentu saja terangkat naik sehingga tidak ada jalan keluar lagi meninggalkan tempat itu.

 

 "Bagaimana, Supek?" Siauw Bwee bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.

 

 "Aku sudah siap dengan alat penyeberang di sana. Itu, mari!" Kakek ahli obat ini menuding ke kanan. Siauw Bwee memandang di tempat gelap itu, terkena cahaya penerangan dari atas benteng, dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya supeknya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok untuk menyeberang! Biarpun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supeknya. Kemudian keduanya meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu meluncur ke tengah!

 

 Baru saja balok yang mereka injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan mengacung-acungkan senjata.

 

 "Serang dengan anak panah!" terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang dan tak lama kemudian datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa Leng Bu yang tidak memegang senjata, sudah menanggalkan bajunya dan dengan baju ini, dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah yang menancap di situ.

 

 "Awas perahu-perahu musuh!" Coa Leng Bu berbisik. Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri, setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.

 

 "Supek, cepat dorong balok ke seberang, biar aku yang menahan mereka," kata Siauw Bwee. Dia menyelipkan pedang rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang banyaknya. Coa Leng Bu mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang ke kaki mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang hanya tampak gelap menghitam di malam itu.

 

 "Wir-wir-wirrr....!" Siauw Bwee kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang ke arah perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal.

 

 Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,

 

 "Coa-supek, awas anak panah!"

 

 Dengan pedangnya dia sudah menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapapun juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak kanannya, menancap di bawah tulang pundak dari belakang sampai menembus ke depan! Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Tangan kirinya yang menggenggam lima batang anak panah, dia gerakkan dan lima batang anak panah itu melayang ke arah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.

 

 "Trak-trakk!" Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air.

 

 Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati. Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke arah lehernya!

 

 Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sin-kang!

 

 "Trakkk....! Aiiihhh....!"

 

 Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang amat dingin menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali ke atas perahu! Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu telah tiba di seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi sungai yang dangkal.

 

 Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang di antaru Sepasang Pedang Iblis! Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi, di dalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlumba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.

 

 Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan Siauw Bwee betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sin-kangnya jauh di bawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai daripada dia! Karena suhengnya tidak bersamanya, dan di antara pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apalagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar kota. Baru menghadapi wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di antara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan, adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.

 

 Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat besar. Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biarpun pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus ke selatan semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun dan berhenti ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.

 

 Di sepanjang jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.

 

 Warung itu penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.

 

 "Benarkah keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?" Terdengar orang ke dua bertanya sambil berbisik.

 

 "Tidak salah lagi. Keponakanku adalah seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan musuh," bisik orang pertama.

 

 "Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada di sana!" kata orang ke tiga. "Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dari belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!"

 

 "Hemmm, di antara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke selatan akan roboh pula karena wanita?"

 

 "Stttt, Twako, jangan bicara seperti itu....!" terdengar suara memperingatkan.

 

 Yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya. Pula, sucinya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitpun masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.

 

 Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suhengnya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat mengkhawatirkan dan suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.

 

 "Supek, mari kita melanjutkan perjalanan," katanya lirih kepada Coa Leng Bu. Kakek itu mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung.

 

 Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.

 

 "Selamat datang, Koan-taihiap.... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya."

 

 Orang yang disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata, "Harus kausediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting daripada siapapun juga di sini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak."

 

 Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti di luar warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.

 

 Dapat dibayangkan betapa jaget rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun usianya, rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya masih merah segar seperti orang muda, pakaiannya seperti seorang sastrawan dan tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu. Biarpun sudah bertahun-tahun tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah rombongan itu terdiri dari orang-orang penting dari bangsa Yucen. Dugaannya memang tidak salah karena rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar, bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih kelihatan tangkas dan kuat.

 

 Coa Leng Bu sudah bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu, akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa biarpun disebut pendekar besar, orang she Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti, maka dia bersikap waspada dan memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah.

 

 Pek-mau Seng-jin sendiri sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri di sudut itu tentulah bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang yang sakti dan cerdik. Pada waktu itu, bangsa Yucen mulai berkembang kemajuannya dan melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan mereka berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan yang kelak dapat dipergunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah oleh perang. Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri. Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya sudah tiba.

 

 Kini melihat Siauw Bwee yang sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi, diam-diam dia memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada di pihak musuh, membasminya di saat itu juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang lihai. Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di depannya terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak, lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil kedua butir kain itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir kain itu melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain, kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan hanya memandang sambil tersenyum.

 

 Sambaran dua butir gulungan kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat. Tentu saja Siauw Bwee yang jauh lebih lihai daripada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas meja sambil mengomel, "Ihhh, banyak benar lalat di sini!"

 

 Bagi orang lain, hanya kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang ketakutan, sedangkan di antara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi menyambar ke arah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supeknya adalah orang-orang yang lihai.

 

 Maka menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai lehernya agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini telah terlanjur, maka dia bahkan menjadi mengkal, menoleh ke arah meja rombongan itu dan diam-diam meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya dan.... debu itu melayang ke arah meja rombongan Pek-mau Seng-jin.

 

 Para Panglima Yucen terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan main-main dengan orang! Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biarpun petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana itu bukan ahli silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara mengagumkan!

 

 Orang she Koan yang sebetulnya hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang kini bertugas sebagai penunjuk jalan, tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu mengangguk-angguk dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang!

 

 Koan Tek, demikian nama orang ini, adalah seorang jago silat yang terkenal di daerah itu, maka dihormati oleh pemilik warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap berada di bawahnya, selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini Koksu mengundang kedua orang ini? Akan tetapi, dia tidak berani membantah dan dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat paksaan sambil berkata,

 

 "Ji-wi diundang untuk makan bersama dengan rombongan kami."

 

 Coa Leng Bu yang maklum akan kekerasan hati Siauw Bwee, cepat mendahului murid keponakannva itu dan dia berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek.

 

 "Terima kasih atas undangan Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap maafkan kami." Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu.

 

 Akan tetapi, penolakan yang tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?

 

 "Loheng, mungkin karena Ji-wi belum mengenal saya, tidak suka menerima undangan kami," katanya dengan nada agak keras. "Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini dikenal sebagai Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan, berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi, harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan bersama!"

 

 Biarpun kata-kata itu bersifat undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman. Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu di pantai Po-hai. Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu, kemudian kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin, biarpun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini, ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati isyarat mata supeknya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang Koan Tek dengan mata berapi.

 

 "Engkau ini mengundang ataukah hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa, terus terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar aku tidak usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku!"

 

 "Ehhh.... sudahlah.... sudahlah....!" Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan menjura kepada Koan Tek. "Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja."

 

 Akan tetapi Koan Tek sudah marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak, "Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?"

 

 Siauw Bwee menudingkan telunjuknya. "Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau aku tidak takut! Supek, biarlah, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu akan menghina orang lain saja!"

 

 Koan Tek hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung ke belakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang di antara para pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata,

 

 "Harap Ji-wi sudi memaafkan Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar. Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak berkenalan. Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang berkenalan."

 

 Leng Bu tidak pernah mendengar nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab, "Kami berdua tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apalagi harus bersekutu dengan pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!"

 

 Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang tangan supeknya dan diajak pergi. Akan tetapi baru saja mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan harus, "Tahan!" Dan tampak berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri menghadang mereka sambil tersenyum-senyum. Tadi ketika mendengar ucapan Siauw Bwee yang menyinggung "pihak ke tiga", Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ke tiga, yaitu bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.

 

 "Nona, siapakah engkau? Dan di golongan manakah engkau berdiri?"

 

 Ingin sekali Siauw Bwee memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan supeknya yang telah terluka pundaknya.

 

 "Aku dan Supek adalah orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapapun juga, tidak mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!"

 

 "Ha-ha-ha, benar-benar lantang suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu. Orang-orang di dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat saling menghargai dan berkenalan, oleh karena itu, setelah kebetulan sekali kita saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji kepandaian."

 

 Panaslah hati Siauw Bwee. Betapapun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?

 

 "Hemm, kalian mengandalkan banyak orang untuk menghina?" tanyanya sambil memandang ke arah rombongan itu, tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang arnat cantik jelita, maka biarpun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali.

 

 "Ha-ha-ha! Selain tabah dan pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan menguji kepandaian satu lawan satu!"

 

 "Siapa takut? Majulah!" Siauw Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya.

 

 Pek-mau Seng-jin kembali tertawa. "Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau. Biarlah aku diwakili oleh...."

 

 "Perkenankanlah hamba menghadapinya!" Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang akan tetapi karena nama besar dan kehormatannya tersinggung, dia ingin memberi hajaran kepada gadis ini.

 

 Pek-mau Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini.

 

 "Mundurlah, biar aku yang maju lebih dulu!" Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee. Dia maklum bahwa murid keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini hendak maju biarpun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya. Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak akan berdaya lagi. Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata,

 

 "Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka, mengapa memaksa diri?" Dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biarpun pundaknya terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti memandang rendah.

 

 "Petani tak tahu diri, kausambutlah seranganku!" Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pukulan keras ke arah dada Leng Bu.

 

 Leng Bu tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk mengelakkan tantangan seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apabila Siauw Bwee yang maju, tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain itu, andaikata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biarpun pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati mereka ini.

 

 Jotosan tangan Koan Tek itu merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwa-kang yang memiliki tenaga kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah pukulan ke arah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar ke kanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang. Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu!

 

 Coa Leng Bu yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada Koan Tek yang kasar itu, hanya dengan melangkah ke belakang saja sudah cukup untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur ke depan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari tangan kiri ke arah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan ke arah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan!

 

 Kini Leng Bu tidak mau mundur lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya mendorong dada lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan lengan kanan, namun tenaga dorongan itu biarpun tertangkis, tetap saja membuat tubuhnya terjengkang ke belakang. Koan Tek cukup lihai biarpun tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya menendang ke arah bawah pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya, cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek terlempar ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.

 

 "Hebat....!" kata pemilik tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen. Sementara itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi, berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan ketakutan.

 

 "Sungguh mengagumkan sekali dan sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?" Si Kakek Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum.

 

 Melihat sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura. "Namaku yang rendah adalah Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding dengan siapapun juga."

 

 "Ha-ha, bukan bertanding melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita main-main sebentar!"

 

 Leng Bu yang maklum bahwa lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar, cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat itu terlempar ke sudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega. Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sin-kang kakek ini sehingga orang yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.

 

 "Bagus sekali! Engkau benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah, Coa-enghiong!" Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju, tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya mencengkeram ke arah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Mengeduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam) cukup kuat.

 

 Leng Bu tidak tahu pukulan mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang ke dua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia menggunakan kedua tangannya menangkis ke atas dan ke bawah.

 

 "Plakk! Dukkk!"

 

 Tiat-ciang-siucai terdesak mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya akan tetapi wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri. Jelas bahwa sin-kangnya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang! Terdengar angin menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.

 

 Tiat-ciang-siucai berseru kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas. Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah gerakannya, ditujukan ke bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biarpun dia berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu membuat dia bingung dan terhuyung ke belakang.

 

 "Heiii! Bukankah itu Jit-goat-sin-kang?" Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum.

 

 Mendengar ini, Coa Leng Bu terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sin-kang yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari dorongan telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan ke arah tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan. Leng Bu menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura.

 

 "Harap maafkan kekasaran saya."

 

 Tiat-ciang-siucai meloncat bangun, matanya terbelalak. "Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!"

 

 Menyaksikan sikap ini, agak lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa, dan jujur, berani menerima kekalahan dengan hati tulus.

 

 Pek-mau Seng-jin girang sekali. Biarpun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan bermuka penuh brewok.

 

 "Biarlah aku menguji kepandaianmu, Coa-enghiong!" katanya dengan suaranya yang nyaring besar mengejutkan. Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau Seng-jin yang melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh.

 

 Hal ini dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia berkata, "Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek tentu lelah sekali."

 

 Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti bertanding melawan Siauw Bwee.

 

 "Tidak, aku masih belum kalah," jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, "Sahabat, siapakah nama besarmu?"

 

 Dailuba tertawa bergelak. "Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sin-kang? Harap kau suka mulai."

 

 Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!"

 

 "Lihat serangan!"

 

 Gerakan Dailuba berbeda dengan gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan ke arah dada Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak mengalami pertandingan, tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah, sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya!

 

 Terpaksa Coa Leng Bu menangkis dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang sehingga dua tenaga raksasa bertemu dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba telah datang lagi menampar ke arah kepalanya!

 

 Tahulah dia bahwa lawannya ini telah melatih sin-kangnya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke arah perut lawan.

 

 "Plakkk!"

 

 Lengannya yang tertempel itu terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu ketika merasa betapa sodokannya ke perut yang mengenai sasaran dengan tepat tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri. Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat meloncat ke atas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi Besar membuat dia hampir terpelanting!

 

 Coa Leng Bu menjadi penasaran sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka. Kalau sampai mereka kalah, tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sin-kang. Sebetulnya Im-yang-sin-kang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Jit-goat-sin-kang yang merupakan latihan sin-kang dengan bantuan sinar sakti matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai puncaknya sedangkan Im-yang-sin-kang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia menggunakan sin-kang yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan sin-kang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedargkan pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan.

 

 Ketika lawannya membalas serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sin-kang yang amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sin-kang.

 

 "Bressss!" Tubuh tinggi besar dari Dailuba terlempar ke belakang dan terguling akan tetapi Leng Bu sendiri terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.

 

 "Supek....!" Siauw Bwee menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh.

 

 Dailuba juga bangkit berdiri, tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura. "Hebat sekali engkau, Coa-enghiong. Biarpun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!"

 

 "Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!" kata Pek-mau Seng-jin.

 

 "Tidak," Siauw Bwee menjawab lantang. "Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan. Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak memusuhiku!" Dia lalu memegang tangan supeknya dan berkata, "Marilah, Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!"

 

 "Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona. Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kami, mengapa begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau menghina kami," kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang di depan pintu keluar.

 

 "Kalau engkau menganggap aku menghina, habis kau mau apa?"

 

 "Taijin, bocah ini lancang sekali. Biarlah hamba menundukkannya!" kata Dailuba yang tak dapat menahan kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee.

 

 Dara ini maklum bahwa tanpa memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.

 

 "Kaukira aku takut kepadamu?" bentaknya.

 

 Dailuba tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak mampu mengalahkannya, apalagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?

 

 "Nona, aku harus mengaku bahwa aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supekmu sendiri yang cukup lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?"

 

 "Tidak perlu banyak cerewet. Kalau kau berani, majulah!" Siauw Bwee menantang.

 

 Dailuba menjadi marah. Akan tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata, "Baiklah kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kaujagalah sentuhan ini!"

 

 Sambil berkata demikian, Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya!

 

 Siauw Bwee menjadi makin marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu nona itu sehingga kedua pasang kaki tangannya menjadi lumpuh dan di saat selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar tengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting, totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina di depan Koksu dan para rekannya!

 

 "Keparat! Tak tahu orang mengalah!" bentaknya sambil menubruk maju.

 

 "Siapa minta kau mengalah! Keluarkan semua kepandaianmu!" Siauw Bwee tersenyum mengejek.

 

 Perasaan malu membuat Dailuba lupa diri dan memuncak kemarahannya. Belum pernah selamanya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dilakukan oleh seorang gadis muda di depan Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis begitu saja? Maka begitu ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke arah pusar. Kedua tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai, namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian.

 

 "Mampuslah! Wuushhh.... siuuutt!" Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.

 

 "Haaaiiittt.... yyaaaahhhh!"

 

 Pek-mau Seng-jin sendiri sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya. Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan lincah dan ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Padahal dua pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan sin-kang. Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya mengegos ke sana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang dipandang rendah saja? Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan, tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berbahaya daripada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya daripada semua lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia tujukan ke arah bagian-bagian yang mematikan!

 

 Siauw Bwee bukan tidak tahu akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu merupakan bangsa yang besar dan kuat. Dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh supeknya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi bersama supeknya melanjutkan perjalanan ke selatan, terutama sekali untuk menyusul suhengnya, Kam Han Ki.

 

 Kini melihat betapa lawannya menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri menyelinap di antara pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul makin cepat. Tidak mungkin ada orang hanya main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru sambaran angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh ujung baju gadis itu, apalagi mengenai tubuhnya! Dan makin terheran-heran. Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang dewasa mempermainkan anak kecil?

 

 Kalau tidak ingat bahwa di situ ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan di bawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir dait melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sin-kang Thai-lek-sin-kang!

 

 Melihat pukulan-pukulan yang mengandung hawa sin-kang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda dan sengaja menyambut pukulan kedua tangan lawannya tadi. Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid keponakannya, akan tetapi menghadapi pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu Bauw begitu saja, benar-benar amat berbahaya karena tenaga sin-kang Si Tinggi Besar itu amat kuat. Sebaliknya, Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani menerima pukulannya tanpa menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak seperti tadi, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam dorongan kedua lengannya itu.

 

 Siauw Bwee tidak berniat membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan sin-kang ini, tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya ke depan menyambut datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es, sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan Dailuba.

 

 "Wussshhhh.... desss!"

 

 Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan dan tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan.... tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh menelungkup! Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari atas, akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada di atas kepalanya.

 

 "Terimalah kembali penutup kepalamu!" Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan tetapi.... "wushhhh!" benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas kepalanya.

 

 "Hebat....! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supeknya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kitaa saling mengenal kelihaian masing-masing!" Koksu berkata dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Siauw Bwee.

 

 Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia bersama sucinya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang.

 

 "Pek-mau Seng-jin, biarpun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar."

 

 "Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?" Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya berkerut.

 

 Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau.... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya! Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya,

 

 "Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki kepandaian amat tinggi."

 

 "Aku seorang perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau tidak?"

 

 "Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biarpun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku. Bagaimana?"

 

 "Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kaupaksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku, jangan menyalahkan aku!"

 

 "Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!"

 

 "Majulah!" Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimanapun juga.

 

 Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.

 

 "Sambutlah, Nona!"

 

 Pek-mau Seng-jin mulai dengan serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju ke arah leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan ke arah lima jalan darah di kedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan baju atau totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti serangan!

 

 Namun Siauw Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya melirik ke belakang dan lengan kanannya yang kecil menangkap dengan berani.

 

 "Plakk! Brettt....!"

 

 Pek-mau Seng-jin meloncat ke belakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum kaki buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari samping ia berhasil melubangi ujung dengan baju kakek berambut putih itu!

 

 "Kau.... apakah engkau dara perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?"

 

 Siauw Bwee terkejut dan kagum. Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang telah menyelundup ke dalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.

 

 "Kalau betul demikian, mengapa?" tanyanya dengan tenang.

 

 "Aihh....! Nona yang perkasa! Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!"

 

 "Pek-mau Seng-jin, aku tidak mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi."

 

 "Engkau keras kepala! Apa kaukira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!"

 

 Kini kakek itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khi-kang sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih bersembunyi, seketika roboh pingsan! Namun Siauw Bwee tetap tenang dan melihat kini kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya yang lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sin-kang yang mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.

 

 "Dukkk!" Keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya! Pada saat itu terdengar seruan nyaring.

 

 "Tahan! Di antara sahabat sendiri tidak boleh bertanding!" Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri di tempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata,

 

 "Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu, suhengku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!"

 

 Pek-mau Seng-jin tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi, melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa lihainya. Kiranya masih suhengmu sendiri Coa-sicu ini, dan Nona ini, apakah dia juga murid keponakanmu?"

 

 "Murid keponakan....? Saya tidak mengenalnya, biarpun kami pernah saling berjumpa."

 

 Sementara itu Siauw Bwee terheran-heran melihat pemuda tarnpan yang pernah menalongnya lari dari Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sin-kang itu adalah sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu bernama keluarga Suma! Apa artinya ini? Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas panjang dan berkata,

 

 "Sute, sesungguhnya tidak ada perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam urusan negara, sampai jumpa, Sute." Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka.

 

 Setelah keluar dari dusun itu, Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. "Supek, pemuda itu adalah orang yang menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sutemu?"

 

 "Memang begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu yang menjadi ketua lembah mamimpin orang-orang penderita kusta, ke dua aku sendiri, dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu mengangkat seorang murid baru yang biarpun paling muda, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu Jit-goat-sin-kang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal rombongan Pek-mau Seng-jin tadi, betapapun juga, kedatangannya menghentikan bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?"

 

 "Dia itu bukan lain adalah Koksu Negara Yucen,."

 

 "Aihhhh....!" Wajah Coa Leng Bu berubah pucat. "Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya mengenal balk mereka itu! Apa artinya ini?"

 

 Siauw Bwee menarik napas panjang. "Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sutemu tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya."

 

 Coa Leng Bu mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suhengnya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri."

 

 Siauw Bwee teringat akan sucinya, Maya. Mengapa sucinya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata,

 

 "Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapapun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!"

 

 "Cocok, Khu-lihiap! Demlkian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia."

 

 "Supek, siapakah nama sutemu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen."

 

 "Memang dia she Suma, namanya Hoat."

 

 "Suma Hoat....?" Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama itu.

 

 "Apakah engkau sudah mengenal namanya pula?"

 

 Siauw Bwee mengangguk. "Nama itu tidak asing bagiku.... akan tetapi aku lupa lagi...." Dia benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!

 

 Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah kota kecil. "Kita menanti Sute di sini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen."

 

 Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supeknya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susioknya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat!

 

 Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu, mereka bercakap-cakap.

 

 Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah klta ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid.

 

 Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sin-kang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian. Gurunya menceritakan kepadanya bahwa dia menipunyai tiga orang suheng yang tinggal di tebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng Bu, suhengnya yang ke dua, dan dia enggan menjumpai twa-suhengnya dan sam-suhengnya ketika mendengar dari ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apalagi karena ia mendapat kenyataan bahwa biarpun disebut ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah lebih tinggi daripadanya.

 

 Setelah meninggalkan ji-suhengnya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapapun juga, dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa! Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkasa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacad, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu, dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.

 

 Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu berahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat di kota raja. Akan tetapi, biarpun dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk membantua Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama! Biarpun di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu. Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.

 

 Demikianlah, ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan ji-suhengnya, Coa Leng Bu, dan la disuruh membantu dan memberitahukan jalan keluar kepada nona yang menjadi murid keponakan ji-suhengnya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani! Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot. Dia telah banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal baru dia lihat sebentar sajadi malam itu, di antara sinar obor. Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa! Dia telah jatuh cinta, bukan cinta berahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan asmaranya!

 

 Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding. "Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu terus ke selatan," antara lain Pek-mau Seng-jin berkata, "setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?"

 

 "Saya sendiri belum mengenalnya, Seng-jin," jawab Suma Hoat sejujurnya. "Ji-suheng hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supeknya."

 

 "Hemm, kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu, akan menguntungkan sekali. Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berplhak kepada kita?"

 

 "Akan saya coba, Seng-jin."

 

 "Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan."

 

 Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suhengnya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama ji-suhengnya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat daripada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!

 

 Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.

 

 "Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian di sini!" katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar. Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biarpun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!

 

 Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk. Sedangkan Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur,

 

 "Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja di situ?"

 

 Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suhengnya.

 

 "Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?"

 

 "Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute."

 

 "suheng, Nona ini adalah yang kausuruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan."

 

 Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya! Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suhengnya, pria di depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!

 

 Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, "Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiokmu sendiri."

 

 Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat. "Susiok....!" katanya perlahan dan sederhana.

 

 Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, "Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?" Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.

 

 "Baiklah, Suma-twako."

 

 Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.

 

 "Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri."

 

 Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab,. "Namaku Khu Siauw Bwee." Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San! Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.

 

 Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.

 

 "Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?" Akhirnya dia bertanya secara langsung.

 

 "Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit di sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suciku sendiri." Siauw Bwee tetap saja mengelak.

 

 "Ahh, kalau begitu, suheng dan sucimu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?"

 

 "Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu."

 

 Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini sikapnya penuh rahasia, akan tetapi biarpun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.

 

 "Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi.... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku."

 

 "Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf," kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.

 

 "Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu di sini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?"

 

 Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suhengnya tahu akan hal itu. Suhengnya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.

 

 "Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin."

 

 Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, "Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukanlah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?"

 

 Suma Hoat tersenyum. "Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biarpun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?"

 

 Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. "Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang daripada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa."

 

 "Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu."

 

 Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya. "Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen. Dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu."

 

 "Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute," jawab Leng Bu dengan suara dingin.

 

 "Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?"

 

 "Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan." Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata,

 

 "Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu."

 

 Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba di sana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.

 

 "Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi ke sana?"

 

 "Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu."

 

 Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.

 

 "Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap di antara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal."

 

 Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.

 

 "Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?"

 

 Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona."

 

 "Ohhh....!" Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapapun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan berkata,

 

 "Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan." Kepada Suma Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh sucinya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.

 

 Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suhengnya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai. Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi daripadanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara.

 

 Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya, kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!

 

 ***

 

 Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam. Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang mengancam.

 

 Bulan sepotong yang menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu. Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.

 

 Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suhengnya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suhengnya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suhengnya takkan dapat mengenalnya selamanya!

 

 Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas dan dalam pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.

 

 Tiba-tiba dia bangun duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.

 

 Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak, seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia, seperti perasaan orang kalau mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon, seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas daripada permainan suka duka.

 

 Namun, suara tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.

 

 Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aselinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia. Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.

 

 Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu. Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul "Merindukan Bulan". Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khi-kang yang hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.

 

 "Bulan....

 

 tunggulah aku wahai bulan

 

 jangan kautinggalkan aku sendiri!

 

 Bulan....

 

 hanya engkaulah pengganti dia

 

 hanya engkaulah pencermin wajahnya

 

 Bulan....

 

 ke mana engkau lari?

 

 ke mana engkau sembunyi?

 

 Bulan....

 

 kasihanilah aku wahai bulan

 

 jangan kau pergi.... jangan....!"

 

 Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling, kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.

 

 Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.

 

 "Nona.... engkau benar-benar datang.... terima kasih kepada Thian....! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu, memanggilmu.... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini.... ahhh, Nona, adakah.... adakah harapan di hatiku yang kering ini?"

 

 Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.

 

 "Ihhh.... engkau.... engkau.... apa maksudmu? Apa artinya semua ini....?"

 

 Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.

 

 "Suma Hoat! Apakah engkau sudah gila?" bentaknya.

 

 "Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu, dari...."

 

 "Kau.... kau gila....!" Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.

 

 "Benar, aku gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu.... biarlah kaubunuh aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee," Suma Hoat berkata sambil berlutut, sekali ini, tidaklah seperti kalau dia merayu wanita. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.

 

 Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.

 

 "Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapapun juga."

 

 Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak.... tidak....! Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta! Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong berahi semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?

 

 "Kau.... kau.... sudah mencinta orang lainkah....?" tanyanya lemah.

 

 "Bukan urusanmu itu, Suma Hoat, dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!"

 

 Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar. "Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?"

 

 "Bukan karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma Kiat."

 

 "Ya Tuhan....! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?"

 

 "Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!"

 

 Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, kemudian berkata lemah,

 

 "Sungguh buruk nasibku.... Tuhan mengutukku karena perbuatan ayah.... dan.... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kaubunuhlah aku, aku takkan melawanmu...."

 

 "Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa kaukira engkau mampu melawanku?"

 

 "Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang laln. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai benyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku."

 

 "Engkau gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya ayahmu yang bersalah dan ke mana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!" Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.

 

 Suma Hoat makin kaget. "Apa....? Engkau.... engkau.... penghuni Istana Pulau Es....?"

 

 "Benar! Dan kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!"

 

 Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.

 

 "Aku.... aku tidak akan melawanmu, Nona. Betapapun juga, aku tetap mencintamu.... dan agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta orang lain?"

 

 Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan

 

 "Benar dugaanmu, karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang manapun juga!"

 

 Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya meremas. "Krekkk!" Sulingnya hancur berkeping-keping. "Selamat tinggal, Nona. Betapapun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu...., Thian akan menaruh iba kepadaku.... dan kelak.... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan harapan baik bagiku.... selamat tinggal."

 

 Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andaikata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andaikata....!

 

 "Khu-lihiap, apa yang kaulakukan malam-malam di sini? Hawanya begini dingin...."

 

 Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh. "Ah, aku tak dapat tidur, Supek."

 

 "Sebaiknya tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu."

 

 "Dia sudah pergi, Supek."

 

 "Apa? Siapa maksudmu?"

 

 "Suma-twako, dia sudah pergi." Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki kamarnya.

 

 Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sutenya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sutenya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.

 

 Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biarpun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.

 

 Biarpun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apalagi kalau dia mengingat akan suhengnya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan. Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab,

 

 "Kemenangan kita adalah jasa para perajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya."

 

 "Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun," kata Pangeran Bharigan. "Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal."

 

 "Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi, untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu, tidaklah mudah. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri, dengan beberapa orang pembantu yang berkepandalan cukup tinggi."

 

 Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik daripada mengirim penyelidik biasa. Biarpun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami malapetaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.

 

 "Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kauanggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?"

 

 Maya menggeleng kepala. "Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini."

 

 Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup keluar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap di antara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan. Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apalagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu. Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, di antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.

 

 Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas. Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat daripada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.

 

 Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang. Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi. Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas. Di tempat ini mereka, laki-laki wanita, tua muda, kanak-kanak, beristirahat, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.

 

 Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suhengnya yang seringkali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suhengnya itu. Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suhengnya. Di dalam segala macam hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri. Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur! Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan. Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.

 

 Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit.

 

 Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa,

 

 "Tentu dia itu orangnya...."

 

 Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil mengalahkannya. Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa. Akan tetapi ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main. Dia maklum akan kelihaian Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah wajah sumoinya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya, Yan Hwa melihat dara itu di dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah gadis itu. Akan tetapi, melihat keadaannya, seorang gadis cantik yang mampu mengalahkan Panglima Dampit, di dunia ini sukar sekali didapat bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu, dan kalaupun ada agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun. Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya,

 

 "Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?"

 

 Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya. "Memang benar dia lihai sekali akan tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu."

 

 "Aih, sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?"

 

 Dengan wajah gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,

 

 "Engkau tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, maupun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!"

 

 "Aihhhh....!"

 

 "Ayaaaaaa.... lihai sekali!"

 

 "Tsk-tsk-tskk....!"

 

 "Melihat semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis itu!"

 

 "Aihhhh....!" Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya. Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling lihai di antara para panglima, membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai di antara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suhengnya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suhengnya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu? Pula kalau betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoinya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan sumoinya atau suhengnya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapapun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoinya, sedangkan pengawal itu bukan suhengnya, biarpun mempunyai she Kam.

 

 Kakek itu melanjutkan ceritanya setelah melotot kepada Maya sebagai teguran karena teriakannya tadi. "Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu, kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran inilah, gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak mati. Gadis itu yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina, berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya."

 

 Semua orang tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan temantemannya, tentu saja. Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoinya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan sumoinya itu! Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi! Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya dan mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling memaki.

 

 "Hendak lari ke mana kau, keparat?" terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung. Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu.

 

 Mendengar suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.

 

 "Brakkkkk!" Daun pintu pecah, berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam ruangan. Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang. Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki setengah tua. Akan tetapi kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek ber jenggot pendek, menubruknya. Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor biruang terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!

 

 Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biarpun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi lalu melesat ke kanan kiri! Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun, dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!

 

 Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar tidak mengenal tempat dan keadaan, berkelahi di antara bagitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.

 

 Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!

 

 Lawannya yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke pintu.

 

 "Tangkap mereka!" Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggauta tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!

 

 "Berpencar! Lari....!" Maya berbisik. Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Karena kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa. Kalau ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata, akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota. Siasat ini dilakukan pada saat yang sama dan bukan hanya di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja terjadi perkelahian sandiwara itu, akan tetapi juga di tempat-tempat lain di mana para pengungsi berkumpul. Dan pada saat pasukan-pasukan menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!

 

 Maya dan empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu keluar. Dua orang yang tadi bersandiwara, cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang tadi. Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh. Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang keluar melalui pintu. Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Panglima yang setia ini semenjak lengannya buntung, menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung sebelah.

 

 Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa. Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol keluar dari gedung itu dan ternyata malam hari itu, di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para pegejarnya.

 

 Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng, segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggauta pasukan panah dari bawah. "Kita berpencar," Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula, "Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!" Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.

 

 Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan gin-kang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.

 

 Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai. Dari banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya. Apalagi ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sin-kang yang dahsyat. Buah sian-tho ini bagi orang biasa, mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab daripada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sin-kang seperti Maya, dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sin-kangnya yang dilatih secara istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.

 

 Maya tidak berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali. Kota itu amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguhpun Panglima Dampit telah tewas.

 

 Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut di sana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang dikhawatirkannya. Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara. Laki-laki itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah lebih lihai daripada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri! Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?

 

 "Mundur kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!" Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.

 

 "Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekalipun, siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!" Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.

 

 Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.

 

 "Heiii.... kau.... ehhh.... !" Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat! Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu dia sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.

 

 Maya tidak mempedulikan seruan pemuda itu. Seorang panglima yang berpakaian preman, pada waktu itu banyak panglima berpakaian preman untuk menjadi penyelidik dan menangkapi mata-mata, menyerangnya dari belakang dengan sebatang pedang. Dengan mudah saja Maya membalikkan tubuh, membiarkan pedang lawan dan sekali tangan kanannya bergerak, pedang itu telah dirampasnya dan sebuah tamparan tangan kirinya membuat Panglima Sung itu terpelanting dan roboh telentang di depannya.

 

 "Heiiii.... kau.... Nona.... siapa dan mengapa....?" Suma Hoat mengelak dari sebuah tusukan tombak dan menoleh kepada Maya, tergagap saking herannya ketika melihat seorang dara yang demikian cantik jelita tahu-tahu datang membantunya! Melihat wajah Maya ia tepesona dan terbelalak. Dia telah gila! Mengapa sekarang dia pun terpesona, jantungnya berdebar tidak karuan menyaksikan wajah dara ini? Sungguh mati dia harus mengakui bahwa getaran jantungnya ketika melihat wajah itu sama sekali berbeda dengan getaran nafsu kalau dia melihat wanita-wanita cantik! Wajah ini.... luar biasa sekali, lebih cantik daripada mendiang Ciok Kim Hwa, lebih jelita daripapada wajah Khu Siauw Bwee! Mungkinkah dia begitu mudah jatuh cinta sekarang?

 

 Apakah setelah beberapa bulan ini dia menghentikan petualangannya sebagai Jai-hwa-sian, dia lalu mudah tergila-gila dan jatuh cinta dalam arti kata yang murni terhadap setiap gadis cantik yang dijumpainya?

 

 Akan tetapi, kalau tadi dia terpesona oleh wajah itu, oleh kecantikannya, kini dia terpesona menyaksikan betapa pedang rampasan di tangan dara jelita itu berkelebatan merupakan gulungan sinar yang luar biasa sekali dan semua senjata para pengurungnya patah disambar sinar yang bergulung-gulung. Hebat bukan main! Mengapa dia selalu bertemu dengan dara-dara yang seperti bidadari namun memiliki kepandaian seperti iblis!

 

 Biarpun Maya mengamuk, namun dia berhati-hati sekali, tidak mau membunuh seorang pun tentara yang kalau dalam perang tentu akan dibasminya sebanyak mungkin itu. Dia tidak mau menghadapi kesulitan yang tentu timbul kalau sampai dia melakukan pembunuhan.

 

 "Bunuh mata-mata.... !" Terdengar teriakan keras dan seorang panglima lain yang mukanya seperti tengkorak, berpakaian preman, melayang turun dari atas genteng, terjun ke dalam medan pertempuran itu. Setelah dekat, ternyata muka seperti tengkorak itu lebih mirip muka kuda.

 

 Suma Hoat membalikkan tubuhnya dan orang bermuka kuda itu terbelalak. berseru, "Kongcu....!"

 

 "Eh, Siangkoan Lee! Engkau di sini....?" Suma Hoat juga berseru.

 

 "Saya mengawal kereta Taijin, itu di sana...." Siangkoan Lee pelayan dan juga murid Suma Kiat itu cepat membentak, "Tahan senjata! Apakah kalian sudah buta? Kongcu ini adalah putera Suma-goanswe (Jenderal Suma)!"

 

 Para komandan pasukan mengenal Siangkoan Lee, maka tentu saja mereka terkejut mendengar ini dan mengeluarkan aba-aba untuk menghentikan pengeroyokan. Sementara itu, ketika Maya melihat munculnya Siangkoan Lee, dan mendengar bahwa pemuda tampan yang dibantu itu adalah putera Suma Kiat, menjadi kaget setengah mati. Celaka, pikirnya. Dia talah salah pilih! Tanpa berkata sesuatu dia sudah meloncat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap.

 

 "Heiiii, Nona....! Tunggu....!" Melihat dara perkasa yang telah mengguncang jantungnya itu melompat pergi, Suma Hoat cepat meloncat pula mengejar.

 

 "Apakah dia mata-mata?" tanya Siangkoan Lee.

 

 "Mata-mata hidungmu!" Suma Hoat memaki. "Dia sahabatku! Katakan kepada Ayah nanti aku datang menghadap!" Tanpa menoleh Suma Hoat melanjutkan pengejarannya terhadap bayangan hitam yang meloncat-loncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk itu.

 

 "Heii, Nona! Tunggu, aku mau bicara....!"

 

 Maya mengerutkan kening. Kalau dia menggunakan gin-kangnya, biar pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin pemuda itu dapat menyusulnya. Juga kalau dia menghadapi pemuda itu, biarpun dia tahu bahwa pemuda itu cukup lihai namun dia percaya akan dapat membunuhnya. Akan tetapi, kalau hal itu terjadi, Si Pemuda tentu akan mengejar dan berteriak-teriak, dan kalau sampai dia kedapatan oleh para penjaga, padahal malam telah hampir pagi, dia bisa celaka. Maya mengigit bibir menahan kesabaran hatinya, demi keselamatannya sendiri. Mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiat yang amat dibencinya, ingin dia menggerakkan pedang membunuhnya!

 

 Dia terpaksa berhenti dan membalikkan tubuh. "Engkau mau bicara apakah?"

 

 Kebetulan sekali mereka berhenti di atas genteng rumah yang terkena sorotan sinar dari bawah sehingga wajah dara itu tampak jelas di bawah sinar remang-remang. Sekali lagi jantung di dalam dada Suma Hoat seperti jungkir-balik. Wajah ini.... luar biasa cantiknya. Kecantik jelitaan yang aneh, asing dan belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang gadis berwajah seperti ini.

 

 "Nona, maafkan aku.... setelah Nona tadi menolongku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja sebelum aku menghaturkan terima kasih?"

 

 "Aku tidak mengharapkan terima kasih," jawab Maya singkat.

 

 "Akan tetapi, setelah Nona menolongku, tidak mungkin aku bersikap begitu tak kenal budi. Setidaknya, harap Nona sudi berkenalan. Namaku Suma Hoat, dan siapakah Nona yang cantik jelita seperti bidadari namun berkepandaian setinggi langit?"

 

 Berkerut alis Maya. Laki-laki ceriwis, pikirnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa putera Jenderal Suma Kiat ini ternyata amat tampan, suaranya halus gerak-geriknya menarik.

 

 "Aku melihat seorang dikeroyok, lalu datang membantu. Hal itu biasa saja, aku melakukannya bukan untuk memancing terima kasih, bukan pula mengharapkan perkenalan. Sudahlah....!"

 

 Melihat gadis itu sekali mencelat melayang ke wuwungan di depan, Suma Hoat terkejut dan takut kalau-kalau takkan dapat bertemu lagi, maka dia pun cepat mengejar sambil berseru, "Nona, tunggu....!"

 

 Maya berhenti dan membalikkan tubuh, membentak, "Engkau mau apa lagi?"

 

 Suma Hoat kini sudah tergila-gila benar menyaksikan sikap yang demikian keras, sifat yang liar dan penuh kewibawaan, namun juga amat manis. Maka dia mengambil keputusan untuk dapat berkenalan dengan dara ini. Cinta kasihnya yang pertama terhadap Ciok Kim Hwa putus, kemudian cinta kasihnya yang kedua, cinta kasih murni terhadap Khu Siauw Bwee, juga gagal karena gadis itu telah mencinta orang lain dan dia tidak berani bermain gila terhadap gadis yang ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es itu, dan kini dia merasa jatuh cinta untuk ke tiga kalinya, bukan cinta berahi seperti terhadap semua wanita yang pernah dipermainkannya, melainkan cinta sungguh-sungguh! Dia tidak mau gagal lagi sekarang.

 

 "Nona, aku berniat baik, mengapa Nona menolak perkenalan? Kalau aku tidak berniat baik terhadap dirimu, tentu aku sudah berteriak bahwa Nona adalah seorang mata-mata dan Nona akan dikepung oleh ribuan orang tentara!"

 

 "Hemm, begitukah? Kalau begitu mampuslah engkau!" Pedang rampasan di tangan Maya menyambar ganas merupakan sinar kilat menyambar ke arah leher Suma Kiat.

 

 Pemuda ini terkejut bukan main, "Aahhhh....!" Ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik dengan cepat. Kembali sinar pedang menyambar dan keringat dingin keluar membasahi dahi Suma Hoat ketika dengan pengerahan gin-kang sekuatnya kembali dia melempar diri ke kiri sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ke belakang.

 

 "Brettt!" Ujung lengan baju itu buntung karena benar seperti dugaannya, sinar pedang itu kembali telah menerjangnya untuk ketiga kalinya dengan gerakan yang bukan main cepatnya.

 

 "Tahan, Nona....!" Ia meloncat ke belakang, loncatan yang indah sekali karena tubuhnya masih menghadap kepada Maya. "Aku sudah memperlihatkan niat baik dengan tidak membuka rahasiamu, apakah engkau seorang yang begitu kejam dan tidak mengenal budi, membalas iktikad baik orang dengan serangan maut?"

 

 Maya diam-diam kagum juga. Tiga kali dia menyerang, sungguh-sungguh, dengan jurus-jurus maut, namun pemuda itu masih mampu menyelamatkan diri, hal itu berarti bahwa pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Can Ji Kun. Dan ucapan yang halus penuh teguran itu, betapapun juga membuat kedua pipinya merah. Ingin dia memperkenalkan diri dan terus menyerang, membunuh pemuda ini karena bagi dia, seluruh keluarga Suma Kiat harus dibunuh! Akan tetapi dia teringat akan pekerjaannya sebagai penyelidik, maka dia berkata angkuh,

 

 "Aku tidak membutuhkan iktikad baikmu, dan aku pun tidak takut kalau engkau hendak membuka rahasia!"

 

 Bukan main, pikir Suma Hoat. Gadis ini benar-benar angkuh, seperti seorang puteri kaisar saja! Seorang dara yang ilmu kepandaiannya amat tinggi, wajahnya amat cantik jelita, dan wataknya amat tinggi pula!

 

 "Dengarlah dulu, Nona. Nona adalah seorang mata-mata, berarti Nona memusuhi Kerajaan Sung, dan aku pun adalah seorang yang tidak memihak Kerajaan Sung. Dengan demikian, kita berada di satu pihak. Dan penjagaan di sini amat ketat dan kuat. Nona tidak dapat bergerak leluasa, apa yang akan dapat Nona selidiki? Bahkan banyak bahayanya Nona akan terkepung dan celaka. Akan tetapi aku dapat bergerak leluasa dan aku dapat menyelidiki dan memberi tahu kepadamu apa yang kau ingin ketahui. Aku suka membantumu, Nona. Nah, apakah Nona masih hendak membunuhku?"

 

 Maya memutar otaknya. Pemuda putera musuh besar ini harus dibunuh, akan tetapi apa yang dikatakannya mengandung kebenaran. Dia harus bersikap cerdik. Sebagai seorang panglima perang yang sudah biasa menahan perasaan pribadi demi siasat dan keuntungan pihaknya, Maya lalu berkata,

 

 "Begitukah? Ucapanmu harus dibuktikan lebih dulu. Sekarang apa yang hendak kaulakukan dengan aku, setelah engkau tahu bahwa aku adalah seorang mata-mata?"

 

 Wajah Suma Hoat girang bukan main. "Pertama-tama, Nona harus mempunyai tempat persembunyian yang baik dan aku mempunyai sebuah rumah kecil yang kosong dan yang takkan ada yang berani mengganggu atau memasukinya. Nona boleh mempergunakan rumahku itu sebagai tempat bersembunyi. Hanya di waktu malam saja Nona dapat melakukan penyelidikan dan di waktu siangnya Nona boleh bersembunyi di situ. Kemudian, aku dapat membantu mencari keterangan yang sekiranya tak dapat Nona peroleh sendiri. Bagaimana?"

 

 Maya kembali terdiam dan berpikir, kemudian dia berkata sambil menurunkan pedangnya, "Kalau aku tidak dengar tadi bahwa engkau adalah putera Jenderal Suma Kiat yang kutahu bukanlah seorang pembesar yang setia terhadap Kerajaan Sung, tentu aku tidak percaya omonganmu. Betapapun juga, ketahuilah bahwa disamping aku menerima penawaranmu, aku tetap tidak percaya kepadamu dan sedikit saja engkau memperlihatkan sikap mencurigakan, aku pasti akan membunuhmu. Jangan engkau kira bahwa aku tidak dapat melakukannya! Nah, tunjukkan di mana rumah itu!"

 

 "Mari, Nona! Aku tak perlu bersumpah, akan tetapi Suma Hoat bukanlah seorang yang biasa mengeluarkan kata-kata yang berlainan dengan isi hati! Bukan seorang pengecut yang untuk menolong nyawa sendiri melakukan penipuan-penipuan rendah!" Dia meloncat dan dara perkasa itu pun meloncat di belakangnya. Untuk menguji nona itu, Suma Hoat mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat, namun betapapun cepatnya dia berloncatan dan berlari, bayangan gadis itu tetap berada di belakangnya! Diam-diam dia makin kagum, dan di lain pihak, Maya juga kagum karena pemuda ini benar-benar lihai sekali.

 

 Rumah kecil itu memang milik Jenderal Suma Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota Siang-tan. Rumah itu kosong dan sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak akan ada yang berani mengganggunya. Setelah mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di ruangan dalam, Suma Hoat berkata,

 

 "Siang ini harap Nona bersembunyi di sini. Nona sudah mengenalku, harap Nona suka memperkenalkan diri dan menceritakan kedudukan Nona agar aku dapat mencarikan keterangan yang Nona kehendaki."

 

 Maya mengerutkan alisnya. Malam telah berganti pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari ruangan itu membuat ia dapat melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang tampan dan sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik hati wanita mana pun! Akan tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak mungkin mengakui dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini terlalu berbahaya karena kalau Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau memegang janji. Dia terlalu penting bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan apa saja untuk menangkap panglima wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan Sung itu.

 

 "Suma Hoat, ingatlah bahwa bukan aku yang menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku hanya berjanji bahwa kelak aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi untuk saat ini, cukup untuk kauketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari barisan Mancu, tanpa nama! Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri, aku pun tidak terlalu mengharapkan bantuanmu!"

 

 Suma Hoat terbelalak, bukan hanya oleh kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini melainkan juga karena terpesona oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya. Kulit muka itu agak kecoklatan karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu benar-benar luar biasa cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar seperti bintang pagi, mulutnya yang manis dalam gerakan apapun juga, dan dari seluruh kepribadian gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang dirasainya ketika ia bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh cinta untuk ketiga kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya dia rela berkorban apapun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!

 

 "Baiklah, aku tidak boleh terlalu banyak mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku, Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga bukan seorang gadis Han...."

 

 "Cukup semua ini. Kalau kau memang hendak membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang menjaga benteng Siang-tan ini, berapa besar bala tentaranya, siapa komandan-komandannya, dari mana akan didatangkan bala tentara kalau benteng terdesak, dan apa macamnya jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok benteng, dari mana datangnya pasukan inti kalau musuh datang, di mana ditempatkannya barisan panah."

 

 Suma Hoat melongo. Benar-benar seorang mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya menguasai benar pekerjaan perang!

 

 "Aku akan berusaha mendapatkan keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah kanan terdapat bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari keterangan untukmu, malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan tempat ini sebelum gelap."

 

 Maya mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat tiba di pintu dia memanggil.

 

 "Tunggu dulu!"

 

 Suma Hoat membalik dan menatap wajah itu, beberapa kali menelan ludah. Bibir itu! Mata itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan cinta kasihnya di saat itu juga! Akan tetapi, menghadapi seorang wanita seperti ini, dia tidak boleh lancang dan sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh gagal, cinta kasihnya harus mendapat sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan betapa akan jadinya kalau kembali cintanya berantakan!

 

 "Ada pesan apakah, Nona?"

 

 "Hanya sebuah pertanyaan yang kuminta kaujawab dengan sebenarnya, karena kalau kau membohong tiada gunanya. Kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau membantu aku, padahal aku tahu pasti bahwa engkau bukanlah seorang sekutu Kerajaan Mancu?" Setelah bertanya demikian, sambil menanti jawaban Maya memandang dengan sinar mata tajam yang seolah-olah menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. Suma Hoat merasa silau dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang perasaannya terhadap gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar mata tajam itu sambil menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan jujur.

 

 "Aku sengaja membantumu bukan karena engkau mata-mata Mancu, Nona, juga bukan karena dalih dan pamrih apapun juga, melainkan semata-mata karena aku ingin membantumu, karena aku kagum kepadamu, dan karena ada dorongan di hatiku yang membuat aku ingin berkorban apa juga demi untukmu. Nah, sampai jumpa!" Suma Hoat membalikkan tubuhnya tanpa menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir membuka rahasia hatinya itu. Dia sudah nekat dan pasrah andaikata gadis itu menjadi marah dan menyerangnya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu sehingga ketika tiba di luar rumah, hati Suma Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia tidak diserang atau dibunuh, melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu tidak marah, berarti dia sudah menang separuh!

 

 Memang Maya tidak berbuat sesuatu. Gadis itu telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin bukan bohong itu. Terlalu heran dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk melongo sampai pemuda itu lenyap dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik napas panjang. Gila! Putera Suma Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm, berkali-kali dia digoda cinta kasih pria, dari Can Ji Kun yang masih harus diragukan cintanya yang mungkin palsu, sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat diragukan lagi cinta kasihnya. Namun, mana mungkin dia memperhatikan, apalagi membalas, cinta kasih pria lain kalau hatinya sudah dia serahkan sebulatnya kepada suhengnya, Kam Han Ki? Hampir Maya menitikkan air mata ketika ia teringat akan suhengnya, teringat betapa pertemuannya dengan suhengnya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta, sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suhengnya di Pulau Es, memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suhengnya tidak membagi kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee. Akan tetapi, suhengnya tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak seharusnya dia mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah sepatutnya kalau dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni dari Pangeran Bharigan, atau memperhatikan sinar mata mengandung kasih yang begitu mesra dan menggairahkan, yang terpancar dari mata Suma Hoat!

 

 "Alhh, Suheng...., Suheng....!" Ia mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya membuat dia pantang menitikkan air mata dan ia melupakan kedukaan hatinya dengan mencurahkan pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata. Apa pun yang akan terjadi dengan gejolak hatinya, yang terang saja pekerjaannya akan berhasil baik dengan bantuan seorang putera jenderal! Bahkan kalau dia bisa mempengaruhi Suma Hoat untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan pasukan Mancu dari dalam kota Siang-tan! Tentu akan mudah menalukkan kota benteng yang amat kuat ini!

 

 ***

 

 Kedua orang panglima pembantu Maya yaitu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil menyelamatkan diri dari kepungan dan dengan menyamar sebagai pengemis, mereka dapat menyelinap di antara banyak pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang berkelompok di emper-emper kuil, di bawah jembatan, di pasar-pasar.

 

 Berbeda dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai ngemis dan bercampur dengan orang-orang yang berbaju kotor, berbadan kotor dan berbau apek itu. Di dalam keadaan terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji Kun dan Yan Hwa sehingga ke manapun mereka lari bersama, saling melindungi dan tak mau saling berpisah. Memang demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri, namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau saling mengalah. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mujijat dan jahat sekali, yang menambah persaingan di antara mereka karena dengan mengandalkan pedang masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.

 

 Ketika kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasil lolos dari kepungan para perajurit, mereka bersembunyi di wuwungan rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian, mereka berhasil menyambar dua orang perajurit yang berada di tempat terpisah, melucuti pakaian mereka dan dengan mengenakan pakaian perajurit mereka menyelinap di dalam kegelapan malam kemudian berhasil lolos keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah selatan, yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga. Barulah para penjaga tahu bahwa dua orang di antara mereka adalah palsu ketika Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran dilakukan, akan tetapi tak mungkin pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat dua orang murid Mutiara Hitam ini. Apalagi malam yang gelap menelan bayangan mereka.

 

 Setelah berlari jauh, dua orang muda itu meninggalkan pakaian perajurit dan duduk mengaso dalam sebuah hutan, di atas akar pohon menonjol. Yan Hwa agak terengah-engah dan gadis ini membereskan rambutnya yang tadi awut-awutan karena tadi disembunyikan dalam topi perajurit. Melihat rambut sumoinya terurai, Ji Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan Hwa tertawa dan balas mencium dengan mesra. Pengalaman berbahaya tadi mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman mereka menambah mesra perasaan hati. Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong dadanya dengan halus.

 

 "Ihhh....! Tugas belum selesai ingin yang bukan-bukan!"

 

 Ji Kun tertawa. Buyarlah hasrat hatinya. Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang panjang hitam dan gemuk, dia berkata,

 

 "Kita telah bebas. Sungguh berbahaya sekali!"

 

 "Malu kita melarikan diri terbirit-birit seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang lain-lain tentu sedang sibuk melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan kita berada jauh di luar kota, enak-enakan. Sungguh harus malu!" Yan Hwa mencela.

 

 "Aihh, bukankah kita sudah bersepakat untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau menyamar sebagai pengemis."

 

 "Ihh, jijik!"

 

 "Kita terpaksa lari keluar, karena keadaan amat berbahaya. Dengan keributan seperti itu, dan penjagaan amat ketat di dalam kota, biarpun kita berada di sana juga tak mungkin dapat bekerja. Pula, apakah hanya di dalam kota saja yang perlu diselidiki? Kurasa menyelidiki di luar tembok benteng tidak kalah pentingnya, menyelidiki barisan pendam mereka, dan pertahanan pertama mereka. Selain itu, kalau keadaan di kota sudah mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?"

 

 "Habis, sekarang kita mau apa?" Yan Hwa bertanya.

 

 Ji Kun tertawa, "Menanti sampai matahari terbit, baru nanti mencari jalan menyelidiki ke dekat tembok benteng. Sekarang, sambil menanti, mau apalagi, Sumoi yang manis?" Dia memeluk lagi dan sekali ini Yan Hwa juga timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu suhengnya. Keduanya tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang rebah dengan telinga menempel tanah, tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.

 

 "Ada barisan datang....!"

 

 Ji Kun terkejut. Keduanya melompat bangun, lalu dengan cekatan seperti dua ekor burung, mereka melompat ke atas, menyambar dahan pohon dan dalam beberapa detik saja dua orang yang lihai itu telah berada di puncak pohon tertinggi, mengintai ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat lampu bergerak-gerak di selatan, dan akhirnya beberapa pasang lampu itu berhenti.

 

 "Apakah itu?" Yan Hwa bertanya.

 

 "Menurut suaranya tentu derap kaki kuda, dan lampu-lampu itu tak salah lagi tentu lampu kendaraan kereta. Mereka berhenti di sana, hayo kita menyelidiki!"

 

 Dengan cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu mendekati tempat itu dan melihat bahwa rombongan yang berhenti itu adalah rombongan terdiri dari empat buah kereta yang dikawal ketat oleh pasukan pengawal sejumlah lima puluh orang. Ketika tenda-tenda kereta yang berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali Yan Hwa dan Ji Kun melihat gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta, setiap kereta terisi enam orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada pula yang menangis terisak.

 

 Ji Kun dan Yan Hwa menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati komandan dan para pembantunya yang duduk mengelilingl api unggun, mendengarkan percakapan mereka.

 

 "Dalam keadaan terancam penyerbuan barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis cantik calon selir pangeran atau raja), sungguh mementingkan kesenangan sendiri saja." Seorang perwira mengeluh.

 

 "Hati-hati dengan mulutmu!" Komandan pasukan yang berpakaian panglima membentak bawahannya, "Bukan tidak ada gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita hanyalah pelaksana, perlu apa memusingkan sebab-sebabnya?"

 

 "Akan tetapi, mengapa kita bermalam di sini, tidak langsung terus ke Siang-tan?" tanya seorang perwira lain.

 

 "Hemm, orang-orang kang-ouw tentu tidak membiarkan perampasan wanita-wanita cantik ini, dan hutan-hutan di depan amat besar, lebih aman melewatkan malam di sini, besok pagi baru melewatkan perjalanan. Kalau kita disergap di dalam hutan, tentu akan sulit mempertahankan penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah dihitung, dan kita akan celaka kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe tentu akan menghukum kita!"

 

 Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang di dalam gelap, kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di telinga kekasihnya dan berbisik, "Kesempatan baik untuk kita!" Ia lalu berbisik-bisik mengatur rencana. Sumoinya mengangguk-angguk, sehingga pipinya yang halus itu menyentuh dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak tahan untuk tidak mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya dan mereka lalu berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun tadi.

 

 Tak lama kemudian terdengar pekik kesakitan dan seorang di antara pengawal yang sedang berdiri menjaga di sebelah kanan roboh. Keadaan menjadi kacau dan semua pengawal lari ke tempat itu di mana terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap. Para perwira cepat menghunus golok dan mengepung, akan tetapi sekali melompat, Ji Kun telah lenyap ke dalam kegelapan hutan kecil itu karena dia melihat bayangan sumoinya yang berkelebat dan ternyata sumoinya yang memang seperti direncanakan semula, telah berhasil menculik seorang di antara gadis siuli dari kereta terdepan. Terdengar jerit para siuli lainnya dan ketika para pengawal melihat bahwa yang terculik adalah gadis yang paling cantik, mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan main. Panglima pasukan marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya,

 

 "Hayo cari dia! Kalau tidak dapat terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!"

 

 Akan tetapi para pengawal sudah dibikin gentar oleh ketangkasan Ji Kun tadi dan mereka menyaksikan bayangan yang melarikan siuli tadi pun seperti iblis saja. Pula, mereka berada di hutan yang gelap, ke mana harus mencari? Betapapun juga karena takut kepada komandan mereka, takut pula kalau kehilangan itu akan dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di tangan para pengawal itu mencari di sekitar tempat itu.

 

 Namun, Yan Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di tengah hutan besar dan gadis cantik itu kini tidak takut lagi. Bahkan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yan Hwa dan Ji Kun sambil berkata,

 

 "Terima kasih atas pertolongan Ji-wi, entah bagaimana saya dapat membalas budi pertolongan Ji-wi yang membebaskan saya dari malapetaka ini."

 

 Cuaca pagi kemerahan membuat Ji Kun dapat meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya cantik manis. Dia lalu memegang kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun sambil tersenyum. "Manis, kami tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup puas kalau engkau membalasnya dengan sebuah ciuman!" Berkata demikian, dia memeluk dan mengecup bibir gadis itu yang tentu saja menjadi tersipu-sipu, dan ketika Ji Kun melepaskan pelukannya, gadis itu terhuyung ke belakang dan menangis.

 

 "Suheng! Engkau.... engkau....!" Yan Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.

 

 "Eiiitt, Sumoi. Engkau cemburu?"

 

 "Tentu saja! Hanya sebegitukah cintamu kepadaku? Engkau pernah tergila-gila kepada Enci Maya dan sekarang.... katakan, siapa yang kaucinta? Gadis ini?"

 

 "Wah-wah, apakah engkau anak kecil? Tentu saja hanya engkau yang kucinta, sedangkan yang lain-lain termasuk gadis ini, hanya tubuhku saja yang tertarik, bukan hatiku. Apakah engkau tidak mernbolehkan suhengmu bersenang-senang sedikit?"

 

 "Hemmm.... laki-laki ceriwis mata keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada kesempatan. Eh, bocah, kami telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan tertawan lagi dan mendapat hukuman. Kami pergi!"

 

 Yan Hwa dan Ji Kun meloncat dan berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi ketakutan sekali dan menangis di antara semak-semak belukar di mana dia ditinggalkan seorang diri. Dia seorang gadis yang lemah, dan biarpun dia kini telah dibebaskan, namun ditinggalkan seorang diri di tempat itu, tentu saja dia ketakutan dan tidak tahu ke mana harus pergi. Untuk kembali ke kampungnya, dia tidak mengenal jalan.

 

 Ketika beberapa orang anak buah pasukan pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di pinggir hutan besar, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita muda yang cantik sedang sibuk mengumpulkan kayu kering. Wanita ini bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang sengaja memperlihatkan sikap terkejut dan takut melihat datangnya tujuh orang pengawal berikut seorang perwira pengawal itu. Dia menjerit, melepaskan kayu-kayu kering yang dikumpulkannya lalu melarikan diri. Tentu saja dia berlari biasa seperti lari seorang gadis lemah dan sebentar saja ia telah tertangkap, kedua lengannya dipegang dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.

 

 "Ha-ha-ha-ha, engkau hendak lari ke mana?" Seorang di antara mereka berkata.

 

 "Ehhh....! Ini bukan dia!" Perwica pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa. "Dia hanya seorang gadis dusun, akan tetapi.... hemmm, aku berani bertaruh dia tidak kalah cantik menarik daripada siuli yang lenyap tadi!"

 

 "Benar, dia jelita sekali!" Para anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa dengan kagum.

 

 Kedua pipi Yan Hwa menjadi merah dan dia pura-pura meronta sambil berteriak, "Kalian siapakah? Mengapa aku ditangkap?"

 

 "Anak baik, engkau tinggal di mana?" Perwira itu bertanya.

 

 "Aku tinggal di sebuah dusun di luar hutan di seberang sana. Aku mencari kayu bakar untuk di jual...." Yan Hwa menjawab ketakutan, matanya yang indah bening terbelalak.

 

 "Apakah engkau melihat orang-orang di dalam hutan besar ini?"

 

 Yan Hwa menggeleng kepala.

 

 "Hemmm...." Sang Perwira menggosok-gosok jenggot pendeknya, "Bawa dia kepada Ciangkun, kurasa jalan satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang dengan dia ini."

 

 Yan Hwa menjerit-jerit ketika dipaksa ikut bersama mereka menuju ke rombongan kereta dan di situ dia menjadi tontonan semua pengawal. Panglima yang memimpin pasukan pengawal mendengarkan laporan perwira dan mengangguk-angguk. "Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?"

 

 "Nama saya Yan Hwa, she Ok," jawab Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aselinya karena namanya memang tidak terkenal.

 

 "Dengar, Ok Yan Hwa. Engkau ingin mati atau hidup?" Suara panglima itu terdengar keren dan penuh ancaman.

 

 Dengan sin-kangnya yang sudah tinggi tingkatnya Yan Hwa dapat membuat jalan darahnya terhenti sehingga mukanya menjadi pucat. "Saya.... saya ingin hidup, Tai-ongya...."

 

 "Hushh! Aku bukan kepala perampok!" bentak Si Panglima yang disebut tai-ong (raja besar), sebutan yang biasa dipergunakan orang terhadap kepala perampok. "Sebut aku Tai-ciangkun, mengerti?"

 

 "Baik, Tai-ciangkun...."

 

 "Kalau engkau ingin hidup, mulai sekarang engkau harus menjadi seorang di antara gadis-gadis cantik di dalam kereta ini untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu Hok Ong di Siang-tan. Engkau tidak boleh menceritakan tentang peristiwa malam ini kepada siapapun juga. Katakan bahwa engkau adalah seorang di antara mereka yang kami pilih. Kalau engkau menurut, engkau akan hidup mewah dan mulia di istana Pangeran, mungkin menjadi selir Pangeran yang terkasih, sedikitnya menjadi pelayan istana. Kalau menolak, sekarang juga kusembelih lehermu sampai putus!"

 

 "Iihhh.... ampun.... ampun, Tai-ciangkun.... hamba tidak berani menolak, hanya.... hamba harus memberi tahu ayah ibu dulu di dusun...."

 

 "Tidak usah! Tinggal pilih, sekarang juga, ingin mati atau hidup?"

 

 Yan Hwa menangis akan tetapi mengangguk-angguk. "Baik, Tai-ciangkun.... hamba.... hamba menurut...."

 

 Yan Hwa disuruh memasuki kereta terdepan dan dipaksa berganti pakaian yang indah. Semua siuli memang diharuskan berpakaian indah dan panglima itu masih mempunyai beberapa potong pakaian untuk perlengkapan. Setelah itu, komandan pasukan mempersiapkan orang-orangnya untuk memberangkatkan rombongan kereta itu. Akan tetapi, kembali terjadi kekacauan ketika rombongan itu baru saja berangkat, tiba-tiba dua ekor kuda yang menacik kereta terdepan, meringkik keras lalu membedal ke depan seperti dikejar setan. Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda yang kabur itu, bahkan kini panglima itu sendiri bersama beberapa orang pembantunya membalapkan kuda untuk mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau sampai kereta terguling dan lima orang siuli di dalamnya celaka, benar-benar mereka menghadapi kesulitan besar!

 

 Dua ekor kuda penarik kereta yang kabur itu, melihat panglima itu dan pembantu-pembantunya mengejar, menjadi makin binal. Kusirnya berteriak-teriak dengan panik, menarik-narik kendali kuda namun tetap tidak berhasil menghentikan kaburnya dua ekor kuda itu.

 

 Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bukan lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping menangkap kendali kuda, meloncat ke atas punggung kuda dan diam-diam dia mencabut dan membuang dua buah duri yang tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia menarik kembali kuda dan menggunakan kekuatan tangan, diam-diam mengerahkan sin-kangnya, kakinya menjapit perut kuda. Semua ini dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi ketangkasannya sehingga dia tidak kelihatan sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, melainkan sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur. Setelah dua ekor kuda itu berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat turun, dia terhuyung dan hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata,

 

 "Wah, bahaya sekali....! Dua ekor kuda ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!"

 

 Panglima dan para perwira sudah tiba di situ dan melihat mereka, Ji Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Dengan pandang mata penuh kecurigaan panglima itu bertanya, "Engkau siapa?"

 

 "Nama hamba Can Ji Kun, pekerjaan hamba sebagai ahli kuda. Dahulu di utara hamba pernah bekerja kepada seorang peternak kuda yang besar, kemudian karena perang hamba lari ke selatan dengan maksud mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian hamba. Kebetulan hamba melahat kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan keahlian hamba, hamba lupa diri dan menolong. Harap Tai-ciangkun sudah memaafkan kelancangan hamba."

 

 Hilanglah kecurigaan panglima itu dan dia mengangguk-angguk. "Bagus, kami berterima kasih, Ji Kun. Kalau engkau mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh mengurus kuda dan mengusiri kereta ini. He kau turun!" Bentak Sang Panglima kepada kusir yang masih pucat wajahnya. Dengan tubuh gemetar kusir itu turun dari atas kereta dan sekali mengulur tangan panglima itu telah merampas cambuk, kemudian mencambuki kusir itu sambil memaki-maki,

 

 "Manusia tolol! Goblok! Hampir saja engkau mencelakakan kita semua!"

 

 Cambuk itu menari-nari di atas tubuh kusir yang berlutut dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek-robek dan kulit tubuhnya babak-belur dan berdarah. Setelah puas, panglima itu berkata, "Kau harus jalan di belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan hukuman nanti di kota!"

 

 Rombongan itu berangkat lagi dan kini Can Ji Kun duduk di tempat kusir, msmegang cambuk dan mengendalikan kuda menarik kereta di mana duduk pula Ok Yan Hwa yang menjadi girang sekali melihat betapa siasat mereka berjalan lancar dan berhasil baik. Tentu saja dua ekor kuda itu tadi kabur ketika diam-diam Yan Hwa menyerangnya dari belakang dengan dua buah duri yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai pantat kuda yang menjadi kaget dan kesakitan lalu kabur!

 

 Tak lama kemudian, rombongan memasuki hutan besar yang ditakuti Sang Komandan. Tiba-tiba komandan ini berteriak, "Awas, di depan ada orang!"

 

 Ji Kun yang berada di depan kereta pertama, sudah melihat orang-orang itu dan dia mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya bahwa yang menghadang di depan itu tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka gagah dan bukanlah kasar seperti sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang menghadang di depan, berjajar memenuhi jalan.

 

 Komandan dan para perwira memberi aba-aba menghentikan kereta, kemudian memerintahkan pasukan mengurung kereta-kereta itu, dan dia sendiri bersama sisa pasukan lalu melarikan kuda menghampiri orang-orang yang menghadang itu. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, dengan sebatang golok besar di punggung, berjenggot panjang dan bersikap gagah perkasa, memimpin para penghadang itu, berdiri bertolak pinggang dan sinar matanya tajam menatap Sang Panglima yang duduk dengan angkuhnya di atas kuda sambil membentak,

 

 "Kalian mau apakah menghadang di sini? Minggirlah! Apakah tidak melihat bahwa kami pasukan pengawal dari kerajaan? Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak atau pengkhianat-pengkhianat yang hendak melawan pasukan kerajaan?"

 

 Laki-laki berjenggot panjang itu mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, kemudian menjawab, "Ciangkun, kami adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak berjiwa pengkhianat atau pemberontak. Bahkan sebaliknya, kami adalah patriot-patriot negara yang menjadi pelindung rakyat yang tertindas! Negara dalam keadaan perang. Mengapa para pembesar hanya mementingkan kesenangan diri pribadi dan menambah beban rakyat dengan menculik dan memaksa gadis-gadis orang untuk dijadikan korban kebuasan nafsu pembesar? Kami tidak akan melawan pasukan kerajaan, akan tetapi kami menuntut agar para gadis yang ditawan dalam kereta itu dibebaskan!"

 

 "Hemm, enak saja kau bicara! Para gadis ini adalah calon-calon dayang atau selir pangeran, nasib mereka sudah pasti akan jauh lebih baik daripada kalau mereka berada di rumah. Mereka akan menjadi orang-orang terhormat dan hidup mewah, bahkan keluarga mereka akan ikut pula menjadi orang terhormat. Kalian bilang bukan pemberontak, akan tetapi hendak menentang kehendak pangeran dan hendak melawan pasukan pemerintah. Pergilah sebelum kami basmi kalian kaum petualang pemberontak!"

 

 "Ciangkun, alasan kuno yang kaukemukakan itu memuakkan! Kau sendiri tahu betapa gadis-gadis itu pergi dengan paksaan. Dengar mereka terisak-isak, menangis. Kalau mereka pergi dengan sukarela, kami pun bukan orang-orang yang lancang mencampuri urusan orang. Akan tetapi karena melihat gadis-gadis itu dipaksa yang berarti penindasan kejam, kami tak mungkin berpeluk tangan saja. Kalau kau tidak mau membebaskan mereka sekarang juga, terpaksa kami menggunakan kekerasan."

 

 "Si pemberontak keparat! Serbu!" Panglima itu mengeluarkan aba-aba dan para pengawal yang berjalan kaki sudah bersorak sambil maju menyerbu tujuh orang itu. Mereka ini pun sudah mencabut senjata masing-masing dan terjadilah pertandingan yang seru antara tujuh orang gagah itu melawan tiga puluh orang pasukan pengawal, sedangkan yang lain bertugas menjaga kereta-kereta dengan mengurungnya.

 

 Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa merasa serba salah. Orang-orang kang-ouw itu ternyata cukup lihai sehingga banyak anak buah pengawal yang roboh, sedangkan panglima dan para perwira juga terdesak. Terutama sekali Si Jenggot Panjang amat lihai mainkan goloknya. Dua orang murid Mutiara Hitam menjadi bingung. Tentu saja di dalam hati mereka, mereka berpihak kepada tujuh orang itu dan andaikata mereka tidak sedang bertugas, tentu mereka membantu tujuh orang itu dan membasmi pasukan pengawal. Akan tetapi, dalam keadaan mereka sekarang, andaikata mereka turun tangan mereka seharusnya membantu pasukan pengawal dan merobohkan penghalang itu agar mereka dapat cepat masuk kota dan dapat memulai dengan tugas mereka! Karena serba salah, baik Ji Kun maupun Yan Hwa hanya duduk menonton saja dan dari permainan golok dan pedang para orang gagah itu, mereka dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak-anak murid Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai.

 

 Agaknya, pihak pasukan pengawal takkan kuat menghadapi tujuh orang gagah itu kalau pertandingan dilanjutkan seperti itu tanpa campur tangan lain. Selagi Ji Kun dan Yan Hwa saling lirik ketika Ji Kun menyingkap tenda dan menjenguk ke dalam, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah sebuah pasukan kecil terdiri dari selosin perajurit berkuda, dikepalai oleh seorang laki-laki bermuka panjang seperti kuda! Ketika melihat pertempuran itu, laki-laki bermuka kuda itu yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, cepat membawa pasukannya menyerbu dan terkejutiah tujuh orang itu karena orang bermuka kuda ini benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Dengan sebuah golok melengkung Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari atas kudanya dan mengamuk. Orang gagah berjenggot panjang yang menandinginya, dirobohkannya dalam waktu belasan jurus saja. Juga pasukannya ternyata adalah pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Orang-orang gagah itu melakukan perlawanan mati-matian, namun akhirnya mereka semua roboh dan tewas jadi sasaran hujan senjata para pasukan pengawal!

 

 Pertempuran berhenti dan berakhir dengan matinya tujuh orang gagah itu dan belasan orang perajurit pengawal. Siangkoan Lee segera berkata kepada panglima pengawal yang terluka pundaknya dalam pertempuran tadi.

 

 "Atas perintah Goanswe, seluruh siuli supaya langsung dibawa ke istana pangeran dan harap bergerak cepat karena Pangeran sudah tidak sabar menanti. Mengapa baru sekarang tiba di sini?"

 

 "Maaf, Siangkoan-taihiap, kami terpaksa bermalam di luar hutan besar karena kami khawatir akan penyergapan di tengah malam dalam hutan itu."

 

 "Hemm, disergap di pagi hari pun kau tak mampu melindungi kereta-kereta itu!" kata Si Muka Kuda dengan suara menghina. "Kalian sudah terlambat, hayo cepat berangkat!"

 

 Karena takut kalau murid dan orang kepercayaan Jenderal Suma Kiat yang galak dan lihai itu akan menjadi marah dan menyalahkan mereka, maka para pengawal tidak berani bercerita tentang hilangnya seorang gadis yang diganti gadis lain dan seorang kusir baru yang mereka terima untuk jasanya menolong mereka terlepas dari bencana ketika kereta kabur. Hal ini menguntungkan dua orang murid Mutiara Hitam, karena kalau diketahui Siangkoan Lee, tentu orang yang lihai dan cerdik ini akan menjadi curiga dan menyelidiki mereka.

 

 Demikianlah, tanpa menimbulkan kecurigaan, Yan Hwa bersama para gadis lain ditempatkan di dalam istana pangeran dan berkat kepandaiannya mengurangi riasan muka dan membuat mukanya pucat seperti orang berpenyakitan kalau dihadapkan Pangeran sehingga Pangeran kehilangan seleranya, akan tetapi amat rajin dan pandai melayani, Yan Hwa tidak diambil selir melainkan diberi pekerjaan sebagai dayang pelayan, sedangkan Ji Kun menjadi seorang tukang mengurus kuda. Tentu saja dua orang muda yang lihai ini mendapatkan kesempatan baik untuk melakukan penyelidikan, dan terutama sekali Yan Hwa, yang selalu dekat dengan Pangeran dan mengetahui apabila ada tamu-tamu penting yang datang bertemu dengan Pangeran.

 

 ***

 

 Maya duduk termenung di dalam pondok di mana dia bersembunyi. Hari telah hampir malam dan dia menanti kedatangan Suma Hoat. Telah empat hari dia berada di tempat persembunyiannya ini dan selama empat hari itu, dia mendengar banyak dari Suma Hoat. Dia sendiri pun setiap malam keluar melakukan penyelidikan, namun harus dia akui bahwa tanpa bantuan keterangan-keterangan yang amat penting dari pemuda itu, akan sukarlah baginya menyelidiki keadaan musuh. Penjagaan amat ketatnya dan kini dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng kota Siang-tan ini benar-benar amatlah kuatnya, jauh berbeda dengan kota Sian-yang. Bahkan dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng itu sedang mendatangkan barisan bantuan dari selatan untuk menghadapi ancaman pasukan-pasukan Mancu yang telah menduduki Sian-yang. Dengan barisan bantuan itu, jumlah pasukan Sung menjadi lebih besar daripada pasukan Mancu dan Maya berpikir bahwa untuk menyerbu ke Siang-tan, pasukan Mancu harus mendatangkan bala bantuan juga.

 

 Suma Hoat banyak membantunya dan diam-diam dia merasa berterima kasih kepada pemuda itu. Pemuda musuh besarnya karena bukankah pemuda itu putera Suma Kiat? Namun, harus dia akui bahwa di dalam hatinya, dia tidak membenci Suma Hoat. Bahkan sebaliknya, dia merasa kagum dan suka kepada pemuda itu yang jelas menaruh hati cinta kepadanya. Hal ini mudah saja dia lihat dari pandang matanya, dari sikap dan gerak-geriknya, dari suara dan dari senyumnya.

 

 Teringat akan hal ini, Maya menarik napas panjang karena terbayanglah wajah satu-satunya orang yang dicintanya, wajah Kam Han Ki. "Aihhh, Suheng. Banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, akan tetapi mengapa engkau seorang yang kuharapkan, bahkan mengecewakan hatiku?"

 

 Teringat akan suhengnya, Maya menundukkan mukanya dan perasaan rindu dendam mencekam hatinya, membuatnya menggigit bibir menahan tangis.

 

 Gerakan orang memasuki rumah itu menyadarkannya dan ia cepat meloncat bangun. Bukan Suma Hoat, pikirnya. Pemuda itu memiliki gerakan yang ringan, akan tetapi pendatang ini langkah kakinya berat! Langkah itu terdengar makin berat dan akhirnya terdengar suara orang roboh. Maya cepat meloncat ke ruangan depan dan betapa kagetnya melihat Suma Hoat rebah di lantai dalam keadaan pingsan!

 

 Maya cepat berlutut memeriksa dan segera melihat bahwa pernuda ini telah menderita luka oleh pukulan yang hebat, yang membuat tubuhnya dingin sekali dan dada kanannya membiru. Cepat ia memondong tubuh pemuda itu, membawanya ke dalam kamar tidur dan merebahkannya di atas pembaringan. Sekali renggut robeklah baju yang menutup dada Suma Hoat dan setelah memeriksa sebentar, tahulah Maya bahwa pemuda itu terkena pukulan yang mengandung hawa Im-kang kuat sekali dan tentu nyawanya akan terancam maut kalau tidak cepat ditolong. Maka dia lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan telapak kanannya di dada kanan pemuda itu sambil mengerahkan hawa sin-kang dari pusarnya melalui lengan. Untuk melawan luka akibat pukulan Im-kang itu, dia mengobatinya dengan pengerahan Yang-kang. Mula-mula hawa yang hangat memasuki tubuh Suma Hoat, kehangatan yang makin lama menjadi makin panas mengusir hawa dingin yang dideritanya semenjak dia terkena pukulan itu.

 

 Setelah lewat dua jam lebih, barulah wajah Suma Hoat yang pucat menjadi kemerahan dan napasnya menjadi normal kembali. Ketika dia membuka matanya perlahan dan melihat tangan Maya menempel di dadanya, merasakan betapa hawa yang panas memasuki dadanya, mendatangkan rasa hangat mengusir rasa dingin yang hampir merenggut nyawanya tadi, Suma Hoat menjadi terharu sekali. Dia menggerakkan tangan, meraba lengan Maya, membelai lengan itu dan berbisik, "Aku.... aku cinta padamu...."

 

 Maya yang sedang rindu kepada suhengnya, selama mengobati tadi dia mendapatkan kesempatan untuk mengamati wajah pemuda ini dan jantungnya berdebar, menggelora. Wajah pemuda itu tampan sekali membuat hatinya amat tertarik. Di antara pemuda yang pernah menyatakan cinta kasih kepadanya, harus ia akui bahwa Suma Hoat merupakan pria yang paling tampan. Gejolak darah masa dewasa membuat muka Maya merah sekali, apalagi ketika mendengar bisikan Suma Hoat mengaku cinta begitu pemuda itu siuman, membuat jantungnya berdebar keras dan dia menarik kembali tangannya yang tadi dipakai mengobati dada pemuda itu agar belaian pada lengan yang membuat lengannya gemetar itu tidak sampai diketahui Suma Hoat.

 

 "Suma Hoat, apa yang kaulakukan ini?" Maya membentak, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas sekali, bukan hanya karena dia tadi lama mengerahkan tenaga untuk mengobati pemuda itu, melainkan terutama sekali karena debar jantungnya membuat dia merasa aneh dan lemas, seperti dilolosi seluruh urat dari tubuhnya.

 

 "Nona.... engkau telah menolong nyawaku, dan karena aku tidak tahan untuk menyimpan perasaan hatiku lebih lama, biarlah sekarang aku mengaku dan aku akan rela andaikata engkau marah dan membunuhku. Nona, semenjak pertama kali aku memandangmu, aku telah jatuh cinta ketpadamu. Aku membantumu karena cinta...."

 

 Maya seperti terkena pesona. Seluruh tubuhnya gemetar dan kedua matanya basah ketika pemuda itu kembali memegang lengannya yang dahaga akan cinta kasih, rindu dendamnya yang selalu ditahan-tahannya terhadap suhengnya, membuat hatinya seolah-olah menjadi sebatang tanaman kering. Kini sikap dan bisikan Suma Hoat yang penuh getaran cinta kasih, seolah-olah merupakan embun pagi bagi hatinya, sejuk dan menyenangkan.

 

 "Nona, aku cinta padamu.... aku bersumpah, aku mencintamu dengan hati tulus dan murni...."

 

 Maya memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas itu menurut saja ketika ditarik dan terdengar rintih perlahan dari dadanya ketika ia merasa betapa tubuhnya dipeluk erat-erat, kemudian napasnya berhenti menjadi sedu-sedan ketika ia merasa betapa mulutnya dicium penuh kemesraan oleh Suma Hoat. Seperti dalam mimpi, kedua lengannya bergerak, membalas rangkulan pemuda itu dan pada saat itu Maya yang rindu akan cinta kasih itu seperti tidak ingat bahwa yang memeluk dan menciuminya bukanlah pemuda yang dicintanya dan dirindukannya, bukanlah Kam Han Ki suhengnya, melainkan Suma Hoat, putera Suma Kiat musuh besarnya!

 

 Selama ini, hanya kepada tiga orang wanita saja Suma Hoat benar-benar jatuh cinta. Pertama-tama adalah cinta kasihnya kepada Ciok Kim Hwa yang juga merupakan cinta pertamanya. Kedua kalinya adalah ketika dia berjumpa dengan Khu Siauw Bwee, dan ke tiga kalinya adalah kepada Maya inilah. Kecuali tiga orang wanita itu, tidak ada lagi wanita yang benar-benar dicinta secara mendalam, bukan hanya cinta berahi belaka, seperti yang telah dia jatuhkan kepada banyak sekali wanita sehingga dia dijuluki Jai-hwa-sian.

 

 Dapat dibayangkan betapa bahagia hati Suma Hoat setelah dapat mendekap dan mencium mulut Maya. Dia merasa bahagia, mendapatkan pengganti Ciok Kim Hwa, pengganti Khu Siauw Bwee.

 

 "Maya.... bidadariku, kekasih pujaan hatiku.... bumi dan langit menjadi saksi akan cinta kasihku kepadamu, Maya...."

 

 Maya tersentak kaget. Tadi sebelum mendengar namanya disebut, dia hanyalah seorang gadis dewasa, seorang wanita yang haus akan cinta, yang menderita karena rindu sehingga dia terlena dalam dekapan Suma Hoat, pria tampan yang pandai merayu hati wanita itu. Akan tetapi, begitu mendengar namanya disebut, dia sadar! Dia adalah Maya, panglima wanita pemimpin Pasukan Maut. Dia adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan yang sedang berjuang membalaskan kematian ayah bunda dan keluarganya! Dia adalah Maya, penghuni Istana Pulau Es, sumoi dari Kam Han Ki!

 

 Sekali meronta, Maya telah merenggutkan tubuhnya dari pangkuan dan dekapan Suma Hoat dan dia sudah meloncat turun dari atas pembaringan. Mukanya berubah pucat, sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang Suma Hoat yang menjadi kaget dan khawatir menyaksikan perubahan sikap ini.

 

 "Maya.... kekasihku, kenapa....?"

 

 "Suma Hoat! Bagaimana engkau bisa mengenal namaku?" Tiba-tiba Maya bertanya, suaranya penuh kecurigaan dan pandang matanya tajam menyelidik. Sejenak Suma Hoat kagum dan bengong, diam-diam ia harus mengakui bahwa belum pernah dia melihat gadis secantik Maya sehingga dalam keadaan seperti itu masih saja tampak cantik jelita, kecantikan yang aneh namun pada saat itu menguasai seluruh hatinya.

 

 "Ahhh, kekasih pujaan hatiku, jadi itukah yang mengejutkan hatimu?" Suma Hoat tersenyum lebar. "Tentu saja aku dapat menduga. Pertama karena aku melihat bahwa wajahmu yang cantik seperti bidadari itu bukan wajah seorang gadis Han dan mengingat engkau bekerja untuk orang Mancu, tentulah engkau seorang gadis Mancu pula. Dan ilmu kepandaianmu demikian hebat. Siapa lagikah gadis secantik dan terlihai di Mancu kalau bukan Panglima Wanita Maya? Akan tetapi, kenyataan itu bahkan menggirangkan hatiku, Maya dewiku. Engkau seorang Panglima Mancu, aku seorang putera jenderal. Kita akan menjadi sepasang suami isteri yang cocok dan...."

 

 "Cukup!" Tiba-tiba Maya membentak dan melihat pandang mata gadis itu, Suma Hoat baru merasa terkejut sekali karena gadis itu benar-benar telah menjadi marah sekali.

 

 "Maya.... ada apakah....? Mengapa engkau marah-marah....?" Suma Hoat turun pula dari pembaringan dan melihat perubahan yang amat menggelisahkan ini, dia yang cerdik cepat menceritakan jasanya untuk menyenangkan hati Maya. "Tidak cukupkah bukti yang kuperlihatkan dalam membantumu? Bukankah engkau sendiri yang tadi mengobati aku yang terluka hebat dan hampir tewas? Maya.... aku rela berkorban nyawa untukmu. Untuk memenuhi permintaanmu dan membantumu, aku tadi menyelidiki ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong yang sedang mengadakan perundingan dengan Bu-koksu, dan aku mendapatkan sebuah rahasia rencana mereka yang amat penting bagimu!" Suma Hoat memandang wajah Maya dengan hati gelisah karena gadis itu seolah-olah tidak mendengarnya, bahkan kini tampak penyesalan dan kemarahan membayang di wajah yang cantik itu. Maya merasa menyesal sekali, menyesalkan diri sendiri yang telah menjadi lemah dan membiarkan pemuda itu memeluk dan menciuminya. Betapa mungkin hal itu terjadi! Dia masih nanar kalau memikirkan kembali dekapan dan ciuman yang membuat darahnya menggelora tadi!

 

 "Maya, dengarlah," Suma Hoat menyambung cepat, "Pangeran Ciu dan Koksu berunding dan mengambil keputusan untuk memancing pasukan Mancu meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan menggunakan saat itu untuk menyerbu dan merampas kembali Sian-yang dan mengurung pasukan antara kedua kota itu. Sial bagiku, dalam persembunyianku itu, aku ketahuan oleh seorang panglima pengawal Koksu yang amat lihai dan dalam beberapa gebrakan saja aku telah terpukul. Untung keadaan yang kacau memungkinkan aku melarikan diri dan ke sini.... eh, Maya, bukankah sudah terbukti betapa aku rela mengorbankan apa saja untukmu?"

 

 Maya menarik napas panjang. "Terima kasih atas bantuanmu, Suma Hoat. Akan tetapi jangan kau mengira bahwa semua jasamu itu harus kubalas dengan cinta! Engkau telah mengetahui siapa aku. Aku adalah Puteri Maya, juga Panglima Maya, dan aku adalah penghuni Istana Pulau Es! Tak mungkin aku mencinta orang seperti engkau yang seharusnya kubunuh, karena engkau adalah putera Suma Kiat musuh besarku! Untuk bantuanmu itu, aku membalas dengan mengampunimu, tidak membunuhmu. Nah, selamat tinggal!"

 

 "Maya....!" Suma Hoat berteriak, kaget bukan main mendengar bahwa Maya adalah penghuni Istana Pulau Es! Dia mengejar, akan tetapi sekali berkelebat saja Maya telah lenyap dari situ.

 

 "Ahhhh.... tidak.... tidak mungkin....!" Suma Hoat menjatuhkan diri ke atas pembaringan setelah dia kembali ke kamar itu, hatinya seperti diremas, semua harapannya membuyar. Mengapa nasibnya seburuk itu dalam cinta kasih? Setelah gagal memperisteri Ciok Kim Hwa, setelah gagal meraih cinta kasih Khu Siauw Bwee, setelah semua harapannya tercurah kepada Maya dan melihat Maya berada dalam dekapannya mandah diciuminya, kini Maya terlepas dan terbang pula dari tangannya! Kembali dia gagal! Tidak ada harapan lagi karena Maya ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es yang tentu saja memiliki kepandaian yang amat luar biasa! Mengapa nasibnya bagitu buruk sehingga dia dipertemukan dengan dua orang dara penghuni Istana Pulau Es? Apakah seperti Siauw Bwee, Maya juga telah mencinta laki-laki lain? Ah, nasib!

 

 Ketika Suma Hoat bangkit lagi, rambutnya awut-awutan karena dijambakinya, wajahnya pucat dan sepasang matanya kembali mengandung sinar yang keji, sinar yang telah lama meninggalkan matanya semenjak dia melukai Ketua Siauw-lim-pai, semenjak dia sadar akan kesesatannya. Hatinya yang berkali-kali mengalami pukulan, kegagalan cinta, membuat perasaannya menjadi kecut dan kambuh kembalilah penyakitnya, penyakit yang membuat dia menjadi Jai-hwa-sian, penyakit yang membuat dia membenci wanita, ingin mempermainkan semua wanita, terutama mempermainkan cinta kasih mereka! Kalau dia menjadi sakit hati karena cintanya terhadap wanita, dia akan mempermainkan cinta kasih wanita. Mulai detik itu juga, iblis mulai menguasai hati Suma Hoat lagi, seolah-olah Jai-hwa-sian yang beberapa bulan lamanya telah mati itu kini bangkit dan hidup kembali. Dan dengan beringas pemuda itu meloncat keluar meninggalkan rumah itu, kemudian di malam hari itu, di sebuah rumah besar, terdengarlah rintihan dari seorang gadis yang dipermainkannya, kemudian menjelang pagi terdengar jerit gadis itu yang mengantar nyawanya terbang meninggalkan tubuhnya yang setelah diperkosa lalu dibunuh oleh tangan Jai-hwa-sian!

 

 ***

 

 Suma Hoat tidak membohong ketika dia bercerita kepada Maya. Memang sore hari itu dia telah menyelidik ke istana Pangeran Ciu Hok Ong. Sayang bahwa ketika dia sudah mendengar sebagian dari percakapan antara Pangeran Ciu dan Koksu negara bersama panglima-panglima tinggi, tiba-tiba dia diserang seorang pengawal berpakaian preman yang amar lihai. Tentu saja Suma Hoat tidak mampu menandingi pengawal itu dan terpaksa melarikan diri dengan membawa luka karena pengawal itu bukan lain adalah Kam Han Ki!

 

 Akan tetapi, pada waktu Pangeran Ciu bersama Bu-koksu mengadakan perundingan di pondok taman yang didirikan di atas telaga buatan itu, ada seorang manusia lain yang juga diam-diam mengintai dan mencuri dengar percakapan orang-orang besar ini. Dia bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang bekerja sebagai dayang dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong. Bedanya, kalau Suma Hoat mengintai dengan bersembunyi di atas wuwungan pondok sehingga dia terlihat dan diserang oleh Kam Han Ki, dara perkasa ini lebih cerdik dan dia bersembunyi di bawah pondok, menyelam ke dalam air, berpegang pada tiang pondok dan hanya menyembulkan kepalanya sambil bersembunyi di balik tiang, mendengar percakapan orang-orang yang duduk di atas papan pondok. Karena keadaan di kolong pondok itu gelap, tentu saja tempat persembunyian Yan Hwa ini lebih aman sehingga Kam Han Ki yang amat lihai itu sendiri pun tidak dapat melihatnya.

 

 Seperti juga Suma Hoat, Yan Hwa dapat menangkap percakapan antara Pangeran Ciu dan Bu-koksu tentang rencana mereka untuk menjebaknya dan menghancurkan pasukan Mancu. Dia menjadi girang sekali karena hari itu adalah hari terakhir dan besok pagi-pagi dia sudah harus meninggalkan tempat ini untuk mengadakan pertemuan dengan kawan-kawannya, maka hasil pengintaiannya itu dapat mendengarkan rahasia yang amat penting bagi pasukan Mancu. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ia melihat bayangan berkelebat dan seorang laki-laki tampan berdiri di depan Bu-koksu sambil berkata tenang,

 

 "Bu-loheng, aku telah mengusir seorang mata-mata yang tadi mengintai di sini."

 

 "Eh, mengapa kauusir dan tidak kautangkap atau bunuh?" Koksu Bu Kok Tai bertanya, tidak puas.

 

 "Dia lihai sekali, Loheng. Akan tetapi dia sudah terluka oleh sebuah pukulanku."

 

 "Siapakah dia? Apakah kau mengenal dia?"

 

 "Tempatnya gelap, dia bersembunyi di belakang wuwungan, Loheng. Aku hanya melihat dia dalam cuaca remang-remang, dia masih muda dan tampan, akan tetapi aku tidak mengenalnya."

 

 "Kam-siauwte, engkau telah berjasa. Harap kau suka melakukan penyelidikan ke kota, jangan sampai ada mata-mata musuh dapat menyelundup masuk ke kota Siang-tan ini."

 

 "Baiklah, Loheng." Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.

 

 Ok Yang Hwa masih memeluk tiang di bawah pondok itu, wajahnya pucat dan dia menggigil. Bukan menggigil karena kedinginan yang dapat dilawannya dengan pengerahan sin-kangnya, melainkan menggigil karena ketakutan! Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam, menggigil ketakutan? Memang benar demikian dan hal ini tidaklah aneh karena dara perkasa itu tadi mengenal Si Pemuda yang menghadap Bu-koksu sebagai Kam Han Ki! Perasaan terheran-heran melihat adik sepupu gurunya itu kini membantu Koksu Negara Sung, bercampur dengan rasa ngeri dan takut karena kalau sampai Kam Han Ki melihatnya, tentu dia celaka. Paman gurunya lebih lihai daripada Maya, pernah menundukkan dia dan suhengnya di medan pertempuran, bahkan memperingatkan mereka berdua agar meninggalkan barisan Mancu.

 

 Karena telah mendengar rahasia penting dan hatinya gentar setelah melihat Kam Han Ki, Yan Hwa lalu menyelam, berenang di bawah permukaan air tanpa menimbulkan suara, meninggalkan tempat itu dan langsung dia menghubungi suhengnya, Can Ji Kun yang menyelundup dan bekerja sebagai tukang kuda.

 

 Isyarat suitan yang dikeluarkan Yan Hwa segera mendapat balasan dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik seperguruan, juga sepasang kekasih ini, sudah saling berhadapan di belakang kandang kuda yang gelap. Ji Kun segera merangkul Yan Hwa dan dia berbisik kaget,

 

 "Aihhh.... kenapa pakaianmu basah semua?"

 

 "Aku baru saja menyelidiki perundingan di pondok telaga dengan hasil baik," Yan Hwa balas berbisik.

 

 "Engkau tentu kedinginan. Hayo masuk ke kamarku, tanggalkan pakaian basah ini dan kuhangatkan...."

 

 "Hushhh, itu saja yang kaupikirkan, suheng. Dengarlah, kita harus pergi dari sini, sekarang juga!"

 

 "Kenapa? Kau kelihatan ketakutan, sumoi."

 

 "Memang aku takut setengah mati. Kau tahu.... Kam-susiok berada di sini, dia menjadi pengawal Bu-koksu!"

 

 Can Ji Kun membelalakkan matanya. "Apa? Kam-susiok? Kaumaksudkan dia.... Kam Han Ki penghuni Istana Pulau Es?"

 

 Yan Hwa mengangguk dan dengan singkat menceritakan semua pengalamannya ketika dia mengintai tadi. "Karena itulah, kita harus sekarang juga meninggalkan tempat ini. Besok adalah hari yang menentukan bagi kita untuk berkumpul di dalam kuil tua di luar kota. Aku telah mendengar rahasia yang amat penting itu, terutama sekali kehadiran Kam-susiok di sini tentu akan menarik perhatian Maya. Dan kau sendiri tentu sudah mendapatkan banyak keterangan. Selagi gelap begini, akan berkuranglah bahayanya untuk melarikan diri. Mudah-mudahan saja jangan sampai bertemu dengan Kam-susiok!" Yan Hwa bergidik ngeri karena dia takut sekali kepada adik gurunya itu.

 

 "Baiklah kalau begitu, Sumoi. Nih pedangmu, simpanlah!" Yan Hwa menerima pedangnya yang ia titipkan kepada suhengnya ketika mereka menjalankan siasat menyelundup kota bersama rombongan siuli, "Akan tetapi, engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Pakaianmu basah kuyup begini."

 

 "Tidak ada waktu untuk kembali ke istana. Kalau ada yang melihat pakaianku tentu akan menimbulkan kecurigaan. Sudahlah, basah begini pun tidak apa-apa, Suheng."

 

 "Bagimu tidak apa-apa, akan tetapi kalau engkau sakit, akulah yang akan kehilangan!" Ji Kun berkata, "Tidak, engkau harus berganti pakaian kering. Biarlah engkau memakai pakaianku saja."

 

 Yan Hwa tidak membantah lagi dan dengan belaian-belaian mesra, Ji Kun membantunya menanggalkan pakaian basah dan mengenakan pakaian kering yang tentu saja terlalu besar bagi Yan Hwa. Dalam keadaan seperti itu, mereka tiada ubahnya sepasang suami isteri muda yang saling mencinta. Kalau Yan Hwa yang masih ketakutan mengingat kehadiran Kam Han Ki tidak menolaknya, tentu Ji Kun akan melepas rindunya terhadap sumoinya atau kekasihnya itu.

 

 Mereka lalu menyelundup keluar dari lingkungan istana, melalui tembok belakang yang tidak jauh dari kandang-kandang kuda di mana Ji Kun bekerja. Dengan kepandaian mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasli meloncat keluar tanpa dilihat para peronda dan penjaga. Mereka meloncat dan berlarian di atas genteng rumah rumah penduduk kota dengan hati-hati sekali dan legalah hati mereka melihat bahwa di atas rumah-rumah itu tidak nampak penjaga-penjaga.

 

 "Kita harus menghubungi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun lebih dulu," kata Ji Kun. "Kemarin aku telah berhasil menghubungi mereka."

 

 "Apakah mereka masih menyamar sebagai pengemis?"

 

 "Benar, dan mereka bersembunyi di kolong jembatan Ayam Besi di sebelah utara, bersama para pengemis lainnya. Kita harus membantu mereka keluar dari kota. Marilah!"

 

 Akan tetapi ketika mereka melompat ke atas genteng sebuah rumah besar, tiba-tiba muncul empat bayangan orang-orang yang tadinya bersembunyi dengan mendekam di balik wuwungan. Mereka adalah empat orang pengawal yang memegang pedang dan seorang di antaranya membentak,

 

 "Berhenti! Siapa kalian berdua?"

 

 Kedua orang murid Mutiara Hitam itu menjawab dengan gerakan pedang yang telah mereka cabut dari sarungnya. Gerakan mereka cepat bukah main dan keduanya seperti berlumba, tampak sinar kilat berkelebat dan empat orang pengawal itu telah roboh dan tewas seketika. Kakak beradik seperguruan ini masing-masing merobohkan dua orang!

 

 "Tangkap penjahat....!"

 

 Kini muncullah belasan orang pengawal yang berloncatan dari empat penjuru, dan kedua orang muda perkasa itu sudah dikurung. Terjadilah pertempuran seru di atas genteng.

 

 "Cepat, kita harus pergi dari sini!" Ji Kun berkata sambil mengelebatkan pedangnya.

 

 Para pengawal yang datang mengeroyok ini memiliki kepandaian lumayan sehingga terdengarlah bunyi berdencing nyaring ketika Sepasang Pedang Iblis di tangan Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk, mematahkan senjata-senjata lawan yang menghujani mereka dengan serangan dahsyat. Dua orang pengawal roboh lagi, akan tetapi kini tampak banyak sekali pengawal berloncatan.

 

 Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau pasukan pengawal dikerahkan, mereka akan menghadapi bahaya besar dan akan sukar sekali untuk dapat meloloskan diri. Apalagi kalau mereka teringat kepada Kam Han Ki, mereka merasa ngeri. Maka sambil memutar pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan dan sinar kilat sehingga para pengeroyok menjadi gentar, keduanya meloncat ke depan, berdiri di atas genteng dan dikejar oleh para pengawal. Terdengar bunyi suitan-suitan dari para pengawal yang memberi tanda bahaya sehingga dari mana-mana muncullah para penjaga yang tadinya melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Melihat betapa dari depan, kanan, kiri muncul pula banyak pengawal, Ji Kun dan Yan Hwa lalu meloncat turun. Seperti juga di atas, di bawah sudah terdapat banyak pengawal yang segera menyambut dan mengurung mereka. Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk dan seperti biasa, pedang mereka seolah-olah berubah menjadi naga kilat, sepasang naga yang amat dahsyat dan mereka berlumba membunuhi para musuh yang mengeroyok mereka.

 

 "Sing-sing.... crat-crat....! Delapan orang, Suheng!" Yan Hwa berseru ketika tubuhnya mencelat ke atas dan pedangnya menyambar ke bawah, merobohkan dua orang pengeroyok yang hampir putus leher mereka terbabat pedang Li-mo-kiam di tangannya. Ucapannya itu berarti bahwa sudah delapan orang yang dirobohkannya.

 

 Ji Kun menggulingkan tubuhnya, pedangnya membabat ke sekelilingnya. "Wuuuttt, crok-crok....! Sembilan orang Sumoi!" katanya gembira karena dia menang satu orang.

 

 Yan Hwa penasaran dan pedangnya diputar makin hebat. Kedua orang itu kini telah lupa akan bahaya, lupa akan menyelamatkan diri, bahkan lupa bahwa mereka tadi khawatir sekali akan munculnya Kam Han Ki. Mereka telah berubah menjadi dua orang yang haus darah, ingin berlumba berbanyak-banyaknya dalam membunuh musuh!

 

 Tiba-tiba terjadi kekacauan di antara para pengeroyok dan ternyata tiga puluh orang lebih yang berpakaian pengemis, mengamuk dan menyerang para pengawal itu. Keadaan menjadi kacau-balau dan tiba-tiba Ji Kun dan Yan Hwa melihat Kwa-huciang dan Theng-ciangkun muncul dekat mereka.

 

 "Cepat, ikut kami....!" bisik Kwa-huciang memberi isyarat dengan tangannya.

 

 Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau mereka menuruti nafsu hati berlumba membunuhi musuh, akhirnya mereka akan terjebak dan sukar sekali meloloskan diri, maka mereka segera menyelinap dan mengikuti Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang agaknya memang sudah merencanakan pelarian ini. Menggunakan kekacauan karena para pengemis menyerbu para pengawal, empat orang mata-mata ini berlari dan melalui lorong-lorong gelap, akhirnya mereka itu dapat lolos dari kota dengan jalan merobohkan beberapa orang penjaga tembok kota yang sunyi dan kurang kuat penjagaannya, meloncat ke atas tembok dan menggunakan tali yang sudah disediakan untuk keluar.

 

 Setelah mereka terbebas dari kejaran para pengawal dan penjaga, Ji Kun memuji kawannya dan berkata, "Eh, Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami akan repot menghadapi kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua dapat menggerakkan para pengemis itu?"

 

 "Mereka itu sebagian besar adalah pengemis-pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang yang bergabung dengan Coa-bengcu. Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu menjadi sekutu pemerintah Yucen, maka kami berdua lalu mengaku sebagai mata-mata dari Yucen dan mendengar ini, tentu saja mereka siap membantu kami berdua untuk meloloskan diri dari dalam kota."

 

 "Hemm, bagus sekali siasatmu, Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para pengemis itu adalah kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan terbasmi oleh para penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!" Ji Kun memuji.

 

 Kwa-huciang mengerutkan alisnya dan dia menarik napas panjang. "Yaaah, begitulah perang! Demi kemenangan pihak sendiri, orang tidak segan-segan melakukan segala macam hal yang dalam keadaan biasa akan membuatnya malu sekali karena perbuatan semacam yang kami lakukan adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat menuju ke kuil tua di mana tentu Li-ciangkun telah menanti kita."

 

 Benar saja dugaan pembantu utama Maya ini, ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang sudah tidak digunakan, di luar kota yang sunyi itu, Maya sudah berada di situ. Wajah Maya yang tadinya agak keruh karena masih teringat akan peristiwa antara dia dengan Suma Hoat, kini menjadi berseri. Girang hatinya bahwa empat orang pembantunya ternyata dapat lolos pula dan berkumpul kembali di tempat itu dalam keadaan selamat.

 

 Empat orang itu segera melaporkan hasil penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, dengan bantuan para pengemis, telah berhasil menyelidiki keadaan di kota Siang-tan, bahkan telah berhasil membuat gambar peta keadaan kota itu dan sekitarnya.

 

 Hasil penyelidikan mereka ini amat besar artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur siasat penyerbuan ke kota itu. Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu menanyakan hasil penyelidikan kedua orang murid Mutiara Hitam.

 

 "Kami berdua berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong," Yan Hwa berkata dan dengan singkat dia menceritakan pengalamannya bersama Ji Kun ketika mereka berdua menyamar sebagai pengganti siuli dan tukang kuda. Maya kagum bukan main akan kecerdikan kedua orang muda itu, juga merasa geli karena dapat membayangkan betapa lucunya pengahaman mereka itu.

 

 "Dan apa saja yang kalian dapatkan dalam penyelidikan kalian?" tanyanya setelah dia memuji.

 

 "Hasil-hasil lainnya tidak begitu penting, akan tetapi ada dua buah berita yang tentu akan kauanggap hebat sekali," kata Yan Hwa.

 

 Maya mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak. "Lekas katakan, berita apa itu?"

 

 "Pertama, dari perundingan antara Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya, mereka merencanakan untuk menjebak kita! Mereka akan membiarkan pasukan-pasukan kita meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan, diam-diam mereka akan memotong jalan dan mengurung pasukan kita di antara kedua kota itu dengan pengerahan bala tentara yang jauh lebih besar daripada pasukan kita," Kwa-huciang dan Theng-ciangkun terkejut sekali mendengarkan berita yang amat penting itu. Akan tetapi Maya mengangguk dan menjawab,

 

 "Memang hebat berita itu, dan amat penting, perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah mendengarnya juga, Yan Wwa. Biarpun dari sumber lain, aku pun telah tahu akan rencana siasat mereka itu. Berita ke dua apa lagi?"

 

 "Berita ke dua ini lebih hebat lagi. Aku telah melihat.... Kam-susiok sebagai pengawal Bu-koksu!"

 

 "Apa....? Siapa....?" Maya yang tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya berubah pucat.

 

 Yan Hwa maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar bahwa suhengnya berada di kota itu, bahkan menjadi pengawal Koksu musuh. "Aku melihatnya sendiri, dan untung bahwa aku mengintai dari bawah, di dalam air, karena kalau sampai Kam Han Ki-susiok melihatku, tentu aku akan celaka."

 

 Maya termenung dan teringat akan keadaan Suma Hoat. Melihat betapa pemuda lihai itu terkena pukulan yang amat hebat, dia percaya bahwa penglihatan Yan Hwa tentu tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat tentulah suhengnya sendiri, Kam Han Ki! Yang membuat dia terheran-heran adalah kenyataan bahwa suhengnya itu dahulunya jelas membantu pasukan Yucen, sungguhpun bukan sebagai petugas resmi, mengapa sekarang tahu-tahu menjadi pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung? Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya?

 

 "Kita harus kembali ke Sian-yang sekarang juga!" Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak tergetar. Betapa hatinya takkan gelisah kalau mendengar bahwa suhengnya berada di pihak musuh? Bagaimana kalau Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah dia berhadapan dengan suhengnya yang dicintanya itu sebagai musuh?

 

 Lima orang itu berjalan menuju ke depan kuil tua akan tetapi baru saja mereka melalui ambang pintu depan yang sudah rusak, tiba-tiba terdengar suara berdesir sambung-menyambung dan belasan batang anak panah dan senjata piauw menyambar ke arah mereka dari depan, kanan dan kiri.

 

 "Mundur!" Maya berkata setelah mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu dengan pukulan dan kibasan tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur lagi dan Maya berkata perlahan,

 

 "Hati-hati, kita terkepung musuh. Jangan bergerak sebelum aku melihat keadaan." Biarpun keadaan mereka terkepung dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam bahaya, namun sikap Maya tetap tenang.

 

 Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar, "Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian telah terkepung dan tidak akan dapat lolos lagi!"

 

 Maya sudah menyelinap dan tanpa mengeluarkan suara dia mengintai dari empat penjuru, kemudian dia kembali menghampiri empat orang pembantunya dan berkata,

 

 "Banyak sekali pasukan mengepung kita. Kita harus menggunakan cuaca gelap ini untuk menerjang keluar dan melawan mati-matian. Kalau sudah terang, harapan kita tipis sekali untuk dapat lolos. Kita akan berhadapan dengan perlawanan yang kuat, akan tetapi betapa pun juga, seorang di antara kita harus dapat lolos dan menyampaikan berita-berita penting itu kepada Pangeran. Oleh karena itu, tidak boleh kita gagal semua, maka harus berpencar agar seorang di antara kita sedikitnya, dapat lolos dan sampai ke Sian-yang. Ji-wi Ciangkun harap menyerbu dari pintu belakang dan aku sendiri akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau menerobos dari jendela kiri, sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan dipecah menjadi empat bagian, tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan kalau untung kita baik, mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan selamat. Mengertikah semua?"

 

 Mereka mengangguk. Memang, di antara mereka berlima, yang dapat dikatakan paling rendah kepandaiannya, sungguhpun sama sekali bukanlah rendah menurut ukuran umum, adalah Theng-ciangkun dan Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini disuruh menyerbu bersama.

 

 "Sekarang, aku akan menyerbu lebih dulu ke depan. Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun harus cepat menerjang ke kiri untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa menyusul menyerbu ke kanan, sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke belakang."

 

 Setelah para pembantunya mengangguk tanda mengerti dan setuju, Maya melangkah keluar dengan sikap tenang. Dia tidak membawa senjata. Kalau dia berpakaian sebagai panglima, tentu saja pinggangnya selalu terhias sebatang pedang panjang. Akan tetapi kalau dara ini berpakaian preman, tidak pernah memegang senjata dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti dia, tidak lagi membutuhkan senjata. Begitu tubuhnya muncul keluar, kembali ada belasan anak panah menyambar, namun sekali meraih, beberapa batang anak panah dapat ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh terkena sambaran hawa pukulan tangannya yang dikibaskan. Sambil tersenyum mengejek Maya lalu melontarkan anak-anak panah yang dapat ditangkapnya itu ke arah asalnya. Terdengarlah pekik-pekik kesakitan disusul robohnya tubuh orang di dalam gelap ketika senjata-senjata itu makan tuannya sendiri!

 

 "Tangkap mata-mata!"

 

 "Bunuh dia!"

 

 Teriakan-teriakan ini disusul serbuan banyak sekali pasukan yang menyerang Maya dengan macam-macam senjata, seperti hujan datangnya. Namun Maya bersikap tenang, tubuhnya berkelebat ke kiri dan berbareng dengan robohnya dua orang oleh tamparan-tamparannya, tangannya sudah merampas sebatang pedang lawan. Mulailah pendekar wanita yang sakti ini mengamuk, memutar pedang rampasannya dan terdengar suara nyaring berdentang ketika pedangnya menangkis banyak senjata, disusul pukulan-pukulannya dengan tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua kakinya yang merobohkan banyak pengeroyok.

 

 Tiba-tiba terjadi kegaduhan di sebelah kiri kuil tua dan tampak sinar kilat menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah menerjang keluar dan juga seperti Maya, pemuda ini telah disambut oleh pengeroyokan puluhan orang tentara musuh. Keadaan menjadi ramai dan kacau, apalagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul keluar di sebelah kanan kuil dan mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya. Pasukan yang mengurung mereka itu ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah terjadi kepanikan di pihak mereka seperti diharapkan Maya karena yang mengepung mereka berjumlah seratus enam puluh orang, dan kini dibagi menjadi empat regu, masing-masing dipimpin oleh perwira-perwira pengawal yang berkepandaian tinggi.

 

 Sambutan pasukan yang besar jumlahnya ini mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir sekali kalau-kalau di antara para pengepung itu terdapat suhengnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi hal itu dan terus mengamuk sambil berusaha mencari lowongan untuk melarikan diri. Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa dalam keadaan seperti itu di mana terdapat rahasia besar yang harus disampaikan kepada Pangeran Bharigan di Sian-yang yang agar pasukan Mancu tidak masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pimpinan Sung, dia atau seorang di antara mereka harus dapat lolos dan terpaksa mereka tidak dapat saling menolong. Kalau saja tidak ada hal yang harus disampaikan ke Sian-yang itu, tentu dia akan mengamuk dan akan menolong anak buahnya, kalau perlu tewas bersama semua pembantunya.

 

 Kwa-huciang dan Theng-ciangkun juga mengamuk sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok terlalu banyak, bahkan di antara para perwira pengawal terdapat orang-orang pandai, di antaranya terdapat Siangkoan Lee yang lihai. Biarpun kedua orang perwira pembantu Maya itu mengamuk dan berhasli merobohkan belasan orang pengeroyok, namun akhirnya mereka berdua roboh juga dan tewas di bawah hujan senjata pasukan Sung yang marah melihat betapa teman-teman mereka banyak yang tewas.

 

 Di lain bagian dari pertempuran sebelah itu, Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di tangannya. Dia seperti harimau yang haus darah, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar-nyambar yang mematahkan banyak senjata lawan dan merobohkan banyak orang. Sudah ada dua puluh orang roboh dan tewas oleh pedangnya, namun dia sendiri juga terluka di pahanya, keserempet golok. Betapapun juga, pemuda yang perkasa ini tidak menjadi gentar dan dia mengamuk terus, merasa kecewa bahwa dia terpaksa harus bertanding jauh dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat membuktikan kepada sumoinya itu bahwa dia lebih banyak merobohkan lawan daripada sumoinya!

 

 Tiba-tiba para pengeroyok bertambah dan muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa orang perwira tinggi yang lihai. Murid Jenderal Suma Kiat ini bersenjatakan sebatang golok melengkung dan dia memimpin pengeroyokan dengan serangan-serangannya yang amat dahsyat. Sekali ini, Ji Kun benar-benar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee dan kawan-kawannya untuk merobohkan pemuda ini, terutama sekali karena di tangan Ji Kun terdapat Pedang Ibiis yang amat ampuh itu.

 

 "Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup dan rampas pedangnya!" Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah Suma Hoat yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah punggung Ji Kun.

 

 Ji Kun maklum bahwa lawan ini amat lihai, terbukti dari gerakan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Dia memutar tubuh, mengelebatkan pedang Lam-mo-kiam untuk merusak pedang lawan. Namun Suma Hoat yang sudah maklum akan kelihaian pedang itu ketika tadi datang dan menonton, cepat menarik pedangnya dan dia bersuit nyaring. Suitan ini merupakan tanda rahasia bagi seregu pasukan yang sudah ia persiapkan lebih dulu dan dua belas orang anggauta pasukan ini serentak melemparkan sebuah jaring ke arah tubuh Ji Kun! Pemuda ini terkejut sekali. Cuaca pada saat itu masih gelap dan dia tak dapat melihat jelas benda apa yang menyambarnya dari sekelilingnya itu. Tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap, tertutup oleh benda-benda yang lebar itu. Karena tidak tahu senjata apa yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya, dia hanya memutar pedangnya.

 

 Teriakan-teriakan mengerikan terdengar ketika pedang Lam-mo-kiam membabat jaring-jaring itu, terus membabat lengan dan tubuh para pemegangnya. Biarpun jaring-jaring itu terbuat dari kawat-kawat baja yang kuat, namun sekali terkena babatan Lam-mo-kiam, menjadi putus semua, bahkan pedang mujijat itu masih terus membabat orang orang yang memegang jaring. Sekali putaran saja lima orang di antara selosin anggauta regu ini roboh. Akan tetapi, Ji Kun terkejut sekali karena pedangnya terlibat jaring dan selagi dia berusaha melepaskan jaring-jaring yang melibat pedang dan tengannya, tujuh orang pengeroyoknya melepas pula jaring-jaringnya dengan berbareng!

 

 "Keparat!" Ji Kun berteriak marah dan biarpun tubuhnya sudah tertutup jaring-jaring itu, pedangnya masih mampu merobek jaring dan sekali bacok, tubuh dua orang lawan terbabat buntung di bagian pinggangnya!

 

 "Hebat....!" Suma Hoat berseru lalu menubruk dari belakang, tangannya bergerak dan tiga buah totokan kilat membuat Ji Kun mengeluh dan terguling roboh dalam keadaan pingsan! Suma Hoat cepat merampas pedang yang mujijat itu, bergidik memandang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat, kemudian dia memimpin sisa pasukan untuk mengeroyok Yan Hwa.

 

 Gadis itu pun mengamuk dengan hebat, pedangnya membuat para pengeroyok menjadi gentar karena pedang-pedang pusaka yang terkenal ampuh di tangan beberapa orang perwira menjadi patah semua ketika bertemu dengan pedang di tangan gadis itu. Ketika Suma Hoat menyaksikan kehebatan gadis itu, juga menyaksikan kecantikannya di bawah sinar obor yang dipegangi oleh beberapa orang tentara, dia kagum bukan main. Semenjak dia terpukul untuk ke tiga kalinya, terpukul hatinya karena penolakan Maya, timbul pula penyakit lamanya dan tadi dia melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya dengan mempermainkan seorang gadis kemudian membunuhnya. Namun ia masih merasa berduka, menyesal dan kecewa. Ternyata perbuatannya yang keji itu tidak mampu memuaskan hatinya, bahkan menimbulkan penyesalan yang lebih besar lagi. Ketika lewat tengah hari itu dia meninggalkan kamar gadis yang kini telah tewas di atas pembaringannya, dia melihat pasukan yang tergesa-gesa lari ke arah utara. Dia cepat bertanya kepada Siangkoan Lee yang memimpin pasukan itu, dan mendengar bahwa kini di luar kota, di kuil tua, pasukan-pasukan penjaga sedang berusaha menangkap lima orang mata-mata yang lihai.

 

 Suma Hoat terkejut, lalu dia ikut pula berlari ke luar kota di sebelah utara. Dia menyangka bahwa tentu Maya dan kawan-kawannya. Sangkaannya ternyata tepat, akan tetapi, melihat Maya mengamuk dengan hebat itu, selain dia merasa tidak akan mampu menandingi wanita penghuni Istana Pulau Es itu, juga dia merasa tidak tega untuk mengeroyok Maya yang dicintanya. Diam-diam dia merasa heran sekali kepada diri sendiri. Mengapa dia tidak dapat membenci Maya yang terang-terangan telah menolak cintanya? Mengapa dia tidak pernah pula dapat melupakan Khu Siauw Bwee yang juga tidak dapat membalas cinta kasihnya? Benar-benar dia telah menjadi gila!

 

 Dia, Jai-hwa-sian yang dapat memperoleh gadis-gadis cantik yang mana saja, baik dengan rayuan maupun dengan kekerasan, kini tergila-gila kepada dua orang gadis yang tidak mungkin didapatkannya! Mengapa hatinya jatuh cinta kepada dua orang gadis yang jelas menolaknya, sedangkan banyak gadis-gadis cantik hanya ingin ia dapatkan untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai balas dendam belaka?

 

 Karena tidak sampai hati menyaksikan Maya dikeroyok, pula dia juga tidak berdaya menolongnya karena hal ini selain akan membahayakan dia sendiri, juga akan membahayakan kedudukan ayahnya dan membocorkan rahasia mereka bahwa sesungguhnya mereka itu memusuhi Kerajaan Sung Selatan dan bersekutu dengan Yucen, maka Suma Hoat tidak mau mendekati Maya, sebaliknya dia membantu Siangkoan Lee untuk menangkap pemuda yang lihai itu. Kini, menghadapi Yan Hwa, timbul gairah di hatinya. Dia tertarik dan ingin mendapatkan gadis ini. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis cantik yang lemah, yang hanya menangis kalau diperkosanya tanpa mampu melawan, yang tersenyum-senyum malu dan penuh pura-pura kalau gadis itu kebetulan suka kepadanya. Kini, gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan gadis itu, apalagi gadis itu memiliki sebatang pedang yang hebat bukan main, pedang yang bentuk dan sinarnya serupa benar dengan pedang yang dirampasnya dari tangan pemuda tadi. Aku harus mendapatkan gadis ini pikirnya, maka dia lalu melompat maju sambil menghunus pedang Lam-mo-kiam yang telah dirampasnya.

 

 "Tranggg....!" Semua orang yang berdekatan dengan pertemuan sepasang pedang itu, menjadi silau matanya dan banyak yang terhuyung mundur karena sepasang pedang yang bertemu dengan dahsyatnya itu mengandung getaran yang mujijat.

 

 "Aihhhh...., Lam-mo-kiam....!" Yan Hwa menjerit kaget ketika pedangnya bertemu dengan pedang pegangan suhengnya itu. Dia memandang wajah pemuda tampan yang memegang pedang itu, kemudian bertanya dengan suara membentak, "Bagaimana pedang Lam-mo-kiam bisa berada di tanganmu? Siapa engkau dan di mana suhengku?"

 

 Suma Hoat memandang dengan senyum lebar, "Ah, kiranya dia itu suhengmu, Nona? Dia sudah tertawan...."

 

 "Bohong! Tak mungkin suheng tertawan oleh kalian!"

 

 "Hemm, kalau belum tertawan, mana mungkin pedangnya dapat kurampas? Dan semua temanmu sudah kalah, tinggal engkau seorang. Kalau engkau suka menyerah, aku menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu, bahkan soal suhengmu.... hemmm, marilah kita bicarakan. Melawan pun takkan ada gunanya, Nona."

 

 Yan Hwa terkejut dan memandang ke sekeliling. Benar saja dia tidak melihat lagi Maya yang tadi mengamuk, dan tidak melihat lagi yang lain-lain. Bahkan kini semua pasukan sudah mengurungnya sehingga kalau dia melawan, biarpun dia akan dapat membunuh banyak lawan, akhirnya dia tidak akan dapat meloloskan dirinya. Dia memandang tajam. Pemuda ini amat tampan dan gagah, dan tidak memiliki sifat kejam.

 

 "Aku minta bukti lebih dulu bahwa suhengku benar-benar telah kautawan!" katanya sambil melintangkan pedangnya.

 

 Suma Hoat tertawa dan memanggil Siangkoan Lee. "Bawalah tawanan itu agar nona ini dapat melihatnya!"

 

 Siangkoan Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak setuju dengan sikap putera gurunya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Dia mengangguk lalu pergi lagi, tak lama kemudian dia mengawal empat orang anak buahnya yang menggotong tubuh Ji Kun yang masih pingsan dan yang terbelenggu kuat-kuat.

 

 "Suheng....!" Yang Hwa berseru dan pedangnya bergerak, hendak mengamuk.

 

 "Tranggg!" Pedang Suma Hoat menangkis pedangnya dan pemuda ini berkata, "Nona, lebih baik menyerah. Percayalah, aku akan mengusahakan agar engkau dan suhengmu dibebaskan."

 

 Yan Hwa memandang dan melihat sinar mata pemuda tampan itu memandangnya penuh gairah, jantungnya berdebar. Kalau di sana ada jalan keluar untuk membebaskan diri bersama suhengnya, agaknya jalan satu-satunya hanyalah menuruti kehendak pemuda tampan ini.

 

 "Di mana teman-temanku yang lain?" Ia bertanya, masih belum mau tunduk dan menyerah begitu saja.

 

 "Dua orang temanmu yang menyerbu dari belakang kuil telah tewas, sedangkan yang seorang lagi.... eh, wanita sakti itu, telah melarikan diri," kata Suma Hoat, di dalam hatinya girang sekali, ketika tadi mendapat kenyataan bahwa Maya telah berhasil melarikan diri.

 

 Tidak ada jalan lain lagi, pikir Yan Hwa. Maya telah berhasil melarikan diri membawa berita rahasia itu untuk disampaikan ke Sian-yang, sedangkan kedua orang perwira pembantu Maya telah tewas. Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan diri sendiri dan suhengnya.

 

 "Engkau siapakah?" tanyanya.

 

 Suma Hoat menjura. "Aku Suma Hoat...."

 

 "Suma Hoat....?" Yan Hwa terkejut karena tentu saja dia telah mendengar akan nama Jenderal Suma Kiat.

 

 Suma Hoat maklum akan isi hati gadis itu, maka dia melanjutkan, "Benar, aku adalah putera Suma-goanswe yang terkenal. Kaulihat, aku bukan orang sembarangan, Nona dan kata-kataku boleh engkau percaya sepenuhnya." Kemudian dengan berbisik ia menyambung, "Berikan pedangmu dan menyerahlah, engkau dan suhengmu akan selamat."

 

 Mendengar bisikan ini dan melihat sinar mata pemuda itu mengandung kesungguhan, Yan Hwa memutar pikirannya cepat sekali. Kalau dia melawan dan sampai tertawan seperti suhengnya, tidak ada harapan lagi bagi mereka berdua. Sebaliknya kalau dia menyerah, dia masih dapat melihat keadaan dan mungkin dapat menyelamatkan diri bersama suhengnya. Semua harapan sudah buntu, kenapa tidak berpegang kepada satu harapan ini, betapapun tipisnya? Ia mengangguk dan tanpa berkata sesuatu dia menyerahkan pedangnya.

 

 Suma Hoat girang sekali, menerima pedang mujijat itu lalu berkata kepada Siangkoan Lee dan para perwira,

 

 "Aku yang telah menawan pemuda itu, dan gadis ini menyerah kepadaku. Mereka adalah tawanan-tawananku. Siangkoan Lee, bawa pemuda itu ke rumah dan masukkan ke dalam tahanan di bawah tanah, jaga yang kuat."

 

 Siangkoan Lee mengangguk dan kini dia mentaati perintah putera majikan atau gurunya karena dia menyangka bahwa tentu "ada apa-apanya" dengan kedua orang mata-mata itu sehingga putera gurunya sengaja menawan mereka. Agaknya ada hubungannya dengan persekutuan antara majikannya dengan Kerajaan Yucen. Apakah dua orang muda itu mata-mata Yucen? Maka dia lalu menggunakan pengaruhnya untuk menekan para pengawal dan menyuruh mereka melaporkan bahwa dua orang mata-mata telah terbunuh, seorang berhasil melarikan diri, sedangkan dua orang lagi yang tertawan oleh putera Jenderal Suma sedang diselidiki oleh karena keadaan dua orang itu masih disangsikan apakah mereka benar-benar rnata-mata ataukah hanya terlibat saja dalam keributan yang digerakkan oleh para pengemis pemberontak itu.

 

 ***

 

 "Usul yang gila, dan engkau seorang manusia yang mata keranjang! Siapa yang percaya bahwa engkau akan memegang janji?" Yan Hwa dengan muka berubah merah sekali bangkit dari ternpat duduknya, memandang Suma Hoat dengan mata bersinar penuh kemarahan dan keheranan setelah mendengar usul yang diajukan pemuda itu kepadanya. Mereka berada di sebuah kamar yang mewah dan serba indah, kamar tidur pemuda itu sendiri.

 

 Suma Hoat tersenyum dan tetap duduk di atas pembaringan menghadapi gadis itu. "Tenanglah, Nona dan duduklah. Mungkin sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang yang mata keranjang. Hati siapakah yang takkan terpesona oleh kecantikan seperti yang kaumiliki? Akan tetapi, penukaran yang kuajukan cukup adil, dan engkau harus percaya kepadaku karena banyak hal yang mengharuskan aku membebaskan engkau dan suhengmu."

 

 "Hemm, hal-hal apakah yang menjadi alasanmu?"

 

 "Pertama, engkau dan suhengmu bukanlah musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk apa aku mencelakakan kalian? Ke dua, kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi, bermusuhan dengan kalian sungguh bukan perbuatan yang cerdik. Ke tiga, kalian mengganggu Kerajaan Sung yang bukan menjadi negara yang kami bela. Nah, kalau di antara kita terikat persahabatan baik, bukankah hal itu sangat menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik dan timbul gairah di hatiku, Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi kiranya engkau tidak akan menganggap aku seorang laki-laki biasa apalagi buruk rupa. Tidak kurang banyaknya gadis yang suka kepadaku, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang menarik hatiku. Nah, bagaimana jawabanmu, Nona?"

 

 Muka gadis itu tidak semerah tadi, namun jantungnya masih berdebar keras. Pemuda ini memang tampan sekali, akan tetapi usul dan permintaan pemuda itu benar-benar merupakan hal yang selama hidupnya belum pernah ia dengar, maka tentu saja dia merasa tegang dan malu.

 

 "Coba ulangi lagi usulmu, agar aku tidak salah tangkap," katanya menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.

 

 Suma Hoat tersenyum, diam-diam merasa geli karena dia sudah tahu betapa hati nona itu berdebar penuh ketegangan. Hal ini menyenangkan hatinya karena berarti bahwa dara kang-ouw ini tidak biasa melakukan perbuatan seperti dimintanya. Tidak jarang terdapat wanita-wanita kang-ouw yang mengumbar nafsunya mengandalkan kepandaiannya, bersenang-senang dan memuaskan nafsu birahi dengan pria-pria tampan. Namun gadis ini agaknya bukan semacam wanita pengejar nafsu.

 

 "Begini, Nona. Aku akan membebaskan engkau dan suhengmu keluar dari kota ini asal engkau mau melayani aku sebagai kekasih sampai besok pagi, jadi sehari semalam."

 

 Kembali wajah Yan Hwa menjadi merah sekali. "Usul gila!" Kembali ia mengulang karena hampir dia tidak percaya akan ada orang yang berani mengajukan usul segila ini kepadanya. "Kalau sekarang aku menyerangmu, apakah engkau kira akan dapat hidup lebih lama lagi? Betapa berani engkau!"

 

 Suma Hoat tersenyum. "Aku sama sekali tidak berani memandang rendah kepadamu, Nona. Aku sudah cukup menyaksikan kelihaianmu dan belum tentu aku akan dapat bertahan kalau engkau menyerangku sekarang. Akan tetapi, hal itu sudah kuperhitungkan masak-masak. Aku boleh saja kaubunuh, akan tetapi apakah engkau dan suhengmu akan dapat meloloskan diri dari sini? Dan sepasang pedang kalian yang ampuh itu, tidak sayangkah engkau?"

 

 "Sepasang Pedang Iblis milik kami itu kaukembalikan pula kalau kami kaubebaskan?"

 

 "Tentu saja! Aku bukan seorang pencuri pedang yang hina! Aku hanyalah seorang pencuri hati, pencuri wanita-wanita cantik seperti Nona...."

 

 "Engkau laki-laki cabul!"

 

 "Aku hanyalah seorang laki-laki cabul yang berterus terang, tidak seperti semua laki-laki cabul yang menyembunyikan kecabulannya di balik kemunafikan mereka. Nona, aku tergila-gila kepadamu, akan tetapi aku tidak memaksamu. Aku seperti seekor kumbang yang tertarik akan madu manis yang terkandung dalam setangkai kembang. Engkaulah kembang itu dan aku hanya mengharapkan engkau membukakan kelopak bungamu kepadaku. Aku mengharapkan sari madu cintamu, kubeli dengan kebebasan engkau dan suhengmu. Bukankah ini sudah adil namanya?"

 

 "Kalau engkau melanggar janji?"

 

 Suma Hoat mengangkat muka, alisnya berkerut dan matanya bersinar. "Aku adalah seorang laki-laki, seorang jantan! Melanggar janji, apalagi terhadap seorang wanita cantik seperti Nona, merupakan pantangan besar bagiku!"

 

 Yan Hwa merasa terjepit, tidak ada jalan keluar yang lebih baik. Kalau dia marah-marah dan menyerang orang ini, bahkan andaikata dia berhasil membunuhnya, hal yang masih harus diragukan karena Suma Hoat ini memiliki kepandaian yang tinggi pula, apakah untungnya bagi dia dan suhengnya? Dia tentu akan dikepung, dan tanpa Li-mo-kiam di tangan, apalagi suhengnya masih ditawan, akhirnya mereka berdua hanya akan membuang nyawa sia-sia. Kalau dia menurut.... ah, pemuda itu tampan dan gagah sekali, tidak kalah oleh Ji Kun. Teringat akan Ji Kun, dia membayangkan watak Ji Kun yang kadang-kadang juga mata keranjang. Ketika mereka menawan seorang di antara gadis-gadis cantik dari kereta para siuli, bukanlah Ji Kun juga memperlihatkan kenakalannya? Apa kata suhengnya itu? Hanya kulit yang bersentuhan, namun hati dan cintanya adalah miliknya! Hemm, kalau dia melayani permainan Suma Hoat, bukankah dia pun hanya mengorbankan kulit dan daging belaka, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hatinya yang mencinta Ji Kun seorang? Apalagi kalau diingat bahwa "pengorbanannya" itu untuk menyelamatkan nyawa Ji Kun pula!

 

 "Bagaimana, Nona?" Suma Hoat mendesak.

 

 "Kalau aku menolak?"

 

 "Tidak ada lain jalan kecuali memanggil para pengawal agar engkau ditawan pula dan bersama suhengmu diseret ke depan pengadilan. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak menakut-nakutimu kalau kuberi tahu bahwa hukuman bagi mata-mata adalah penggal kepala."

 

 "Kalau sekarang aku membunuhmu?"

 

 "Sama saja, engkau dan suhengmu juga akan mati konyol. Bagiku mati di tanganmu yang halus itu merupakan mati yang terhormat dan menyenangkan. Silakan pilih, aku siap mendengar pilihanmu."

 

 Yan Hwa merasa betapa jantungnya makin berdebar. Kamar ini begini indah, perabot-perabotnya serba mewah dan mahal, tempat tidur itu kelihatan amat menyenangkan dan tentu enak dipakai tidur, dan bau harum dari pembaringan itu menyentuh hidungnya. Seperti kamar seorang puteri istana saja! Dan pemuda di depannya yang memandang dengan mata bersinar-sinar, dengan bibir tersenyum, merupakan calon teman yang menyenangkan.

 

 Dengan jantung berdebar dan suara lirih hampir tidak terdengar, Yan Hwa mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku menerima usulmu. Akan tetapi, kalau sampai engkau melanggar janji, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu dan menyayat-nyayat tubuhmu!"

 

 "Terima kasih, engkau sungguh seorang dara yang cerdik dan menyenangkan sekali! Ahh, Nona, betapa keputusanmu itu mendatangkan rasa gembira yang hebat di hatiku. Terima kasih!" Suma Hoat melompat turun, merangkul Yan Hwa dan mencium dara itu dengan kemesraan yang membuat Yan Hwa menjadi nanar. Belum pernah dia dicium orang seperti itu. Ji Kun pun belum pernah menciumnya semesra itu! Dia tidak tahu bahwa yang mendekap dan menciuminya adalah Jai-hwa-sian, seorang yang tentu saja amat ahli dalam permainan cinta!

 

 "Kebaikanmu harus dirayakan, Nona!" Suma Hoat menghampiri pintu, membuka daun pintu dan memanggil pelayan, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, dan hidangan yang mewah, masakan-masakan termahal dan terlezat bersama arak yang paling baik!

 

 Kalau tadinya Yan Hwa masih merasa berat, malu-malu, dan merasa bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan maksiat yang hina dan kotor, lambat laun perasaan itu lenyap sama sekali terganti perasaan girang dan senang yang luar biasa berkat kepandaian Suma Hoat merayunya. Kalau masih ada awan tipis menyelubunginya, segera awan itu tertiup pergi oleh hiburan paksaan berupa pendapat bahwa dia melakukan hal itu demi menyelamatkan nyawa suhengnya!

 

 Manusia adalah makhluk yang amat lemah terhadap nafsunya sendiri. Kelemahan ini ditambah lagi dengan bermacam perasaan bersalah karena larangan-larangan yang mereka ciptakan sendiri sehingga setiap perbuatan mereka adalah tidak wajar dalam usaha mereka menghindarkan diri dari pelanggaran larangan itu. Demikian pula dengan Yan Hwa. Kalau memang dia tidak bersikap palsu, maka baginya hanya tinggal memilih apa yang akan dilakukannya sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa penyesalan tanpa pura-pura dan tanpa mencari kambing hitam sebagai alasan pendorong perbuatannya. Dia seorang wanita yang lemah, mudah jatuh di bawah rayuan pria tampan seperti Suma Hoat. Akan tetapi, dia hendak menutupi kelemahannya ini dengan alasan yang dicari-cari sehingga semua perbuatannya adalah tidak wajar dan karenanya menjadi kotor.

 

 Sehari semalam kedua orang itu mandi dalam telaga asmara, tiada bosan-bosannya dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari mengusir kegelapan malam, keduanya mengakhiri permainan cinta mereka karena sudah tiba saatnya dalam perjanjian mereka untuk membebaskan Yan Hwa dan Ji Kun.

 

 Dengan hati penuh kagum dan puas, Suma Hoat mencium Yan Hwa sambil berkata,

 

 "Ah, engkau dan aku cocok sekali, Yan Hwa."

 

 Sejenak Yan Hwa membalas ciuman itu, kemudian didorongnya dada Suma Hoat sambil berkata, "Cukup, Suma Hoat. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu untuk menebus keselamatan aku dan suheng."

 

 "Ha-ha-ha, tak usah kau berpura-pura, manis. Beranikah engkau menyangkal bahwa engkaupun, seperti aku, menikmati hubungan kita yang pendek ini?"

 

 "Tak perlu kusangkal. Engkau memang seorang laki-laki yang hebat. Akan tetapi aku tidak cinta kepadamu seperti juga engkau tidak mencintaku. Aku telah mencinta orang lain."

 

 "Suhengmu sendiri?"

 

 "Bagaimana kau bisa tahu?"

 

 "Ha-ha, apa sukarnya menduga? Engkau telah rela mengorbankan diri untuk menyelamatkannya. Aku tidak menyalahkan engkau. Suhengmu seorang laki-laki yang tampan dan gagah perkasa. Kalian berdua memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat, memiliki Sepasang Pedang Iblis yang mujijat. Yan Hwa, sebelum kita berpisah dan mungkin kita tidak akan saling berjumpa kembali, mengingat akan kemesraan yang sudah sama-sama kita nikmati, maukah engkau sekarang mengaku, sebetulnya engkau dan suhengmu itu dari perguruan mana?"

 

 "Sudah kukatakan bahwa keadaan kami adalah rahasia kami. Harap kembalikan dulu pedang kami."

 

 Suma Hoat menarik napas panjang, lalu mengambil Sepasang Pedang Iblis dari balik jubahnya yang digantung di sudut. "Kaulihat, hanya kutaruh di sini, tidak kusembunyikan, untuk membuktikan betapa aku telah percaya penuh kepadamu."

 

 Yan Hwa menerima sepasang pedang itu, mengikat sarung Li-mo-kiam di pinggang sedangkan Lam-mo-kiam ia gantungkan di punggung. Ia memandang Suma Hoat dan berkata dengan senyum, "Baiklah, Suma Hoat. Di antara kita sebetulnya masih ada hubungan, biarpun hubungan di antara kita penuh dendam permusuhan. Kulihat engkau, biarpun.... mata keranjang dan tukang perayu wanita, tidak jahat seperti ayahmu. Aku dan suheng adalah murid mendiang subo kami, Mutiara Hitam."

 

 Wajah Suma Kiat menjadi pucat. "Apa....? Murid Bibi.... Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam.... dan engkau sudah tahu bahwa aku masih keponakannya?"

 

 Yan Hwa mengangguk. "Ayahmu, Jenderal Suma Kiat amat jahat dan curang. Dia mengakibatkan kematian Supek Kam Liong, dan muridnya, dan agaknya semenjak dahulu, antara keturunan Suma dan keturunan Kam selalu timbul permusuhan karena kejahatan keluarga Suma. Akan tetapi, kulihat engkau tidak jahat hanya.... mata keranjang!"

 

 Suma Hoat tersenyum kecut. "Tidak perlu kau ulangi lagi, Yan Hwa. Aku tidak akan menyangkal akan sifatku yang suka merayu dan bermain cinta dengan wanita cantik. Untuk itulah maka aku dijuluki Jai-hwa-sian."

 

 "Engkau Jai-hwa-sian? Hemm, pantas! Sudahlah, mari antar aku kepada Suheng dan biarkan kami pergi. Mudah-mudahan saja jalan hidup antara kita akan bersimpangan karena aku tidak ingin merusak kenangan manis kemarin dan malam tadi dengan bentrokan karena sekali kita saling bentrok, aku takkan suka mengampunimu, Suma Hoat."

 

 Suma Hoat mengangguk lalu mengajak Yan Hwa mengambil jalan rahasia menuju ke tempat tahanan di bawah tanah. "Kau tunggu di sini. Kalau terjadi keributan dan teriakan kebakaran sehingga semua penjaga lari meninggalkan pintu di sana itu, barulah kau masuk, bebaskan suhengmu dan lari, melalui jalan ini." Suma Hoat menerangkan jalan rahasia keluar dari tempat itu. Setelah Yan Hwa mengerti betul, dia lalu merangkul Yan Hwa, mencium bibirnya dan berbisik, "Selamat berpisah, Yan Hwa, aku tidak cinta padamu akan tetapi aku takkan pernah dapat melupakanmu. Kau bersembunyi di sini dan tunggu sampai ada teriakan kebakaran."

 

 Yan Hwa mengangguk dan melihat bayangan pemuda itu berkelebat lenyap. Tak lama kemudian, benar saja seperti yang dipesankan Suma Hoat, tampak sinar api dan asap membubung tinggi dan terdengar teriakan-teriakan,

 

 "Kebakaran....! Kebakaran....! Tolong.... padamkan api....!"

 

 Ributlah keadaan di situ dan setelah Yan Hwa melihat para penjaga yang tadinya berkumpul di pintu, berlari-lari membawa ember dan lain-lain alat pemadam kebakaran, dia cepat menyelinap memasuki pintu dan menuruni anak tangga ke bawah. Dilihatnya Ji Kun meringkuk rebah miring di atas bangku di dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. Pintu dan jendelanya kuat sekali, akan tetapi beberapa kali bacokan dengan pedang Li-mo-kiam, Yan Hwa sudah berhasil membuka pintu.

 

 "Sumoi....! Bagaimana kau bisa bebas....?"

 

 "Sstt, bukan waktunya bicara." Yan Hwa menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan Ji Kun, kemudian ia menyerahkan Lam-mo-kiam kepada suhengnya dan menarik tangannya, mengajak keluar dari tempat itu.

 

 "Bagus, agaknya engkau telah memancing mereka dengan kebakaran, Sumoi! Mari kita amuk dan binasakan mereka sebelum pergi dari sini!" Ji Kun berkata setelah mereka keluar dari tempat tahanan di bawah tanah dan dia menyaksikan api yang berkobar tinggi dan orang-orang yang sibuk memadamkan api.

 

 "Hushhh, jangan, Suheng. Setelah susah payah aku berhasil membebaskan kita berdua, apakah akan kaurusak dengan memasuki bahaya tertawan lagi? Hayo kita pergi, ikut dengan aku!"

 

 Dengan mengikuti petunjuk yang diterimanya dari Suma Hoat, akhirnya Yan Hwa berhasil membawa suhengnya keluar dari istana dan tembok kota Siang-tan, kemudian melarikan diri secepatnya di dalam cuaca remang-remang karena pagi telah tiba. Baru setelah lewat tengah hari dan mereka sudah jauh sekali di sebelah utara kota Siang-tan dan napas mereka mulai memburu, tubuh penuh keringat, kedua orang ini berhenti mengaso di sebuah hutan kecil. Bahkan Yan Hwa yang amat lelah dan semalam suntuk berenang dalam lautan cinta bersama Suma Hoat sehingga tubuhnya terasa lemas, segera tertidur pulas di bawah pohon, dihembus angin semilir sejuk. Ji Kun memandang sumoinya yang tidur nyenyak dan diam-diam ia merasa terheran-heran melihat wajah sumoinya mangar-mangar, bibirnya tersenyum dalam tidurnya. Sumoinya kelihatan seperti orang yang bergembira, penuh kepuasan, sama sekali bukan seperti orang yang habis tertawan. Dan bagaimanakah sumoinya dapat menolongnya sedang pihak musuh demikian banyak dan lihai? Bagaimana pula dapat merampas kembali Lam-mo-kiam? Apa yang terjadi dengan Maya dan kedua orang perwira pembantunya? Dia tadi tidak sempat bicara karena mereka harus melarikan diri secepatnya dan begitu mereka berhenti mengaso, Yang Hwa sudah merebahkan diri dan tidur nyenyak!

 

 ***

 

 Kita meninggalkan dulu Yan Hwa yang tidur pulas dan suhengnya yang memandang dengan heran dan menduga-duga, karena pada hari itu juga, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelundup ke kota Siang-tan. Karena sudah lama kita meninggalkan Siauw Bwee, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya.

 

 Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar wanita yang sakti ini berhasil keluar dari kota Sian-yang berkat bantuan Suma Hoat dan kemudian setelah keluar dari kota itu, dia bertemu kembali dengan pemuda ini yang ternyata adalah sute dari Coa Leng Bu. Diceritakan pula betapa Suma Hoat tergila-gila kepadanya dan secara terus terang menyatakan cintanya yang tentu saja ditolak oleh Siauw Bwee. Betapapun juga Siauw Bwee tidak mengganggu pemuda itu biarpun kenyataan bahwa pemuda itu putera tunggal musuh besarnya, Suma Kiat, membuat dia semestinya membenci Suma Hoat. Namun sikap pemuda itu malah menimbulkan perasaan iba di hatinya.

 

 Setelah Suma Hoat pergi yang membuat heran hati Coa Leng Bu karena kakek ini tidak mengetahui sebab-sebabnya, juga tidak berani bertanya kepada Siauw Bwee, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke kota Siang-tan. Siauw Bwee ingin sekali bertemu dengan suhengnya, ingin menyelidiki sikap suhengnya yang aneh, yang menurut dugaan supeknya itu tentu menjadi korban racun perampas semangat.

 

 Tentu saja memasuki kota Siang-tan yang masih diduduki oleh pasukan Sung, lebih mudah bagi mereka, orang-orang Han, daripada memasuki kota Sian-yang yang telah dikuasai bala tentara Mancu. Bersama rombongan pengungsi, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki pintu gerbang kota. Akan tetapi, pada pagi hari itu, penjagaan di pintu gerbang kota Siang-tan tidaklah seperti biasa. Biarpun para pengungsi itu adalah suku bangsa sendiri, namun setiap orang pengungsi harus digeledah dan setiap buah senjata yang ada pada mereka dirampas. Hal ini adalah akibat kekacauan yang terjadi kemarin, di mana para pengungsi mengamuk dan lima orang mata-mata diketahui dan dikejar-kejar.

 

 Ketika tiba giliran Siauw Bwee digeledah, hampir saja terjadi keributan. Melihat dua orang penjaga yang menyeringai dan memandangnya dengan muka kurang ajar, hati Siauw Bwee menjadi panas sekali. Para pengungsi lain, cukup digeledah barang-barang bawaan mereka dan diharuskan menyerahkan senjata yang menempel di tubuh, akan tetapi melihat Siauw Bwee yang cantik jelita, dua orang petugas itu timbul gairahnya dan keceriwisannya.

 

 "Aha, Nona harus digeledah. Silakan masuk ke pondok penjaga, harus kami geledah kalau-kalau Nona menyembunyikan senjata atau surat-surat penting di dalam pakaian Nona. Kami takkan bersikap kasar terhadap Nona yang cantik jelita."

 

 Hampir saja Siauw Bwee melayangkan tangannya menampar petugas itu, akan tetapi Coa Leng Bu cepat menyentuh lengannya. Kakek ini menjura kepada dua orang petugas itu. "Harap Ji-wi suka memaafkan kami. Keponakanku ini tidak membawa senjata lain kecuali pedangnya. Pedang sudah kami berikan, mengapa harus digeledah pakaiannya lagi sedangkan para pengungsi lainnya tidak?"

 

 "Hemm, engkau tak tahu, orang tua! Di antara mata-mata yang dikejar semalam, terdapat beberapa orang gadis muda yang cantik. Dalam keadaan perang seperti ini, gadis-gadis cantik, pengemis-pengemis tua, orang-orang yang kelihatan lemah dan biasa malah mencurigakan, karena para mata-mata selalu menyamar sebagai orang-orang lemah."

 

 "Alasan dicari-cari! Kalau aku mata-mata, masa akan masuk kota begini saja? Katakan saja kalian kurang ajar agar aku mendapat alasan untuk menghajar kalian!" Siauw Bwee membentak dan telapak tangannya sudah terasa hendak "mencium" muka dua orang penjaga yang menyebalkan hatinya itu.

 

 "Ssstt, sabarlah, Lihiap," kata Coa Leng Bu yang segera berkata kepada dua orang yang kelihatan marah oleh kata-kata Siauw Bwee tadi. "Harap Ji-wi tidak mengganggu. Ketahuilah bahwa aku adalah suheng dari Suma Hoat, putera Jenderal Suma Kiat. Kalau sampai terjadi keributan antara kita dan terdengar oleh Suma-goanswe, akan membuat hati tidak enak saja."

 

 Mendengar ini, pucatlah wajah kedua orang penjaga itu. Mereka membungkuk-bungkuk, meminta maaf dan mempersilakan mereka memasuki kota tanpa banyak cakap lagi.

 

 "Huh, menyebalkan sekali anjing-anjing penjilat itu!" Siauw Bwee mengomel.

 

 "Kita harus dapat memaafkan mereka, Lihiap. Mereka hanyalah petugas-petugas yang menjalankan kewajibannya."

 

 "Supek, perlu apa membela orang-orang macam itu? Kalau memang para petugas menjalankan kewajibannya dengan baik dan teliti, siapa yang akan membantah dan mencela? Aku malah akan menghargainya dan kagum. Ayah pernah bilang bahwa seorang petugas harus memiliki kesetiaan kepada tugasnya. Akan tetapi mereka itu? Hemm...., mereka hanya melakukan tugas dengan keras penuh tekanan kepada mereka yang lemah dan miskin. Mereka yang mampu memberi uang sogokan tidak digeledah, dan wanita-wanita muda yang sudi bersikap manis kepada mereka tentu akan terbebas pula dari penggeledahan. Engkau tadi baru menggunakan nama besar Jenderal Suma saja sudah membuat mereka mundur dan melipat buntut seperti anjing-anjing penjilat ketakutan. Menyebalkan." Siauw Bwee memang marah sekali karena nama musuh besarnya, Suma Kiat, terpaksa dipergunakan oleh supeknya untuk menghindarkan keributan.

 

 "Lihiap, engkau adalah seorang yang biarpun masih amat muda, telah berhasil memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Namun, tetap saja engkau masih muda dan perlu mempelajari soal hidup dan lebih mengenal diri sendiri agar kesadaran menuntunmu dan membuat pandang matamu waspada terhadap segala yang terjadi di sekelilingmu. Belajarlah untuk berani menghadapi kenyataan yang bagaimanapun juga, Lihiap. Menghadapi kenyataan tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Tanpa ingatan akan masa lalu dan renungan akan masa depan maka engkau akan dapat melihat kenyataan itu seperti apa adanya, membuat engkau akan tetap tenang biarpun menghadapi apapun juga. Dalam keadaan tenang sewajarnya inilah maka segala tindakanmu akan dapat kaupergunakan dengan tepat, dan engkau tidak akan terseret oleh kemarahan dan penasaran, penyesalan maupun harapan, karena ketenangan yang timbul dari kewaspadaan ini akan dapat membuat engkau bisa menyesuaikan diri dengan segala keadaan."

 

 Siauw Bwee menjadi termenung. Pantas supeknya ini selalu tenang, kiranya memiliki dasar kesadaran yang amat mendalam. Dia menjadi malu kepada diri sendiri yang mudah dibangkitkan rasa penasaran dan kemarahannya yang sesungguhnya hanya berdasarkan untung rugi bagi diri pribadinya saja.

 

 "Maafkan kemarahanku tadi, Supek. Pikiranku sedang gelisah memikirkan Suheng, sehingga aku mudah tersinggung. Aku akan langsung mencari di mana gedung tempat tinggal Bu-koksu, karena Suheng tentu berada di sana pula."

 

 "Berbahaya sekali kalau langsung pergi ke sana, Lihiap."

 

 "Supek, aku tidak takut. Kurasa, aku akan sanggup menghadapi semua pengawal Bu-koksu...."

 

 "Apakah engkau akan mampu pula menandingi Kam-taihiap, suhengmu itu?"

 

 "Ahhh.... kalau dia.... tentu saja aku takkan mampu, dia adalah suhengku dan juga guruku, karena dialah yang membimbingku dahulu."

 

 "Nah, kalau begitu, harap jangan tergesa-gesa dan sembrono. Bukankah suhengmu itu telah hilang ingatan dan tidak mengenalmu lagi? Kalau kau menyerbu ke sana, tentu dia akan membela Bu-koksu dan mau tidak mau engkau akan berhadapan dengan dia."

 

 Siauw Bwee terkejut dan menjadi bingung, lalu menghela napas. "Aihhh, benar juga, habis bagaimana baiknya, Supek?"

 

 "Kita harus bersabar, dan sebaiknya kita mencari rumah penginapan lebih dulu, kemudian baru kita menyelidiki dengan diam-diam. Jalan terbaik adalah mencari kesempatan untuk dapat berjumpa berdua dengan suhengmu itu dan membujuknya untuk suka kuobati. Atau, kalau sekiranya sukar mencari kesempatan ini, aku dapat meminta bantuan Sute. Kurasa, Suma-sute juga berada di kota ini."

 

 Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia harus minta bantuan Suma Hoat, pemuda putera musuh besarnya, juga pemuda yang ia tolak cintanya itu.

 

 "Coa-supek, terima kasih atas nasihatmu yang amat berharga. Memang sebaiknya begitulah dan kuminta bantuan Supek agar Supek mempersiapkan obat-obat untuk menyembuhkan suhengku. Sebaiknya Supek mempersiapkan tempat dan obat lebih dulu, aku akan menyusul setelah aku berhasil membujuk Suheng."

 

 "Soal tempat, aku sudah memilih untuk keperluan itu. Hutan yang kita lewati kemarin, hutan yang penuh pohon pek itu merupakan tempat yang amat baik, apalagi aku melihat banyak tetumbuhan obat di sekitarnya. Kalau kita berhasil membujuk suhengmu, sebaiknya kita ajak dia ke sana, kita bersembunyi di bagian yang sunyi dalam hutan itu dan aku akan berusaha mengobatinya."

 

 "Bukan kita, Supek, melainkan aku sendiri. Aku sendiri yang akan mencari dan membujuknya. Harap Supek mempersiapkan tempat dan mencari obat-obatnya. Pekerjaan ini amat berat, dan kalau Supek ikut, aku khawatir kalau dia akan curiga dan tidak mau memenuhi permintaanku."

 

 Coa Leng Bu mengangguk-angguk. "Engkau benar, Lihiap. Di sini banyak terdapat orang lihai, dan dengan kepandaianku yang masih rendah, aku hanya akan menjadi penghalang saja. Baiklah, kita berpisah di sini, aku akan menuju ke hutan itu dan mempersiapkan obat-obatnya yang harus kucari lebih dulu. Kau berhati-hatilah dan semoga kau berhasil membujuknya pergi ke sana."

 

 "Aku sama sekali bukan bermaksud merendahkan kepandaianmu, Supek...."

 

 "Tidak, memang kenyataannya demikian. Aku tidak menyesal, dan selamat tingga1, Lihiap, semoga semua berjalan baik." Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan Siauw Bwee kembali ke pintu gerbang dan keluar dari kota Siang-tan.

 

 Siauw Bwee menarik napas panjang. Ia merasa menyesal terpaksa harus mengeluarkan kata-kata menyinggung hati supeknya yang baik itu, sungguhpun ia yakin bahwa supeknya yang bijaksana tidak merasa tersinggung dan dapat melihat kenyataan bahwa kalau supeknya ikut bersama dia mencari suhengnya, keadaan tidak akan menguntungkan mereka. Maka dia pun melanjutkan perjalanannya memasuki kota besar Siang-tan, mencari-cari rumah penginapan.

 

 Rumah penginapan Sin-lok adalah sebuah rumah penginapan yang cukup besar, bahkan mempunyai rumah makan sendiri di sampingnya. Melihat rumah penginapan ini, Siauw Bwee menghampiri pintu dan bermaksud hendak menyewa kamar di situ. Akan tetapi, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika ada suara orang berseru,

 

 "Heii, Nona! Tunggu dulu!"

 

 Ia menoleh dan kiranya yang menegurnya adalah seorang perwira pengawal yang memimpin pasukan pengawal sebanyak dua belas orang, agaknya mereka ini bertugas meronda di kota yang sudah bersiap-siap menghadapi penyerbuan musuh dan yang kini melakukan penjagaan dan perondaan ketat setelah kemarin terjadi keributan yang ditimbulkan oleh Maya dan para pembantunya, terutama sekali pemberontakan beberapa orang pengemis yang berhasil dihasut oleh Kwa-huciang.

 

 "Mau apa engkau menahan aku?" Siauw Bwee sudah bangkit lagi kemarahannya melihat perwira itu dan semua anak buahnya memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum.

 

 Perwira itu meraba gagang pedangnya dan berkata, "Harap Nona tidak melawan. Aku menangkap Nona dan harap suka ikut ke kantor untuk diperiksa."

 

 "Apa salahku? Mengapa aku ditangkap dan diperiksa, untuk apa?" Siauw Bwee membentak, tidak mempedulikan wajah beberapa orang yang sudah datang untuk menonton dan kini mereka memandang kepada Siauw Bwee dengan muka khawatir menyaksikan sikap gadis itu yang galak dan berani melawan pasukan pengawal.

 

 "Kalau aku tidak salah lihat, aku pernah melihat Nona di Sian-yang. Kalau benar dugaanku, Nona adalah seorang mata-mata, kalau aku salah lihat, setelah diperiksa oleh komandan kami, Nona tentu akan dibebaskan, disertai maaf kami."

 

 "Gila! Aku tidak mau ditangkap, tidak mau diperiksa. Aku seorang pengungsi, apakah kalian ini bisanya hanya mengganggu wanita saja, sedangkan kalau musuh datang kalian lari terbirit-birit? Memalukan sekali!"

 

 Muka Si Perwira menjadi merah. "Nona, kalau engkau melawan, hal itu hanya menunjukkan bahwa Nona adalah seorang musuh. Kami hanya melakukan tugas, mengapa Nona hendak menggunakan kekerasan?"

 

 "Siapa yang menggunakan kekerasan? Siapa yang memulai dengan pertentangan ini? Aku tidak ada urusan dengan kalian, sudahlah, jangan mengganggu!" Siauw Bwee melangkah hendak pergi, memasuki pintu rumah penginapan, akan tetapi perwira itu sudah menghadang dan kini sudah menghunus pedangnya.

 

 "Berhenti! Sikap Nona makin mencurigakan dan kami terpaksa menangkap Nona. Kalau Nona menyerah dengan baik-baik, kami akan mengiringkan Nona ke kantor. Kalau Nona melawan, terpaksa kami menggunakan kekerasan!"

 

 Siauw Bwee makin naik darah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan ia menghardik, "Aku tidak mau ditangkap, hendak kulihat kalian akan bisa berbuat apa?"

 

 "Tangkap dia!" Perwira itu mengeluarkan aba-aba.

 

 Bagaikan kucing-kucing kelaparan memperebutkan seekor tikus, empat orang perajurit pengawal sudah menubruk maju, penuh gairah untuk meringkus tubuh yang padat menggairahkan itu.

 

 "Plak-plak-plak-plak!" Empat kali tangan Siauw Bwee menampar dan empat tubuh terlempar dan roboh terjengkang seperti disambar petir!

 

 "Ahh, ternyata dugaanku benar! Engkau bukan perempuan sembarangan, engkau adalah mata-mata yang mengacau di Sian-yang itu!" Perwira muda itu mencabut pedangnya dan menerjang maju. Akan tetapi, dengan gerakan kaki yang luar biasa, kaki kiri Siauw Bwee menendang, tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang terlempar ke atas, kemudian disusul kaki kanan menendang lutut, membuat perwira itu roboh terguling. Pedang yang meluncur turun itu disambut oleh tangan Siauw Bwee yang membentak marah,

 

 "Kau main pedang, ya? Nah, makan pedangmu sendiri!"

 

 Gadis yang marah itu sudah menggerakkan pedang, bukan untuk membunuh hanya untuk sekedar melukai memberi hajaran, akan tetapi tiba-tiba sebutir kacang goreng melayang dan tepat menotok pergelangan tangannya yang memegang pedang. Siauw Bwee terkejut bukan main karena totokan sebutir kacang goreng itu membuat seluruh lengan kanannya tergetar dan lumpuh sehingga pedang rampasannya terlepas dari pegangan! Betapa lihainya pelempar "senjata rahasia" itu! Dia dapat mengerahkan sin-kangnya sehingga lengannya pulih kembali dan cepat memandang ke atas dari mana serangan tadi datang. Ia melihat seorang laki-laki duduk dengan tenang di atas loteng depan rumah makan sambil minum arak dan makan kacang goreng, sama sekali tidak memandang ke bawah seolah-olah tidak mengacuhkannya. Akan tetapi begitu melihat laki-laki itu jantung Siauw Bwee berdebar keras. Orang yang dicari-carinya, Kam Han Ki, kiranya orang yang melemparnya dengan kacang goreng. Pantas saja lemparannya demikian tepat menotok jalan darah di pergelangan tangannya dan membuat pedangnya terlepas!

 

 "Suheng....!" Ia menjerit penuh kegirangan dan tubuhnya sudah melompat ke atas loteng itu, dipandang oleh para pengawal dan penduduk yang menonton dengan mata terbelalak kagum. Gerakan Siauw Bwee memang amat mengejutkan. Lompatannya itu seperti seekor burung terbang ke atas, demikian indah dan cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, hanya merupakan bayangan berkelebat saja.

 

 "Suheng....!" Kembali Siauw Bwee berkata setelah dia berdiri di depan pemuda itu yang memandangnya dengan mata tak acuh dan masih melanjutkan minum araknya. Melihat sinar mata suhengnya ini, Siauw Bwee merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang. Sinar mata suhengnya membayangkan bahwa dia tidak mengenalnya sama sekali, seperti pandang mata seorang asing, namun pandang mata itu mengandung teguran dan penyesalan.

 

 "Suheng, ini aku, Siauw Bwee sumoimu!" Suara Siauw Bwee mengandung isak, hampir saja dia menangis karena tidak kuat menahan kedukaan hatinya.

 

 Kam Han Ki, pemuda itu, menurunkan guci araknya, memandang Siauw Bwee penuh perhatian dan sepasang alisnya berkerut, penuh teguran. Suaranya halus namun penuh dengan penyesalan ketika ia berkata,

 

 "Nona, aku sama sekali tidak mengerti akan sikapmu yang aneh, dan mengapa engkau selalu menyebut suheng kepadaku. Aku tidak dapat menduga apakah sebabnya engkau bersandiwara seperti itu, ataukah memang engkau salah mengenal orang. Kalau hendak mengatakan engkau gila, tidak mungkin. Akan tetapi, yang amat kusayangkan adalah bahwa berkali-kali engkau mengacau, dahulu di Sian-yang, dan sekarang kembali engkau mengacau di sini. Kepandaianmu amat tinggi, jarang aku bertemu dengan orang yang setinggi tingkat kepandaianmu. Akan tetapi sungguh sayang andaikata engkau pergunakan kepandaianmu untuk mengkhianati negara."

 

 "Kam-suheng! Aku tidak mengkhianati siapa-siapa, aku.... aku...." Siauw Bwee tak dapat melanjutkan kata-katanya saking sedih hatinya melihat keadaan suhengnya yang benar-benar sama sekali tidak mengenalnya.

 

 "Hemm, engkau selalu membikin kacau dan kalau tadi tidak kucegah, bukankah engkau sudah melukai seorang perwira pengawal?"

 

 "Kam-suheng, aku sengaja mencarimu! Engkau.... engkau telah kehilangan ingatan sehingga engkau tidak ingat lagi kepadaku, sumoimu yang.... yang setengah mati mencarimu. Aihh, Suheng.... ingatlah, aku Siauw Bwee.... Suheng, benar-benarkah engkau lupa kepadaku?"

 

 Han Ki memandang dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu menghela napas. "Sayang.... sungguh sayang.... Engkau seorang dara remaja yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Sayang kalau sampai pikiranmu tidak normal. Aku belum pernah bertemu denganmu, kecuali ketika engkau mengacau dan menyerang Koksu di Sian-yang. Sungguhpun suaramu.... ahh, tentu hanya dalam mimpi saja aku pernah mendengar suaramu. Nona, kau pergilah dari kota ini, jangan mengacau lagi."

 

 Siauw Bwee maklum bahwa akan percuma saja dia mengingatkan suhengnya ini yang sudah hilang ingatannya. Dia seorang gadis cerdik, maka dia segera bertanya,

 

 "Kalau kauanggap aku sebagai seorang pengkhianat dan pengacau, mengapa engkau tidak menangkap saja aku agar aku dihukum mati, atau tidak kaubunuh saja aku? Betapapun lihaiku, aku tidak akan dapat menang melawanmu. Mengapa?" Bertanya demikian, sepasang matanya menatap tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati Han Ki.

 

 "Aku tidak akan tega mencelakakan engkau, Nona. Aku tidak suka membikin susah orang lain, apalagi engkau!"

 

 "Mengapa aku diistimewakan?"

 

 Han Ki bukanlah seorang yang pandai bicara, maka dia merasa terdesak di sudut, setelah memandang gadis itu dengan pandang mata bingung, dia menarik napas panjang dan menjawab,

 

 "Entah mengapa.... aku.... aku kasihan kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik, amat lihai, sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau pura-pura mengenalku sebagai suhengmu. Sudahlah, mari kau kuantar keluar dari kota agar engkau dapat pergi dengan aman." Ia menjenguk ke bawah dan melihat pasukan-pasukan pengawal datang mengurung tempat itu, ia menggerakkan tangan berkata,

 

 "Pergilah kalian semua! Biarkan aku sendiri yang mengurus Nona ini!"

 

 Siauw Bwee juga menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa para perwira komandan pasukan memandang Han Ki dengan heran, akan tetapi mereka tidak berani membantah dan pergilah para pasukan pengawal itu.

 

 Harus membujuknya di tempat sunyi, pikir Siauw Bwee, agar tidak terganggu orang lain. "Baiklah, mari kauantar aku keluar kota." Akhirnya dia berkata.

 

 "Baik, aku akan mengantarmu ke luar kota dan setelah itu engkau harus pergi dan berjanji padaku tidak akan mengacau di kota lagi karena aku akan merasa menyesal sekali kalau aku terpaksa harus melawanmu sebagai musuh." Pemuda itu lalu memanggil pelayan, membayar makan minumnya lalu meloncat turun dari loteng diikuti oleh Siauw Bwee yang menjadi girang sekali.

 

 Dengan diantar oleh Kam Han Ki, pengawal kepercayaan Bu-koksu, tidak ada seorang pun berani mengganggu Siauw Bwee dan dengan tenang Siauw Bwee berjalan di samping suhengnya keluar dari pintu gerbang utara. Bukan main girangnya hati Siauw Bwee dapat berjalan bersama suhengnya yang diam saja, dan melihat betapa para penjaga memberi hormat kepada Han Ki, hatinya terasa perih dan berduka. Biarpun dia berjalan di samping suhengnya, namun Kam Han Ki pada saat itu bukanlah suhengnya, melainkan pengawal nomor satu dari koksu negara.

 

 Akan tetapi baru saja mereka keluar dari pintu gerbang, terdengar suara kaki kuda berderap dan sepasukan pengawal melakukan pengejaran dari belakang. Dari jauh terdengar suara yang amat berpengaruh dan melengking nyaring tanda bahwa yang mengeluarkan suara menggunakan khi-kang yang amat kuat.

 

 "Kam-siauwte, berhenti dulu!"

 

 Han Ki rrenghentikan langkahnya, lalu berkata kepada Siauw Bwee. "Nona, itu Koksu bersama para pengawalnya datang. Lebih baik kau lekas lari pergi, biarlah aku yang akan membujuknya agar melepaskan engkau dan tidak melakukan pengejaran sehingga tidak terjadi bentrokan antara engkau dan pihak kami."

 

 Siauw Bwee maklum bahwa dalam keadaan kehilangan ingatan ini, Han Ki telah menjadi pengawal yang setia dari Bu-koksu, dan apabila dia menggunakan kepandaiannya melawan Koksu, kesetiaan di hati Han Ki tentu akan memaksa pemuda itu memihak Koksu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa betapapun suhengnya kehilangan ingatan, namun sifatnya sebagai pendekar masih tidak lenyap sehingga suhengnya itu tentu tidak akan membiarkan dia yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak dikenalnya, celaka di tangan Koksu. Kalau dia lari pergi begitu saja, lenyaplah kesempatan baik untuk mernbujuk suhengnya supaya ikut bersamanya.

 

 "Tidak, Suheng. Aku tidak mau pergi, aku hanya pergi kalau engkau suka ikut pergi bersamaku."

 

 "Ehhh? Pergi bersamamu?" Han Ki mengerutkan alisnya, memandang heran. "Ke mana?"

 

 "Menemui supekku, seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Aku akan membawamu ke sana agar engkau diobati karena engkau menderita sakit hebat, Suheng."

 

 "Ihhh, gila! Siapa yang sakit? Andaikata aku sakit, mengapa engkau hendak bersusah payah benar mengobati aku yang belum kaukenal? Mengapa, Nona?"

 

 Pasukan itu sudah makin dekat dan cepat Siauw Bwee memegang lengan Han Ki sambil berkata, "Karena aku cinta kepadamu!"

 

 Berubah wajah Han Ki dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia memandang wajah Siauw Bwee seperti orang bingung, akan tetapi sinar matanya berseri seolah-olah dia merasa girang sekali, akan tetapi kembali wajahnya berubah dan alisnya berkerut.

 

 "Engkau main-main, Nona. Ataukah jalan pikiranmu tidak beres? Pergilah dan hindarkan keributan."

 

 Siauw Bwee menggeleng kepala. "Biar sampai mati terbunuh di sini sekalipun, aku tidak akan mau pergi kalau tidak bersamamu!"

 

 "Engkau gadis yang aneh sekali!"

 

 Pada saat itu, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Bu Kok Tai sendiri telah tiba di situ. Pasukan itu terdiri dari dua puluh empat orang pengawal pilihan, dan di samping Bu Kok Tai terdapat pula perwira-perwira pembantu Koksu yang berkepandaian tinggi, di antaranya Ang Hok Ci atau Ang-siucai, Pat-jiu Sin-kauw yang lihai, Thian Ek Cinjin dan beberapa orang perwira tinggi yang lihai lagi.

 

 "Kam-siauwte, apa yang telah terjadi? Aku mendengar bahwa engkau membantu wanita pengacau ini maka aku cepat menyusul. Apa yang telah kaulakukan ini, Siauwte?"

 

 "Aku hanya tidak ingin melihat dia mengacau lagi, Bu-loheng. Maka aku membujuknya untuk keluar kota dan jangan menimbulkan keributan lagi. Dia bukan orang jahat, harap kau suka memaafkannya dan membiarkan dia pergi. Nona, harap kau suka pergi, aku percaya bahwa Koksu cukup bijaksana untuk memaafkan engkau seorang gadis muda. Pergilah!" Han Ki membujuk.

 

 "Tidak!" Siauw Bwee membantah. "Suheng, tidak tahukah engkau bahwa engkau telah terkena racun perampas pikiran? Mereka ini adalah musuh-musuhmu, musuh-musuh kita! Suheng, mari kita gempur mereka!"

 

 Mendengar ini, Bu-koksu tertawa bergelak untuk menutupi kekagetannya mendengar tuduhan yang tepat itu. "Gadis sombong engkau! Ha-ha-ha, yang kaubela ini adalah seorang gadis gila, atau seorang mata-mata musuh yang sengaja hendak main gila dan mempengaruhimu." Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya dan memerintahkan, "Bekuk dia, kalau dia melawan, bunuh saja!"

 

 Thian Ek Cinjin, Pat-jiu Sin-kauw, Ang-siucai dan yang lain-lain telah maklum akan kelihaian Siauw Bwee, maka serentak mereka turun tangan menerjang gadis yang bertangan kosong itu. Juga dua puluh empat orang pengawal sudah menerjang dan mengurung dengan senjata di tangan.

 

 Menghadapi serbuan ini, Siauw Bwee cepat menggerakkan kaki tangannya, dan dalam beberapa gebrakan saja, ilmu gerak kilat kaki tangannya berhasil membuat empat orang pengawal terjungkal sedangkan para perwira yang berkepandaian tinggi cepat melompat mundur memutar senjata. Mereka gentar menghadapi Siauw Bwee yang amat cepat gerakan kaki tangannya itu sehingga tidak tampak oleh mereka bagaimana caranya gadis itu merobohkan empat orang tadi.

 

 "Nona, jangan....! Pergilah....!" Han Ki berseru bingung. Dia masih berdebar mendengar pengakuan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya, dan kini dia menjadi serba salah.

 

 "Ha-ha-ha, Kam-siauwte. Dia adalah mata-mata musuh yang mengaku sebagai sumoimu, sengaja dia mengacau dan coba kauperhatikan, betapa dia telah berhasil mencuri ilmu silatmu!"

 

 Sambil berkata demikian, kini Bu-koksu sendiri meloncat turun dari kudanya dan ikut menerjang Siauw Bwee dengan senjatanya yang menyeramkan. Senjata Koksu ini sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, yaitu sebatang golok besar yang berat sekali dan punggung golok itu dipasangi gelang-gelang perak yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau senjata itu dimainkan.

 

 "Cring-cring.... sing....!" Golok itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar ke arah Siauw Bwee.

 

 Gadis ini terkejut. Lawannya bukanlah orang sembarangan, dan kalau dia mengeluarkan ilmu dari Pulau Es, tentu akan menambah kecurigaan Han Ki. Maka dia menahan diri dan cepat menggeser kaki, mainkan gerak kaki kilat yang memungkinkan dia untuk mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali. Untuk membalas, dia mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang yang setingkat lebih rendah kekuatannya kalau dibandingkan dengan Im-kang dan Yang-kang yang ia latih di Pulau Es, namun yang mengandung kemujijatan karena tenaga itu dikumpul dari sari hawa bulan dan matahari.

 

 Han Ki berdiri bengong dan kagum. Hawa udara di sekitar tempat pertandingan itu tiba-tiba berubah panas sekali, kemudian menjadi dingin, berganti-ganti dan kembali ada tiga orang pengawal roboh, bahkan Thian Ek Cinjin yang lihai itu terhuyung ke belakang, terpental oleh dorongan hawa dingin sejuk dari tangan kiri gadis itu.

 

 "Kam-siauwte, bantu aku menangkap gadis ini!" Bu-koksu berteriak dan dia cepat menerjang makin hebat. Tingkat kepandaian Bu-koksu sudah amat tinggi, dan kalau saja Siauw Bwee tidak mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu kepandaian semenjak dia meninggalkan Pulau Es, agaknya Koksu itu merupakan tandingan yang terlalu berat baginya. Namun, kini Siauw Bwee bukanlah seperti Siauw Bwee dahulu sebelum melakukan perantauan dan mengalami banyak hal yang hebat. Dengan gerak kaki tangan kilat, dia masih mampu mempertahankan diri, meloncat ke sana ke mari dan ketika golok besar Bu-koksu menyambar lehernya, tubuhnya merendah dan menyelinap ke kiri, kakinya menendang ke depan mengenai lutut Ang-siucai sehingga murid dan orang kepercayaan Bu-koksu itu roboh dengan tulang kaki terlepas dari sambungannya. Dalam detik berikutnya, tangan kiri Siauw Bwee sudah mendorong ke kiri, membuat Pat-jiu Sin-kauw hampir terguling kalau tidak cepat memasang kuda-kudanya yang hebat sambil mengerahkan Thai-lek-kang. Dengan marah, Pat-jiu Sin-kauw lalu melancarkan pukulan Thai-lek-kang dan mainkan Soan-hong Sin-ciang mendesak Siauw Bwee.

 

 Kini Siauw Bwee terkurung oleh Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang ketiganya berusaha merobohkannya dengan serangan-serangan maut, sedangkan di belakangnya, para perwira tinggi lainnya siap untuk menghujankan senjatanya.

 

 Kalau aku mengamuk, mungkin dapat merobohkan mereka, akan tetapi tentu aku akan kehilangan Suheng, sebaiknya aku menggunakan akal untuk menarik bantuannya, pikir Siauw Bwee yang cerdik. Ketika itu, golok Bu-koksu yang merupakan serangan paling berbahaya bagi Siauw Bwee, membabat ke arah pinggangnya. Siauw Bwee meloncat ke atas, menangkis hantaman Thian Ek Cinjin dengan tendangan kakinya, dan dia sengaja turun dengan tubuh miring di depan Pat-jiu Sin-kauw yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, memukul dengan tenaga Thai-lek-kang sekuatnya. Tubuhnya berjongkok dan angin keras menyambar dari kedua tangannya yang mendorong ke arah dada Siauw Bwee. Gadis ini maklum bahwa pukulan itu amat berbahaya, namun kalau dia mengerahkan sin-kang, dia masih mampu menerimanya, maka dia mengerahkan sin-kangnya, sengaja terhuyung sehingga pukulan itu ia terima dengan bahunya.

 

 "Aduuuhhh....!" Siauw Bwee mengeluh dan jatuh, terus bergulingan sambil memegangi bahu kanannya yang terkena pukulan Thai-lek-kang. Pada saat itu, Bu-koksu mengejar dengan golok diputar merupakan gulungan yang mengancam jiwa Siauw Bwee. Gadis ini benar-benar amat tabah. Dia maklum bahwa kalau suhengnya masih belum mau turun tangan, nyawanya terancam bahaya maut karena dalam bergulingan seperti itu, akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskan diri dari ancaman golok yang terus mengikutinya. Dia sudah siap, kalau suhengnya tidak juga turun tangan, daripada mati konyol, dia akan mengadu nyawa, berlumba dulu dengan Bu-koksu dan mengirim pukulan maut dengan Im-kang dari Pulau Es!

 

 "Tringgg....!" Golok itu terpental ke samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget. "Heiii, Kam-sute.... apa yang kaulakukan ini?" bentaknya.

 

 Akan tetapi Kam Han Ki telah meloncat dan menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh gadis itu berdiri dan dia mengomel, "Kau keras kepala! Masih juga tidak mau pergi?"

 

 "Tidak! Biar mereka membunuhku, kalau dapat! Engkau pun tidak mempedulikan aku, untuk apa hidup lebih lama lagi?" Siauw Bwee berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena memang dia bicara dari lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi Han Ki dan tidak berhasil mengobati suhengnya itu berarti dia akan kehilangan Han Ki untuk selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya lagi?

 

 "Kam-siauwte, biarkan aku membunuhnya. Apakah engkau akan mengkhianati aku?"

 

 "Bu-loheng, maafkan aku. Gadis ini tidak waras, biarlah aku membawanya pergi dulu, kelak aku mohon maaf kepadamu!" Setelah berkata demikian, Han Ki memegang lengan Siauw Bwee dan membawanya meloncat jauh dari tempat itu.

 

 "Siauwte, tahan....!" Bu-koksu berseru marah dan mengejar bersama pasukannya, namun Han Ki sudah pergi jauh. Setelah pemuda ini mengerahkan gin-kangnya, mana ada yang mampu mengejarnya? Apalagi, Siauw Bwee yang sama sekali tidak terluka itu pun sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga dia tidak menghalangi gerakan suhengnya.

 

 Setelah mereka pergi jauh, Han Ki berhenti dan menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel, "Engkau sungguh membikin aku kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih maksudmu bersikap seperti ini? Apakah engkau ingin merusak nama baikku? Dan mengapa pula segala sandiwara ini? Aku tahu bahwa kalau kauhendaki, Bu-koksu sendiri tidak akan mampu membunuhmu!"

 

 Siauw Bwee kagum bukan main. Biarpun ingatannya hilang, suhengnya ternyata amat lihai dan pandang matanya masih amat tajam sehingga dapat melihat permainan sandiwaranya tadi. Dia harus berhati-hati, kalau tidak, suhengnya tentu tidak akan mau ikut bersama dia.

 

 "Sudah kukatakan kepadamu, aku cinta padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku berusaha mengajakmu kepada supekku untuk diobati."

 

 "Kau gila! Aku tidak sakit, aku sehat!" Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya memperlihatkan bahwa dia benar-benar sehat.

 

 "Bukan badanmu yang sakit, melainkan ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya engkau ini?"

 

 "Tentu saja aku tahu! Aku Kam Han Ki, aku pengawal pertama dari Bu-koksu yang telah melepas budi besar kepadaku dan mengangkat aku sebagai adiknya."

 

 "Hemm, Kam-suheng. Dia itu adalah musuh besar yang hendak mencelakakanmu!"

 

 "Gadis muda, jangan kau bicara sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu negara yang berjiwa pahlawan, seorang gagah perkasa yang amat baik, dan aku berhutang budi kepadanya."

 

 "Baiklah.... baiklah...., akan tetapi, ingatkah engkau siapa ayah bundamu? Ingatkah engkau siapa gurumu? Di mana kau belajar ilmu silat? Ingatkah engkau semua itu?"

 

 Kam Han Ki mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas.

 

 "Aku tidak ingat lagi, akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan Bu-loheng dan engkau? Kenyataannya, dia amat baik kepadaku sedangkan engkau.... aku sama sekali tidak mengenalmu, hanya tahu bahwa engkau seorang gadis muda yang amat lihai dan yang selalu mendatangkan kekacauan dan...."

 

 "....dan yang amat mencintaimu, Kam-suheng! Cobalah kauingat-ingat, apakah engkau lupa akan Istana Pulau Es? Lupakah engkau bahwa engkau bertahun-tahun menggembleng diri di Pulau Es dan membimbing dua orang sumoimu yang bernama Maya dan Khu Siauw Bwee? Lupakah engkau kepada mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam, kepada Panglima Khu Tek San?"

 

 Mendengar disebutnya Istana Pulau Es dan nama-nama itu Kam Han Ki kelihatan terkejut dan bingung. "Istana Pulau Es....? Serasa sering aku mendengarnya, tidak asing bagiku, dan nama-nama itu.... seperti pernah kukenalnya.... ah, tidak mungkin, aku tidak ingat lagi."

 

 "Nah, itu tandanya engkau telah kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan orang tuanya? Lupa akan gurunya."

 

 Kam Han Ki menjatuhkan diri duduk di atas batu di hutan itu. Alisnya berkerut, mukanya pucat dan tubuhnya berpeluh karena ia memeras ingatannya. Namun sia-sia belaka, dia tidak ingat apa-apa lagi. "Orang tuaku? Guruku? Pulau Es? Aihh, Nona, aku benar-benar menjadi bingung. Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku lupa akan orang tua dan guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat lagi...."

 

 "Dan aku adalah seorang di antara kedua sumoimu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah, Suheng.... bertahun-tahun kita tinggal bertiga di Pulau Es, engkau menjadi guruku, juga sahabatku, benar-benar engkau tidak ingat kepadaku lagi...." Siauw Bwee tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan ia menangis tersedu-sedu.

 

 Han Ki menjadi makin bingung. "Nona.... jangan menangis, engkau membikin aku makin bingung. Biarlah aku tanyakan semua itu kepada Bu-loheng.... dia tentu tahu...."

 

 "Jangan....! Dia itu adalah musuh kita, dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng. Kalau engkau kembali kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu rahasianya, tentu mereka itu akan mencelakaimu!"

 

 "Ha-ha, jangan menyangka yang bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku, satu-satunya orang yang amat baik kepadaku. Dia telah menolongku, merawatku, memberiku kedudukan tinggi dan kepercayaan."

 

 "Kam-suheng, kaukasihanilah aku. Kauturutlah bersamaku untuk diobati oleh supekku. Supek Coa Leng Bu adalah seorang ahli pengobatan yang lihai, dia tentu akan memulihkan ingatanmu dan engkau akan dapat mengingat segala hal yang telah lalu, yang telah kaulakukan. Marilah, Suheng, dia menanti di hutan pohon pek, marilah...." Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan ditarik-tariknya. Akan tetapi Han Ki mempertahankan diri dan akhirnya berkata,

 

 "Bukan aku tidak percaya kepadamu, Nona. Akan tetapi, amat tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng begitu saja. Pula, aku akan menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu kepadanya. Kalau dia tidak dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan menerima pengobatan supekmu."

 

 Tiba-tiba Siauw Bwee melepaskan tangan Han Ki. "Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan pergi pula ke sana menemui Bu-koksu."

 

 "Heh? Susah payah kau kularikan, sekarang hendak kembali? Apa kau mencari mati?"

 

 "Biarlah. Aku akan mengamuk dan membunuh Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati. Lebih baik mati daripada hidup melihat engkau menjadi boneka hidup, lupa akan segala hal yang lalu. Sekarang kaupilih saja mau ikut bersamaku untuk pengobatan atau aku akan mengamuk dan mengadu nyawa di gedung Bu-koksu!"

 

 "Wah, kau mengancam?"

 

 "Benar, soalnya hanya mati atau hidup bagiku!"

 

 "Tsk-tsk-tsk, kau benar-benar seorang gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya untuk diriku seorang?"

 

 Pandang mata Siauw Bwee menjadi lembut, kekerasaannya luntur dan dengan air mata berlinang dia memegang tangan Han Ki, berkata lirih, "Karena aku mencintaimu, tak tahukah kau? Keadaanmu yang lupa ingatan memberanikan hatiku untuk mengaku terus terang, Suheng. Aku cinta padamu dengan seluruh badan dan nyawaku!"

 

 Han Ki menggeleng-geleng kepala, bingung. "Engkau seorang dara jelita yang gagah perkasa, mencinta seorang seperti aku? Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang yang hilang ingatan, berarti orang yang otaknya miring, tidak waras lagi!"

 

 "Apa pun yang terjadi denganmu, aku tetap mencintamu, Suheng."

 

 "Aihhh...., apa yang dapat kulakukan sekarang? Menghadapi engkau lebih sukar daripada menghadapi ribuan orang lawan bersenjata, Nona. Baiklah, mari kita coba apakah benar aku kehilangan ingatan dan dapat disembuhkan oleh supekmu. Akan tetapi, ingatlah engkau, jangan main-main denganku. Kalau engkau menipuku, aku.... aku akan...."

 

 Siauw Bwee mendekatkan tubuhnya, mukanya ditengadahkan, penuh tantangan, matanya bersinar-sinar. "Engkau akan apakan aku, Suheng....? Membunuhku?"

 

 Han Ki gelagapan. Biarpun dia tidak ingat siapa adanya gadis ini, namun ada sesuatu yang amat menarik dari diri gadis ini yang membuat dia diam-diam mengherankan hatinya sendiri. Apakah dia telah menjadi benar-benar gila dan jatuh cinta kepada gadis yang nekat ini?

 

 "Tidak! Aku hanya akan.... akan.... membencimu!" akhirnya dia menjawab juga.

 

 Siauw Bwee menggandeng lengan suhengnya dan merapatkan tubuhnya dengan sikap manja. "Itu tandanya bahwa engkau cinta kepadaku, Suheng. Marilah, dan kalau aku menipumu, tidak usah engkau membenciku, aku sendiri akan membenciku bahkan kalau Supek gagal, aku akan membenciku sampai aku mati dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu yang pasti akan kuamuk sampai titik darahku terakhir!"

 

 Han Ki bergidik. Tekad gadis ini luar biasa sekali dan tentu ada apa-apanya di balik sikapnya itu. Andaikata benar peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hendak menipunya, andaikata dia dibawa ke dalam perangkap, dia tidak takut dan percaya bahwa dia akan mampu mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut sendiri kalau-kalau gadis ini benar seorang penipu, karena kalau ternyata demikian, dia akan merasa amat berduka dan kecewa dan.... kehilangan.

 

 Seorang kakek yang bertelanjang kaki menyambut mereka di dalam hutan pek. Melihat gadis itu berhasil membawa Han Ki yang kelihatannya curiga dan ragu-ragu, Coa Leng Bu girang bukan main.

 

 "Ah, sungguh girang hatiku melihat engkau berhasil mengajaknya ke sini, Lihiap. Kam-taihiap, selamat datang!"

 

 Biarpun ingatannya lenyap, Han Ki masih belum kehilangan kesopanannya. Kalau di tempat Bu-koksu dia bersikap tidak acuh adalah karena dia tidak suka melihat sikap anak buah Bu-koksu, maka dia bersikap acuk tak acuh dan hanya karena sayang dan berhutang budi kepada Bu-koksu saja yang mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah kakek yang tenang dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian sekedarnya, dia cepat menjura dengan hormat dan berkata,

 

 "Tidak tahu, siapakah Locianpwe yang telah mengenal namaku?"

 

 "Ha-ha-ha, Kam-taihiap terlalu menghormat seorang bodoh seperti aku dengan menyebut Locianpwe. Aku bernama Coa Leng Bu dan karena sumoimu, Khu-lihiap ini diangkat anak oleh suteku, maka aku menjadi supeknya, supek dalam sebutan saja yang membuat aku malu, karena dalam hal kepandaian, aku boleh berguru kepadanya. Kam-taihiap, aku mengenalmu karena keterangan sumoimu dan kulihat bahwa engkau terkena racun yang membuat ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka kalau engkau percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu, Kam-taihiap."

 

 Han Ki mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi lupa sama sekali akan hal-hal yang lalu, akan tetapi aku sungguh tidak mengenal Nona ini yang menganggap aku sebagai suhengnya. Yang kukenal hanyalah kakak angkatku, Bu-loheng...."

 

 Dengan wajah penuh ketenangan Coa Leng Bu berkata, "Aku mengerti Taihiap. Kauanggap sajalah bahwa engkau belum mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik angkat Koksu. Akan tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami berniat baik, karena aku melihat engkau menderita lupa ingatan karena racun perampas ingatan, maka anggap saja bahwa engkau berada di antara teman-teman yang hendak berusaha mengobatimu."

 

 "Heran sekali, aku merasa sehat, akan tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi rasanya tidak mungkin kalau engkau, terutama Nona ini hendak menipuku. Baiklah aku akan menurut dan suka kauobati, harap lekas memberi obatnya dan hendak kulihat apakah aku akan dapat mengingat riwayatku yang telah kulupakan sarna sekali."

 

 Coa Leng Bu menggeleng-geleng kepalanya. "Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui makanan atau minuman, sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus sedikit demi sedikit dan memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar bahwa penyakit datang menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura, kalau datang cepat sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama."

 

 "Berapa lama engkau akan dapat menyembuhkan aku, Locianpwe?"

 

 "Pertama-tama, kuharap Taihiap jangan menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup kalau kausebut lopek saja. Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat menyembuhkanmu, bukanlah hal mudah dan aku tidak berani bilang sebelum memeriksamu. Bolehkah aku memeriksamu, Taihiap?"

 

 "Silakan," Han Ki menjawab dan biarpun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia mulai khawatir dan percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya adalah bahwa, seperti yang dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama sekali akan riwayat hidupnya, lupa akan ayah bundanya dan lupa akan gurunya. Hal ini memang tidak mungkin terjadi kalau dia tidak menderita sakit kehilangan ingatan!

 

 Coa Leng Bu mempersilakan Han Ki rebah telentang di atas rurnput, kemudian ia mulai memeriksa denyut nadi, mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan membuka kelopaknya. "Taihiap, kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu untuk diperiksa."

 

 "Silakan!" Han Ki menjawab.

 

 Dengan sebatang jarum emas, kakek itu menusuk ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga ada beberapa tetes darah keluar dari luka kecil itu. Darah itu ditampungnya di atas sehelai daun yang berwarna putih, kemudian dibawanya ke tempat panas sehingga dia dapat memeriksa dengan jelas di bawah sinar matahari. Darah itu diperiksa, diamat-amati, dicium, bahkan dijilat dengan lidahnya. Semua perbuatannya itu diikuti penuh perhatian oleh Han Ki yang sudah membereskan pakaian dan duduk kembali di atas rumput, sedangkan Siauw Bwee tak pernah melepaskan pandang matanya dari suhengnya dengan hati penuh keharuan. Menyaksikan sikap pemuda ini yang berubah sama sekali seolah-olah dia menghadapi seorang asing, akan tetapi wajah, bentuk badan dan setiap gerak-gerik pemuda itu dari matanya mengerutkan alis, sinar matanya yang tajam itu, mulut yang membayangkan kedukaan, dia tidak meragukan lagi bahwa pemuda ini adalah suhengnya. Di antara sejuta orang pemuda, tak mungkin ada satu yang menyamai suhengnya itu!

 

 "Bagaimana, Coa-lopek?" Han Ki bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.

 

 "Tidak berat, bukan?" Siauw Bwee juga bertanya.

 

 Coa Leng Bu menghela napas panjang. "Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan.... ahh, aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!"

 

 Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya. "Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas tidakkah dapat dilawan dengan tenega Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannye. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?"

 

 Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak baleh digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat panting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh dilakukan!"

 

 "Habis, bagaimana....?" Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! "Eh, Coa-supak, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?"

 

 "Kam Bu Sin....? Ayahku....? Nona, apa yang kaukatakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin....?" Han Ki berkata bingung.

 

 Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan. "Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mujijat dan sungguhpun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersamadhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biarpun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk."

 

 Kam Han Ki menghela napas panjang. "Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku."

 

 "Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara."

 

 "Suheng, mari kaubantu kami....!" Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik tangan Han Ki.

 

 "Nona, harap kauhentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja."

 

 "Aihhh, engkau memang suhengku! Habis disuruh menyebut apa?" Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.

 

 Biarpun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,

 

 "Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!" Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.

 

 "Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!"

 

 "Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu."

 

 "Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua daripada aku!"

 

 "Banyak lebih tua!" kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. "Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!"

 

 "Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?"

 

 Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. "Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...."

 

 "Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!"

 

 "Engkau gadis yang manis, dan nakal!" Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. "Akan tetapi.... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...."

 

 "Aku kenapa?" Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.

 

 "Kau bicara tentang.... cinta....! Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!"

 

 "Siapa yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?"

 

 Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biarpun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?

 

 "Eh, Suheng.... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?" Siauw Bwee sudah berlutut dekat suhengnya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.

 

 Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapapun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!

 

 "Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya...., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...."

 

 Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing. "Suheng.... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka, kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kaudukakan?"

 

 Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak menyusahkan apa-apa."

 

 "Apakah engkau khawatir?"

 

 "Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku."

 

 "Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?"

 

 Kembali Han Ki menggeleng. "Sepanjang yang teringat olehku, tidak."

 

 Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.

 

 "Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?" Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.

 

 "Ah, kenapa kausebut permainan pikiran, Lopek?" Han Ki bertanya.

 

 "Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kaukatakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?" Siauw Bwee yang membantah.

 

 Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,

 

 "Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?"

 

 Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu? Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang, pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali. Akan tetapi, pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biarpun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya. Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu.

 

 Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyaalah permainan pikiran saja, yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain.

 

 Siauw Bwee juga mengangguk-angguk, karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak,

 

 "Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?"

 

 Kakek itu tersenyum maklum. "Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?"

 

 "Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...."

 

 "Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau.... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih."

 

 "Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!" Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. "Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!"

 

 Kakek itu tersenyum. "Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga."

 

 "Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga daripada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...." Han Ki berseru, penuh kagum.

 

 Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada terselip KEINGINAN dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH KEBEBASAN, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan BEBAS di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepapun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka.... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!"

 

 Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.

 

 Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun, dan gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu. Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu. Namun, Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu, yang sudah bertahun-tahun berlatih sin-kang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin daripada bersamadhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sin-kang.

 

 Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan samadhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.

 

 Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan! Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apalagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!

 

 Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suhengnya duduk di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap. Sudah seminggu lebih Han Ki berobat namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biarpun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.

 

 Han Ki menggeleng kepala. "Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua."

 

 "Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kaulihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan ini?" Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suhengnya.

 

 "Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!" Han Ki berseru girang.

 

 "Jadi kau mengenalnya?"

 

 "Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal."

 

 "Apa nama ilmu silat itu?"

 

 "Ini.... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu."

 

 "Hemm.... dan kaulihat ini, Koko!" Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!

 

 "Aku tahu....! Pukulan sin-kang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!" seru Han Ki.

 

 "Dan ini....!" Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.

 

 "Ini pukulan mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!"

 

 "Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?" Suara Siauw Bwee agak gemetar.

 

 "Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu."

 

 "Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...."

 

 "Suci?"

 

 Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suhengnya di Istana Pulau Es. "Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suciku Maya...."

 

 "Hemmm, aku tidak ingat."

 

 "Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?"

 

 Han Ki menggeleng kepala.

 

 "Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?"

 

 Kembali pemuda itu menggeleng kepala.

 

 "Koko...." Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. "Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?"

 

 Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, "Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi."

 

 Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.

 

 "Moi-moi...."

 

 "Siauw Bwee menoleh. "Hemmm....?"

 

 "Kasihan engkau....!"

 

 "Mengapa kasihan?"

 

 "Dengan susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?"

 

 Siauw Bwee menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat mengecewakannya.

 

 "Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!"

 

 "Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?"

 

 "Apakah untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andaikata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta."

 

 "Tidak mungkin!"

 

 "Bagaimana tidak mungkin?"

 

 "Cinta timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta? Betapa janggalnya!"

 

 "Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?"

 

 Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!

 

 "Eh, hal ini.... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan...., dan aku kasihan kepadamu, aku...., aku senang sekali berkenalan denganmu."

 

 "Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?"

 

 "Mengapa tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku 1ancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!"

 

 "Kam-koko, memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk, cacad cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacad-celanya. Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku.... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah kaulupakan."

 

 "Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu."

 

 Siauw Bwee ingin mencoba "rasa suka" pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suhengnya yang dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada dia maupun kepada Maya. Akan tetapi suhengnya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang diceritakannya tadi.

 

 "Mendiang ayahku adalah Khu Tek San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong, kakak sepupumu yang kaulupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang setia dan berjasa besar untuk kerajaan." Dengan singkat Siauw Bwee lalu menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.

 

 "Akan tetapi sungguh menyedihkan, Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat." Diceritakan sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.

 

 Berkerut alis Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. "Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!"

 

 Mendengar bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suhengnya. "Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?"

 

 Sementara itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang berusaha mengingatkan Han Ki.

 

 "Koko, engkau marah mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatangkara. Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko."

 

 Wajah Han Ki menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik jelita dari dekat. "Mungkin.... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia.... betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau."

 

 "Kam-Suheng....! Kam-koko.... ternyata engkau hanya mencinta aku seorang....!" Dengan hati penuh keharuan dan kebahagiaan, Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki! Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.

 

 "Hanya aku yang kaucinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu.... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci Maya...."

 

 "Maya....?"

 

 Siauw Bwee cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat suhengnya meragu lagi. Kini, setelah jelas bahwa suhengnya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan suhengnya. Dia sudah menduga bahwa dengan sin-kang tenaga Inti Es dia dan suhengnya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan suhengnya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan membahayakan keselamatan Han Ki.

 

 "Suheng, engkau tidak ingat tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini." Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur dari telapak tangannya.

 

 "Ihhh! Bukan main kuatnya sin-kangmu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!"

 

 Siauw Bwee menghentikan saluran Im-kangnya dan tersenyum manja. "Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar daripada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek."

 

 Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suhengnya, kemudian dia menggandeng tangan suhengnya, tanpa malu-malu dia menjumpai supeknya yang sedang menjemur akar dan daun obat.

 

 "Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!"

 

 "Eh?" Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.

 

 "Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng."

 

 "Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan kalau tersalur memasuki kepala, dapat membahayakan!"

 

 "Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?" Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.

 

 "Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barangkali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang mampu."

 

 "Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?"

 

 "Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali."

 

 "Begitukah? Coa-supek, kaulihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!" Siauw Bwee menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik tangannya dan.... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik keluar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam panci!

 

 "Moi-moi, kau mengagumkan sekali!" Han Ki berseru gembira dan dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!

 

 Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, "Ya Tuhan...., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat....!"

 

 Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. "Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?"

 

 Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa."

 

 "Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan."

 

 "Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...."

 

 "Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?"

 

 Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak. "Murid-murid.... manusia dewa itu....? Dan aku telah membiarkan diri kausebut supek! Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh.... setua ini masih tolol....!"

 

 "Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko."

 

 Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu apa sih bahayanya?

 

 Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang, Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,

 

 "Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kaukendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?"

 

 Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, "Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini, kalau kauanggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?"

 

 Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimanapun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!

 

 "Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?"

 

 "Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko."

 

 Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta! Kemudian Siauw Bwee berkata, karena dia maklum bahwa biarpun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya.

 

 "Setelah aku menyalurkan Im-kang, kausambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kaukumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kausalurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!"

 

 Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersamadhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas. Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan samadhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kangnya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya. Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca, akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemujijatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.

 

 Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin, dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suhengnya. Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.

 

 Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!

 

 "Celaka....!" keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.

 

 Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, "Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu."

 

 Bu-koksu tertawa, "Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!"

 

 "Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!"

 

 "Orang sakit?" Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?"

 

 Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. "Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya."

 

 "Ha-ha-ha, kaumaksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!"

 

 "Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?" Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.

 

 "Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!"

 

 "Bu-koksu, harap kautunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?"

 

 "Jangan banyak cakap! Minggirlah!"

 

 "Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup, menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kautangkap dan kauseret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apalagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!"

 

 Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa,

 

 "Siapa pun mereka, harus kami tawan!" Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki, tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.

 

 "Jangan bergerak!" Coa Leng Bu berseru marah. "Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!"

 

 Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!" Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram. Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Co"a Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang.

 

 "Desss!" Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sin-kang yang jauh lebih lihai dan kuat.

 

 "Engkau bosan hidup!" Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.

 

 Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok, tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau tidak disambar jubahnya oleh Bu-koksu.

 

 Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.

 

 "Terimalah ini!" Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai), tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis. Dia tahu bahwa betapapun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apalagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.

 

 Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa terkena hawa dorongan ini, dia tentu akan roboh, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.

 

 "Dessss!"

 

 Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sin-kang yang dimiliki Coa Leng Bu, akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.

 

 "Cring-cring.... singggg....!" Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu. Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.

 

 "Crakk!" Pundak Coa Leng Bu terbabat putus!

 

 Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu, dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!

 

 Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.

 

 "Crott!" Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.

 

 Biarpun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini. Bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi, dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.

 

 Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata,

 

 "Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.

 

 "Biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka," katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.

 

 Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring,

 

 "Kam-siauwte, aku datang!"

 

 Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi tekejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suhengnya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi suhengnya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suhengnya yang tercinta!

 

 Pintu pondok terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.

 

 "Aihhh....!" Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat. Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguhpun dia sendiri memiliki sin-kang yang kuat dan kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!

 

 Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, "Engkau.... Siauw Bwee.... Khu-sumoi....!" Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!

 

 Mendengar teriakan suhengnya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suhengnya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biarpun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!

 

 Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi, merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.

 

 "Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan," katanya dan tiga orang itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu ketika melihat mayat supeknya yang tewas dalam keadaan mengerikan, mengeluarkan jerit tertahan dan ia menggigit bibir tidak mengeluarkan kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.

 

 "Nona Khu," Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, "Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan regara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi harus dikesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suhengmu."

 

 Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, "Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara, akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!"

 

 Bu Kok Tai menghela napas panjang. "Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah mernusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!" katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya. Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota. Betapapun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.

 

 Ketika rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah. Adapun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!

 

 "Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!" Pek-mau Seng-jin mengejek sungguhpun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.

 

 Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.

 

 Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, "Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apabila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini, bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan."

 

 "Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali."

 

 Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya, akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya,

 

 "Di pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguhpun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran."

 

 Mendengar ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.

 

 "Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini."

 

 Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan, akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, "Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri."

 

 "Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat daripada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu."

 

 "Pek-mau Seng-jin!" Bu-koksu berkata marah. "Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apalagi bersahabat!"

 

 "Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran." Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,

 

 "Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kauperlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku."

 

 "Dan gadis ini?" Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.

 

 "Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kauberi kebebasan pula."

 

 Merah muka Bu-koksu mendengar ini. "Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!"

 

 "Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!" Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.

 

 "Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya."

 

 "Kalau kami memaksa?"

 

 "Terserah, kami akan mempertahankan!"

 

 "Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!"

 

 "Bukan kami yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!" Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.

 

 Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.

 

 Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, kedua orang ini yang bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai, diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen, dan atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.

 

 Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.

 

 Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.

 

 "Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!" kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.

 

 "Cring-cring-tranggg!" Keduanya terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang. Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!

 

 Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak, mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.

 

 "Trangggg!"

 

 Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.

 

 "Suma-kongcu! Apa yang kaulakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?"

 

 Suma Hoat tecsenyum. "Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau bendak bersikap curang dan membunuh tawanan?"

 

 "Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!" Ang Hok Ci memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang ke arah dada Suma Hoat.

 

 "Cringggg.... dukkkk!" Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.

 

 "Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!" Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.

 

 Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.

 

 "Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. "Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!"

 

 Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biarpun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung "seru" dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!

 

 Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.

 

 Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi, kalau dia dansemua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.

 

 Betapapun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!

 

 "Tahan! Jangan bunuh dia!" Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!

 

 Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. "Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!"

 

 Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. "Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kaupengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!"

 

 "Kam-siauwte....!"

 

 "Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!"

 

 Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?"

 

 "Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha."

 

 "Mari kita pergi!" Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.

 

 Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, "Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!"

 

 "Cringggg.... dukkkk!" Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.

 

 "Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!" Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.

 

 Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.

 

 "Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. "Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!"

 

 Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biarpun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung "seru" dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!

 

 Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.

 

 Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi, kalau dia dansemua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.

 

 Betapapun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!

 

 "Tahan! Jangan bunuh dia!" Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!

 

 Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. "Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!"

 

 Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. "Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kaupengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!"

 

 "Kam-siauwte....!"

 

 "Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!"

 

 Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?"

 

 "Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha."

 

 "Mari kita pergi!" Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.

 

 Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, "Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!"

 

 Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, "Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami."

 

 "Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku." Bu-koksu mengomel dan hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat dia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.

 

 Sementara itu, Kam Han Ki memandang sumoinya yang kini berdiri di sampingnya, berkata, "Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan.... dan...." tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoinya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa, dalam keadaan "lupa diri" dia pun membalas cinta sumoinya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.

 

 Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun, karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata,

 

 "Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee."

 

 Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. "Hemm, siapakah engkau?"

 

 "Suheng, dia adalah seorang.... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari.... dari.... ahhh, Coa-supek....!" Siauw Bwee teringat akan supeknya dan menangis tersedu-sedu.

 

 "Heiii.... ada apakah, Sumoi?" Han Ki bertanya.

 

 "Khu-lihiap.... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?"

 

 "Dia mati terbunuh.... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...."

 

 "Suma Hoat?" Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.

 

 Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, "Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang.... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang.... tidak baik pula."

 

 Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoinya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, "Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biarpun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu."

 

 "Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya," kata Pek-mau Seng-jin.

 

 Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, "Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?"

 

 "Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami." Pangeran Dhanu memperkenalkan. Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, "Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal."

 

 Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, "Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah."

 

 Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, "Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara."

 

 Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri, "Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat, itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap, sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap."

 

 Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biarpun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidakadilan itu.

 

 "Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?" Siauw Bwee membentak.

 

 Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.

 

 "Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?"

 

 "Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak ke dua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San."

 

 Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!

 

 "Aaahhhh....!" Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.

 

 "Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapapun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!"

 

 Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental, sudah cukup membuktikan betapa hebat sin-kang pemuda itu. Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata,

 

 "Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama."

 

 Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu, dan memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi, meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.

 

 Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biarpun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biarpun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa. Adapun dia, karena terpaksa oleh ayahnya, biarpun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!

 

 "Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng." Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu. Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat suhengnya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.

 

 Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh. Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoinya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suhengnya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.

 

 Han Ki menghela napas panjang. "Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka."

 

 "Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana."

 

 "Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...."

 

 Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suhengnya kalau suhengnya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suhengnya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!

 

 "Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...."

 

 Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. "Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya...." dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

 

 "Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?"

 

 "Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta."

 

 "Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?"

 

 Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab, "Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi.... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan."

 

 "Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapapun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kaucinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua."

 

 "Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu."

 

 Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, "Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu."

 

 Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoinya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoinya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.

 

 "Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat."

 

 Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.

 

 Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suhengnya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.

 

 "Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?"

 

 Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. "Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es."

 

 Siauw Bwee mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?"

 

 "Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kauanggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?"

 

 "Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!"

 

 Han Ki menarik napas panjang. "Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"

 

 "Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"

 

 "Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"

 

 "Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"

 

 Han Ki menggeleng kepalanya. "Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"

 

 Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan

juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah. "Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi

adalah orang yang rendah dan tidak baik!"

 

 Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."

 

 "Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"

 

 "Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"

 

 "Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"

 

 "Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"

 

 Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. "Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."

 

 "Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"

 

 "Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"

 

 "Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"

 

 "Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"

 

 "Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"

 

 Han Ki menarik napas panjang. "Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"

 

 "Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"

 

 "Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"

 

 "Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"

 

 Han Ki menggeleng kepalanya. "Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"

 

 Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan

juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah. "Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi

adalah orang yang rendah dan tidak baik!"

 

 Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."

 

 "Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"

 

 "Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"

 

 "Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"

 

 "Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"

 

 Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. "Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."

 

 "Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"

 

 "Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"

 

 "Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"

 

 "Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"

 

 "Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"

 

 "Aku tidak takut!"

 

 "Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam."

 

 Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suhengnya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.

 

 "Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kaulakukan asal saja engkau...."

 

 Melihat keraguan sumoinya, Han Ki bertanya, "Asal saja aku mengapa, Sumoi?"

 

 "Asal engkau tidak melupakan.... cinta kasih di antara kita...."

 

 Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya daripada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?

 

 "Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi." Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.

 

 Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan, "Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau.... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?"

 

 "Dia tentu dan harus mau!" jawab Han Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan. Dia maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta Han Ki. Betapapun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suhengnya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.

 

 ***

 

 "Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?" para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.

 

 "Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.

 

 "Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"

 

 "Wuuuuttt.... ciattt!" Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu.

 

 Biarpun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.

 

 "Celaka.... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu....!"

 

 Pada sore hari itu, Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen. Akan tetapi, sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya! Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!

 

 Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.

 

 Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!

 

 "Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?"

 

 Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!

 

 Mendengar itu, Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga, "Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!" Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.

 

 Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,

 

 "Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?" Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.

 

 Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir, "Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!"

 

 Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja, "Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!"

 

 "Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!"

 

 "Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?" Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.

 

 "Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!"

 

 Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku, akan tetapi dia telah kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.

 

 "Anjing penjilat, kaukira aku takut padamu?" Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya. Namun, Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mujijat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.

 

 Setelah memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.

 

 Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat suaah menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.

 

 Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu, menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya.

 

 Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang keluar membantu Suma Kiat.

 

 Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apalagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.

 

 Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya, tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu.

 

 Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis. "Trangggg.... trakkkk!" Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!

 

 "Keparat....!" Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhunya, berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.

 

 Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.

 

 "Suhu.... lebih baik kita pergi....!" Siangkoan Lee berseru. "Subo sudah terluka....!"

 

 Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.

 

 Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan malam yang telah tiba.

 

 Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan. Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan cantik diperkosa sampai mati. Kemudian, seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali melihat muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos. Saking gemasnya dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat. Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin.

 

 Suma Kiat, dengan bantuan muridnya yang setia, berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia, selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu, diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti. Suma Kiat maklum bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah Kerajaan Yucen. Akan tetapi, dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.

 

 "Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?" Siangkoan Lee mengajukan usulnya di tengah perjalanan melarnkan diri itu.

 

 Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika menjawab, "Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati daripada menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan kuanggap sebagai pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku."

 

 Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali. "Terima kasih, Suhu...." katanya terharu. "Teecu bersumpah akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!"

 

 Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja, Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti datangnya seorang pengejar itu.

 

 "Ayah....!"

 

 Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini, dengan muka dan baju basah oleh peluh karena melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya. Mereka bertiga yang duduk dia atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.

 

 "Ayah...., aku.... aku.... aku mendengar akan penyerbuan Bu-koksu.... aku cepat ke Siang-tan, terlambat.... lalu mengejar Ayah...."

 

 "Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!" Suma Kiat membentak penuh kemarahan.

 

 Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat. "Ayah.... mengapa....?"

 

 "Cukup! Sekali lagi menyebut ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja. Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan sengsaralah engkau selama hidupmu!"

 

 "Ayaaahhh....!" Suma Hoat bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.

 

 "Cet-cet-cet!" Tiga sinar menyambar ke arah Suma Hoat. Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun itu. Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun. Suma Kiat melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan hati ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!

 

 Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk oleh kegagalan cintanya. Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Apalagi artinya hidup ini baginya?

 

 Siapakah yang harus disalahkannya? Koksu Bu Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati? Orang-orang gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong, yang terkenal karena kesaktian dan kesetiaannya terhadap nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja membantu ayahnya yang bersekutu dengan pihak Yucen? Andaikata dia tidak hendak berbaik kembali dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu persekutuan kotor itu.

 

 Suma Hoat menghela napas panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau marah dan dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati ayahnya.

 

 Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan. Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Tai-hang-san.

 

 Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati gurunya, berusaha menyenangkan hati suhunya itu dengan membangun sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita muda untuk suhunya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua kedukaan ini ditambah lagi oleh solah-tingkah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu, melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah, tidak mampu lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.

 

 ***

 

 Seperti telah diceritakan di bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan musuh di Siang-tan. Biarpun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas dalam menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru melakukan penyerbuan ke Siang-tan. Setelah mendapat kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sian-yang, Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suhengnya dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suhengnya, dia harus "menebusnya" dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!

 

 Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa diutus minta bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang menghadapi perang besar.

 

 Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!

 

 Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu datang lebih dahulu dan mendengar dari para penyelidiknya bahwa bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar dan kuat karena memperoleh bantuan.

 

 Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan dari selatan masih belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan mati-matian.

 

 Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di mana-mana? Namun, dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota Siang-tan.

 

 Sebetulnya, apakah yang terjadi? Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu? Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar sebagai pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen. Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai pasukan Mancu, kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya. Dia sendiri diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen.

 

 Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan terjepit itu, Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya! Pek-mau Seng-jin girang sekali lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dengan cepat melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.

 

 Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan hari lamanya, berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan tetapi, akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat penjagaan.

 

 Maya memimpin pasukan-pasukannya, diam-diam merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun pasukan-pasukannya, mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk membobolkan benteng kota. Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat dipertahankan.

 

 Kembali belasan hari lewat dan benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan tetapi, pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah dikurung, hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi, terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.

 

 Keadaan yang mengancam ini membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya, tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai yang memekakkan telinga.

 

 Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.

 

 Maya yang menunggang seekor kuda putih, mengamuk dengan pedangnya. Kudanya meringkik-ringkik, lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu, dan ke mana pun sinar pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang perwira musuh. Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan yang sedang berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga seringkali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk melayani tentara musuh yang mengepung.

 

 Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru menantang, "Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok sampai seorang di antara kita roboh binasa!"

 

 "Anjing betina Mancu, siapa takut kepadamu?" Bu-koksu membentak.

 

 Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding dengan seru dan dahsyat.

 

 Andaikata mereka bertanding ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, agaknya betapapun lihainya, Bu-koksu bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus. Akan tetapi, bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan senjata dan keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang ditunggangi memang peranan penting. Biarpun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan biarpun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga kalah.

 

 Karena inilah, pertandingan berlangsung dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan yang tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang tidak terlalu parah biarpun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran darah. Betapapun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat muda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa! Namun dia tidak mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah terakhir membela negaranya.

 

 "Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!" Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar dengan sinar berkilat.

 

 "Tidak begitu mudah keparat!" Bu-koksu membentak dan menangkis.

 

 "Tranggg....!" Untuk ke sekian ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.

 

 "Tahan senjata....!" Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang itu adalah Suma Hoat! Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah di antara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di antara mereka dengan alis berkerut.

 

 Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.

 

 "Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!" Maya membentak nyaring.

 

 "Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?"

 

 "Suma Hoat, mulutmu palsu!" Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. "Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!"

 

 "Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...."

 

 "Jangan sebut-sebut nama guruku!" Maya membentak. Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!

 

 "Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri...."

 

 "Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!"

 

 Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.

 

 "Trang-cring-trang....!" Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.

 

 "Sumoi....!"

 

 Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.

 

 "Suheng....!" Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.

 

 "Kam-siauwte....!" Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.

 

 "Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau, adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati daripada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?"

 

 "Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!"

 

 "Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?"

 

 Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, "Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku.... engkau...." Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.

 

 "Krekkk!" Pedang itu patah berkeping-keping dan dlbuangnya ke atas tanah.

 

 "Llhat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini, dan akan mengamuk terus sampai mati!"

 

 "Ohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!

 

 Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata, "Sumoi, mari ikut aku pergi....!" Tubuhnya berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.

 

 "Kam-taihiap, tunggu....!" Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap. Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh clnta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak oleh penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!

 

 Perang berlangsung terus biarpun Maya telah pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.

 

 ***

 

 Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya.

 

 Bangunan istana di tengah pulau, yang telah lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah Han Ki, bersama dua orang sumoinya kembali ke pulau.

 

 Biarpun kadang-kadang hatinya menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan cinta kasihnya kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati mereka. Kini, setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.

 

 "Sumoi...., aku banyak salah kepadamu, maafkan aku, Sumoi...."

 

 "Aihhh, Suci, jangan berkata demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang mohon maaf kepadamu...."

 

 Han Ki menarik napas panjang menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoinya itu. "Nah, begitulah, kedua sumoiku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini, sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu, baru bahagialah hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini."

 

 Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu, timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya membentak,

 

 "Akan tetapi, Suheng...."

 

 Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas. "Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang, yang terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya." Han Ki menudingkan telunjuknya dan ketika dua orang dara itu memandang dan menyaksikan keadaan istana tua itu mereka menjadi terharu dan tanpa banyak membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu.

 

 Ketika mereka membersihkan ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee segera bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ.

 

 Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab, "Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini, hatiku merana setiap hari, apalagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang selalu memberatkan hati."

 

 "Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?" Siauw Bwee mencela.

 

 "Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa apa-apa, dihancurkan? Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!" Maya juga mencela.

 

 Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang sumoinya, senyum gembira. "Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya, yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini. Inilah batu-batu itu!" Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan lenyap kekecewaan mereka.

 

 Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sin-kang, yang menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.

 

 "Dengan memiliki sin-kang ini, kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam di waktu hawa sedang dinginnya kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju. Im-kang yang kalian miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat melatih Swat-im Sin-kang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam ini."

 

 "Nanti dulu, Suheng," tiba-tiba Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk melatih Swat-im Sin-kang.

 

 "Kau hendak bertanya tentang apa, Maya-sumoi?" Han Ki bertanya.

 

 "Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang masih kecil! Memang latihan Swat-im Sin-kang seperti yang Suheng terangkan amat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan begitu saja sebagai hal yang tidak penting."

 

 Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak enak. "Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang kulupakan?"

 

 "Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi pulang ke Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau menerima aku sebagai isterimu?"

 

 "Maya-sumoi!"

 

 "Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa Khu-sumoi mencintamu pula. Adapun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih untuk menjadi isteri?"

 

 Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu suhengnya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih dia, kini menjadi cemas melihat suhengnya kelihatan bingung.

 

 "Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?" Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoinya. "Bukankah sudah adil dan semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan dengan sejujurnya?"

 

 Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur mengenai urusan cinta, behar-benar dia tidak sanggup! Maka dia hanya dapat mengangguk saja karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu. Suhengnya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa hati lagi, mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.

 

 Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan hati Maya yang amat disayangnya itu?

 

 "Maya-sumoi dan Khu-sumoi.... sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini. Kalian adalah dua orang sumoiku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoiku yang tercinta, dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?"

 

 Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya, cemas sekali menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoinya itu. Maya dan Siauw Bwee memandang kepada Han Ki, dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki. Mereka berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suhengnya itu telah menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika itu, ingatan suhengnya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak ada gadis bernama Maya bagi suhengnya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi, seorang dara yang amat disayang oleh suhengnya.

 

 "Suheng, kami berdua kini adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita sampai terpecah. Maka, aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini."

 

 Dengan penuh harapan Han Ki mengangkat muka memandang wajah Maya yang amat cantik itu. Kecantikan Maya inilah yang benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang amat mencinta Siauw Bwee, akan tetapi Maya.... jantungnya selalu berdebar kalau ia memandang wajah sumoinya yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan khas itu!

 

 "Apakah usulmu itu, Sumoi?" tanyanya penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali dapat keluar dari kesulitan yang membingungkan hatinya itu.

 

 "Karena Suheng tidak dapat berpisah dari kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak mau menyiksa hati kami berdua, jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah menjadikan kami berdua sebagai isteri Suheng."

 

 Pucat seketika wajah Kam Han Ki mendengar usul yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Juga Siauw Bwee memandang wajah sucinya dengan mata terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga memandangnya dan kedua orang wanita itu bertemu pandang, seolah-olah ada permufakatan tanpa kata di antara kedua orang dara itu. Pada detik itu Siauw Bwee dapat menyelami hati sucinya dan melihat ketidakmungkinan apabila Suheng mereka diharuskan memilih seorang di antara mereka. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang akan dapat membebaskan mereka dari ancaman kesulitan dan perpecahan.

 

 "Aku tidak melihat jalan lain dan mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak kecil aku setuju dengan usul Suci." Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura lirih.

 

 "Tidak! Tidak mungkin itu....! Kalian kira aku ini orang apa? Sudah begitu rendahkah batinku sehingga mempergunakan keadaan untuk menang sendiri? Tidak, andaikata kalian rela sekalipun, aku akan mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk aku!" Han Ki yang menjadi bingung itu menutupi muka dengan kedua tangannya.

 

 Siauw Bwee dan Maya saling pandang, kemudian terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya tegas dan dingin,

 

 "Suheng, kiranya bukan demikianlah sikap seorang jantan! Apalagi seorang pemuda seperti Suheng, murid langsung Suhu Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus dapat mengambil keputusan. Suheng, katakanlah sejujurnya, siapakah di antara kami berdua yang Suheng beratkan? Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu andaikata engkau memilih Maya-suci. Katakanlah bahwa engkau hanya mencinta Maya-suci dan memutuskan untuk mengambilnya sebagai isteri, dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu kebahagiaan kalian."

 

 Han Ki menurunkan kedua tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka, akan tetapi dia segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening, kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.

 

 "Suheng, tidak kunyana bahwa engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap paling sakti, paling kuat, dan paling jantan, ternyata amat lemah. Mengaku terus terang akan cintamu, engkau tidak berani karena takut melukai hati seorang di antara kami. Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani menikah dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa kami berdua ke sini? Mengapa tidak kaubiarkan saja kami mengembara dan menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami dengan keraguan? Suheng, perlu apa engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami bukan anak-anak kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan."

 

 "Maya-suci benar! Suheng, kalau begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan Suheng dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!" kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu sudah meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.

 

 "Nanti dulu....!" Han Ki juga meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu. "Maya! Siauw Bwee! Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk mengambil keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik kandung sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara kalian? Benar-benar amat berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita bertiga. Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua lanjutkan berlatih Swat-im Sin-kang di sini. Kurang lebih tiga bulan lagi, latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai. Nah, kita bertemu kembali di sini dan aku akan menentukan pilihanku."

 

 Mendengar ini berdebar jantung di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan hendak mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biarpun hal itu baru akan dilakukan tiga bulan lagi, hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!

 

 "Kalau tiga bulan lagi engkau belum dapat mengambil keputusan?" Maya bertanya.

 

 "Kalau demikian, terserah apa yang akan kalian lakukan," jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun sangsi apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu.

 

 Kembali Maya dan Siauw Bwee saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula penderitaan batin dan siksaan hati mereka. Biarpun harus menanti dalam tiga bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan Swat-im Sin-kang, tidak akan terasa terlalu lama.

 

 "Baiklah, aku setuju, Suheng," kata Maya.

 

 "Aku pun setuju," kata pula Siauw Bwee.

 

 Han Ki menarik napas lega melihat dua orang sumoinya telah duduk kembali di atas salju. "Kuharap saja tiga bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk tentang latihan Swat-im Sin-kang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai memahat arca kita."

 

 Dengan penuh perhatian dua orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki, kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan sin-kang yang mujijat itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan sin-kang mereka di waktu dahulu, mereka berdua menderita sekali, apalagi setelah tiba di tengah malam yang amat dingin. Namun, berkat kekuatan tubuh mereka, yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah memiliki Jit-goat-sin-kang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu dan pada keesokan harinya, Han Ki meninggalkan kedua orang sumoinya yang ia percaya akan mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.

 

 Tiga orang penghuni Istana Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee tekun berlatih sin-kang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh perhatian, mereka dapat melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Adapun Kam Han Ki yang bekerja dengan tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali batinnya. Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam. Dia berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin sulit baginya. Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoinya ini, cintanya makin mendalam dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw Bweelah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee!

 

 Akan tetapi, ketika ia mengerjakan arca Maya, dia membayangkan sumoinya ini dan jantungnya berdebar penuh gairah. Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoinya ini, apalagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan tubuh sumoinya. Maklumlah dia bahwa berahinya condong kepada Maya yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya selalu tergugah.

 

 Akhirnya, ketika dia membuat arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri lebih mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang di antara mereka! Kalau dia memilih Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee, sungguhpun Maya akan merupakan isteri yang selalu menyenangkan hatinya. Kalau dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan selalu merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita! Kalau dia memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan selalu timbul persaingan dan cemburu di antara kedua orang sumoinya itu yang memiliki watak jauh berbeda. Baru dalam rasa sayang sebagai adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah bersaing. Apalagi membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan menciptakan neraka dalam kehidupan mereka bertiga!

 

 Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah daripada tiga buah arca yang dibuatnya dahulu dan yang dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua orang sumoinya hampir tiba dan dia masihbelum mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoinya dan bagaimana dia akan mengambil keputusan?

 

 Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sin-kang sampai tingkat terakhir. Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sin-kang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sin-kang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!

 

 Akan tetapi, kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari, belum juga suheng mereka muncul!

 

 "Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?" Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau Es.

 

 "Mungkin arcanya belum selesai, Suci," kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.

 

 "Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini."

 

 Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan sucinya karena dia hendak melindungi Han Ki.

 

 "Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita."

 

 "Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!" Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalan ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama sucinya memasuki istana.

 

 Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar, kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu. Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata terbelalak kagum. Benar-benar suheng mereka tidak membohong, tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah daripada yang dibuatnya dahulu. Apalagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca itu, ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan, tetapi, ke mana perginya Han Ki?

 

 "Suheng, di mana engkau?" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan suhengnya di dalam ruangan itu.

 

 "Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!" Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama sucinya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.

 

 "Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat beberapa hari."

 

 "Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!" Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.

 

 Melihat ini, Siauw Bwee merasa tidak senang. "Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya."

 

 Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoinya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoinya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!

 

 Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.

 

 "Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan kita berdua di sini!"

 

 "Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?" Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.

 

 "Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andaikata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!"

 

 Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. "Maksudmu....?" tanyanya untuk mendapat ketegasan.

 

 "Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai sucimu tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!"

 

 "Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi.... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah perebutan hina...."

 

 "Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang peperangan, seorang bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!"

 

 Siauw Bwee marah sekali. "Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya Suheng." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat keluar dan lari dari situ.

 

 Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, "Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!" Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.

 

 Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suhengnya. Mungkin suhengnya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari "ilham" menghadapi persoalan yang ruwet itu. Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi sucinya itu. Kalau dahulu saja, sebelum meninggalkan pulau, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apalagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sin-kang. Dalam Ilmu Swat-im Sin-kang pun kekuatan mereka seimbang. Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak sucinya yang gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan malapetaka hebat. Andaikata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan sucinya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suhengnya? Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan sucinya yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi, cinta kasihnya terhadap suhengnya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apalagi membunuh Maya.

 

 Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya. Ia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, memanggil suhengnya,

 

 "Kam-suheng....!"

 

 Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun, tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.

 

 "Suheng....!"

 

 "Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!"

 

 Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya, dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.

 

 "Suci, mau apa engkau?"

 

 "Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!"

 

 "Aku tidak sudi!" jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.

 

 "Kalau tidak mau, minggat engkau dari sini!"

 

 "Aku pun tidak sudi pergi!" jawab pula Siauw Bwee.

 

 "Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Pergi dari sini atau cabut pedangmu menandingiku."

 

 "Kalau keduanya aku tidak sudi....?"

 

 "Akan kubunuh engkau di sini, sekarang juga!" Maya mengelebatkan pedangnya.

 

 "Suci, engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!"

 

 "Tidak, aku hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut. Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan menyerangmu!"

 

 "Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya maka aku rela berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini...."

 

 "Cukup! Lihat senjata!" Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam. Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar. Pedang yang meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung pedang akan menembus dada itu!

 

 "Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!" Maya berseru marah sekali. "Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?"

 

 Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan melawan sucinya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.

 

 "Singgg....!" Pedangnya telah tercabut.

 

 "Bagus, mari kita selesaikan!" Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.

 

 "Trang-cring-cringgg....!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.

 

 Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya.

 

 Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah mengambil keputusan untyk membunuh sumoinya dalam pertandingan ini. Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoinya, melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya.

 

 Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoinya itu amat cepat dan aneh membuat dia bingung dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu selama dalam perantauan ini, sumoinya telah mempelajari ilmu silat baru yang hebat! Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu perang saja!

 

 Maya amat cerdik. Diam-diam dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha menyelami dan mempelajari intinya. Namun, sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya terkurung dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit pun juga! Maya makin terkejut, lalu berusaha mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga sin-kangnya. Dahulu, sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat sin-kangnya masih menang sedikit dibandingkan dengan sumoinya, dan tentu gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat tenaganya lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis, dengan maksud untuk membuat pedang sumoinya patah atau terpental.

 

 "Cringgg....!" Nyaring sekali bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung mundur dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!

 

 "Aihhh....!" Tak terasa lagi Maya berteriak kaget. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sin-kang pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sin-kang.

 

 Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini bermaksud mengadu nyawa! Lebih baik mati bersama daripada dia kalah dan kehilangan Han Ki!

 

 Kalau dia menghendaki, biarpun tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang. Namun, dara ini di balik kemarahannya masih sadar bahwa dia tidak boleh melukai sucinya, apalagi membunuh karena hal itu mungkin akan menjadi sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah, maka dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai mendatangkan serangan maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia hanya akan mengalahkan sucinya tanpa mendatangkan luka berat.

 

 Akan tetapi, tentu saja hal ini sama sekali tidak mudah. Biarpun dia dapat menandingi sucinya karena ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sin-kang, namun kelebihan tingkatnya tidak berapa banyak. Betapapun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sin-kang, tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya, membuat sucinya menjadi bingung dan terdesak.

 

 Lebih dari dua ratus jurus mereka bertanding namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan terluka bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin penasaran, dan Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa suhengnya belum juga datang? Sukar untuk menahan serbuan dahsyat sucinya, dan kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan terluka dan mungkin terancam maut! Karena itu, mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan sucinya dengan jurus-jurus dahsyat. Biarpun dia menggunakan jurus-jurus yang ia pelajari dari suhengnya, namun dia memasukkan inti gerakan dari gerak kilat kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya.

 

 Menghadapi serangan dahsyat ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit bibirnya melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar, ujung pedang lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai pundak kirinya!

 

 "Aihhh....!" Maya terhuyung dan biarpun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh miring. Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan kirinya seperti lumpuh.

 

 Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya. "Suci....!"

 

 Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia membabat dengan pedang di tangannya, dengan tubuh masih rebah miring.

 

 "Singgg.... crakkk! Aduuuhhh.... Suci....!"

 

 Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang buntung.

 

 "Suci.... kau.... kau....!" Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.

 

 Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga. Pedang sumoinya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoinya tadi bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian memandang sumoinya yang memandangi kaki yang buntung.

 

 "Sumoi.... aduh.... Sumoi.... apa yang telah kulakukan....!"

 

 "Suci....!"

 

 "Sumoi....!"

 

 Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoinya dan memeluknya.

 

 "Sumoi.... kauampunkan aku...." Maya memeluk dan menciumi sumoinya akan tetapi melihat sumoinya diam tak bergerak, disangkanya sumoinya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil nama sumoinya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee yang juga pingsan. Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu diombang-ambingkan gelombang. Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoinya, Han Ki mengerahkan seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil minggirkan perahunya dan meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi.

 

 Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoinya itu bertanding mati-matian di atas tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoinya bahwa badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi, istana itu sunyi, kedua orang sumoinya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!

 

 Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoinya saling berpelukan dan bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.

 

 Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah mengejar sumoinya!

 

 Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andaikata dia dapat bergerak pun akan terlambat, karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,

 

 "Siauw Bwee....! Maya....!"

 

 Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani turun! Betapapun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoinya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.

 

 "Maya-sumoi....! Khu-sumoi....!" kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu. Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga manusia.

 

 Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas.

 

 Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking panjang,

 

 "Maya....! Siauw Bwee....!"

 

 Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan khi-kangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoinya tanpa hasil. Kedua sumoinya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan menyedihkan.

 

 ***

 

 Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!

 

 Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu. Betapapun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!

 

 Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.

 

 Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya. Kini, dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu berahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.

 

 Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama habis dan untuk menyambung hidupnya, Suma Hoat terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.

 

 Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapapun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan. Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan. Melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu, sungguh mengerikan dan semua yang melihatnya tidak ada yang akan menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.

 

 Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya.

 

 Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.

 

 Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar.

 

 Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya keluar dari tempat ini.

 

 Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sin-kang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es!

 

 Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas, merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguhpun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar.

 

 Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.

 

 "Istana....? Istana.... Pulau Es....?" Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.

 

 Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada di sana?

 

 Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Dua orang dara itu, sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apalagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu?

 

 Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja. Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa! Dia segera menuruni anak tangga perlahan-lahan dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.

 

 "Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?

 

 Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?

 

 Haruskah cinta berdampingan dengan benci?

 

 Di mana ada cemburu dan iri,

 

 adakah cinta di sana?

 

 Aduhai sayang,

 

 sesungguhnya siapa yang kalian cinta?

 

 Akukah.... atau diri kalian sendiri?"

 

 Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguhpun suara itu masih menggetar penuh perasaan,

 

 "Setiap orang manusia ingin dicinta

 

 tanpa ada yang menyayang,

 

 hidup terasa hampa,

 

 mengapa....?

 

 Karena hatinya tidak mengenal cinta!

 

 yang tidak mengenal cinta,

 

 haus akan cinta

 

 dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati

 

 tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai

 

 cinta sejati hanya kenal memberi

 

 tak tahu minta

 

 tak ingin jasa!"

 

 Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah hatinya tidak mengenal cinta? Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.

 

 "Betapa ingin mata memandang mesra

 

 betapa ingin jari tangan membelai sayang

 

 betapa ingin hati menjeritkan cinta

 

 namun Siansu berkata :

 

 Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!

 

 Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?

 

 tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,

 

 dunia takkan pernah tercipta!

 

 Betapapun juga, cinta segi tiga

 

 tidak membahagiakan!

 

 menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain

 

 akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan

 

 ikatan persaudaraan dilupakan

 

 akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!

 

 Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu

 

 bahwa sengsaralah buah dari nafsu!"

 

 Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup,

 

 "Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?"

 

 Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata, "Harap Kam-taihiap sudi memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang mengamuk."

 

 Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!

 

 Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!

 

 "Suma Hoat, setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?"

 

 Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab,

 

 "Maaf, Taihiap. Terus terang saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di antara mereka akan kautolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di antara mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia."

 

 Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata,

 

 "Dua orang nona yang kaucari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!"

 

 Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Adapun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.

 

 "Apa.... apa maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?" Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apalagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi.

 

 Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sin-kang. Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.

 

 Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.

 

 "Jadi.... me.... mereka.... telah tewas....?" Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.

 

 Kam Han Ki menggeleng kepalanya. "Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...."

 

 "Ahhhh....!" Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apalagi dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!

 

 "Mengapa....? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai? Mengapa....?" dia berteriak penuh penasaran.

 

 "Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kauketahui juga," Han Ki berkata tenang dan tegas.

 

 "Urusan mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!"

 

 Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata, "Andaikata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri, mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kaurindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apabila engkau memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta berahi belaka!"

 

 Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapapun menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Betapapun juga, dia merasa penasaran dan bertanya,

 

 "Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?"

 

 Kam Han Ki menghela napas panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk, mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurangsadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri. Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.

 

 "Suma Hoat, cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati. Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu, iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana ada cemburu dan lain-lain itu, apalagi benci, di sana tidak mungkin ada cinta!"

 

 Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata, "Aihhh.... aku menjadi bingung, Taihiap.... aku harus merenungkan kata-katamu itu.... aku tidak mengerti...."

 

 "Apabila rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di sini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya."

 

 "Terima kasih atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan berarti mengumbar hawa nafsu berahi belaka. Saya akan bertapa di sini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!"

 

 Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan menoleh, berkata, "Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal, dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat." Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu, merasa seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi!

 

 ***

 

 Selama beberapa hati, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee. Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.

 

 Namun, istana Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang dibuai asmara :

 

 "Betapa ingin mata memandang mesra

 

 betapa ingin jari membelai

 

 sayang

 

 betapa ingin hati

 

 menjeritkan cinta....

 

 Suma Hoat menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal yang rusak oleh cinta gagal pula!

 

 Dengan penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sin-kang. Pulau Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih sin-kang, karena hawa udara di situ amat dinginnya. Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya, pemuda tampan putera bangsawan yang sudah biasa hidup mewah itu, hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya!

 

 Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.

 

 Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali. Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.

 

 Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari atas ranjang lalu.... sadar dari mimpi!

 

 "Aughhhh....!" Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat yang memenuhi muka dan leher bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari keluar.

 

 Biarpun dia telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu berahi yang mengguncangnya dan menguasainya. Nafsu berahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, membuat dia makin tersiksa.

 

 "Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu mengandung racun perangsang berahi!"

 

 Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan sin-kangnya untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang tidak sewajarnya itu. Namun, racun ini benar-benar hebat sekaii. Terlalu banyak dia makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam. Andaikata dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan maupun secara kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.

 

 "Manusia lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang nafsu berahi saja tidak kuat bertahan!" Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki! Sekarang dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!

 

 Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu berahi karena datangnya segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri! Andaikata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya, biarpun berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu berahi akan timbul, baik dengan racun ular merah maupun tidak!

 

 Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata batinnya. Batinnya selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi. Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain. Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri apabila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin. Hanya orang yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir maupun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka, benci, munafik, berahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.

 

 Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menunjukkan pandang matanya ke luar, mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab persoalan. Andaikata manusia suka menunjukkan pandang matanya ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru.

 

 Setelah mengerahkan seluruh tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma Hoat yang selama tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak makan.

 

 Selagi dia menghentikan perlawanannya terhadap racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana. Dia terkejut dan heran, cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari bahan makanan yang banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia terbelalak dan mencelat ke belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu adalah barisan ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada ribuan ekor banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin dari bawah istana, mungkin juga dari pantai laut yang letaknya di belakang istana.

 

 Suma Hoat terkejut dan pucat wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat menjijikkan dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai di mana dia meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang. Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar. Dia mulai membuat goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan tangan gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya itu kasar dan buruk jadinya.

 

 "Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk agaknya, tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?"

 

 Tulisan itu dibuat oleh Suma Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai peninggalan pesan untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk kembali ke daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu.

 

 ***

 

 Kegagalan Suma Hoat di Pulau Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri, membuat penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat, dunia kang-ouw menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, juga amat berani.

 

 Dalam petualangannyayang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara siapa saja yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, maupun puteri seorang ketua partai persilatan besar, anak murid partai besar, asal bertemu dengan dia dan membangkitkan berahinya, tentu akan dibujuknya atau dipaksanya!

 

 Perbuatannya ini membuat nama Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah tidak dikenal orang. Selain itu, juga mendatangkan banyak musuh karena banyak orang-orang gagah ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan merasa sakit hati dan menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian. Namun, sampai belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah yang roboh di tangannya, tidak mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri sehingga jarang ada orang mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang sempat hidup setelah diperkosanya. Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan menyimpan rahasianya sampai mati.

 

 Hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya sebagai seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat memang sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang kejahatan, membasmi gerombolan perampok, membela yang tertindas dan seringkali membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari sarang-sarang perampok. Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang menggerakkan hatinya, baik secara halus maupun kasar!

 

 Di antara orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Seringkali mereka berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan di antara kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun, semua nasihat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa (memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.

 

 Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho, terdengar jerit mengerikan seorang wanita di antara suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan kesakitan.

 

 Kiranya, sebuah rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga, bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik wanita. Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang cantik. Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan itu!

 

 Biarpun rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi tempat itu.

 

 "Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!" kepala rampok itu tertawa-tawa.

 

 "Tai-ongya, di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!" seorang perampok melapor sambil cengar-cengir.

 

 "Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang menangkapnya!"

 

 Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.

 

 "Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau.... ha-ha!"

 

 "Pergi! Jangan ganggu anakku!" Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar keluar dari kereta!

 

 "Jangan ganggu anakku! Setan, perampok jahat....! Tolooonnggg....!" Ibu dara itu menjerit, akan tetapi kembali tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.

 

 Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat mereka terlempar dari kereta sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!

 

 "Bretttt!" Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.

 

 Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok, menjerit-jerit dan menggunakan kedua tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.

 

 Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!

 

 "Lepaskan dara itu!" Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan memerintah pelayannya saja.

 

 Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata, "Kiranya masih ada yang belum mampus, keparat!" Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan yang buntung!

 

 "Singgg....! crottt!" Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!

 

 Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya tcrjengkang rohoh, matanya terbelalak dan ia berkelojotan dalam sekarat!

 

 Karena para perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar.

 

 Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata. Akan tetapi, laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi seorang! Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung!

 

 Selesailah pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yangsalin g merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya.

 

 Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat.

 

 "Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap," kata Si Ayah.

 

 "Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik." Terdengar pendekar itu berkata.

 

 Mendengar suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?

 

 "Pertolongan In-kong lebih berharga daripada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya." Dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.

 

 Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya bangkit,

 

 "Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkanmu, Nona."

 

 "Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?" kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.

 

 "Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah, karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar aku yang akan mengemudikannya."

 

 Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya, "Milik siapakah barang-barang di dalam kereta ke dua di belakang itu?"

 

 "Bukan milik kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini."

 

 Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.

 

 Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan apabila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu!

 

 Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali, terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!

 

 Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis ini dan di dalam diri Bi Kiok, dia seolah-olah menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu berahi seperti biasanya?

 

 Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat "jinak", tidak pernah keluar rumah. Apalagi setelah ayah bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya.

 

 Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya malapetaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula. Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biarpun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apalagi melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.

 

 Pada suatu malam, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang pulas dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah! Dia menengok dan memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang seperti biasa wajah seorang wanita yang mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh kepuasan dan kebahagiaan. Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia telah meloncat keluar dari kamar membawa pedangnya.

 

 Tepat seperti apa yang diduga dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima orang telah menghadapinya!

 

 "Jai-hwa-sian, iblis keparat, serahkan nyawamu kepada kami!" seorang di antara mereka membentak. Tanpa menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata mereka.

 

 Suma Hoat tidak ingin mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya, maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu melakukan pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar dari kota Lok-yang.

 

 Akan tetapi yang mengejar Suma Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio, telah melayang turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di situ, dia kaget dan heran sekali. Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,

 

 "Harap engkau tidak kaget dan lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa engkau tentu mempunyai seorang gadis."

 

 Tentu saja Kwa Liok bingung dan heran. Dia menangguk, menelan ludah dan berkata, "Memang, Twa-suhu, kami mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi.... mengapa....?"

 

 "Lekas, lihat ke dalam kamarnya!" Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalau-kalau Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.

 

 Biarpun ragu-ragu dan heran, Kwan Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang menjadi pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya. Tanpa bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar ditekuk perlahan oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil nama anaknya.

 

 Tak lama kemudian terdengar jawaban, "Ehmmm....? Siapa....? Eihh, ke mana perginya....?"

 

 "Bi Kiok, engkau tidak apa-apa?"

 

 Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang bingung.

 

 Daun pintu terbuka dan Bi Kiok terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika melihat seorang hwesio bersama ayah bundanya. "Eh, ada apakah, Ayah?"

 

 "Omitohud....!" Hwesio itu menarik napas panjang dan merasa lega. "Untung bahwa Tuhan masih melindungi puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian."

 

 Kwa Liok, isterinya, dan Bi Kiok terkejut. "Jai-hwa-sian....?" Tentu saja mereka telah mendengar nama penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh pertanyaan.

 

 "Ya, benar, baru saja kami berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar teman-teman pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya sekarang juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan akan terus melakukan pengejaran."

 

 "Tapi.... tapi...." Kwa Liok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.

 

 "Biarpun teman-teman pinceng tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau membunuhnya. Dia amat lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah menjadi mayat."

 

 "Lo-suhu, siapakah yang kaumaksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama sekali bukan Jai-hwa-sian, melainkan.... eh, suamiku.... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian...." Bi Kiok yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan hatinya dan berkata dengan tegas. Biarpun dia belum menikah secara resmi dengan kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri, maka kini mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah terkenal di mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.

 

 "Omitohud.... suamimu....? Apa artinya ini....? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma Hoat.... haittt!" Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.

 

 "Jai-hwa-sian....!" Hwesio itu membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.

 

 "Hemmm, agaknya engkau murid Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!"

 

 Suma Hoat menggerakkan pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat menangkis dan terjadilah pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan Suma Hoat. Baru dua puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat keluar dari rumah, melarikan diri.

 

 "Engkau hendak lari ke mana?" Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini memeluk dan menangis.

 

 "Engkau.... engkau.... benarkah engkau Jai-hwa-sian....?"

 

 Suma Hoat merangkul pundak kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas.

 

 "Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku calon ibu anakku.... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku mencintamu, bukan?"

 

 Bi Kiok mengangkat muka memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya. Sambil menangis dia hanya mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah laki-laki yang dicintanya, benarkah orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji? Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!

 

 "Bi Kiok, hwesio tadi benar. Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan bekas, karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu. Dan hwesio tadi benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari sini, malam ini juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah menjadi kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan terbawa-bawa, akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah engkau."

 

 "Suma-koko.... aku mau mati di sampingmu...." Bi Kiok menangis.

 

 "Suma-taihiap, bagaimanakah ini....?" Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.

 

 "Apa yang kalian dengar dari hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini. Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong di lembah sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw bernama Im-yang Seng-cu, kautanya-tanya di sana tentu akan bertemu. Mintalah perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, tentu dia akan mellndungi Bi Kiok kalau membawa surat ini, sampai Bi Kiok melahirkan dan sebelum itu, aku akan berusaha untuk menyusul ke sana...."

 

 Suma Hoat menyerahkan sepucuk surat dan sebuah pundi-pundi. "Ini adalah uang emas untuk bekal di perjalanan. Nah, berangkatlah...."

 

 Kwa Liok hanya mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu lari ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat mereka bawa melarikan diri.

 

 Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang lagi mengajaknya, dia masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan setengah diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta.

 

 Suma Hoat berdiri dengan jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan cinta berahi, melainkan cinta seorang suami terhadap isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya!

 

 Tiba-tiba ia sadar dari lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat keluar rumah dan di depan rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek, lalu berkata,

 

 "Apa kalian sudah bosan hidup? Mau apa kalian mencari Jai-hwa-sian?"

 

 "Jai-hwa-sian iblis jahat. Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw akan selalu mencarimu!"

 

 Suma Hoat tertawa melengking dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata yang mengeroyoknya. Terdengar suara senjata beradu keras sekali, Suma Hoat mengamuk dan setelah merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar dari kota Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi Kiok dan ayah bundanya.

 

 Setelah dapat membebaskan diri dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke kota Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan memutar agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau ada yang melihat dan membayanginya.

 

 Karena perjalanan yang memutar ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san, memasuki kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan rombongan tiga orang itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.

 

 "Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa yang membawamu ke sini?" Im-yang Seng-cu cepat menyambut sahabatnya itu dan menegur gembira.

 

 Dengan singkat Suma Hoat lalu menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru tentang Bi Kiok dan orang tuanya yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.

 

 "Sudah lebih dari tiga bulan mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari mereka di sini tidak ada, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong. Jangan-jangan ada halangan di jalan...." Suma Hoat kelihatan gelisah sekali memikirkan kekasihnya.

 

 Im-yang Seng-cu memandang heran. "Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku bahwa agaknya engkau amat memperhatikan wanita yang kaucari ini?"

 

 "Memperhatikan? Im-yang Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!"

 

 "Kau? Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak pernah mengenal cinta, apalagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!"

 

 "Sungguh aku tidak main-main. Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satu-satunya yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku, dan.... dan dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan dia....! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku harus pergi sekarang juga!" Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan penuh kekhawatiran.

 

 "Eh-eh, ke mana, sahabatku?"

 

 "Aku harus mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku akan menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!" Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

 

 "Aihhh.... sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!" Im-yang Seng-cu yang biasanya memang suka merantau, menjadi tidak kerasan di pondoknya dan beberapa hari kemudian, Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti biasa.

 

 Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu, maka begitu dia memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua! Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!

 

 Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,

 

 "Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?"

 

 "Omitohud....!" Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. "Engkau sendiri telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu itu?"

 

 "Tidak perlu berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam kalian ini! Sekarang, isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!" Suma Hoat mencabut pedangnya.

 

 "Siancai.... orang ini benar-benar tak tahu diri!" Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah dan seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju mengeroyok Suma Hoat.

 

 Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula. Namun, dia sudah marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia mengamuk seperti seekor naga terluka!

 

 Namun, jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biarpun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya! Dengan luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para pengeroyoknya. Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat. Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.

 

 Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya, telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!

 

 Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.

 

 "Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah," Im-yang Seng-cu berkata.

 

 "Musuh-musuhku.... terlalu lihai.... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...."

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang. "Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San Hwesio. Adapun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!"

 

 Suma Hoat terkejut. "Aahhh.... pantas kalau begitu.... aku tidak penasaran terluka parah.... akan tetapi, tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...." Ia berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. "Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku."

 

 "Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan diri darimu, entah bersembunyi di mana."

 

 "Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!" Suma Hoat berkata penuh semangat dan kepercayaan.

 

 "Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan menyembunyikannya."

 

 "Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!"

 

 Im-yang Seng-cu menghela napas panjang.

 

 "Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!"

 

 "Ahhhh.... akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung.... anakku...." Suma Hoat terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan penasaran.

 

 Melihat ini, Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.

 

 "Biarlah aku akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah darr berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu."

 

 "Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan budimu."

 

 "Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?"

 

 Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan sahabatnya. "Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah, engkau tahu bukan di mana dia? Aku mendengar dia kini berada di Tai-hang-san...."

 

 Im-yang Seng-cu mengangguk. "Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san." Im-yang Seng-cu lalu memondong tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.

 

 Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong. Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari kebinasaan!

 

 Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andaikata dia membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran inilah, biarpun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!

 

 Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.

 

 Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra) dan sama sekali buta silat!

 

 Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Adapun Suma Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.

 

 Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena persekutuan dengan pihak Yucen itu, melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi, mereka tidak lupa membawa banyak harta benda.

 

 Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat menghadap.

 

 "Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!" bentaknya. "Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang gucumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!"

 

 Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhunya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang besar. Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.

 

 "Suma-locianpwe," katanya dengan berani. "Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andaikata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri."

 

 "Tutup mulut! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat! Im-yang Seng-cu, aku dahulu menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau seorang anak baik yang tidak pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang engkau hendak menentangku, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan mengusirmu dari sini!"

 

 Tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking nyaring disusul suara seorang wanita, "Bagus sekali, dasar manusia jahat seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!"

 

 "Maya....!" Tiba-tiba Suma Hoat yang berlutut dan berusaha melompat akan tetapi roboh kembali karena tubuhnya masih lemah dan pukulan batin mendengar ucapan ayahnya tadi benar-benar membuat hatinya makin remuk. Im-yang Seng-cu cepat memeluknya dan dengan mata terbelalak melihat betapa ada bayangan didahului sinar berkelebat menyambar ke arah tubuh Suma Kiat!

 

 Kakek yang masih lihai sekali ini sudah mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Suma Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan itu berkelebat keluar.

 

 "Keparat, hendak lari ke mana?" Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan tetapi baru sampai di pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat keluar meninggalkan suara melengking dan mengerikan!

 

 Bu Ci Goat yang lihai itu telah berhasil bangun lebih dulu daripada Siangkoan Lee yang merangkak dan terengah-engah karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat dadanya sesak. Bu Ci Goat cepat menghampiri suaminya dan terkejut melihat goresan pedang melukai leher dan dada suaminya. Suma Kiat dipapah bangun, duduk di kursinya dan melihat Suma Hoat, bangkit lagi kemarahannya, seolah-olah anaknyalah yang mendatangkan malapetaka itu. Telunjuknya menuding, "Pergi....! Pergi kalian dari sini....!"

 

 Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, mengempit tubuh temannya dan membawanya keluar. Anak murid In-kok-san yang berbaris di depan, hanya memandang bengong. Mereka tidak berani mencampuri dan tadi ketika ada bayangan berkelebat cepat, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.

 

 Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee cepat merawat Suma Kiat. Akan tetapi, biarpun serangan pedang itu mendatangkan luka yang tidak berapa berat, serangan batin karena munculnya Suma Hoat lebih hebat dan membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak mampu meninggalkan pembaringannya.

 

 Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat pergi dan berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan itu. Suma Hoat mengeluh minta diturunkan, lalu berkata,

 

 "Im-yang Seng-cu, apakah engkau melihat dia tadi?"

 

 Im-yang Seng-cu menggeleng kepalanya. "Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku hanya tahu bahwa dia seorang wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya luar biasa sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti dan musuh Suma Kiat."

 

 "Dia adalah Maya.... penghuni Pulau Es...."

 

 Im-yang Seng-cu terkejut bukan main.

 

 "Akan tetapi.... mungkin hanya rohnya saja.... dia.... dia sudah mati...."

 

 Mendengar ini, Im-yang Seng-cu makin bingung dan meraba dahi sahabatnya.

 

 "Engkau panas lagi. Harap jangan pikirkan apa-apa dan beristirahatiah."

 

 "Im-yang Seng-cu, engkau satu-satunya sahabatku. Kaupenuhilah permintaanku. Kautinggalkan aku di sini dan pergilah kaucari Bi Kiok."

 

 "Akan tetapi engkau perlu perawatan," Im-yang Seng-cu membantah.

 

 Tiba-tiba terdengar jawaban seorang wanita,

 

 "Biarlah aku yang akan merawatnya, Im-yang Seng-cu."

 

 Im-yang Seng-cu menengok dan melihat bahwa Bu Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat, telah berdiri di situ. Biarpun usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita itu masih tampak cantik dan pakaiannya mewah.

 

 "Jangan kau kawatir, biarpun ayahnya membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi permintaannya, aku yang akan merawatnya di sini."

 

 Im-yang Seng-cu masih ragu-ragu, menoleh kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan berkata lemah,

 

 "Pergilah dan cari dia, Im-yang Seng-cu. Ibu tiriku akan merawatku di sini."

 

 Legalah hati Im-yang Seng-cu dan dia segera pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci Goat. Setelah Im-yang Seng-cu pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat, memeriksa keadaannya.

 

 "Hemm, kulihat engkau telah diobati dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma Hoat, siapakah adanya bayangan yang menyerang ayahmu tadi?"

 

 Suma Hoat menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu...."

 

 "Akan tetapi, engkau tadi menyebut nama Maya...."

 

 "Mungkin dia, aku tidak yakin. Dia sudah mati ditelan badai.... andaikata benar dia, agaknya dia kaget dan takut dikenal olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi Ayah...."

 

 "Dia lihai bukan main!"

 

 "Dia penghuni Pulau Es, tentu saja amat sakti...."

 

 Mengingat akan cinta kasihnya dahulu, Bu Ci Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan menyuruh anak buahnya membangun sebuah pondok. Semua itu dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh Suma Kiat yang juga jatuh sakit.

 

 ***

 

 Setelah Suma Kiat jatuh sakit, maka tampaklah betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang pandai memimpin. Semua urusan berada di tangannya dan semua anak buah In-kok-san yang telah dikumpulkan untuk menyenangkan hati gurunya, amat tunduk dan setia kepadanya. Juga ilmu kepandaian Siangkoan Lee menjadi hebat. Boleh dibilang seluruh ilmu gerakan telah dia kuasai, dan biarpun dibandingkan dengan Bu Ci Goat dia masih kalah setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan Lee telah menjadi seorang yang sukar dicari lawannya.

 

 Munculnya Suma Hoat menimbulkan gairah cinta lama di hati Bu Ci Goat. Biarpun wanita ini secara diam-diam telah memuaskan nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang menjadi anak buah In-kok-san, namun begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali cintanya, maka dia lalu melakukan pengejaran dan berhasil menemukan Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, bahkan dia lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri yang pernah menjadi kekasihnya itu.

 

 Akan tetapi, dia segera mengalami kekecewaan. Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma Hoat telah menjadi seorang yang sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya, bahkan dengan suara dingin bekas Jai-hwa-sian ini berkata,

 

 "Bu Ci Goat, harap kau jangan menimbulkan lagi persoalan hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsumu. Hal pertama kali yang merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat perbuatanmu. Ketahuilah, pada saat ini, di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang kucinta, dan aku telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia! Aku tidak dapat melayani hasratmu, dan engkau hendak merawatku atau tidak setelah penolakanku ini terserah kepadamu!"

 

 Tentu saja Bu Ci Goat merasa malu sekali dan mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih sayangnya kepada Suma Hoat dia masih menyuruh beberapa orang anak buahnya merawat dan memenuhi kebutuhan anak tirinya itu. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan nafsu berahinya yang selalu mendesak, mulailah dia menggoda Siangkoan Lee yang biarpun rupanya buruk seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan laki-laki yang tidak pernah bermain gila dengan wanita sehingga keadaannya itu membangkitkan berahi Bu Ci Goat yang merasa penasaran apakah dia tidak akan dapat menjatuhkan hati pria yang berhati teguh ini!

 

 Dan dia berhasil. Akan tetapi, karena memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan sakit, dua orang ini kurang hati-hati dan mereka berani mengadakan pectemuan di dalam kamar Bu Ci Goat yang hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada suatu hari, masih siang, kedua orang yang mabuk nafsu itu sedang berada di dalam kamar, tidak tahu sama sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara mereka, turun dari pembaringan dan menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.

 

 "Ci Goat....!"

 

 Suma Kiat mendorong pintu, terbuka, dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke atas tempat tidur Bu Ci Goat di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang paling dicinta dan diperceya, terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya, kehabisan akal! Tiba-tiba Suma Kiat mengeluh, menekan dada kiri dengan tangan kanan, menyemburkan darah dari mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan robohlah kakek ini ke atas lantai!

 

 Serangan batin yang hebat ini tidak tertahan oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh pingsan dan tidak sadar kembali. Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan dilakukan upacara sembahyang, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang berkabung, menangis sedih di depan peti mati.

 

 Suma Hoat yang masih lemah, datang juga untuk bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya meninggal dunia. Setelah bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat, berkata perlahan,

 

 "Apa gunanya setelah mati ditangisi?"

 

 Ucapan itu ditujukan kepada selir ayahnya yang dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu, yang selalu menyeleweng, seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang sesungguhnya tidak patut mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat Siangkoan Lee menjadi merah sekali karena dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci Goat, dia merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri dan berkata,

 

 "Mengapa Suheng berkata demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biarpun Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya, bagaimana berkata demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak menunjukkan kekuasaan di sini menuntut warisan dengan kekeraaan?"

 

 Menggigil tubuh Suma Hoat saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu. "Bedebah, kau sombong sekali, Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang telah menerima budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang ajar kepadaku? Apa kaukira aku takut kepadamu?"

 

 Melihat ini, Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri, "Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali ribut-ribut di depan peti mati!"

 

 Suma Hoat menarik napas panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu tirinya itu. "Kalian dengarlah baik-baik. Biarpun aku putera Ayah, namun Ayah sudah tidak mengakui aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku tidak akan menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku." Setelah berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi datang sampai peti ayahnya dikubur.

 

 Hatinya menjadi makin risau dan tertekan. Dia merasa betapa hidpnya penuh dengan kekecewaan dan kesengsaraan. Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai seorang yang amat jahat. Tiap kali dia teringat akan semua perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa kalau sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua kesalahannya, akan membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang!

 

 Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara berat mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.

 

 "Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal sehingga tidak ada yang tahu. Ke dua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri darimu dengan mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini."

 

 Suma Hoat mengeluh dan semenjak saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha menghibur dan merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan hidup, kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian.

 

 Akhirnya, hanya berselisih setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu, satu-satunya orang yang mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya!

 

 Dengan sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di lereng bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf : MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT. Kemudian dia membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit sambil bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh sekali, berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga seringkali dia dianggap berotak miring.

 

 Apakah benar bayangan yang menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh Suma Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya maupun Khu Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada orang yang berterTru dengan seorang di antara mereka.

 

 Juga Kam Han Ki lenyap dan sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang sakti dan aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah bersepatu, berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan namanya. Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Keanehannya adalah serupa dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusi dewa yang menjadi dongeng di dunia kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih bulu! Karena itu, banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada siapa saja yang memintanya.

 

 Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia dapat melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan hal itu kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia. Yang jelas, duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal diri sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting mengenal sumber dari segala duka di dalam diri sendiri. Kalau sudah mengenal diri sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka, bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran yang mengingat masa lampau. Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak akan menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka, menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan mengenal diri sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh dari jangkauan duka.

 

 Koai-lojin yang kelihatan sebagai seorang kakek sederhana itu, paling suka berkelana di tempat-tempat sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat solah-tingkah manusia. Akan tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam Istana Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga arca buatannya sendiri, dan setelah membersijkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan lagi Pulau Es. Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoinya, bahkan kemudian sama sekali tidak mencarinya. Namun, sebagai penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh surat-surat itu di dalam Istana Pulau Es.

 

 Puluhan tahun kemudian, Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor biruang salju yang berbulu putih, meninggalkan biruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni dan penjaga! Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul di dunia ramai.

 

 Semua kedukaan yang menimpa diri tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah gara-gara cinta, tentu demikian pendapat kita. Akan tetapi, benarkah demikian? CINTA tidak akan mendatangkan sengsara, karena CINTA itu adalah KEBENARAN, CINTA adalah KENYATAAN, CINTA adalah TUHAN! Di dalam CINTA, tidak ada si pemberi dan si penerima, tidak ada si pencinta dan yang dicinta. Berbahagialah manusia yang mengenal dan memiliki CINTA ini di dalam dirinya, karena CINTA ini sesungguhnya juga BAHAGIA!

 

 Cinta yang dikenal umum bukanlah cinta sejati. Kalau Suma Hoat menyatakan "Aku cinta Bi Kiok!" maka sesungguhnya bukan Bi Kiok yang dicintanya, melainkan dirinya sendiri! Segala macam derita, kekecewaan, kebencian, cemburu, kemunafikan, iri hati dan dengki, semua ini timbul dari apa yang disebut cinta itu, yaitu cinta kepada si aku, bukan CINTA yang sejati. Cinta kepada si aku sajalah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Aku dirugikan, anakku diganggu, hartaku dicuri, keluargaku dihina, bangsaku, negeriku, agamaku tidak dihargai, maka marahlah AKU, bencilah AKU kepadanya!

 

 Karena itu, selama AKU, ENGKAU, dan DIA menjadi pendorong semua perbuatan, maka timbullah pertentangan, dan selama ada pertentangan, timbullah duka sengsara. Sebaliknya, kalau semua perbuatan itu berdasarkan CINTA tanpa perpecahan aku-engkau-dia, kiranya sebutan Sorga bukan hanya terdapat dalam dongeng belaka, karena bumi kita ini menjadi Sorga dan kita adalah mahluk-mahluk manusia yang sebenarnya, bukan hanya hamba-hamba nafsu.

 

 Sampai di sini, pengarang mohon diri dan mudah-mudahan dapat berjumpa kembali dalam karangan mendatang.

 

 TAMAT

 

 

 


No comments:

Post a Comment