KISAH PENDEKAR BONGKOK
Cipt: Kho Ping Ho
Serial
Bu Kek Sian Su (6)
Episode 1
SIE Kauwsu (Guru Silat Sie) membaca surat itu
dengan kedua tangan agak gemetar dan mukanya berubah pucat. Karena senja hari
telah tiba dan cuaca tidak begitu terang lagi, dia lalu menyalakan sebuah lampu
meja, kemudian dibacanya sekali lagi surat itu. Sehelai kertas yang bertuliskan
beberapa buruf dengan tinta merah.
"Sie Kian, akhirnya aku dapat menemukan
engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluargamu dan segala mahluk yang
hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh semua!"
Demikianlah bunyi surat itu. Tanpa nama
penulisnya. Akan tetapi, Sie kauwsu atau Sie Kian tahu benar siapa penulisnya.
Tadi dia menemukan surat itu pada daun pintu belakang rumahnya, tertancap pada
daun pintu dengan sebatang piauw (senjata rahasia) beronce merah. Dia mengenal
benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia pernah terluka pada pundaknya oleh
piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu.
Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke daerah Hok-kian untuk mengunjungi
seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin melancong, karena semenjak menjadi guru
silat, dia tidak pernah sempat melancong. Kini dia mempunyai seorang murid
terpandai yang dapat mewakilinya mengajar para murid sehingga dia mempunyai
kesempatan untuk pergi. Kepergiannya direncanakan selama satu bulan. Dia tidak
dapat membawa anak isterinya, karena anaknya yang ke dua, baru lahir beberapa
bulan yang lalu. Masih terlalu kecil untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama,
seorang anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun, juga tidak dapat
diajak pergi karena harus membantu ibunya di rumah. Maka diapun pergi seorang
diri ke timur.
Di dalam perjalanan inilah terjadinya
peristiwa itu. Dia melihat perampokan di dalam hutan terhadap sebuah keluarga
bangsawan yang melakukan perjalanan dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang
suami isteri yang masih muda. Kurang lebih duapuluh lima tahun usia mereka. Sie
Kian turun tangan melindungi bangsawan itu dan terjadilah perkelahian antara
dia dan suami isteri itu. Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi
mereka masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang.
Perkelahian itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, dan luka parah
pada perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya dan menanyakan
Sie Kian. Sie Kian sendiri juga terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata
rahasia piauw yang dilempar oleh perampok itu.
"Sie Kian, kalau engkau membunuhku, aku
tidak akan begini merasa sakit hati," demikian perampok itu sebelum pergi.
"Juga kalau engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, akupun tidak
perduli. Akan tetapi engkau telah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah
bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan
semua penghuni rumahmu!" Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda
itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa
ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.
Akan tetapi, ternyata hari ini ada surat dan
piauw beronce merah! Perampok itu ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman
kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima tahun semenjak peristiwa itu,
perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan ancamannya dan sumpahnya!
Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan
tetapi, dia tidak takut! Selama hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki
yang jantan. Demi membela kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman
surat itu hanya ancaman seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan
menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia
tidak akan minta bantuan orang lain!
Setelah termenung sejenak, Sie Kian menyimpan
surat dan piauw itu ke dalam kantung bajunya, dan diapun memasuki kamar di mana
isterinya sedang berbaring menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru
berusia sepuluh tahun dan mereka beri nama Sie Liong. Dengan wajah tenang saja
Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada isterinya, di mana
adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong. Dia dan isterinya memang hanya
mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima
belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih barulah isterinya
melahirkan Sie Liong.
"Ia baru saja keluar dari sini, mungkin
ia berada di dalam kamarnya," jawab istrinya sambil bangkit duduk karena
Sie Liong sudah tidur pulas. "Ada apakah? Kelihatannya engkau begitu
pendiam." Isteri yang sudah amat mengenal watak suaminya itu bertanya
dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya begitu pendiam, tidak seperti
biasanya.
"Panggil dulu Lan Hong ke sini, juga
pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan penting sekali yang hendak
kubicarakan dengan kalian bertiga."
Isteri Sie Kian memandang suaminya dengan
heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu keluar dari kamarnya. Tak lama
kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis yang manis, yaitu Lan Hong,
dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun. Pria ini
adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Si Kian memimpin para murid
yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang
tidak mempunyai sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu,
sebagai murid, juga sebagai pembantu guru. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan
heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar
gurunya itu!
Setelah isterinya, puterinya dan muridnya duduk
di atas bangku dalam kamar itu, dengan sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara.
"Kalian tentu masih ingat akan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi
lima tahun yang lalu ketika aku mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu,
bukan?"
"Peristiwa yang mana?" tanya
isterinya.
"Apakah suhu maksudkan pertemuan suhu
dengan suami isteri perampok itu?" tanya Cu An.
Gurunya mengangguk. "Benar. Seperti telah
kuceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari kota raja yang
dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam perkelahian
itu, aku terluka senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh
isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak
menceritakan kepada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian
isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang
dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi...., hari ini ancaman
perampok itu agaknya akan dilaksanan!" Sie Kian menarik napas panjang.
"Ancaman bagimana?" tanya isterinya,
nampak khawatir.
"Ketika itu, sambil memanggul jenazah
isterinya dan dalam keadaan luka dia bersumpah bahwa pada suatu hari dia akan
mencariku dan akan membasmi seluruh keluargaku. Ancaman yang keluar dari mulut
seorang perampok seperti itu, mana ada harganya untuk diperhatikan dan dianggap
serius!"
"Akan tetapi.... dia bersumpah karena
kematian isterinya, dan hal itu berbahaya sekali!" kata isterinya.
Sie Kian kembali menarik napas dan dia
mengangguk. "Benar sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah
buktinya." Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat itu.
"Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat
itu berbunyi begini." Sie Kian membacakan surat itu, didengarkan dengan
muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan Cua An mendengarkan dengan sikap
tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu
silat maka memiliki ketabahan besar.
"Ayah, kalau dia muncul, kita lawan dia!
Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!" kata Lan Hong dengan penuh
semangat.
"Sumoi benar, suhu. Kita tidak perlu
takut menghadapi ancaman dan gertak kosong seorang penjahat seperti
dia...."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Pada saat itu,
terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng.
Sie Kian meloncat dari kursinya. "Lan
Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di sini!" berkata
demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia
segera keluar dan meloncat ke atas genteng. Pada saat dia meloncat ke atas
genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara
gonggongannya berubah pekik kesakitan lalu sunyi.
Sie Kian melayang turun dan lari ke belakang.
Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing peliharaannya itu
telah mati den sebuah ronce merah nampak di lehernya. Anjing itu mati dengan
sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari,
memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat itu, terdengar
bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.
"Celaka....!" serunya dan dia cepat
lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan
seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor
kuda, telah menggeletak mati!
Sie Kian tidak memperdulikan lagi keadaan
binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam rumah melalui
pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang datangnya dari
kamar para pelayan di belakang. Sie Kian terkejut dan kembali dia melompat keluar,
menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah
lawan dan dia lupa untuk memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam
rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah
tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher mereka, hampir putus dan kamar itu
banjir darah. Jelas bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!
Sie Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat
masuk ke dalam rumah dan hatinya lega melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih
berjaga di depan kamar, sedangkan isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas
pembaringan memangku Sie Liong yang masih tidur nyenyak.
"Apa... apa yang terjadi...?" tanya
isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
"Jahanam itu...., dia telah mulai
melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita dibunuhnya, juga dua
orang pelayan kita dibunuhnya."
"Aihhh....!" Isterinya menangis.
"Sudah, tenanglah dan jangan menangis.
Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak main-main dan ancamannya bukan
gertak kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap berjaga di sini, menjaga
keselamatan ibumu dan adikmu. Aku yang akan menghadapi jahanam busuk itu!"
"Baik, ayah," kata Lan Hong dengan
luka pucat walaupun ia masih bersikap tenang. Kini tangannya memegang sebatang
pedang.
"Teecu akan menjaga subo dengan taruhan
nyawa, suhu!" kata Cu An dangan sikap gagah. Juga dia memegang sebatang
pedang.
Dengan hati penuh kemarahan, Sie Kian lalu
keluar dari dalam kamar, berdiri sejenak di ruangan tengah, memasang telinga.
Akan tetapi tidak mendengar suara apa-apa dan malam tiba dengan sunyinya. Dia
lalu keluar berindap-indap dari dalam ruangan itu, kemudian mengelilingi rumah
dan memeriksa setiap sudut. Namun, tidak nampak bayangan orang.
Dengan gemas dia lalu meloncat naik ke atas
genteng, berdiri di wuwungan rumahnya, lalu berteriak, "Perampok laknat,
penjahat keji, jahanam keparat! keluarlah dari tempat persembunyianmu dan
marilah kita bertanding secara jantan untuk menentukan siapa yang lebih
kuat!"
Namun, tidak ada jawaban dan suasana, sunyi
saja. Tempat tinggal keluarga Sie memang berada di sudut kota Tiong-cin, di
pinggir dan mempunyai pekarangan luas, agak jauh dari tetangga, agak terpencil.
Memang Sie Kian memilih tempat ini di mana dia dapat membuat lapangan yang luas
untuk berlatih silat para muridnya. Sebagai seorang guru silat bayaran, Sie
Kian menerima siapa saja yang mampu membayar, dan karena itu dia memiliki
banyak sekali murid, baik dari kota Tiong-cin sendiri maupun dari dusun-dusun
sekitarnya dan dari kota lain. Akan tetapi, semua muridnya tidak ada yang
tinggal di situ kecuali Cu An yang merupakan murid utama dan kini bahkan
menjadi guru pembantunya.
Karena usahanya mencari musuh itu sia-sia, dan
tantangnnya juga tidak mendapatkan jawaban, akhirnya dangan hati mendongkol Sie
Kian masuk lagi ke dalam rumah. Ketika isterinya, Lan Hong, dan Cu An memandang
kepadanya dengan mata bertanya, dia hanya menggeleng kepala. "Tidak ada
bayangan si keparat itu! Dia tentu telah pergi, atau bersembunyi, untuk menanti
kelengahanku, atau mendatangkan ketegangan dalam hati kita."
Memang suasana menjadi tegang sekali. Bahkan
Cu An yang biasanya tenang itu kini nampak agak pucat. Siapa orangnya yang
tidak akan tegang menanti musuh yang main kucing-kucingan dan amat kejam itu?
Semua binatang peliharaan telah dibunuhnya, juga dua orang pelayan wanita yang
sama sekali tidak berdosa dan kini dia menghilang, membiarkan semua orang
dicekam ketegangan dan kegelisahan.
Mereka berempat duduk di dalam kamar itu.
Isteri Sie Kian merupakan orang yang paling ketakutan. Sie Kian duduk dangan
tenang, akan tetapi pendengarannya dicurahkan keluar untuk menangkap gerakan
yang tidak wajar di luar rumah. Yang benar-benar tenang hanyalah Sie Liong,
anak berusia sepuluh bulan itu! Dia masih suci, batinnya masih bersih dari
pengetahuan sehingga rasa takut dan duka tidak akan pernah dapat menyentuhnya.
"Suhu....!" Suara Cu An terdangar
aneh ketika memecah kesunytan itu. Bahkan suara yang hanya merupakan satu kata
panggilan itu sempat mengejutkan Lan Hong yang menoleh kepadanya dangan kaget,
juga nyonya Sie terperanjat. Hanya Sie Kian yang dengan tenang memandang
muridnya itu.
"Ada apakah, Cu An? Takutkah
engkau?"
Pemuda itu menjilat bibirnya yang kering. Akan
tetapi lidahnya juga kering bahkan mulutnya terasa kering sekali, dan dia
menggeleng kepalanya.
"Suhu, teecu tidak takut, hanya tegang.
Kalau musuh sudah berada di depan teecu, biar teceu terancam mautpun teecu
tidak takut. Akan tetapi suasana tidak menentu ini sungguh menegangkan. Bagaimana
kalau kita semua pindah saja ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)? Di sana
lebih luas. Kalau terjadi penyerangan sewaktu-waktu, kita akan lebih leluasa
untuk menghadapi musuh."
Setelah berpikir sejenak, Sie Kian mengangguk,
"Engkau benar, Cu An. Kita belum tahu berapa orang jumlah musuh yang akan
datang menyerbu, dan kamar ini memang terlalu sempit sehingga membahayakan
keselamatan subo-mu dan adikmu yang kecil. Mari kita semua pindah saja ke
ruangan latihan silat."
Sie Kian menyuruh puterinya membawa kasur agar
di ruangan yang luas itu isterinya dapat menidurkan puteranya yang masih kecil.
Mereka semua dengan penuh kewaspadaan lalu pindah ke dalam ruangan berlatih
silat, sebuah ruangan jauh sepuluh kali lebih luas dari pada kamar itu, dan di
situ hanya ada satu pintu besar dari mana orang luar dapat masuk. Kasur yang
dibawa Lan Hong diletakkan di sudut ruangan itu dan ibunya lalu duduk di situ
sambil memangku Sie Liong.
Setelah pindah ke ruangan yang lebih luas ini,
benar saja hati mereka bertiga yang siap menghadapi musuh menjadi lebih tenang.
Ruangan itu cukup luas dan mereka bertiga dapat melindungi Nyonya Sie dari
depan saja karena tempat itu dikelilingi dinding sehingga lebih mudah bagi
mereka untuk mempersatukan tenaga menghadapi serbuan musuh.
Betapapun juga, suasana tegang tetap saja
mencekam hati mereka. Sie Kian sendiri berulang kali mengepal tinju, merasa
dipermainkan oleh musuhnya. Dia tahu bahwa sekali ini, dia harus berjuang
mati-matian, mempertahankan nyawa keluarganya. Dia berjanji bahwa sekali ini,
dia akan membasmi semua musuh yang datang, tidak memberi kesempatan seorangpun
berhasil lolos agar tidak terulang pembalasan dandam seperti ini. Kalau saja
dulu dia membunuh perampok pria itu, tentu tidak akan timbul masalah seperti sekarang.
Tiba-tiba Sie Kian terkejut dan dia meloncat
keluar dari pintu lian-bu-thia. Juga Cu An dan Lan Hong meloncat berdiri,
pedang siap di tangan kanan dan mereka berdua sudah mengambil sikap
berjaga-jaga, sedangkan nyonya Sie mendekap puteranya dangan muka pucat, mata
terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan. Tak lama kemudian terdangar
suara kucing mengeong disusul suara Sie Kian menyumpah-nyumpah! Kiranya suara
yang mencurigakan tadi hanyalah suara seekor kucing yang kebetulan lewat! Sungguh
menggelikan sekali betapa ketegangan membuat semua orang menjadi demikian mudah
kaget. Sie Kian muncul kembali dari pintu dan diapun menahan ketawanya,
walaupun perutnya terasa geli. Demikian Pula Cu An dan Lan Hong.
Dari jauh terdangar suara ayam jantan
berkokok. Biasanya, kalau ada ayam jantan berkokok, ayam jantan di kandang
keluarga itu akan menyambutnya. Sekali ini, kokok ayam itu tidak ada yang
menyambut, akan tetapi Sie Kian maklum bahwa tengah malam telah lewat. Ayam
jantan di sana itu sudah biasa berkokok di waktu tengah malam, kemudian di
waktu pagi sekali. Kini tengah malam telah lewat. Betapa cepatnya waktu
berlalu. Rasanya baru saja dia menerima surat itu, di senja hari tadi, dan
tahu-tahu kini telah lewat tengah malam.
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh suara
ketawa terbahak-bahak yang datangnya dari luar rumah! Kini Sie Kian melompat
berdiri dan dia membentak marah.
"Pengecut hina yang berada di luar!
Masuklah, aku berada di lian-bu-thia sudah sejak tadi menanti kedatanganmu.
Mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa
lagi!" tantangnya.
Suara ketawa itu berhenti, dan kini disusul
suara yang mengandung ejekan, "Sie Kian! Aku memang memberi waktu agar
kallan dicekam ketegangan hebat. Sekarang aku datang untuk membunuhmu.
Keluarlah, aku menunggumu di pekarangan depan rumahmu!"
"Jahanam busuk! Engkau masuklah, aku
sudah menanti dangan pedang di tangan untuk membunuhmu!" bentak Sie Kian
yang tidak ingin meninggalkan keluarganya.
"Ha-ha-ha-ha, Sie Kian kini menjadi
seorang pengecut dan penakut! Aku menantangmu di luar, dan engkau bersembunyi
di balik gaun isterimu? Ha-ha! Keluarlah dan sambut aku, kalau tidak aku akan
membakar rumahmu ini."
"Suhu...., jangan keluar, mungkin ini
suatu siasat memancing harimau keluar sarang," bisik Cu An gelisah.
"Tidak, di sini ada engkau dan Lan Hong,
hatiku tenang adanya kalian bardua menjaga ibumu. Aku akan keluar menyambut
tantangan anjing keparat itu!"
"Hayo, Sie Kian! Apakah engkau
benar-benar takut?" teriakan itu datang lagi dari luar.
"Jahanam busuk, siapa takut? Tunggu, aku
akan menyambut tantanganmu!" Sie Kian segera meloncat keluar, terus menuju
ke pekarangan depan rumahnya.
Orang itu sudah menanti di luar. Lampu dua
buah yang tergantung di serambi depan cukup terang, menerangi pekarangan itu.
Memang tadi dia menggantung dua buah lampu agar tempat itu menjadi terang,
tidak seperti biasanya yang hanya diterangi sebuah lampu gantung. Dari
penerangan dua buah lampu itu, Sie Kian yang sudah berdiri berhadapan dalam
jarak empat meter dangan orang itu, dapat mengenal wajah musuh besarnya. Wajah
seorang laki-laki yang masih muda, kurang lebih tigapuluh tahun usianya. Wajah
seorang laki-laki yang cukup tampan, halus dan tidak ditumbuhi kumis dan
jenggot lebat. Bahkan wajah itu posolek, pakaiannyapun rapi dun bagus,
sepatunya mengkilap baru. Itulah wajah perampok yang lima tahun yang lalu
berkelahi dangannya, perampok yang kematian isterinya. Akan tetapi kini ada
sesuatu dalam sikap orang itu yang menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang
dahulu, bahwa kini dia telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Agaknya selama lima tahun ini dia telah menggembleng diri mati-matian, hanya
untuk melakukan balas dandam ini.
Akan tetapi Sie Kian tidak merasa gentar.
Kalau berhadapan dangan seorang lawan, betapapun kuat lawan itu, dia tidak
pernah gentar. Tidak ada lagi ketegangan seperti tadi. Hanya ada sedikit
kekhawatiran bahwa orang ini menggunakan tipu muslihat, memancing dia keluar
dan ada temannya yang akan menyerang ke dalam. Akan tetapi kekhawatiran inipun
diusirnya dangan keyakinan bahwa murid kepala dan puterinya cukup kuat untuk
melindungi isteri dan puteranya yang masih kecil.
"Hem, kiranya engkau perampok busuk yang
dulu itu? Sungguh perbuatanmu ini menunjukkan kecurangan dan membuktikan bahwa
engkau seorang pengecut. Kalau hendak membalas dandam, kenapa tidak langsung
saja menantangku? Kenapa memakai jalan membunuhi binatang-binatang dan
pelayan-pelayan yang tidak berdosa?"
"Ha-ha-ha, Sie Kian, lupakah kau akan
sumpahku bahwa suatu hari aku akan membasmi engkau dan seluruh keluargamu dan
seluruh isi rumahmu? Ha-ha-ha, sekaranglah saatnya! Tidak perlu banyak cakap,
nanti kalau sudah mati nyawamu akan bertemu dengan isteriku dan masih ada waktu
bagimu untuk minta ampun kepadanya!"
"Jahanam busuk!" Sie Kian memaki dan
diapun sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya dahsyat sekali karena
dalam marahnya, ingin Sie Kian segera merobohkan musuh ini. Pedangnya
berkelebat dari samping dan mengirim bacokan ke arah leher orang itu yang kalau
mengenai sasaran tentu akan membuat leher itu terpenggal putus.
Akan tetapi, orang itu bergerak cepat sekali
dan dengan mantap pedangnya berkelebat dari samping ke atas, menangkis bacokan
pedang Sie Kian.
"Tringggg....!" Nampak bunga api
berpijar dan Sie Kian merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat. Dia
terkejut dan meloncat ke belakang, melihat pedangnya. Ternyata pedangnya itu
patah sedikit pada mata pedangnya, hal ini menunjukkan bahwa pedang di tangan
lawannya adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh! Orang itu tertawa mengejek dan
langoung menyerang dengan dahsyat. Sie Kian mengelak ke samping dan membalas
serangan musuh dan mareka segera terlibat dalam perkelahian mati-matian dan
seru sekali. Dan sekali ini, Sie Kian harus mengaku dalam hatinya bahwa
lawannya sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dahulu, tidak boleh
dipandang rendah karena ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat, di samping
tenaga sin-kang kuat ditambah lagi sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Mulailah Sie Kian merasa khawatir. Seorang
lawan saja Sudah begini lihai, apa lagi kalau dia datang berkawan. Ah, isteri
dan anaknya berada di dalam! Bagainana kalau dia kalah? Bagaimana kalau ada
kawan-kawan penjahat ini? Lebih baik menyuruh mereka melarikan diri! Biarlah,
dia akan mati di tangan musuh, asal keluarganya selamat!
"Singgg....!" Pedang lawan meluncur
dekat sekali dengan dadanya. Sie Kian mengelak ke kanan, akan tetapi pedang itu
sudah membacok dari kiri dengan kecepatan kilat. Sie Kian menggerakkan pedang
menangkis. Terpaksa menangkis karena sejak tadi dia tidak pernah mengadu
senjata secara langsung, maklum bahwa pedangnya akan kalah kuat. Kini, karena
tidak mungkin mengelak lagi, terpaksa dia menangkis.
"Cringgg....!" Pedang di tangan Sie
Kian patah dan buntung bagian atasnya! Lawannya tertawa bergelak dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Sie Kian untuk mengerahkan tenaga berteriak ke arah dalam
rumah.
"Lan Hong....! Ajak ibu dan adikmu
melarikan diri! Cepaaaattt....!"
Lawannya tertawa bergelak, tertawa mengejek
dan pedangnya menyambar dengan cepatnya, menusuk ke arah lambung Sie Kian. Guru
silat ini melihat datangnya serangan yang amat berbahaya. Dia melempar tubuhnya
ke atas tanah dan bergulingan sehingga terbebas dari tusukan tadi. Akan tetapi
lawannya mengejar dan pada saat itu muncullah Kim Cu An. Pemuda ini mendengar
teriakan gurunya, menjadi khawatir sekali. Sejak tadi, tidak ada musuh menyerbu
lian-bu-thia itu, maka dia berpendapat bahwa musuh hanya seorang saja dan
agaknya gurunya membutuhkan bantuan. Kalau tidak begitu, tentu gurunya tidak
berteriak menyuruh puterinya membawa ibu dan adiknya melarikan diri! Kim Cu An
lalu berlari keluar dan di pekarangan itu dia melihat suhunya bergulingan di
atas tanah, dikejar oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung yang gerakannya
gesit bukan main.
"Suhu, teecu datang membantumu!"
teriak Cu An dan dia lalu menggerakkan pedangnya membacok orang itu dari
belakang. Akan tetapi, orang itu memutar pedangnya menangkis.
"Tranggg....!" Cu An mengeluarkan
seruan kaget karena pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangan
saking kuatnya tenaga lawan dan ketika dia melihat, pedangnya telah buntung
ujungnya!
"Hati-hati, Cu An, dia memegang sebatang
pedang pusaka!" teriak Sie Kian yang telah terbebas dari desakan tadi
berkat bantuan muridnya. Kini guru dan murid menghadapi lawan tangguh itu
dengan pedang mereka yang sudah buntung ujungnya!
Orang itu tertawa lagi. "Ha-ha-ha
kebetulan sekali. Kalian sudah berkumpul di sini sehingga tidak melelahkan aku
harus mencari ke sana-sini! Kalian akan mampus di tanganku!"
"Nanti dulu! Perkenalkan dulu namamu
sebelum kami menbunuhmu!" bentak Sie Kian yang ingin tahu siapa sebenarnya
musuh besarnya ini.
"Ha-ha-ha, apa artinya kalau kuperkenalkan
namaku pada kalian yang sebentar lagi akan mampus?" Tiba-tiba saja orang
itu sudah menerjang dengan dahsyatnya dan pedangnya bergerak amat cepatnya,
berubah menjadi gdlungan sinar yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara
berdesing dan menimbulkan angin berpusing. Sungguh suatu ilmu pedang yang amat
dahsyat! Sie Kian dan Cu An segera mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaian
mereka untuk menahan serangan itu. Namun mereka segera terdesak hebat dan
tiba-tiba tangan kiri lawan itu bergerak. Tiga batang piauw beronce merah
menyambar ke arah tiga bagian tubuh depan Cu An, abdangkan pedangnya membuat
gerakan memutar membacok ke arah tubuh Sie Kien dilanjutkan tusukan-tusukan
maut!
Guru dan murid ini menjadi repot sekali.
Hampir saja Cu An menjadi korban senjata rahasia piauw itu. Untung dia masih
dapat melempar tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari renggutan maut lewat
senjata piauw. Dan Sie Kian juga terhuyung ke belakang dalam usahanya mengelak
dan menangkis gulungan sinar pedang. Pada saat itu, lawannya kembali
menggerakkan tangan kiri dan tiga sinar merah meluncur ke arah tenggorokan,
dada dan lambung Sie Kian yang sedang terhuyung, dan orang itu meninggalkannya,
pedangnya kini menyambar-nyambar ke arah Cu An yang baru saja meloncat bangun
dari atas tanah di mana dia berguling tadi.
Cu An berusaha menangkis, namun kembali
pedangnya patah dan pedang lawan meluncur terus memasuki dadanya.
"Cappp....!" Pedang dicabut, darah
menyembur dan tubuh Cu An terjengkang, tewas seketika karena jantungnya
ditembusi pedang lawan.
Sie Kian yang juga repot sekali mengelak dari
sambaran tiga batang piauw tadi, terkejut bukan main melihat muridnya roboh.
Akan tetapi pada saat itu, lawannya sudah datang menerjangnya. Dia berusaha
menangkis, namun seperti keadaan muridnya, pedang yang menangkis itu patah dan
pedang lawan meluncur terus dengan kekuntan dahsyat menyambar ke arah leher.
Terdangar suara bacokan keras dan leher Sie Kian terbabat putus. Kepalanya
terlepas dari tubuhnya dan menggelinding ke atas tanah. Tubuhnya terbanting
keras dan darah bercucuran membasahi tanah pekerangan.
Orang itu tertawa bergelak, dengan wajah
gembira dia menyambar rambut kepala Sie Kian dengan tangan kirinya, lalu dia
berloncatan memasuki rumah itu.
Sementara itu, Lan Hong yang tadi mendengar
teriakan ayahnya, menjadi khawatir sekali. Bagaimana ia dapat melarikan diri
kalau ayahnya terancam bahaya? Apa lagi, ia harus membawa lari ibunya dan
adiknya, bagaimana mungkin ia dapat berlari cepat, dan andaikata ia melarikan
ibunya dan adiknya, tentu akan dapat dikejar dan disusul pula oleh musuh yang
lihai. Ia merasa bimbang, apa lagi ketika melihat suhengnya melompat keluar
untuk membantu ayahnya. Lan Hong lalu berdiri melindungi ibunya yang masih
mendekap adiknya. Melihat ibunya menggigil ketakutan, ia berkata dengan gagah,
dan mengangkat pedangnya.
"Ibu, jangan takut! Aku akan melindungi
ibu dan adik Liong."
Melihat sikap puterinya, Nyonya Sie timbul
pula keberaniannya. Orang jahat akan mengganggu anak-anaknya? Tidak, ia tidak boleh
tinggal diam saja! Biarpun tidak sangat mendalam, ia pernah pula belajar ilmu
silat dan kini, melihat puterinya akan menghadapi orang jahat, dan melihat
bayinya terancam, bangkit semangat dan keberanianaya. Apa lagi mengingat betapa
suaminya juga terancam bahaya maut. Ia segera menurunkan Sie Liong yang masih
tidur itu ke atas kasur, lalu ia sendiri berlari ke arah rak senjata yang
berada di sudut ruangan belajar silat itu, memilih aenjata sebatang golok kecil
yang ringan dan ia berdiri di samping puterinya.
"Kita beroama menghadapi penjahat,
Hong-ji!" katanya. Lan Hong khawatir melihat ibunya, akan tetapi dalam
keadaan seperti itu, lebih banyak orang yang menghadang penjahat lebih baik. Ia
hanya mengharapkan ayahnya dan suhengnya sudah cukup untuk mengusir penjahat
yang menyerbu rumah mereka.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketawa dan
sebuah benda melayang dari pintu ruangan itu masuk ke dalam. Benda itu jatuh ke
lantai lalu menggelinding ke depan dua orang wanita itu. Lan Hong yang sudah
siap siaga, memandang benda itu. Sebuah kepala yang lehernya masih berlepotan
darah!
"Ayah....!" Ia menjerit.
Ibunya melengking dan menubruk ke depan,
melempar goloknya dan menangis menggerung-gerung. Pada saat itu ada bayangan
orang berkelebat masuk.
"Ibu mundur....!" Lan Hong
berteriak, akan tetapi terlambat. Ibunya sudah meloncat ke depan dan menubruk
kepala suaminya itu, dan pada saat itu, laki-laki jangkung yang berkelebat
masuk itu sudah menggerakkan pedangnya.
"Crakkkk!" Pedang itu menyambar
cepat dan kuat sekali, dan leher ibu yang menangisi kepala suaminya itupun
terbabat putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan darah
menyembur-nyembur.
"Ibuuu....!" Lan Hong hampir pingsan
melihat ini, akan tetapi kemarahan membuat ia dapat menahan diri dan dengan
kemarahan meluap, dendam sakit hati yang amat hebat, iapun menyerang laki-laki
itu dengan pedangnya, ia menusuk dengan sekuat tenaga ke arah dada orang itu
sambil mengeluarkan suara melengking nyaring saking marahnya.
Laki-laki itu mengelak dan dia mengamati gadis
yang menyerangnya, sinar kagum terpancar dari pandang matanya. "Ah, engkau
sungguh manis sekali! Engkau puteri Sie Kian? Sungguh tak kusangka guru silat
itu mempunyai seorang puteri yang begini cantik dan manis!" Kembali dia
mengelak ketika pedang di tangan Lan Hong menyambar ke arah lehernya.
Lan Hong tidak memperdulikan kata-kata orang
itu yang memuji-muji kecantikannya. Hatinya penuh dandam kebencian dan ingin ia
menyayat-nyayat dan mencincang hancur tubuh musuh besar yang telah membunuh
ayah ibunya itu. Ia melanjutkan serangannya, dan kemarahan membuat seranggnnya
itu tidak teratur lagi, akan tetapi justru serangan seperti itu amat berbahaya.
Melihat kenekatan gadis yang menyerangnya
sambil bercucuran air mata itu, laki-laki itu segera menggerakkan pedangnya
menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Pedang yang menangkis itu
mengeluarkan tenaga getaran kuat sehingga ketika pedang bertemu, pedang di
tangan Lan Hong patah dan juga terlepas dari pegangannya! Gadis itu berdiri dengan
muka pucat akan tetapi matanya terbelalak memandang penuh kabencian. Laki-laki
di depannya itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan
pakaiannya rapi, tubuhnya tinggi semampai. Seorang pria yang akan menarik hati
setiap orang wanita, akan tetapi pada saat itu, Lan Hong melihatnya seperti
setan jahat yang amat dibencinya.
Laki-laki itu menodongkan pedangnya ke depan
dada Lan Hong, tersenyum dan kembali matanya memancarkan sinar kagum dan juga
heran. "Sungguh mati, kalau usiamu tidak semuda ini, tentu kau kukira
isteriku! Engkau mirip benar dangan isteriku, bahkan engkau lebih cantik manis,
lebih segar dan lebih muda! Ahh, ayahmu telah membunuh istriku, sudah
sepatutnya kalau dia menyerahkan puterinya sebagai pengganti isteriku. Ha-ha,
benar sekali! Nona manis, engkau akan menjadi isteriku. Aku tidak akan
membunuhmu, sebaliknya malah, aku akan mengambil engkau menjadi isteriku,
isteri yang tercinta, dan aku akan membahagiakanmu, akan melindungimu....
engkau akan menjadi pengganti isteriku yang telah tiada...."
"Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari
pada menjadi isterimu, jahanam!" teriak Lan Hong dan kini gadis ini
menyerang dengan kepalan tangannya, menghantam ke arah muka yang amat
dibencinya itu.
"Plakk!" Tangan itu telah tertangkap
pada pergelangannya oleh tangan kiri pria itu.
"Nona, pikirkan baik-baik dan jangan
menurutkan nafsu amarah. Ingat bahwa aku terpaksa membunuh keluarga ayahmu
karena ayahmu pernah membunuh isteriku yang tercinta. Sekarang, semua hutang
telah lunas dan engkau...., engkau sungguh menarik hatiku, aku jatuh cinta
padamu, nona. Engkau menjadi pengganti isteriku. Mudah saja bagiku untuk
memaksamu dan memperkosamu, nona. Akan tetapi aku sungguh tidak menghendaki
itu. Aku ingin engkau dengan suka rela menyerahkan diri padaku, menjadi
isteriku yang kucinta."
"Tidak! Tidak sudi! Lebih baik aku
mati!" Lan Hong meronta-ronta dan pada saat itu terdengar tangis seorang
anak kecil! Sie Liong agaknya terbangun dan dia menangis menjerit-jerit seperti
anak yang ketakutan.
Baik Lan Hong maupun orang itu terkejut. Orang
itu melepaskan Lan Hong yang tadi sudah melupakan adiknya itu, dan dengan
pedang di tangan dia menghampiri kasur terhampar di mana anak itu rebah
menangis.
"Aha! Kiranya keluarga Sie masih
mempunyai seorang anak kecil? Laki-laki pula! Ah, dia harus mampus....!"
Tiba-tiba saja Lan Hong menubruk adiknya.
"Tunggu....! Jangan.... jangan bunuh adikku....!" jeritnya sambil
mendekap adiknya, melindunginya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang
pria itu. "Jangan bunuh adikku.... ah, kumohon padamu, jangan bunuh adikku
yang masih kecil ini....!"
"Dia putera ayahmu, kelak hanya akan
menjadi ancaman bahaya bagiku. Aku harus membunuhnya. Berikan dia padaku!"
Laki-laki itu menghardik, kini suaranya berubah, tidak seperti tadi, penuh nada
manis merayu, kini terdangar galak dan kejam.
Lan Hong membayangkan betapa orang itu akan
membunuh adiknya. Kalau ia melawan, iapun tentu akan mati. Baginya, mati bukan
apa-apa, akan tetapi kalau ia mati dan adinya mati pula, lalu siapa kelak yang
akan membalas dendam setinggi gunung sedalam lautan ini? Satu-satunya jalan, ia
harus mengorbankan diri, menyerahkan diri, demi adiknya agar dapat hidup, agar
kelak akan ada yang membalaskan kehancuran dan pembasmian keluarga ayahnya ini!
"Tidak! Tunggu....! Aku.... aku akan
menyerahkan diri, dengan suka rela.... aku akan menjadi isterimu asalkan
engkau.... tidak membunuh adikku....! Kalau engkau tetap membunuhnya, aku akan
melawanmu sampai mati dan aku tidak akan menyerahkan diri, aku akan membunuh
diri!"
Sejenak pria itu tertegun, memandang kepada
anak laki-laki dalam pondongan gadis itu, lalu memandang gadis itu dari kepala
sampai ke kaki. Sungguh aneh sekali, pikirnya. Gadis ini mirip benar dengan
isterinya yang telah tiada! Dan begitu bertemu, timbul rasa suka dan cinta
kepada gadis ini. Baru penolakannya saja sudah menyakitkan hati, kalau dia
harus memperkosanya, hatinya akan lebih kecewa lagi. Kalau gadis itu
menyerahkan diri seeara suka rela, mau menjadi isterinya, alangkah akan
bahagianya hatinya! Hidupnya akan menjadi terang lagi setelah kegelapan
bertahun-tahun yang dideritanya karena kematian isterinya. Akan tetapi anak
itu! Ah, bukahkah janjinya hanya tidak akan membunuhnya? Baik, dia tidak akan
membunuhnya, tapi....!
"Benar engkau akan menyerahkan diri
kepadaku dengan suka rela?"
"Benar!"
"Dan engkau akan belajar mencintaku
seperti aku mencintamu setelah aku menjadi suamimu yang mencintamu?"
Wajah gadis itu berubah merah. "Aku....
aku akan mencoba...."
"Bagus, kalau begitu, aku tidak akan
membunuh adikmu, akan tetapi sekali engkau memperlihatkan sikap memusuhi aku
yang menjadi suamimu, adikmu akan kubunuh!"
"Tidak, engkau harus bersumpah dulu!
Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan membunuh Sie Lionh, adikku ini.
Bagaimanapun juga aku percaya bahwa engkau masih memilikl harga diri dan
memiliki kehormatan untuk memegang teguh sumpahmu. Bersumpahlah, baru aku akan
percaya padamu." Gadis itu mempertahankan diri sambil mondekap adiknya
yang sudah berhenti menangis.
Pria itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Engkau cantik, engkau manis, engkau gagah dan engkau cerdik! Sungguh
membuat aku samakin jatuh cinta saja. Engkau patut menjadi isteriku, sungguh!
Siapakah namamu? Aku akan bersumpah."
"Namaku Sie Lan Hong dan adikku ini Sie
Liong."
"Nah, sekarang dengarkan sumpahku!"
kata pria itu dan diapun berdiri dengan tegak, mengangkat pedangnya di depan
dahi, mengacung ke atas dan diapun berkata dengan suara lantang. "Aku,
Yauw Sun Kok, bersumpah demi nama dan kehormatanku, disaksikan oleh padang
pusakaku, Bumi dan Langit, bahwa kalau Sie Lan Song menjadi isteriku dan
membalas cinta kasihku, menyerah dengan suka rela kepadaku, maka aku tidak akan
membunuh Sie Liong! Biar Bumi dan Langit mengutuk aku kalau aku melanggar
sumpahku!"
Setelah bersumpah, pria yang mengaku bernama
Yauw Sun Kok itu menyimpan pedangnya ke dalam sarung pedang dan tersenyum
kepada Lan Hong. "Nah, bagaimana? Puaskah engkau dangan sumpahku
tadi?"
Lan Hong mengangguk dan Sun Kok nampak girang
sekali. "Manisku, Hong-moi, kekasihku, isteriku.... kemenangan ini harus
kita rayakan. Untuk memperkuat sumpahku, saat ini juga engkau harus menjadi
isteriku yang tercinta. Tidurkan adikmu itu...." Dengan lembut Sun Kok
lalu mengambil Sie Liong dari dekapan Lan Hong, merebahkan anak itu di tepi
kasur, kemudian dengan lembut namun penuh gairah, bagaikan seekor harimau, dia
menerkam Lan Hong, mendorong gadis itu rebah ke atas kasur di dekat adiknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati
gadis itu. Dara yang sedang remaja ini terpaksa harus menyerahkan dirinya
bulat-bulat, tanpa perlawanan sedikitpun, menyerahkan dirinya digauli pria yang
baru saja membunuh ayahnya, ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua
binatang peliharaan di dalam rumah. Bahkan ia harus melayani pria itu di kasur
yang dihamparkan di atas lantai lian-bu-thia, dan dari tempat ia rebah
terlentang itu ia dapat melihat dua buah kepala yang berlepotan darah di atas
lantai, tak jauh dari situ. Kepala ayahnya dan Ibunya!
Sie Liong mulai menangis lagi, meraung-raung.
Lan Hong juga menangis, merintih kesakitan. Namun, Yauw Sun Kok yang dibakar
nafsu birahinya itu tidak memperdulikan semua itu. Dia sudah merasa bangga,
juga bahagia sekali karena gadis itu benar-benar menyerahkan diri bulat-bulat
tanpa perlawanan sedikitpun! Diapun tidak perduli ketika gadis itu, di antara
isak tangis dan rintihannya, berbisik-bisik, "Ayah.... Ibu.... ampunkanlah
anakmu ini.... demi keselamatan Sie Liong.... ahhhh...."
Setelah merasa puas dengan penyerahan diri
yang sama sekali tidak mengandung perlawanan seperti dijanjikan gadis itu, Yauw
Sun Kok merasa semakin sayang kepada Lan Song. Rasa sayang itu dibuktikan
dengan diturutinya permintaan gadis itu untuk menguburkan jenazah ayah ibu
gadis itu, suhengnya, dan dua orang pelayan. Sun Kok malam itu juga menggali
lubang-lubang di belakang rumah keluarga Sie, menguburkan jenazah suami isteri
Sie Kian dalam satu lubang, jenazab Kin Cu An dan dua orang pelayan di lain
lubang. Kemudian, menjelang pagi, diapun memondong tubuh Lan Song yang juga
memondong Sie Liong melarikan diri secepetnya meninggalkan tempat itu.
Gegerlah penduduk Tiong-cin ketika pada
keesokan harinya mereka mendapatkan rumah keluarga Sie sunyi senyap. Ketika
para penduduk memeriksa, mereka tidak menemukan seorangpun penghuni di rumah
itu. Di pekarangen dan di ruangan berlatth silat nampak banyak darah, dan semua
binatang di rumah itu mati dalam kandangnya. Tentu saja para petugas pemerintah
melakukan pemeriksaan dan mereka menemukan dua lubang kuburan baru itu. Kuburan
dibongkar dan makin gegerlah kota Tiong-cin ketika mereka menemukan mayat-mayat
Sie Kian, isterinya, muridnya, dan dua orang pelayan wanita. Jelas mereka itu
tewas karena dibunuh, bahkan Sie Kian dan isterinya tewas dengan kepala
terpisah dari badannya. Yang membuat semua orang bingung adalah lenyapnya Sie
Lan Hong dan Sie Liong, dua orang anak keluarga Sie itu.
Teka-teki peristiwa yang terjadi di rumah
keluarga Sie itu tetap merupakan rahasia yang tidak terpecahkan oleh semua
orang. Dan rahasia itu memang tidak mungkin dapat dipecahkan karena dua orang
yang dapat menjadi kunci pembuka rahasia itu, yaitu Sie Lan Hong dan Sie Liong,
telah pergi jauh sekali dari tempat itu. Ratusan bahkan ribuan li jauhnya dari
kota Tiong-cin karena Yauw Sun Kok membawanya pergi ke barat, jauh sekali, di
perbatasan barat propinsi Sin-kiang!
***
Yauw Sun Kok adalah seorang laki-laki
petualang yang sudah hidup sebatangkara sejak masih kecil. Kedua orang tuanya
telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular yang amat berbahaya di
dusunnya dan dalam usia sepuluh tahun dia sudah hidup sebatang kara dan yatim
piatu. Kehidupan yang keras seorang diri ini menggemblengnya menjadi seorang
pemuda yang keras. Namun, dia memang memiliki kecerdikan sehingga biarpun
ketika ayah ibunya meninggal dia baru berusia sepuluh tahun, namun dia telah
memiliki kepandaian membaca dan menulis. Ketika dia hidup seorang diri,
merantau sebatangkara dan menemui banyak kekerasan dan kesulitan hidup, dia
mengerti bahwa dalam kehidupan yang sulit dan serba keras itu, dia perlu
menguasai ilmu silat. Maka, ke manapun dia merantau, dia selalu berusaha untuk
mempelajari ilmu silat dari siapapun.
Akhirnya, dalam usia lima belas tahun, setelah
menguasai beberapa macam ilmu silat, dia bekerja pada seorang kepala perampok
kenamaan di sepanjang Sungai Kuning. Karena dia setia dan pandai mengambil
hati, diapun menjadi murid kepala perampok itu dan mempelajari ilmu silat dan
ilmu.... merampok! Seringkali dia mewakili gurunya memimpin anak buah untuk
merampok atau membajak perahu-perahu di sungai dan dalam usia dua puluh tahun,
dia telah menjadi seorang perampok yang lihai dan ditakuti. Bukan saja ilmu
silatnya cukup lihai, akan tetapi juga dia masih bersikap seperti orang terpelajar
dengan modal sedikit ilmu sastra yang pernah dipelajari di waktu ayahnya masih
hidup. Pakaiannya selalu rapi dan karena wajahnya tampan, maka banyak wanita
yang jatuh hati kepadanya.
Di antara gadis yang tergila-gila kepadanya
adalah puteri kepala perampok itu sendiri! Gadis puteri kepala perampok itu
memang cantik manis, dan segera terjadilah hubungan akrab di antara mereka.
Akan tetapi, kepala perampok itu tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan
Sun Kok yang menjadi pembantunya dan muridnya pula. Biarpun dia kepala
perampok, akan tetapi dia tidak ingin melihat puterinya menjadi isteri
perampok! Dia ingin melihat puterinya menjadi isteri seorang pejabat tinggi
atau seorang hartawan, setidaknya seorang yang hidup terhormat dan terpandang!
Di sini terbukti bahwa setiap orang yang melakukan penyelewengan dalam
hidupnya, sama sekali bukan karena dia tidak tahu, atau dia menyukai pekerjaan
maksiat atau penyelewengan itu! Kalau dia mampu, tentu saja dia akan menjauhi
perbuatan menyeleweng itu! Kalau seorang pencuri sudah menjadi kaya raya dan
terhormat, tak mungkin dia ingin mencuri lagi! Kepala perampok itupun tidak
ingin mempunyai mantu perampok!
Akan tetapi, hubungan antara Sun Kok dan
puteri perampok itu sudah amat jauh dan mendalam, bahkan puteri kepala perampok
itu sudah berulang kali menyerahkan diri kepada Sun Kok. Sudah berulang kali
mereka melakukan hubungan suami isteri dengan pencurahan kasih sayang. Karena
dihalangi oleh orang tua gadis itu, jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah
minggat! Sun Kok dan kekasihnya meninggalkan sarang kepala perampok itu dan
gadis itu ketika lari membawa pula beberapa barang berharga. Dan mulailah
mereka berdua hidup sebagai suami isteri perampok! Mereka jauh meninggalkan
sarang kepala perampok di tepi Sungai Kuning itu dan mereka menjadi perampok
di sepanjang perbatasan Propinsi Hok-kian di timur.
Demikianlah sedikit riwayat Yauw Sun Kok
sampai lima tahun kemudian, ketika dia berusia dua puluh lima tahun dan menjadi
perampok bersama isterinya tercinta, mereka berdua ketika sedang merampok
kereta keluarga bangsawan; mereka bertemu dengan Sie Kian dan dalam
perkelahian, isteri Yauw Sun Kok tewas di tangan Sie Kian! Yauw Sun Kok yang
kematian isterinya, menjadi berduka sekali dan dia mendendam sakit hati yang
hebat terhadap Sie Kian. Kembali dia hidup sebatangkara karena isterinya belum
pernah melahirkan seorang anak. Dengan dandam yang bernyala, Yauw Sun Kok lalu
merantau ke barat. Dia mendengar bahwa Pegunungan Himalaya merupakan gudang
para pertapa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ke sanalah dia pergi,
untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi agar kelak dia dapat membalas
dandamnya kepada Sie Kian.
Selama lima tahun, Yau Sun Kok menghamburkan
semua hartanya yang dikumpulkan dari hasil merampok bersama isterinya,
termasuk harta bawaan isterinya, untuk belajar ilmu silat. Bermacam guru
ditemuinya dan diapun berhasil mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi, dan
mendapatkan sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-lian-kiam (Pedang Teratai
Putih) karena di badan pedang itu terdapat ukiran setangkai bunga teratai putih
dan pedang itu sendiri terbuat dari baja putih sehingga kalau dimainkan menjadi
gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Setelah merasa cukup memiliki ilmu silat yang
boleh diandalkan, Yauw Sun Kok lalu pergi mencari musuh besarnya. Tidak sukar
baginya untuk menemukan tempat tinggal Sie Kian atau Sie Kauwsu yang membuka
perguruan silat bayaran di kota Tiong-cin itu. Dia melakukan penyelidikan dan
merasa girang melihat betapa rumah keluarga Sie berdiri terpencil dan para
muridnya tinggal di luar perguruan. Setelah memperhitungkan masak-masak, dia
lalu mengirim surat ancaman itu dengan mempergunakan senjata rahasia piauwnya
dan akhirnya, dia berhasil membasmi keluarga Sie, dan melarikan dua orang anak
musuh besarnya. Sungguh di luar perhitungannya bahwa dia dapat jatuh cinta
kepada Lan Hong, padahal dia bukahlah seorang yang mata keranjang dan mudah
tergila-gila kepada wanita cantik. Mungkin karena ada persamaan atau kemiripan
antara wajah Lien Hong dan mendiang isterinya, maka dia tertarik sekali.
Setelah berhasil menaklukan Lan Hong sehingga
gadis remaja itu menyerahkan diri kepadanya, Yauw Sun Kok merasa gembira
sekali. Dia maklum bahwa perbuatannya di Tiong-cin itu akan menimbulkan
kegemparan, maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya menuju ke barat! Dia
membawa Lan Song yang telah menjadi isterinya itu ke Sin-kiang bersama anak
kecil itu.
Di sebuah kota kecil bernama Sung-jan, di
perbatasan barat Propinsi Sin-kiang, Tauw Sun Kok telah memiliki sebuah rumah
yang lumayan. Di sinilah tempat tinggalnya yang terakhir setelah menuntut ilmu.
Dan di kota ini, namanya sudah mulai terkenal sebagai seorang yang lihai.
Namanya mulai terkenal, karena dia mempunyai hubungan dengan banyak tokoh
kang-ouw di daerah barat. Memang Sun Kok pandai mengambil hati orang-orang
kang-ouw yang berilmu titiggi dan dengan kepandaiannya mengambil hati ini, dia
dapat mempelajari banyak macam ilmu silat.
Setelah tiba di rumahnya, Sun Kok lalu
merayakan pesta pernikahannya dengan Sie Lan Hong! Meriah juga pesta itu karena
selain mengundang orang-orang terkemuka di kota Sung-jan, juga dia mengundang
tokoh-tokoh kang-ouw di daerah barat yang menjadi kenalannya.
Suatu keanehan terjadi dalam hati Sie Lan
Hong. Melihat sikap bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu, sikap
yang amat baik, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih, penuh kemesraan dan
kesabaran, sedikit demi sedikit lenyaplah kebencian di dalam hati dara remaja ini!
Apalagi melihat betapa Sun Kok bersungguh-sungguh memperisterinya, bukan
sekedar main-main dan untuk mempermainkannya saja. Melihat betapa suaminya itu
mengadakan pesta yang meriah untuk pengesahan pernikahan mereka, timbul
perasaan suka di hati gadis ini. Sun Kok yang berpengalaman itu memang pandai
merayu, dan Lan Hong adalah seorang gadis yang usianya baru lima belas tahun,
maka mudah saja dia terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan kasih sayang
suaminya. Perlahan-lahan, rasa benci dan dandam itu lenyap terganti perasaan
cinta yang mesra!
Akan tetapi ada suatu hal yang menggelisahkan
hati Yauw Sun Kok. Diapun kini sudah tidak mendandam lagi kepada keluarga Sie,
dan cintanya terhadap Lan Hong yang sudah menjadi isterinya adalah cinta yang
mendalam. Bahkan diapun tidak membenci Sie Liong, adik isterinya itu.
Sebaliknya, dia juga memiliki perasaan sayang kepada anak itu, di samping
perasaan iba mengingat betapa anak itu sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi.
Akan tetapi, di samping perasaan sayang dan iba ini, ada semacam kegelisahan
timbul dalam hatinya setiap kali dia memangku dan menimang Sie Liong. Dalam
diri anak ini dia melihat ancaman bahaya besar! Kalau kelak Sie Liong sudah
menjadi seorang dewasa, tentu dia akan mendangar akan kematian ayah ibunya di
tangan kakak iparnya ini, dan tentu akan terjadi malapetaka! Besar sekali
kemungkinannya, Sie Liong kelak akan mencoba untuk membalas dandam! Dari pihak
isterinya, dia tidak khawatir karena dia dapat merasakan kemesraan dan kasih
sayang dari isterinya kepadanya. Akan tetapi anak ini?
Setahun kemudian, ketika Sie Liong sudah
pandai berjalan, pada suatu hari Sun Kok mengajaknya ke kebun belakang.
Sementara itu Lan Hong menyusui anaknya di dalam kamar. Satelah menikah setahun
lamanya, Lan Hong melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan diberi
nama Yauw Bi Sian. Ketika itu, Bi Sian baru berusia satu bulan. Sun Kok
mengajak Sie Liong ke kebun dan memang anak ini dekat sekali dengan dia. Sun
Kok seringkali menimang dan memondongnya, seolah-olah adik isterinya itu anak
kandungnya sendiri. Dan memang dia tidak berpura-pura. Ada rasa sayang dan iba
kepada Sie Liong.
Akan tetapi, ketika dia membawa Sie Liong
bermain-main di kebun belakang, kembali dia teringat akan bahaya yang
mengangancam dari diri anak ini. Dia tahu bahwa Sie Liong memiliki tulang yang
kuat dan darah yang bersih. Anak ini berbakat baik sekali untuk kelak menjadi
seorang yang gagah perkasa. Kalau kelak anak ini menjadi seorang pandai, tentu
keselamatan dirinya terancam! Wajah anak itu saja sudah mulai mengingatkan dia
akan wajah Sie Kian yang dibunuhnya. Berbeda dari wajah isterinya yang mirip
ibunya. Kelak Sie Liong akan menjadi Sie Kian kedua yang mungkin saja akan
membunuhnya untuk membalas dendam! Mulailah dia merasa menyesal mengapa dia
membunuh dan membasmi keluarga Sie tanpa mengenal ampun. Pada hari ini dia
insyaf, mendiang Sie Kian membunuh isterinya bukan karena benci atau dendam,
melainkan dalam perkelahian yang wajar. Sie Kian sebagai seorang pendekar
membela bangsawan yang dirampoknya, dan dalam perkelahian itu Sie Kian berhasil
mengalahkan dia dan isterinya. Isterinya tewas dan dia terluka, juga Sie Kian
terluka oleh senjata rahasia piauw-nya.
Bagaimanapun juga, anak ini merupakan ancaman
bahaya besar. Betapa mudahnya melenyapkan ancaman bagiya itu. Sekali
menggerakkan tangannya, anak ini akan mati dan lenyaplah ancaman bahaya itu.
Akan tetapi, dia teringat akan sumpahnya kepada isterinya. Dia telah bersumpah
tidak akan membunuh anak ini, dan isterinya ternyata juga memegang teguh
janjinya. Isterinya itu kini menjadi seorang isteri yang mencinta, mesra dan
bahkan telah melahirkan seorang anak keturunannya! Bagaimana mungkin dia
melanggar sumpahnya? Isterinya benar. Bagaimanapun juga, dia masih memiliki
harga diri dan dia tidak akan melanggar sumpahnya! Dan pula, bagaimana dia tega
membunuh anak ini yang sudah disayangnya pula?
“Ci-hu (kakak ipar).... ci-hu.... tangkap....
tangkap....!” Tiba-tiba Sie Liong berseru gembira sambil menunjuk ke arah
seekor kupu-kupu kuning yang beterbangan di antara kembang-kembang yang tumbuh
di kebun itu.
Yauw Sun Kok memandang anak itu. Dia
tersenyum. “Kau tangkaplah sendiri, Sie Liong! Engkau anak pandai, harus mampu
monangkap sendiri kupu-kupu itu.”
Sie Liong dengan gembira berlari-lari mengejar
kupu-kupu itu. Akan tetapi kupu-kupu itu terlampau gesit dan terbangnya
terlampau tinggi bagi Sie Liong yang mengejar terus. Karena selalu melihat ke
arah kupu-kupu di atas, ketika berlari-lari itu, tiba-tiba kaki Sie Liong
tersandung batu besar dan diapun tergelincir dan terguling.
“Dukk!” ketika terjatuh itu, kepalanya
membentur batu dan anak itupun pingsan! Kepalanya yang kanan dekat pelipis
mengeluarkan benjolan berdarah. Sun Kok terkejut dan cepat dia meloncat
menghampiri dan memondong tubuh anak itu, lalu duduk di atas bangku dan
memangkunya. Sie Liong telah pingsan. Ketika dia hendak menyadarkan anak itu
dengan memijat belakang kepalanya, tiba-tiba menyelinap pikiran lain dalam
banaknya. Inilah kesempatan yang amat baik! Dia tidak akan membunuh anak ini
akan tetapi dapat membuatnya menjadi cacat dan dengan cacatnya itu, kelak dia
tidak akan dapat menjadi orang kuat dan terhindarlah dia dari ancaman balas
dandam anak ini! Membuat dia cacat tidak berarti membunuhnya. Dia tldak melanggar
sumpahnya, dan dalam keadaan pingsan begini, anak inipun tidak merasakan
apa-apa! Dan dia akan mengusahakan agar tidak ada bekas-bekas penganiayaan, dan
peristiwa jatuhnya anak ini kelak dapat menjadi alasan mengapa dia menjadi
cacat!
Tanpa ragu lagi, Sun Kok menelungkupkan tubuh
Sie Liong yang pingsan itu, membuka bajunya, kemudian dengan dua jari tangan
kanannya, dia menotok dan memuntir tiga kali di punggung anak itu! Benar
seperti dugaannya, anak yang pingsan itu tidak kelihatan kesakitan, padahal
tiga kali totokan jari dan puntiran itu telah membuat tulang punggung itu retak
dan jaringan syaraf dan ototnya menjadi hancur!
Sun Kok memondong kembali tubuh itu setelah
membereskan pakaiannya, membawanya pulang ke rumah. Tanda biru menghitam pada
punggung itu tentu tidak menimbulkan kecurigaan. Tak seopun akan menyangba
bahwa tanda itu adalah tanda bekas totokan dan puntiran jari tangannya!
Melihat suaminya memasuki kamar memondong
tubuh Sie Liong yang lemas seperti anak tidur, Lan Hong terkejut. “Ah, ada
apakah?” tanyanya, memandang wajah suaminya dengan khawatir.
“Dia mengejar kupu-kupu, tersanduag dan
terjatuh, kepalanya terbanting ke atas batu dan dia pingsan,” katanya sambil
merebahkan tubuh anak itu ke atas pembaringan.
Lan Hong sejenak memandang wajah suaminya,
penuh dengan kecurigaan dan sepasang alisnya berkerut. Melihat isterinya
memandangnya seperti itu, Sun Kok manghampiri dan merangkul isterinya.
“Isteriku yang baik, apakah sampai kini engkau belum juga percaya padaku? Ingat,
aku takkan pernah melupakan sumpahku. Aku tidak akan membunuh Sie Liong! Aku
sudah amat sayang padanya. Bagaimana kini engkau dapat memandang kepadaku
dengan kecurigaan seperti itu?”
Lan Hong membalas rangkulan suaminya. “Ah,
maafkan aku....” dan iapun segera memeriksa keadaan Sie Liong. Kelihatannya
hanya kepala anak itu saja yang terluka, berdarah dan membenjol. Akan tetapi
biarpun mereka berdua telah berusaha untuk membikin sadar, anak itu tetap saja
pingsan. Hal ini membuat Lan Hong merasa khawatir sekali dan suaminya segera
pergi mengundang seorang tabib yang terkenal pandai di kota Sung-jan itu. Tabib
itu seorang peranakan Nepal dan memamng dia pandai sekali dalam soal
pengobatan.
Orang berkulit hitam dan tinggi kurus
bersorban putih itu datang membawa keranjang obatnya, dan segera memeriksa Sie
Liong. Tabib itu sudah lama mengenal Yauw Sun Kok yang dikenal di kota itu
sebagai seorang ahli silat yang pandai disamping pekerjaannya sebagai seorang
pedagang rempah-rempah yang cukup maju.
Mula-mula dia memeriksa keadaan kepala yang
benjol itu, ditunggui dengan penuh kekhawatiran oleh Lan Hong yang memondong
puterinya dan suaminya. Tabib itu mengangguk-angguk. “Hanya luka di luar, tidak
berbahaya dengan kepala ini. Hemm, kenapa dia belum juga siuman? Tentu ada luka
lain. Biar kuperiksa tubuhnya.” Dia lalu membuka pakaian anak itu, dibantu oleh
Sun Kok. Ia sama sekali tidak merasa khawatir. Seorang tabib yang pandai
seperti orang Nepal ini tentu akan dapat menemukan luka di punggung itu, akan
tetapi tak mungkin akan tahu bahwa itu disebabkan oleh totokan jari tangan dan
akan mengira bahwa punggung itupun terpukul benda keras.
Dugaannya memang benar. Setelah memeriksa
seluruh tubuh, akhirnya tabib itu menemukan tanda menghitam di tulang pungung.
“Ahh, inilah yang menyebabkan dia pingsan terus! Punggungnya terluka, dan luka
ini lebih hebat dari pada luka di kepalanya!”
Dia memeriksa dengan teliti, lalu mengerutkan
alisnya, manggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang.
“Bagaimanakah keadaannya, Sin-she (Tabib)?”
tanya Lan Hong khawatir melihat muka orang Nepal itu.
“Tidak baik.... sungguh tidak baik....! Luka
di punggung ini hebat sekali. Agaknya tulang punggung ini retak, dan
otot-ototnya juga terluka parah....”
“Aihh! Bagaimana hal itu dapat terjadi?
Dan.... dan.... apakah dia dapat disembuhkan, Sin-she?” tanya pula Lan Hong
sambil memandang suaminya.
Sun Kok mengangguk-angguk. “Aku hanya melihat
ada batu besar di bawahnya ketika dia jatuh. Karena yang nampak hanya
kepalanya yang membenjol dan berdarah, kusangka hanya itu saja lukanya. Tentu
punggunguya terbanting pada batu yang menonjol sehingga seperti terpukul.”
Tabib itu mengangguk-angguk. “Agaknya
begitulah. Akan tetapi jangan khawatir, dia masih kecil sehingga luka parah
itu tidak akan merenggut nyawanya, walaupun aku khawatir sekali....”
Melihat tabib itu nampak ragu, Lan Hong
bertanya cemas, “Khawatir apa, Sin-she? Katakanlah, apa yang akan terjadi
dengan adikku?”
“Dia akan dapat disembuhkan, oleh obatku dan
oleh kekuatan tubuhnya sendiri yang masih murni. Akan tetapi tulang
punggungnya itu akan tidak normal pertumbuhannya dan aku khawatir kelak dia
akan menjadi seorang yang bongkok.”
“Ahh....!” Lan Hong menutupi mukanya dengan
tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi seorang yang bongkok punggungnya.
Tangan suaminya menyentuh pundaknya dengan
lembut. “Tidak perlu berduka. Biar cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah
begitu? Yang penting Sie Liong dapat sembuh dan sehat kembali.”
Sie Liong mendapat perawatan baik-baik dan
tepat seperti keterangan tabib pandai itu, Sie Liong dapat sembuh, akan tetapi
pertumbuhan tulang punggungnya tidak normal. Dua tahun kemudian sudah nampak
betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di punggungnya seperti punggung onta.
Dan Yauw Sun Kok diam-diam tersenyum seorang diri, merasa lega dan aman
sekarang. Seorang bocah yang bongkok punggungnya, bagaimanapun juga tidak
mungkin akan dapat menjadi seorang yang perlu ditakuti. Rasa takut dapat
membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok melakukan kekejaman itu
kepada seorang anak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya karena dia
takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan mengetahui tentang kedua orang
tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam kepadanya.
Sie Lan Hong juga bukan seorang wanita yang
bodoh. Biarpun suaminya memberi keterangan bahwa Sie Liong terjatuh menimpa
batu ketika mengejar kupu-kupu, dan ketika Sie Liong telah sadar anak itupun
dapat bercerita sedikit-sedikit bahwa kupunya nakal, bahwa dia terjatuh ketika
mengejar kupu-kupu, namun diam-diam Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada
suaminya. Ia tahu bahwa suaminya itu, bagaimanapun juga, masih merasa khawatir
kalau-kalau Sie Liong kelak akan mengetahui akan kematian orang tuanya lalu
anak itu akan membalas dendam kepadanya. Ia meraga curiga apakah jatuhnya
adiknya itu bukan disengaja dan dibuat oleh suaminya! Akan tetapi ia sudah
terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka telah mempunyai seorang anak.
Dan andaikata benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang menyebabkan
adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak melanggar
sumpahnya. Suaminya pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan
membuatnya cacat bukanlah pembunuhan. Maka, khawatir kalau ia menuduh tanpa
bukti hanya akan merenggangkan kasih sayang antara ia dan suaminya, Lan Hong
diam saja dan menahan itu di dalam hatinya.
***
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Sie
Liong kini telah menjadi seorang anak laki-lakl berusia tiga belas tahun.
Encinya tidak mempunyai anak lain kecuali Yauw Bi Sian yang sudah berusia
sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar sebagai seorang anak laki-laki
yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan tetapi dia rajin sekali bekerja. Dan
biarpun punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya
sehat dan dia tidak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika
seorang guru sastra didatangkan oleh Sun Kok untuk mengajar puterinya, Sie
Liong yang ikut pula belajar, dengan cepat sekali dia dapat menghafal semua
huruf sehingga guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun Kok masih merasa aman melihat perkembangan
Sie Liong yang kini menjadi seorang anak yang biarpun pandai membaca dan
menulis, namun seorang anak bongkok yang biarpun sehat bertubuh lemah. Hanya
satu hal yang mengecewakan hatinya melihat bahwa Sie Liong tidaklah menjadi
seorang anak berpenyakitan seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi
seorang anak sehat. Seringkali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri.
Sepihak dia merasa kecewa melihat anak itu sehat, di lain pihak dia merasa
girang karena betapapun juga ia merasa sayang kepada anak itu!
Sie Liong memang seorang anak yang tahu diri.
Dia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada cihu (kakak ipar), maka diapun tidak
bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu
pekerjaan rumah walaupun cihu-nya mempunyai beberapa orang pelayan. Dan sejak
kecil, Bi Sian amat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak
keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali
kepada pamannya itu. Karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja, maka
biarpun mereka itu paman dan keponakan, hubungan mereka amat akrab sebagai dua
orang anak yang sebaya atau sepantar.
Semenjak Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya
telah mulai memberi pelajaran ilmu silat kepadanya. Melihat ini, Sie Liong
merasa ingin sekali untuk ikut belajar, akan tetapi selalu cihu-nya
melarangnya.
“Sie Liong, engkau harus tahu bahwa keadaan
tubuhmu tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat
utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu silat dengan baik adalah ketegakan
tubuhnya. Tulang punggung dari tengkuk sampai pinggang haruslah tegak dan rata,
maka tidak baik kalau engkau berlatih silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu
membaca dan menulis.” Demikian Sun Kok pernah berkata.
Mendengar ini, Sie Liong menundukkan mukanya
dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri dan mulai saat itu, dia tidak
pernah mengemukakan keinginannya belajar ilmu silat.
Akan tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman
kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka akan isi hati kawan bermainnya
ini, maka iapun tahu benar betapa paman kecil itu ingin sekali ikut belajar
ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka berdua saja tanpa diketahui
orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua gerakan yang dipelajarinya dari
ayahnya kepada Sie Liong. Dan si bongkok inipun menerimanya dengan amat gembira.
Memang dia ingin sekali belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut
uluran tangan Bi Sian yang mengajarnya. Dan ternyata, kecerdasannya
membantunya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah menghafal setiap
gerakan, bahkan karena bakatnya, dia mampu bergerak lebih lincah dan lebih
cekatan dan baik dibandingkan Bi Sian. Tentu saja ada hambatan besar baginya,
yaitu kebongkokan tubuhnya. Maka, dalam beberapa gerakan nampak betapa
gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Dan kadang-kadang Sie Liong
merasa nyeri pada tengkuk dan punggungnya setelah dia berlatih silat bersama
Bi Sian.
Setelah Sie Liong berusia tiga belas tahun
dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang anak ini telah mempelajari
banyak macam gerakan silat. Bi Sian telah menjadi seorang gadis cilik yang
pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan karena ia sejak kecil digembleng
ayahnya dan mempelajari samadhi dan latihan pernapasan, maka biarpun usianya
baru sebelas tahun, anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat.
Dua orang anak yang saling mengasihi dan
saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat
sehingga baik Sun Kok maupun Lan Hong sama sekali tidak pernah menyangka bahwa
Sie Liong yang sehat dan gerakannya yang cekatan, suami isteri itu hanya
mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya akan itu bekerja, memikul air, menyapu
dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.
Akan tetapi akhirnya kemampuannya bersilat itu
terbuka dengan terjadinya suatu peristiwa. Semua orang di kota Sung-jan tahu
belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah seorang ahli silat yang pandai. Pernah
beberapa kali Yauw Sun Kok membantu para petugas keamanan kota memberantas
gerombolan perampok sehingga dia dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani.
Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Biarpun
semua orang mengenal Sie Liong sebagai si Bongkok, namun di depan Yauw Sun
Kok dan isterinya, tidak ada orang yang berani mengganggu anak bongkok itu,
karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke
Pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong yang disuruh encinya pergi ke pasar
untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang sudah hampir habis persediannya.
Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian ikut dan ibunya memperkenankan karena
anak perempuan itu dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang
cukup banyak.
Hari itu memang ramai sekali orang pergi
berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang menyambut
hari raya Imlek, menyambut “tahun baru” atau munculnya musim semi yang cerah
dan mendatangkan berkah bagi para petani melalui sawah ladang mereka. Seminggu
lagi “sin-cia” tiba dan orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan
dapur, dan mulai ramai orang memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka
mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.
Menyembahyangi abu leluhur merupakan suatu
kebiasaan tradisi yang amat kuno di Tiongkok. Tradisi ini mendorong semua
orang untuk selalu berbakti setia, dan mencinta sambil menghormati orang tua
dan nenek moyang mereka. Bagi kebiasaan tradisi ini, ada tiga macam kebaktian
yang tidak boleh ditinggalkan manusia, kalau mereka ingin hidup benar. Pertama,
berbakti kepada Langit dan Bumi, istilah yang kemudian dikenal sebagai Tuhan
Yang Maha Esa sebagai Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan diri kita.
Kedua, berbakti kepada ayah ibu, orang tua dan nenek moyang sebagai
orang-orang yang telah menghadirkan kita di dunia ini dan kemudian menjadi
pemelihara dan pelindung kita, dan ketiga berbakti kepada guru sebagai orang
yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kita. Pada masa itu, kalau
seseorang tidak memenuhi tiga macam kebaktian ini, dia dianggap sebagai seorang
yang murtad, seorang yang berdosa dan jahat!
Jelaslah bahwa menyembahyangi abu leluhur
berarti menanamkan rasa hormat, cinta dan bakti kepada orang tua, seolah-olah
mengingatkan kita bahwa sampai orang tua sudah meninggalpun kita tidak boleh
melupakan cinta kasih dan jasa mereka terhadap kita. Tindakan seperti ini tentu
saja memberi contoh yang baik kepada anak cucu kita, seperti suatu peringatan
kepada mereka bahwa merekapun wajib mencinta dan menghormati orang tua mereka seperti
kita menghormati orang tua kita.
Namun sayang seribu sayang, tujuan yang amat
bijaksana dan baik ini seringkali diselewengkan orang. Banyak orang
bersembahyang di depan meja abu leluhur mereka dengan suatu pamrih tertentu.
Bukan semata untuk menghormat dalam kenangan terhadap orang tua, melainkan
sembahyangan itu menyembunyikan pamrih agar mereka yang bersembahyang itu
diberkati oleh roh si mati! Ini suatu penyelewengan besar! Bahkan sesudah
matipun, orang-orang tua itu kita minta, untuk melakukan sesuatu demi
kesenangan dan keuntungan diri pribadi kita! Memang, segala tujuan, betapapun
baiknya, akan disalahgunakan orang kalau di situ sudah terdapat keinginan
untuk menyenangkan diri sendiri, demi kepentingan diri sendiri. Segala sesuatu
akan menjadi palsu dan kotor, karena semua perbuatan itu palsu adanya, semata
menjadi sarana untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, dalam hal ini tentu
saja yang diinginkan adalah demi kesenangan sendiri, demi kepentingan diri
sendiri! Adakah sembahyangan di depan abu leluhur yang dilakukan orang demi
penghormatan dan kenangan kasih sayang orang-orang tua itu semata? Tanpa
adanya pamrih pribadi itu? Kalau ada, alangkah baiknya!
Hati Sie Liong den Bi Sian gembira sekali
ketika mereka membawa keranjang kosong, pergi ke pasar. Jalan menuju ke pasar
itupun ramai, penuh orang berlalu lalang dan wajah mereka rata-rata gembira.
Banyak orang sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat
orang mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa
Sie Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang
menyebutnya dengan “Hee, bocah bongkok!” begitu saja. Namun, Sie Liong tetap
tersenyum dan menjawab mereka semua dengan kata-kata ramah bahwa dia akan
pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang menyebutnya si bongkok
itupun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan ramah dan hendak
bergurau. Dia sudah terbiasa mendengar sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia
berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri, memang sebutan itu
menyakitkan hati. Apalagi kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya
melengkung ke depan, dia merasa rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa,
kini sebutan si bongkok tidak mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima
kenyataan bahwa dia memang bertubuh bongkok, dan memang sepatutnya disebut si
bongkok!
Akan tetapi, setiap kali ada orang menyebut
Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian mengerutkan alisnya dan melotot
marah kepada orang yang menyebut demikian. Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela
paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang dianggapnya suatu ejekan atau hinaan.
Dua orang anak yang berjalan berdampingan itu
memang merupakan pemandangan yang agak ganjil. Wajah Sie Liong memang tidak
buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Akan tetapi tubuhnya yang
melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin membesar,
membuat dia nampak pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang seperti
lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik
hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba
dalam hati orang yang memandangnya. Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang
anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya manis sekali,
terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, dan bentuk tubuh
yang masih kekanak-kanakan itupun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh
seorang wanita yang indah. Kalau dara cilik ini diumpamakan setangkai bunga
yang belum mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti
seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang
serasi.
Mereka sudah tiba di dekat pasar ketika tiga
orang anak laki-laki yang berusia antara tiga belas sampai lima belas tahun
melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya bermain-main di tepi jalan.
Ketika mereka melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka menghentikan permainan
mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa keranjang kosong itu.
Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tidak pernah berani
mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang
terkenal jagoan. Akan tetapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan
mereka amat manis dan menarik. Mulailah mereka merasa iri kepada Sie Liong.
Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri
maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong.
“Nona Yauw, apakah engkau hendak berbelanja ke
pasar?” tanya seorang diantara mereka.
Karena pertanyaari itu sopan dan wajar, Bi
Sian mengangguk, “Benar, aku hendak berbelanja ke pasar.”
“Kalau begitu, marilah kuantar engkau, Nona.
Biar nanti kami bertiga yang membawakan barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”
“Benar, nona Yauw. Daripada engkau berjalan
dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan orang!” kata anak ke dua.
“None Yauw,” kata orang ke tiga sambil
tertawa. “Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kaujual?”
Tiga orang anak itu tertawa sambil menuding
kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena dianggap mereka
bertka itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah sekali.
Mukanya berubah merah dan ia melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Kalian ini tikus-tikus busuk, berani menghina
orang! Apakah kalian menantang berkelahi?” bentak Bi Sian dengan sikap galak.
Anak yang paling besar di antara mereka, yang
bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh jerawat, berusia kurang lebih lima
belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi Sian. “Aih, mana kami berani
menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan Si Bongkok ini, karena
memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia
pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan pengantar nona agar di jalan
tidak ada yang berani mengganggu.”
“Siapa butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian
mengejek dan menghina dia. Dia adalah pamanku, menghina dia berarti menghina
aku! Nah, enyahlah kalian!”
Dua orang anak laki-laki yang lain hendak
membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mereka. “Mari
kita pergi dari sini!” katanya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan
dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang
menonton. Ketika tiga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji
kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri
Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka. Seorang di antara mereka, seorang
kakek penjual kuih, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung
tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan
suka main keroyokan.”
Bi Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih,
lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi mengganggu kami yang
sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu
melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, merekapun
melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang
belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian
hanya membawa keranjang yang kecil dan tidak begitu berat. Barang-barang yang
berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul keranjang
itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih
membawa lima ekor ayam pada kaki mereka. Jarak antara rumah keluarga Yauw dan
pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya.
Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi karena di kedua tepi jalan
itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak
laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan kini
keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ. Yang tiga orang adalah
anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah dua orang anak laki-laki
yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun dan sikap mereka seperti
jagoan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasukan
keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang paling
depan.
“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak
laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak
menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia melepaskan
keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak laki-laki
jangkung jerawatan itu. “Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak
menghina orang?”
“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati
ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya tidak rela melihat monyet
bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keranjang itu kepada
kami dan kau boleh merangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona
Yauw pulang!”
Kemarahan Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh
bermulut kotor dan jahat!” katanya dan iapun sudah maju dan menyerang dengan
tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan
tangannya itu cepat dan kuat.
“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena
tamparan.
“Aduhh....!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang
tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri dan ternyata pipi itu menjadi
biru membengkak! “Nona, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?”
bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan
perlu dihajar!” kata Bi Sian dan ia sudah menerjang maju lagi, sekali kakinya
terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk menangkap lengannya,
jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata
dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan merekapun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!” Bi Sian membagi-bagi pukulan dan
tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka
kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka meubruk dari belakang dan
berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian
meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga
ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu.
Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet
bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada
tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani
menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka
hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak
dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain,
termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan
keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya
ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu,
membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu bahkan menghinanya. Dia tahu diri.
Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya. Akan tetapi,
melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah
merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua
hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa
dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Sian!”
bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perempuan
itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar
bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan
anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di
kota itu.
“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan
nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong
sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur
hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan
dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu
atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak
ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepekaan dan gerakan
otomatis. Walaupun dia belum pernah berkelahi, namun dia mengenal
gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan mengelak, menangkis,
memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah
mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan
itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong,
akan tetapi anak inipun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya
menangkis ke samping.
“Dukkk!” Kaki yang menendang itupun
tertangkis.
Melihat betapa dua kali serangannya dapat
dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia
mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan dapat merobohkan Si
Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya
nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki ilmu silat yang lebih
pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga
menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul
dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong
hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan
yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti
tarian. Maka, menghadapi serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang
anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan. Tadinya
dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini
tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya
bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala
pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan
yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai
merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya, mukanya, menjadi
sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong
menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian berteriak-teriak, “Jangan
pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-anak
jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
Dua orang anak laki-laki yang lain hendak
membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mereka. “Mari
kita pergi dari sini!” katanya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan
dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang
menonton. Ketika tiga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji
kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri
Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka. Seorang di antara mereka, seorang
kakek penjual kuih, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung
tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan
suka main keroyokan.”
Bi Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih,
lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi mengganggu kami yang
sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu
melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, merekapun
melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang
belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian
hanya membawa keranjang yang kecil dan tidak begitu berat. Barang-barang yang
berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul
keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan
kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki mereka. Jarak antara rumah
keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari
tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi karena di
kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima
orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi
dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ. Yang tiga
orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah dua orang
anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun dan sikap mereka
seperti jagoan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi adalah putera komandan
pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang
paling depan.
“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak
laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak
menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia melepaskan
keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak laki-laki
jangkung jerawatan itu. “Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak
menghina orang?”
“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati
ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya tidak rela melihat monyet
bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keranjang itu kepada
kami dan kau boleh merangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona
Yauw pulang!”
Kemarahan Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh
bermulut kotor dan jahat!” katanya dan iapun sudah maju dan menyerang dengan
tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan
tangannya itu cepat dan kuat.
“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena
tamparan.
“Aduhh....!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang
tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri dan ternyata pipi itu menjadi
biru membengkak! “Nona, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?”
bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan
perlu dihajar!” kata Bi Sian dan ia sudah menerjang maju lagi, sekali kakinya
terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk menangkap lengannya,
jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata
dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan merekapun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!” Bi Sian membagi-bagi pukulan dan
tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka
kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka meubruk dari belakang dan
berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian
meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga
ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu.
Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet
bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada
tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani
menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka
hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak
dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain,
termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan
keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya
ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu,
membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu bahkan menghinanya. Dia tahu diri.
Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya. Akan tetapi,
melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah
merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua
hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa
dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Sian!”
bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perempuan
itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar
bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan
anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di
kota itu.
“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan
nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong
sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur
hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan
dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu
atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak
ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepekaan dan gerakan
otomatis. Walaupun dia belum pernah berkelahi, namun dia mengenal
gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan mengelak, menangkis,
memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah
mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan
itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong,
akan tetapi anak inipun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya
menangkis ke samping.
“Dukkk!” Kaki yang menendang itupun
tertangkis.
Melihat betapa dua kali serangannya dapat
dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia
mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan dapat merobohkan Si
Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya
nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki ilmu silat yang lebih
pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga
menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul
dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong
hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka,
gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerakan kembangan
saja, seperti tarian. Maka, menghadapi serangan sungguh-sungguh yang
dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia
kewalahan. Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang.
Akan tetapi, kini tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan!
Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali
melakukan segala pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali.
Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan
tetapi tidak sampai merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya, mukanya, menjadi
sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong
menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian berteriak-teriak, “Jangan
pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-anak
jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
Sie Liong yang mulai marah itu memandang
dengan mata mencorong. “Kalian orang-orang jahat!” bentaknya dan suaranya
melengking nyaring, kemudian dia mulai membalas dengan pukulan-pukulan seperti
yang pernah dipelajarinya dari Bi Sian.
“Plakkk!” Dia menangkis pukulan Ki Cong dan
membiarkan pukulan si muka hitam mengenai dadanya, akan tetapi dia membalas
kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke arah leher putera kamandan itu.
“Desss!” Tenaga Sie Liong memang besar dan
pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga
tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari samping, tangan
kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk
mencengkeram mata Sie Liong, akan tetapi terlalu rendah sehingga yang
dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau
dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka.
Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya
dan menggigit jari telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras
mengerahkan tenaganya.
“Krekk!” Hampir saja jari itu putus oleh
gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya retak-retak. Anak bermuka
hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong melepaskan gigitannya dan anak
itu memegangi jari tangannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri
menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal
lehernya, sudah bangun lagi dan dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua
tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya
jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai
ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya
akan roboh pingsan.
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya
itu, tidak mau menerima lagi pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua
lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut
Bi Sian bernama “Dua Tihang Penyangga Langit”. Kedua lengannya dengan kekuatan
sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam
ubun-ubun kepalanya.
“Dukkk!” Kuat sekali kedua lengan Sie Liong
itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu
dengan dua lengan lawan yang menangkisnya dan pada saat itu, Sie Liong melihat
betapa dada lawannya “terbuka” sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya,
dan kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu,
ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga diapun menyeruduk ke depan! Kepalanya
mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!” Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan
terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan
lawan-lawannya yang sudah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi
telunjuk kanan yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu
bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya
memperhatikan Bi Sian dan kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang
masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh
Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong
dan Bi Sian mengamuk. Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan
mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya
mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima
orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah
merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian
memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau hebat! Engkau mampu
mengalahkan mereka....” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan
pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan
engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan
main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang
mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan
diapun dengan lembut menarik kedua tangannya dan membuang muka.
“Ahhh.... sudahlah, Bi Sian. Di mana
barang-barang kita? Wah, wah, itu ayamnya berloncatan jauh. Mari kita
kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang
belanjaan yang cerai berai, dan betapapun mereka mencari, ayam yang lima ekor
itu tinggal tiga ekor saja. Juga banyak barang belanjaan menjadi rusak
terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita
diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku
telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku....!”
“Kenapa ayah harus marah? Bukankah engkau
telah menolongku, paman? Biar aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu
marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi
kepadamu, jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali
memperingatkan agar aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih
kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih.
Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kauceritakan bahwa aku
berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu.
Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka
yang bengkak-bengkak dan biru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman
Liong? Aku melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi....”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan
tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri....”
“Paman, kalau aku tidak boleh menceritakan bahwa
engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang
jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau
ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat
melihat mukanya yang lembam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi
kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dapat merasakan betapa pipinya itu
membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa mukanya akan mudah
kelihatan bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya....? Aku tidak ingin
cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak
ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan
walaupun dianggapnya sikap itu berlebihan. “Baiklah, paman. Aku tidak akan
menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu
bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal menganggu kita. Engkau
dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu
engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka
kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku
senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan
itu, biar kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena
aku dipukuli mereka. Dan engkau tidak dapat menjaga barang-barang itu karena
engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang.
Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun
Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aih! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan
kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Eh, apa yang
telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis
berkerut.“Sie Liong! Engkau telah berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw
Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Lion hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu
akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie
Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata,
“Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong!
Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan
berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok
memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau
berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie
Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan
ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang
bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakitan, lalu berkata,
“Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang
tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian
lalu mulai bercerita.
“Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang
sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang
usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal.
Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengataken paman monyet bongkok. Paman
diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka,
bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak
melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara
paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah.
Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami
hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan
tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang
jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di
kota ini, ayah.”
“Apa? Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun
Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada
seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera
komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aiih!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat
baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang
memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai
seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum
diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, di antara kedua
orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia
memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa
yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu
Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu
mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia
yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya,
dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya
itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberitanu oleh orang tuanya
bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan
dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok
lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian
memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masin tertawa bergelak. Mendengar
pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu
Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha, bagaimana dia bisa
cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat.... eh, dia kan pamanmu sendiri!
Apakah dia tidak kauberi tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberitahu
bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia
cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum. “Tentu dia sudah
mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku menjodohkan engkau dengan
dia....”
“Ayah....!” Bi Sian berteriak, matanya
terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut. Sejenak anak ini memandang
ayahnya dengan muka merah dan mata merah, akan tetapi ia lalu lari masuk ke
dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya,
lalu mengundurkan diri ke dapur membawa barang-barang belanjaan untuk
menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga
sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang
belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada
peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa
lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum
resmi mereka meminang. Karena itu, engkaupun belum kuberitahu. Bagaimana juga,
Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara ke dua orang anak
yang kami ingin jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau
sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke
sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah
Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya,
disambut oleh anaknya yang matanya merah karena menangis. Melihat ibunya, Bi
Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi
dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Eh? Tikus Jerawatan yang mana?” ibunya
bertanya heran karena memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah
aku akan dijodohkin dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan
sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu
akan mengajak aku berunding, dan engkaupun akan kuberitahu. Sudahlah, jangan
marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun
yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka....!” Akan
tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan. Terlambat. Ibunya sudah
mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut
dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau
mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke
rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya
juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberitahukan ibunya dan menarik
ibunya di fihaknya agar membela ia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi.... berbohong kepada ayah, maka
aku kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak
nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu
memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan lima
orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong.
Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak
nakal yang lebib besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong,” Bi Sian lalu
menceritakan semua yang telah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu
menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Ialah yang marah-marah
dan memukul, akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang
anak memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya
dan mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, agar jangan
bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu
berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu
akan mengadu dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran.
“Tapi.... tapi.... Sie Liong cacat dan lemah.....”
Biarpun matanya masih merah oleh tangisnya
tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya
orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang
yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah
kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika dia melawan
anak-anak nakal itu, hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini.
Adiknya mempelajari ilmu silat! Ah, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hal
itulah yang amat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa
suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang
tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa
suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak
tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam! Perih rasa hati Lan Hong. Ia
sendiri seringkali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya
dibunuh oleh Yauw Sun Kok, biarpun dengan alasan untuk membalas kematian isteri
pertama suaminya itu. Dan ia terpaksa menyeralkan diri kepada Sun Kok demi
menyelamatkan adiknya. Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini,
apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak. Iapun tidak menginginkan terjadi permusuhan
antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, kini terjadi peristiwa itu dan
suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari
ilmu silat.
“Sian-ji.... jangan.... jangan kauceritakan
hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu
silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka
kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan
tetapi kenapa? Aku, seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat
oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya
cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar
sehat dan kuat. Kenapa ayah melarangnya?”
“Ayahmu.... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu
itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali kalau mempelajari ilmu
silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka
mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas
ibu dan anak ini keluar dengap hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat
Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika dia
berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, dia bukan saja mendengar bahwa yang
memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung
itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat
benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong
itu ganas dan berbahaya sekali. “Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah,
bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh
ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada
adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang
demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah
dia akan keadaannya sendiri. Kalau dibiarkan Sie Liong terus menerus
mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, keselamatan nyawanya
tentu terancam kelak! Akan tetapi, jalan satu-satunya hanya membunuh anak itu,
padahal dia tidak mau melakukan hal itu. Bukan hanya karena dia pernah
bersumpah kepada isterinya bahwa dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi
juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimanapun juga, harus dia akui
bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan
tetapi bagaimana tahu-tahu dia memiliki kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong....!” Yauw Sun Kok memanggil lagi
dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya
masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia
sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada
cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihunya yang duduk dan
memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu
silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar
pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan luar
biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa.
Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia
mempelajari ilmu silat. Apakah anak perempuan itu yang memberitahukan ayahnya?
Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian memberitahu, tidak mungkin
cihunya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya?
Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan
marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang
wajah cihunya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapapun,
cihu.”
“Brakkk!” Yauw Sun Kok menggebrak meja di
depannya sehingga ujung meja itu retak. “Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah
yang memukuli putera Lu-Ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan
mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan
itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian
memperotes.
“Diam kau! Kau sudah membohongi aku dan
mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa
engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk
tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu,
memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya
belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot.
“Tidak mungkin belajar silat tanpa guru! Coba kaumainkan beberapa jurus ilmu
silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah
marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau
sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang kepada encinya. Sang enci
merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ia tahu bahwa kalau permintaan
suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah.
Bagaimanapun juga, kemarahan suaminya itu beralasan karena larangannya telah
dilanggar oleh Sie Liong. Maka ia mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah
kaupelajari agar cihumu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw
Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada
adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan
diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan.” Maka diapun lalu
memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih
silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat.
Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena
gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan
gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari
pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti....!” bentaknya sambil meloncat dari
atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghentikan gerakan kaki
tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu
silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan....
mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua
gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru
gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya
tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya....”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan
isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa
anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap
saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Diapun
mencari akal.
“Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar
silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu
cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali
kalau engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita
berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kaupelajari, dan
serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menyerangmu dengan jurus
yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh
petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikitpun dia
tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai
menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang
pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung
berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga
terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata
benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun
mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa
terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia
mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa
pamannya itu amat sayang kepadanya dan iapun merasa amat sayang kepada
pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut.
Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali,
juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan anak-anak
sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak
mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau
dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak
akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie
Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang!
Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena
cihunya menyerang dengan jurus-jurus yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia
tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Tiba-tiba gerakan
tangan cihunya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi
tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!” Dua kali tangan Yauw Sun Kok
menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu
berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong
mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah! Agaknya Yauw Sun
Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie
Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa pukul paman Liong? Kenapa ayah
memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat
di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kaulakukan?” katanya dengan suara
nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya.
“Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih
silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan
membuatnya muntah darah.” Untung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi
tenaga pada pukulannya, kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini
berarti dia melgnggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam
hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak
laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai
kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi
Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong
yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak
melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat,
melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau
ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan
dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir
kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok
tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian
itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu
tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi,
mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Pawan Liong sama sekaii
tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian
membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba
bayangkan. Kalau engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi
tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini,
aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau
berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan
menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus
menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari
ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji
ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa
suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia
melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan
dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas
dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya
kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia
segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong. Anak ini mengalami luka yang cukup
parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat
minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu
silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
***
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam
masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya
setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan
sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia sama sekali tidak pernah
sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang
pertama. Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang
telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi
suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun mereka melakukan
sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan
cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka batuk-batuk dan biarpun kini
batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri
pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pusing. Selama dua
malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali
bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihunya biasanya
baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah memukulnya. Dan Bi Sian menjadi
korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa
Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal ini
menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya
yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan
dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan
merasa kasihan kepada encinya. Dia merasa betapa encinya amat sayang
kepadanya, dan encinya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia
dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan
encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki encinya itu duduk
melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang
cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu
yang dapat mendatangkan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan
sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya
juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Apa yang menyebabkan encinya
kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol karena
peristiwa dua hari yang lalu. Wajahnva nampak muram dan setelah bersembahyang
dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, diapun lalu
meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang
rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di ruangan sembahyang itu kini
tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi
sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama
pamanmu Liong, beri hormat kepada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang
disebut kakek nenek dalam adalah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah
ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio
(dupa biting) dan mulai bersembahyang. Ketika Sie Liong bersembahyang, dia
membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah
tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya! Usianya belum ada setahun ketika
ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Encinya menjadi pengganti ayah ibunya.
Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya
masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya
semakin bersedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi,
luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan diapun menangis
tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya
menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis, pamannya yang
kuat, tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Iapun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu
merangkulnya.
“Paman Liong, ada apakah? Apakah.... apakah
engkau sakit....?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin
dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie
Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi
tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik
itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya
tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya itu, dengan alis
berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong mendekati dan berlutut lalu merangkul
adiknya. “Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini?
Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa
sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala dan mengusap air
matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya. “Yang sakit adalah
hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil
sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang
membunuh mereka?”
“Akupun merasa heran, ibu dan sering aku
bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia
dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tidak banyak selisihnya
dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika
meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu,
jantung Sie Lan Hong berdebar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa
yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan
ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda
dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan
adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul si pembunuh yang amat kejam itu!
Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian!
Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila
kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak
ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian setelah menjadi isteri Yauw Sun
Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan
menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi
suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari
anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada
anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah
ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama ia menghapus permusuhan ini,
kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami
isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimanapun, ia
tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, kenapa enci tidak menjawab pertanyaan
kami? Mengapa enci kelihatan ragu-ragu?” Sie Liong mendesak encinya, dan kini
sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah
encinya dengan penuh selidik.
“Ah, tidak.” Sie Lan Hong cepat menjawab,
nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus
diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku!
Baiklah, kaudengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan
ibu kita telah menjadi korban wabah yang amat berbahaya. Pcnyakit menular itu
mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia.
Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru
berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya
aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan
cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengarkan cerita encinya ini, Sie Liong
menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan ibu, dan kasihan pula engkau
yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena
tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu
walaupun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya
itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia
telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan
diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal?”
Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya
berkerut. “Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat
malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang
menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu,
kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan
makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin
ia membohongi adiknya lagi dan apa salahnya kalau ia memberitahu? Biarlah
adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan
utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya
di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas
pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan
punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.
***
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang
berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan
raksasa yang amat hebat, naik turun bukit dan jurang, memanjang sampai ribuan
li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).
Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi
pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan
sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun
berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah
kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan
lebat itu.
“Tembok Besar memanjang
ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau
sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia
mati
untuk
menciptakan bangunan ini?”
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak
terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding
tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang
itu berkibar-kibar seperti bendera. Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan
kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua. Namun
wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda, tubuhnya yang
tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang
seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun.
Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya
dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu,
kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula. Sambil berjalan seenaknya di atas
Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya
agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh
semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter,
akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu die berjalan, melainkan
dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja. Gerak-gerik kakek ini halus,
sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu
tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di
sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan
biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena
pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan
liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam
sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah,
tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar saking
lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia
seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan
jelas. Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja
meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang
membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang
turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa
helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan
diapun tersenyum penuh bahagia.
Betapa bahagianya orang yang masih mampu
menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau
kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka
kitapun akan dapat melihat segala keindahan itu! Dalam gerak- gerik setiap
orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin,
cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda,
pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan kesemuanya
itu! Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan,
segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan,
kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan
kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat
keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan!
Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas,
agaknya dia baru teringat akan urusannya. “Aih, masih amat jauh perjalanan, dan
aku tidak boleh berlambat-lambatan begini.” Setelah berkata demikian, tubuhnya
berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning
yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan
lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah
puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu
di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu
bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat.
Para penduduk perkampungan di sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia
sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan
pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang
menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Sebutan pek-sim ini
mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai seorang yang berhati putih, seorang
yang amat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan
Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih).
Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa
waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya,
lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersamadhi. Lalu paginya,
tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha
pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan
Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang
mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu.
Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau
isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih
lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak,
tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya
tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala
macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka! Kekuatan alam ini
adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam
telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau
manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima
isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan,
dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat
seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan
berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang sedang terjadi di
perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak
jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san
dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur
menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak sebesar dan
seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun
sudah tetkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah
yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya
bagi manusia yang berani memasukinya. Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula
dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa
dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai
itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu,
terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang
pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam
kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat! Betapa banyaknya
tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia
agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan,
kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah
bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet
dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak
jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa
memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri dari pada
permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan
sebagian dari mereka “mengungsi” ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di
tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama
di Tibet. Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san,
yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang
pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, jauh di
timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san
karena munculnya lima orang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk den
menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta
dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya, dan
mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san,
maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu mengamuk ke sana! Dan
menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa
menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga
mengguncang ketenteraman Kun-lun-san. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari
perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun
Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak
enak. Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar,
yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini
ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang
tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan
tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya bahkan mendatangkan
kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima orang pendeta
Lama jubah merah dari Tibet itu mendatangkan perpecahan di antara para
pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama
Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa
dan pendeta yang menganut Agama To menentang. Perpecahan ini menimbulkan
pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa
ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu
kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan
yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan
Kun-lun-pai.
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk
Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai
dibantu oleh seorang sutenya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini
memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang
lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkat. Murid
kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang
mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para
murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hoat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa
gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu,
mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid
karena mereka ingin bicara empat mata saja.
“Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat
dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi
buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik
walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap
marah.
“Siancai-siancai-siancai....!” Thian Hoat Tosu
berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat
tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang
dilakukan oleh para Lama jubah merah itu, bukan?”
“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan
congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama
jubah merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para
pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana
kita dapat memembiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi
wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan?
Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja
dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama
itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mereka yang
datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang
dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apapun,
bagaimana kita dapat mencampuri? Bisa menimbulkan salah paham lebih besar,
sute.”
“Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan
pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa
kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat
sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat
Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita
tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para murid?”
“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar
mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk
perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itupun kita tidak
tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa
salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi
kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara
mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”
“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan
oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersamadhi dan mohon kekuatan
batin bagi kita semua, suheng,” berkata demikian, dengan muka yang tidak puas
dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di
dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama
Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di
punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun den Kok Han, dua orang murid
Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun
yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan
bersikap gagah, dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru
memiliki tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai,
dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga,
mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka,
walaupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk
dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi
hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan
perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul
barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah
pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak
karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan
memandang ke arah kiri dari mana mereka mendengar suara orang
membentak-bentak. “Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa
pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak
mau menyerah, terpaksa akan kubunuh di sini!” demikian suara yang membentak
itu.
“Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika
pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah
memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau
terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto
yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap
kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan
mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat
itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret
seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah, pakaiannya robek-robek,
dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya. Dua orang
Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka
gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah.
Adapun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian,
rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu
tentu sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak berdosa? Omitohud.... mana ada orang
mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu,
di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha
menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan. Kalau orang-orang
macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan
saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
“Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar
dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau seorang di antara mereka yang
berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan
julukanmu adalah Pek In Tosu?” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
“Siancai...., memang pinto disebut Pek In
Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan
membiarkan kebencian menguasai hati, apalagi memberontak.”
“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata
pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami
di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup
lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia
ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa? Kalau begitu, kami akan membunuhmu di
sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi
bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran merekapun
hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke asrama
itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah
melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai
yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi
dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan
perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini
mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka
kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke
depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah
mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda
yang bertubuh tinggi besar. “Akan tetapi tindakan kalian seperti
penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain
dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua
yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.
Sementara itu, dua orang pendeta Lama itu
saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis
berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang
liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya terdengar parau dan penuh
teguran.
“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari
mana berani mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat kalian masih
kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang
ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”
“Kami bukan orang yang suka mencampuri urusan
orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat membiarkan saja
terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid
Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang
kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga
raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia nanpak gagah sekali. Kok Han
bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apalagi dihias brewok yang
terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa,
lalu Lama yang mukanya bopeng berkata, “Ha-ha-ha, sejak kapankah Thian Hwa
Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari
Tibet?”
Lama yang mukanya terhias codet memandang
kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, “Kalian dua
orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian
bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai
mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan
Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai
tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang
tidak rela melihat kalian mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang.
Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai....! Ji-wi kong-cu (kedua tuan muda)
harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu membahayakan
keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah totiang, kami yang bertanggung
jawab,” kata Ciang Sun, sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua
orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua
yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka
membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan
mempergunakan kekerasan!” berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda
dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga
memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang,
kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan
nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian
ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”
Ini merupakan tantangan dan tentu saja dua
orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus
cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina pula perkumpulan mereka.
“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!”
bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng.
“Kalian memang patut dihajar agar tidak
membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!” bentak Kok Han yang juga sudah
menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
“Plak! Plak!”
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak
ditangkis oleh dua oraag Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan
kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa
yang terjadi? Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh
bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena
kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru! Dasar orang
muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan
mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari
pinggang masing-masing dan mereka berduapun menyerbu ke depan, menusukkan
pedang mereka ke arah dada dua prang pendeta Lama itu,
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan
tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dari dua orang
pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.
“Krekkk! Krekkk!” Dua batang pedang itu patah
dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu dan sebelum dua orang
pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah
maju, dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai
itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan
darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya dapat memandang dengan
mata melotot.
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela
temannya. “Suheng, kenapa tidak habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak
menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!” Berkata demikian, Thay
Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut
kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
“Siancai...., kalian terlalu kejam, tidak
mungkin pinto tinggal diam saja!” Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan
rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat dan nampak bayangan
putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke arah dua orang pemuda
itu telah tertangkis.
“Dukkk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya,
Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri
menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.
“Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu
unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku Lama si muka codet sambil
menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak
melakukan perlawanan?”
“Siancai....! Sudah puluhan tahun kami para
pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang
mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua
orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana mungkin pinto
mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk
kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian juga
sudah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau
adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu
kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Harimau Tibet akan
gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh
engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku Lama dan pendeta Lama yang
mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh,
yaitu seperti orang berjongkok, kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk
cakar, telentang di kanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu makin lama
semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara
angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara “kok-kok!” dan kedua
tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan, seluruh
tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia siap melancarkan
pukulan maut yang amat dahsyat. Agaknya, menghadapi seorang di antara Himalaya
Sam Lojin, Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan
ilmu simpanannya agar dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan
mampu merobohkan lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah
pernah mendengar akan ilmu yang kini diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah
sejenis pukulan jarak jauh yang mengandalkan sin-kang dan khi-kang, yang
dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Dari
perut gendut yang menggembung itulah datangnya dorongan tenaga sakti yang amat
ampuh. Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap
menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut.
“Siancai...., pinto melanggar pantangan,
semoga mendapat pengampunan....!” Dan kakek inipun menggerakkan kedua
lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan yang saling dorong,
tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua
tangannya berhenti bergerak, saling bertemu di depan dada seperti menyembah
dan diapun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kok-kok-kok dari perut Thay Ku Lama
semakin keras dan semakin cepat dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap
hitam! Telapak tangan itupun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main
ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan. Pek In Tosu melihat ini semua,
namun dia masih tetap tenang saja, bukan tanang memandang rendah, melainkan
tenang menghedapi apapun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda
seperti seekor katak itu, menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan, bunyi
kok-kok semakin keras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah
Pek In Tosu dan angin keras itu membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam!
Bakan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja mengandang tenaga sakti yang
amat kuat dan mampu merobohkan lawan, asap hitam itupun mengandung racun yang
berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak
tangan hitam itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak
tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu kesaktian Pek In Sin-ciang
(Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan, menyambut angin dan asap
hitam dari pukulau lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua
tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua tangan lawan yang
digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pintu.
“Plak! Plakk!” Dua pasang tangan bertemu, dan
akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri.
Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga
terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk
mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si
Lama telah menyerangnya. Lama bermuka bopeng ini juga lihai bukan main dan
begitu menyerang, dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu yang disebut
Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Bukan saja kedua tangan itu
membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua telapak
tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercuitan, dan
juga mengandung tenaga mujijat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu
seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!
Melihat ini, Pek In Tosu memuji dan berseru,
“Siancay....!” Dilanjutkan dengan pembacaan mantram dan diapun tetap
mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang. Terjadilah pertandingan
silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa
mujijat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari
kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih semakin
besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat
ini, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kok-kok-kok lagi dan diapun membantu
sutenya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti
itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Sebetulnya
dengan tenaga sin-kangnya yang setingkat lebih kuat, dan keringanan tubuhnya
yang memudahkan dia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan
daheyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak. Namun, usianya
sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan uiia, juga
selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, maka tentu saja dia
kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama
yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka
seringkali berkelahi maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan
mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, “Siancai....!”
dan dia lalu duduk bersila di atas tanah! Thay Ku Lama dan Thay Si Lama
tertegun menahan gerakan mereka, terheran-heran melihat lawan mereka kini
tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersamadhi, kedua
telapak kaki telentang di atas paha, itulah duduk bersila dalam kedudukan
Teratai yang kokoh kuat. Mereka mengira bahwa kakek itu sudah kelelahan dan
pasrah mati maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan
tangan kanannya ke arah ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang
hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok menyerang ke atas, ke arah
lawan yang berdiri. Kini lawannya duduk bersila, maka tentu saja dia tidak
dapat menggunakan tenaga katak sakti itu! Dia menghantam dengan telapak tangan
terbuka ke arah ubun-ubun kepala dan kalau mengenai sasaran, tak dapat
diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika!
Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya
menangkis.
“Dukkk!” Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya
kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan menerima
binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya secara
yang paling istimewa dan paling kuat! Kedudukan seperti Teratai itu memang
merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah
kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan
tangkisannya membuat lawan terpental! Thay Si Lama menjadi penasaran dan
diapun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu
menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu,
tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menjadi semakin
penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima
Harimau Tibet yang sudah amat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka adalah
tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan
dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang manusia! Selama
ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil kalau kini, menghadpi
seorang pertapa tua renta saja, mereka sampai tidak mampu merobohkan, padahal
pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil
membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian
maupun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka
terpental dan terhuyung, bahkan pernah hampir terjengkang. Agaknya, makin
keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang
menangkis mereka. Keduanya saling pandang, memberi isarat dengan kedipan mata
dan tiba-tiba merekapun menghentikan serangan mereka dan berdiri di depan dan
belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah
mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai
mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di
dalam kuil mereka untuk memuja para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka
nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir dan nyanyian ini
bukan untuk memuja para dewa saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan
meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan.
Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suaranya ada
selingan suara kok-kok-kok seperti kalau dia mengerahkan ilmu Hek-in
Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi
mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit. Suara nyanyian itu bukan
suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khi-kang dan sihir,
suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta
Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini
kepala mereka menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang!
Makin lama, nyanyian mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara
nyanyian mereka.
Mula-mula, tubuh Pek In Tosu gemetar,
kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah
tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat
dari nyanyian itu! Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya.
Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang
amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apapun dari luar. Namun,
diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya
untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia berusaha
mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk
menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan
suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang
dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal. Akan
tetapi, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti,
kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang perlahan-lahan! Makin lama,
goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala
seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Keadaan kakek tua renta itu kini gawat sekali.
Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat
(hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Kalau Pek In Tosu
sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena
dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya
seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan
nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu
terdengar suara yang memecahkan kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh
kedua orang pendeta Lama itu yang terdengar, dengan irama yang semakin mantap.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara
bambu dipukul-pukulkan pada batu! Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh
nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali
tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya,
irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja
kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan
dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan
bambu itu?
Tak jauh dari situ nampak seorang anak
laki-laki yang menggunakan sepotong bambu memukuli batu besar di depannya.
Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang
pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan
mengacaukan “paduan suara” antara mereka. Dua orang pendeta Lama itu terkejut
dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan
ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka bersatu, maka kekuatan daya
serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang
bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan
menghanyutkan. Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin
mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti
iramanya dengan geleng-geleng kepala! Akan tetapi hanya sebentar saja karena
ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan
dengan irama nyanyian dua orang pendata Lama, bahkan kini ketukannya menjadi
keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat,
kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya
satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan
sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk
menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bunyi-bunyian yang terdengar
demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali,
dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia telah hanyut,
kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak!
Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi
digeleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek
In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian
mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka
ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga
belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal den robek-robek seperti pakaian
seorang gelandangan. Rambutnya panjang den tidak terawat, awut-awutan, sebagian
menutupi dahi dan mukanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan bentuknya tampan,
matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti
mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya.
Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu.
Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti
kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi
peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong
dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan menerima
pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri
lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan
keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh
Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak
tenang, apalagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa
ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu
Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam,
ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang
berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia
mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya,
dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang kamar enci
dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah
jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan
jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur.
Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara
cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal
sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan
berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun
yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterlaluan, dan engkau
bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kaukira
aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Eh? Apa yang kaukatakan itu?” cihu-nya
bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok!
Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar
silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt....! Lan Hong, apa yang kaukatakan
ini?”
Terdengar encinya menangis. “Setelah....
setelah apa yang kulakukan untukmu semua.... setelah kuserahkan badanku,
Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan....,
masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah menjadi bongkok, cacat, dan
engkau.... masih juga membencinya?”
“Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa
akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu
betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan
kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi
adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku
selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur....”
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata
lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut
agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu
harus disingkirkan.”
“Apa?” Encinya setengah menjerit. “Maksud....
maksudmu....?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar,
agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia
menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu amat baik baginya? Menjadi seorang
hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang.”
“Ahhh.... tapi.... tapi....”
“Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis.
Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak terganggu dan
keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah hening sampai lama, encinya berkata,
“Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku
dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu....”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia
kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan
bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya.
Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu
dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam
kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat
encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa
cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan
bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan
juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut
kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang
tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan
mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia
mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar
gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya,
membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar. Kemudian dia
menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak
kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun,
namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia
meninggalkan surat, menulis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal,
setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang
bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan
tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu sebelah utara, dan
sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia
pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu
gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan
memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan
perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena
selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali
mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada
keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong
menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran ke utara tentu saja!
Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat
melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menuju ke pintu gerbang
utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang
benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju
ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat,
berkuda, mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan
perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira
bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi setelah
sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada
orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil
jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya,
diapun pulang dengan wajah lesu. Dia tidak begitu susah ditinggal pergi adik
isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya gelisah. Pertama,
isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia
tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas
kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya? Anak itu
bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia
harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie
Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan
sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu
menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan
seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan
bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan
yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih
jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan
rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang
sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan darimana
saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan
ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan
makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang
orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik
hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar
den diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan
perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya
sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu
Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam
dia mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini.
Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia
merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima
orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah
bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong
akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian
mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka
berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
“Aih, paman sekalian membikin kaget saja
padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata
seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata
orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia
memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan.
“Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak?
Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku
tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!”
teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar
kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie
Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya
dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie
Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja
digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa
gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak
berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus
dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa
orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini
akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng
sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena
hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih
menempel di tubuhmu, akan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!” berkata
demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan
pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu
terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong
merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara
yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
“Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk
pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?
Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!” Tangannya meralh dan terdengar
suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong.
Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima
orang itu tertawa bergelak.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam
kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat
encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa
cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan
bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan
juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut
kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang
tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan
mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia
mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar
gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya,
membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar. Kemudian dia
menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak
kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun,
namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia
meninggalkan surat, menulis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal,
setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang
bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan
tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu sebelah utara, dan
sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia
pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu
gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan
memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan
perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena
selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali
mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada
keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong
menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran ke utara tentu saja! Apa
lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat
melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menuju ke pintu gerbang
utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang
benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju
ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat,
berkuda, mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan
perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira
bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi setelah
sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada
orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil
jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri?
Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu. Dia tidak begitu susah ditinggal
pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya gelisah.
Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat
mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan
membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu
ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya
menjadi berduka dan dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya,
mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri,
dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi
mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan
seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan
bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan
yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih
jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan
rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang
sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan darimana
saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan
ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan
makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang
orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik
hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar
den diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan
perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya
sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu
Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam
dia mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini.
Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia
merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima
orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah
bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong
akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian
mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka
berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
“Aih, paman sekalian membikin kaget saja
padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata
seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata
orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia
memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan.
“Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak?
Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku
tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!”
teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar
kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie
Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya
dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie
Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja
digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa
gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak
berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus
dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa
orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini
akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng
sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena
hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih
menempel di tubuhmu, akan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!” berkata
demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan
pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu
terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong
merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara
yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
“Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk
pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?
Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!” Tangannya meraih dan terdengar
suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong.
Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima
orang itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok,
tubuhnya mulus juga.”
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali
dan diapun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya
dengan sebuah tendangan yang keras.
“Bukkk!” Tendangan itu mengenai dada Sie
Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting
menghantam batu dan diapun roboh pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Sie Liong
mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang
itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang
terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan
pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah
direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian
belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan
kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan
menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena
adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya
tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian
jahatnya! Berubah seketika nampaknya hidup di dunia ini, betapa sengsara dan
buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di
dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya.
Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai
menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk
mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga
petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan,
dia akan monemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum
sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di
kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa
aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara
berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan
kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul
dan melihat ketelanjangannya. Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet!
Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itupun telanjang bulat mengapa dia
harus malu? Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet
itu sambil tersenyum. Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak
pernah merasa malu. Kenapa kalau manuasia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu
timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena
monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak
pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang
berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan
bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada yang
mau menolongnya den bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang
bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu,
sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi,
dan nampak genteng merah di atas dinding putih.
Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia
memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia
bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang
dewasa. Maka diapun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun
itu dari kejauhan. Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita
keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak
penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan
menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu,
mencari keluarga petani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu
tinggal keluarga petani seperti yang monampungnya semalam, tentu mereka akan
mau menolongnya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong
lalu dengan hati-hati meayelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia
menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di
tepi dusun, dia lalu manghampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di
belakang sebatang pohon. Ketika dalam keremangan senja itu dia malihat
seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang
berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan
menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata orang itu
adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar
yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya
disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja,
dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun
terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah
membalikkan tubuh menengok.
“Siapa itu?” Gadis itu menegur.
Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon
itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab
saking malunya.
“Hayo katakan siapa itu! Malingkah? Aku akan
menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”
Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka
maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun!
Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi
selangkangnya dengan kedua tangan.
“Aku.... aku bukan maling....” katanya lirih.
Gadis itu torbelalak memandang kepada pemuda
cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama
sekali tanpa pakaian!
“Eiiiiihhh....!” Ia menjerit dan tempat air
dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air
jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itupun berlari-lari seperti dikejar
setan memasuki rumah. “Setaaan....! setaaaaann....!” Ia menjerit-jerit.
Sie Liong kembali memyelinap ke balik batang
pohon, tersenyum pahit dan merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan
telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkpk telanjang!
Sungguh sial, gerutunya, tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian,
gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang
laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki berusia dua puluh tahun lebih,
keduanya membawa parang dan siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang
gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegang tangan
dengan gadis itu, nampak ketakutan.
“Mana. dia? Mana setan itu?” tanya pemuda itu
dengan lagak pemberani akan tetapi suaranya agak gemetar.
“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah,
lihat! Dia masih di sana....” gadis itu merangkul ibunya.
Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat
tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon dan mereka maju baberapa
langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.
“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!”
bentak laki-laki muda.
“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu
keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria
yang setengah tua.
Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama
lagi tidak ada gunanya juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar
orang sedusun. Maka, diapun terpaksa keluar dari balik pohon sambil
menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.
“Maaf, paman.... maafkan aku. Aku.... aku
bukan setan, aku manusia biasa yang mengharapkan pertolongan kalian.”
Dua orang pria itu jelas kelihatan lega
mendengar ini, akan tetapi mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia,
mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentu orang gila dan ini sama
menyeramkannya dengan setan!
“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam
begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah
tua.
“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku.... aku
siang tadi lewat di hutan itu dan aku dirampok. Buntalan pakaianku, juga
pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul mereka. Lihat,
kepalaku masih berdarah di sini.” Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya,
Sie Liong membalikkan tubuh memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga
memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk,
memperlihatkan pula tanpa disadari pinggulnya karena yang ditutupnya hanyalah
bawah perut.
“Iiihhh....!” Gadis remaja itu menjerit lagi
dan menutupi muka dengan kedua tangan, hanya mengintai dari celah-celah jari
tangannya!
Kini pria setengah tua itu percaya karena dia
melihat betapa belakang kepala itu memang terluka. “Kauambilkan satu stel
pakaianmu, juga obor.” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
“Baik, ayah.” Diapun lari ke dalam. Ayah, ibu
den anak perempuan itu manih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali.
Karena di situ ada dua orang wanita terutamm gadis remaja yang menutupi muka
dengan kedua tangan dia kembali menyelinap ke balik batang pohon,
menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
“Maafkan aku, puman. Aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan, maka aku sengaja menanti sampai gelap baru berani memasuki
dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah
paman ini agak terpencil, make aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan,
takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru.
Aku berteau dengan keluarga yang budiman. Harap enci di sana itu memaafkan aku,
aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar suaila.”
Mendengar kata-kata yang halus dan teratur
rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu
bukan seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.
“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku Liong, she Sie.”
Pada saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa
obor di tangan kanan dan satu stel pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi
tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari
tangannya. Dengan peraaaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel
pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran,
lengannya terlalu panjang dan celana itupun kakinya terlalu panjang. Terpaksa
dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang
pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat
kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak
terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi
pertolongan yang amat berharga ini.”
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju.
Kini dia yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan
dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.
“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam.
Engkau boleh bermalam di rumah kami dan makan malam bersama kami, akan tetapi
engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kmpada kami.”
Sie Liong mengikuti mereka dan kini gadis
remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia
kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi
karena ia biasa bekerja berat seperti lajimnya gadis-gadis dusun.
Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak
makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada
petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali sebulan karena daging
merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara
orang-orang yang demikian ramah dan baiknya, hidangan itu terasa lezat sekali
oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali. Sesudah makan, mereka
duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.
“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah
ibuku telah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di
dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama
beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian,
karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan
merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang
demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti
pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi,
toako dan enci yang baik budi sehingga aku tertolong terhindar dari
ketelanjangan dan kelaparan.”
Empat orang itu senang sekali melihat sikap
Sie Liong yang demikian sopan, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali
dengan anak-anak di dusun yang kasar.
“Kalau engkau sebatangkara, biarlah engkau
tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana
dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaianpun asal
bersih, kami akan suka sekali menerimamu.” kata sang ayah.
“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di
sini, den engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan
kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong memandang mereka dengan mata basah
karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia
pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat
bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik
hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang
baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang
perampok. Dan pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika
berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat
jahatnya. Namun, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga
petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian
sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, merimanya bermalam di
situ, bahkan kini menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka!
Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang
amat mengharukan. Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangan di
depan dada, memberi hormat kepada mereka.
“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku,
budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini takkan kulupakan selama hidupku.
Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati
paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong takkan pernah melupakannya. Akan
tetapi maaf, aku masih ingin malanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di
suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat
kepada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup
serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”
Malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie
Liong tidur di dalan sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah tidur
di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikannya dipannya yang kecil kepada
Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga
akhirnya Sie Liong menerima juga. Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah
telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang
penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami dalam kehidupan ini
semenjak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pangalaman itu
mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya. Maklumlah dia bahwa di dunia ini
terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang baik, dan bahwa dalam
kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri
sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi
gangguan orang-orang jahat yang amat kejam. Agaknya, perlu memiliki kepandaian
silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatesi semua gangguan
orang jahat itu, di samping dapat pula dia pergunakan untuk melindungi orang
yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu
pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Mulailah timbul tekatnya untuk mempelajari
ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.
Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada
keluarga yang baik itu, dan diapun melanjutkan perjalanannya terus ke selatan.
Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan
dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan
suara dan iramanya yang aneh. Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke
arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan
dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa
heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ. Dia memegang sebatang
bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata
kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu
apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu,
akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu,
telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk
rasanya. Maka, tanpa disadari, dia lalu mengetuk-ngetukken tongkat bambu di
tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu barlubang, maka
menimbulkan suara nyaring dan diapun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan
tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar
telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Dan begitu
dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja,
telinganya tidak begitu nyeri lagi karena tidak lagi “diserang” oleh irama nyanyian
dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika
dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan
bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan diapun mengubah irama ketukan
bambunya, bahkan kini dia bikin irama yang kacau balau, berganti-ganti dan
berubah-ubah!
Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan
melalui pengaruh irama dan nyanyian telah dibikin hancur dan kacau oleh suara
ketukan bambu, marahlah dua orang pendeta Lama itu. Mereka menghentikan
nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan
bambu.
“Tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok,
tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok!” suara ketukan bambu itu
seperti ketukan bambu peronda malam! Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka
hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama
itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali, hanya seorang bocah
bongkok! Dan ilmu mereka telah ketahuan rahasianya dan telah menjadi kacau!
Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan
mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama
lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu
itupun tidak ada gunanya lagi.
“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu
kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet dan tubuhnya sudah meloncat
dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang, dan cepat sekali dia
menyerang anak itu dengan Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang begitu kedua kakinya
menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok! Bukan main kejinya serangan dari
Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang
ampuh. Seorang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekalipun jarang ada
yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya seorang anak-anak
yang lemah!
“Siancai....! Engkau terlalu keji, Lama!”
terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan
putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil
mengerahkan tenaga sin-kang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek In Sin-ciang
yang mengeluarkan uap putih.
“Desss....!” Tubuh Thay Ku Lama terpelanting
dan terguling-guling. Ternyata Pek In Tosu dalam usahanya menyelamatkan anak
bongkok, telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak
kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadipun sudah menyerempet
dada Sie Liong dan anak inipun terpelanting dan terbanting keras!
They Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah
dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan
ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya
tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jerih. Setelah meloncat bingun,
dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.
“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi
Himalaya Sam Lojin!” Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sutenya
untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan letyap dari
situ.
“Siancai....! Sungguh mereka itu orang-orang
sesat yang berbahaya sekali....” kata Pek In Tosu yang segera menghampiri dua
orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang
pemuda itu telah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu
bergerak akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata
mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali. Mereka tahu pula bahwa nyawa
mereka diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan
menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung
lengan bajunya dan berkata dengan halus.
“Sudahlah, harap ji-wi (kalian berdua) segera
pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan mencampuri urusan para Lama itu.”
Dua orang itupun cepat-cepat memberi hormat
lalu pergi dari situ untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada
pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi,
Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati
anak itu lalu berlutut.
“Thian Yang Maha Agung.... Sungguh kasihan
sekali anak ini....” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis,
mukanya agak membiru. Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat den
anak itu masih terlanggar hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang amat dahsyat
itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie
Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali dia menyalurkan tenaga
sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.
Perlahan-lahan dia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai
akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak
itu tidak lagi terancam bahaya, walaupun luka di dadanya masih belum dapat
disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dia
tidak mampu dan harus dicarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan
membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa
punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan
perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena
tidak disengaja, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di
bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama! Dan sebagai akibatnya, anak yang
bongkok dan miskin ini terkena pukulan beracun. Bagaimanapun juga, dia harus
mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan dia
memandang kagum. Anak itu tidak mangeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa
luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu
masih sesak, dan ketika anak itu bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua
matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.
Sie Liong membuka matanya, memandang kepada
kakek itu dan mengangguk. “Nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapakah hwesio
tadi memukul aku?”
Pek In Tosu menarik napas panjang dan semakin
suka dan kagum kepada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu,
perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu
ini?”
Sie Liong yang masih agak pening itu
memejamkan mata, mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.
“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan
aku tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila
dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan
tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin
menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk
menolak suara yang tidak enak itu.”
“Siancai.... Tanpa kausadari engkau telah
menentang dan memecahkan ilmu sihir mareka. Karena suara ketukan bambumu itu
merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan
hendak membunuhmu.”
Sie Liong terkejut sekali dan saking
herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu
roboh kalau tidak cepat pundaknya ditangkap oleh Pek In Tosu. “Jangan banyak
bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku,
akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”
Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya
mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya seperti terbang.
Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat
cepatnya, seperti terbang saja!
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput
yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang
lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh
penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan
Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat
dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di atas padang rumput
itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk
bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu
adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus
seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa
rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum
ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan
dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti
juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai
dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak
serius dan bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua
orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya
Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di
Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan
dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak mereka sangka, setelah puluhan
tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang
pendeta Lama yang sakti melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para
pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama
berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau
menyerah.
“Siancai....! Sungguh mengherankan sekali
sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang
berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga ini bukan
saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari sumber perguruan
yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga orang murid
dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah
tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka
terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa
Cinjin. “Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah
memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin
memberontak dan ingin menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun
sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam
dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di
pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa
sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki
tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata
Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu,
akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para
pendeta Lama itu menuduh para pertapa Himalaya memberontak? Dan mengapa pula
yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh
rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang
mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto
ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya.
Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian
dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan
penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di
tengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri
yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi
sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka
pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang perasaan
nyeri di dadanya banyak berkurang walaupun belum lenyap sama sekali.
“Pada waktu itu, kurang lebih tiga puluh
tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki
Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa
mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah
seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu
tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal,
apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terjadi ketegangan
ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak
itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah
ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu,
tiga orang pendeta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para
pendeta Lama aenjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat
kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu,
terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang
pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi
pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja
kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di
samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh
bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!”
Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang
anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi
manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap
tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang
membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara
membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah
yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan
betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh.” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu
berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh
Lima Harimau Tibet menggangil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk
menolong dia dan keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?”
“Inipun suatu kejanggalan dan rahasia yang
harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san
sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka
hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan
lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, tidak membiarkan
kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan berkewajiban untuk
melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar maupun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri,
tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia
yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan
terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita
menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada di tengah-tengah
antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai....! Agaknya, Thian yang menuntun
anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto
dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama itu dan dia menderita luka
parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah
berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya.
Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang
menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula
untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie
Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak
mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu
bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta
Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang
pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama
Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas
mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar
betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini
harus melindungi pula dirinya, diapun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi
sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, make tidak semestinya kalau
sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli
pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan
itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata
demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu
dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong.
Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti
yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak
merepotkan kami,” kata Pek In Tosu. Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah
menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk
melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie
Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang mentakjubkan sekali, yaitu bahwa
di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik,
darah yang bersih dan bakat yang besar!
Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput
yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang
lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh
penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan
Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat
dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di atas padang rumput
itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk
bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu
adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus
seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa
rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum
ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan
dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti
juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai
dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya
nampak serius dan bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya
dengan dua orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal
sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah
para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk
menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak mereka
sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima
Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melakukan pengejaran ke
Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru
saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman
membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai....! Sungguh mengherankan sekali
sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang
berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga ini bukan
saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari sumber perguruan
yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga orang murid
dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah
tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka
terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa
Cinjin. “Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah
memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin
memberontak dan ingin menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun
sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan
kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di
pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa
sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki
tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata
Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu,
akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para
pendeta Lama itu menuduh para pertapa Himalaya memberontak? Dan mengapa pula
yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh
rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang
mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto
ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya.
Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian
dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan
penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di
tengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri
yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi
sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka
pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang perasaan
nyeri di dadanya banyak berkurang walaupun belum lenyap sama sekali.
“Pada waktu itu, kurang lebih tiga puluh
tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki
Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa
mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah
seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu
tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal,
apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terjadi ketegangan
ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak
itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah
ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan
itu, tiga orang pendeta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para
pendeta Lama aenjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat
kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu,
terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang
pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi
pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja
kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di
samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh
bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!”
Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang
anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi
manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap
tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang
membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara
membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah
yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan
betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh.” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu
berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh
Lima Harimau Tibet menggangil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk
menolong dia dan keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?”
“Inipun suatu kejanggalan dan rahasia yang
harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san
sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka
hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan
lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, tidak membiarkan
kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan berkewajiban untuk
melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar maupun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri,
tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia
yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan
terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita
menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada di tengah-tengah
antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai....! Agaknya, Thian yang menuntun
anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto
dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama itu dan dia menderita luka
parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah
berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya.
Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang
menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula
untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie
Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak
mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu
bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta
Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang
pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama
Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas
mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar
betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini
harus melindungi pula dirinya, diapun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi
sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, make tidak semestinya kalau
sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli
pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan
itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata
demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu
dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong.
Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti
yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak
merepotkan kami,” kata Pek In Tosu. Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah
menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk
melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie
Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang mentakjubkan sekali, yaitu bahwa
di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik,
darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In
Tosu ini karena dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah
mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti
yang diajarkan mereka.
Tiba-tiba ada angin keras menyambar dan
seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Oleh Sie
Liong hanya kelihatan bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah
berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan. Dua di antara mereka
adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah
dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah
dibedakan satu antara yang lain. Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya
pucat soperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat
berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak
berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering seperti
tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang terkenal mengamuk di
Kun-lun-san itu.
Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam
Lojin lalu menggeser duduk mereka. Kini mereka bersila sejajar, membelakangi
Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu, dengan sikap yang tenang
sekali. Sie Liong membuka matanya lebar-lebar, hatinya tegang akan tetapi
diapun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang
dianggapnya amat jahat dan sombong itu.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu
duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera
duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka
codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya memberi isarat melalui gerakan
tangan dan tubuh. Mereka berlima tidak berani memandang rendah kepada tiga
orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal
sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay
Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka
berlima bersikap hati-hati.
Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan
jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Kalau Himalaya Sam Lojin bersikap
tenang saja, sebaliknya sikap Lima Hartmau Tibet itu penuh geram, sinar mata
mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan
kesiapsiagaan untuk berkelahi.
Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan
kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak
lawan dengan pengamatan saja.
“Sam Lojin, sekali lagi kami tegaskan bahwa
pimpinan kami, yang mulia Dalai Lama memerintahkan kalian bertiga untuk
menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih
namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.
“Siancai! Kami bukunlah rakyat Tibet, juga
bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami
tidak dapat memenuhi perintah itu.”
“Kalian tinggi hati! Baiklah, kami
menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang
sam-wi untuk datang karena beliau ingin berwawancara dengan sam-wi,” kata pula
Thay Ku Lama, biarpun kata-katanya halus dan sopan, namun mengandung ejekan.
“Maafkan kami, kami sudah tua dan lelah, tidak
mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan
untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan
menyambutnya.”
Marahlah Lima Hariman Tibet itu! “Kalian
memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi
kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.
“Siancai....! Terserah kepada kalian. Kami
tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, akan tetapi juga tidak ingin
kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.
Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap
kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah, kedua mata mereka
dipejamkan dan mereka seperti telah pulas dalam samadhi. Sie Liong yang sejak
tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta,
diam-diam merasa mendongkol sekali kepada lima orang pendeta Lama itu. Biarpun
dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia
melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah
yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada
orang lain. Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah,
hal yang juga membuatnya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu
itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang
pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya
dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang
yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran
Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat
dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata
terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosoknya dan
memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya
tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh lima orang pendeta Lama itu
perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan
dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu naik ke atas sampai
setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di
udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon
kosong berisi udara yang amat ringan!
“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani
menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru.
Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang
tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan
bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari
samadhi! Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan
lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri
dan dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama
yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja?
Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itupun sanggup mengapung lebih
tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu dibandingkan
dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andaikata kalian pandai
terbang sekalipun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang
kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak
ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah
terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap
seperti lima orang badut yang tidak lucu!”
Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga
Sie Liong terkejut karena biarpan dia mendongkol dan tidak suka kepada lima
orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya
tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh
kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, melainkan orang
lain yang hanya “meminjam” mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk
mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang
pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos
terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang pendeta Lama itu demikian kaget,
marah den malu mendengar teguran yang keluar dari mulut kanak-kanak itu dan
sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tak
dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun meluncur turun.
Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima
orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun
hati mereka yang sakit dan mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan
dari mata mereka seolah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa,
disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. “Ha-ha-ha, sungguh tepat sekali
ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan
kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan
banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang
dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan
wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu
yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.
Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang
dan ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak
dan untuk sementara mereka tidak memperdulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin
dan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah
berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?”
“Siancai....” Kini Thian Hwat Tosu melangkah
maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu,
diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai. Thian
Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan
tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan berkata dengan penuh
hormat. “Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu,
karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang
saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”
Kini Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima
orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata,
“Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa
bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan
ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan
orang lain. Betapapun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang
telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin
mendiamkannya saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah
ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu,
Ngo-wi lo-suhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya
ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan
kamipun akan melupakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan
ini.”
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus
dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur,
melainkan mengkhawatirkan kalau terjadi kesalahpahaman. Karena sikapnya yang
lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku
Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan diapun berkata dengan
suara yang tegas, namun tidak kasar.
“Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang
kaumaknudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan
kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama
Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami
terpaksa memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi
karena dua orang murid itu mencarapuri urusan kami yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama
besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu
sekarang akan masih tinggal hidup?”
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay
Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid
Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang congkak.
“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru
geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka
hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kauhadapi itu
murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat
mengalahkan dengan semudah itu!”
“Omitohud....! Siapakah yang sombong, kami
ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai
sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para
utusan Tibet!”
Thian Khi Toou yang memang berwatak keras itu
segera menjawab, dengan suara keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami
dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang,
siapapun juga akan kami hadapi!”
“Omitohud....!” Thay Si Lama, orang ke dua
dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita
buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili
Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima
belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara
tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah berlompatan ke depan dan seorang di
antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu, “Harap suhu jangan merendahkan
diri maju sendiri. Ji-wi suhu (guru berdua) adalah tuan-tuan rumah, pimpinan
Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu
maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi
suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah
sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju.
Kalau lima belas orang murid utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat
dari pada dia atau suhengnya sekalipun. Lima belas orang murid itu merupakan
murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau
mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh
petunjuk guru-guru mereka , yaitu ilmu dalam bentuk barisan yans dinamakan
Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun). Dengan barisan pedang ini, mereka
dapat menjadi suatu pasukan yang amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua
orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi
ketangguhan Kun-lun Kim-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah
sutenya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan
batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!
Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu
lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang dan
di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan
masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan rapi.
“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia!
Majulah kalau kalian memang hendak memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua
yang usianya sudah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu,
berdiri di ujung kanan.
Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum
mengejek dan merekapun melangkah maju menghadapi mereka, dengan borjajar.
Setelah mereka berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu
bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka
sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah
amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih
matang. Melihat ini, lima orang pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu
bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang
paling kokoh kuat untuk pembelaan diri, karena mereka berlima dapat menghadapi
pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melingungi dan tidak akan dapat
diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat mereka hadapi
bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas
orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima
orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah
ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang
lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara
mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang
memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih
tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi
yang mereka perlihatkan tadi. Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun
Kiam-tin dan begitu pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu
bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak! Memang hebat gerakan
para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti kilat
menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan kini
mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat
oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka
terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan
dahsyatnya!
Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga.
Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka
bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing, Thay Ku
Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya
disembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si
Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk
penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang
yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan. Thay Hok Lama si mata satu sudah
memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay
Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang
tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian dan diselipkan di
pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang
tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Dalam penyerangan pertama yang serentak
dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai kepada lima orang lawan mereka itu
membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka
berlima tidak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka
menangkis. Terdengar suara nyaring berdenting-denting disusul bunga-bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika lima belas batang pedang itu tertangkis oleh
senjata lima orang pandeta Lama. Karena memang tenaga sin-kang dari para
pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu
terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!
Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai
bergelombang baberapa kali, namun selalu dapat ditangkis oleh lima orang
pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu
mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke
belakang bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung. Kesempatan ini
dipergunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan
yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama
yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya den
golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara
pihak lawan terdekat. Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan
cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid
Kun-lun-pai. Thay Pek Lama memutar sepasang padangnya yang berubah menjadi dua
gulungan sinar terang. Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya dan
senjata istimewa ini menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari
maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya
dan terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini memiliki
tenaga raksasa.
Biarpun lima belas orang murid utama
Kun-lun-pai dapat pula menghindarkan diri dari cengkeraman maut yang disebarkan
oleh Tibet Ngo-houw dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun
mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap
serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak
pertempuran yang tidak seimbang sama sekali. Lewat dua puluh jurus lebih, dari
lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu, hanya sepuluh orang yang masih
mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran
senjata lawan. Sepuluh orang ini mempertahankan diri mati-matian, namun kalau
dilanjutkan, jelas bahwa merekapun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara
mereka.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan
terdengar bentakan nyaring.
“Tahan senjata!” Ketika sepuluh orang murid
utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka
merekapun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang
saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata
mereka dan kini mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang
pimpinan Kun-lun-pai itu.
“Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat
Tosu menantang kalian untuk mengadu kepandaian seorang lawan seorang!” bentak
Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.
Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu
saling pandang lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. “Omitohud....!
Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri
saja! Tadi, mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami
berlima, sekarang bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!”
Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. “Bagus!
Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian
berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”
“Sute, harap tenangkan hatimu!” Tiba-tiba
Thian Hwat Tosu menegur sutenya dan ketua Kun-lun-pai ini melangkah maju dan
memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. “Siancai.... pinto
berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami tadi yang lancang
turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah
orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang
Ngo-wi berikan kepada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan
Kun-lun-pai, bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar
pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak berlarut-larut, biarlah kami berdua
sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah
Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini.
Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil,
satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya Kun-lun-pai tidak
lagi akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi.”
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun
mengandung tantangan, juga teguran, disamping janji.
“Omitohud.... Bagus sekali kalau ketua
Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan
persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia
berhak menentukan peraturan. Kalau kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah
kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau diantara kami masih ada yang mampu
menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, temani aku untuk bermain-main
dengan dua orang tosu ini sebentar.”
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum
melangkah maju mendampingi suhengnya, yaitu They Ku Lama, sambil melintangkan
cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah sejak tadi mempersiapkan
golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
“Ha-ha-ha.” Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw
yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru pertandingan yang menarik, suheng,
tidak main keroyok seperti tadi.”
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan
Thay Si Lama yang melihat wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera
meletakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”
Akan tetapi sebelum kedua pihak bergerak
menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang
kawannya, kini sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu
sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu.
Dangan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai
dan suaranya terdengar lembut.
“Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama
baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan
orang-orang gagah yang tidak mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini
Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai
membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari
Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai,
melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami
dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai,
maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan
pihak Kun-lun-pai. Kalau sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti
Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Karena itu,
kami bertiga minta agar Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak
membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar.”
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan
berambut putih ini, dua orang ketua Kun-lun-pai saling pandang. Ucapan itu
memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok
dangan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena
murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama. Kalau kini pertandingan
dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat
saktinya lima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!
Sebaliknya andaikata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan
dangan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para
pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin
agama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan
negara itu sendiri! Bermusuhan dangan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan
dangan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi
menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama amat merugikan
Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan
sungguh tidak sepadan dangan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid
mereka sendiri.
“Siancai....!” kata Thian Hwa Tosu sambil
menjura. “Sungguh ucapan yang amat bijaksana, dan kami akan menjadi orang-orang
yang tidak mengenal budi kalau tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat
itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini,
Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk
kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah dan biarpun mukanya
merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah
perintah suhengnya. Diapun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua
mereka, membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan
selanjutnya pintu banteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku
Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa!
Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi lebih
ringan menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kamipun
bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan
sikap baik, Sam-lojin, dengan menyadarkan Kun-lun-pai sehingga mereka tidak
menentang kami, maka kamipun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah
kalian ikut dangan kami, sebagai tamu undangan agar kami hadapkan kepada yang
mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan,
melainkan tamu undangan. Bagaimana?”
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit
berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab,
“Siancai....! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan
maafkan kami, Ngo-wi Lama, bahwa terpakna sekali kami tidak dapat menerima
undangan terhormat itu.”
Wajah They Ku Lama yang tadinya tersenyum,
seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu
bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik,
maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu
bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sebetulnya
adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil
berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok seperti seekor katak besar!
“Hem, apakah yang memaksa kalian monolak
undangan kami yang kami lakukan dengan merendahkan diri?” tanyanya dongan
suara membentak.
Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah,
“Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami
hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu
tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh
itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak mempunyai urusan apapun dangan Dalai
Lama, sehingga andaikata beliau mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya
Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana
karena bagaimanapun juga, kami bukanlah anggautanya maupun rakyatnya. Nah,
itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undengan itu.”
“Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian
bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang
di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. “Kalau
perlu, kami menggunakan kekerasan!”
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum
dan mengelus jenggotnya.
“Siancai.... sudah kuduga demikian. Katakan
saja bahwa kalian datang ini untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak
macam alasan.”
“Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!”
bentak Thay Ku Lama yang sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat
orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak
dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu
sama sekali tidak bersenjata. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam
dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai mempergunakan
segala macam senjata namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah
menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian
sajapun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar
dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki
tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh. Tiga orang kakek
Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu
silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka
memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi sagala macam kekuatan sihir
atau ilmu hitam. Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah
berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi
saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun
memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka
untuk kembali kepada “sumbernya”, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali
ke lautan. Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka
itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau
melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk
merobohkan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi
mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari
Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka.
Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga
tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, merekapun pandai ilmu
sihir. Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan
tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat
berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa
beracun yang ganas. Adapun orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan
cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang
mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang
pedang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa,
membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang ke empat
yang bermata tunggal itu, selain berbahaya sekali permainan senjata rantai
bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke
lima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia
pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu,
ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan
lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat
kepandaian masing-massing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih
lebih tinggi. Andaikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak
ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.
Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya
Sam Lojin dikeroyok, dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu
kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena
itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek
Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya
hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat,
membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga
dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan
terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan
halus.
Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan
pertandingan yang amat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi
masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak
tadi, mulutnya ternganga. Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat
mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya
melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan
putih dan lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu
demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah
berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan
kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula
yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek
berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka,
lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya
condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak
tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan
kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie
Liong sampai lupa akan keadaan dtrinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek
berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun dadanya yang
sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang
mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan
menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti
bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang di
antara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah mencapai
puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang
berkeras hendak merobohkan mereka. Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh
bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri
dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap
memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan
menyambar-nyambar dangan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin
dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran
angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh
sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala
sesuatu agak kabur, dia malihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena
tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut! Dia membelalakkan
matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan
tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor,
kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek
karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke
betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan
pula. Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah
milik seorang kakek berpakaian jembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai
dengan mulut yang tidak bergigi lagi, rambutnya riap-riapan berwarna putih,
sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Liong terkejut dan
berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka
diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperduilkan lagi apakah dia akan
terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh....!” Kakek itu terkekeh geli
dan tongkat bututnya bargerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di
atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam,
lingkaran dangan garis tengah dua meter lebih. “Engkau tinggallah saja di
dalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu
dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening,
tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab,
hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus. Agaknya
kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton
sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di
dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu
terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa
kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia
menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek
jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun
dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika
tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak
dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka,
leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun kepalanya pening,
dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan
tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!” Dan diapun jatuh terduduk kembali!
Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi
seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang
membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali
kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong
duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai
mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.
Memang terjadi perubahan dalam pertempuran
tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi
desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat,
sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka. Mereka bertiga terdesak dan
sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung
lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang kebal, mereka terus mundur.
Tiba-tiba terdangar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta
Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih terhuyung
dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah! Tiga orang kakek itu
agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terua melawan. Kini pertempuran
makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba, seorang di antara kakek
berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek jembel itu
bergerak mendorong punggung kakek yang “melanggar” lingkaran itu dan tubuh
kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar!
Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan
penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu
berlompatan dan agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran! Tidak
demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak
garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So
Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek
jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh
pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk
ke dalam lingkaran, kembali dia tordorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah
sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu
yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur
dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu
bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
“Trakkk!” Tombak itu terpental ketika bertemu
dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa
ada seorang kakek jembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan
tangkisan tongkat butut. Padahal, dia memiliki tenaga gajah yang sukar
dilawan. Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya
ke arah kakek jembel. Kakek jembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie
Liong kehujanan dan begitu kakek jembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung
rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa
ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu
menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!” Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena
dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok
Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak
keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka.
Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan
menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya
yang amat nyeri karena dia merasa dihina. Thay Bo Lama yang melihat rekannya
dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat
butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek
jembel.
“Waduh, jebol perut ini....” teriak kakek
jembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! Akan tetapi,
tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama
kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!” Dan seperti juga kepala Thay Hok
Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam!
Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya
sama sekali tidak menembus perut kakek jembel itu, melainkan menembus baju
jembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja.
Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang
kini menghadapi tiga orgng kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau
melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya meninggalkan mereka dan
sibuk mengurusi kakek jembel!
“Si-sute dan Ngo-sute (adik seperguruan ke
empat dan ke lime), hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama. Dua orang itu, Thay
Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol, akan tetapi
mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang jembel yang amat sakti,
maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan
juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdangar seruan
yang halus.
“Siancai....! Tidak malukah kalian ini lima
orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan, kini malah mempergunakan
kekeranan untuk menyerang orang lain?”
Lima orang pendeta Lama itu terkejut karena
suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung
getaran tenaga khi-kang yang terasa menggetarkan jantung, maka merekapun
berloncatan mundur untuk mamandang siapa yang muncul itu. Kiranya seorang kakek
tua renta, usianya tentu sudah tujuh piluh lima tahun, rambutnya putih semua
riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak,
wajahnya segar, pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan
pada tubuhuya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
“Supek....!” Himalaya Sam Lojin cepat memberi
hormat kepada kakek itu.
“Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua
akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!” Kakek jembel barseru sambil
terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya San Lojin memberi hormat
kepada kakek jembel itu.
“Terima kasih atas bantuan susiok!”
“Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya
membuat ruangan untuk anak bongkok ini, ternyata ada Lama jubah merah berani
melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh!”
Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka
belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak
mengenal Koay Tojin, kakek jembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa
dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari
Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin
saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan
uwa gurunya! Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas
ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa
berdanyutan kepala itu!
“Kalian ini para tosu sombong selalu
menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar
untuk turun tangan.
“Siancai....!” Pek-in Tosu yang terluka
pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik napas panjang. “Thay Ku
Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kauputar-balikkan? Sejak kapan kami
memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak
bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san.
Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam
untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?”
“Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia
Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama. “Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin
untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan
mendiang guru kalian!”
“Siancai....!” Pek-sim Sian-su berkata,
suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu bergidik kareng isi dada
mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan
tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.
“Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa
seorang anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama
tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan
anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang!
Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh
murid-murid sute? Sungguh janggal!”
Mendengar ini, lima orang Lama itu saliag
pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami adalah utusan Dalai Lama akan
tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu
saja pembalasan dari kami!” Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat
pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
“Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang
engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan
membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi
mereka?” kata Koay Tojin. Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari
Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang
memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri
lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay
Tojin suka berkeliaran dan memang ada kelainan pada dirinya. Dia dikenal
sebagai seorang yang sinting! Pada hal dalam ilmu kepandaian silat maupun
kekuatan sihir, dia tidak kalah dibandingkan suhengnya itu. Mungkin justeru
karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam
menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi
sinting seperti itu. Hidupnya berkeliaran seperti jembel dan kadang-kadang
melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal
yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara
tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah
menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti,
lebih dikenal sebagai seorang sinting.
“Sute, engkaupun sampai sekarang masih belum
menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau
mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak
ada perbedaan antara engkau dan mereka?”
“Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau
dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang,
dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun
tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan
mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba dangar, dia berceramah menguliahi
aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang
tidak lucu bukan?”
Biarpun jembel tua itu nampak ugal-ugalan,
namun diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan
sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, “Memang
benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat bukan main, lebih jahat karena
mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan
menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku
akan membasmi mereka!”
“Siancai.... Siapakah bocah ini?” tanya
Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin. Pek In Tosu lalu menceritakan
tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya
secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama, kemudian betapa
bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah
berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.
“Kebetulan supek telah datang, maka mohon
supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In Tosu kepada supeknya. Memang
aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih
tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima tahun lebih tua, akan tetapi
dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena ketika
mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh
tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Sian-su, berusia
tiga tahun lebih tua dari mereka.
Pek-sim Sian-su memang memiliki banyak macam
kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu
telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan menderita luka pukulan beracun,
diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya. Dia
mengerutkan alisnya dan berkata. “Ah, biarpun hawa beracun sudah bersih, akan
tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam
darahnya. Dia dapat diobati akan tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak.
Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto sembuhkan dia.”
“Lihat, anak bongkok. Orang tua itu
menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi.
Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa
gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, nanun mendengar
ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.
“Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak
mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek jembel ini membasmi lima orang
Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.”
“Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau
akan mati,” kata Pek-sin Tosu.
“Heh-heh-heh, kau benar, anak bongkok. Kalau
dia tidak mau menerangkan, biar engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita
mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”
Pek-sim Sian-su menarik napas panjang. “Kalian
berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu baik sekali walaupun sesungguhnya
engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute.
Anak baik, siapakah namamu?”
“Namaku Sie Liong, locianpwe.”
“Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dangarkanlah,
Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi
pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang
menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh kalau kita berkelahi
dengan orang lain karena kemarahan, kebencian atau dandam. Engkau tadi melihat
sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan orang Lama
hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikitpun dikuasai nafsu kebencian,
kemarahan atau keinginan membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka
untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya apabila terancam kesakitan
atau kematian. Sebaliknya, engkaupun melihat sendiri bagaimana keadaan batin
lawan-lawan itu dalam perkelahian. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu
dandam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar
mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itupun
didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat
dari pamrihnya atau dari sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu,
karena biarpun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya
berbeda, seperti buat dan langit.”
Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong
diam-diam mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Sian-su. Walaupun masih belum
dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sutenya masih
hahah-heheh, Pek-sim Sian-su tersenyum.
“Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling
jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu.
Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara
kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas
bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang
bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.”
Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira.
“Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan
semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat
kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih....” Dan tiba-tiba
kakek itupun menangis terisak-isak seperti anak kecil! Tentu saja Sie Liong
terkejut melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi,
tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua
orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedangkan Pek-sim
Sian-su memandang sutenya sambil tersenyum.
“Lanjutkan, sute.”
Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin
melanjutkan. “Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya.
Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali.
Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di
balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati,
kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu,
semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu,
suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh, aku makan daging, minum
arak, heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak,
bukan? Apakah suheng bareni mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”
“Siancai....! Pinto tidak menyangkal, sute.
Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan
pementingan diri pribadi.”
“Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan
sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab
yang jujur, jangan munafik, suheng!”
“Saincai...., munafik lebih keji daripada
penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran,
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat
mahluk-mahluk hidup yang bargerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking
kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.”
“Nah-nah-nah....!” Koay Tojin menudingkan
telunjuknya, mengamang-amangkan ke arah suhengnya. “Kalau begitu suheng juga
membunuh!”
“Memang, hal itu pinto akui, sute, akan tetapi
biarpun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit, Manusia hidup harus
makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa
manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan,
dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan
buah-buahan, juga air jernih. Biarpun semua itu mengandung mahluk hidup, akan
tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa
kita sengaja. Andaikata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan,
tentu ulat itu akan pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan. Semua
mahluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan.
Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan
makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur,
biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan
sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran,
welaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak
memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala
perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama
hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh
hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”
“Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak
membunuh....”
“Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak
dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat
melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu
untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan.
Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan
besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang
dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini
sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar
dalam.”
“Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas.
Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang
ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”
Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan
tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa. “Ha-ha, sejak
dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka
seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi,
pinto mendangar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka
pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan
kepada pinto!”
Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan
dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat
butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su
demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan
dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang. Sebaliknya, Koay
Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan
saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki
sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.
Melihat betapa supek dan susiok mereka itu
saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan
wajah berseri gemblra. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini
sungguh langka. Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar
ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja
dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat
tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan
baik. Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si jembel yang
berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian
kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani jembel
tua yang disebut sute-nya.
“Suheng, coba kausambut jurus tongkatku ini!”
Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu
lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin
menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim
Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka,
siap menyambut ke mana lawan akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga
Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.
“Bagus sekali!” seru Pek-sim Sian-su memuji,
bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum. Dia
melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk
dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis,
maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk
melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan
ke arah tulang iga. Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya
dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut
bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan
sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian,
tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat
didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain
kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin
melangkah mundur.
“Hemm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah
jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu
Tongkat Memukul Setan)?” tanya sang suheng.
“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang
masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung
Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu,
suheng.”
“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah
tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.”
“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu
Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu
membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar
ke arah tubuh Pek-sim Sian-su, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan
bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu.
Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan
seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin
pukulan yang keluar dari tongkat itu! Untung Sie Liong masih duduk bersila,
demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu
tidak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua,
bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan
tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong.
Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek jembel gila itu.
“Siancai....! Sungguh dahsyat....!” kata
Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan ke manapun
bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan
tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah
dilindungi benteng yang kokoh kuat. Berulang kali tongkat mereka saling
bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, seperti
dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay
Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.
“Engkau memang hebat, suheng. Masih saja
engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi
balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak
membalas?”
“Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto
mampu menyarang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir
saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.”
“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng.
Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!” Dan dia pun sudah
memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah
kepala suhengnya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan
kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat.
Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak
macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak.
Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan
tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat
kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal
ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi
perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar
jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia
mengerahkan tenaga saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa
tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu
ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang
dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat
yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua orang kakek itu
memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras
sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdangar! Seolah-olah
dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin
melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong!
Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu meluncur
dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap
rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.
“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu
engkau mengobati bocah bongkok ini!” Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong
dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya
melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak
sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa
kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya
tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit.
Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon,
jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie
Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak
meronta karena takut jatuh, kakek jembel itu sambil terkekeh menepuk punggung
Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan
seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari
dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun
dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua
kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala
di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan
secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
“Siancai.... siancai.... siancai....!” Pek-sim
Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sute Koay Tojin
sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”
Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam
Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah
menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”
“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku
ini....” kata Pek-sim Sian-su lirih. Tiga orang kakek itu melihat dan....
begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu
dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut. Kiranya
tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga portemuan antara dua tongkat
itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang
tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam
keadaan yang utuh.
“Siancai.... Bukan main hebatnya susiok....”
kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali....!”
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid
keponakan ini. “Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai
ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu.
Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja
melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima
murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh
Kekuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik
ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”
“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid
yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw
tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya
kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Sian-su tersenyum. “Di atas Puncak
Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan
tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi
untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita
masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja
memilih seorang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yana
datang dari manapun juga.”
Pada saat itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe....
harap suka tolong saya....”
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri
pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya.
“Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh
sute tadi!”
Sie Liong maraca tersikea sekali. Dia
tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia
merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai
merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua
kaki terasa kesemutan dan seperti tidak ada rasanya lagi, mukanya terasa
panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku
tersiksa begini?”
Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu,
berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah
membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan
mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu
seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu
cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada
punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari
tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam
tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk
menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan
tenagamu saja.”
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali.
“Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu
jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun
duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya
kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?” Pek-in
Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan
kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman
pandangan murid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali
untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.
“Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat
diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek
Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak
itu dengan seksama,” kata Pek-sim Sian-su. “Sute tadi sekali melihat saja sudah
tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”
“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak
yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi
penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi
dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak
terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di
Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang
lalu.
“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar,
memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal
kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan
perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu
bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa mendiang suhu dahulu
adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya
yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya.” kata Pek In Tosu.
“Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus
mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan
dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka
memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan
pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum
muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang
marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di
antara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para
tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang
bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak
mempunyai permusuhan apapun dengan kita.”
“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal
ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh
semangat.
Supeknya tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah
engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga
dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk
melakukan penyelidikan bukanlah pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah
mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan
tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang
tergantung di pohon.
“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak
teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute
kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap
percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-apa lagi, sudah
pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.
Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke
bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun
dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan
itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan
bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya juga seekor kuda yang baik
sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti
berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak
rata dan mendaki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan
kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit di mana
terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya
sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.
Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang
merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat
turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi
setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan
rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal,
keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu,
bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak
suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput,
melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas
rumput seperti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur yang paling
lunak dengan tilam sutera yang paling halus.
Akan tetapi seekor semut yang agaknya
tertindih olehnya, menegigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk semut itu,
membuangnya sambil bersungut-sungut. “Semut jahil kau!” katanya dan kini ia
menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan
lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik
ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.
Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian.
Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di
kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak
terdapat penduduk aseli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli
menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian
pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari
ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok
untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan seekor kuda
yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang
diri ke lembah-lembah dan padang-padang rumput.
Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini
berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie
Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena
ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak,
juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati
kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong.
Akan tetapi, lambat laun ia manpu juga
melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi,
ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke
barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat
kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher
kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya ke
kepala gadis cilik itu.
“Hayo kita pulang, hari telah sore,” bisik Bi
Sian dan iapun memasangkan kembali kendali kudanya. Pada saat itu, muncul lima
orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka
menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka,
Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika
melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba
seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan
Bi Sian.
“Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada
kami!” katanya.
Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali
tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang
sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya
menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.
“Siapa kalian? Berani kalian mengambil
kudaku?” bentaknya.
“Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan
tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami
juga minta semua pakaianmu itu.”
Bi Sian terbelalak, bukan karena takut
melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata
lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang
bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua
belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya
yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang
lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih
belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap,
akan tetapi dia kalah cepat.
“Bukkk!” Perutnya kena dihantam tangan yang
kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia
terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi
Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya.
“Lepaskan ia!” tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di
tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong,
putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah
berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi
suaminya!
Lima orang itu membalik dan memandang kepada
Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke
belakang. “Hemm, bocah lancang, siapa kau?” bentak si brewok sambil menghampiri
Ki Cong dengan sikap mengancam.
Akan tetapi pemuda remaja itu tidak menjadi
gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang,
“Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keamanan di Sung-jan!”
“Ahhh....!” Si brewok terkejut dan melangkah
mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.
“Maaf.... maafkan kami.... kongcu....” Si
brewok berkata dengan suara gemetar.
Lu Ki Cong melanpkah maju lagi. “Kalian tidak
tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di
Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?”
“Maaf.... maaf....” Kini lima orang itu melepaskan
Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.
“Kalian patut dihajar!” Ki Cong lalu melangkah
maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh
bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda
tunggangan Bi Sian.
Sejenak dua orang muda remaja itu saling
pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangkanya pemuda
yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!
“Terima kasih....” katanya lirih, agak
malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai
tunangannya kepada para penjahat.
Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis
cilik itu. “Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku
membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini
tunanganku dan calon isteriku?” Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan
tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya
diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik
tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.
“Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan
tunanganmu!” bentaknya marah.
“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku,
calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah setuju akan
perjodohan kita....”
“Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!” kembali
Bi Sian membentak.
“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau
membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok
itu?”
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu
mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. “Jangan menghina paman Sie
Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”
Karena pertolongannya tadi agaknya tidak
mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki
Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh
tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda
dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau
sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta
pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima
kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak
merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!” Pipi pemuda remaja itu kena ditampar
sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia
menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta,
akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya,
mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi
Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan
oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah
kepala Ki Cong dan memukul kepala penuda remaja itu.
“Tokk!” Seketika kepala itu menjendol sebesar
telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya
berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika
dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang
tongkat butut, dia marah sekali.
“Kau.... kau berani nemukul aku?” bentaknya
sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan
pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di
bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala
Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul
adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul
sendiri kalau tidak kaupukulkan?”
“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin
mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, orang menghinamu,
dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa
memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang
terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan
menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!” Ki Cong berteriak kesakitan dan
mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu
menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil
berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat
itu menghajar pantatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali.
Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang
ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel. Bi Sian
mendekati.
“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali
tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?”
“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut,
heh-heh-heh!”
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak
merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai
seperti orang gila itu.
“Kakek yang baik, maukah engkau memberikan
tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh,
boleh saja....”
Bi Sian gembira bukan main dan menerima
tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan
tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang
sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan
tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
“Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan
aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku
ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu
memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama,
untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi
paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil bongkok?”
“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah
bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga
menghinanya!”
“Sie Liong.... anak.... bongkok?” Koay Tojin
berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya?
Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana,
aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba
menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke
bibirnya. “Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu,
bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai
di dunia ini?”
“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian
girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti,
seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di
dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya
seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti
kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri
seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting
kembali lagi.
“Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona
cilik! Pertama, engkau harus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak
mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti
anak jembel seperti aku!”
“Apa sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian
dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup
sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid
seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
“Dan untuk waktu yang tidak sedikit!
Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”
“Aku setuju!”
“Dan mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha....” Kakek itu tertawa bergelak,
berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya menengadah dan
mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa
kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini
membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. “Hu-hu
huuhhh....”
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis,
melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis
tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti
menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan
tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak merasa
takut, melainkan geli.
“Kek, kek, kenapa menangis?”
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya,
memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan,
kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa,
memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut
menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan
menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari
kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri
ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya
dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu
mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. “Jangan menghina paman Sie
Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”
Karena pertolongannya tadi agaknya tidak
mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki
Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh
tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda
dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau
sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta
pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima
kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak
merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!” Pipi pemuda remaja itu kena ditampar
sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia
menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta,
akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya,
mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi
Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan
oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah
kepala Ki Cong dan memukul kepala penuda remaja itu.
“Tokk!” Seketika kepala itu menjendol sebesar telur
ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya
berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika
dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang
tongkat butut, dia marah sekali.
“Kau.... kau berani nemukul aku?” bentaknya
sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan
pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di
bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala
Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul
adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul
sendiri kalau tidak kaupukulkan?”
“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin
mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, orang menghinamu,
dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa
memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang
terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan
menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!” Ki Cong berteriak kesakitan dan
mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu
menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil
berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat
itu menghajar pantatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali.
Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang
ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel. Bi Sian
mendekati.
“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu
itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?”
“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut,
heh-heh-heh!”
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak
merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai
seperti orang gila itu.
“Kakek yang baik, maukah engkau memberikan
tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh,
boleh saja....”
Bi Sian gembira bukan main dan menerima
tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan
tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang
sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan
tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
“Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan
aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku
ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu
memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama,
untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi
paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil bongkok?”
“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah
bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga
menghinanya!”
“Sie Liong.... anak.... bongkok?” Koay Tojin
berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya?
Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana,
aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba
menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke
bibirnya. “Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu,
bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling
lihai di dunia ini?”
“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian
girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti,
seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di
dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya
seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti
kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri
seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting
kembali lagi.
“Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona
cilik! Pertama, engkau harus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak
mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti
anak jembel seperti aku!”
“Apa sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian
dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup
sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid
seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
“Dan untuk waktu yang tidak sedikit!
Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”
“Aku setuju!”
“Dan mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha....” Kakek itu tertawa bergelak,
berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya menengadah dan
mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa
kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini
membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. “Hu-hu
huuhhh....”
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis,
melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis
tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti
menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan
tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak merasa
takut, melainkan geli.
“Kek, kek, kenapa menangis?”
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya,
memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan,
kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa,
memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut
menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan
menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari
kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri
ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya
dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.
“Hei, kakek, kenapa kau menangis? Kenapa? Aku
jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini.
Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa
dianggap orang gila!”
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan
kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata
terbelalak, diapun berkata sambil mencela. “Kenapa kita tidak boleh tertawa
dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan mulut kita
sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?”
“Tapi kau tertawa dan menangis tanpa
memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya
orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring
otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.”
“Ha-ha-ha-ha, kaukira orang sinting itu
jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena
hatiku gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku
menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh....”
Kembali dia menangis.
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek.
Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku,
sudah saja jangan menjadi guruku.”
“Apa?” Seketika tangis itu terhenti dan dia
memandang dengan mata terbelalak. “Bukan takut kehilangan ilmu karena biar
kuwariskan kepada seratus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan
mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut....
aku takut mati....”
“Hemm, engkau takut mati, kek?”
Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya
disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. “Apa kau
tidak takut mati?”
Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang
matanya jujur terbuka tidak pura-pura. “Kenapa aku harus takut, kek? Orang
takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kita kan tidak tahu apa itu
kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang
tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!”
Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak
perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri
berlutut di depan Bi sian. “Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana
agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu....”
Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek
jembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sinting!
“Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatutnya aku
yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hormat
kepadamu.”
“Tidak! Tidak!” Koay Tojin bersikeras.
“Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku
tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!”
Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun
lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia
seperti kematian? Ia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan
tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpemandangan polos dan
sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya
sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar,
mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
“Gampang saja, kek. Jangan pikirkan tentang
mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing,
tidak akan takut!”
Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali
tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan
“mengolahnya” di dalam benaknya.
“Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang
mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku
pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati,
sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....! Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat
sekali! Itulah ilmunya!” Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan
melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan
dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa
ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya disambut
dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati
permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa seperti menjadi
seekor burung yang terbang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan
tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika
meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan
tangan di bawah.
“Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!”
berkali-kali ia berteriak dengan gembira dan kakek itu agaknya juga
memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut,
bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Benar-benar muridnya itu
tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan tubuh anak
perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga
memiliki keberanian luar biasa. Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan
lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di
udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.
Akan tetapi, betatapun saktinya, Koay Tojin
adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka
permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah.
Tiba-tiba dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon
besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh
muridnya kalau meluncur ke bawah.
“Heiii....!” Bi Sian berteriak kaget akan
tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan
ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan
ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon
dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau
sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin yang sudah tiba di bawah pohon,
menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung
jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian
karena daun pohon itu memang lebat.
“Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak
takut mati! Di mana kau, he?”
“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon
ini?”
Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin
tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya. “Ha-ha-ha, bukankah engkau
tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu
hinggap di dalam pohon!” Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah
duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang
dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang
kokoh kuat.
“Suhu nakal.”
“Suhu....? Siapa suhu (guru)?”
Bi Sian memandang wajah kakek itu. “Hemm,
sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut
suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”
“O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu.
Kenapa kau bilang aku nakal?”
“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini.
Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”
Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan
tangan yang baret-baret itu. “Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup di
atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon.
Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan
dicium harimau.”
Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri.
“Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?”
“Wah, sudah sering!”
“Bagaimana rasanya, suhu?”
“Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu
menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di depan mukaku
nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya
yang berbau amis!”
“Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai
cium-cium segala, suhu?”
“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan
mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati bau
harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga
ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak
ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka
kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan
berkaing-kaing!” Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya.
Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus
mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam
tubuhmu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. “Apa
maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”
Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya
itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki
Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang
ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
“Pertahankan keadaan begini sekuatmu, kedua
tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau
matamu berkunang, pejamkan mata.”
“Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan
kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”
“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas
kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!” Dan
dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada
dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala
muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka
dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”
“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”
“Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini
dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi
gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”
“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu.
Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya.”
“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”
“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung
seperti ini?”
“Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!”
Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun
ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan
main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku,
Bi Sian. Bangkitlah!”
Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak,
aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak
meluluskan tuntutanku!”
Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh.
“Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat!
Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”
“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa
lagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?”
“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa
permintaanmu itu?”
“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi,
baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut....”
“....sampai dunia kiamat!” Koay Tojin
menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan
itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah menular padanya?
“Katakan apa tuntutanmu!”
“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku
harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”
“Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja,
dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku.”
“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling
lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang
tuaku.”
“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum
tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini? Mati.... hih, aku
takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”
“Dan ke tiga....”
“Banyak amat!”
“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir,
aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi
kalau disuruh mengemis!”
“Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan
dan jembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku
terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku
mampu adakan, untuk apa mengemis?”
“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita
butuhkan?”
“Tentu saja?”
“Hem, mana mungkin? Seperti sekarang ini. aku
butub sekali minum karena haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air
jernih?”
“Heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih?
Lihat ini, terimalah!”
Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya
itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh
dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan
ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan
segarnya.
“Suhu, dari mana suhu memperoleh semangkuk air
dingin ini?” tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan
memang benar air jernih aseli! Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk
kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja
mangkok di tangannya itupun dia lontarkan ke udara dan lenyap!
“Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!”
Bi Sian terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!”
teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita
tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi
kaya raya!”
“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”
“Mengapa tidak boleh?”
“Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan
mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi
rumah keluarga orang tuamu agar engkau berpamit dari mereka.”
“Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang
kuda!”
“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau
engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.”
“Tapi sayang kalau kuda itu ditinggalkan
begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan,
suhu!”
“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya
dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang
berkaki empat itu.”
“Mana mungkin, suhu?”
“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita
pergi!”
Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet
oleh gurunya. Boleh kaurasakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku
yang larinya seperti angin? Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan
mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke atas punggung kuda
dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. “Mari kita
berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk
kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah
beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan
jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh. Akan
tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada
di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja! Ia merasa
penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah
beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya ia terbelalak
melihat suhunya tetap berada di belakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor
kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi.
Suhunya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya.
Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa
akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini. Akan tetapi
suhunya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini
ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak
terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka
sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di
tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang
mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana
lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di
antara mereka tidak terdapat permusuhan? Bukankah tadi lima orang “perampok”
itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?
“Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu
sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”
Bi Sian terkejut.
“Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima
orang perampOk yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka
menggangguku!”
“Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka
adalah anak buahnya!”
“Kalian mau apa menghadang perjalananku?”
bentak Bi Sian kepada lima orang itu. “Minggir!”
Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian
ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima
orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!”
Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung
Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah
dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat turun dari atas
kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.
“Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti
akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kausuruh
menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan
mereka untuk menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan
jahat sekali!”
Lu Ki Cong tidak menjawab, akan tetapi lima
orang tukanp pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap
mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata kepada Bi Sian, “Bi
Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, hajarlah mereka,
jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik di belakang itu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah
maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu.
Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia kalah tenaga.
Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?
“Tapi, suhu, bagaimana aku mampu....”
“Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku?
Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak
kotor!” Kakek itu menyerahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia percaya
sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu
memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya. Dan
tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu dapat
menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat itu berada di
tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat
ketika tongkat itu berada di tangannya. Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin
mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut
di tangannya. Bagaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat
oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan
kuat.
Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang
tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah
sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan
kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang
kuat. Kalau tadi mereka “dihajar” oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja
dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati
Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.
Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka
untuk menghajar dan membunuh kakek jembel yang telah menghinanya, sekalian
menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu
tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar,
seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak
menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian
memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut
bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat digerakkan seperti
bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut di tangan
Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya
tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.
“Plakkk!” Tongkat itu menghantam mukanya,
tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika
“mimisen”. Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas
tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi
keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti
patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya
ke arah mereka, menyerang kepala.
“Tukkk! Tukkk!” Dua buah kepala itu
masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu
keluar telurnya, menjendol biru!
“Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi
Sian!”
Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga
orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya
bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang
lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul
lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah
muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka,
dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu menggerakkan tangan
ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat
bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala
yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah
sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan,
dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi
seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi
seorang? Biarpun tidak sampai terluka parah namun pukulan tongkat itu
mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang
terpukul.
“Bocah setan berani kau memukul kami?” bentak
si brewok.
“Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak
kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh.
Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!”
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan
bergembira sekali, menerjang terus! Biarpun lima orang itu kini sudah marah
bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap
kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi
bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian. Biarpun yang
memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu
sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama
sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun
matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang
pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya
dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian,
jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!” teriak Koay Tojin dan dia
kelihatan menggapai dengan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya
sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat
digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda
yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar
membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan
tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.
“Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya
dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!” Koay Tojin memberi
semangat kepada muridnya. Dan Bi Sian terns menghajar Ki Cong sampai akhirnya
pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan
bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil
menangis! Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan
muda mereka. Akan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak,
tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik dan
menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh.
Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh seerang anak
perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak
perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek jembel yang aneh itu.
Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka
semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka
lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari
situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti
mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari secepatnya sampai jatuh
bangun! Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas
tanah, terengah-engah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum puas.
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan
lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil
memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul
dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya
tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan
tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seorang manusia luar
biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantunya maka dengan
begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat
balasan pukulan dari mereka.
“Sudahlah, suhu. Apa sih yapg kau tertawakan
begitu hebat?” katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin
menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.
“Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali,
engkau telah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!”
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun
dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan
anjing-anjing seperti tadi.”
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan
gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat
kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka iapun tidak
berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi
kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba
di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di
kebun belakang, kemudian iapun menurut saja petunjuk suhunya bagaimana harus
berpamit dari ayah bundanya.
“Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu,
tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak
enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!”
Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan
dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali ia menyuruh
suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga
pulang.
“Aku mulai khawatir, kenapa sampai hari telah
menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya kalau engkau pergi
mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
“Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang
pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak
tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan
ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah
kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir.”
“Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak
perempuan dan....”
“Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak
sendiri? Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah memiliki
kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan iapun ahli menunggang
kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang
akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah
anakku.”
Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong
terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh
harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di
sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan.... di balik jendela
kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya
berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata
terbelalak.
“Bi Sian....!” teriak ibunya, dan ayahnya
cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.
“Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkan
baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah mendapatkan seorang guru, guruku
namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu.
Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku
pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak
akan dapat menyusul suhu!”
“Bi Sian....!” Yauw Sun Kok berseru dan cepat
sekali dia sudah membuka daun jendela itu. Akan tetapi, wajah anaknya itu telah
hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa penasaran dan cepat dia
melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka
memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak
bayangan anak itu.
Tiba-tiba terdengar suara anak mereka dari
atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal,
ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”
Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah
berdiri di wuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main
dan diapun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi,
dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap. Dia merasa penasaran
sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu
dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.
Akan tetapi semua usahanya untuk mencari
sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak
berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Diapun
dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay
Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya
untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin!
Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam
apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil
menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang berulang-ulang dan
merasa berduka sekali. “Aku akan mencarinya...., aku akan mencarinya sampai
jumpa dan membawanya pulang....” Dia menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan
kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta
bantuan orang namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh
puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun
datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak
bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian
yang dibantu seorang kakek jembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak
menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.
Mendengar ini, makin yakinlah hati Yauw Sun
Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa
Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta
yang berpakaian jembel dan bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti,
pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan bahwa anak
perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya
sebagai murid.
Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan
isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan.
Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan
keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari yang
menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan
Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia
kehilangan adik kandungnya dan dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja
tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh
tahun!
Kesenangan dalam bentuk apapun di dunia ini
tidak abadi! Kesenangan seperti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat
dapat meletus dan lenyap di udara! Kesenangan datang dari nafsu dan menimbulkan
ikatan-ikatan dengan sumber kesenangan itu. Kalau tiba saatnya kesenangan itu
direnggut dan terpisah dari kita, maka kitapun merasa kehilangan dan berduka.
Hidup ini, penuh dengan duka yang timbul dan kekecewaan, iba diri, kemarahan,
kabencian, permusuhan. Karena hidup ini penuh dengan duka dan sengsara, maka
kita semua rindu akan kebahagiaan. Sayang sungguh sayang, kita selalu salah
mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan! Kesenangan hanya merupakan saudara
kembar dari kesusahan belaka, keduanya itu tak terpisahkan seperti permukaan
depan belakang dari telapak tangan. Ada susah ada senang, ada suka ada duka,
tak terpisahkan. Karena itu, setiap kedukaan kita coba hibur dengan kesukaan,
setiap kesusahan kita tutupi atau ingin lupakan melalui kesenangan. Padahal,
kesenangan itupun akan berakhir dengan kesusahan, seperti gelombang tidak
hanya bergerak ke satu jurusun, tapi pada saatnya membalik.
Kebahagiaan sungguh jauh berbeda. Kebahagiaan
tidak mempunyai kebalikan! Kebahagiaan berada jauh di atas jangkauan suka dan
duka. Karena suka dan duka itu hanya merupakan permainan pikiran, maka hanya
menjadi pakaian dari si aku. Kebahagiaan tak dapat diraih oleh pikiran.
Kebahagiaan tidak dapat didatangkan dengan sengaja oleh si aku yang ingin
berbahagia. Kebahagiaan adalah Cintakasih, Cahaya Illahi, kekuasaan Tuhan yang
selalu ada, di dalam diri kita sendiri, tak pernah sedetikpun meninggalkan
kita. Hanya pikiran dengan nafsu-nafsunya menyeret kita ke dalam kegelapan
sehingga tidak dapat melihat-Nya.
***
Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki
yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya
lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dahulu.
Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan
jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang mengintai ke dalam kamar
itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik
rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya.
Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara dia
duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah
seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas
tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud
pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf,
juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan,
sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak
remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya,
sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai
inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi
menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga
belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang
yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san
sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang
berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keributan karena adanya
gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan
dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak
laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara
para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun
mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan
semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun
itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama
Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak
laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga
itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat,
bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang
keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa
orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri ketika membawa
Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Karena itu, biarpun Bong
Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai
anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau
berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri
dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat
bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau
Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini,
yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya,
ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan,
mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru
namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau
nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau
Boangana!
Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda
remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap
dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, bersikap
anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru
dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku
kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga
kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan
karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia
mempertahankan kemuliaannya!
Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun
Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggauta keluarga
ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa
mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak
mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar
kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia
bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya
sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja
menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan
merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak
berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar
langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa
yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan.
Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah
angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan
Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya,
kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu
halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu
saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling
cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini
menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu
hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap
Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda
kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang
wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah
pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan,
sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu,
dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin
dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela,
melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam
rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan
tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan
itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan,
juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan
juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda
itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu,
perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan,
memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong
Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan
menanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas
tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya
ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan
tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi
keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini.
Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum
manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada
wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada
isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan
tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu
bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani
memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan
harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang
memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan
cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh
belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi
sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi
hormat.
“Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam
begini....”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan.
Sungguh tidak enak sekali mendengarnya....”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus
saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun,
janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku
enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku,
kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali
karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan
bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada di
rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur
sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf,
kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di
atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah.
Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi,
Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat
pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya
sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa
bukunya dan duduk di atas pembaringan. “Biarlah ahu duduk di sini. Kau
duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya
berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu
melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini....?” Pek Lan
bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia
duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan
menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa
kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya
sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk
kembali.
“Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong
kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kauajari
aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak
berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri
dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk
bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di
tepi pembaringan.
“Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti
dianggap tidak sopan....” kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar
girang dan tegang.
“Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah
juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk
berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik
dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan
dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar
dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga
gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang
halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan
sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau
dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas
lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek
Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan
menjadi murid yang taat dan pandai.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah
mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk
mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu
tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan
hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik
itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar
kekuasaan dan sebagainya. Makin diberi, semakin merasa kurang dan menghendaki
yang lebih!
Demikian pula dengan Bong Gan dan Pek Lan.
Begitu keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi
semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh
perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia
selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda
remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu
saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus
akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang
menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun
menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat
lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat
hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu
angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah
berikutnya, ke sekian puluh kali dan mereka berdua, yang dimabok kemesraan
ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata
dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan
mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada
Coa-wangwe. Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini
menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut mendengar bahwa
selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya,
dan dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu
bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina
dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya
masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang
menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum
mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para
pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan
selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu
meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua
musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka
berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat,
hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya
perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka
sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah
seperti udang direbus saking marahnya.
Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya
itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak
dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang
membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat
itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa
mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat
siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga
bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada
suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh
para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu
sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah
karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal
secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Keduanya meninggalkan
rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati
dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit, akan tetapi hati
lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu, dan
mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng.
Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu
lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, disebarkan oleh mereka yang
membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat
muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam telah menjelang
pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil
menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun
kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada
orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari
terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan,
di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh
dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah
menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini
biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah
malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis
lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan
yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa
bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik
dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa
diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi
marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan
menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini disebabkan oleh
Bong Gan!
“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil
bangkit duduk dan telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang
keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menimpa diriku! Kalau
bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah
keluarlga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri,
engkau anak durhaka, tak tahu malu....!”
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia
membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang
datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah
yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku
ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan
menghinaku? Perempuan tak tahu malu!”
“Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar
kau!” Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan
segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak
tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas
pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan,
melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing,
berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan
tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan
kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi
tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat.
Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan.
Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka
akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ
muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi
mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan
jatuh terguling-guling. Hal ini berarti bahwa nenek itu telah membantunya,
maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan.
Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis! Sementara
itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri
karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit
berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati
dipenuhi keseraman. Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh
puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti
udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat ia mengkerut dan kering.
Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang,
sepasang matanya sampai hampir tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya,
tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu
mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang
tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan
kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang
membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya
seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh
menyeramkan sekali keadaan nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil
dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek
Lan berlutut di depannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan
tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang
memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung
tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis
itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.
“Ceritakan, kenapa kau menangis di sini!”
terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan,
namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu
dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang
memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya. “Nenek yang
mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya hartawan Coa
di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya
tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua
ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah
menyalahkan saya.”
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada
Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong
seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.
“Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti
setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?”
Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati
kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan
tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya
selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap
Bong Gan.
“Jangan, nenek yang baik, jangan dibunuh, akan
tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!”
katanya.
Nenek itu terkekeh. “Heh-heh, bagus. Akan
kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek
itu, kini timbul keberaniannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya
seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar
begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk
melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu
tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak
laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.
“Heh-heh-heh, bocah setan, bergulinglah
engkau!” Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang
menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan
tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan
hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana
suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah!
Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya
bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan.
Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri
dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka diapun
mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dangan cepat
sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
“Toloooooooong!” Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang baik, jangan bunuh dia!” Pek Lan
yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda
cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata
nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas
tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini
terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja Bong Gan
dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar
tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan
iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.
“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa
sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau
minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!”
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati,
akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan
Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit
ketakutan, melainkan menutup mata rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua
kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh
tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan
ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang
mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek jembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay
Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw
Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya
dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah
merengek kepada gurunya.
“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar
nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!”
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek
itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana aku berani? Ia
adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri
melihatnya....” Dan kakek jembel itu bergidik kengerian. Melihat sikap
gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih
terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang
melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan
menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal. “Hei, nenek iblis
yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak
akan kupukul engkau!”
Nenek itu menyeringai lalu menoleh kepada Pek
Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?”
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan
yang muncul bersama kakek jembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek
itu terhadap Bong Gan.
“Nenek yang mulia, bocah itu mencampuri
urusan kita, sebaiknya kaubunuh saja!” Di sini sudah nampak perwatakan yang
menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang
tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti
gadis cilik itu.
“Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah
ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut dan
tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur
ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr.... takkkk!” Tongkat ular itu
terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan
antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi
Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang
bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di
depannya.
“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek jembel
gila dari Himalaya?” teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak
berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu,
bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah
mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo
itu!
“Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah
tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti
tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”
Nenek itu semakin marah. Kata-kata “tidak
bergigi lagi” bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan
tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya
lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
“Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya?
Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang
amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur
ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan
yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke
belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si
nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun “hidup” dan melawan tongkat
ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat
itu! Keduanya “bersilat” tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling
tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya
angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu
mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat
tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga
sudah “memanggil” kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang
Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan
membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh
itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan
nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis yang menyuruh nenek
tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi
Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun Pek Lan sudah
berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun
Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak
kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya
sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan
menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya
ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan
tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan
menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek yang mulia.... tolong aku....
tolooooonggg!” Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang
mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin
melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin
kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan
berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh
dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun,
selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga
membingungkan. Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat
ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu
Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini
Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali
nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan
minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke
belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba
merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil
membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia
mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. “Hemm, kalau
tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi,
jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!” Koay Tojin
bergidik. “Hayo pergi....!”
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak
tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak
perempuan itu dan kakek jembel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay
Tojin.
“Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati
locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!”
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang
kepada anak itu dan menyeringai. “Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai
murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil
membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti dulu!” Bi Sian berkata sehingga
kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih
berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan
main.
“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya Bong Gan....” jawab anak laki-laki
itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak
kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?”
“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang
dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong Gan bercerita
dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah selir ayah
angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga.
Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik
menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam
kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika
kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya
melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.” Bong Gan
yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu
sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah
selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru
nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja....
saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau....
perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya....”
“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan
layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah
tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu.
“Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!”
“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa
mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau
perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe
sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan
takut dan tidak akan menangis sama sekali!”
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin
yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. “Ha-ha-ha-ha, benarkah itu?
Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?”
“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang
bahwa kakek jembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.
“Aku ingin melihat buktinya!” berkata
demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur
ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak! Plak! Bukk!” Tongkat itu
mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan
main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya.
Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apalagi
kalau pukulan itu mengenai kepalanya. Dia menutupi kedua kepalanya dan kini
punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan
tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka
diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan
menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak
sedikitpun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh
keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia
tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit
dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan
darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. “Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak
memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di
lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena
melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh.
Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. “Mari kita pergi, Bi Sian!”
katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali
melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan
kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan
berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu meninggalkannya
begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya
yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih
mengujinya! Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu
manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid
kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu terancam
bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga
diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan
mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji! Dengan pikiran ini, Bong Gan terus
berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut
terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa
nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan
terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan
tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu! Memang patut dipuji kekerasan
hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena
luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan
ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi.
Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau,
seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam,
dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat lagi dan dia
terguling dan pingsan!
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan
dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang
jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak
perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka di punggungnya dengan
menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.
Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak
itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara kedua telapak tangannya
sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian
daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat.
Anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk
menerimanya sebagai murid!
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman....”
katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh itu duduk pula
di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh, Bong Gan
cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih
dan hormat....” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhunya masih melenggut seperti orang
mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru
menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata,
memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, “Heh, karena
bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau
malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak
engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan
tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan
memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu
bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian
dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan
banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan
melupakan budi kebaikanmu itu....”
Bi Sian terbelalak. “Eh, eh, nanti dulu!
Kenapa engkau menyebut aku suci (kakak seperguruan)?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah suci yang lebih
dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan
disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita.
Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”
“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru
sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku
tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau menyebut
sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng (kakak seperguruan).”
Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi
hatinya girang walaupun dia merasa kikuk. “Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga
siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan
tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak
mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa
namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau
boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan
percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh
saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah
saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan
keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa
saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar
dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih
mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi
Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid
Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian,
yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong
Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan
menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa
mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.
***
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan
nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka
berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.
“Terima kasih, nenek yang mulia. Nenek telah
menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya
lakukan karena hidup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi
muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi
muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia
harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh!
Manusia macam apa nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang
nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk memilih antara
berguru kepada nenek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru ke padaku,
kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah
subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati
semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu? Kalau tidak, engkau
akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit
mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau
ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi
siapapun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang
tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
“Apapun yang subo perintahkan kepada teecu
akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau
harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita membutuhkan harta yang amat
banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu
barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang
banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di
timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang
yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau
panglima besar. Banyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan
kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti
subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu
akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya
dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian
dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki
tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih
sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah
mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para
bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan
orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali karena
para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan
bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar
ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi
besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara
para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia
diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah
Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari
daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam
gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan
barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari
batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang
mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya di kota besar
Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang
malam dijaga oleh puluhan orang perajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana
itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya
sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam
jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan
mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah
sebabnya mengapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan
muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta
dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran
Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan
orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada
gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang
cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang
bermata kebiruan dan berhidung mancung. Namun dia masih selalu membuka mata
dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum
menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari
rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba
dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua
perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu menengok dan mereka semua
menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan
memberi isarat mereka agar berhenti. Kiranya di tepi jalan itu terdapat
seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu,
baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan
kalau panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia
melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan
tetapi karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari
pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya
melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan
lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang
serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan
mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar
itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek
yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di
sini?” Pangeran Cun bertanya dan hatinya semakin tertarik karena setelah
dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang
diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis,
gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada
dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis
lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan
dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan
tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau
khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah
hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi
saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya
berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan
saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya
diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami
saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu,
saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini.
Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami,
Taijin....”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek
yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in
Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan
rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran
Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat
melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati!
Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang
baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau
dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba
menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia
menolong dengan cara “menampung” Pek Lan, dan hal ini sudah pula
diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan....!” Pangeran itu berseru
sambil melihat kemulusan gadis itu. “Jangan menangis, nona, dan jangan
bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan
engkau akan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi
perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan terima
kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil
menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika
diapun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya
pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan
dan “pelayannya”!
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in
Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila
kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu
dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang
wanita yang biarpun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek
Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan mentang amat cerdik. Tentu saja iapun
tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia seorang pangeran,
bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya
sudah setengah abad lebih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi
dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu
tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan terpaksa
memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu
setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala
kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang
pangeran. Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong
mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini
sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan
hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh
jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah mengorek rahasia ini, cepat Pek Lan
memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya. “Subo, cepat
bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang
terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan
khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya
sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu.
Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan mengambilmu dari
kamarmu.”
“Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk
mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok,
kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam
dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan
tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik....”
“Jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat.
Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak
takut dan tentu aku akan dapat merobohkan mereka,” kata nenek itu setelah
mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil
dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah
malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat
kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa “menderita” dalam pelukan
Pangeran Cun.
Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah
tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan
perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di tepi pembaringan,
melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya
sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga
ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut? Ia
akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri,
membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia
tidak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia
berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan
memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun
Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan
berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa
sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak
sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo
berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak
kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat.
Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang
terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan
berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah
mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di
belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada bayangan
hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak
atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali. Tentu saja yang
menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas
lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan
seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian dua orang penjaga datang
lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang
kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang
gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada
bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun berdiri seperti
patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini
terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya
seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka
melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang
berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak
bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak
menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi
tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan
melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk
ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka terampas sebelum terbanting ke
atas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil
dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu
ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka
iapun membakar empat orang penjaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu
berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai
berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka,
bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu lari cerai
berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan
itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang
yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu
dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi penjelasan
dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula
dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan
maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua
bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke
dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang
paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya
itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang! Ia
memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan
tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan
telah melumpuhkannya. Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa
tersentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, ia menutup kembali daun
jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang
paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan
kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia. Dikumpulkan semua benda yang
merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah
kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang
tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di
atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati ia mengintai keluar. Enam
orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang
membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabarak sana-sini,
ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in
Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela
itu dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan
gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan
tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia
harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia
sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnyapun terdengar oleh tiga orang
jago.
“Heiiii, berhenti....!” Tiga orang jagoan itu
berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan
yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki
kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh
berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk
sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman
gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam
itu dapat bergerak amat cepatnya, merekapun berteriak memberi tanda kepada
para rekan mereka yang berjaga di atas. Keadaan menjadi gaduh sekali ketika
banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua
penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo
sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja
memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun atau taman
ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para
perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat
gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu
memang lihai. Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan
tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih
belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang
lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang
dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan
pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.
Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan
hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar,
Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di
luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu
dengan malas mengenakan pakaian, bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus
barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang
dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!” Diapun membiarkan selir
tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar
terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi
dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!” Tiba-tiba jendela itu berantakan dan
tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik dan melihat dengan
mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk,
membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi
mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah.
“Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang
tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali
tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas
lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?”
kata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu
mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang
pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak “mengganggu”
pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang
membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!” Nenek itu menyambar lengan muridnya
dan membawanya “terbang” melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk
sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru
dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam membawa buntalan
di punggung mesing-masing.
Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersikea
oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia
tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua,
selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal,
gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tak ternilai harganya, yang
membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah
dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa
yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas.
Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini,
membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa
orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk
dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan
tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek
Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis lemah lembut, mulai digembleng
untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini
memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat!
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan
sebutan bagi sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang
puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena
pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat
menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti
kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh
dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi
manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui
jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa.
Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin
dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat tinggal
sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini
menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal dari
Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh
puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie
Liong! Namun, adalah tiga suheng ini yang pertama-tama mendidik dan
menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat
tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan
ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini
yang akan menjadi wakil mereka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan
penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing
kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang
disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang menSandung
tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka
dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih. Pukulan ini bukan hanya
kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga
mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari
orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu
Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya
yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun
mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini
adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang
mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu
dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu
Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut
Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan ini, sesuai dengan
namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung
dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu
merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin
menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main. Tidak saja
dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seorang
suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan
tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi ketika
mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar
biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang
yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa! Selama lima tahun itu Sie Liong
hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya
kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari
bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya
dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit
binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan
ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim
Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang
keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja
makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid
barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia
berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu,
mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia
delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh
tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia
kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia
bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su
merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari
tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya,
juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sin-kang
yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini
seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu
tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu
pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan
gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu
dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun,
pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba
saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh
tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan
dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu
mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar engkau dapat mewakili kami
yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam
kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu,
pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau
tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran
mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami
yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah
apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap
Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai
Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu
dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih
atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingen kepada teecu.”
Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu
dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama
bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni
puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan
utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari encinya tentang
dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibunya telah tewas
akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan
bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah
payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia
mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin,
jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah
darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah ibunya
yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan
pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada
seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap
yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu, lalu
ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia
cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya
bertanya sedikit kepadamu?”
Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik,
akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus
membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu.
Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah
yang kautanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana
adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan kini
memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang muda, engkau siapakah dan
mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi
perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya masih sanak keluarga
jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin
berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram
itu bersungut-sungut. “Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati?
Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu
sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau
hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena
apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat
merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan
orang. “Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang
laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia
enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu
melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan
tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang
masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok
itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani. Seorang di
antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat
kalajengking, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kakek itu,
tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu,
maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari
terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau
hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut.
“Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa
cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi?
Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan
turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya
tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw).
Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar
lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh,
minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja
alasannya! Tak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah,
agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka tidak
leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya
selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir
sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga.
Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu
menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang sudah delapan
bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus
kukatakan, mergerti?”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak
mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh
mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi
waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan
hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak, majikan kami
mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke
rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Barang apa lagi?
Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian
untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada
bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan
kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi
bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan.
“Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang
dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?” Suaranya
bercampur tangis kebingungan.
“Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si? Dan
mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu
yang sudah putus harapan, berkata, “Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan
cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang
sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa
kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak
dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka!
Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak
ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat
dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya
kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya,
masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu
tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong
menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan
kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul
yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi
cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun
yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang
dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, “Awas, Lo Kwan, cucumu....!”
“Mereka ke sana....”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar
cucumu....!”
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa
semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu
semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak
berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul
kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu.
Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit
tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung
besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan
kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis
berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana,
melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong, tolonglah aku....!” Ia
meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang
didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menaagis tanpa
daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat
barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi
melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa
engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!” teriaknya sambil mendekati
si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya. Akan tetapi, kaki yang
panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan
terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini
kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu
pada majikan kami!” Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah
merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret
tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang
roboh.
“Kawan, perlahan dulu!” Tiba-tiba Sie Liong
sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya
mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang
heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok
ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?”
bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada
sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,”
kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. “Setan! Engkau tidak
kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin
mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?”
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Sungguh engkau telah menyeleweng dari
kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu
membebaskannya.”
“Hah??” Si hidung besar membelalakkan matanya
yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti
hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, “Kau.... kau.... setan bongkok ini
sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak.
“Hajar mampus setan bongkok ini!”
Dua orang temannya itu adalah orang yang
pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan
yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini
mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka
lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga
mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam. Selain itu,
mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari
kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi
harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir
mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan
benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil
menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak
memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda
bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke
depan!” seorang di antara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar
bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!” Orang ke dua
memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan
mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung
kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan
berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun
menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala
Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu
yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau
tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan
mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua
lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter
jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul
ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah. Dua orang itu meringis
dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan
malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah
meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari
pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan
cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!” kata
Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan
menjadi korban golok mereka. “Orang muda, pergilah, larilah....!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul
yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh
kepada Kwan Sun. “Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah
orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka
patut dihajar....” Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan
kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah
menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata
saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan
menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja
Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua
orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong
mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!” Kini dua tubuh itu terlempar
lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan
terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi “ngek! ngek!” dan mereka kini
tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan
menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk
bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke
mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru
dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya.
Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut
golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan
kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan
melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!”
katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan
orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak
kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang
tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong
sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan
kanannya menyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap
pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!” Si hidung
besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada
pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang
dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan
tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak
lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat
menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari
lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya
cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap.... mata kami buta, harap
maafkan....” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian
tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi
dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya....”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada
kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih
sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan
diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh
pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, nona. Sekarang,
harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang
masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala
dusun jahat itu muncul!”
Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun,
ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka
takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya
bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka,
tanpa diperintah, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini
banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta
kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak
bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni
dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak
ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah
teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,” katanya dengan suara
lantang, “kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai
kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang saling pandang dan wajah mereka
membayangkan ketakutan.
“Mana kami berani?” akhirnya seorang
laki-laki muda menjawab.
“Andaikata Sie-kauwsu masih hidup, apakah
mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?” tanya pula Sie
Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang
masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera
menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!”
“Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama
Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku
untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan
membantuku!”
“Kami.... kami tidak berani....” beberapa
orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.”
“Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya
pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian
jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan
menghajar mereka!” kata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran
mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka
ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.
Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan
menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun
itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga orang
tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu
mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam?
Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan
hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian
membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap
berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau
pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat
di sini.”
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega
bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan
demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan
oleh Bouw-chung-cu.
Tak lama kemudian, terdengar suara banyak
orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan
pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam
rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh
lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang
tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai
lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan
siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju
dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya. Dia
bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi
lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja
kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya
datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang
tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah
seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya
yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok
itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan
sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi
menerima hajarannya segera menuding dan berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw mendangkol bukan main. Pemuda itu
biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai
seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pukulnya yang
ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar,
dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah
Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan
goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
“Engkau ini orang bongkok dari mana, berani
datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong mengangkat muka memandang wajah
lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie
Liong tersenyum. “Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di
dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak
tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam!
Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau
tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar
kalian dan membersihkan dusun kami ini dari srigala-srigala berwajah manusia
yang berkeliaran di sini!”
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking
marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah
berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
“Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!”
Dia menoleh kepada para anak buahnya. “Pukul dia sampai mati!”
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan
senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung
dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan
tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong. Orang-orang dusun yang
mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang
diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembunyi di rumah sendiri saking
takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi
seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu.
Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri
dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena
pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan
membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh! Akan tetapi mereka mengandalkan
pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang
senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang
semakin ganas. Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak
buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil
mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya
tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong
membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan sebelum kepala
dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya
diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah mengangkat
tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang
diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul
menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka! Sie Liong terus
maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang
pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan
kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak
orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini
adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa
pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya,
mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang
mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan
tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan
senjata dan masih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu
berkaok-kaok ketika dikeroyok dan dipukuli para penduduk dusun! Makin keras
dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga
mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas, pakaian mereka
robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para
penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk
dusun itu setelah semangat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun di bawah
penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera melemparkan tubuh
kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu
hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya
diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya
dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terkejut ketika kini
orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
“Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!”
teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para
penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun
itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula
memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat
saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan
dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan
mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki
perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka
bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan
orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi
dia menjaga agar mereka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir
kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu
berseru dengan suara nyaring.
“Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan
memukul lagi!”
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika
oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang
kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, “Hidup putera mendiang Sie
Kauwsu....!”
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas
memberi isarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang
musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati.
Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak
mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya
pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa
tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah
Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk
membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah
engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk
menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati.
Ketika tadi dipukuli rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai
menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani
lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik....”
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua
penduduk dusun menolak keras. “Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!”
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang
she Bouw itu. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di
sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw,
sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini
secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan
orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar
atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan
kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah
dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi
harus kautinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita
menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali.
Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun
yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak
buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta
mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin,
diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga
mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para
penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua
keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di
depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara
nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih
kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang
kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap....!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong
mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang
hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan
pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia
merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat
kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda
sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak
mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi
seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak
berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi
memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian
mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka
mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka
memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek
memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat
menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena
merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah.
“Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi
lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena
apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk,
karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang. “Harap lopek jangan khawatir.
Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang
berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang
kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek
sebagai lurah!” Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa
kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti
yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang
she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan
datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda
dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan.
Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar
Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu,
membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu
seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu!
Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat.
Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie
Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi
murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika
Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup
mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini
dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di
sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada
gerombolan penjahat yang banani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih
menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie
Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah
baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang
orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk
berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang saya ingin pergi dulu
berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu
berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah
baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di
depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, den tidak
terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga
lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput
liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam
isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu
An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran. “Apakah suheng
Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang medangnya dengan mata
terbelalak. “Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena
penyakit menular?”
“Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu!
Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular,
akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh
penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi
dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia
mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan
suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata, “Kwan Lopek, sekarang aku minta
tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku,
dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk. “Mendiang ayahmu
terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan
kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang
gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke
dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya,
bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk. “Ya, kami sudah
menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....” Dia memandang ke
arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan
yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia
kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie
Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh
keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali....”
Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi
di rumah orang tuaku?” Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan
ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. “Akulah
seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu.
Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas
terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua
binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati
terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka,
lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu manggeleng kepalanya. “Kami tidak
tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada
tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau seudiri, tidak berada
di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan
enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang
menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas
oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya. “Jangan-jangan
lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala. “Saya kira
bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan
mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa
pembunubnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru
berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah di antara
para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu
di dusun ini, lopek?”
Kakek itu manggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah
bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa
bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung.
“Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara
tentang hal itu.” Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam
dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani
mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong.
Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi
kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit
menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya
sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong
kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia
tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau
orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan
bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah
ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya.
Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di
depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru
untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya
di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya
agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman
orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu,
terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di
bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie
Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya.
Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah
menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang
sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia.
Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat
mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali
bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan
dia! Apa artinya ini semua den mengapakah encinya harus berbohong kepadanya?
Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit
meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut
mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa
hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena
kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua
saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri
mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa
persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat
kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta
perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati
mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin
sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang tuanya, namun dia tidak
tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan
untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu
itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini
menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah
engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga
pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan
menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan
tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang
bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira
sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha,
sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap
tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan
merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si.
Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm,
gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir
tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan
dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu
berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat
kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau
usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang
gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama
sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima
kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus
minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum
dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada
enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak
berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. “Terima
kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya
mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk
menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah
Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan
Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia
sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan
pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung
dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap
bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah
dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian
kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan
Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat
menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan
dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun
diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang
akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan
Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan
keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya
yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini
Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta
persetujuan encinya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk
tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani
mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi
meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu
hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,”
katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak
gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru,
karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan
hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri,
tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya
tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak
jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun
dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu
yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau
encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan
dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang
menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal
ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat
akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia
yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong
tertegun dan termeung. Bi Sian! Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis,
manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang
amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan
menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin! Tiba-tiba
saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul
lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa
menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan
mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak
tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang
tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si
di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan
sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke
atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi
isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan
sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak
kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan
menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan
menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku.
Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan
semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami
mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara
resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa
tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia
adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”
“Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti
dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan
dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu
Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia
telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah
engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya,
setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi
suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau
minggat saja dengan Siu-koko....”
“Hushhh....!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah
kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam
kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun
kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si
dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh
yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan
nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan
menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin!
Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak
gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang
perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat
perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah
Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang
pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia
sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang
baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang
meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya.
“Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi
menjadi isteri Si Bongkok....”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi
pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan
tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus
marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia
berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk
hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis
yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani
menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek
Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain,
kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk
membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus
tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang
jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak
akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia
harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain
yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan “terima nasib”,
bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan
merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan
hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si....” dia berbisik, lalu
bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola
merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada
matahari.
“Terima kasih, matahari, untuk pagi yang
seindah ini....” dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama,
karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan
mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya
tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok
ini....” dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan?
Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut
disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya
yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang
lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan
dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang
menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak
dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak,
dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang
berbahagia.
***
“Liong-te....!” Sie Lan Hong menjerit dan
merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan
menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku
melihatmu....!”
Sie Liong membiarkan encinya menangis dan
menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa
adik yang telah lama menghilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan
telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan
Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata
Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan
kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam
Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Encinya nampak kurus dan
pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya
mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum
setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya. Karena dia
pergi? Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu.
Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak
terlalu kaya. Dahulu, prabot rumahmya cukup mewah dan keluarga encinya hidup
berkecukupan. Akan tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian
yang dikenakan encinya juga tidak seindah dulu. Di tububuya tidak pula nampak
perhiasan mahal. Dan prabot rumah sudah berganti semua, terganti prabot yang
murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali
walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan
encinya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa
adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi seorang
pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana
saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru
kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong menceritakan secara singkat
tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, encinya girang
sekali.
“Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka
engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati
ayah dan ibu di alam baka....”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu
encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya
sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya,
mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan.
“Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu
kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan
ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia....”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah
pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga
suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua
dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air
matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong
kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada
malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka
dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia
sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi membawamu mengungsi,
tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula....”
Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam
dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui
siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar
yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggeleng
kepala keras-keras. “Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku
mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa pembunuh itu....”
Melihat encinya menangis lagi, agaknya
berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong
tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan
semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu
menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci,
aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
Encinya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia
juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi
muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”
“Ahhh....!” Sie Liong kagum sekali mendengar
ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti! “Siapakah
nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin....”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay
Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah
sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya
masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit,
agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu,
kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah
cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba
menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali.
Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah
tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai
keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan
dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggeleng kepalanya. “Aih, memang
nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi.
Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu
mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam
pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tidak diurus sehingga
bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja....”
Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu
sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia
dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya? Bagaimanapun juga, cihu-nya telah
menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang.
Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aih, engkau
datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari,
engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak
akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang
dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi.
Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai
pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama
beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.” Diam-diam dia bermakasud untuk
membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan
menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok
pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw
Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia
merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia merasa bosan dengan
isterinya dan dia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan
rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga
perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap
isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya
mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu
depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya. “Brakkkkkk!” Daun pintu
didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam
dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir
jatuh.
“Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah
segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau
engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw
Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di
depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan
cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak
pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok,
begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya.
Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu
berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi
sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang
mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya
mendengar ucapan isterinya.
“Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang
mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta
dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap
memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum
bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat
tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya
sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat
bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia
menarik tangannya dan memaki isterinya. “Bagus! Sungguh perempuan tak bermalu,
perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah,
ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!”
Dia maju dan hendak menyerang isterinya. Akan
tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah
baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang
bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main
dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?” Yauw Sun Kok membelalakkan
kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan
mukanya. “Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong....? Ha-ha-ha....!” Yauw Sun Kok
tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa,
akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie
Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang
untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia
memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Apa? Engkau....? Engkau
handak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong?
Apa kaukira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu
kaukira akan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku
sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak
mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan
ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet),
tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah
cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini
memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa,
akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan
menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa
encinya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata
demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari
pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu
memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu
sudah mengadu, ya....?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga,
aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah,
bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan,
karena kauhabiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah
terseret ke dalam lumpur....”
“Tutup mulutmu, keparat!” Tiba-tiba Yauw Sun
Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan
leher adik isterinya. Biarpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia
seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau
hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri
dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong,
biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang
dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manusia sakti dari He-lan-san
itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan
tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping dan tubuh
Yauw Sun Kok terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya membuat
dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding di
mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakannya masih cepat
sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari
sarungnya.
“Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan
pergunakan pedang....!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan. Akan tetapi suaminya
tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan
pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk
lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan
tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk
ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong
dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan
tenaganya.
“Plakkk!” Pedang itu terpukul lepas dari
tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang
dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihunya yang
mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak
bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu
dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!” keras sekali tendangan itu, namun
akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri
tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup
keras.
Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan
pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahlan yang
lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya. “Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok
maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah....” Ia
membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali
ini Yauw Sun Kok tidak membantah. Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih
cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si
Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya
sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia meraza lebih aman
menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura
tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan
dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.
***
Kakek jembel itu duduk di bawah pohon besar,
nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu
duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin semilir sejuk dan
kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya
menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek jembel ini sudah tua
sekali, hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh tambalan.
Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini terbuka
dan dia tertawa-tawa seorang diri, lalu memejamkan kembali matanya.
Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang
jembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh
kang-ouw lewat di situ dan melihat jembel tua ini, dia tentu akan terkejut
setengah mati. Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan.
Dia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang
menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biarpun dia jarang bahkan hampir
tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw
ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh
dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan
dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba
nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua
orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda
berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan
sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah
selalu cerah ceria. Gadis manis inipun mengenakan pakaian tambal-tambalan,
akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya tambal-tambalan, namun
bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya
juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan
seorang pengemis! Pemuda itupun berwajah tampan, matanya mengandung kecerdikan
dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa
dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri
sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin
mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan
lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biarpun Bi Sian
lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia
memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan
ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
“Suhu, nih teecu (murid) bawakan oleh-oleh
untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!” kata gadis itu sambil duduk di
atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan
suhu!” kata pula Bong Gan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu
menyeringai memandang kepada dua orang muridnya. “Heh-heh, kalian adalah
murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada
yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih,
tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah
tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang harum dan keras!
Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu
bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin dulu menyaksikan betapa
guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuahpun, masih kuat untuk
menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata
meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari guru mereka
yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada gigi
orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa memperdulikan dua
orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay
Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat
sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis
ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik. Sebaliknya, kakek ini merasa
khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan sukar diselami
walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin,
pandai mengambil hati. Akan tetapi ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu
yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Pernah dia melihat betapa
pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoinya secara tidak wajar. Bukan
memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu berahi,
memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya! Sungguh
seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya.
Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia
sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai
terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus
berhati-hati terhadap suhengnya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia
berkata, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aih, suhu ini ada-ada
saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya
dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku
bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya
sambil mendekati gurunya, sikapnya manja. Kakek itu tersenyum untuk menutupi
rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya
begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa
sakit? Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini! Akan
tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian
terlalu baik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga gadis itu selama tujuh
tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah menjadi matahari yang
menyinari hidupnya! Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan!
Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis
itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang
menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti dalam kegelapan!
Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah
menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini,
menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni
hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang
sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi
Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh
tahun saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan
gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada susahnya. Hidup bebas
seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun
ia mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu....! Rasanya belum lama aku ikut
suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!”
bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus
berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu
kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang
tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh.
Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang
tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa
tiagginya? Berapa ukurannya? Apa yang kaupelajari selama ini sudah lebih dari
pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau,
Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya
berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat
dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk
melaktikan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan kepada ayah ibunya, kedukaan
bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh
kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoinya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu telah
melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan
terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan
suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu
memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak
setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis, apalagi setelah
menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik.
Kalau hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang
kauperoleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan
demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau
melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam
lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih,
suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja dan memandang wajah
murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik
sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa
musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah
dirimu sendiri. Karena itu, sebelum menundukkan musuh, sebaiknya kalau
menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya
mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul
kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar
tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya itu sudah
melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang muridnya yang berlutut
di depannya. Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan
suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka keduanya segera melempar
tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka terhindar dari
serangan kilat itu, dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang
pohon, memegangi tongkat sambil tertawa. Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang
ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan
itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring
gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Mudah-mudahan suatu
waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan
bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu
melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata.
Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua
memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang
berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan
tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya.
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam
hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di
kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya terlatih baik, namun
karena selama satu jam itu ia berlari cepat sambil menahan getaran hatinya
yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh keringat. Diambilnya
saputangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga
mongusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian
yang tidak ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana
saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua
tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke
manakah?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di
atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah
sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa
cantik manisnya sumoinya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah
dari gadis manis ini? Membayangkan perpisahannya dengan gadis yang telah
menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tak
pernah mereka saling berpinah dan mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang
tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga
nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu
kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai keluarga sama sekali, tidak
mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah
maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak
pergi?”
“Justeru pertanyaanmu itulah yang membuat aku
membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi
bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus
pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah
mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suhenguya itu dengan
hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda
yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga
kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali. Memang
kadang-kadang suhengnya suka pergi meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi
kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Kalau
pulang, suhengnya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam
hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suhengnya pernah berpamit
kepada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah
lancang mengajaknya. Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini,
rasa suka yang bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya
kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andaikata
aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu ongkau hendak ke mana?”
“Aku.... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke
manapun engkau pergi.... tentu saja kalau.... kalau aku tidak terlalu
mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya,
mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau
tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut
bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup
ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang
pedagang, mungkin dapat membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi
cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera
menjura ke arah sumoinya.
“Ah, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia
sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi
bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan suhengnya dan
tertawa. “Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku dan lebih tua, mengapa
memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah
bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya kalau kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan
perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di
sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan. Andaikata ia
melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan,
mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan
jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat banyak orang
menjadi jerih untuk mengganggu mereka. Padahal, tentu saja andaikata ada
gangguan, Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu
merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota
Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak
gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka
tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat
betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak suhengnya memasuki pekarangan
dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan,
bangkit berdiri den melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
"Bi Sian....!"
"Ibuuu....!" Dua orang wanita itu
berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil
memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan puterinya, akan
tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan
tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Ia
diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tak
disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu
berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung. Juga Sie Liong,
pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan memandang dengan
wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung. Tentu saja hatinya girang bukan
main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang
dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali.
Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang
tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar
saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
"Ibu.... ah, ibu.... kenapa ibu begini
kurus? Mana ayah?"
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya
dan teringat akan dua orang pemuda itu. "Ayahmu tidak berada di rumah,
sedang keluar. Akan tetapi, mari kautemui dulu pamanmu...."
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya,
tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia
berteriak, "Paman Liong....!"
Sie Liong juga tersenyum. "Bi Sian,
engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!"
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie
Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya
itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
"Paman Liong! Ah, tidak kusangka akan
bertemu denganmu di sini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah menjadi seorang
pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan.... hemm...." Gadis itu
melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali
mukanya.
"Dan.... bongkok!" sambungnya
mendahului, daripada didahului gadis itu.
"Ah, itu aku sudah tahu. Akan tetapi
engkau gagah dan tampan, paman!"
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya
gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang akan tetapi dengan cara
yang menyenangkan.
"Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka
menggoda pamanmu!" Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut.
Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat
tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
"Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa
memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku
dan ini pamanku Sie Liong."
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan
hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoinya dan
pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan
juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan.
Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena
dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat
sopan santun.
"Ibu, mana ayah?"
"Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar
rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...." Ibu itu merangkul anaknya dan
diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa
ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta keluarga,
bagaimana berani ikut masuk? Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya,
maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.
"Suheng, mari silakan masuk saja. Paman
Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu."
Sie Liong sejak tadi memperhatikan suheng dari
keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa
mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian
mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang
membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
"Saudara Bong, silakan masuk,"
katanya dan Bong Gan menganguk.
"Terima kasih, terima kasih....!"
Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama
kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat perubahan besar
di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan
butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak mengenakan perhiasan sedikitpun,
dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi? Ia tidak berani langsung
bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga
adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua,
atau bertiga saja dengan pamannya.
Mereka berempat duduk menghadap meja besar di
ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil
murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan tentang perbuatan Lu Ki Cong,
putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu. "Coba ibu
bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Dia mempergunakan anak buahnya yang
menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai
penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung
muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan
mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aih, betapa senangku
pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?"
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
"Hussssh, jangan berkata demikian,
anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang. Dia
masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....."
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.
"Apa? Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke
sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!"
"Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau
pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagaimanapun juga, dia putera kepala
pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau
memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan
ibumu yang akan menanggung?"
"Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar
sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat.
Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di
sini aku tidak dikenal orang, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi
menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu," kata Bong Gan dengan
sikap gagah.
"Sudahlah Bi Sian. Aku tidak menghendaki
ribut-ribut," kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya. Baru
menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, ia sudah berduka
sekali. Apalagi ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian
terhadap keluarga Lu-ciangkun. "Engkau baru pulang, Bi Sian. Tidak boleh
terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan."
Bi Sian masih merasa penasaran, lalu ia
menoleh kepada Sie Liong. "Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah
sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulupun
dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki.
Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan
mendongkol saja."
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu
bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. "Bi
Sian, kurasa ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan.
Mengenai kejahatan Lu Ki Cong kepadamu, bukankah katamu tadi dia dan anak
buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhumu? Nah, dengan demikian berarti
sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah
pantas kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa
kepandaian yang dipelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya
untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?"
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
"Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan melainkan untuk
memadamkan kekacauan? Paman, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu!
Bukankah begitu, suheng?"
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang
kepada Sie Liong dengan alis berkerut.
"Kalau begitu, suhumu adalah seorang yang
bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan
mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan
bijaksana!"
"Paman Liong! Engkau.... engkau mengenal
suhu?"
Sie Liong tersenyum lagi. "Mengenal sih
tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena
beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan beracun."
"Kalau begitu, engkau tentu murid orang
sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang
sakti?" tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang
disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
"Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana
bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku
mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay
Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih terhitung paman
guruku juga."
Baik Bi Sian maupun Bong Gan terkejut
mendengar ini. "Apa?" gadis itu berseru. "Suhuku masih paman
gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu
menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini.
Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?"
Sie Liong mengangguk. "Engkau memang
cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti aku ini tidak dapat
mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup."
"Ah, aku tidak percaya! Engkau tentu
lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!"
"Wah, mana aku berani? Melawanmu, dalam
beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!" kata Sie Liong dan suasana
menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan
suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri
memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu
kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah
mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang
bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu
menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok? Dia merasa tidak
suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok
itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seolah hendak menjenguk isi
hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik bahwa pemuda bongkok itu
paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam
memperebutkan hati Bi Sian!
"Aih, kalian jangan main-main!" kata
Sie Lan Hong. "Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama
tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu? Ketahuilah,
pamanmu inipun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan
sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu
dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk!
Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang
pukul?"
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum
mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar rumah.
"Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Aku sudah
pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!"
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya
mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas
membuktikan keadaan yang sebaliknya.
"Ayahhhhh....!" Bi Sian berseru,
bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu,
ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak
awut-awutan dan kotor!
Orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar
panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya.
Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah bangkit berdiri
dan melangkah maju menghampirinya itu.
"Bi Sian.... kau.... kau Bi
Sian....?"
"Ayah....!" Bi Sian lari
menghampiri. "Kau kenapakah, ayah?"
Ayahnya merangkul puteri itu dan menangis! Bi
Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh luar biasa sekali ini!
Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
"Ayah, tenanglah, ayah. Mari
duduk...." Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi
menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah memandang
kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian?
Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Engkau harus
mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah
mengalahkan aku, Bi Sian...."
"Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari,
engkau perlu tidur....!" Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya
ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, "Kau harus
pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kaupukul bongkoknya, biar mampus....!"
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian
menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia
memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu
kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke dalamnya dan suasana
menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
"Paman Liong," akhirnya Bi Sian
bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan
memecahkan kesunyian itu. "Engkau.... engkau benar telah mengalahkan
ayah....?"
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada
keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan. Bi Sian mengerti maksud
lirikan itu, dan ia berkata, "Suheng adalah seperti keluarga sendiri,
paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!" Suaranya sudah terdengar
kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan
tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. "Aku tidak
pernah mengalahkah dia, Bi Sian."
"Akan tetapi, ayah tadi
mengatakan...."
"Kemarin dulu, ketika aku datang, aku
melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku
melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya
mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu.... kalau
mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka?
Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!"
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas
bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang
lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan
munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
"Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku
mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan
maafku kepada ayah den ibumu!"
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi hal
lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu,
memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah penginapan. "Baiklah,
suheng. Maafkan kami."
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah
pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi ia memang
marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah memukul ayahnya, akan tetapi
kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak
mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang
seaungguhnya, paman!" Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang.
"Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu. Akan tetapi biarlah,
akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu. Ketahuilah bahwa
setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia
bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir,
menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya
itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual
untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai
membenci ibumu dan suka memukuli ibumu."
"Ah, mana mungkin itu?"
"Aku sendiripun tidak akan percaya kalau
tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia
datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang
melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang
mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak
memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak
akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian."
"Aih, ayah....! Kenapa begitu. Ibuu....
ah, kasihan sekali, ibuku...." Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan
iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.
Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan
ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena
Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia merasa bangga dan
kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang
selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa,
berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat
ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan teringatlah dia kepada Bong Gan. Pemuda
itu suheng Bi Sian? Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu silat yang lebih
tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu
tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang
membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon.
Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan
amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak
diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa
tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
"Ah, tidak....!" Tiba-tiba dia
bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk
kembali. Ih, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian
seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda tampan.
Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di
hatinya, harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya
seorang bongkok? "Yang tahu dirilah kau!" demikian dia memaki diri
sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.
***
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang
mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang
hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di
dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur
menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk
mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak
tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu
tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan! Sebetulnya, tidak
aneh kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun
selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dla melakukan perjinahan
dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi
yang tidak ketulungan lagi! Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang
selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya
dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi,
apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang
diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan
kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar. Di luar dugaan Bi
Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita.
Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah
isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga
diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya. Wanita yang
dirobohkannya dengan modal ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu
saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran
bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka
tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu
birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena
hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah
rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar berjalan-jalan dan
akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan. Bong
Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia sudah
mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam
rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang
cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia miliki, kejahatan seperti itu mudah
saja dia lakukan.
Tak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam
kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia
keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan.
Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang
tidur. Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur
yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda
yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu
seorang pelacur!
"Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi
Sian?" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya, Song Gan
menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang
menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar
kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian
di rumah pelacuran! Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata
ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu
sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa
dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat
dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan
melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur, dia lalu keluar sambil
berkata dengan suara dirobah.
"Anda salah lihat!"
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia
memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia
berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan.
Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera
mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak beralasan.
Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu
tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di
tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia yang
jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari
nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang
yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat, akhirnya
isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit hati dan setelah
memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh
besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa
gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas
permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya. Karena cintanya
terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia
dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah dipuaskan oleh
isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan
pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Akan tetapi, rasa takutnya akan menerima
pembalasan dari Sie Liong membuat sifat jahatnya timbul dan dia bahkan telah
membikin cacat adik isterinya itu. Setelah Sie Liong melarikan diri, dan juga
puterinya dibawa orang sakti sebagai murid, dalam keadaan kesepian ini,
nafsu-nafsu rendah yang tadinya mulai dapat dikekang, bermunculan kembali dan
menguasai jiwa raga Sun Kok! Maka diapun kembali ke jalan lama membiarkan
nafsunya meraja lela dan setiap hari hanya mengejar kesenangan belaka. Bahkan
muncul pula watak kejamnya sehingga dia tidak segan memukuli isterinya yang
dulu pernah amat disayangnya itu kalau isterinya dianggap menghalangi
kesenangannya!
Segala macam nafsu tidak terpisahkan dari
manusia. Sejak lahir memang kita sudah disertai nafsu-nafsu, karena
sesungguhnya nafsu-nafsu merupakan pendorong bagi kita untuk dapat hidup di
dunia ini. Nafsu adalah kemelekatan kita kepada kebutuhan hidup di dunia,
kebutuhan badan. Kemelekatan pada benda, pada makanan, dan sebagainya. Akan
tetapi, nafsu-nafsu ini setelah merasakan segala macam kesenangan melalui badan
manusia, lalu ingin menguasai manusia, mencengkeram dan memperhamba manusia
sehingga jiwa manusia yang murni terselubung oleh hawa nafsu, menjadi lemah dan
tidak berdaya. Kalau jiwa yang menjadi penghubung antara manusia dengan
Tuhannya itu terselubung, maka Kekuasaan Tuhan yang berada di dalam diri tidak
dapat bekerja dengan sempurna. Maka nafsulah yang berkuasa, dan di dalam setiap
gerak gerik kita, selalu nafsu yang menjadi pengemudinya!
Kalau keadaan kita manusia ini dapat
diumpamakan sebuah kereta, lengkap dengan roda, kerangka, lampu, dan segala
perlengkapan sebuah kereta, maka nafsu-nafsu adalah ibarat kuda-kuda yang
menarik kereta ini! Jiwa kita seharusnya menjadi Sang Kusir, yang mengendalikan
nafsu-nafsu atau kuda-kuda itu agar kereta dapat berjalan dengan baik. Tanpa
adanya kuda-kuda itu, kereta tidak akan dapat berjalan atau bergerak maju. Akan
tetapi kalau Sang Kusir tidak mampu menguasai kuda-kuda itu, dan sebaliknya
kuda-kuda itu yang menguasai kereta, maka tentu kuda-kuda itu menjadi liar dan
akan kabur, mungkin saja membawa seluruh kereta berikut Sang Kusir terjun ke
dalam jurang! Demikian pula dengan nafsu. Kalau jiwa tidak tertutup kotoran,
kalau jiwa tetap dekat dengan Tuhan, penuh penyerahan diri, penuh ketawakalan
dan penuh keikhlasan membiarkan diri dibimbing kekuasaan Tuhan, maka jiwa akan
selalu dapat menguasai nafsu-nafsu. Bukan berarti nafsu harus dimatikan,
seperti kuda yang dibutuhkan untuk menarik kereta. Nafsu juga perlu untuk
membuat kita hidup. Kita makan karena ada nafsu, kita berpakaian karena ada
nafsu, kita melihat, mendengar dan mempergunakan panca indera dan dapat
menikmati hidup karena ada nafsu. Nafsu bagaikan api. Kalau dikuasai, dapat
amat bermanfaat bagi hidup, akan tetapi sebaliknya kalau menguasai kita, dapat
membakar segala-galanya! Nafsu adalah seorang hamba yang amat baik, akan tetapi
seorang majikan yang amat jahat!
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya,
hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia
sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, diapun berjalan
pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di
mana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam
yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali,
mendatangkan angin pukulan yang keras. Bagaimanapun juga, Sun Kok adalah
seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup
tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil
menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan
cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main
karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat
melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi
dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
"Sie Liong....!" teriaknya dengan
suara penuh rasa ngeri. Memang sejak dahulu dia takut kepada adik isterinya,
takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya.
Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.
Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok
itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak
membalas dendam dan menyerangnya! Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw
Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang
bongkok itu. Namun, dengan sigapnya, lawannya itu berhasil mengelak dengan amat
mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam dan
biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia
sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Namun, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia
telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Biarpun lawannya
bertangan kosong, namun serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu
menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian,
ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat
lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok
dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang
berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh
terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu
menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw
Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya
berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah
ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Ketika tiba
di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang
mengeluarkan suara keras.
"Siapa itu?" terdengar bentakan
suara wanira dari balik jendela. Bayangan itu tidak menjawab, menyeret mayat
itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun
jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang
laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam
kebun.
"Paman Liong....?" Dia memanggil
akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat
meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan
tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok
tubuh menggeletak di atas tanah. Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan
sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan
dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk
mengenal wajah orang itu.
"A.... ayahhhhh....!" Ia menjerit
dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas
dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka
milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para pengnuni
rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar. "Bi Sian, apa yang
terjadi....?" tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
"Ibu....! Ayah tewas terbunuh
orang....!" Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari mencari-cari
ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang tadi menyeret
tubuh ayahnya, lalu ia mendexati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia
berjongkok den diambilnya benda itu. Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat
dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
"Bi Sian, ada apakah ribut-ribut
itu?" Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke
dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Biarpun
remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
"Paman Liong, apakah engkau tidak
mendengar sesuatu?" tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
"Mendengar apa? Aku hanya mendengar
teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah
yang telah terjadi?"
"Paman Liong, mari kaulihat
sendiri!" katanya sambil menarik lengan pamannya itu. Lengan itu tidak
memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, juga sikap pamannya tenang-tenang saja.
Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya kalau melihat cihu-nya
menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie
Liong sudah mendengar ratap tangis encinya dan melihat cihu-nya menggeletak dengan
pedang masih menancap di dada, dia terkejut bukan main.
"Enci Hong, apa.... apa yang telah
terjadi? Siapa membunuh cihu?" Dia berlutut dan memeriksa. Tak salah lagi.
Cihunya telah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat
adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
"Liong-te.... bagaimanapun juga....
bagaimanapun jahatnya.... aku.... aku mencintanya....!" Wanita itu meratap
dan menangis sejadinya.
Sejak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap
pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan
tetapi, mengapa ia masih meragukan kenyataan itu? Ia melihat dengan matanya
sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi
kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia
temukan di luar kamar Sie Liong pula!
"Engkau pembunuh ayahku!" Tiba-tiba
Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong, tangannya sudah menyambar
sebatang ranting kayu dan kini digenggam di tangannya, telunjuk kirinya
menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. "Apa....?
Apa maksudmu, Bi Sian?" Dia bangkit berdiri.
"Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang
membunuh ayahku!"
"Ehh? Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana
ini? Bagaimana anakmu menuduh aku membunuh suamimu?"
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya
menangis, tidak membantah sedikitpun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong
juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk
membalaskan sakit hati orang tua mereka.
"Liong-te, kenapa engkau begitu kejam
membunuhnya? Bagaimanapun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku.... aku
cinta padanya...."
Mendengar ratap tangis encinya ini, Sie Liong
terbelalak dan merasa bagaikan disambar geledek di hari terang! Akan tetapi, Bi
Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking
panjang dan ia mengeluarkan topeng hitam itu, melemparkannya ke arah muka Sie
Liong yang cepat menangkapnya. Melihat bahwa yang dilemparkan itu sebuah topeng
hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat
di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka,
tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga kali totokan bertubi yang kesemuanya amat
berbahaya!
Tanpa disadarinya, Sie Liong menyimpan topeng
itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir
balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir
balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau
tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu
tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah
lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian.
Kembali Sie Liong menghindar diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi
Sian, dan bahkan encinya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia pembunuh
cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat
keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis
ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu
tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
"Kalian salah sangka....!" katanya
dan ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya,
Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang
Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga sehingga angin tendangan itu
menyambar keras. Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang
dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat
ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
"Pembunuh, hendak lari ke mana kau?"
Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, Sie Liong dapat
bergerak cepat sekali dan dia sudah tidak nampak bayangannya. Setelah mengejar
ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia
menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
"Aku tidak berhasil menyusul pembunuh
keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku akan mencarinya sampai dapat!"
"Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting
sekarang mengurus jenazah ayahmu," kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat
menguasai hatinya yang terguncang.
"Tapi, ibu, yang terpenting adalah
menangkap pembunuh itu!"
"Hem, bagaimanapun juga, dia adalah
pamanmu, adik ibumu."
"Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh
membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah
telah berubah selama ini?"
"Bi Sian....!" Sie Lan Hong menangis
lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul
ibunya.
"Maafkan, ibu. Maafkan aku.... ah,
kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu." Gadis itu lalu mengangkat
jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut
mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam.
Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai
seorang pendekar yang gagah perkasa, walaupun akhir-akhir ini menjadi gila judi
dan suka bermain perempuan dan mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam
kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di
ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani beberapa orang pria tua
tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, tiba-tiba daun
jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar
sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan
berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong
memandang terbelalak kepada adiknya.
"Mau apa.... kau datang? Engkau sudah
membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita....
hu-huh.... sejak dulu, aku yang menderita....!"
"Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak
membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu....!"
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik
napas panjang. "Sudahlah, Liong-te. Akupun tidak menyalahkanmu. Dulu
akupun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau
membunuhnya...."
"Enci.... apa.... apa maksudmu?" Sie
Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
"Engkau tentu telah menduganya, maka
engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, kuceritakan
segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu
kita, membunuh suheng Kim Cu An, dan dua orang pelayan keluarga kita dan semua
binatang peliharaan kita."
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di
dalam hati Sie Liong yang selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin
encinya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
"Tapi.... tapi mengapa, enci?"
"Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan
Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang
perampok. Isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia
lalu memperdalan ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi
keluarga ayah kita."
"Tapi.... tapi, mengapa enci dan aku
sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya....?"
"Itulah selalu aku yang menderita. Dia
tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku
tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru
berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima
permintaannya. Aku menjadi isterinya dan engkau tidak dibunuhnya. Dan ternyata
dia amat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku.... aku....
anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku
sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...." Sie Lan Hong tidak dapat
menahan tangisnya lagi. Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa
kasihan sekali kepada encinya.
"Akan tetapi, aku tidak membunuhnya,
enci."
"Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku
sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau
membunuhnya dan...."
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka
dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak dan tangannya
memegang sebatang pedang yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh
ayahnya!
"Pembunuh keparat, berani engkau ke
sini?" bentaknya dan secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu.
Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga
terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur. Namun,
dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai.
Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi
tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
"Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak
membunuh ayahmu!" kata Sie Liong sebelum dia meloncat ke luar dan
melenyapkan diri,
"Jahanam, jangan lari!" Bi Sian
hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah menubruknya dan memegangi lengannya
sambil menangis.
"Jangan, anakku. Jangan kejar dia....!
Biarkan dia pergi....!" tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas
panjang. "Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu
sendiri, walaupun pembunuh itu adik kandung ibu...." Ia melepaskan diri,
akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan
bersungut-sungut iapun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan.
Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana ia tega untuk
merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya? Tidak, ia
tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar
gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia
tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita!
Seperti dulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini ia
bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai
menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang
melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk
berkunjung kepada sumoinya. Tentu saja dia terkejut bukan main melihat peti
mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan
mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
"Sumoi! Apa yang terjadi! Siapa yang
meninggal dunia....?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
"Yang meninggal dunia adalah ayahku,
suheng...."
"Ahh....!" Pemuda itu terbelalak
memandang ke arah peti mati. "Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar
bugar....!"
"Malam tadi.... dia meninggal...."
Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda
itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat. Melihat Ini, Bong Gan
lalu menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada
jenazah dalam peti. Kemudian dia menghampiri lagi sumoinya.
"Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Sakit
apakah?"
"Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara
denganmu."
Bong Gan mengikuti sumoinya menuju ke ruangan
dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suhengnya duduk.
"Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....."
"Hah....??" Bong Gan meloncat
bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. "Dibunuh orang?
Bagaimana.... siapa....?"
"Pembunuhnya adalah.... pamanku, adik ibu
sendiri...."
"Ahh! Pemuda berpunggung.... bongkok
bernama Sie Liong itu....?"
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang.
"Benar, dialah yang membunuh ayahku."
"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan
menyeretnya ke depanmu, sumoi!" Bong Gan berseru sambil mengepal tinju,
matanya terbelalak penuh kemarahan.
"Semalam aku sudah menyerang dan
mengejarnya, namun tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng.
Agaknya dia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek
Pek-sim Sian-su yang menurut suhu memiliki kesaktian yang amat hebat. Karena
itu, aku akan pergi mencarinya, suheng dan harap engkau suka membantuku. Kalau
kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan."
"Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta
sekalipun, aku memang akan mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!"
"Terima kasih, suheng. Hanya engkau
seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang
juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!"
"Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai
selesai pemakaman ayahmu?"
"Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi
terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihat, ini buntalan sebagai bekal
perjalanan sudah kusiapkan. Mari, kita berangkat sekarang juga!"
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu
demikian mendadak, walaupun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua
lagi dengan sumoinya, berdua melakukan perjalanan!
"Kau.... aku tidak berpamit kepada
ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah
duka. "Tidak, ibu melindungi adiknya, lebih baik aku tidak menemuinya
sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!" Berkata
demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu
dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang
berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya
lenyap bersama suhengnya, pergi tanpa pamit, iapun jatuh pingsan. Tidak kuat ia
menahan pukulan batin yang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan
hati nyonya ini adalah karena ia dapat menduga ke mana perginya puterinya itu.
Tentu ia hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam! Maka iapun
merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab
yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau ia sudah menceritakan,
tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh
ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahatnya!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan
Hong hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal
seadanya, dan setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan mohon kepada Tuhan
Yang Maha Kasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya
jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini terjadi habislah hidupnya. Ia
tidak akan berani melanjutkan lagi kehidupannya penuh dengan penyesalan kalau
sampai puterinya membunuh Sie Liong. Ia tidak khawatir kalau puterinya akan
terbunuh oleh Sie Liong. Ia sudah mengenal benar watak adiknya yang bongkok
itu. Sampai bagaimanapun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini
ia yakin sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan
menyayang Bi Sian.
***
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh
empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar sekali. Wajahnya
yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan. Matanya jeli dan
kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya dapat menarik hati pria seperti besi
semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu
pandai bergerak-gerak penuh tantangan. Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar,
dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, tidak begitu disembunyikan
karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh
itu. Dadanya padat, pinggangnya kecil, pinggulnya besar, langkahnya seperti
seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan leher nampak ditumbuhi bulu
lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang
mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota
Ho-tan, semua mata pria yang melihatnya, memandang dengan melotot. Bahkan ada
yang matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik
turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar, ada yang lidahnya
terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan
melihat tikus yang montok. Pendeknya, jarang ada pria yang melewatkan
penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang
berwatak ceriwis dan nakal, tersenyum menyeringai, ada pula yang berdehem, ada
yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah
itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat
menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan
luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya
dijadikan tontonan ypng mengasikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya,
dan ia tidak marah, bahkan bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian
dan pujian. Maka ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan,
pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti
batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut
namun tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah
senyum. Manis sekali!
Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan
wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan,
kiranya tidak mungkin karena melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia
seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita
bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik
kereta? Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau ia lebih lama berada di
kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya
dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik ia dibiarkan sendirian saja di tempat
ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di
hutan tanpa ada yang melindungi, seperti setangkai buah yang segar dan matang,
tentu takkan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria tua muda yang
diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk.
Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu menuju
ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak
digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena
dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman!
Hampir tidak ada orang berani memasuki, apalagi memasuki kuil, bahkan masuk ke
halamannyapun jarang ada yang berani, setelah hari mulai gelap. Banyak orang
mengabarkan bahwa kalau malam gelap, seringkali terdengar suara-suara aneh dari
tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu
melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah
banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, lalu membalikkan
tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian masih bertahan, diliputi
keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang
menyeramkan itu? Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk
ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan
lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, sudah pasti siluman yang mereka
bayangi itu! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat
merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan
terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria
itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang
bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil tentu dia
akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba
saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah
dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil. Dari atas, dalam
cuaca yang sudah mulai gelap, ia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya,
satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting,
kembali ke tengah kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan
itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin
bahwa tidak ada seorangpun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
"Hi-hik," ia tertawa lirih dan
berbisik-bisik, "biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku
siluman.... hi-hik, siluman aseli....!" Ia lalu melangkah masuk ke dalam
ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian
yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka
pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan
melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah
kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam
kuil tua yang kotor itu! Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan
yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang
diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah muda, dengan
kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang
disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal. Dan
di kamar itu terdapat pula lima buah kursi dan sebuah meja dan di atas meja itu
terdapat guci arak dan cawan lengkap, juga roti kering, manis-manisan,
buah-buahan dan makanan-makanan kering! Sebuah kamar yang menyenangkan. Dan
yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah tiga orang pemuda yang
usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya
mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan
tubuh yang sehat dan mulus, mereka menyambut kedatangan wanita itu dengan
uluran tangan penuh gairah berahi, dan dengan pandang mata penuh kasih sayang
dan senyum memikat!
Ketika wanita itu mendekati pembaringan, tiga
orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, ciuman-ciuman mesra dan
belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi
penyambutan mesra tiga orang pria muda itu, ia tertawa cekikikan lalu
melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di
atas pembaringan. Ketiganya sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya.
Akan tetapi setelah bermain-main dengan mereka, berenang di dalam lautan
kemesraan sampai lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia
telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan
tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek Lan! Tujuh tahun yang
lalu, ketika ia berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari
Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika
itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota
Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah
panari dan nafsu berahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani
seorang suami yang usianya sudah setengah abad. Maka, melihat betapa putera
angkat hartawan itu, biarpun baru berusia tiga belas tahun namun sudah cukup
besar, ia merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah
hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat
Pek Lan menjadi selir terkasih, melihat hubungan itu dan mereka melaporkan
kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari
rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan
Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan
hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan
pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam
perbuatan buruk atau kemaksiatan apapun! Maka bagi Pek Lan, tidak ada perbuatan
jahat yang dipantangnya dan ia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang
wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu berahinya semakin menjadi-jadi! Untuk
memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa
untuk melayaninya sampai ia merasa puas dan kalau ia sudah merasa bosan, pria
itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan
tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subonya. Subonya memiliki sebuah
rumah yang mewah di tepi telaga Go-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya.
Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak
Ong di kota Ho-tan, dan selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka
kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta
mereka. Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlumba untuk menyerahkan
sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai
datuk mereka. Dan selain itu, amat mudah bagi Pek Lan yang sudah memiliki ilmu
kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para
hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa
dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan
yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh
karena itu, ia berpamit dari subonya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk
membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut
bunga-bunganya! Dan ketika ia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang
pemuda yang dijumpainya dalam perjalaran. Tiga orang pemuda yang tampan, muda
dan jantan. Perhatiannya segera tercurah kepada mereka, dan untuk sementara itu
melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu. Tidak
sukar baginya untuk menjatuhkan hati mereka, dengan kecantikannya dan
kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di
mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam
ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia
merasa agak bosan. Dan setelah bosan, baru ia teringat kembali akan maksudnya
semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah
tergila-gila kepada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang
semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang
kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
"Sudahlah, aku malam ini tidak dapat
main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum
yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau
besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus bersiap-siap untuk
kita bertanding lagi...." Ia tertawa cekikikan seperti siluman dan tiga
orang pemuda itupun tertawa gembira. Mereka tidak perduli apakah Pek Lan
seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas,
wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang
selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau
dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri
lagi dari tangan-tangan mereka, lalu sekali berkelebat iapun sudah lenyap dari
dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum.
Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram,
menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam
mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan
yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangan telah berada di
atas genteng rumah gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu
berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat
luas itu. Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman, ia berhenti dan
memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini, tidak banyak
perubahan nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat
dikenalnya. Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang
menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping
tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang
kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara ia membalas dendam, dan kini ia
tersenyum sendiri. Senyum itu membuka sepasang bibirnya yang merah basah, dan
memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan
tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong dan wajah yang cantik
itu seperti wajah seorang siluman tulen!
Ia masih ingat di mana adanya kamar-kamar dari
para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela
sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam. Ia membuka
kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya,
yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling. Ia
mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak
melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
"Apa.... siapa kau....?" tanyanya
gagap.
Pek Lan tersenyum manis. "Benarkah engkau
sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu...."
"Pek Lan....! Kau.... Pek Lan....?"
selir itu berseru kaget akan tetapi pada saat itu, Pek Lan menggerakkan
tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu mengeluarkan suara.
Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan
membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan
kembali. Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan
mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri,
mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau
rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak
dipergunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Namun, dengan mudah Pek Lan
mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok
itu dan melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan. Selir itu hanya dapat
terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi ia
ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia
biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok
Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh
Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang
menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan
berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan
tetapi ia tidak perduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu
agar jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir
ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah
kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para
pelayan. Iapun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang
dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga
bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tidak perduli, dan seperti yang
dilakukan kepada para selir tadi, iapun dengan mudah, seperti setan saja,
memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke
pondok di taman bunga. Isteri seorang di antara tiga pelayan pria itupun
ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik maupun berteriak. Pek Lan
melempar-lemparkan tiga orang pelayan prla itu ke atas pembaringan di dalam
tiga buah kamar. Mereka itu tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat
berterak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan
merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua
menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu
dalam keadaan tanpa pakaian bertumpang tindih di atas pembaringan, Pek Lan
tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak
amat menyeramkan, menyeringai sepertl iblis betina. Matanya mencorong dan
giginya berkilauan. Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan
membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu membuat gaduh.
Sebentar saja, semua penghuni rumah gedung
hartawan Coa menjadi gempar mendanger kentongan bertalu-talu dari belakang itu.
Mereka cepat memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman
itu.
"Pondok Merah kebakaran!" demikian
teriakan mereka dan semua orang lalu berusaha memadankan api yang membakar
bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di
dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak
mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh
Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa
yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan
dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali! Tentu saja keadaan menjadi
semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tak
tahu malu sekali telah mengadakan perjinaan dengan tiga orang pelayan pria dan
agaknya mereka demikian asyiknya sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang
menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu
bergerak, hanya memandang dengan ketakutan. Coa-wangwe tentu saja menganggap
mereka itu pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan. Dia tidak
perduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari
pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat itu mereka diberi hukuman
masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali
cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai
pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya membawa pakaian mereka
saja, bahkan selir yang sudah mempunyai anak, tidak diperbolehkan membawa
anaknya.
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan
hanya karena selir-selirnya menyeleweng dengan para pelayan, melainkan karena
nama baiknya tercemar dan seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar
peristiwa yang amat memalukan itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak
memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya karena dia ingin mengaso
dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi ketika dia memasuki kamarnya yang
besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik
hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas
pembaringannya itu telah rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik
manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka.
Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang
menantang!
"Kau.... kau.... Pek Lan?"
Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut. Biarpun wanita itu tidak semuda
dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih
menarik daripada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh
belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya
itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis! "Aih,
Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!"
"Tentu saja aku masih ingat!"
Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. "Siang
melam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu,
sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku
kepadamu...."
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan
tetapi wanita itu mengelak. "Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta
kepadaku, kenapa tangkau mengusir aku? Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang
kurang ajar! Aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu,
terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu?
Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang?
Merekalah yang berjina, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga
dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!"
Hartawan Coa menghela napas panjang.
"Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan
kuusir. Dan engkau, Pek Lan.... engkau begini cantik jelita.... aih, kulitmu
begitu mulus, engkau lebih cantik manis daripada dahulu. Engkau kembali,
sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, akan kuangkat menjadi
isteri yang sah!" Kembali hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan
dan tangan hartawan itu menyentuh lengannya yang berkulit lembut dan hangat,
hartawan itu segera dirangsang nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia hendak
merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur. Melihat wanita itu berdiri
di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu demikian padat,
menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
"Pek Lan....!"
"Cukup! Turunlah dan jangan merengek
seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki
macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!"
"Pek Lan....!"
"Dengar! Aku datang untuk menagih hutang!
Engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal. Padahal, aku telah menyerahkan
diri kepadamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang
permainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang, engkau harus membayar untuk itu
semua! Aku akan mengambil semua hartamu yang kausimpan di dalam almari tebal
ini!" Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari
hitam yang berdiri di sudut. Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi
terkejut dan lenyaplah sudah nafsu berahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
"Pek Lan, apa yang kaulakukan itu?"
bentaknya marah. Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu.
Diapun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tgngan untuk
menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya
tersimpan.
"Plakk! Dukk!" Dan hartawan Coa
terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang
ditendang menjadi mulas.
"Aku datang hanya untuk mengambil
hartamu, bukan mengambil nyawamu!" kata Pek Lan. "Akan tetapi kalau
aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!"
Kini hartawan itu ketakutan dan dia lari ke
arah pintu kamar. Pek Lan tidak memperdulikan dan ia sudah membuka almari tebal
itu dengan mudah walaupun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa
almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah
emas murni yang berkilauan.
"Tolong....! Perampok....,
pembunuh....!" Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit.
Pek Lan tidak perduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke
dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul,
tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari
luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di
ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe. Di dalam
kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada
perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam
sebuah kantung.
"Maaf, loya, di mana perampoknya?"
"Mana ada pembunuh?"
Coo-wangwe menuding ke arah Pek Lan. "Ia
itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia telah
memukulku!" Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi
bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di antara mereka yang
paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan. "Bukankah.... bukankah
engkau nona Pek Lan....?"
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan
barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum manis. "Hemm,
engkau masih mengenalku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!"
Coa-wangwe menjadi marah. "Untuk apa
bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu kaki
tangannya!"
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan
mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
"Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau
menyerah saja dan tidak melawan sehingga tidak perlu kami mempergunakan
kekerasan," kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang
kalau harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik
manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biarpun almari itu
masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah
berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong dan dengan kain sutera yang
sudah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, lalu ia
menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
"Majulah dan turuti majikan kalian kalau
kalian ingin merasakan kematian!"
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut.
Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dahulunya adalah
selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit
halus mulus seperti itu, tentu saja tidak menakutkan! Empat orang penjaga tidak
sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul
wanita cantik itu, maka merekapun menyerbu dan seperti hendak berebut dulu
menerkam Pek Lan. Wanita ini tersenyum, tubuhnya berkelebat, kaki tangannya
bergerak dan lima orang penjaga itupun terjengkang! Entah apa yang dilakukan,
tidak dapat dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek
Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasa dada atau perut mereka terpukul atau
tertendang, keras sekali, membuat mereka terjengkang. Coa-wangwe dan para selir
dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima
orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
"Tangkap ia! Bunuh!" Coa-wangwe
memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia
merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek
Lan. Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Dalam segebrakan mereka telah
dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata
golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari
depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. "Kalau
kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!"
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah
terlalu marah dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu
saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, walaupun
mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan
nyaring, merekapun menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan
lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan
berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di
antara gulungan sinar golok. Anehnya, tak pernah ada golok yang mampu
menyentuhnya. Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan diapun
roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan!
Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan
serangan mereka. Akan tetapi, Pek Lan menggerakkan goloknya, dengan gerakan
memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang
lawannya dan terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh
berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai. Pek
Lan memandang kepada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya dengan
tendangan dan dirampas goloknya dan iapun tersenyum.
"Aku sudah berjanji tidak akan
membunuhmu!" katanya, akan tetapi goloknya bergerak dan orang itupun
menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi,
betapapun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan
pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus
terdengar membentak di belakangnya.
"Engkau hendak mencelakai aku, maka patut
dihukum!" Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil
memegangi kepala dengan kedua tangan.
Dua buah daun telinganya telah buntung
terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar,
menghilang dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar
dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah
mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa. Bukan hanya orang
suka sekali membicarakan malapetaka yang menimpa keluarga Coa, juga
membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, dan yang
paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi
seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga
berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah
ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil
tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas
pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka
retak seperti telah dipukul dengan benda keras. Tak seorangpun menduga bahwa
mereka ini, tiga orang pemuda tampan, juga tewas di tangan Pek Lan, dan tangan
lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang
amat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap
akan dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis
betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo,
guru Pek Lan di waktu masih muda. Biarpun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang
wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia
masih kalah sedikit. Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan
perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki
kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk
menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya.
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani
yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bakerja keras di sawah ladang, maka
wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat, pinggangnya ramping
pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biarpun kulit kaki tangan, leher dan mukanya
agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu
tetap halus mulus. Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak
lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda,
paling banyak dua puluh lina tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput
dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan caugkul atau
kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh
merupakan penglihatan yang mengagumkan. Wanita itu kadang-kadang membungkuk,
dan kedua tangannya bergerak dengan cekatan, bantuk tubuhnya indah ketika
membungkuk dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput keluar
ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke
tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut
nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar
matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan
asyik sehingga iapun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya
berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama
orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang
mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat
sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona
menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani,
melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatarbelakangi bentuk tubuh wanita
itu, Sie Liong sadar bahwa amat tidak sopan kalau memandangi seorang wanita
seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indah sehingga seolah-olah
menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu. Latar belakang ladang
itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luasnya,
juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya di kejauhan nampak beberapa
orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang
dilakukan wanita itu. Hawa udara amat segar, matahari amat cerah, dan duduk di
bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di
bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah
dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada
encinya, pertemuannya dengan encinya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian.
Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh
orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali
tidak melakukan perbuatan itu! Bahkan encinya sendiripun menyangka dia yang
menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya
itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suhengnya dan seorang pelayan,
juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu
mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiripun tentu
telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada encinya, Sie Lan Hong.
"Enci Hong, sungguh kasihan
engkau...." Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hatinya. Dia dapat
membayangkan betapa sengsara keadaan encinya ketika pembunuhan atas keluarga
mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu
masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka encinya itu telah mengorbankan
dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi
menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, encinya itu bahkan menjadi isteri
pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan diapun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh kalau encinya menuduh dia yang
telah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang
yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apalagi di sana ada Bi Sian yang
dengan sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam
pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudidn topeng itu
ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang membunuh Yauw
Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya, untuk
menjatuhkan fitnah kepadanya? Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota
Sung-jan, kecuali.... cihunya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak
melakukan penyelidikan untuk dapat membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk
membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia
menemui encinya, Sie Lan Hong, encinya itu membuka rahasia yang selama itu
dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang telah membunuh ayah dan
ibunya. Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya
sejahat itu, diapun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya.
Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan diapun
tahu bahwa Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak
cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya
mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Dia cinta
Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri!
Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan
inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka
diapun melarikann diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya
membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang
di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian
menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira. Dia harus pergi jauh. Dia
akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan
penyelidikan tentang Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama
dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang
melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya,
juga Pek-sim Sian-su, supek dan gurunya yang juga menjadi gurunya sendiri. Dia
harus dapat menunaikan kewajiban ini dengan berhasil, mampu menjernihkan
suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi
para tosu di Himalaya. Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar,
bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan
tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu
tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya
dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok
yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia,
hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu,
pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah
bersuami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya?
Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan
akan terasa ringan. Ah, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya! Sie Liong
meraza heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa
kebahagiaan sebenarnya berada dalam diri apa saja, setiap orang dapat menikmati
kebahagiaan hidupnya apabila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan
hal-hal lain. Apabila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang
Maha Kasih, apabila dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan naspak
bahwa hidup ini sesungguhnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang
tak terlukiskan besarnya. Babkan bernapaspun mendatangkan kenikmatan dan
kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain. Duduk melamun di
bawah pohon itupun mengandung kenikmatan tersendiri!
"Ya Tuhan, terima kasih atas segala
rahmat-Mu...." Sie Liong berbisik dan wajahnya kini cerah sekali, senyum
menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan encinya, Bi
Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia lupa akan bongkoknya! Semua
begitu indah kalau pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang
dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan "aku".
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik
kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh
orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani, dan melihat
sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas bukan
petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan
melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka. Jelas bahwa mereka
itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada
orang-orang kang-ouw tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari
luar?
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat
beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan
sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri
begitu melihat tujuh orang laki-laki itu. Kecuali wanita yang tadi
membangkitkan kekaguman hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan
membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tidak melihat kedatangan tujuh orang
laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi dia masih
duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, dia memang agak terserabunyi
oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun, dia
memandang penuh perhatian. Kini, tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang
yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang
laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu
masih bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak
menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya
yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati
pandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang
mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh
itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!"
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu
itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan
mengotori paknian wanita itu yang agaknya baru sadar dan iapun cepat meluruskan
tubuh, membalikkan kepala memandang. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga
ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang
ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini
terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata
seekor kelinci kalau ditangkapnya. Liar ketakutan!
"Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali, dan
perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!" Si brewok itu dengan
langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan
tangan ke arah wanita itu.
"Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki
tanganmu. Mari engkau ikut dengan kami, ha-ha-ha!"
Wanita itu agaknya, seperti para petani
lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh
menggigil dan muka pucat ia hanya menggeleng kepala tanda ia tidak mau, akan
tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
"Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti
kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku
tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah,
senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!"
Enam orang lainnya yang menunggu di tepi jalan ikut pula tertawa. Mereka semua
senang melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri
menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak sudi memenuhi
permintaan si brewok itu.
Si brewok kini membelalakkan matanya
lebar-lebar. "Apa? Engkau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng
(Tujuh Garuda Bercakar Besi)?" Dia memukulkan kepalan kanannya pada
telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. "Apa engkau sudah
bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari
tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati daripada melayani kami
dangan manis?"
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba
kakinya yang menggigil tidak manpu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di
atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
"Ampunkan saya.... saya sudah
bersuami...., ampunkan saya...."
"Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau
sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke sinilah!" Si
brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
"Tidak.... tidak.... tidak!" Wanita
itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau
turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan
anak buahnya. "Turun dan seret ia ke mari!"
Seorang di antara mereka, yang termuda,
berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain antara empat
puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang ini mukanya
kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit
dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang menghampiri
wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang
itu. Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah
ladang. Tubuhnya kuat sekali dan ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat
berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang
kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia
berjalan di dalam lumpur, apalagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani
itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu!
Kawan-kawannya menjadi gembira dan merekapun mengepung ladang itu, menghadang
wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya
pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun
lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh
orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu
memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus
sebelum menerkan dan mengganyangnya. Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie
Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu
menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu
merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya
sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya
itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
"Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh,
lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah saya...."
"Enci yang baik, tenanglah dan duduklah
di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka." kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah
pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang
laki-laki yang duduk barsila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si
wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah
dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
"Heiii, siapa engkau?"
Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak
ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. "Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa
kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian ini tujuh orang
laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah
kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh
seperti binatang itu!" Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan
mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan
melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda
biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh,
aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai
tertawa-tawa.
"Heh-heh, apakah engkau seorang
pendekar?" tanya si brewok untuk mengejek.
"Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar
Bongkok! Ha-ha-ha!"
"Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal
punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!"
Si brewok melangkah maju selangkah. "Hei,
Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andaikata engkau
tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw
Jit-eng!"
Sie Liong tersenyum. "Tujuh Garuda Cakar
Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli."
"Wah, pemuda bongkok ini memang sudah
bosan hidup!" kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya
yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil. Si mata sipit
hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu
menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang
jagoan aseli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan
yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya
dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka
yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
"Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini
masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani
menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan
itu?" tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi
karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk
kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah
lucu.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa
marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. "Enci ini adalah kerabat
yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan
bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis
yang patut ditentang!"
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya
dan membentak marah.
"Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar,
aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!" Setelah berkata
demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan
berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan
cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie
Liong mengandung tenaga yang terlatih.
"Wuuuuuttt....!" Tonjokan dengan
tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda
bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan
tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah
kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia
menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan
dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya
sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar
ke arah pipi kirinya sendiri.
"Desss...! Aughhhh....!" Beberapa
buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah
karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah
mukanya sendiri!
"Auhh.... auhh.... auhhh....!" Dia
mengerang kesakitan, tidak mampu berkata "aduh" karena mulutnya
terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan sibuknya
memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung
buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara
tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga
besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang
mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini. Agaknya dia masih terlalu
mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan
kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia
menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena
kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa
terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin
mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
"Heii, bocah ingusan! Lekas engkau
berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu!
Cepat....!" Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
"Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia
tidak seburuk engkau." kata Sie Liong dengan sikap tenang.
"Kalau begitu, aku akan memaksamu
berlutut!" bentak si raksasa muka hitan dan diapun sudah menyerang dengan
kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Ketika pemuda
ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke
arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan
benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main. Namun,
tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat
melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk
mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia
merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke
arah lutut kanan itu.
"Tukkk!" Seketika kaki yang besar
itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh
berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie
Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
"Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau
berlutut memberi hormat!"
Tentu saja ucapannya ini membuat raksas muka
hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali
terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya
menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar
seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut
senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong
telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu
menangis ketakutan.
"Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh
dia yang tidak berdosa...." ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa,
"Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami
lepaskan bocah bongkok ini?"
"Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku,
akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."
"Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu
membunuhku atau membunuhmu!" kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya
terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah
seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan
kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan
diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah
menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka
menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi
bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka.
Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan
senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu. Akan tetapi, tiba-tiba
bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas,
bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak,
empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang
penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk
bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan
tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang merasa jerih.
Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja
melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat
mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk! Si brewok,
pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu
bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya.
Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap
pundaknya. Tekanan tangan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok
menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram
pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja,
panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku
kalah!”
“Hemm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah
darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian
suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!”
“Ampun, taihiap,.... saya bertobat....!”
“Hemm, siapa percaya omongan orang jahat
macam engkau?”
“Saya bersumpah takkan melakukan kejahatan
lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti dahulu, yaitu memburu
binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik
penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan....”
“Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke
jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan
teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada
artinya.” Dia lalu menggertak, “Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa
dengan memberi pukulan mematikan?”
Kini dia melepaskan cengkeramannya dan
seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar
muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
“Taihiap, kami bersumpah dan inilah
buktinya!” Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka sepatu kirinya
dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras
dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut, akan
tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!
“Hayo kalian buntungi jari kaki kiri
masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan membuntunginya
sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan
memburu binatang seperti dulu lagi!”
Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan
mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap Pendekar Bongkok, demikian
mereka menyebut Sie Liong, maka merekapun mengambil senjata masing-masing yang
tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini,
wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi
seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan
obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki. Seketika, tujuh orang itu
merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itupun
cepat menjadi kering. Mereka menjadi semakin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok
ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan. Hal ini
sebetulnya tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara
orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Sian-su, seorang
sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
“Ingat akan sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong
ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk pergi. “Kalau kelak kalian
tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti
akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang
harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan semangat para penduduk
dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun
itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap
mereka!”
Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa
ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi
juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka
tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh
mereka yang mendendam kepada mereka. Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela
adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa
sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi daripada melakukan
perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok,
menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan
tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang
itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan
senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di
atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.
“Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi
mereka, enci....” katanya.
Wanita iru mengangkat muka, memandang
kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut
wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar, akhirnya, ia
mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher
Sie Liong sambil menangis! Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi
mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus
bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu
merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
“Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat
sekarang,” hiburnya.
Wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan
terdengar bisikan dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu lirih. “Adik
yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan
diriku.... terima kasih, taihiap, terima kasih....” Suaranya mengandung isak
dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan
membayangkan betapa akan ngerinya kalau ia sampai terjatuh ke tangan tujuh
orang itu.
“Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku
melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah
rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.”
Mendengar ini, wanita itu melepaskan
rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan
benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk
dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat pertanian
yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia
tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat betapa dia dan
wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak
itu, Sie Liong lalu bangkit dan memuguti potongan jari-jari kaki itu, dan
mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita dusun itu
bergidik.
“Taihiap, untuk apakah kau....
mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”
“Aku akan menguburnya, enci.” kata Sie Liong
sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu
tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang
memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.
“Kui Hwa, apa yang telah terjadi?” tanyanya,
suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri
laki-laki itu. “Aku.... aku hampir saja celaka....!” serunya sambil menangis
dan ia handak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan
tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
“Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu
malu!”
Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu
terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya
ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
“Apa.... apa maksudmu....?” tanyanya dangan
heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat betapa orang-orang lain, para
pria di dusunnya, para tetangganya memandang kepadanya dangan sinar mata
mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!
“Maksudku kautanyakan! Maksudmulah yang ingin
sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi di sini?” Suaminya itu dangan berang
melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari
kaki tadi dan kini berdiri di situ dangan muka ditundukkan, potongan jari-jari
kaki tadi berada dalam buntalan kain saputangan.
“Suamiku, apakah engkau tidak mendangar dari
para tetangga kita tadi? Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!” kata si
isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.
“Tentu saja kami semua mendangar. Lalu di mana
mereka dan apa yang telah terjadi di sini?” kembali dia menoleh ke arah Sie
Liong dangan wajah merah saking marahnya.
“Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini,
mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh taihiap ini!”
kata si isteri dangan suara gembira dan bangga.
“Bohong!” Tiba-tiba sang suami membentak dan
isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong mengangkat mukanya,
memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia
bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu
bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja,
agaknya membenarkan sikap suami itu.
“Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong?
Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah menyelamatkan aku dari
gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk
meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dangan membuntungi
jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku, pendekar muda ini
sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya....”
“Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami
semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kautipu dengan kata-katamu
itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan dia....”
“Diam....!” Kui Hwa yang lemah lembut itu kini
membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor betina
membela anaknya. “Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar
ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun dan kalian berani
menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”
“Phuhh!” Suami itu meludah. “Mataku belum
buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!”
“Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan
memang kalian bodoh! Aku memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan
menghaturkan terima kasih, dan dia menghiburku, sama sekali kami tidak
berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan
tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka taluk dan bertobat, bahkan
mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian....”
“Sudah! Siapa percaya obrolanmu? Engkau memang
perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta bahkan pemimpin perampok! Dan
engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!”
Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat
tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak
disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang menjadi seperti
gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, diapun
diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam
kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala yang
dipukul itu.
“Krakkk!” Tongkat kayu itu patah-patah ketika
bertemu dangan kepala Sie Liong.
“Ahh....!” Suami wanita dusun itu terbelalak
dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal sepotong pendek di
tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah menjadi tiga potong!
Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka memandang kepada
suami itu dangan sinar mata mencorong. “Hemm, engkau memang orang bodoh,
keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut
menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan berani
mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi
suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!” katanya dan
diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita
dusun sambil memberi hormat.
“Enci, maafkan kalau aku hanya membikin engkau
menjadi ribut dangan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan
menyadarkan suamimu ini!” Dan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan
mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itupun terkejut dan dia menjadi ketakutan.
“Apakah dia.... dia itu tadi.... setan....?” tanyanya kepada isterinya.
Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya
bergerak manampar. “Plakkk!” pipi suami itu telah ditamparnya!
“Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta!
Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu setan? Engkau inilah
yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira
bahwa aku telah berjina dangan dia karena kalian melihat dari jauh betapa kami
saling berangkulan? Ohhhh, memang kalian ini orang-orang bodoh! Dangar
baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka
datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu
mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor
dan hina! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon.
Tadinya aku tidak tahu bahwa dia pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan
setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon tolong. Siapa saja akan kumintai
tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia
mengalahkan semua penjahat, memaksa mereka itu bertobat, dan mereka
membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak
percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan
engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang
dipatahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!”
Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. “Nah, makanlah ini!” Wanita
itu lalu melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka
ikatannya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong,
berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami tentu saja bergidik ngeri juga para
penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki
yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil
menangis.
Barulah suami itu merasa menyesal dan percaya
sepenuhnya akan keterangan isterinya. Kini dia dapat membayangkan betapa
takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji itu,
tanpa ada orang yang dapat menolongnya. Kemudian muncul pendekar bongkok itu
yang mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamatkan isterinya
itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam
keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan
manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu? Juga pendekar itu bukan
golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita, dan isterinya tak mungkin
tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seporti itu!
“Kui Hwa, tunggulah....!” Dia barteriak
berlari-lari mengejar isterinya, di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu
kini penuh dangan harapan agar isterinya suka memaafkannya. Sementara itu, para
penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan
menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang
selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah itu, kini telah
bertobat dan berarti meraka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang amat
jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang takkan pernah
mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir
mereka sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai terkenal.
Sie Liong melarikan diri meninggalkan ladang
dusun itu dangan senyum pahit di bibirnya. Dia memang sudah memaklumi
banar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya seperti apa
adanya. Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan
yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi
memperhatinkan keadaan tubuhnya yang telah menjadi pemberian Tuhan dan yang
diterimanya dangan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau
terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimanapun juga hatinya
terasa seperti ditusuk. Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu,
bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang berarti juga menghindarkan dusun
dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak minta
imbalan apapun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah,
didakwa berjina dengan wanita petani itu! Sungguh menyakitkan hati memang.
Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang menimbulkan
kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk dan membuat dia
condong nampak sebagai orang yang jahat!
“Biarlah,” dia mengeluarkan kata-kata ini
melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras
dan panas. “Biarlah mereka mengatakan apapun juga! Yang penting, aku yakin
benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan
melihat dan Tuhan yang takkan dapat ditipu oleh kebongkokan tubuhku!” Pikiran
ini diucapkannya keras-keras dan akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak
kembali.
Si-aku adalah hasil dari akal pikiran dan rasa
perasaan bahwa “aku ada”, bahwa di dalam jasmani ini yang meliputi juga akal
pikiran dan perasaan, terdapat “sesuatu” yang membuat jasmani ini hidup.
Namun, karena rasa diri ada ini dinyatakan melalui perasaan hati dan akal
pikiran, maka rasa diri ini terbungkus oleh nafsu. Perasaan hati dan akal
pikiran tidak pernah dapat terpisah dari pengaruh daya-daya rendah, yaitu
keduniawian yang timbul dari kebendaan yang kita butuhkan dalam kehidupan,
makanan dan hubungan antar manusia. Daya-daya rendah inilah yang menyerap ke
dalam perasaan hati dan akal pikiran sehingga perasaan diri ada atau si-aku
inipun mengandung nafsu-nafsu. Oleh karena itu, sesuai dangan sifatnya, nafsu
yang sudah memperhamba si-aku tadi, membuat si-aku selalu ingin enak sendiri,
ingin menang sendiri, ingin bahagia sendiri, ingin benar sendiri. Pendeknya,
segala sesuatu di dunia ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, oleh si-aku
yang penuh nafsu diharapkan untuk kepentingan dirinya.
Betapapun pandainya manusia berusaha, dengan
segala reka usaha dan ikhtiar untuk melepaskan cengkeraman daya-daya rendah
yang membentuk nafsu, nanun jarang sekali ada yang berhasil. Sebagian besar
menemui kegagalan dan mendapatkan bahwa semua usaha itu akhirnya hanya membawa
dirinya ke dalam alam kekosongan belaka. Hal ini adalah karena usaha dan
ikhtiar itupun merupakan pekerjaan akal pikiran belaka, dan karenanya
diboncengi pula oleh daya-daya rendah itu! Jadi, tidak mungkin daya-daya
rendah melanyapkan dirinya sendiri, tidak mungkin mengesampingkan pikiran
dangan berpikir! Kiranya, satu-satuaya jalan bagi kita hanyalah penyerahan
kepada Yang Maha Kasih, Yang Maha Kuasa. Tuhan pencipta segala yang ada dan
tidak ada, yang nampak dan tidak nampak. Karena kekuasaan Tuhan meliputi di
dalam dan di luar diri kita, maka kiranya hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan mampu menolong kita, yang akan mampu mengatur agar pengaruh nafsu daya
rendah tidak lagi mencengkeram hati dan akal pikir sehingga sagala sepak
terjang kita dalam hidup, tidak lagi dikemudikan oleh nafsu daya rendah,
melainkan dikemudikan atau dibimbing oleh kekuasaan Tuhan!
Setelah Sie Liong dangan penuh kepasrahan
menyerahkan segalanya kepada Tuhan, menerima segala keadaan dan segala
peristiwa sebagai hal-hal yang sudah dikehendaki Tuhan, maka sedikit banyak
diapun dapat mengatasi segala penderitaan yang mungkin timbul karena keadaannya
atau karena peristiwa itu sendiri. Orang yang sudah pasrah kepada Tuhan dangan
sepenuh hatinya, dangan keikhlasan dan kerelaan, penuh pasrah, sudah pasti
takkan merasa penasaran, tidak akan merasa kecewa dan selalu di dalam hatinya
terkandung rasa sukur dan terima kasih kepada kekuasaan Tuhan. Makin dihayati
kepasrahan ini, semakin membuka matanya betapa kekuasaan Tuhan amatlah
hebatnya, tak terukur dan menyusur ke dalam segala benda, bergerak tiada
hentinya, nampak kadang-kadang kacau namun sebenarnya mengandung ketertiban
yang mujijat, tak pernah keliru, dan mengandung keadilan yang setepat-tepatnya
walaupun kadang-kadang berada di luar pengetahuan akal pikiran manusia.
Tentu akan timbul bantahan. Apekah kalau
begitu, hidup ini hanya diisi dengan kepasrahan belaka kepada kekuaaaan Tuhan?
Bukankah kalau begitu maka hidup akan menjadi kosong dan mandeg, tidak ada
semangat lagi untuk mencapai apa jang dinamakan kemajuan? Salah pengetian ini
harus diperbincangkan karena memang mengandung bahaya! Arti panrah bukan
berarti kita lalu membonceng kekuasaan Tuhan begitu saja lalu kita tertidur dan
masa bodoh! Sama sekali tidak! Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk bergerak,
beranggauta badan lengkap, berakal pikir, maka semua itu harus kita pergunakan.
Hal itu merupakan suatu kewajiban! Kita tidak benar sama sekali kalau
mempersekutu kekuasaan Tuhan. Biar kekuasaan Tuhan bekerja dan kita
enak-enakan, bermalas-malasan. Ini merupakan akal-akalan dari si-akal pikir
yang dikuasai nafsu rendah! Kita bekerja, kita berusaha, kita berikhtiar dalam
segala bidang. Namun, harus selalu kita ingat bahwa apapun jadinya, apapun
hasilnya, apapun akibatnya dari setiap usaha kita, berada di tangan Tuhan!
Tubanlah yang menentukan pada akhirnya dan kalau kita menerima dangan pasrah,
dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan tak akan pernah keliru mengatur, maka
hasil atau akibat apapun yang kita terima, akan kita terima dangan hati
terbuka, penuh kepasrahan pula, penuh rasa sukur!
Kebahagiaan tak mungkin dicari, tak mungkin
dikejar dangan usaha akal pikiran! Akal pikiran yang digerakkan nafsu selalu
hanya membutuhkan KESENANGAN, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan,
karena kesenangan itu pendek sekali umurnya. Kesenangan segera digilir dangan
kesusahan, kepuasan diikuti kekecewaan. Kebahagiaan hanyalah suatu keadaan di
mana perasaan hati dan akal pikiran tidak lagi menguasai jiwa, kebahagiaan
adalah keadaan jiwa yang sudah bersatu dangan Tuhan, seperti setetes air yang
sudah kembali ke samudera! Tidak butuh apa-apa lagi karena segalanya sudah
tercakup di dalamnya! Dan semua ini hanyalah kekuasaan Tuhan yang mampu
mengaturnya, dan kita, dengan segala perlengkapan kita, termasuk nafsu-nafsu
daya rendah, hanya mampu MENYEBAR dengan PASRAH. Titik.
Sie Liong melanjutkan perjalanannya dan kini
dia sudah melupakan sama sekali peristiwa yang menimpa dirinya di ladang itu.
Memang sebaiknya kalau pikiran ini kita pergunakan untuk bekerja, berarti untuk
memikirkan apa yang kita kerjakan sekarang dan setiap saat, bukan dipergunakan
untuk mengenang hal-hal yang sudah lalu! Dia akan pergi. ke Tibet, dan kini dia
sudah menuruni bukit terakhir dari deretan pegunungan Kun-lun-san yang panjang
itu.
Dia berhanti di atas puncak bukit terakhir
tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi
Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara
adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah
Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun
yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus
dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka
hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu.
Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu dusun, dan hari ini, matahari telah
condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu akan gelap dan lebih baik
melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh
makanan dan minuman daripada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.
Dusun itu cukup besar dikurung pagar tanah
liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang
jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mereka bercocok
tanam dan berburu, ada pula yang mengusahakan peternakan kambing. Dan melihat
keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil
kesimpulan bahwa penghasilan penduduk itu cukup untuk sandang pangan, bahkan
berlebihan. Di situ terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat
pula sebuah rumah penginapan! Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari
luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan
rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang
lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat
bahwa dusun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat
menjual barang-barang keperluan sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah
penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu,
banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan
perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan
sahabatnya dari luar dusun.
Setelah mandi dan makan malam, Sie Liong
keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan
dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena
adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun. Boleh dibilang bahwa
seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira
dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di
luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian basar
penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan pemboyongan mempelai
wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu. Mempelai wanita adalah
seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pengambilan mempelai itu
dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan.
Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai
prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus
rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti
ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan
menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan
berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah,
penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain
berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas
merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk
mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan
rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ
tempat tinggal pengantin wanita. Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat
banyak orang yang nonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan
mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu
berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para
pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa
keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka.
Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok!
Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak
merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggunguya bongkok.
Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak
sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk,
asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka,
seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru
datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu
jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang
pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu
wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bakas air mata
pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman
itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya
ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia
diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di
depan meja sembahyang. Ketika mempelai wanita yang berpakaian indah mariah itu
muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh
dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang
longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie
Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia
seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengantin itu
dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi,
terdangar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia
berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis
pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara
sedu sedannya, “Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah
dengan.... anak kepala dusun itu....”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan
itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu
merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai
wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan
kau membikin malu orang tuamu!” Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat
pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis
terisak-isak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan
agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!” Sang ayah marah-marah dan dua
orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya
kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdangar teriakan dari luar.
“Penasaran....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan
kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari
memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut dan juga
ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi....!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan
tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru, “Kiong-koko....!”
Dan iapun menangis, masih berdirt karena
dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.
“Un Kiong? Mau apa engkau? Berani engkau
datang ke sini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!” bentak ayah mempelai
wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk mohon keadilan! Sungguh
penasaran sekali....!” Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa
orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan
pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan
diri berlutut itu.
“Pergilah! Pergi dan jangan datang lagi!”
bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa
pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit
dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat
keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!”
teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko....!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu
ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga
laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli
pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke
dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendengan dan pukulan itu, beberapa orang
terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian
kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah
babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang
membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh
tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke
depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, “Mau apa kau
mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!” Kepalan tangannya yang besar itu
tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang
terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang
mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat!
Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja
semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika
Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan
melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan
agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie
Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia
sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan
dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka
berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh
penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia
melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita,
dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat
terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa
engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah
diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan mati
dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat,
membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau ttdak kularikan, mungkin engkau akan
dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar
Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba caritakan, apa yang
sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat
menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas
tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un
Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah
seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya.
Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja.
Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan
itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan
dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, belum setahun
dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini. Jelaslah,
dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun
itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada
gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya
ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak
diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat
ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang
lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat
memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati
saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan
cinta kasihku kepadanya!”
Sie Liong tersenyum. “Membuktikan cinta kasih
dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan
cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan
merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari
cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?”
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia
berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. “Lalu apa yang dapat
kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biar aku yang akan
membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan
mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai
wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kausambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah.
Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab,
dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata
engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.”
Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan
hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang
bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang,
mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong menggelong kepala. “Namaku tidak
ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya
kebetulan lewat saja di sini, dam aku selalu gatal tangan, ingin membereskan
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi,
kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya
yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah
mempelai wanita sehingga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong
menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan tentang janji
pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk
menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput
mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia
memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita selalu
menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Mempelai
wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang,
sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria
ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia
tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa
orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan
meninggalkan rumah mempelai wanita itu.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok
di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain
adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di
tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!”
Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal
mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka
memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan
tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi
gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh
orang itu, seorang beruasia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang
kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah
engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?” Kini semua orang sudah datang ke
tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu
menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan
lewat di dusun ini. Aku melihat peristiva yang membuat hatiku penasaran.
Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan
sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah
mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan itu
dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh
tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri
putera kepala dusun!”
“Eh, sungguh engkau telah menjadi gila!
Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar
sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok
gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai
pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini
dibatalkan!”
“Kurang ajar!” Tujuh orang pengawal itu
dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali
menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti
tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata
masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak
bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan
juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini dan kita
rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat
diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin
mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap
dia atau bunuh kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda
itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara
pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang
agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang
dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dan langkah-langkah dan
loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya.
Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah
orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal
mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan
mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu
beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang
itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka
menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang
pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan
diapun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada ayah!” Para
pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat
terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali. Akan tetapi
diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampirl
lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan
semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan
keluarga mendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang
bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah
itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani membantah Pendekar
Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bougkok ini seorang
pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua
yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke
kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdangar
suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!” Dua orang nenek dan
ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie
Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para
penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton
bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang
menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar
pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sendiri
diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata
Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya
pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak
dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah
Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat
sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu
telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini
juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini
didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan
tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong
tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut....”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kenalahan
Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah
berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan
orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak
mempunyai kesalahan apapun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang
pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar
angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang
kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa
kaulakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong,
seharusnya kautolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa
puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal
itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani
menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami
menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya
raya dan....”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut
pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong
menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian)
menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi
memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih
tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan
seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri.
Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera
kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami.... kami
melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita
terhormat di dusun ini dan hidup barkecukupan....”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor
burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru,
seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau
membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang
muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan
sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang
harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu
akan marah sekali....” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi
mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh
antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka
menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan
kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan
lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat
membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka
datang,” kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar
dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan
tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar
pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah,
yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya pihak kepala dusun
telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung
menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambl depan, Sie Liong
mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali.
Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah,
sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi
brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun,
dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie
Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan
mereka.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang
tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya
keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi
menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia
belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti
lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia
tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul
hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi
pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya.
“Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dangar, sobat yang sombong.
Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal
kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan
puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi
sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon
suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba
saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan
dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang
merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini
si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu merupakan urusan
pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan
keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan,
siapapun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada
keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi
dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan
minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita
bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemm, tidak percuma kalau sahabat kami
kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau!
Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun!
Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan.” kata
si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak
si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya
kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka
sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka
sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan
dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang
menghadapinya!” kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itupun mundur
kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya
mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian
orang sombong ini!” kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat,
engkau sungguh tinggi hati, handak mencampuri urusan pribadi keluarga orang
lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan
dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku
bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya
jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai
wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin
membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu
itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu....”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana
kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia
membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang
seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan
serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar
dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong
bahwa dia berhadapan dengan lawan yang “berisi”, bukan sekedar tukang pukul
yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu
dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah
lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk
lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi
besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia
mengerahkan sin-kang.
“Dukkk!” Dua lengan bertemu keras sekali dan
akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa
lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh
dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan
sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat! Maka diapun
lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak
cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga.
Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan
langkah-langkahnya yang teratur.
“Hyaattttt....!” Kini lawannya menyerang
dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga
dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan
semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan
memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka
bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang
dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang
itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin dan ilmu ini
diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin,
seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh
menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat
seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua
cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong.
Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya
dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu
semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat
kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu,
walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar
seekor harimau! Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu
silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan
tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua
cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan
dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun
terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar
dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan
mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan
kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka
mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai.
Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!”
tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku
berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku tidak akan
pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai
yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai
selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!”
Dua orang itu terbelalak. “Engkau.... mengenal
kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar. Mereka memang benar
murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya
yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang
lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu,
ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta
Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling
berjumpa!”
“Ahh....!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu
berseru kemudian saling pandang. “Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul
oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi
guru-guruku....”
“Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima
orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh,
tentang urusan pengantin itu....” Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi
gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh,
tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan?
Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis
yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin
putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun!
Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri
tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya
yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku
turun tangan....”
“Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata
Kok Han. “Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu
telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia
hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu,
sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini
agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi
sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini
dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja
menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga
Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku
menunggu di sini,” kata Sie Liong. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera
pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak
sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan
tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan
mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh
Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala
dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua
orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di
ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami
isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang
pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan
tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang
didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu
melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan
kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan
semenjak keduanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin
putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah
penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan
kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh
seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepaia dusun yang bijaksana,
kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah
dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah,
yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai
tunangan, kenapa pinangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan
isterinya, lalu berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan bibi ini akan dapat
menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan
meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat
dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, “Mohon ampun kepada
jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat
dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan
tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu,
maka kami diam saja dan....”
“Brakkk!” kepala dusun Sun menggebrak meja
dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini
orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya memaksakan
kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami.... jung-cu....!” tuan dan
nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang.
“Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan
kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu
sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana
mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan
orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong....”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil
dia ke sini.” Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ.
Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak
pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang.
“Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok
engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah engkau?”
Un Kiong menjatuhkan diri berlutut di depan
“ayah angkatnya” dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu
pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan
hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya, pesta pernikahan tetap
dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera
kandungnya, melainkan “putera angkatnya”. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke
kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Ketika sepasang mempelai dipertemukan, Sie
Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Dan dua
orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie Liong dan
keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!”
katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu,
bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua
orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga mondatangkan
keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan
perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga
dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga
dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan
dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya
bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat
membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu! Akan tetapi diapun
melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal
adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi
sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu
dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan
tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun
merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang
lain!
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan
hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatangan banyak
tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta
pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di
dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal.
Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat
wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat meredakan keributan yang
timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang
ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya.
Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua
penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam.
Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, dan
pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik
hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri
mereka kuat, bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu
sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari
menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan mempergunakan pasukan
mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti
juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita
luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka,
bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap “siluman” itu.
Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang
luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka,
setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu
kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka,
bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap
tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua
mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam
hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah
yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri
melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah! Dan malamnya,
biarpun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa
saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang
dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu
datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau
memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu
berwarna merah. Maka, siluman itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger
ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa
penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu
rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang
ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu! Dan coretan itu
bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah
dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang
cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat
dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang
kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman
itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal
kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin
dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus
menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi
harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan
dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun
yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun
rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk
mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki
nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah
dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang
dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya
memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang
lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya
sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini
kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain
pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak,
dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan
mencium bau minyak yang sangat wangi! Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih
empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung
dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan
melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu tersenyum
mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya memegang
sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang
dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali dengan
lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut
dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu
berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium,
matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan
keluhan panjang, “Hayaaaaaaa....!” dan diapun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat
dan bertanya, “Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus
disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni
rumah!” Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung
jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap
yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu. Mulut si dukun
berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil
mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru. “Yang datang dari utara,
kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang
dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke
barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk
membantu aku mengusir siluman merah!” Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan
aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap
dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan
isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir
siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan
kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah,
mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di
rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira.
Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh
siluman merah!
“Di sana, Sian-jin, di sudut itu....” jawabnya
cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu
itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah
belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu
mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat
sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang
gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong
Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di
balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar
mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai
ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan,
“Uhhhh....!” dan diapun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka....!”
“Ada apakah, Sian-jin....?” tanya Gumo Cali
cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa
siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan
dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin?
Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kauminta akan kami
laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....” kata kepala dusun
itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya
sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat
orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir.
Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang
nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan
semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang
terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar
ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir
dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya,
Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air
kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja
seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke
dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar
kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin
selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi
ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam
kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian
takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan
dibebaskan dari.... siluman....” Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa
tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah
sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata
yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu
yang memandang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang
tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh
membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena
dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah,
maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat
kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama
sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu
menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai
diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Ketahyulan adalah suatu kebodohan. Suatu
kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka muncul dan
mengganggu manusia secara jasmaniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat
berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya
kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata,
tentu tidak akan takut terhadap gangguan iblis karena yakin bahwa Tuhan akan
melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam
iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya
roh jahat dan iblis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak
memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong untuk memuja iblis,
setidaknya menghormatinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul
menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya
yang tahyul menghadapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar
tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang
membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan
kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah
rasa takut. Rasa takut timbul dari pikiran yang mengingat pengalaman lampau,
masa lalu, dan membayangkan kemungkinan buruk masa depan. Orang yang hidup di
saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan alat hidup
yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi keselamatan dan
kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi suatu kekuasaan yang
amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergelimang nafsu itu
menguasai jiwa.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang
gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah
berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat
dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat
kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan
adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut
menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan,
yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang
sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi
mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia tidak
takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan
hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang
mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia
timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah
dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya
mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....” kata
gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di
sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang
tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan
datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap
kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua
pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya
sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik
pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat
dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan
pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama
sekali. Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun
mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan
nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu,
jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba,
membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan
kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah,
mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di
rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira.
Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh
siluman merah!
“Di sana, Sian-jin, di sudut itu....” jawabnya
cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu
itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah
belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu
mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat
sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang
gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong
Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di
balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar
mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai
ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan,
“Uhhhh....!” dan diapun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka....!”
“Ada apakah, Sian-jin....?” tanya Gumo Cali
cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa
siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan
dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin?
Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kauminta akan kami
laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....” kata kepala dusun
itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya
sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat
membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir.
Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang
nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan
semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang
terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar
ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir
dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya,
Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air
kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja
seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke
dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar
kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin
selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi
ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam
kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian
takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan
dari.... siluman....” Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya
dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan
seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu
terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang
memandang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang
tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh
membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena
dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah,
maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat
kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama
sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu
menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai
diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Ketahyulan adalah suatu kebodohan. Suatu
kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka muncul dan
mengganggu manusia secara jasmaniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat
berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya
kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata,
tentu tidak akan takut terhadap gangguan iblis karena yakin bahwa Tuhan akan
melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam
iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya
roh jahat dan iblis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak
memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong untuk memuja iblis,
setidaknya menghormatinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul
menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya
yang tahyul menghadapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar
tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang
membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan
kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah
rasa takut. Rasa takut timbul dari pikiran yang mengingat pengalaman lampau,
masa lalu, dan membayangkan kemungkinan buruk masa depan. Orang yang hidup di
saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan alat hidup
yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi keselamatan dan
kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi suatu kekuasaan yang
amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergelimang nafsu itu
menguasai jiwa.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang
gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah
berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat
dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat
kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan
adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut
menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan,
yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang
sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah
diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia
tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan
hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang
mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia
timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah
dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya
mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....” kata
gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di
sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang
tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan
datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap
kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua
pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya
sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik
pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat
dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian
mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka
berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu
semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu,
jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba,
membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Biarpun nafsu berahinya sudah memuncak, namun
dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya
agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang
gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih
memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember mandi,
mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka
berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan
selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa
semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.
Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri
bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sian-jin lalu duduk bersila dengan
santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersamadhi sambil menanti datangnya
malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak
menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia
timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang kayu yang sudah
diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di
dalam sebuah botol.
Malampun tiba. Dukun Bong menyalakan dua
batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu remang-remang namun cukup
terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang
gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan
ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling
rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu
masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan
mampu menolong mereka. Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan
mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka tidak menyangka
buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh “membersihkan”
mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar
lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir
hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah
mengusirnya, baru dia akan menikmati “imbalan jasanya”. Dia menoleh, memandang
kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan
sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia
menyeringai kepada mereka.
“Kalian takut?”
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis
itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa
ngeri. “Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur
agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak
tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu. Melihat ini,
dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu
hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali, akan
tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sian-jin
menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin tersenyum.
“Heh-heh, kalian tidak usah malu-malu....” Dan
diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis
remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.
Nafsu berahi sudah memuncak dan Bong Sian-jin
sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap
selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di
antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan
jerit mereka. Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya
sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu
telah berdiri seorang “iblis” yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya
mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti
patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun kata atau suara
apapun. Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan
senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya
mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil,
lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup
guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.
“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau
dari sini sebelum aku membinasakanmu!”
Melihat betapa “iblis” itu tidak bergerak dari
tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong
Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam
guci, melayang ke arah siluman merah itu. Namun, siluman merah itu tetap tidak
bergerak. Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan
ke arah kepala siluman merah itu. Dia penuh keberanian dan keyakinan akan
mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang
kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala
macam setan dan siluman.
Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain
lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak mengelak sehingga
pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
“Takkk!” Pedang itu seperti mengenai kepala
dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak
tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu
telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya!
Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada siluman yang dapat menahan
serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!
“Kau.... kau.... bukan siluman....!” serunya,
akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang
dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itupun tembus! Tubuh dukun
itu terjengkang dan roboh di atas lantai, berkelojotan dan dari lehernya
terdengar suara mengorok.
Siluman merah tidak memperdulikannya lagi,
menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling
berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk,
tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang
seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Digulungnya dua tubuh
gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu memanggul gulungan
selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan
sebentar saja lenyap. Gerakannya gesit bukan main dan ketika dia melompat
keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.
Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu,
berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok
yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang,
diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak
ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari dukun Bong, dan yang
terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan
hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu. Daun pintu roboh dan mereka
berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat dalan
keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri,
sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka
masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah
lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang
lenyap.
Gegerlah seisi rumah. Biarpun merasa
ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan
dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh
pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak merekapun tidak
dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan
berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie
Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun
yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah
kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri
jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi
hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak ada orang di jalan raya,
bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan hanya ada satu dua
orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan
tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi,
pikirnya. Apakah orang-orang dusun ini demikian malasnya sehingga pagi hari
itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari telah mengusir kegelapan
malam. Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan
keributan yang terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun
Bong terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman
merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima
seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi
sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun
yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang yang tadinya
memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum
pahit. Semua pengalaman yang telah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri
dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan
dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan
pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu
sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya. Biarlah, dia
termenung, aku sadar akan keburukanku. Jauh lebih baik menyadari kekurangan
dan keburukan diri sendiri tanpa keluhan dan sakit hati daripada menganggap
diri sendiri yang terbaik dan tanpa cacat. Keadaan dirinya adalah suatu
kenyataan, dan menerima kenyataan hidup, betapapun pahitnya si-aku menilai,
merupakan suatu kebijaksanaan kalau dia menyerahkan kembali kepada Tuhan
karena, bukankah segala kenyataan itu baru dapat terjadi kalau dikehendaki oleh
Tuhan? Dan mengapa Tuhan berkehendak demikian, merupakan rahasia yang takkan
terjangkau oleh akal pikiran manusia yang selalu mendasarkan penilaian atas
untung-rugi yang diperhitungkannya.
Tanpa dia sengaja, ketika Sie Liong melangkah,
kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya
memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia
bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke
pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut pesan Himalaya Sam
Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan dapat memulai dengan
penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa
yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar.
Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan
Nyaingentangla di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu
bertapa.
Ketika dia tiba di depan rumah kepala dusun
Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah
sedikitnya dua puluh orang yang mengepungnya dan dengan senjata di tangan.
“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”
Dan dua puluh orang lebih itu serentak
menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main.
Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan
sebantar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
“Heii, tahan dulu!” teriaknya dan dia
menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa
dirinya. Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam,
maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai
terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya
robek-robek.
“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!”
bentaknya lagi.
Akan tetapi ketika semua orang melihat betapa
senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu, dan hanya pakaiannya
saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang mereka keroyok
adalah seorang siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok
dengan nekat walaupun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas
dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa semua orang menjadi
semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau
dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan
hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia maklum bahwa
mereka yang mengeroyoknya itu bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun
yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan
mereka itu. Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para
penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu!
Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman! Melihat serangan bertubi-tubi,
dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo
Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah
membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula
kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada ratusan orang
sehingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman
itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan
diri. Maka diapun menuding ke atas dan membentak dengas suara garang, “Siluman
jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke
manapun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”
“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dan nada
suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dangkol kalau tanpa hujan tanpa
angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang meuculik dua orang gadis
orang! “Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku
siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong gadis orang?”
Mondengar ini, Gumo Cali tertegun. Sikap
orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi
orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan
dengan miluman.
“Engkau tidak seperti manusia biasa!
Punggungmu berpunuk!”
“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh
hujan senjata kami!”
“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”
Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya
dangkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!
“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol
dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh, tentu akan kuhajar kalian yang
bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk.
Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andaikata di antara kalian tidak
ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang
pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman?
Aku manuasia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh
untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini
sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia
binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak bersalah, dan
kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Liong bukan orang yang pandai
bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dangkol, maka dapat juga dia bicara
agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan ini,
terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini
terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan
aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula. Timbullah harapannya bahwa mungkin
orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan
siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang
anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteriak memberi isarat kepada semua
orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara,
diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng
itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang engkau
seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang
panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami
akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi
membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis
kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan
siluman!”
“Semua sudah ada enam orang gadis yang
diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya
yang lebih dulu diculik siluman.
Biarpun kemarahannya mereda, namun hati Sie
Liong masih mendangkol.
“Hemm, kalian tidak berhak untuk menekan aku
agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa
dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian
menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang
kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang
sama sekali tidak berdosa!”
Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal
sekali, akan tetapi juga girang dan menemukan harapan baru. Maka, demi kedua
orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke arah pemuda
berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun
mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”
Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie
Liong. Memang dia bukan seorang pemarah. Dia melayang turun bagaikan seekor
naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan
kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak mengeluarkan suara ketika tiba di
atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun
itu.
“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau
yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika
memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak
tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini?”
“Bukan penjahat, taihiap, melainkan....
siluman.... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia
memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.
“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?”
“Taihiap, marilah bicara di dalam. Dan kami
perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan
Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh
semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan
depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih
dipasangi lilin dan alat sembahyang.
“Siapa yang mati?” tanyanya, tidak lupa untuk
memberi hormat ke arah peti mati sebagaimana patutnya.
“Itu adalah Bong Sian-jin yang tewas semalam....”
kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.
Mendengar nama “Sian-jin”, Sie Liong menjadi
agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah
keluargamu?”
“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang
untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami, akan tetapi, dia
malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik....”
Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti
pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakaiannya sendiri yang
diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di pungungungnya, Sie Liong
lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah terjadi
semalam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah selesai
menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sian-jin,
suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua
orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan
enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap....” Suami isteri itu
tidak malu-malu menangngis di depan Sie Liong. Pemuda ini mengangkat bangun
mereka.
“Harap paman dan bibi suka bersikap tenang.
Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman, melainkan manusia biasa
yang menyamar sebagai siluman. Aku mendengar tadi bahwa penjahat itu telah
menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”
“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua
tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik.
Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja
ada enam orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi
di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia
memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon
korban?”
Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena
siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan
penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang
membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu
amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang
Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong
Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami diculiknya.”
“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis bukan
siluman, melainkan seorang manusia jahat yang sombong. Aku akan melakukan
penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya terulang kembali dan dia
akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku
akan siap menghadapinya.”
Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam
kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan
pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa
curiga kepada dukun Bong. Apalagi ketika mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun
Bong hendak “membersihkan” hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu,
dalam kamar tanpa disaksikan siapapun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga
bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu
untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik. Akan tetapi karena dukun
itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat
menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik
gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu
dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher
dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu
penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Dari dalam kamar, dia
membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali
memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang, makin besar harapannya
bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas
genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu
memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka
genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat
menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan. Dari atas genteng itu,
dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang
tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda
bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.
“Bukit di selatan itu, bukit apakah?”
tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di
selatan....”
“Yang nampak hitam, penuh hutan.”
“Ah, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah
ada....” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah
punuk di punggung Sie Liong.
“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit
Onta....”
“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak
berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi
dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai
ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah
penginapan.”
“Taihiap, bermalamlah saja di sini. Kamar
anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk sementara taihiap
tempati....”
Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih panik
dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Dia
merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala.
“Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan
saja,”
“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh
seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, sementara itu, mari
terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai sarapan pagi.”
Sie Liong merana tidak enak untuk menolak.
Mereka lalu bersama-sama makan pagi, dan setelah selesai makan pagi, Sie Liong
diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah
disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari, kepala dusun sudah
torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong sedang
beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala dusun nampak
gugup dan mukanya pucat.
“Taihiap.... taihiap.... dia.... dia
datang....”
“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”
“Dia.... memberi tanda darah pada pintu rumah
Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar
malam....”
“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu
memang sombong bukan main. Mari kautunjukkan kepadaku di mana rumah yang
mendapat tanda ancaman itu.”
Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala
dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan yang berani menjaga
keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa banyakpun dan biar dia
sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan
sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah
mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke
tempat lain.
Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu
hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan
ketidak-setujuannya.
“Cara itu tidak menjamin keselamatan bahkan
berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mudah menculik
puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”
“Tapi dia.... dia siluman, hanya keluar di
waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”
Sie Liong menggeleng kepalanya.
“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia
biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku
yang akan menghadapinya.”
Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia
memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. “Bagaimana baiknya.... kami khawatir
sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku....”
“Tenangkan hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap
ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sudah
berjanji sanggup menalukkan siluman itu. Sebaiknya kalau engkau menurut
nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat
siluman itu kalau malam nanti dia datang?”
Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan
tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan gadis itu di dalam kamar
lain yang dekat dengan kamarnya sendiri agar aku dapat selalu mengamatinya,
dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat
itu.”
“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”
Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi
mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh
keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang
membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan
jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha
menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi
melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor
untuk menerangi tempat ini.”
Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan
diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada penduduk bahwa
malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap agar
penduduk suka membantunya. Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama
merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan di
dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh semangat. Mereka tadi
sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat
“terbang” ke atas genteng.
***
Malam yang menyeramkan. Sejak matahari
tenggelam, tidak ada penduduk berani keluar dari rumah mereka, apalagi yang
wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan
muncul, akan menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap
membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka
mengepung rumah saudagar itu, siap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan
segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh menakutkan. Padahal, malam
itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain. Kalau
pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa
diri, maka rasa takutpun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam
yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah
mendencar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang didengarnya
dari orang lain, dan pikiran itulah yang mengada-ada, mereka-reka,
membayangkan hal-hal mengerikan. Andaikata dia tidak pernah mendengar tentang
setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut. Seorang anak kecil yang belum
pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang
bagaimanapun juga, karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang
belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang
setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan diapun menjadi takut.
Pikiran merupakan sebuah gudang dimana kita
menyimpan hal-hal yang kita ketahui melalui pengalaman sendiri maupun
pengalaman orang lain, melalui bacaan, penuturan dan sebagainya. Tentu saja
kita tidak mungkin dapat menemukan sesuatu yang berada di luar gudang, yang
kita temukan hanyalah barang-barang timbunan dalam gudang itu.
Pikiran hanya merupakan alat pelengkap hidup,
bagaikan amat perekam. Kita hanya mampu memutar kembali sagala yang pernah kita
rekam melalui alat itu, tidak mungkin kita dapat menemukan hal-hal yang tidak
pernah direkam. Oleh karena itu, betapapun cerdik pandainya pikiran, betapapun
lincah dan liciknya, gerakannya hanyalah berputar-putar di dalam lingkaran
gudang itu saja. Sia-sialah mengharapkan untuk menemukan sesuatu melalui
pikiran, sesuatu yang baru, yang belum terekam, belum pernah tertimbun di dalam
gudang ingatan
Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan
perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di
sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka
sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di
dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi
sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi
pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap
suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget. Mereka bertiga
berdekapan di atas pembaringan ketika malam semakin larut, tak mungkin dapat
memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walaupun mereka semua yakin bahwa
Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah dan baliwa di
sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima
yang siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak
menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di
dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot
kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau
rebah di atas tempat tidur gadis itu, dan karena lantai kamar itu ditilami
permadani tebal yang bersih dan lunak, diapun duduk bersila di atas lantai,
memusatkan perhatian sehingga pendengarannya dapat mengetahui keadaan di luar
kamar sekalipun. Dalam persiapannya menghadapi siluman yang diduganya tentu
hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan
tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia
tahu bahwa kalau perlu, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik
baginya.
Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi.
Yang terdengar dari dalam kamar itu hanyalah suara jengkerik dan belalang dan
serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat
merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap. Tiba-tiba ada
suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas
genteng. Dia datang, pikirnya dan tak dapat dihindarkan lagi, jantung dalam
dadanya berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tanpa mengeluarkan suara, Sie
Liong bangkit dan menghampiri sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya
panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding,
matanya menatap ke arah jendela, pintu, dan langit-langit berganti-ganti
karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki
kamar.
Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk
mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya
karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir
tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa
penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas
panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.
“Krekk....!” Terdengar sedikit suara dan daun
jendela itupun terbuka, palangnya patah karena dorongan yang amat kuat dari
luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari
luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong
diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya
dan diapun waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang
ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri
di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga
nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga
tertutup topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan
siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi,
manusia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng merah itu menghampiri pembaringan,
menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu
kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu,
Sie Liong membentak.
“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah
engkau!” Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju dan tangan
kirinya mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang
cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan
biarpun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun sudah
mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat dan cengkeraman itu cepat sekali,
sukar untuk dihindarkan lawan.
Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata
cekatan sekali. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan
memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan
dengan kuatnya lengannya yang kecil menangkis dengan pengerahan tenaga
sin-kang.
“Dukk!” Dua lengan bertemu dan si topeng merah
itu mendengus marah.
“Ihhh!” Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan
serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian
cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk
saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka diapun cepat
mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya aan menangkis tangan kiri lawan yang
menusuk itu dari samping.
“Plakkk!”
“Ehhh....!” Kini si topeng merah itu agak
terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai,
maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui
jendela dengan kecepatan luar biasa.
“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?” Sie
Liong membentak dan sengaja dia mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh
semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya ini
nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung
yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan
tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang senjata mereka. Sie Liong melihat
bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka diapun cepat mengejar sambil
memegang payungnya.
Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar
den datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu
yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya suaah menyambut Sie
Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka
diapun segera menangkis dengan payungnya. Sepasang mata di balik topeng itu
berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata
terbuat dari baja yang kuatpun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka diapun
sudah siap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.
“Trangg!” Bunga api berpijar dan si bayangan
merah itu mengeluarkan seruang kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa
telapak tangannya panas.
“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan
mengapa mencampuri urusanku?” bentaknya.
Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini
seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di
balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga
nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik?
Sungguh aneh sekali!
“Kiranya siluman merah adalah seorang wanita!
Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo
kembalikan atau aku tidak akan mengampunimu!”
“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan
hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Semacam
uap hitam menyambar ke arah Sie Liong dan uap hitam ini mengandung tenaga
dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri
pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari
telapak tangan kirinya bertemu dengan uap hitam dan kembali wanita bertopeng
itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.
“Mampuslah!” Tangan kirinya bargerak dan
sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher,
dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak
dekat! Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka dan sekali diputar,
payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng,
mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong.
Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu
telah meloncat turun. Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan,
akan tetapi mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh
mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah
telah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok
yang tadi berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat
berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam diapun lalu
meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang
dan wanita berpakaian merah itu lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang
diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!
Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaynya
di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima, kembali
ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul dan mereka itu ramai
membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara
Pendekar Bongkok dan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok
itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambutnya
dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
“Hidup Sie Taihiap....!”
Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar
Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau
mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak
berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan
berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah
bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai
dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya
dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara
sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Kalau saudara
sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”
Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu
tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu
takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak
berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar. Ada sebuah hal yang sukar
dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia
lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar
membayangkan seorang wanita selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik
gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya
merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun
siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu capat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa
puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita
bertopeng merah itu. Mengapa menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana ia
membawa gadis-gadis itu? Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para
gadis yang sudah diculik, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat
dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie
Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke
selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih
lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit
itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman. Bukit
Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan
hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani
memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok
dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman. Maka, begitu melihat bukit itu
dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah
tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di
waktu malam.
Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak
begitu jauh di lerang bukit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu
yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembunyi di antara
pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu
belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan.
Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan
disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah
atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan
ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis
muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri
dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar
di tengah bangunan itu. Karena mereka selalu dihardik dan diancam kalau
menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja.
Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman
senasib, dan selama mereka ditawan itu, mereka tidak pernah menerima perlakuan
buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka
tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah
gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, ia
langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan
biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum
benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil
resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh
ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam
hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut teguran tak puas
di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk
mengelilingi sebuah meja. Seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh
tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian
dada terdapat sebuah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia
mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda
dengan para hwesio (pendeta Budha). Para hwesio bersikap alim dan tenang,
sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh
dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus
diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi
besar dan sikapnya berwibawa. Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki
yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, semua memakai pakaian
ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang
mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah
siluman merah sendiri dan kini ia sudah menanggalkan topengnya. Kalau Sie
Liong meli atnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka
semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan
siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis
sekali!
Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun,
wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus.
Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil
membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan
membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia
meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya,
yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang
kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu
gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh
subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh
Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang
sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang
hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya
Pek Lan.”
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan
berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan
tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk. “Kui-bo,
muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah
sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh
kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan,
perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!”
Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu
sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya, iapun lalu
meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu. “Paman,
silakan!”
Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata
giginya masih berderet rapi. “Bagus, engkau seorang keponakanku yang
mengagumkan.” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan.
“Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah
benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami
yang besar. Awas serangan!” Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang,
pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali.
Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke
samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong. Thai-yang Suhu menyusulkan
serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan
gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini
diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh
merupakan serangan yang berbahaya. Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat
ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan
tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak
tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang
(Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun
mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat
dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan
tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun
serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya. Gadis itupun tidak mau memberi
hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan
kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja
pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam!
Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
“Pek Lan, pinceng di sini!”
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas
kegenitan sahabat subonya itu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan
kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat
menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya,
kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman
begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman
yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu
kelihatan kembali. “Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak
pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah
engkau masih berani melawan?”
Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena
melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali,
sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan
ia memberi hormat sambil berkata, “Aku tidak berani....”
That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi
normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh. “Thai-yang, engkau seperti anak kecil
saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kaulihat, dia pandai sekali ilmu
sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku
wakilkan padamu.”
Pek Lan mangerutkan alisnya, menyesal mengapa
subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil
keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang memerintahkan,
tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.
“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang
harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek
Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan
kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang akan
mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari
Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari
dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun-dusun
dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk
menculik mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan
tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang
ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
“Akan tetapi, mengapa mesti aku....?”
bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada
Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku
sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah
engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?” Guru itu
mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk
mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi.
Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia
mendapatkan akal.
“Paman Thai-yang Suhu, aku sanggup untuk
membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang
kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu?
Hadiah apa yang kauminta?”
“Aku mau mewakill subo membantu paman sampai
berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan
Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu
sihir yang aneh kepadaku.”
Mendengar permintaan ini, sepasang mata
Thai-yang Suhu terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu lalu menjelajahi
wajah dan tubuh Pek Lan, dan diapun tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Kui-bo.
Muridmu ini memang cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang
sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apalagi terhadap
seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, masih keponakanku
sendiri pula dan yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus
meminta dan memberi, pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir
kepadamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi
segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?”
Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar
bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi menjawab, “Tentu
saja aku sanggup, Paman Thai-yang Suhu!”
“Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh
pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan
memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau seorang wanita muda
yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai-yang Suhu ini adalah
seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai
banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”
Mendengar ucapan subonya, Pek Lan memandang
kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya berubah kemerahan.
Tentu saja ia mengerti apa maksud subonya, akan tetapi kalau benar tokoh
Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan subonya, iapun tidak
berkeberatan!
Kalau burung berkelompok karena persamaan
bulunya, manusia berkelompok karena persamaan selera dan cara hidupnya. Kalau
sekelompok orang sama-sama menjadi hamba nafsu, tentu mereka dapat menjadi
akrab dan bersahabat. Kegemaran mereka sejalan dan sama, yaitu pemuasan nafsu
dan pengejar kesenangan. Celakah orang yang hidup sebagai hamba nafsunya
sendiri, tanpa menyadari bahwa nafsu yang menyuguhkan segala macam kesenangan
itu sesungguhnya merupakan musuh yang paling jahat, yang akan dapat menyeret
para hambanya ke dalam lembah duka dan kesengsaraan. Kenyataan ini bukan
berarti bahwa nafsu adalah sesuatu yang amat buruk dan harus dilenyapkan dari
diri kita. Sama sekali tidak! Nafsu sudah ada semenjak kita lahir. Nafsu,
karena itu, juga merupakan anugerah Tuhan. Tuhan telah mengikutkan nafsu kepada
kita sejak lahir, seperti juga mengikutkan hati, perasaan, pikiran dan semua
anggauta badan kita. Seperti juga yang lain itu, nafsu hanya merupakan
pelengkap, merupakan alat, bahkan alat hidup yang penting sekali. Tanpa adanya
nafsu, kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsulah yang membuat kita bergairah,
untuk bekerja, untuk makan, untuk minum, bahkan dalam setiap panca indera kita,
nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mendengar, melihat, mencium dan sebagainya.
Nafsu pula yang mendorong manusia untuk saling menghubungi lawan jenisnya
sehingga manusia dapat berkembang biak. Sesungguhnyalah, nafsu merupakan alat
yang teramat penting dan baik, nafsu merupakan hamba yang amat setia dan
berguna. Akan tetapi, daya-daya rendah kebendaan, yaitu ikatan kita dengan
segala macam benda ciptaan manusia sendiri, daya rendah tumbuh-tumbuhan dan
hewam yang memasuki tubuh kita melalui makanan, daya rendah jasmani yang
menimbulkan ikatan antar manusia dalam hubungannya, semua itu saling berlomba
melalui nafsu untuk menjadi majikan atas diri manusia. Dan nafsu yang dapat
menjadi hamba paling baik itu, sekali dibiarkan menjadi majikan, akan
memperbudak kita. Jiwa yang merupakan unsur paling murni di dalam diri, tertutup
dan tidak berdaya sehingga diri sepenuhnya dikuasai oleh nafsu. Setiap pikiran,
kata-kata dan perbuatan kita bergelimang nafsu! Dan betapapun manusia
berusaha untuk membersihkan diri dari nafsu, untuk membebaskan diri dari
cengkeraman nafsu yang memperbudak kita, semua usaha itu akan sia-sia dan
gagal. Karena usaha itu adalah hasil dari pikiran yang sudah bergelimang nafsu
pula. Tidak mungkin pikiran yang bergelimang nafsu ini membersihkan pikiran
sendiri dari nafsu. Usaha itu masih berputar di dalam lingkaran yang dikuasai
nafsu. Hanya kekuasaan yang berada di luar lingkaran itu sajalah yang akan
mampu membebaskan kita. Dan kekuasaan itu adalah kekuasaan mutlak, yaitu
kekuasaan Tuhan! Karena nafsu merupakan ciptaan Tuhan, maka kekuasaan-Nya
sajalah yang akan mampu mengatur, akan mampu membersihkan jiwa dari gelimangan
nafsu, dan akan mampu membuat nafsu menduduki tempat yang semestinya, yaitu
sebagai alat hidup manusia, bagaikan kuda penarik yang jinak dan penurut,
bukan liar dan binal! Dan kekuasaan Tuhan pasti akan bekerja selama kita tidak
mengagungkan diri sendiri yang sesungguhnya rendah, menyombongkan kekuatan
sendiri yang sesungguhnya lemah. Kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita mawas
diri, melihat kenyataan betapa kecil kita ini di hadapan kekuasaan Tuhan,
kalau kita rendah hati lahir batin dan menyerah kepada Tuhan dengan ikhlas,
tawakal dan sabar.
Demikianlah, semenjak saat itu, Pek Lan
membantu Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu dan dengan ilmunya yang
tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu menculiki gadis-gadis cantik dari
dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari
Thai-yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita
cantik itu. Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh
kemesraan dan kepasrahan iapun menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu
tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan iapun merasa puas dan senang karena ternyata
pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu perkasa, bahkan tidak kalah oleh
yang muda-muda.
“Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan.
Engkau gagal karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh cacat, yang
bongkok? Sungguh penasaran dan memalukan sekali!” Demikian berkali-kali
Thai-yang Suhu menegur pembantunya, juga kekasihnya itu. Pek Lan mengerutkan
alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut.
“Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan
mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya
mengatakan bahwa dia memang lihai sekali. Aku terpaksa melarikan diri bukan
karena takut melawannya. Kami belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi,
bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di
belakangnya?”
Thai-yang Suhu mengerutkan alisnya pula.
“Hemm, tentu si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama dia
berada di sana dan menghasut penduduk untuk melawan kita, maka tentu akan
sukar bagi kita untuk memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada
sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, eh, tiba-tiba muncul setan bongkok
itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”
“Benar sekali, kalau si bongkok itu kita
bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka tidak akan
berani lagi menentang kita,” kata seorang di antara Tibet Sam Sinto (Tiga Golok
Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.
Pek Lan yang merasa panas hatinya karena
ditegur Thai-yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sinto segera bangkit
dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara lantang, “Sam Sinto, biar
kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan
biar aku yang akan menandingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!”
Tibet Sam Sinto tidak berani memandang rendah
kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya
Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mereka berkata singkat,
“Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang
kita!”
“Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah
saja. Semua harus diatur dengan cermat agar jangan sampai gagal. Aku tidak
biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang matang,”
kata Thai-yang Suhu.
Pada saat itu, seorang anak buah mereka
muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan
dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya
Thai-yang Suhu. Anak buah ini juga seorang anggauta Pek-lian-kauw yang terkenal
cerdik dan juga memiliki gin-kang yang membuat dia mampu berlari cepat dan
bergerak dengan gesit.
Setelah memberi hormat, anak buah itu lalu
bercerita. “TIdak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Lo suhu. Orang
menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tak seorangpun mau mengaku ketika saya
mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia
bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.”
“Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan
para penduduk dusun Ngomaima?” tanya pula Thai-yang Suhu tak sabar.
“Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan
tetapi penduduk kini melakukan penjagaan ketat dan puluhan orang melakukan
penjagaan secara bergiliran.”
“Hemm, aku tidak takut! Mari kita sekarang
juga mencari si bongkok itu di rumah penginapan!” kata Pek Lan gemas.
“Tidak,” bantah Thai-yang Suhu. “Sudah
kukatakan, semua harus menggunakan rencana siasat. Jangan sampai kita
memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk.
Pek Lan, besok siang kita usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu
rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!”
“Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka
mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.
“Ha-ha-ha, justeru itu yang kuhendaki.
Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di
belakangmu ada kami! Tibet Sam Sinto yang akan mengahadapi orang-orang dusun
bodoh itu, dan engkau menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita
hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.”
Wanita muda itu mengangguk-angguk dan
hatinyapun merasa tenang. Kalau Thai-yang Suhu membantunya menghadapi si
bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pendekar
Bongkok itu. Malam itu, Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati
Thai-yang Suhu, sebagian untuk menebus kekurangannya karena kegagalan menculik
puteri Gulamar, ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan
membantunya. Untuk memberi tanda darah kepada pintu keluarga hartawan itu,
diserahkan kepada anak buah yang cekatan dan pandai menyamar.
***
Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit
Onta yang penuh dengan hutan itu. Biarpun belum yakin karena belum mendapatkan
bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka menculik gadis itu
bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang
baik. Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki
gadis gadis cantik? Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat
banyak kawannya yang tentu saja berbahaya. Maka, biarpun dia melangkah
tenang, dia tak pernah lengah sedetikpun. Mata dan telinganya menyelidiki
keadaan di sekelilingnya.
Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak
menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerakannya sudah diikuti
oleh banyak pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi kelihatan oleh
anak buah Thai-yang Suhu yang segera melapor kepada perdeta Pek-lian-kauw itu.
Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan mendaki bukit,
tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai-yang Suhu yang cepat
mempersiapkan diri. Dia berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sinto, mengatur
siasat. Thai-yang Suhu, biarpun nampaknya seperti seorang pendeta, namun dia
adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak
segan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya
Pendekar Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia
tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan
pihaknya. Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan
bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok pandai,
mengapa tidak diusahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan
Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa dibunuh!
Sie Liong menurutkan jalan setapak yang
ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah hutan, pada
jalan menurun, tiba-tiba saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang
amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan
airnya membuat sungai kecil memasuki telaga. Dari tempat dia berdiri, dia
melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi
dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian
indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.
Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air
telaga demikian jernih, bagaikan kaca yang berada di depan kakinya demikian
jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat
beberapa ekor ikan hilir mudik. Di sebelah sana, di mana permukaan air
digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di
atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak
sedemiktan jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada
angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon
besar di sekeliling telaga itu.
Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan
untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh ke indahan
telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan
wajah dan tubuh seorang wanita! Wanita itu masih muda, tidak lebih dari dua
puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk bulat telur,
dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benangpun
menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus dan
karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa
tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan
dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik. Gadis itu duduk di
atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu
menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya.
Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
Dari keadaan terpesona, Sie Liong kini menjadi
tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepatutnya, melihat seorang
gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah dan diapun cepat
membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah
pergi.
“Heiii....!” Tiba-tiba Sie Liong mendengar
suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang
terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memamdang. Gadis itu agaknya
tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi
didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan nampak dadanya
yang berbentuk indah.
“Heii, siapakah engkau? Apakah engkau hendak
mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!”
Kedua pipi Sle Liong menjadi semakin merah dan
dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, tidak mau
memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi
tanpa banyak bicara lagi. Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak
bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan
mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita
itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia
memperlambat langkahnya.
Kini terdengar gadis itu kembali bicara, dan
nada suaranya amat menyesal penuh teguran. “Engkau ini orang macam apakah?
Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu
seorang manusia sesombong engkau! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa
tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di
sini?”
Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua
kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau
membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang
wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah sendiri. Tak mungkin! Siluman
merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanya seorang gadis
muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dan andaikata bukan siluman aerah, siapa tahu gadis ini dapat memberi
keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.
“Aku bukan orang sombong. Kalau engkau
berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau
berpakaianlah lebih dulu!”
“Hi-hi-hik!” Gadis itu tertawa, suara
ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas. “Kiranya engkau seorang
yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang
bulat? Bukankah ketika engkau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat?
Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya kalau
bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan mengintai
kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya
mencuri-curi, hi-hi-hi!”
Sie Liong merasa mendongkol juga.
Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya
tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan biarpun matanya
tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat membuat dia tahu
bahwa gadis itu memang benar kini sedang mengenakan pakaian.
“Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kaulihat,
apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau bertelanjang? Lihat
baik-baik!”
Karena dari pendengarannya tadi dia sudah
yakin bahga gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan
tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya
dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung kegenitan dan
kecabulan! GadiS itu tersenyum.
“Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan
tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali
bicara denganmu!” Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu
untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak
sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andaikata
bisapun kepandaiannya tentu masih rendah sekali.
Ketika dari batu terakhir ia melompat ke
tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia
meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan iapun
jatuh miring di atas tanah.
“Aduhhhh.... aduh, kakiku.... sakit....!”
Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat
dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga tidak dapat.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia
waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di
tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang
gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja
membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia berani
berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa gadis
itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat
kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat
tanggapon, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau
menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.
“Aduh, tolong....! Apakah selain sombong,
engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang wanita yang
terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhh....!” Gadis itu kini menjulurkan lengan
kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka menolongnya bangkit.
Sie Liong tersenyum, lalu menghampiri dan
menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia
kelihatan sama sekali tidak menaruh curiga dan seperti orang yang benar hendak
membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika
tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu. Gadis itu
lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong, ia
berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah merangkul leher Sie Liong dan
merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!
Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari
rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya tergetar karena
betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang hangat itu merapat
pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya,
maka diapun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan
gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya. Dan pada saat itu,
tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya,
dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat
bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang
amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam. Gadis itu telah
mempergunakan pukulan maut!
“Huhh....!” Sie Liong dapat mengelak sambil
menangkis dari samping.
“Hyaatt....!” Pek Lan, gadis cantik itu,
menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie Liong dapat mengelak
dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya.
Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar
lawan!
“Hemm, keji sekali....!” Pendekar Bongkok
berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itupun luput!
Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang,
tersenyum pahit, lalu berkata dengan nada suara mengejek. “Bagus sekali,
kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis,
engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!”
Pek Lan memandang dengan mata terbelalak. Tak
disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemiktan lihainya. Bukan hanya tidak
dapat dirayunya, juga tidak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh tadi. Dan dia
hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!
“Bagaimana.... kau bisa tahu?” tanyanya,
menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.
“Engkau seorang gadis muda berada seorang diri
di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang
memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa
engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat
tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam
seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan
siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh.
Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu
tentu saja dapat kuhindarkan.”
“Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan
mampus di tanganku!” Berteriak demikian, Pek Lan lalu menerjang dengan gerakan
cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi. Melihat betapa kedua
telapak tangan gadis itu berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia
menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula.
Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik
ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga amat jahat.
Maka, diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak atau
kadang-kadang menangkis, diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang
amat mantap dan dahsyat.
Setelah mereka saling serang selama belasan
jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya yang dahsyat itu tak
pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa
lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat! Dan
kalau pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai
yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani
mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya kalah kuat. Juga
penggunaan hawa beracun agaknya tidak ada gunanya karena kedua tangan pemuda
itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya
membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu
Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya
daripada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang
diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil sibuk mengelak
berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia
berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang
disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian
tiba-tiba ia membentak nyaring.
“Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah
engkau!”
Sie Liong terkejut sekali, ketika merasa
betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk menyerah dan
berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima
banyak petunjuk dari Pek-sim Sian-su, bagaimana menghadapi ilmu-ilmu sihir dari
kaum sesat. Diapun cepat menahan napas mengerahkan khi-kang dan pengaruh yang
memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum dan pura-pura menjatuhkan
diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!
Melihat lawannya benar-benar berlutut, Pek
Lan girang bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini
amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh kecantikan wajah
dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan
saja. Maka iapun lalu menubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari
membentuk cakar harimau, menyambar ke arah ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.
“Haiiiittt....!” Pendekar Bongkok tiba-tiba
membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang
yang putus talinya, tubuh Pek Lan melayang ke belakang lalu terbanting jatuh!
Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak
tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya
yang montok itu terasa nyeri bukan main. Ia meloncat bangun, menggosok-gosok
pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi,
kemarahannya memuncak dan tanpa banyak cakap lagi, iapun sudah mencabut
pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok
dengan pedangnya.
Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan
dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh
Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang. Bagaimanapun juga,
siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang
perbuatannya menculik gadis-gadis itu. Kini, melihat betapa wanita itu menjadi
semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan permainan pedang yang
cukup berbahaya, diapun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, mengelak
sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling
lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Ia merasa seolah
melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.
“Hentikan seranganmu, atau terpaksa aku akan
merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kauculik, dan aku akan
memaafkanmu!” Pendekar Bongkok berseru beberapa kali, namun sebagai
jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu
ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau
tunduk. Ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya,
Pendekar Bongkok mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke
belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek
Lan.
“Tukkk!” Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan
pedang itu terlepas dari pegangannya, akan tetapi dengan gerakan memutar, ia
menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang
membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!
“Ihh....!” Sie Liong meloncat ke belakang dan
mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sama sekali! Dia
melompat ke belakang bukan karena takut melainkan karena malu. Namun baru dia
tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan
gertakan saja karena kini Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi
terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat merampas kembali pedang
yang sudah lepas dari tangan. Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar
Bongkok sungguh amat lihai. Namun, ia masih merasa penasaran, apalagi
mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya.
Benar saja, ketika ia menerjang lagi,
tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sinto yang sejak tadi hanya
mengintai sambil menonton saja dan baru mereka muncul dan membantu Pek Lan
setelah menerima perintah dari Thai-yang Suhu. Tokoh Pek-lian-kauw ini tidak
segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan
ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk mengujinya sampai di mana kelihaian
pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian Pendekar
Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat
dan terancam bahaya, barulah dia memberi isarat kepada Tibet Sam Sinto untuk
maju membantu.
Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi
besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakan mereka
aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet.
Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak
mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Saw Lojin dan juga Pek-sim Sian-su
tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu
silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan bantingan.
Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan
sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain
yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik
semak-semak. Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti
bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak!
Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin
sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh.
Ketika mendengar bunyi berkeresek di atas pohon besar, tiba-tiba Sie Liong
mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sinto sempat
menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana dia tadi
mendengar daun berkeresekan.
Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu,
Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Orang
itu ternyata seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan
berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya,
kakek itu yang bukan lain adalah Thai-yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat
menangkis.
“Dukk!” Keduanya terdorong keras dan terpaksa
keduanya melompat turun dari atas dahan pohon. Ketika tubuhnya terdorong dan
terpaksa meloncat turun, tangannya menyambar sebatang ranting sebesar lengannya
dan ranting itu patah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong setelah dia
memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjangnya satu setengah meter,
cukup kuat dan lentur. Di lain pihak, Thai-yang Suhu terkejut setengah mati.
Tadi ketika dia menangkis, ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Biarpun
pemuda bongkok itu terpaksa meloncat turun, dia sendiripun harus meloncat turun
karena tubuhnya terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa
dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa pemuda itu tadi mengerahkan ilmu
Swat-liong-ciang (Ikmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi
sin-kang yang dingin sekali.
Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung
oleh lima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera
mengenal gambar teratai putih, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang
tokoh Pek-lian-kauw, dan mengertilah dia kini mengapa gadis cantik itu
menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Dia sudah sering mendengar tentang
sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di balik
kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya
mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana seringkali terjadi kecabulan
karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu
berahi. Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid
atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu
akan dijadikan anak buah, bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, akan
tetapi mereka dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!
“Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di
belakang penculikan para gadis itu!” kata Sie Liong sambil berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang, tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan
berdiri di depannya, dengan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang
mencuat ke kanan kiri.
Thai-yang Suhu yang kini tidak berani
memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah
dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie
Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.
“Orang muda, siapakah engkau sesungguhnya?
Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar
Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerjaan kami!
Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai-yang Suhu, mereka ini adalah Tibet
Sam Sinto, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih dari Hek-in
Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki
nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau
engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?”
Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan
alisnya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini
menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang
penjahat!
“Thai-yang Suhu, engkau seorang yang
berpakaian pendeta, akan tetapi ternyata kependetaanmu itu hanya kedok saja,
seperti srigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, tentang nama julukan
itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak mempunyai permusuhan dengan
kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian
telah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak
menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah
sembilan orang gadis itu, dan akupun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali
kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!”
“Bocah bongkok keparat sombong! Toasuhu,
kenapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami habiskan dia!” bentak
seorang di antara Tibet Sam Sinto dan mereka bertiga sudah marah sekali, sudah
siap dengan golok mereka.
Akan tetapi Thai-yang Suhu memberi isarat
agar para pembantunya itu jangan bergerak dulu. Lalu dia merogoh sesuatu dari
dalam saku jubahnya, melontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah
Pendekar Bongkok sambil membentak lebih dulu dengan suara parau.
“Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu
menandingi seekor naga berapi!”
Sungguh hebat! Benda yang dilontarkan tadi
seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam itu muncullah
seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang
ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong!
Namun, Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga
terkejut, cepat menahan napas den mengerahkan tenaga khi-kang, lalu mengangkat
tangan kirinya ke atas. “Kekuasaan iblis takkan pernah mampu mengalahkan
kekuasaan Tuhan lewat manusia!” Dan tangan kirinya itupun dengan pengerahan
sin-kang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri mengeluarkan uap putih,
mendorong ke arah naga api. Terdengar suara keras dan naga itupun lenyap, dan
nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai-yang Suhu. Ternyata benda
itu adalah sebuah tengkorak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi
saja!
Thai-yang Suhu terbelalak, menyambar benda
itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia mengambil benda itu,
tengkorak kecil itu hancur berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi berubah
menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan
sudah retak-retak maka ketika dipungut oleh pemiliknya, hancur berantakan.
Thai-yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan
diapun menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang ke arah Pendekar Bongkok.
Pada saat itu, Pek Lan juga menggerakkan pedangnya, berbareng dengan Tibet Sam
Sinto yang sudah pula menggerakkan golok mereka.
Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan
menggerakkan ranting di tangannya. Sekali memutar ranting itu, nampak banyak
sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya! Lima
orang itu yang sudah siap menyerang, bahkan sudah menggerakkan senjata,
terkejut ketika tiba-tiba melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka.
Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis
karena mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia.
Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata “senjata rahasia” itu adalah
daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok
hanya tinggal sebatang tongkat. Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat
mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan amat kuat
dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar Bongkok
ini, biar masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar memiliki
kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi merekapun segera mengepung dan
mengeroyok!
Menghadapi pengeroyokan lima orang yang semua
memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar tongkatnya dan dia sudah
memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu
tongkat yang dipelajari dari Pek-sim Sian-su. Suatu ilmu yang dahsyat bukan
main. Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat
itu diputar oleh Sie Liong, maka anginpun menyambar-nyambar dahsyat bagaikan
badai, dan nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar
hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang bagaikan kilat cepatnya
menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang tahulah Thai-yang Suhu mengapa Pek
Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini. Kiranya Pendekar Bongkok ini
memang memiliki kepandaian yang amat hebat! Biarpun dia sendiri maju dibantu
Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sinto, tetap saja mereka berlima sama sekali
tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana
yang dimainkan secara luar biasa itu. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu
selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan halus secara
bergantian, dan setiap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan
di antara angin yang kuat sekali.
Thai-yang suhu adalah seorang tokoh
Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu pedang yang
amat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama ini, belum pernah ada yang
mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, tentu saja
dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, diapun
membentak agar para pembantunya minggir.
“Minggir semua, biar pinceng sendiri
menghadapi Pendekar Bongkok!” bentaknya. Mendengar ini, Pek Lan den Tibet Sam
Sinto berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran sehingga pendeta gundul
tinggi besar itu kini berhadapan sendirian saja dengan Sie Liong. Sie Liong
juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri menghadapi pendeta itu sambil
memandang tajam.
“Thai-yang Suhu, sudah kukatakan bahwa aku
tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Yang kutentang adalah perbuatan
jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, kalau kalian membebaskan gadis-gadis
yang telah kalian tawan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu,
maka akupun akan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan
memusuhi kalian, asal saja kalian tidak mengulang perbuatan jahat itu.”
“Pendekar Bongkok, kaukira pinceng takut
padamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan pinceng minggir agar pinceng dapat
menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu
agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!”
“Hemm, Thai-yang Suhu, ketahuilah bahwa
guru-guruku adalah Hinalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su,” jawab Sie Liong
sejujurnya.
“Wah! Kiranya murid para tosu pelarian dari
Himalaya!” seorang di antara Tibet Sam Sinto berseru. Sebagai tokoh-tokoh
Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.
Juga Thai-yang Suhu sudah pernah mendengar
nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama Himalaya Sam Lojin tidak
mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Himalaya itu tidak
lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Sian-su membuat
dia terkejut. Pantas saja pemuda bongkok ini tidak saja lihai ilmu silatnya,
akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan telah menghancurkan
jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Betapapun juga, Thai-yang Suhu yang
terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jerih.
“Bagus, sekarang bersiaplah engkau untuk
mampus!” Berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan
kirinya ke arah Sie Liong. Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah
mendengar akan kecurangan para tokoh Pek-lian-kauw. Begitu dari gagang pedang
itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya
dan semua jarum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.
“Pendeta palsu yang licik dan curang!” bentak
Sie Liong dan diapun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan
dahsyatnya dari kanan ke kiri, mengarah pinggang lawan. Thai-yang Suhu meloncat
ke belakang, pedang kanan menyambar dari atas ke arah kepala Sie Liong
sedangkan pedang kiri menangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar
tongkat, membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Terjadilah
perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh
Thai-yang Suhu berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Akan tetapi dua gulungan sinar itu seringkali goyah dan patah oleh sinar
tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang seperti seekor naga hijau yang
bermain di angkasa. Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar
Bongkok merupakan ilmu tingkat tinggi dan tak dapat dilawan oleh ilmu pedang
pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu. Pula, pendeta itu kalah cepat
gerakannya dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, pendeta
itu juga kalah kuat. Kelebihan Thai-yang Suhu hanyalah dalam pengalaman
bertanding saja, dan di samping itu, Sie Liong bersikap hati-hati sekali,
karena dia tahu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan
yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak
berani terlalu mendesak dan hal ini membuat lawannya mampu mengadakan
perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan ramai.
Betapapun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sinto
yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, mampu mengikuti
jalannya pertandingan dan mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sukar
sekali bagi Thai-yang Suhu untuk dapat mengalahkan Pendekar Bongkok. Oleh
karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan
mereka berempat lalu berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok
lagi. Sekali ini, Thai-yang Suhu diam saja karena diapun mengerti bahwa kalau
dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan
Pendekar Bongkok.
Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak
merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan dia dapat mainkan
tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya,
yang amat lihai adalah Thai-yang Suhu dan Pek Lan. Akan tetapi karena di situ
terdapat tiga orang Tibet Sam Sinto, maka permainan kedua orang lawan lihai ini
bahkan menjadi terhalang dan mereka berdua itu tidak dapat menyerang
sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu. Hal ini membuat
Sie Liong semakin hebat gerakannya dan diapun tidak takut lagi bahwa dua orang
lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat bahwa
di situ terdapat pula Tibet Sam Sinto yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada
yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan sendiri.
Hal ini, sama sekali tak disangkanya, memang benar telah terjadi. Ketika itu,
dia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu
adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman
merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh
dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang,
dan dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam. Karena itu, dia berpikir
untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya
secara aneh dan segera mengerahkan daya serangan tongkatnya kepada Pek Lan.
“Trang....! Trangggg....!” Bunga api berpijar
ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang
mendesaknya.
“Ihhh....!” Pek Lan mengeluarkan seruan kaget
dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga
ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pedang tergetar hebat,
hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai-yang Suhu
segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangan sehingga dalam keadaan
terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek Lan marah sekali
dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tangan
kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah
tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga
disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah,
maka tentu saja amat berbahaya bagi Pendekar Bongkok! Akan tetapi, dia memang
selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, diapun maklum bahwa
Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar tongkatnya
sehingga tongkat itu membentuk bayangan seperti payung yang melindungi
tubuhnya. Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah
jarum-jarum itu, akan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri.
Terdengar teriakan-terjakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam
Sinto roboh!
Tentu saja hal ini amat mengejutkan para
pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam beracun yang terpental, ada
beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang dikandung jarum-jarum
itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat! Tentu saja
Pek Lan tidak mungkin dapat melakukan pemeriksaan untuk memberi pengobatannya,
bahkan iapun sama sekali tidak memusingkan keadaan dua orang rekan ini karena
hal itu bahkan membuat ia menjadi semakin marah kepada Pendekar Bongkok dan
kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya.
Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat
mendesak Pendekar Bongkok apa lagi kini berkurang dua. Tongkat di tangan
Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat gerakannya dan ketika seorang di
antara Tibet Sam Sinto yang masih hidup dan merasa berduka dan marah karena
kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat
tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkatnya sambil
mengerahkan tenaganya.
“Trakkk....!” Golok itu patah dan terlepas,
dan sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat dielakkan oleh orang
itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.
“Bukkk!” Orang itu terjungkal dan pingsan
karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan dan Thai-yang Suhu terkejut bukan
main, juga mulai merasa jerih. Pada saat itu terdengarlah sorak sorai gemuruh.
Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua
berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah. Dan nampaklah puluhan
orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala
macam senjata, berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap mengancam! Melihat
ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia telah berhasil
membangkitkan semangat para penduduk itu yang kini agaknya berbondong-bondong
naik ke bukit itu untuk mencari siluman! Sebaliknya, Thai-yang Suhu dan Pek Lan
makin gelisah.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata Thai-yang
Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama Thai-yang Suhu.
“Hemm, kalian hendak lari ke mana?” Pendekar
Bangkok membentak dan diapun meloncat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi,
tiba-tiba Thai-yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar
ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau
asap itu beracun, tentu saja Sie Liong menjauhkan diri, bermaksud mengejar
dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di belakang asap
hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat
betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini bangkit sambil
mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan
tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan
orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar
Bongkok.
“Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku....”
Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi
besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok.
Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati
lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang
ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dia tahu, dari gemblengan
yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melakukan perbuatan
jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorongnya melakukan perbuatan
jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batinnya sembuh tentu dia tidak
akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat betapa seorang di antara Tibet
Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.
“Siapa namamu?”
“Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah
kakakku dan adikku, dan ijinkanlah aku membawa mayat mereka agar dapat
kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana
adanya gadis-gadis yang diculik itu dan mengapa mereka diculik?”
“Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang
sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di
Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat,
berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan
diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa
lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong. “Satu pertanyaan lagi. Engkau
memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali
tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu
lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka sekarang dan apa
kedudukan mereka?”
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa
Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan. “Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai
hubungan dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!”
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap
itu sungguh menarik sekali. “Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya
ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.”
Barulah Coa Kiu kelihatan lega. “Mereka adalah
tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi
pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang
memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.”
“Pemberontak? Ah, di mana kini mereka itu?”
“Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan
Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima orang tokoh itulah
yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim
Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada saat
itu, para penduduk dusun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka
dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan
diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah
kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya
orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi
tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan
di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang dari luar. Mereka
bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda
bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu
kami....!” kata seorang di antara mereka. Melihat betapa semua gadis yang
berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, kini wajah yang
manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci
yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit,
teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia
seorang jahat!
“Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat
jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir
pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.”
Namun, para gadis remaja itu masih belum
percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu dengan curiga.
Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke dalam
rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya
audah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang
pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.
“Ayah....!” teriakan ini bukan hanya keluar
dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis
lain. Ternyata para ayah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam
rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu
dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega
dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan
Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan
baik.
“Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok!
Taihiap, terimalah terima kasih kami!” Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut
menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis yang tadinya
merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi
penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan
diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis
sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain,
tidak ada seorangpun yang memeluk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu
ayah gadis yang satu ini tidak ikut. Ia seorang gadis yang bertubuh sedang,
berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening.
Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis
lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai
padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
“Nona, engkau kenapakah?” tanya Sie Liong, dan
kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi
hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri.
Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh
pundaknya dengan lembut. “Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa
engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas
dari cengkeraman penjahat?” Lalu dia merasa curiga kalau-kalau gadis ini
mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. “Nona, apakah para
penjahat itu mengganggumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi
masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata, “Aku....
aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka....”
“Kenapa, nona? Di mana rumahmu?” tanya Sie
Liong. Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah
tua, lalu mendekat dan berkata, “Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?”
Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.
“Siapakah nona ini, paman, dan di mana
rumahnya?” tanya Sie Liong. Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu
bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu.
Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah,
dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat
dan bekerja seperti pelayan.
“Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang
memungutnya itu bersikap baik kepadanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau
mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa engkau
tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!” kata
orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air
mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil
berkata, “Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku
mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!” Dan iapun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga
bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pulang ke rumah
ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah, nona. Kita bicara di luar,” katanya,
lalu dia berkata kepada semua orang. “Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya
dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Dan semua orang boleh
pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus.
Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani
mengganggu kalian.” Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam
Ling atau Ling Ling itu untuk keluar.
Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah,
lalu duduk di atas batu besar. “Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan
mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu.”
Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua
saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri berlutut.
“Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan
teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku.
Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan
keadaanku.”
“Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat
bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu
kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku
meninggal dunia karena penyakit.” Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di
atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang
lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walaupun ia sudah tidak
menangis lagi. “Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena
mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh
tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak
menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di
rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka.
Akan tetapi akhir-akhir ini....” Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan
berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membuatnya merasa sengsara
itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah
kelihatan ajak tenang, dia berkata, “Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat
menolongau kalau aku mengetahui persoalannya.”
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan
sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah
kalau tidak tertutup awan kedukaan. “Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang
yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang
tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang dan harap
taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih
berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak
beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk
menodaiku....”
Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati
wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi
ingin mendapat keyakinan. “Apa maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku
suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia
nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak,
dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agaknya melihat pula gejala
itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku....”
“Hemmm....!” Sie Liong mengelus dagunya yang
mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang
menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua
angkatnya.
“Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa
tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik
kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu
kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku
membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam
peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah
engkau kembali kepada mereka?”
Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap
wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya. Sinar matanya penuh kegelisahan dan
keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, taihiap. Ayah
angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya.
Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu
angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali
lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang
menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini, melihat betapa
gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa
gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang
tua angkatku.”
“Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke
sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain,
sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?” Diam-diam Sie Liong merasa
kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu saja dia tidak
mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak
akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru
mulai mekar ini. Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau
berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di
dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan
semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani
tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga
bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti
Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh
diri!
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak
mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara....” jawabnya lirih dengan
air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau begitu, lalu ke mana engkau hendak
pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak
mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?”
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari
atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong
sambil berkata dengan suara mengandung isak, “Aku ingin turut denganmu,
taihiap....”
“Ehhh?” Sie Liong terkejut dan heran bukan
main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah
mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh
seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti
itu. “Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau
sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku ingin membalas budimu, aku
ingin ikut denganmu, biar kaujadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu,
memasakkan makananmu, melayani keperluanmu....”
Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang
kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu
kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di
kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Iapun kini yang memandang
bengong. Pendekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu
sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu,
wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak
cerah den berseri!
“Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu
sekali!” kata Sie Liong setelah dia menghentikan ketawanya.
“Taihiap, apanya yang lucu?” Ling Ling
bertanya khawatir.
“Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau
tahu siapa aku ini?”
“Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi
mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis di sini, yang pantas
kupuja den kubalas budinya....”
“Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang
laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan
papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak
mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu,
taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Aku tidak perduli
apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau
engkaupun sebatangkara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang
mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal,
taihiap. Kasihanilah aku....”
“Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau
tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu
menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau
akan ikut terancam bahaya kalau engkau bersamaku.”
“Aku tidak takut! Kalau aku berada di
sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Akupun siap
mati kalau perlu!”
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga
heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia? “Ling Ling, aku
kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput....”
“Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi
di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu
lunak dan awat nyaman untuk tidur....”
“Kadang-kadang harus di atas pohon besar....”
“Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon,
taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang
buas....”
“Ling Ling....” Sie Liong kewalahan.
“Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas
menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!”
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak
den tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh
kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat
menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan
mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia
menyambung. “Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis,
semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan
orang-orang penakut.”
Ling Ling menarik napas lega. “Aku juga....
ti.... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini
ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
“Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut
denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis
muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan
terhadap kita.”
“Taihiap, apakah kita harus menggantungkan
hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita
sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa
takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin
kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik....”
“Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku
menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan
muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia
menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung
rintihan.
“Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi.
Aku akan pergi sekarang juga, selamat.... tinggal....” Dan gadis itupun
membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan
agak terhuyung.
“Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke
mana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan
wajahnya nampak demikian pucat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum
menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum
itu demikian pahitnya. “Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana
lagi? Akupun tidak tahu....” dan iapun melanjutkan langkahnya. Langkah
satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun,
lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu
terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong marasa semakin iba dan sekali
meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu.
“Ling Ling....” katanya lirih.
“Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku
mati saja....” gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang
pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri. “Ling Ling, jangan berkata
demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan,
baiklah, aku suka menerimamu.”
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata
itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan
tetapi mulut itu mengembangkan senyum. “Benarkan, taihiap? Ah, terima
kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak
sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat
bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan
dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia
sekali, terima kasih, taihiap.... terima kasih....”
Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan
ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan
orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri
Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri
berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
“Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih
kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan
tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.”
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling
Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran melihat gadis itu ikut
pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorangpun yang berani
bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan
gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri. Merekapun
bubaran dengap hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan
selamat. Nama Pendekar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun
itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu
dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik
gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan
tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,” demikian Sie Liong berkata
setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk
dusun.
Wajah yang manis itu basah oleh keringat.
Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak memperdulikan gadis yang
berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah lebar sehingga
Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya. Sie Liong
mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula betapa pernapasan
gadis itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah mendengar
gadis itu mengeluh. Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil menatap
wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu
namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikitpun kekesalan hati.
Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab
lantang dan mantap, tanpa ragu.
“Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua
perintahmu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa....” tiba-tiba ia
menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, “.... asal saja
taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!”
Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana
dan tabah, akan tetapi dalam keserdahanaannya, ternyata ia cerdik juga.
“Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama
adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan mengingat engkau pantas
menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu.”
“Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!” kata Ling
Ling gembira.
“Dan ke dua, sekarang engkau harus mengantar
aku ke rumah orang tua angkatmu.” Dia melihat wajah itu terkejut, maka
disambungnya cepat, “Bagaimanapun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan
bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak
kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa
pamit.”
Ling Ling mengengguk, nampak hilang kagetnya.
“Baiklah, Liong-ko.”
Merekapun pergi nenuju ke dusun tempat tinggal
orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah itu, mereka disambut
oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling dengan mulut
cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda
bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera
menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera mengeluarkan makian,
“Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan
diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya?
Bagus, engkau membikin malu padaku!”
“Dasar anak tak tahu diri, tak mengenal budi!”
bentak ibu angkatnya. “Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan
pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas budi malah melempar kotoran ke
rumah kami!”
Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini.
Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia
kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang
itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir, matanya membayangkan wataknya
yang kurang baik. Adapun wanita itu beberapa tahun lebih muda, tubuhnya gendut
dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh
dia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua
angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai
orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.
“Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar
diculik....”
“Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian
pantas dihajar!” berkata demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap
menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong. Kalau menurutkan
panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan
mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia tidak menurutkan nafsu
amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul, memuntirnya dan
mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu
berguling-guling, mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan
membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja
tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai
kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh
berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia mengaduh-aduh,
mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh
telentang.
“Berani kamu memukul orang....?” Ayah angkat
Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin
marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi
menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang tadi ikut menyerbu ke
bukit Onta, mengiringkan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari
penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar
Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.
“Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok berani
melarikan gadis orang!” teriak ayah angkat gadis itu yang menjadi semakin
berani melihat para tetangga berlarian datang.
“Heiii! Gumalung.... tutup mulutmu yang kotor
itu!” bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian
nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
“Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau
siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang telah mengusir para
penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian Ling Ling juga
dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian
sungguh orang-orang yang jahat!”
Mendengar ini, seketika pucat wajah Gumalung
dan isterinya. “Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan kami....” kata
Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bongkok.
“Sudahlah!” kata Sie Liong membentak dan
melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan
nama Ling Ling. “Kalian memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling
Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih tidak mempunyai anak,
mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk
membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah
angkatnya mulai bersikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya.
Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau
membencinya. Dan isterinya, yang tak tahu diri ini, bukan menyalahkan
suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian
berdua katakan, benar tidak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku
terns terang, baru akan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun
tangan menghajar kalian!”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa
takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus
mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berdatangan ke tempat itu.
Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu
menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.
“Memang engkau yang celaka! Engkau suami
tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus! Sudah kuduga bahwa
tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu
mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang
sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti mukamu? Engkau hendak
memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!” Wanita itu menerjang
suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar. Suaminya
cepat menangkap kedua pergelangan tangan istcrinya dan mereka bersitegang.
Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa terhuyung ke
kanan kiri.
“Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang
membenci Ling Ling, engkau iri hati melihat ia cantik jelita, tidak macam
engkau ini babi gemuk!”
“Apa kaubilang? Aku babi? Dan engkau ini
monyet, engkau tikus kurus mau mampus!”
Kedua suami isteri itu saling dorong dan para
tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie Liong dengan gerakan tidak
sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua suami isteri itu saling
melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, untuk kedua kalinya mereka
terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka
berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap, ampunkan saya....” Wanita itu
merengek.
“Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah.
Kami bersalah terhadap Ling Ling....” kata sang suami, lalu tanpa memandang
wajah anak angkatnya, dia menyambung, “Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang
bersalah ini....”
“Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti
kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kalian!”
“Eh....? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau
hendak meninggalkan kami?” Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar
ucapan ini. Mereka memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan
ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka
akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang mengerjakan semua pekerjaan rumah
itu.
“Tapi, kau tidak bisa meninggalkan kami
begitu saja, Ling Ling!” kata pula nyonya gendut itu.
Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami
isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling
tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya. Maka, diapun lalu berkata dengan
suara tegas. “Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, ia akan pergi bersamaku.
Apakah kalian merasa berkeberatan?”
“Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi
kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun
tidak enak rasanya....”
“Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?”
bentak isterinya. “Kalau kurang bersih, kaucuci sendiri pakaianmu, dan kalau
engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang
berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena....”
“Karena apa?” Sie Liong mendesak.
Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah,
agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia
berkata, “.... anak itu sudah delapan tahun bersama kami.... entah sudah berapa
banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya.... pakaiannya....”
Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar
muka wanita itu. “Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak
hutang Ling Ling kepada kalian?”
“Sedikitnya seratus tail perak....”
Terdengar suara orang-orang mengomel panjang
pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat
Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan
ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi
memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada
Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.
“Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah
rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga
ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada
taihiap!”
Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung
memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua
angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan uang, bukan seratus tail,
bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja
jalannya!
“Terima kasih!” katanya. “Tolong ambilkan
seratus tail perak qan serahkan kepadaku.”
Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan
sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan
berkilauan, sebanyak dua puluh buah.
“Lihat, inilah uang yang telah kaukeluarkan
untuk Ling Ling!” berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpalan-gumpalan
perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan potongan perak itu
beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar
dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada
mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!
“Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan
kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan
terima kasih!” bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari
dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong
lalu meninggalkan tempat itu.
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah
pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore
hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk
dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih
menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka
baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu.
Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak
menyelimuti lehernya.
“Terima kasih....” katanya lirih dan iapun
termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa
kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus
menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya
terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas
sekali. Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena
sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber
air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda
itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia!
Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan
mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa
lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi
kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari
atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah
mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang
manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu
melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan
kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis
itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia sengaja menguji karena dia belum
yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup
serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa
memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah
mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat
membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng.
Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya
dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan
pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama.
Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak
memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
“Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku
seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong memandang padanya dan tersenyum.
“Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu
dan tersenyum makin lebar. “Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi.
Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam sejenak.
“Lelah....?” terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali
mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. “Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya
beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!”
“Kakimu terasa nyeri?”
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan
bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah
untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan
tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya
dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Tidak, tidak nyeri....”
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini,
pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut
gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar....?” tanyanya sambil menatap wajah
itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka
bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil
menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
“Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis
yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?”
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang
ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang
kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran,
“Aku? Bohong?”
Sie Liong menganguk dan tersenyum. “Baru saja
dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan
tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong
namanya?”
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu
merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali. “Aih, Liong-ko, engkau
mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan bohong, koko,
melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa pula maksudnya itu?”
“Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana
engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?”
“Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit,
sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau meluruskan kakimu tadi,
jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita
belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku
mendengar perutmu berkeruyuk.”
Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia
merasa lucu, juga merasa malu. “Ih, engkau membikin aku malu saja, koko.
Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab
pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku
nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan
menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri
sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang
lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan.
Lebih baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi
engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada
tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah,
jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?” Kalimat terkahir ini terdengar manja
seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan
hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa
ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga
suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga
dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu
sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.
“Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat
pengakuan.”
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh
selidik. “Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu,
Ling Ling....”
“Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang
kaumaksudkan ini? Engkaulah satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini
bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara
dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku....”
“Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling.
Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai
melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat
yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama
sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu
nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam sekali!”
“Tidak, tidak! Aku tidak menganggapmu kejam,
koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang
merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita
adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah
kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di
mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak, kebun
kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung....”
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan
main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi
juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan
saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih,
membuat diapun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya
nampak demikian indahnya!
“Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan
ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau
kecapaian, kelaparan dan kehausan!”
Gadis itu memandang heran. “Kausengaja?
Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau
menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut
denganku. Kalau engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik
untukmu, pada sebuah keluarga, yang dapat kupercaya dan....”
“Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan
bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke
manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya
keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal
telah ikut denganmu, koko!”
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan
nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini
demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah, bagaimana mungkin? Semua
orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan
tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan
seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat
lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria
yang manapun.
“Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang
lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih menyimpan roti
tawar, hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi....”
“Ssstttt, di sana ada daging....!” Sie Liong
yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan
ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam
semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan
leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling
menjadi girang bukan main.
“Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini
gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu,
Liong-ko.” Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh. “Ahh, bagaimana mungkin
dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira
itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum. “Jangan khawatir, Ling
Ling. Bumbu apakah yang kaubutuhkan? Katakan saja!”
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan
putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin
pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan lesu iapun
menjawab, “Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk
penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih
dan manis....”
Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie
Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan
pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
“Searang pengelana harus selalu menyimpan dan
membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras,
apalagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga
menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya
hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti
kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya. Kegembiraan gadis itu menular pada
Sie Liong. Diapun merasa gembira dan lincah, merasa seolah dia menjadi
kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging,
membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena
bumbunya lengkap, membuat perut mereka semakin keras berkeruyuk saling
bersahutan. Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur
merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian merekapun makan
roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih
segar, lunak dan gurih.
Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan
kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya berdebar aneh.
Mengapa mereka berebut saling memilihkan daging terbaik? Mengapa mereka
saling mementingkan dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran
dan ragu. Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan
Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak
merasakan perhatian lain kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari
seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari
Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia
merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya.
Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk menduga sejauh
itu.
Kini, perut mereka tidak berkeruyuk lagi.
Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah mencuci tangan dan
mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka
membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling
berpandangan melalui atas nyala api.
“Ling Ling....” Sie Liong meragu, suaranya
lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi hatinya.
Gadis itu memandangnya dan bibir itu
terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat
seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
“Ya, Liong-ko?”
“Aku heran sekali....”
Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi
penasaran. “Apa yang kauherankan, Liong-ko?”
“Engkau....”
“Eh? Aku kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil.
“Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?”
“Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat
ingin ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan
tidak mempunyai apa-apa....”
“Sama dengan aku!” Ling Ling menyambung
cepat.
“Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik
dan masih muda, sedangkan aku....”
“Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang
jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan....”
“Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang
laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan....”
“Cukup!” Ling Ling berteriak dan ia
mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang marah.
“Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di
ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau
seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti
menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang
matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu,
ke manapun engkau pergi....” Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu
menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
“Kenapa, Ling Ling? Itulah yang ingin sekali
kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi
mengikuti aku yang tidak kaukenal sama sekali?”
“Pada saat itu aku melihat pandang matamu
seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan
kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan,
menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan
hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua
angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!”
Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu.
“Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena cacat tubuhku?”
Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya.
“Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Biarpun engkau
mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu, bahkan
engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu,
koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu,
yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang,
terutama wanita, jijik dan benci kepadamu....”
“Memang kenyataannya demikian!” kata Sie
Liong, suaranya agak keras.
“Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya
perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ydng
cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti
cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya....
aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia
ini, dan paling gagah....”
“.... dan paling buruk?” Sie Liong menambahkan
swnbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.
“Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu!
Begitulah engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum
seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli! Tidak, koko. Siapa
bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”
Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah
gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya,
bagaimana gadis itu nampak dalam pandangannya, dan dia melihat seorang gadis
yang amat cantik menis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis
yang membuat dia merasa berbahagia, pandang mata yang bening itu seperti
memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan
embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa
bergelak. Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam.
Beberapa ekor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut,
dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang
pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong
dengah sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin
lama semakin kuat dan anehnya, ia seperti mendengar isak tangis terselip di
antara bunyi tawa itu. Seperti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit
berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih
duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan
iapun berteriak dengan gelisah.
“Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa,
Liong-ko?”
Ketika merasa betapa tubuhnya
diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia
menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia
melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis,
mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti
didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling Ling....!”
“Liong-ko.... ah, Liong-koko....!”
Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja
dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi.
Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu berahi
sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan
mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa
akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja
ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong. Mereka berhadapan,
saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong
berkata lirih.
“Ling Ling, terima kasih, engkau telah
mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku
untuk menghadapi penghidupan yang kejam ini, Liong-ko.”
“Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur
yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling
Ling.”
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar
buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di
atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko?
Engkaupun harus mengaso!”
Pemuda itu tersenyum. “Aku sudah terbiasa
dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena harus
menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja
aku akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah, Liong-ko,” Gadis itu menguap dan
menutupi mulut dengan punggung tangan karena ia merasa lelah sekali dan
mengantuk. Begitu ia merebahkan diri miring, iapun pulas. Ia miring menghadap
api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru
dan sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan
kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie
Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat dingin, akan tetapi karena
tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar
dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke
dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke
tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun.
Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis
itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa
kecil.
“Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau
agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begini
dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari
dalam buntalannya. “Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang
kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!”
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih
basah dan sudah diperasnya. “Sudah kucuci tadi!” katanya.
Gadis itu cemberut. “Aih, koko. Berulang kali
engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kaukira aku tidak dapat mencuci
bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kaucuci sendiri!”
Sie Liong mengangguk dan tertawa. “Baiklah,
Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air
yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak
curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis
itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk
memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu.
Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak indah bukan main.
Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang
kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka
sehari-hari, yaitu mencari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri
dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa
sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang amat
riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri. Tiba-tiba dia
mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi. Terlalu
lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biarpun dengan mencuci pakaian,
pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit
berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tidak
nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber
air itu agak menurun.
“Ling Ling....!” Dia berteriak memanggil,
mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti
jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling, rotinya sudah masak....” Dia
berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan
alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu
menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia akan dapat
mendengarnya. Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa
tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya
membuat dia melangkah ke arah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia
berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain dengan
batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air,
atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling Ling....!” Dia memanggil lagi. Kini
tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu
berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang
batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati
gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak nampak bayangan
Ling Ling.
“Ling Ling....!” Akan tetapi tetap saja tidak
ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat
pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi
maupun pakaian kering untuk ganti. Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian!
Wajahnya seketika pucat ketika detik jantungnya seperti terhenti, kemudian
jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang
buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke
atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah
jejak-jejak kaki! Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki
baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka,
pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam
keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi
kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya
masuh hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia
mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi
dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak,
melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas
rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat,
sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki
yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang
dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha
untuk memperkosanya! Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan
tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling
Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking
panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan
tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang
seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap
panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyambar dan rambut
kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tubuh si brewok yang
setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya
seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja. Si
brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan
kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!” kepala si brewok itu pecah dan
otaknya berantakan bersama darah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam
keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan
kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa
mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari
punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok
mereka. Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi, menyambut
mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan
empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka
mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan
tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi! Kini mereka
memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok itu
dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu
menjatuhkan diri berlutut.
“Ampun.... ampunkan kami....”
Akan tetapi, lengkingan ketige kalinya
terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia
menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika
dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah,
memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa merah dan
membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi
di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie
Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam
keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.
“Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?”
tanyanya lembut.
“Liong-ko....!” Ling Ling menjerit dan iapun
pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke
sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu ke tempat mereka
melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian
terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan
menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk
menyadarkannya. Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya.
Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi.
Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang
menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit
semakin nyaring.
“Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam
kalian.... lepaskan akuuuu....!”
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya
untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling, lihat siapa aku....!” katanya
setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian
itu. Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.
“Liong-ko.... ah, Liong-ko....!”
Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak
sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.
“Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah
terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini....”
Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang
bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu
dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie
Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan
berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram
sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya,
dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran. “Liong-ko, engkau
kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi.... ketika aku berada di
sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti
pakaian, tiba-tiba mereka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit
karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau
berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di
sana.... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku
tidak kuat bertahan lagi....”
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan
Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali karena kaget. Pundak
itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling melangkah maju dan
memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti
sayu dan sedih, seperti akan menangis!
“Liong-ko, engkau kenapakah? Engkau kelihatan
begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu parau dan penuh penyesalan. “Aku
telah membunuh mereka....”
Gadis itu memandgng heran. “Tentu saja, koko!
Orang-orang seperti mereka memang layak kaubunuh! Mereka itu jahat sekali!”
Sie Liong menghela napas panjang. “Untuk
menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak
seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Membunuh dengan
hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau
seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali,
tidak ada bedanya dengan mereka....!”
“Tentu saja engkau berbeda sekali dengan
mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan
mereka itu adalah segermbolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka
melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko,
aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan
menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada
sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum,
akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi tadi sebelum
terjadi peristiwa itu.
“Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah,
mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi,
sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan mereka?” Gadis itu terbelalak,
akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk. “Baiklah,
Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling
Leing, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh
merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka
sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang
tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena
cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal
yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Sian-su
kepadanya.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat
lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu.
Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa
ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti
yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau
menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang
yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling
Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.
Penyesalan dan bertaubat tidak akan ada
gunanya kalau hal itu datang dari pikiran belaka. Pikiran hanya alat dalam
kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga
menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu
mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang nafsu. Karena
akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar
kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul
penyesalan dan keinginan bertaubat. Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul
kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri.
Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasanya hal itu
hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau
sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu.
Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya
kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan! Hanya Tuhanlah yang akan dapat
membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah. Kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan dapat mengatur segala Besuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan
kedudukan dan tugas masing-masing. Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat
menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu.
Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin
begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, keenakan,
kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang “ingin”
bebas inipun nafsu, dengan harapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu
menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak. Maka
terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafeu. Jelas tidak
mungkin! Selama ada keinginan akan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan
merajalela.
Lalu timbul pertanyaan tentunya. Bagaimanakah
kita harus melangkah agar kita dapat terbebas dari nafsu? Kita harus
berhati-hati karena pertanyaan inipun datang dari nafsu itu sendiri! Karena
itu, satu-satunya jalan bagi kita adalah melihat kenyataan! Kenyataannya ialah
bahwa pikiran kita bergelimang daya-daya rendah, pikiran kita dikuasai nafsu.
Titik! Kita menyerah kepada Tuhan, menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh
keikhlasan, tanpa membiarkan diri diseret ke dalam keinginan-keinginan ini dan
itu. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Kasih!
Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lashe, ibu
kota di Tibet. Biarpun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang
berkunjung, karena tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di
Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya beberapa
orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke
Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang
berdatangan ke Tibet hanyalah mereka yang berdagang, dan yang mereka kunjungi
hanyalah kota-kota besar seperti La-sha. Yang berkunjung ke telaga Nam hanya
orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.
Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu,
nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu.
Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya. Yang
pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun,
wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah
ketampanannya. Wajahnya dengan kulit muka putih bersih itu berbentuk bulat,
sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali. Hidungnya besar mancung dan
mulutnya selalu tersenyum mengejek. Sepasang matanya tajam mencorong, Akan
tetapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Adapun
yang wanita adalah seorang gadis barusia kurang lebih delapan belas atau
sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang
mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik
karena selalu cerah, penuh dengan senyum dan pandang mata jenaka, wajah yang
hampir selalu berseri. Anehnya gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan,
padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukan
kain buntut. Agaknya memang dibuat tambal-tambalan, dari bahan kain yang baru!
Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sutenya,
Coa Bong Gan. Biarpun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute
(adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid
Koay Tojin. Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong,
adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat
disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan
karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas
dendam atas kematian ayahnYa. Dan ia minta bantuan sutenya, Coa Bong Gan, untuk
membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie
Liong amat lihainya sebagai murid supeknya, yaitu Pek-sim Sian-su.
Karena dua orang ini mencari dengan
sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang
bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan
mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka
mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Mereka menduga bahwa tentulah
Sie Liong yang dijuluki Pendekar Bongkok, maka mereka terus melakukan
pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak
Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya.
Berhari-hari mereka melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja
amat sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biarpun orang itu mempunyai
cacat bongkok sekalipun.
“Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan
berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lasha,” kata Bong Gan. “Sebaiknya kita
pergi saja ke sana. Kalau kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya
kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.”
Bi Sian menyetujui pendapat sutenya dan
pergilah mereka menuju ke Lasha. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam.
Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ
selama satu dua hari. Bi Sian tidak perduli akan pandangan orang melihat
pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada
kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar sekarang tidak melakukan
perjalanan bersama gurunya lagi, namun ia tetap masih mempergunakan pakaian
tambal-tambalan. Ia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan
ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui
kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justeru ia ingin
menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja,
bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung!
Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi
bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan
merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian
seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.
Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang
ketika kecilnya meniadi anak angkat seorang hartawan dan sudah biasa hidup
royal, setelah berpisah dari gurunya, meninggalkan kebiasaan berpakaian
tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walaupun tidak
terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena sucinya tentu akan menegurnya.
Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan
indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada
penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia
mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!
Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian,
terjadi perang selalu dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap
baik dan sesuai dengan yang diinginkan sucinya. Dia memaksa diri bersikap
sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua
selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. Akan tetapi
sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus
menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut
kepada sucinya, melainkan karena dia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena
dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan
hatinya.
Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang
kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah
cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sute yang lebih
tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri
belum yakin apakah ia juga mencinta sutenya itu sebagai seorang wanita mencinta
seorang pria ataukah tidak. Ia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus
diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah
perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan
ini dan mengambil keputusan bahwa sebelum ia mampu membalas kematian ayahnya
terhadap Sie Liong, ia tidak akan memikirkan urusan cinta!
Orang yang sudah menjadi hamba nafsunya, akan
merasa tersiksa kalau dia dalam waktu lama tidak berkesempatan untuk memuaskan
gairah nafsu itu. Pemuasan nafsu itu sudah sedemikian dibutuhkannya, sudah
mencengkeramnya sehingga dia menjadi kecanduan. Hidupnya akan terasa hampa dan
tidak ada artinya, tidak ada kesenangan kalau dia tidak mendapatkan kesempatan
lagi untuk memuaskannya.
Demikian pula dengan Bong Gan. Sejak remaja,
dia telah menjadi hamba nafsu berahi yang dibangkitkan oleh Pek Lan, selir ayah
angkatnya yang kemudian menjadi kekasihnya sehingga perhubungannya dengan
selir itu tertangkap basah, membuat dia terusir dari rumah ayah angkatnya yang
kaya raya. Ketika dia menjadi murid Koay Tojin, sukar sekali baginya untuk
melampiaskan nafsu berahinya. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu
bahwa kalau dia melanggar, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, suhunya yang amat
lihai itu pasti akan mengetahuinya dan kalau sampai suhunya tahu bahwa dia
melakukan suatu perbuatan yang menyeleweng, tentu suhunya marah kepadanya dan
hal itu amat berbahaya. Maka, selama tujuh tahun mengikuti Koay ToSin bersama
Bi Sian, Bong Gan bersikap jujur dan alim!
Lingkungan mempunyai pengaruh yang amat besar
terhadap watak seseorang. Manusia merupakan mahluk yang teragung, terpandai
akan tetapi juga amat lemahnya. Karena dalam dirinya terkandung daya-daya
rendah yang memupuk nafsu yang sudah menyatu dengan hati perasaan dan akal
pikirannya, maka mudah sekali manusia terpikat dan terpengaruh oleh keadaan
lingkungannya. Terutama sekali lingkungan yang tidak sehat mudah sekali
menyeret seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Segala tindak
kemaksiatan memang mendatangkan kesenangan lahir dan ini memang merupakan umpan
dari setan nafsu untuk memikat manusia. Karena itu, mudah sekali lingkungan
yang sesat menyeret seseorang, biarpun orang itu tadinya alim dan tidak suka
melakukan kesesatan. Bahkan lingkungan yang sehat dan bersih, biarpun daya
tariknya tidak sekuat lingkungan yang sesat, tetap saja dapat mempengaruhi
seseorang untuk menyesuaikan diri.
Demikian pula dengan Bong Gan. Setelah dia
hidup bersama Bi Sian dan Koay Tojin, setiap hari bergaul dengan mereka,
bagaikan api, nafsu berahinya tidak lagi berkobar-kobar, melainkan kalau tidak
padam juga mengecil. Nafsu berahinya bangkit sebelum waktunya, ketika dia
berusia tiga belas tahun. Oleh karena itu, tidak begitu sukar baginya untuk
dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari nafsu berahi selama
tujuh tahun itu. Ini sebabnya mengapa Koay Tojin, walaupun meragukan kebersihan
batin murid ini, tidak menemukan suatu kesalahan dan biarpun berlawanan dengan
perasaan nalurinya, tetap mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada Bong Gan.
Dan demikian pula Bi Sian. Setelah selama tujuh tahun bergaul dengan Bong Gan,
ia melihat sikap dan sifat yang baik dalam tingkah laku Bong Gan selama itu,
maka tentu saja iapun percaya kepadanya.
Baru setelah dua orang murid ini berpisah dari
guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, pemuda ini mulai
berani membiarkan nafsu berahinya berkobar lagi, berani dia mencarl wanita
untuk memuaskan gairah nafsu berahinya, baik secara suka sama suka, secara suka
rela, dengan cara membeli maupun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya.
Namun, hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia memperoleh
kesempatan karena biarpun sudah berpisah dari suhunya yang dia takuti, dia masih
bersama sucinya (kakak seperguruan). Bukan karena dia takut kepada Bi Sian,
melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Dia tidak ingin kelihatan
sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu
mengetahui kesesatannya, tentu harapannya untuk mempersunting bunga yang harum
itu akan lenyap.
Ketika berada di Sung-jan, tempat tinggal
orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia mempunyai
kesempatan untuk memuaskan nafsu berahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir
yang mewah. Celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah
kandung Bi Sian! Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberitahu
tentang keberadanya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tidak ada jalan
lain kecuali membunuhnya! Dibunuhnya Yauw Sun Kok dan diapun menyamar sebagai
Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga
menimbulkan perasaan cemburu di hatinya. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw
Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi
Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya
membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti
telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja
untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga
untuk membalas jasa. Kalau mereka maju berdua, betapapun lihainya paman dari Bi
Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu
harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan
tertutup selamanya.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan
selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang dicintanya itu,
sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun
dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh
membelainya. Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada
wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang
terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia
selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh agar jangan sampai gadis
yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua orang muda itu mendayung perahu
kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk
hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan
gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu.
Dia yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.
Setelah perahu meluncur sampai di tengah
telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu
terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata,
“Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau
itu. Alangkah indahnya di sana, sute,” Gadis itu memang selalu bersikap
gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak galak.
Mereka mendekatkan perahu ke pantai lalu
mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke
tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi
dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak. Melihat wajah
sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali,
melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam
pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya kalau mereka telah menjadi
sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas
pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas,
tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Bayangan pikiran ini membuat
jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan berkobar. Namun, Bong Gan
adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah
mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia
mempergunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan
sucinya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian
hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar
jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja,
melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku
seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari
mulut Bi Sian. Gadis ini merasa heran melihat betapa sutenya memandang
kepadanya tidak seperti biasa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas
sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan
hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang
sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia
tersipu. “Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya, kecerdikan dan
ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap
kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas
panjang. “Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat indah
pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!”
“Aku merasa seperti di sorga, suci!”
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. “Di
sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali
pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini
tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga? Aku
tidak tahu....”
“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan
bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum.
“Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”
“Karena ada engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri
dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan
omongan itu?”
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat
muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. “Maafkan aku, suci, aku
hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci,
akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat
ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya
kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak
pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia
mengerti apa yang menjadi isi hati sutenya itu.
“Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana
mungkin kita berdampingan selama hidupmu....”
“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita
menjadi suami isteri....”
“Sute....!!” Bi Sian berseru, matanya
terbelalak karena ia menganggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.
“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku
bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi
dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas
tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman
berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari
suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang
seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita
sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah
kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak
untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”
Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah
mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh
cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya
sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula
marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua
perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan
kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas
sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute....!”
“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai sekarang, engkau kularang bicara
seperti itu lagi, kularang membicarakan tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku
padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar ada
kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku....”
“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang!
Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil
menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan
permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi
untuk menghadapi musuh besarku itu.”
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum,
senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi
marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan
syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!
Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun “ada hati” kepadanya. Andaikan
tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu
bahwa jawabannya kelak akan “tidak”, tentu ia tidak akan memberi waktu.
Jawabannya jelas “ya”, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu,
kebahagiaan hidupu berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan
maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian menarik napas lega, ia lalu
membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali
seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau
itu. “Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha.”
“Baik, suci,” kata Bong Gan, tak banyak
membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh
membuat sucinya marah atau jengkel.
***
Semenjak puterinya pergi tanpa pamit, dan
setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari
menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tahun, akan
tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat
berat. Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia
harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan
matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu. Penderitaan
batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria
itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami
dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya
kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai
melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi
puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika
adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bongkok, lebih
bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang
cantik dan lihai. Akan tetapi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya.
Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong.
Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suaminya adalah
pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki
kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan
akan membunuh Yauw Sun Kok! Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong
dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya
kepada Sie Liong! Ia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya,
juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena
kematian ayahnya.
“Aihh, apa yang dapat dan harus
kulakukan....?” Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama belasan hari
ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat.
Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari
kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan
panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia mengenangkan kembali
semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya. Ia telah
menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka
adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya membunuh
suaminya. Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong.
Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia
bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras
telah membunuh suaminya? Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk
terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan
membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus
berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir
nyonya muda itu. Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan
dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang
dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena
suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu
adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya
yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang
memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih.
Ia hidup kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa
puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian
ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat
menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu
mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak. Akan
tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang
teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan terlebih
dahulu. Dan satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu
adalah tempat pelesir di mana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk
bermain perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa memperdulikan anggapan orang melihat
ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah
pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia
membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para
pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua
orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan
mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada
kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
“Dia tidak bermalam di sini,” kata mereka,
“melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok dan pulang
menjelang tengah malam.”
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia
bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan
seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat?
Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah
yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan
kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus
terang....”
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan
ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.
“Setelah dia minum agak banyak dia memang
mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan
kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang
kebenciannya kepada seorang bongkok....”
Lan Hong tertarik sekali. “Seorang pemuda?
Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”
“Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang
kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami.
Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”
“Siapakkh pemuda itu? Apakah dia.... bongkok?”
Dua orang pelacur itu tertawa.
“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali
tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak
memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia langganan lama di sini?”
“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai
kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan
royal....”
“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung
berdebar tegang.
“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang
dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang
pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang
pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang mereka bicarakan.
“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya
mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami
menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang....
menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak
melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi
Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah,
tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!” tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang
agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat
segala-galanya!” kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.
“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya
putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka....
suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan
kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek....”
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia
memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang
cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apapun ia
meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong,
nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan
rumahnya, membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya. Ia
pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan
bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di
Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut
adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya. Maka,
kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya
adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi
Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan,
memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki
sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah.
Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam
usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang
matang dan penuh daya tarik. Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu.
Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah.
Untung bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru
silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok,
iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu
silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri. Dengan sikapnya yang
pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang
ajar meniadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat
menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi
bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan
tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar,
dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat.
Agaknya, ia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam
di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.
Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki
daerah Tibet, dan ia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya.
Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat
keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut
keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lasha masih membutuhkan
waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di
dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan
akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang
ini. Dengan hati kecut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat,
memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di
puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari
menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi
hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki
yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di
dada mereka ada lukisan seekor kala putih yang menyeramkan.
“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang
diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya.... hebat!”
Sepuluh orang itu sudah mengepungnya dan Lan
Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia
digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini
kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang
mengerikan. Biarpun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar
dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar penuh rasa tegang dan gelisah.
Namun, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang
wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari
sini!”
“Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis.
Karena kasihan dan sayang maka kami tidak akan membiarkan engkau berjalan
sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di antara mereka.
“Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak
ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak
akan kebagian!” kata yang lain.
Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan
setuju. Segera mereka berlumba untuk menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap
dan ia mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.
“Harap kalian mundur atau terpaksa aku
mempergunakan pedangku!” bentaknya.
Melihat betapa wanita yang manis itu memegang
pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka
memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka
mengepung.
“Wah, pandai juga bermain pedang, ya? Bagus,
kalau melawan lebih mengasyikkan!” Dan kembali mereka hendak menangkap dari
berbagai jurusan.
Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong
menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikknu tubuhnya. Orang yang
berada di belakangnya, terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik
tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju
dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.
“Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita
tundukkan dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang
kalau sampai ia terluka!” Dan mereka mencabut golok mereka, golok besar yang
kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong memutar pedangnya dan beberapa
batang golok menangkis. Ketika mereka mengerahkan tenaga.
“Trangggg....!” Pedang itu terlepas dari tangan
Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak
dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara
mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa
gembira lalu lari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti
segerombolan srigala yang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin
bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka. Mereka
mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia
dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh
orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa
dan dihina. Akan tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga
untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak
mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak segera
menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat
sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan
kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil
itu. Siapa tahu penghuni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan.
Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu,
manis? Tempat yang enak untuk bersenang-senang!”
Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan
berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah
sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada
orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan
berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.
“Jangan takut, masuklah dan kami yang akan
menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak dua orang pria yang gagah
berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang pemuda yang
berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang
bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang ke dua
bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi
sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan
Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah
saya,....”
“Enci yang baik, jangan takut. Masuklah dan
kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang tinggi besar dan dia berkata
kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita hadapi mereka, di depan
kuil!” Mereka lalu berloncatan keluar. Lan Hong cepat menyelinap di balik
dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan
tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap
membela dan melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu
memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang
yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar
seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat dua orang
pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.
“Heii, siapa kalian berani menghadang di depan
kami? Hayo cepat menggelinding pergi!” bentak seorang di antara sepuluh orang
berpakaian hitam itu.
Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan
telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya
yang bidang. “Hemm, sudah lama kami mendengar tentang gerombolan Kala Putih
yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala Putih bukan hanya
perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan untuk
mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam
kalian!”
Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan
mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang
tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya ia mewakili kawan-kawannya dan
dengan suara melengking tinggi diapun membentak.
“Kalian ini bocah-bocah ingusan hendak
menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan
membunuh orang tanpa nama!”
Pemuda tinggi besar itu dengan lantang
menjawab, “Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid
Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute
ini adalah Kok Han!”
Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain
adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu.
Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi
ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian
Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie
Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek dan
membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti
telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar
Bongkok Sie Liong ketika Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang
dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah
murid-murid Kun-lun-pai sepuluh orang berpakaian hitam itu menja di semakin
marah. “Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak
mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan
Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai
yang sengaja hendak menentang kami?”
Ciang Sun tersenydm mengejek. “Selama Kala
Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak perduli. Akan
tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapapun
juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat,
tentu saja kami menentang kalian!”
“Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan
biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan
Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!”
“Persetan dengan Kala Putih yang jahat!”
bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka.
Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka
tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak
ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan tetapi, para anggauta
Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk
melakukan kekerasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap kedua orang
murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai menyerang!
Ciang Sun dan sutenya, Kok Han, menggerakkan
pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru.
Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika tertimpa matahari sore
menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah dan
dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah
menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan
golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan
yang membuat sepuluh orang anggauta Kala Putih itu menjadi kacau balau dan
terdesak mundur!
Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung
melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Ia
ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya telah hilang ketika ia
dikeroyok tadi. Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan
melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api
unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter
lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata. Lan
Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia
akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diripun tidak ada
gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik
membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka! Ia
lalu meloncat keluar dan menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan
tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.
“Bukk!” Orang itu terjungkal pingsan karena
pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan
tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Melihat ini, dua orang
pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka
dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan
tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan para pengeroyok adalah
orang-orang kejam yang semua memegang golok.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu
tertawa gembira lalu lari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti
segerombolan srigala yang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin
bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka. Mereka
mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia
dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh
orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa
dan dihina. Akan tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga
untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak
mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak segera
menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat
sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan
kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil
itu. Siapa tahu penghuni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan.
Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu,
manis? Tempat yang enak untuk bersenang-senang!”
Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan
berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah
sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada
orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan
berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.
“Jangan takut, masuklah dan kami yang akan
menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak dua orang pria yang gagah
berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang pemuda yang
berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang
bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang ke dua
bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi
sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan
Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah
saya,....”
“Enci yang baik, jangan takut. Masuklah dan
kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang tinggi besar dan dia berkata
kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita hadapi mereka, di depan
kuil!” Mereka lalu berloncatan keluar. Lan Hong cepat menyelinap di balik
dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan
tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap
membela dan melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu
memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang
yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar
seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat dua orang
pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.
“Heii, siapa kalian berani menghadang di depan
kami? Hayo cepat menggelinding pergi!” bentak seorang di antara sepuluh orang
berpakaian hitam itu.
Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan
telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya
yang bidang. “Hemm, sudah lama kami mendengar tentang gerombolan Kala Putih
yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala Putih bukan hanya
perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan untuk
mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam
kalian!”
Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan
mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang
tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya ia mewakili kawan-kawannya dan
dengan suara melengking tinggi diapun membentak.
“Kalian ini bocah-bocah ingusan hendak menentang
Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh
orang tanpa nama!”
Pemuda tinggi besar itu dengan lantang
menjawab, “Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid
Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute
ini adalah Kok Han!”
Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain
adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu.
Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi
ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian
Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie
Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek dan
membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti
telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar
Bongkok Sie Liong ketika Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang
dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah
murid-murid Kun-lun-pai sepuluh orang berpakaian hitam itu menja di semakin
marah. “Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak
mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan
Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai
yang sengaja hendak menentang kami?”
Ciang Sun tersenydm mengejek. “Selama Kala
Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak perduli. Akan
tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapapun
juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat,
tentu saja kami menentang kalian!”
“Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan
biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan
Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!”
“Persetan dengan Kala Putih yang jahat!”
bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka.
Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka
tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak
ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan tetapi, para anggauta
Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk
melakukan kekerasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap kedua orang
murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai menyerang!
Ciang Sun dan sutenya, Kok Han, menggerakkan
pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru.
Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika tertimpa matahari sore
menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah dan
dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah
menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan
golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan
yang membuat sepuluh orang anggauta Kala Putih itu menjadi kacau balau dan
terdesak mundur!
Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung
melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Ia
ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya telah hilang ketika ia
dikeroyok tadi. Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan
melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api
unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter
lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata. Lan
Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia
akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diripun tidak ada
gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik
membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka! Ia
lalu meloncat keluar dan menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan
tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.
“Bukk!” Orang itu terjungkal pingsan karena
pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan
tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Melihat ini, dua orang
pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka
dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan
tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan para pengeroyok adalah
orang-orang kejam yang semua memegang golok.
“Enci, masuklah ke dalam, biar kami yang
menghajar mereka!” teriak Kok Han dengan khawatir.
“Tidak, aku harus membantu kalian membasmi
iblis-iblis jahat ini!” jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya.
Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok dan Lan Hong terhimpit, lalu
sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu
terguling roboh!
“Hati-hati....!” teriak Ciang Sun yang cepat
menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengeroyoknya, dengan
pedangnya berkelebat ke kiri merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, dan
melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya. Akan tetapi Lan Hong
bangkit lagi dan mengamuk lagi, tidak memperdulikan pahanya yang terasa nyeri.
Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi
semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk
seperti seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan
tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan
suara pria yang besar dan parau, “Tahan semua senjata!”
Mendengar suara ini, sembilan orang
berpakaian hitam itu segera berloncatan ke belakang. Ada yang menolong kawan
yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan
girang berseru, “Toako datang....!”
Melihat para pengeroyok berloncatan mundur,
Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh
perhatian. Lan Hong juga meloncat ke belakang dan wanita ini menahan rasa
nyeri di pahanya, wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan
lehernya basah keringat, rambutnya kusut, akan tetapi ia nampak semakin manis
menarik dan gagah ketika ia berdiri tak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai
itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena
berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.
Orang yang baru datang itu adalah seorang
laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh tahun.
Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan
kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah
diketahui bahwa dia adalah seorang bule. Rambut di kepalanya agak kekuningan
yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan
lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi
terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar
daripada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah
kepala dari gerombolan Kala Putih itu.
Dengan suara yang aneh dan asing logatnya,
raksasa bule itu berteriak marah. “Heh, siapa yang berani membikin ribut di
sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa
berkelahi melawan anak buahku?”
Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang
anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan, “Toako, mereka berdua itu
adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita itu
yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan
kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan
melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!”
Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan
wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh
menyeramkan dan begitu penuh gairah! Kemudian raksasa itu, setelah menjelajahi
seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kiranya memperebutkan wanita? Aha,
baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita.
Tidak aneh, tidak aneh!”
“Kami tidak memperebutkan wanita!” bentak
Ciang Sun marah. “Kami melindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak
buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi
siapa saja yang terancam!”
“Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat
muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan
denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku,
mengingat hubungan baik antara Kala Putih dan Kun-lun-pai. Ketahuilah bahwa aku
adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah
mengganggu Kun-lun-pai.”
“Kami tidak akan membiarkan siapa saja
mengganggu manita ini!” bentak pula Ciang Sun.
“Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak
bertanding? Baik, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan taruhan
dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian
boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian
kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?”
Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba
membentak dengan suara nyaring, “Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku.
Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!”
“Konga Sang,” kata Kok Han yang brewok gagah,
“kalau engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan
perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita
untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita
melainkan nyawa kita!”
“Kalian orang-orang muda sombong!” Konga Sang
berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang
rantai yang tadi melibat pinggangnya. Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya
ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang menyeramkan. Inilah
senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak,
“Kalau kalian berani, majulah!”
Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala
gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka merekapun maju dengan sikap yang
waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong, “Enci, engkau mundurlah!”
Lan Hong tahu diri. Iapun maklum bahwa kepala
gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak buahnya tentu lihai bukan
main dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat
dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa
diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya.
Maka iapun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Ia
mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi
apapun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa,
ia akan mempertahankan diri sampai mati!
“Haiiiiiitt....!” Kakek raksasa itu berteriak
dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang lawannya.
Ciang Sun dan Kok Han mempergunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan
merekapun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang
dapat ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang
bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar.
Terjadilah perkelahian yang hebat, lebih seru daripada tadi ketika dua orang
itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.
Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih,
kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat
kenyataan bahwa lawan mereka sungguh amat lihai. Permainan rantai itu sungguh
dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat
dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu
rantai, mereka merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas.
Bahkan beberapa kali, hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan
getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.
“Ha-ha-ha, mampuslah!” Tiba-tiba raksasa bule
itu membentak dan rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang
Sun. Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai
itu mengenai leher bajunya.
“Bretttt....!” Baju itupun terobek sampai ke
bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak
terluka! Pada saat itu, Kok Han sudah menusukkan pedangnya untuk melindungi
kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba
dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan
dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan
Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat
dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan diapun terpelanting
dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam
ilmu gulat! Ciang Sun cepat memutar pedangnva menyerang untuk melindungi
sutenya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali.
Kembali, kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai dan kini
mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.
“Ha-ha, kalian jaga baik-baik agar
pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan
kusembelih, ha-ha-ha!” Konga Sang berkata kepada anak buahnya karena dia sudah
merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya
dan memondong wanita manis itu.
Sambil menyeringai, anak buahnya mendekati Lan
Hong. Wanita ini memandang dengan wajah pucat. Iapun tahu bahwa dua orang
penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini
tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan
itupun ia tidak akan menang. Oleh karena itu, iapun sudah mengambil keputusan
nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia
mengangkat tongkatnya sambil berseru, “Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!”
Akan tetapi, dua orang di antara para anak
buah gerombolan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, melangkah maju
sambil menyeringai.
“Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan
menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!”
Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan
hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, akan
tetapi ia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat. Akan tetapi, dua orang
anak buah gerombolan itu adalah dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang
dihantam tongkat itu miringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang ke
dua sudah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan
orang pertama sudah merangkulkan kedua lengannya yang panjang dan besar
melingkari pinggang ramping Lan Hong.
“Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku....!”
Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga
yang kuat sekali.
Pada saat itu, terdengar bentakan, “Kalian
srigala-srigala yang jahat!” Bentakan ini disusul berkelebatnya bayangan
orang dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta
itu tiba-tiba saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit
kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan
beberapa buah tulang iga patah-patah. Kiranya yang muncul adalah seorang
laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang
roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang menangkap
Lan Hong.
Lan Hong terbelalak dan memandang kepada
penolongnya. Seorang pria yang tinggi besar dan gagah perkasa, usianya hampir
empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya berwarna
biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce merah.
Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi
girang sekali.
“Lie susiok (paman guru Lie)!” seru mereka
dengan gembira dan hampir berbareng.
“Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah
Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!” kata pria gagah perkasa itu.
Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang
dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat dan
menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek telah mencabut
sebatang pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka
Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam
yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!
“Hemm, siapakah engkau?” Konga Sang membentak
ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya
tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan
mencorong.
“Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan
sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang kebetulan sekali kita
bertemu di sini, aku tidak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu
kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai!”
“Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh
mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang,
suka mencampuri urusan orang lain!”
“Tak perlu banyak cakap, Konga Sang! Bukan
hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan
menentang perbuatan jahat!”
“Manusia sombong!” Bentak Konga Sang dan
rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek. Pendekar ini
merendahkan tubuhnya dan ketika rantai melewati atas kepalanya dia melangkah
maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap,
cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang
didahului angin dan suara mendesing! Terkejutlah Konga Sang dan dia terpaksa
melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat
gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie
Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan
menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang
ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
“Tranggg....!” terdengar suara nyaring dan
bukan main kagetnya hati Konga Sang ketika melihat betapa ujung rantainya
berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu merupakan pedang pusaka
yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya ujung sepanjang satu dua
jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walaupun
tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya
menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.
Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan
langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan diapun membalas
dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadi pertempuran yang amat seru di
antara kedua orang ini. Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka
bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu,
sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya
terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa kepala
gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat
menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali
tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk,
menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tujuh orang itu. Yang dua
tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada
tengkuknya, biarpun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu
berkelahi, agaknya gegar otak! Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah
mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua
orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di
daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum
bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan hanya
kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan dengan
sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak
lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga
membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang
melindungi dirinya, dia berseru keras.
“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajak pergi nona
itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alisnya.
Kenapa susiok mereka menyuruh mereka melarikan diri? Padahal, jelas bahwa susioknya
tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah
gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga
tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah
perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia
memiliki alasan yang kuat.
“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik
tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka.
Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani
mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan,
mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya daripada mengejar tiga orang
itu, mereka kini membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali
merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah
bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang,
dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang
pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam. Lie Bou Tek sebetulnya
memiliki ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang
pusakanya membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal ini, dan dia
tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dibantu
beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya. Maka, dia memberi
waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita
itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan menghilang di
balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulal diselimuti kegelapan karena
malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali.
“Kejar!” teriaknya, dan merekapun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam
hati mereka timbul rasa jerih menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu,
maka mereka tidak berani berpencar ketika mengejar dan mencari sehingga gerakan
mereka tidak dapat cepat. Apalagi mereka terhalang oleh kegelapan malam
sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan
yang terluka atau tewas. Konga Sang mengapal tinju dan berkata dengan geram.
“Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku!
Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!” Walaupun ucapan ini lebih
banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena diapun tahu
betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan
pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya
sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur.
Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka
berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat
penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh
datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena
sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan
Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan dua orang pendekar
Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata
mereka.
Lan Hong juga ikut berlutut dan berkata, “Atas
pertolongan taihiap, akupun mengucapkan terima kasih.”
“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona.
Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh
di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini. Andaikata mereka datang, kita
dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk
melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin
api unggun di sini.”
Demikianlah, mereka kini duduk saling
berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat.
Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, terhalang api
unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan
jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga
puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut,
seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang,
penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan
kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda,
atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika
mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor
harimau. Tanpa ia ketahui, pria di depannya itupun sejak tadi memperhatikannya,
walaupun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita
dan tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu,
tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya
sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak
geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang
wanita yang sudah dewasa benar. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya
yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis,
dengan kulit yang mulus dan mulut yang membayangkan kealiman, akan tetapi
sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah
jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.
“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah
bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi dengan orang-orang
gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan
mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong. Ketika pandang mata
mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria
yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali
mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh
seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia
tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita.
Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah
wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik
menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia selalu menolak. Dan sekarang
dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan
belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah
ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu
untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”
“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua)
Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,”
kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul
dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya
surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian
Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk
menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet
Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama,
Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama. Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran
sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap
bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara
Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para
pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai. Oleh
karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie
Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu
dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas,
maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan
penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie Bouw Tek
mengangguk-angguk. “Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima
baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang
keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan gerombolan
Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja,
susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika
tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh gerombolan Kala
Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami
lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan kami semua.”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya mendengar
Ciang Sun menyebut “enci” (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang
Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua
dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya,
bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, nona? Dan siapakah nona,
mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia
menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita
tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin nona sudah tahu bahwa kami
bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua
orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”
Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat
kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih namun cukup jelas bagi
tiga orang itu. “Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di
perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap
jangan menyebut nona kepadaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku
pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari puteriku....”
Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya.
Wanita ini sudah menikah, bahkan sudah mempunyai seorang puteri! Kalau begitu,
agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar. Dia merasa
betapa mukanya menjadi panas dan untunglah bahwa sinar api unggun memang sudah
kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan
nampak oleh orang lain.
“Ah, maafkan aku, toanio (nyonya). Kiranya
toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka
seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu.... maaf....”
Lan Hong menundukkan mukanya, bukan karena
sedih melainkan karena malu dan ucapannya lirih sekali. “Dia sudah
meninggal....”
“Ah, maafkan aku, toanio!” seru Lie Bouw Tek
dan ingin dia memukul kepalanya sendiri mengapa ada perasaan lega dan girang
di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal.
Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri. Sementara itu,
diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa heran dan geli melihat betapa susiok
mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu kini telah beberapa kali
minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi
gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang
yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
“Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah
lewat,” kata Lan Hong.
Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan
ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan lagi, apalagi
untuk bertanya. Kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya
mendorongnya untuk bertanya lagi.
“Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke
manakah perginya adikmu dan puterimu itu?”
“Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak
mencari mereka di Lasha.”
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, lalu berkata
kepada kedua orang murid keponakannya. “Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan
kepada kedua suheng tentang pesanku tadi, sesuai dengan tugas yang mereka
berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lasha dan karena toanio ini hendak mencari
keluarganya di Lasha, maka biar aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus
melakukan perjalanan seorang diri ke Lasha, hal itu amat berbahaya karena Lasha
masih jauh dari sini.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu
mengangguk. “Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali ke
Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau anci ini ada temannya ke Lasha. Siapa
tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok
berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.”
“Aku mengerti. Bagaimana, toanio, setujukah
engkau apabila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lasha? Kebetulan sekali
akupun hendak pergi ke sana.”
“Tentu saja, ahh, tentu aku merasa senang
sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa sukarnya mencari
adikku, dan betapa barbahayanya perjalanan ini. Aku berterima kasih sekali
kepadamu, taihiap.”
“Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat
besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang
begini jauh, dan akupun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat
menemukan adikmu di Lasha. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang
di antara orang banyak di tempat yang besar....”
“Adikku mudah dicari. Dia.... dia mempunyai
cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok....”
Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang
dan Kok Han segera berseru, “Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie
Liong?”
Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang
heran. “Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Ah, kiranya Pendekar Bongkok itulah adikmu,
enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu
bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu
dengan dia!”
Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira
sekali. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?”
Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar
bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua
orang murid keponakannya.
“Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok
itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya.”
Kini Ciang Sun yang menjawab. “Aih, susiok.
Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw, masih amat muda akan tetapi
namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok,
kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan
seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar
Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok sehingga kami berdua merasa seperti
kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali,
enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan
dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang menggemparkan
dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu,
kamipun pernah bertemu dengan dia. Akan tetapi, baiklah kami ceritakan saja
pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu,
enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami
kagumi itu.”
Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan
pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang lalu ketika
mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama
Jubah Merah. Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu
usia mereka baru dua puluh tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu
ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh
tertotok. Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu, akan tetapi
tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang
bernama Pek-in Tosu, berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara
Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.
“Nanti dulu, bukankah Pek-in Tosu itu seorang
di antara Himalaya Sam Lojin?” tanya Lie Bouw Tek yang banyak mengenal tokoh
Himalaya dan daerah barat.
“Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali,
akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan ilmu sihir melalui
suara nyanyian mereka, Pek-in Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, pada
saat itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanya seorang anak laki-laki
berusia dua belas atau tiga belas tabun yang bongkok, dan Pek-in Tosu
tortolonglah.”
“Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu
lihainya?” Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.
“Tidak, susiok. Pada waktu itu, dia belum
pernah mempelajari silat, ataupun kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan
tetapi dia memang aneh dan cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu
bernyanyi-nyanyi yang mengandung sihir sehingga Pek-in Tosu kewalahan, anak
itu lalu menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali.
Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu dan
mereka kalah oleh Pek-in Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang
pertama dengan Pendekar Bongkok.”
“Sungguh menarik sekali!” kata Lie Bouw Tek
kagum.
“Ah, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang
pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu oleh Sie Liong?” kata Lan
Hong.
“Dua orang pandeta Lama itu marah sekali dan
mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek-in Tosu yang sudah sadar
kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang
pendeta Lama itu.”
“Dan bagaimana perjumpaan kalian untuk yang
kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?”
“Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi
beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun di perbatanan Tibet. Ketika itu kami
menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta pernikahan puteranya.
Akan tetapi pernikahan itu gagal karena Pendekar Bongkok turun tangan
mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun
itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan
Pandekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam perjumpaan
itulah dia mengenal kami berdua. Ternyata dia telah menjadi seorang pendekar
yang sakti!”
Lan Hong menarik napas panjang mendengar
cerita dua orang murid Kun-lun-pai itu. “Ya, memang setelah pulang dari
perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.
Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim
Sian-su.”
“Ahhh....!” Lie Bouw Tek berseru dengan mata
terbelalak panuh kasum. “Pantas saja adikmu itu menjadi seorang pendekar yang
sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya
Sam Lojin sudah hebat apalagi menjadi murid Pek-sim Sian-su! Ah, sungguh hebat
sekali adikmu itu, toanio!”
Mendengar pujian-pujian itu, Lan Hong sama
sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali,
mengingat akan nasib adiknya. Sejak kecil, adiknya sudah mengalani
kesengsaraan, bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih
tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk
dibunuh!
Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw
Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita itu untuk mengaso.
Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun. Sebentar
saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali. Lie Bouw Tek masih
bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama
kemudian merekapun mengaso dengan duduk bersila.
***
Mereka berduA menunggang kuda berdampingan dan
membiarkan kuda mereka berjalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli
dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong
berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu
mencegahnya. Diam-diam Lan Hong semakin kagum kepada pendekar yang bertubuh
tinggi besar itu. Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan
tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan terhadap
dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar ataupun melanggar
kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan
di waktu memandangnya, pendekar itu selalu membatasi diri.
Karena senja telah tiba dan malam menjelang
datang menggelapknn bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit
itu. Mereka memilih sebuah guha di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai
tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut guha dan setelah
makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu
duduk bercakap-cakap di dalam guha. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir
nyamuk. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka,
sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah
sepasang suami isteri.
Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam
lamunan masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan. Bagi
Lan Hong, perasaannya yang amat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan
pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan
badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalaupun
akhirnya timbul perasaan cinta kepada Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena
keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya,
maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan
mencinta suaminya. Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang
amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap Suaminya terhadap adiknya, dan
kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi
teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya. Dan selama itu, sama sekali
ia tidak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandangpun
tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, tiba-tiba
saja, tanpa disangkanya, ia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan
seorang pendekar yang dalam segala-galanya jauh berbeda dengan mendiang
suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang
sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau
seekor naga jantan.
Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis
herannya melihat kenyataan yang terjadi pada hatinya. Semenjak kegagalan cinta
pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita, bahkan ada kecondongan
menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa di balik kehangatan dan
kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, di balik keindahan itu tersembunyi racun
yang jahat. Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang
sudah menjadi janda ini, yang biarpun tergolong cantik namun tidaklah luar
biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Mengapa timbul perasaan iba yang
mendalam, juga perasaan kagum terhadap wanita ini yang mendorongnya untuk
membela dan melindunginya, kalau mungkin selama hidupnya?
“Toanio, engkau mengasolah, biar aku yang
berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.
“Aku belum mangantuk, taihiap. Engkau mengasolah
biar aku yang berjaga. Masa satiap kali kita bermalam di tempat terbuka,
engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.”
Lie Bouw Tek tersenyum. “Sudah sepantasnya
begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu
menjaga dan melindungl wanita yang lemah.”
“Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan
lemahnya, taihiap.”
Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah
itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinaraya seperti matahari tertutup
awan hitam. Dia menarik napas panjang. “Toanio, ada sedikit permintaan dariku,
harap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.”Lan Hong balas
memandang, sinar matanya tajam menyelidik. Bagaimanapun percayanya kepada
pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah
pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati. “Taihiap, permintaan
apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi
kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”
“Setiap kali engkau menyebut taihiap
kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita melakukan perjalanan bersama,
berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala
kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kaupakai itu membuat aku merasa
seperti kita ini saling berjauhan dan asing.”
“Ah, sungguh aneh. Aku sendiripun merasa tidak
enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian
menghormati aku dan merendahkan dirimu.”
Mereka saling pandang, lalu keduanya
tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang
sahabat baik, atau seperti anggauta keluarga? Kita seperti kakak dan adik,
bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi
(adik perempuan)?”
Biarpun wajahnya berubah merah dan jantungnya
bardebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, toako.
Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”
“Dan aku akan menyebutmu siawmoi Sie Lan
Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”
Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong
mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh
setdah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman
mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya. “Hong-moi, aku masih merasa heran sekali
mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu,
Pendekar Bongkok itu?”
Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua
matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan
Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini. “Dia pergi sendiri,toako. Ia
pergi untuk mencari panannya yang pergi lebih dahulu.”
“Hemm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan
sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang
diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”
Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata
terbelalak melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa
geli sambil menutupi mulut dengan punggung tangannya.
“Eh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”
“Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan
seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan
pula seorang gadis lemah!”
“Ah, tidak mungkin! Aku tidak percaya!”
Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang
heran. “Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku
membobong?” Dalam suaranya torkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terada
nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.
“Aku tidak mengatakan engkau membohong,
Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang
puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukan anak tiri,
atau anak angkat?”
“Eh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku
sendiri!”
“Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu
berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas
tahun?”
Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis
sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya
menipis.
“Lie-toako, berapa kaukira usiaku sekarang?”
“Paling banyak dua puluh lima tahun.”
Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi
mulutnya dengan tangan, “Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah
tiga puluh tiga tahun.”
“Apa? Tidak mungkin sama sekali! Engkau....
sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!” Teriak Lie Bouw Tek penasaran
sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan senang sekali
hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria, yang
dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya?
“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu
aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”
“Aihhh.... maafkan aku. Sungguh mati sukar
dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.”
“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun,
toako, mungkin malah lebih tua daripadamu.”
“Ah, tidak, tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat.
“Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”
“Tantu engkau sudah mempunyai beberapa orang
putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan berapa usia anakmu yang
pertama?”
Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Aku tidak
mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.”
“Ahh....!” Lan Hong menundukkan mukanya yang
tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak
tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah!
Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda
dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang
pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan yang bukan-bukan!
Kembali keduanya berdiam diri seperti
tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena
malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun,
gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya seperti mati. Lie
Bouw Tek soperti sadar kembali dari lamunan.
“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk
Pendekar Bongkok itu?”
“Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun
lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”
“Hemm, sudah demikian lihainya walaupun masih
amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu
tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”
“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”
“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan
belas tahun, sungguh berbahaya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan
untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi untuk puterimu yang
berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan.
“Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi
Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan
mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie
Liong.”
“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah
terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari
janda muda yang manis ini. “Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid
siapakah puterimu itu, Hong-moi?” Di dalam hatinya, sukar untuk dapat
mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
“Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid
seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin.”
“Benarkah?” Kembali pandekar itu terkejut.
“Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang
pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Sian-su.”
“Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi
Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong.”
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik
napas panjang. “Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat,
Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan
keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang
masih muda? Apakah karena penyakit?”
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri.
Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.
“Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau
pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan
engkau tidak perlu menjawabnya.” Di dalam suara itu terkandung keluhan. Lan
Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu
menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang
telah mendapat keparcayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya
sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar
yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa
demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka
saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.
“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku
tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu....
tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang
dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani
melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di
sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Tidak
diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap
pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi,
juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu
terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw
Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan
mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya. “Mereka
berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan
rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh
ayahnya. Karepa tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan
pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian
ayahnya.”
“Ah.... ahh....!” Bouw Tek kini tidak mampu
bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya
dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi.
Akhirnya dia hanya mengeluh, “Hong-moi.... sungguh kasihan sekali engkau.
Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang hebat pula.
Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga
puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah
mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakuken pembunuhan itu. Sebetulnya
bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku?
Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu
yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid
keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat,
bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia
yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi....”
“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai,
Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga membuat aku
beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus
menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah
pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia
menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu
harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi
rahasia, yang paling buruk sekalipun! Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal
benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana
nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah?
Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya. “Lie-toako, terus terang saja,
riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan
menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai
dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami
bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di
kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak
dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam
kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku
berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan.” Ia herhenti
sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.
Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan
mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang
dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda
yang dibunuh orang.
“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit
sekali. “Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia
bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang
berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat
adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan
selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang jantan itu berubah menjadi
kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju.
“Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan
kepalanya!”
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan
Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. “Sebaiknya kulanjutkan
riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan
dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku
menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku
yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi
ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau,
toako?”
“Aku percaya, aku percaya.... aih, si
keparat!” kata Bouw Tek.
“Setelah aku menjadi isterinya, dia
meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui
bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun
maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai
akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu....”
“Hemm....” Bouw Tek mengerutkan alisnya dan
tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang
telah monjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan
menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada
wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia
berkata lirih, “Hemm, dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik....”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Nampaknya saja
begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat jahat. Dia selalu
merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang
pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut kalau Sie Liong
kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia
melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa
Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang
kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh
dia menjadi bongkok.”
“Ahhh....! Hemmm....!” Tadinya Bouw Tek ingin
memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki itu suami wanita
ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia
dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas
tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi
Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah
adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia
seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam,
kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan
memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat
aku menahan derita itu....” Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan
tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak
bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan
berkata apa.
Tak lama kemudian Lan Hong menurunkan kedua
tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak
menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti
patung, ia melanjutkan.
“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta
kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya
hidup untuk menantl pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah
tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda
berusia dua puluh tahun.”
“Dan menjedi seorang pendekar yang sakti yang
dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi
marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dangan mudah Sie Liong mengalahkannya
tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang
menjadi sakti itu.”
“Dan adikmu tidak tahu bahwa suamimu itu yang
membunuh ayah ibu kalian?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Ketika
peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya
menjadi cacat, diapun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan akupun tentu
saja merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami
telah habis dan betapa aku mendapatkan perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan
mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan
beberapa hari kemudian, tiba-tiba puteriku, Bi Sian pulang!” Wajah Lan Hong
agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
“Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti
pula, murid Koay Tojin.” kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan
keluarga wanita itu.
“Benar, toako. Ia berusia delapan belas tahun,
menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan
iapun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kautahu, toako, diantara adikku
dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan
yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar
bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami,
di rumah penginapan.” Wanita itu berhenti lagi dan Bouw Tek dengan tenang
menanti kelanjutan cerita itu karena dia merasakan datangnya suatu peristiwa
yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.
“Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa
itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat membara pikiran pendekar itu dan
menjawabnya. “Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh
orang.” Kembali Lan Hong diam dan kini ia nampak demikian berduka.
“Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.”
Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka
saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. “Mungkin engkau akan
menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka
atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam
hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah
karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang
Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!”
“Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan
kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!” kata Bouw
Tek penasaran.
“Gadis itu puteriku, toako....”
“Ah, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian
mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya,
Hong-moi?”
“Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi
melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran.”
“Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya
adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku
dapat menceritakan hal itu kepadanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan
hatinya, karena bagaimanapun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.”
Lie Bouw Tek termenung. Memang serba salah dan
serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya. “Akan tetapi, tentu
Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu maka dia membunuh musuh
besarnya.”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak
begitu. Memang, setelah terjadi pembunuhan, akupun mengira demikian. Akan
tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru
dia mangetahuinya! Dia menyanggal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan
diapun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.”
“Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai
pembunuh ayahnya?”
“Karena sebelumnya, ayahnya mengatakan bahwa
Sie Liong mmukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta agar Bi Sian membalaskan
penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan, Bi Sian melihat bayangan
seorang yang bongkok di taman, seorang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian
manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah
yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku
itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Karena itulah, maka aku nekat
melakukan perjalantn ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuuk puteriku
agar jangan memusuhi Sie Liong karena sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong
yang membunuh suamiku.”
“Eh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”
Lan Hong lalu menceritakan tentang
penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang
diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya.
Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga
amat cerdik, pikirnya.
“Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku
tidak membunuh kakak iparnya, toako. Kalau dia yang membunuh, tidak perlu dia
bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum
pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengar dariku. Kalau bukan dia yang
membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang
bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sukar menyamar sebagai orang berpunuk dan
bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia
bertopeng untuk menutupi wajahnya agar jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah
Sie Liong. Jelas dia sengaja membunub dan melempar fitnah kepada adikku. Dan
penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang
membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian.”
“Hemmm....” Lie Bouw Tek meraba-raba
jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu memang nampaknya tepat
Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau
benar seperti yang kausangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari
puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia membunuh suamimu yang baru
dijumpainya?”
“Akupun sudah memikirkan hal itu dan menemukan
jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak
salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walaupun dia sutenya,
agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan
mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai
seorang pemuda yang baik, bukan?”
Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia
mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.
“Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar
bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana.
Mereka saling melihat walaupun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan
itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia
khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di
rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai
murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia melakukan pembunuhah itu dan menyamar
sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok dan mengganjal punggungnya menjadi
bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana
pendapatmu, toako?”
Lie Bouw Tek masih memandang dengan kagum dan
mendengar pertanyaan itu dia mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu,
Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah
engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana
pula adanya sute dari puterimu itu?”
“Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya
hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku
bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap
para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat
akan keterangannya itulah aku mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke
Lasha.”
Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga
girang. Kiranya Pendekar Bongkok menertma tugas dari guru-gurunya dan tugasnya
itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki
keadaan para pendeta Lama di Tibet yang memusuhi Kun-lun-pai! Diapun pernah
mendengar dalam perantauannya di daerah ini bahwa para pendeta Lama di Tibet
memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu
yang menyelamatkan diri meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas
Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pandeta Lama itu ada hubungannya dangan
hal itu.
“Setelah mendangar riwayatmu, aku sekarang
jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah
yang berbahaya ini, Hong-moi. Jangan khawatir, aku akan membantumu mencari
mereka sampai dapat. Sukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dan
puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa diantara mereka yang lebih
lihai, Hong-moi?”
“Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi
akupun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat
disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.”
“Kalau begitu, yang penting adalah mencari dan
menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus menceritakan senua rahasia itu
kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sutenya sendiri,
bukan oleh pamannya.”
Lan Hong mengangguk lemah. “Akan kulakukan
itu, walaupun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.”
Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan
mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan guha, dekat api unggun.
Dia semakin tertarik kepada Lan Hong. Tak dapat dia menyalahkan Lan Hong yang
dahulu terpaksa menyerahkan diri kepada pembunuh orang tuanya itu untuk
menyelamatkan adik kandungnya. Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu,
akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh.
Orang yang amat jahat! Dan diapun menjadi semakin kagum kepada Pendekar
Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar
itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk.... membicarakan soal
keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya
untuk meminang janda ini menjadi isterinya!
***
Semua mata memandang, semua kepala menoleh
ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah
sebrang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata
pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan
cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki
sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar
Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai menyambut
mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang
mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar
suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga
terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan
terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi.... manisnya....!”
“Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang
emas....!”
“Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang
kejora!”
“Kalau aku, yang paling menarik adalah
mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!”
“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani
seorang.... ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru
muncul dari kuburan, ha-ha!”
“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”
“Atau saudaranya!”
“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya.
Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa
betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi
kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan
dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu
memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis
sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya,
membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling
Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia
mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka
itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut
kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling
dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja,
akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia
memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar
Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka
mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina
itu! Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa
bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar.
Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh
semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling
merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya,
iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
“Liong-ko, kedai di sini cukup enak
tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali
lalat kotor di sini!”
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan
senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak
lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu
menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.
Di antara para tamu ada segerombolan pemuda
berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka, jumlah
mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian
terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling
Ling, seorang di antara mereka terkekeh.
“Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau
aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri
cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!” Kawan-kawannya tertawa
mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan
muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai
lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat
akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur....!” seru teman-temannya pula.
Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya
walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu
diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan. “Hei, bung pelayan, ke
sinilah!”
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata
sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu
duduk. “Bung pelayan, kalau engkau tidak mau mangusir lalat kuning di sana itu,
aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu
sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan
mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga
itu. Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat
apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang
temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si
baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia
berkata.
“Nona manis, berani engkau menghinaku, ya?
Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau
apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku,
kalau tidak, akan kucium pipimu!”
Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri
karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya.
Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan
dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami.
Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu
kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan
perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.”
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai
pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. “Apa kau bilang? Mana
bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta maaf kepada kami, dan
engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau
sudah!”
Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin
mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut,
tentu saja dia tidak sudi.
“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami
adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”
“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku
tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan danganmu! Hayo ke
sini rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan
dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di
sini? Hayo maju dan lawan aku!”
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok
dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, bertubuh
tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut
seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu
sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Melihat
pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta
derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta
dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang
dikumpulkannya. Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan
menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan
menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan
memaki.
“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani
menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!”
Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang
itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya
dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh
uban, di bagian kiri atas telinga.
“Dukkkk!” Pukulan itu keras sekali datangnya
dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning
yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan
dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti
memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal
ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan
mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik
baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan, tiga orang pemuda
berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum
mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat
butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan
garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai
itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari
tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan. Tiga batang
golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan
mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda
dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut....!” Tiga batang golok
menyambar.
“Trang-trang-trangggggg....!” Tiga batang
golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas
dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan
kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!
Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba
orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara
berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu
mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam
dengan benang emas.
“Kim-sim-pai....!” terdengar orang
berbisik-bisik. Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas),
semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang adalah
perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal
sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai
jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga orang
pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki
mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan nyali
mereka terbang entah ke mana.
“Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo
cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian
masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”
“Baik...., baik....” Tiga orang pemuda itu
dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan
uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam
hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai
uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu
menyeringai.
“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai
sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!”
“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata
si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua orang kawannya.
“Sudahlah,” kata pengumpul derma itu.
“Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang
Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma.
Silakan mengisi hio-louw ini!”
Para tamu saling pandang dan mereka semua
sudah mendengar bahwa apabila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai ini
tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma
adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya. Maka,
bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi saku mereka dan
memasukkan uang ke dalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang menyerahkan
seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit
sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanah, memberi derma
yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu. Akan tetapi, Sie Liong
dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka
pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu
besar di depan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu
ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan
kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.
“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu
belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka
berdua itu belum menyerahkan dana, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka
untuk memberi derma?” Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning
hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak malakukan penghinaan terhadap Sie
Liong dan Ling Ling.
Mendengar permintaan si baju kuning,
pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat
dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang
temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan
lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang
makan.
Sementara itu, biarpun kelihatan tenang dan
melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi
itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu
mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai,
kemudian mendengar ucapan pria tinggi beser itu bahwa semua penyumbang akan
diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik sekali. Nama Kim Sim Lama
pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto yang
membantu Thai-yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis
dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama
Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah
kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama! Dan orang
ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di
antara anak bush Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang
terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan
memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh
keterangan yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa
dan tosu di Himalaya.
Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak
jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu,
juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie Liong dan kalau mendapat
kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap
digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie
Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas
meja itu berloncatan.
“Brakk! Hei, onta bongkok! Apakah telinganu
juga sudah tuli?”
Sie Liong adalah seorang penyabar, akan tetapi
sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang selagi makan. Dia
mejnoleh dan memandang kepada si baju kuning.
“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut
derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di
sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”
“Keparat, kau berani melawanku?” Si baju
kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya
jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu. Melihat ini, Sie
Liong menaanggalkan kesabaranhya. Tangan kanan yang memegangi sumpit bergerak
menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
“Tukkk!” Golok itu terlepas dan sepasang
sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju kuning
roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang
lalu terguling-guling! Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri
menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi, sepasang sumpit itu kini
berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan
sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh terpelanting keras
sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika. Seperti tadi,
dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa
meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu
melanjutkan makan minum. Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus
kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun
hatinya menjadi benar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganyam, namun
Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun
melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sambil tak
dapat ditahannya ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong
tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi
juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.
Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat
memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik, “Liong-ko, awas.... dia
datang....!”
Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat
pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan
ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan
mendatangkan keseraman, seolah-olah ada seekor biruang besar datang
menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia
marah sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong hanya sejenak saja memandang, lalu
dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi
sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walaupun ia
merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat
betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada
Pendekar Bongkok. Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan
kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri,
agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar
oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat
terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda
asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan
sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik! Kini,
melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si
bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka dapat membalas
penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si gadls manis!
“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat
keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina
tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang
menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”
Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda
yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai,
membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipakna bertelanjang
bulat di depan meraka, juga si bongkok! Akan tetapi kalau wajah Ling Ling
berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie
Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih
duduk, menghadapi raksaaa yang berdiri jangkung di depannya itu.
“Lo-suhu, engkau seorang pendeta, akan tetapi
permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak
permintaanmu itu?”
Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian
tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya
menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ. “Ha-ha-ha! Orang muda bongkok!
Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Biruang Hitam dan belum
pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau kalian tidak mentaati aku
dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan dengan paksa menelanjangi
kalian di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!”
“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan
disambung oleh si baju kuning. “Lo-suhu, kalau bongkoknya diluruskan, berarti
tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!”
“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita
yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.
Kedua pipi Sie Liong mulai berubah merah dan
diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggauta
Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba
berhadapan dengan seekor biruang! Semua tamu memandang gelisah, bahkan Ling
Ling juga agak pucat, khawatir kalau-kalau “jagonya” sekali ini akan kalah
karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.
“Lo-suhu, sungguh aku merasa heran sekali
melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau
mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa engkau adalah
seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari
kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri dengan
Tuhan dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu
seperti ini? Sebanarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu,
sebelum terlambat!”
Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga
karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada
seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata
seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di
Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau
seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi
seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata
seperti itu, di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api
kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau
berani berkata seperti itu kepada Biruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau
sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!” Berkata
demikian, Si Biruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya
dun terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari
tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.
Sie Liong bersikap tenang saja. Dia tahu apa
artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang
memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan
tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang
nampaknya saja dahsyat.
“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak
ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk
kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga.”
“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru
membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang pemuda ini!” Berkata
demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan, gerakannya memang
mirip seekor biruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga
dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri sehingga
tubrukan itu luput.
“Hyaaaaahhhhh....!” Pendeta itu semakin marah
ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi
menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan
kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka
Pendekar Bongkok.
Karena serangan susulan ini amat cepat
datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkisan lengan
kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
“Desss....!!” Kedua lengan pendeta itu
sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan
akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja!
Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi,
mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau
terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi,
mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga
mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling
Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti
berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian,
mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut busuk!” Sie Liong
membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan
dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak
panah. Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan
roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan
mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh
mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh
dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas! Ling Ling yang
marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja
berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke
atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring
di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak
kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan
Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah
marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan,
bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya
tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi,
tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga
sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau
mampus!” bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia
letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan
dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan
tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah
semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak
mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng
diapun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang
berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya
setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tongkat itu
berputar den lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang
mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang menggunakan
tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka,
diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan
kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in
Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan
sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga
Pek-in Sin-ciang.
“Krakkkk!” Tongkat itu patah-patah menjadi
tiga potong dan selagi anggguta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong
sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!” Nampaknya tidak terlalu keras
telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, namun
akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi
dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya
menggigil kedinginan! Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu,
mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung
bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi
tenaganya. Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu
lawannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia
akan tewas seketika.
Orang itu yang berjuluk Biruang Hitam, bangkit
dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Kau.... kau.... yang
berjuluk Pendekar Bongkok....!” Akhirnya dia bertanya. Sie Liong tidak
menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu
menghela napas panjang.
“Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong
belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di
sini saja!” Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri
hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Biruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah
merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa
semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong
yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring
pecah-pecah.Biruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai
pahit dan tiba-tiba dia berkata, “Nah, terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw
yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena
hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para tamu di rumah
makan itu terbelalak dan merasa tegang. Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong
menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian,
dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Biruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi
mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu melayang ke arah Biruang Hitam
yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat
hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Biruang
Ritam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia
dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir
darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw
kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah
pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar Bongkok....!” Kini para tamu
berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok
itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda
yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala mereka dengan
mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar
ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap, harap, ampunkan kami....” katanya.
“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak
melihat seorang pendekar sakti....” kata yang ke dua.
“Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak
berani lagi....” kata pemuda yang ke tiga.
Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya
sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan
darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk
sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa
geli.
“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang
pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie
Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang
memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata
memandang kagum dan juga gentar!
Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang
itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan
terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum
bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil pengurus rumah makan.
“Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang
di atas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa
untuk memberi sumbangan.” Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan
dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu
keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu
dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie
Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan
banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling.
Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya
akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman
hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria
cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan
orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai
terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan
kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri
seorang pria yang cacat! Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria
yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau
terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu
akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih
baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling
Ling!
Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan,
sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang
manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya.
Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk
menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini. Dia tahu bahwa diam-diam dia amat
tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta
kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup
berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan
bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena
merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang
tertarik oleh seorang pria.
“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling
Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha.
Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah
mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia!
Andaikata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan,
seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak mungkin timbul keributan tadi. Tentu
tidak akan ada yang mengejek. Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam
nintnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang
amat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti
oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri
Ling Ling.
“Kita sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling
Ling dengan sikap manis.
“Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi.
Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan
penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar
dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di
sini juga banyak berkeliaran orang jahat.”
Mereka memilih sebuah rumah penginapan dan
menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar,
Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam
kamar sebelum dia kembali.
“Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut
denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun
akan kunanti!” katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. “Akan
tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?”
Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan
kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie
Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya
dengan ramah dan penuh hormat.
“Ah, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat
kami bantu untuk taihiap?” tanya pemimpin rumah makan itu.
“Dapatkah aku bicara empat mata denganmu,
toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih
tiga puluh tahun itu.
Pemilik rumah makan itu memandang heran, akan
tetapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian belakang
rumah makan itu yang merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang
anaknya.
“Begini, toako. Aku berani bicara denganmu
karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lasha ini, walaupun barn
sekali kita bertemu yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal
siapa aku dan kuharap engkau suka membantuku. Engkau sudah melihat nona yang
datang bersamaku tadi?”
Pcmilik rumah makan itu mengangguk, dan
semakin heran.
“Ia adalah seorang sahabat baikku, akan
tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatangkara, juga ia seorang gadis yang
lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya
terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kaulihat sendiri
dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?”
Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan
tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini
menceritakan itu semua kepadanya.
“Sebelum aku melanjutkan, aku hendak
memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti
engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Adapun sahabatku
itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi
tanggung jawabku. Nah, sekarang aku akan mencarikan sebuah tempat tinggal yang
aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi
gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah
berepa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang
dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako,
dapatkah engkau menolong kami?”
Pemilik rumah makan itu adalah seorang
keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang.
“Taihiap, semua orang di Lasha tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah
makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari
penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan
seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, tentu dengan senang hati aku menerima
nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi....
setelah peristiwa tadi terjadi, amatlah berbahaya kalau ia tinggal bersama
kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa ia mondok bersama kami dan
kalau hal ini terdengar oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian
terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak
menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?”
Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti
alasan yang dikemukakan pemiliki rumah makan itu.
“Tentu saja kami tidak menghendaki demikian.
Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat
kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu....”
Pemilik rumah makan itu mengingat-ingat,
kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah. “Ah, memang ada dan
tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota
ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu
akan suka menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku
sendiri, taihiap dan boleh percaya!”
Wajah Sie Liong berseri gembira. “Bagus!
Sungguh aku berterima kasih sekali kepadamu, toako. Dapatkah kita sekarang
pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”
Pemilik rumah makan itu dengan senang hati
mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang
dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima
kehadiran Ling Ling di rumahnya berarti ia mempunyai seorang teman. Janda
berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak
terlalu besar namun bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan
para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.
Malam itu juga Sie Liong mangajak Ling Ling
untuk pindah ke rumah janda Cili.
“Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar
malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling ketika berkemas.
“Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau
sendiri.”
Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian
berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie
Liong. “Aku sendiri? Dan engkau....?”
“Aku harus melakukan penyelidikan melaksanakan
tugasku, Ling-moi, engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu
sampai selesai tugasku dan....”
“Tidak, Liong-ko, tidak..... Aku tidak mau
berpisah.... aku tidak mau kautinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke
manapun engkau pergi....!” Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan
kegelisahan.
Sie Liong tersenyum dan memegang tangannya,
tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan
perlindungannya.
“Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau
ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja
tadi, di rumah makan, sudah muncul ancaman bahaya. Apalagi kalau aku melakukan
penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh....”
“Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar
sampai mati sekalipun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut
menghadapi apapun juga, anal kita jangan saling berpisah....”
“Aku percaya bahwa engkau tidak takut,
Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa
denganmu, aku akan selamanya menyesal. Karena itu, biarlah untuk sementara ini
engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah
tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimanapun, engkau harun dapat
membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul....”
“Liong-koko.... Aku ingin selamanya berkumpul
denganmu.... ah, aku.... aku.... jangan tinggalkan aku, koko....” Dan Ling Ling
menangis!
Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti
diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan
hatinya. Demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi
keamanan Ling Ling.
“Ling-moi! Apakah engkau mulai sekarang
membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?”
Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu
mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka pucat. Tangisnya
terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air
mata.
“Maaf.... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin
membuatmu bingung dan susah.... aku taat.... aku patuh, aku hanya ingin selalu
berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari
sampingmu.... ah, tak dapat aku membayangkan itu....” Ia menutupi mukanya,
tidak menangis lagi melainkan seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan
yang menakutkan dan menyedihkan.
Sie Liong membiarkan gadis itu menguasai
dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang
disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh
gadis itu. Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan
mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum
yang ramah dan penuh pengertian.
“Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini
harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya
sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak
ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan
perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu,
kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar
engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat
engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti
kalau engkau ikut denganku.”
“Tapi.... tapi.... hanya untuk sementara,
bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku,
bukan? Dan memperbolehkan aku hidup di sampingmu?”
Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa
belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan
rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan
kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan
dan penghinaan dari orang lain. Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai
tugasnya, dia akan memberitahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah
terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk
menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan
menghancurkan hati gadis itu.
“Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah
selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili.”
Mendengar janji ini, seketika wajah yang
tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul
bagaikan matahari setelah awan gelap tercurah menjadi hujan. “Liong-ko,
katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”
Pertanyaen ini tidak disangka-sangka oleh Sie
Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan
dapat menyeleaaikan tugas itu. Dia hanya mendengar pengakuan Coa Kiu, orang ke
tiga dari Tibet Sam Sinto bahwa Tibet Ngo-houw, lima orang yang harus
diselidikinya itu merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan
pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai
Lama di Tibet! Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan
tugasnya. Mungkin seminggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru
selesai atau bahkan belum selesai! Apalagi kalau yang diselidikinya itu
menyangkut soal pemberontakan!
Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampak
ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. “Bagaimana, koko?
Berapa lama aku harus menanti engkau datang menjemputku? Seminggu?”
“Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini
bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau
hanya seminggu....”
“Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan amat
lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?”
Mendengar betapa suara gadis itu mengandung
kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk mengecewakan
hatinya. Andaikata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya,
setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan
keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka
diapun mengangguk.
“Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku
selama sebulan.”
Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali,
dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada
perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan
gadis yang agaknya telah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?
“Aku akan sabar menanti, koko.”
Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya,
walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri.
Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan
tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya
akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan.
Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu
memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda
yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu. Diam-diam dia sudah
berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada “adik angkatnya” itu
untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin adiknya
memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau
terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan membuat
perhitungan, sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan
memberi hadiah yang layak. Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan
Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantar pandang mata sayu
namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa
berat sekali.
***
Bi Sian memasuki kota Lasha dengan wajah
gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum
sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah
pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di
lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat
tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling
berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik
perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis
yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh
sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan
hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang
kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan
bangga. Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya
yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan
bagaikan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya
tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi
gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan
hatinya! Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara
meyakinkan, namun gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu
sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari
cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali,
apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis
itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar dirinya, dan dia
tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya dengan seorang
kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan
tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat betapa gadis yang
dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lasha, Bong
Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini.
Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia
memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk
dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.
“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika
mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.
“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari
Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka
sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis
berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang
dibakar iri dan cemburu. Ia tadipun melihat betapa pandang mata para pria di
kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang
membuat Bong Gan berkata seperti itu.
“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya,
suaranya mengandung teguran.
Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa
suci-nya itu bersikap tak senang, “Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa
kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa
bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kauceritakan kepadaku, Pendekar
Bongkok itu melarikan diri ketika kauserang dan agaknya dia tidak suka berkelahi
denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata
dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang
mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian
tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum
sempat kita temui.”
Bi Sian menarik napas panjang. “Ah, engkau
benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui
orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan
sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah
makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya
setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap kini, tidak menyolok,
mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak
gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang
tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan
sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu. Siang hari itu, tidak
banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan
menghadap dinding, make Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan
menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di
situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga
selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum.
Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia
tidak menarik banyak perhatian.
Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan
pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang
mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudlan pandang matanya melekat pada
seseorang yang baru saja melangkah masuk. Jantungnya superti berhenti
berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang
dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi
dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun dapat
menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada satu
yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini,
yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan
itu lebih daripada cantik!
Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang,
setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya barbentuk bulat
telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak
karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan
bulu lembut. Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat
kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat
dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup
angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan
buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam
saling bersentuhan. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya
yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik
lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!
Ketika memasuki restoran itu barsama seorang
berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh
tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan
gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi
perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu. Gadis itupun
melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat
Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itupun balas menatap dan
sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu
menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam
senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan
kilat! Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat
duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya,
pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di depannya,
membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan
Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru
itu dan Song Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal
mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang
diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya
seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan
makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan iapun
mengerling ke arah meja itu. Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah
terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga
bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah
biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi
besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.
Melihat betapi Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan
diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu saja amat
menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah
Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan istimewa.
Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang
tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat
dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan
menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak
muda dan tampan gagah itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thai-yang
Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun
yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu.
Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai “siluman
merah” dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw
itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto. Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang
bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar
Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan
Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara
Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri
dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka.
Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena
Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu
kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula
dengan Pek-lian-kauw. Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai-yang Suhu sudah
dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek
Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang
tampan dan gagah! Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan
pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah
dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu
yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang
menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya. Thai-yang
Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu
ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan
dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya
kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak
perduli.
Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai
pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia
sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu
memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi
perasaan hati Bong Gan! Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia
mengambil keputusan untuk malam nanti mancari kesempatan, meninggalkan Bi Sian
kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis
peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini.
Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari
Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi
Sian, segera bertanya, “Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok.
Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah
makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?” Bi Sign tidak sempat mencegah Bong
Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si
pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan
kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya
tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah
pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia
memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
“Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang
pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang
bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang
dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti?
Bong Gan mengangguk-angguk.
“Benar dia! Di manakah dia?”
“Dia....? Ah, saya tidak tahu, kongcu....”
Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan
kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu....” Dan dia
kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil
mumbawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.
Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali.
Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. “Mari kita bertanya kepada pemilik
rumah makan....” Bong Gan mengangguk dan mengikuti suci-nya. Ketika mereka
melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum
manis dan kedipan mata penuh arti. Melihat ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk
sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis
manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih
dekat!
Bi Sian yang sudah merasa tertarik sekali
mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke kantor pemilik
rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pelayan bahwa
gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang
Pendekar Bongkok. Kini, melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah
makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Semenjak dia membantu
Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan
Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah
bertemu dengan Pendekar Bongkok.
“Apa yang dapat saya lakukan untuk ji-wi
(kalian bordua)?” tanyanya ramah.
Bi Sian yang sudah tidak sabar lagi untuk
segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung berkata, “Kami
ingin mengetahui tentang seorang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan
yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia,
maka kami harap engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!”
Bagaimanapun juga, pemilik rumah makan itu
bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti kerugiannya ketika
terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pendekar Bongkok
pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, diapun merasa ragu
apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang
belum dikenalnya dan tidak diketahui maknud mereka mencari Pendekar Bongkok.
“Maaf, kalau boleh saya mengetahui, siapakah
ji-wi dan ada hubungan apakah antara ji-wi dengan Sie Taihiap?”
Kini Bi Sian sudah tidak ragu lagi bahwa
pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu di mana dia berada,
maka kesabarannya habis. Ia ingin segera mengetahui di mana adanya musuh
besarnya itu! Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat
menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia mengerahkan
tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.
“Krekk! Krekkk!” Sumpit-sumpit itu
patah-patah dan remuk dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus
lunak itu!
“Sobat, katakan saja cepat-cepat di mana adanya
Sie Liong dan jangan berbohong!” kata Bi Sian, lirih dan wajah pemilik rumah
makan itu berubah pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri.
Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian
dahsyatnya!
“Saya.... saya tidak tahu di mana dia
sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia. Silakan duduk,
silakan duduk....”
Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah
makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie
Liong Si Pendekar Bangkok pernah makan bersama seorang gadis yang bernama Sam
Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian
terjadi keributan yang dilakukan oleh seorang anggauta Kim-sim-pai dan betapa
kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti.
“Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap
minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik angkatnya dan saya
menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi
Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana. Sejak itu saya tidak pernah
lagi bertemu dengan dia.”
“Apakah adik angkatnya itu masih tinggal di
sini?” tanya Bi Sian.
Pemilik rumah makan itu menggerakkan
pundaknya. “Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah menengok. Dua
minggu sejak ia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi ke sana
karena repotnya pekerjaan.”
“Hayo cepat antar kami ke sana, sekarang
juga!” kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian. Pemilik rumah makan
itu tidak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan
pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu, diikuti
Bi Sian dan Bong Gan. Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat
menengok ke arah gadis cantik itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang
menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali gadis cantik itu
berkedip kepadanya. Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang,
pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi
dia merasa yakin bahwa gadis itupun “ada hati” kepadanya dan tentu mereka akan
dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja!
Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan
Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi ketika mereka tiba di situ, gadis yang
bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak berada
lagi di situ!
“Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi
meninggalkan rumah ini tanpa pamit!” kata bibi Cili ketika keponakannya datang
bersama pemuda dan gadis cantik itu. “Aku sendiri tidak tahu ke mana ia pergi
karena memang tidak pamit.”
Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali. “Akan
tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?”
Bibi Cili menggeleng kepalanya. “Mungkin
karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap itu. Setelah sebulan
tinggal di sini, setiap hari ia menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam
ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap berjanji akan
menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di sini. Kemudian, seminggu yang
lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan, ia pergi tanpa
pamit.”
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Apakah selama ia
berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang menjenguk?”
“Pendekar Bongkok....? Ah, nona maksudkan Sie
Taihiap? Tidak, tidak pernah lagi. Semenjak meninggalkan adik angkatnya di
sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.”
“Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan
kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?” Bi Sian mendesak terus.
Wanita setengah tua itu mengerutkan alis dan
mengingat-ingat, “Pernah ia bercerita bahwa kakak angkatnya itu seorang
pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai....” menyebut
nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut, juga pemilik rumah
makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah, seolah
takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.
“Apa itu Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?”
Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng
kepalanya. “Aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu....”
Pemilik rumah makan itu segera membantu
bibinya. “Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk menyebut nama itu,
nama yang amat ditakuti seluruh penduduk Lasha. Kami hanya dapat memberitahukan
kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga Yan-so di sebelah
selatan Lasha.... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak
tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke
sana....”
Bi Sian mengerutkan alisnya. Ia tahu, bahwa
pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya dan memang mereka
ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita tentang para pendeta Lama yang memusuhi
para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran
sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yangg melarikan
diri ke sana. Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama
yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan
Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk
mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kim-sim-pai yang
akan diselidiki Pendekar Bongkok itu! Sementara itu, Bong Gan yang cerdik
segera bertanya kepada wanita itu.
“Bibi, coba gambarkan bagaimana rupanya gadis
bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah
mengenalnya.” Bi Sian menyetujui pertanyaan sutenya, karena kalau mereka
mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie
Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya
itu mempunyai seorang adik angkat!
“Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun
yang amat manis, kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam namun ia manis budi dan
penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak itu, dan aku
khawatir sekali membayangkan betapa ia melakukan perjalanan seorang diri.
Seorang gadis yang demikian manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami
ancaman bahaya....”
Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba
nafsu berahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis yang hitam manis!
“Apakah ia seorang gadis Tibet?” tanyanya.
“Ia peranakan Tibet Han,” jawab bibi Cili.
Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah
itu. “Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!” kata Bi Sian penuh
semangat.
Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain.
Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu masih terus
membayanginya. “Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki
dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu,
dan di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh
tiduk menguntungkan kalau kita meningialkan kota ini dan berada dalam perjalanan
yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru
kita berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Baiklah, kita mencari rumah penginapan,” kata
Bi Sian singkat. Ia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas
dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa “adik
angkat” pamannya itu, dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka!
Di sebelah selatan kota Lasha terdapat sebuah
telaga yang terkunung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main,
akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan
jurang. Apalagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang
rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak
orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan
Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Makin takutlah orang untuk melewati
daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas)
amat ditakuti.
Menurut kabar angin, Kim-sim-pat dipimpin oleh
seorang tokoh pendeta Lama yang pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang
berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim
Sim Lama lolos dari Lasha, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang
berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan
pemerintah pusat Tibet. Karena tidak ada bukti-bukti bahwa Kim-sim-pai
melakukan kejahatan apalagi pemberontakan, maka pemerintah Tibet tidak mengambil
tindakan apapun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim
Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu. Bahkan, Kim Sim Lama
merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya
sudah banyak. Kim Sim Lama merupakan seorang pendeta Lama yang tertua, dan
Dalai Lama sendiripun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim
Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama!
Kim Sim Lama merupakan orang ke dua paling
berkuasa dan berpengaruh sesudah Dalai Lama. Karena dia tidak memiliki
tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak
mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung
utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih. Dalai Lama yang baru itu seorang
anak dusun saja yang memlilki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai Lama. Bahkan
Kim Sim Lama tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu
menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia
tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak.
Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah.
Malah Pek Thian Sian-su, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau suheng dari Pek-sim
Sian-su, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti
ini bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta
Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Sian-su berhasil merobohkan dan
menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak
itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi
Pek Thian Sian-su audah berusia hampir delapan puluh tahun, maka juka yang
dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian.
Beberapa tahun lamanya tidak lagi terjadi
keributan, akan tetapi setelah anak itu dawasa dan dijadikan Dalai Lama sudah
berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan
pertapa di pegunungan Himalaya. Banyak yang jatuh korban dan para tosu itu
segera meninggalkan Himalaya dan pergi mengungsi ke pegunungan iain. Para
pertapa menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal
budi. Dahulu dibela oleh para tosu, setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi
para tosu!
Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Ketika Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa
akhirnya dialah yang berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk
terhadap semua pimpinannya. Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah
Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka!
Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk
menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana!
Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena
kalah kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi
Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri dan
membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap
para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, dengan maksud
menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing agar para tosu memusuhi Dalai
Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah. Sementara itu,
diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran
pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu dengan
pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan
keduanya merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai
Tibet dan Nepal.
Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so,
Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya
mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lasha,
dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang amat kuat,
terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, diapun tidak
tergesa-gesa. Di samping usaha yang dilakukan anak buahnya untuk memusuhi
berbagai pihak dengan dalih diutus oleh Dalai Lama, juga dia mulai menyusupkan
pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lasha untuk menghasut dan mempengaruhi
tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba dengan amat tekun
dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan
di Tibet. Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu
gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, kalau Kim Sim Lama sudah
berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan
membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!Dalam kedudukannya yang bagaimana
pun juga, manusia tidak akan dapat terlepas dari nafsunya sendiri. Dia boleh
berusaha dengan cara bagaimanapun, bertapa, menjauhi keramaian dunia,
menyendiri, berpuasa, berpantang apapun, namun tetap sekali waktu dia akan
dicengkeram dan dikuasai nafsunya sendiri. Semua usahanya itu hanyalah usaha
yang dilakukan oleh akal pikirannya sendiri belaka, dan akal pikiran takkan
mungkin membebaskan batin dari cengkeraman nafsu. Nafsu sudah melekat kepada
kita, merupakan alat yang amat penting bagi kita, namun juga merupakan penggoda
yang paling berbahaya, yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan dan perbuatan
yang tidak benar. Kalau sudah begitu, maka nafsu tidak lagi menjadi alat kita,
bahkan kita diperalat oleh nafsu! Semua usaha untuk membebaskan diri dari nafsu
digerakkan oleh nafsu itu sendiri yang sudah menjadi satu dengan hati dan akal
pikiran, bersatu dengan panca indera kita. Apapun yang kita lakukan melalui
pikirin, tentu berpamrih.
Nafsu selalu berpamrih, yaitu pamrihnya
mencari senang atau yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan. Dan untuk
semua perbuatan yang timbul dari dorongan nafsu, pikiran kita yang amat licik
dan cerdik selalu sudah mempersiapkan diri menjadi pembela, dengan segala daya
akan mencari alasan untuk membenarkan tindakan kita itu.
Nafsu memang penting bagi kita, sebagai
pendorong agar kita dapat memenuhi semua keperluan hidup di dunia ini,
keperluan jasmani kita, makan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan
lain. Nafsu mutlak perlu untuk hidupnya jasmani kita, karena tanpa nafsu
berarti mati. Akan tetapi, kalau nafsu sudah mencampuri urusan batin, maka nafsu
hanya menjadi sebab timbulnya duka dan sengsara, nafsu mendatangkan iri,
marah, benci, cemburu, dengki takut, malu dan segala macam perasaan. Nafsu
bagaikan api, kalau terkendali menjadi pelayan yang baik sekali, sebaliknya
kalau liar tak terkendali, dapat menimbulkan kebakaran dan kerusakan.
Kim Sim Lama adalah seorang yang sejak kecil
hidup sebagai pendeta. Dia sudah biasa berlatih mengendalikan dan menguanal
nafsu-nafsu badannya sendiri. Namun, pengendalian yang dilakukannya adalah
pengendalian yang dilakukan dengan akal pikiran, dengan kemauan yang bukan lain
adalah daya rendah pula. Yang dikendalikan nafsu, yang mengendalikannya juga
bergelimang nafsu. Oleh karena itu, walaupun nampaknya dia hidup sebagai
orang yang bebas dari cengkeraman nafsu, namun sesungguhnya nafsu masih
menguasainya dan sekali waktu akan runtuh pertahanannya. Yang mendorong dia
untuk menentang Dalai Lama, untuk dapat menguasai Tibet, apa lagi kalau bukan
nafsu? Namun, tentu saja pikirannya dapat melakukan pembelaan secara cerdik
sehingga dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suci murni,
demi kebaikan, demi kesejahteraan rakyat, demi menentang pemerintah lalim dan
sebagainya. Padahal, di dasar semua itu, mendekati nafsu ingin mendapatkan
sesuatu yang dianggap akan menyenangkan hatinya, dalam hal ini kekuasaan!
Lalu bagaimana sebaiknya bagi kita? Kalau
dibiarkan, nafsu merajalela dan menguasai kita, bagaikan api membakar dan
merusak. Kalau dikendalikan, tidak akan berhasil karena yang mengendalikan juga
pikiran bergelimang nafsu sehingga selalu berpamrih. Kalau dimatikan, orangnya
harus mati pula! Apa yang dapat kita lakukan? Tidak ada apa-apa yang dapat kita
lakukan! Tidak ada apa-apa, karena yang dapat mengatur nafsu, yang dapat
mengatur alat-alat bagi kehidupan kita adalah yang menciptakannya, yang
membuatnya. Dan penciptanya adalah Tuhan! Oleh karena itu, kita hanya
dapat menyerah, hanya dapat pasrah, kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah
sepenuhnya, sebulatnya, selengkapnya, penuh ketawakalan, kesabaran dan
keikhlasan.
Badan ini hanya sebuah tempat, sebuah rumah.
Semua daya rendah, panca indrya, hati, akal pikiran dan nafsu-nafsunya, hanya
merupakan alat-alat dalam rumah. Penghuni rumah yang menguasai semua alat itu
sesungguhnya adalah jiwa! Jiwa menjadi majikannya, nafsu, hati dan akal pikiran
menjadi pelayan dan alat. Namun sungguh sayang, karena kita sudah lupa bahwa
kita ini jiwa, lupa karena setiap hari dipermainkan oleh nafsu akal pikiran
yang merajalela dan merebut kekuasaan menjadi majikan dalam badan kita. Kita
ini bukan pikiran. Pikiran bisa mati namun badan tetap hidup. Sebaliknya, kalau
jiwa meninggalkan badan, semua pelayan dan alat itupun akan mati. Dalam keadaan
tidur atau pingsan, hati akal pikitan untuk sementara seperti mati, tidak bekerja.
Namun, kita tetap hidup karena jiwa masih bersemayam di dalam badan. Kita tidak
pernah memiliki rasa diri ini, lupa akan keadaan yang lebih dalam karena kita
selalu terseret oleh keadaan lahir yang dangkal saja, karena dipermainkan
nafsu yang selalu mengejar kesenangan dangkal.
Kim Sim Lama memiliki banyak pembantu yang
pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Harimau Tibet!
Seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk
melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang sudah
melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Pengejaran dan pembunuhan yang
dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena
mereka membenci para tosu, melainkan terutama sekali, dengan dalih sebagai
utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama Dalai Lama agar dibenci dan
dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok
tubuh berkelebat seperti terbang cepatnya, datang dari arah telaga Yam-so
menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat,
larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang
memiliki gin-kang dan ilmu berlari cepat yang hebat. Orang akan merasa terkejut
dan terheran-heran kalau melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap
di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, baru
nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie
Liong, Si Pendekar Bongkok!
Setelah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi
Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di
Lasha tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di
rumah makan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah dia akan nama Kim Sim Lama
yang pernah didengarnya dari pengakuan seorang di antara Tibet Sam Sinto. Tentu
ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya. Agaknya
pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu orang
ke tiga Tibet Sam Sinto itu tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin
oleh Kim Sim Lama dan dibgntu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya.
Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanyanya tentang
Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab. Yang berani menjawab
mengatakan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang
berpusat di sebuah bukit dekat Telaga Yam-so. Semakin jelas dan yakinlah
hatinya bahwa jejak yang diikutinya benar. Memang di tempat itulah dia harus
menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para
pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas
hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar
seperti benteng. Akan tetapi, segera dia melihat beberapa orang mendaki bukit
itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit dan kini
terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang
menunggaug keledai atau kuda. Akan tetapi mereka itu sama sekali bukan
kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa dan mereka
semua membawa perbekalan untuk sembahyang. Tentu saja dia merasa heran, akan
tetapi diam-diam diapun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang serombongan
orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk setengah rebah
seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa
orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat untuk bersembahyang, agaknya ke
sebuah kuil.
Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu
gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok benteng,
melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang luas sekali. Terdapat
banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan
paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan puntu kuil
itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: KUIL HATI EMAS.
Kim-sim-tang? Apakah ini pusat Kim-sim-pai?
Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu?
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan
seperti tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah kuil
yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan
mohon sesuatu!
Akan tetapi dia segera teringat bahwa
andaikata benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah
pendeta-pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat,
menjauhi kejahatan dan mendekatkan diri dengan kebajikan. Merekapun bukan
memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang
pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para
pomberontak biasa yang biasanya terdiri dari orang-orang yang biasa
mempergunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan keadaan luar kuil.
Setelah melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua
meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu
gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti
pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup. Agaknya itu merupakan
asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas penuh
dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan.
Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya
amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di tengah
bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu depan
yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua
orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya
dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, namun kedua tangan mereka yang
dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa
dan puja-puji. Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta
Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata dan mereka itu kelihatan
alim dan sopan.
Kuil itu penuh tumu dengan berbagai kesibukan
sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya sseorangpun wanita di situ.
Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita.
Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang
pcndeta Lama memang amat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat
adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya
tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siawu-lim-si
yang juga pantang dimasuki wanita, apalagi wanita yang muda dan menarik.
Di sebelah dalam kuil, terdapat pula
pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan mereka yang datang
bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan
lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang
takkan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah
pemberontak-pemberontak.
Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh
dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu
lengkap dan juga amat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja
dari daerah perumahan yang luas sekali itu. Di kanan kiri ruangan besar tempat
sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua
pintu itu tertutup dan terkunci. Memang tidak ada hubungan pintu itu dengan
keperluan sembahyang. Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali.
Ketika mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di
situ terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila,
ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam
arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas
bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan meauk itu tertutup atau terhalang
oleh para penjaga ini. Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan
lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari situ tidak dapat
melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
“Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan
belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu.” Sie Liong membalikkdn
tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri
di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Mendaki bukit
berkunjung ke kuil tidak aembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia belum
ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya bertemu dengan Tibet
Ngo-houw.
“Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,”
jawabnya karena memang dia tidak bermaksud untuk bersembabyang. Tadi dia melihat
bagian kiri ruangan itu dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana
orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
“Ah, mari kami bantu, kongcu. Bertanya
nasibpun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak membawa
perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal daripada kalau
membeli di toko.” kata pendeta itu dengan sikap ramah.
“Terima kasih,” kata Sie Liong dan diapun
mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa
lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie
Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para
tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu
sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor. Batang-batang bambu kecil
sepanjang satu kaki ini berada di dalam tabung bambu besar dan mereka yang
menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan
tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, diharuskan memegang tabung
bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung
itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang meloncat
atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban
pertanyaannya.
Sie Liong mengguncang tabung itu dan
berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu belum menentukan
bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu
yang permukaannya berbeda.
Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas
lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulisan
BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya.
Sebaliknya, andaikata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang
berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan memilih lagi.
Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus
memilih lagi.
Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong
menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas di bagian pertanyaan
nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu memberinya sehelai
kertas yang sudah ada tulisannya. Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau
syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang bersembahyang dan
minta sesuatu, dan karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud
tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini
sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walaupun baru sekarang dia
sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya. Akan tetapi,
ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ
tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN
KAMI, SILAKAN MASUK SELATAN PINTU PAGAR BELAKANG.
Sie Liong mengangkat muka memandang kepada
pendeta yang melayaninya, akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua
tangan depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali.
Kiranya para pendeta Lama ini memiliki perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja
dengan rapi sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu
menjadi bahan penyelidikan dan keinginannya sudah diketahui oleh mereka! Diapun
segera keluar dari kuil itu, keluar dari pintu gerbang pagar tembok dan
mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan
dirinya, bahkan mungkin tahu pula akan maksud kedatangannya, diapun tidak
perlu berpura-pura lagi. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya,
menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa
Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, daripada melakukan penyelidikan
secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang
diselidiki.
Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong
menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya
memanjang ke belakang, seperti sebuah perkampungan saja. Ketika dia memutari
pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang
tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta
anggauta perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Llong disambut oleh
dua orang pendeta Lama yang usiauya sekitar lima puluh tahun.
“Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti
kami. Para suhu telah menanti di dalam,” kata seorang di antara mereka berdua
yang bersikap hormat.
Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu
agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal
ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah
mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan,
Bagaimanapun juga, dia telah tiba di situ dan tidak mungkin dapat mundur
kembali. Maka, sambil mengucapkan terima kasih, diapun mengikuti mereka masuk
ke dalam melalui subuah taman yang indah. Ketika dia malewati sebuah bangunan
besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara
ketawa itu terhenti dan diapun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya
mencatat di dalam hatinya. Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di
kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para
tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa
pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi,
namun di sini dia mendengar suara ketawa wanita! Tak mungkin dia salah dengar.
Dua orang pendeta Lama itu membawanya ke
sebuah ruangan yang luas sekali. Sedikitnya lima ratus orang akan dapat
berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut
terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi
meja panjang dan di situ dia melihat belasan orang pendeta Lama duduk bagaikan
arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut
kedatangannya. Dua orang pendeta yang mengantarnya lalu memberi hormat dengan
menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie
Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.
Sie Liong juga melayangkan pandang matanya
kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk
berjajar. Biarpun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah
tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, namun dia
tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet
Ngo-houw (Lima Harimati Tibet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang
Himalaya Sam Lojin dahulu! Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia
datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa
Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan
para tosu dari Himalaya, bahkan mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan
diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain
dia tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya
sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka kemerahan kekanak-kanakan,
berjubah merah dan memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis emas,
berwibawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan
bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, diapun dapat menduga bahwa
mungkin kakek itulah yang berjuluk Kim Sim Lama!
“Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie
Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok?” kakek itu bertanya dan diam-diam Sie
Liong terkejut. Ketika dia bicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali,
membuat jantungnya tergetar dan wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan
sinar, dan matanya mengandung wibawa yang amat kuat. Bukan main, pikirnya.
Kakek ini bukan orang sembarangan dan akan merupakan lawan yang amat berat.
Akan tetapi dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat
kepada belasan orang itu.
“Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan
adapun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan
tubuh saya yang cacat saja.”
“Sie Liong, engkau telah berada di sini.
Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami.”
Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka
diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke
arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian
dengan suara lantang dia pun menjawab. “Losuhu, sesungguhnya saya datang ke
Tibet untuk bertemu dgn bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar
bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang
berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.”
Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie
Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya
itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tak bergoyang seperti arca. Hanya
mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan
Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat,
bahkan nampak marah.
“Hemm, orang muda. Kalau engkau tidak
bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau menghina orang
kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?” Kini suara kakek itu tidak
lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin
meninggi.
Sie Liong kini merasakan adanya bahaya yang
mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal
ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di luar
dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali
orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada
pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh
sampai seratus orang!
Namun, dia tetap bersikap tenang. “Losuhu,
saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga, apalagi menghina orang
Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah
makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya membela diri, juga saya
terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan
hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat orang minta sumbangan
secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tidak
bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya
hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan
Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung
jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!” Karena
tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie
Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.
Tiba-tiba terdapat gerakan pada lima orang
pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca. “Omitohud, dia itu anak
bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia
adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet Itu. Mendengar
seruannya ini, empat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa
heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan
gagah!
“Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak
bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan dari
Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima
mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku
apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak
berdosa.”
“Omitohud.... betapa lancang dan sombongnya
anak ini!” Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir di situ berseru.
Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama
Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan
tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh
tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.
“Susiok (paman guru), perkenankan teecu
(murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini.
Bocah ini tidak pantas dilayani oleh para suheng berlima!”
Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet
Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau harus melayani seorang
pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar mereka sebagai
pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!
Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu
bernama Ki Tok Lama dan diapun merupakan seorang di antara “dua belas besar”
yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para
pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup
hebat. Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid
keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga merupakan
murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain
tidak banyak berselisih. Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan
mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama,
maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka kedudukan mereka
berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.
Ketika Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie
Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya.
Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah terjebak,
memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin dia yang seorang
diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk
mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar telah buntu
dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.
“Sie Liong!” Ki Tok Lama membentak, “Engkau masih
bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau berani menghina
para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu,
hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan
sikapmu. Majulah!” Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai
ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti
berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di
balik punggung dengan bentuk cakar. Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat
menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat
diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai
nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat,
yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, akan tetapi diam-diam, tangan
yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia
seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih
bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan. Tentu saja bukan
demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa
disadarinya menggambarkan keadaan batinnya.
Sie Liong memberi hormat dan berkata dengan
sikap tenang dan suara lembut. “Losuhu, maatkan saya. Kedatangan saya ini untuk
bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapapun juga.
Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan
Kim-sim-pai....”
“Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap
sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?”
“Bukan tidak berani, melainkan karena saya
tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut tantangan ini.”
“Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau
harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!” Ki Tok Lama tidak
memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan dengan
kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan dan tangan kirinya
yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan,
dan karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala Sie Liong!
“Hyaaaaattt....!” Dia mengeluarkan pekik
melengking.
Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong
tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut dan
diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa
lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi. Namun, masih belum
terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser tubuh ke kiri
dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuh turun,
dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kini lebih dahsyat, dengan
kedua tangan menyambar dari kanan kiri.
Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan
mundur. “Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!” katanya masih lembut,
akan tetapi tidak begitu hormat lagi.
Ki Tok Lama tidak perduli. Dua kali
serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu
dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
“Haiiiiiitttt....!” Dia menyerang lagi, kini
dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu
bergerak-gerak bagaikan seekor tupai melompat-lompat dan setiap kali
serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
“Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin
berkelahi denganmu!” Sie Liong berkata, suaranya semakin keras. Namun
jawabannya adalah serangan yang lebih genas. Sie Liong merasa serba salah.
Kalau dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tak
mungkin dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah
terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan, padahal dia berada di dalam
sarang Kim-sim-pai!
“Engkau sungguh memaksaku!” katanya dan ketika
kedua lengan lawan menghantam dengan pengerahan sin-kang, dia pun menyambut
dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau,
tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.
“Dukk!” Sie Liong membatasi tenaganya, tidak
mempergunakan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya tubuh si cebol
terpelanting dan dia terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.
Si cebol mengeluarkan teriakan melengking
nyaring karena marahnya dan ketika dia melompat ke depan, dia telah memegang
sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan di balik jubah
merahnya yang lebar.
“Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau
memegang sepasang senjata tajam?” Sie Liong memperingatkan. Sesungguhnya,
merupakan pantangan bagi seorang pandeta untuk menggunakan senjata untuk
membunuh, apalagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan tidak
bersenjata!
Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan
kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. “Jangan banyak mulut, cepat
kaukeluarkan senjatamu. Mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!”
tantangnya.
“Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!”
kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu merasa malu dan mundur.
“Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan
aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.”
“Tidak! Kaukalahkan dulu sepasang pedangku,
baru engkau boleh bicara dengan kelima orang suheng Tibet Ngo-houw!” si cebol
berkeras.
Sie Liong menarik napas panjang. Ketika dia
memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak
seperti arca. Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia
menghampiri rak itu, mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan
mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan diapun
berkata, “Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang
tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau
runcing.”
Sie Liong mempergunakan senjata itu bukan
karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri.
Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata
untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik
baginya dari pada sebatang tongkat!
Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok
Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya. “Lihat
pedang!” bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak menyerang lawan tanpa
peringatan lebih dahulu. Dua gulungan sinar bekkelebat ketika sepasang pedang
di tangannya digerakkan secara cepat dan kuat sekali. Namun, dengan tenang Sie
Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang
pedang lawan. Tongkat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu
diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan
banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah
jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama! Pendeta Lama itu terkejut bukan main
dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan
banyak ujung tongkat itu!
Akan tetapi, di antara ujung-ujung tongkat
itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja namun karena
tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini
ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang,
sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok
Lama. Tentu saja pendeta ini menjadi semakin kaget dan bingung. Dia lebih
condong melindungi tubuh yang akan tertotok, maka tak dapat dihindarkan lagi,
kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan
kedua tangan itu tiba-tiba teraaa lumpuh dan sepasang pedangnyapun terlepas
dari tangannya.
Akan tetapi Sie Liong menghentikan gerakan
tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan berkata, “Losuhu, silakan
mengambil kembali sepasang pedangmu.”
Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak
penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat, menyambar
sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedangnya, siap
untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.
“Tahan senjata!” tiba-tiba Kim Sim Lama
berseru. “Ki Tok Lama, kau mundurlah!”
Ki Tok Lama hanya memandang melotot ke arah
Sie Liong sejenak, akan tetapi dia tidak berani membantah perintah susioknya
dan diapun mundur sambil menyimpan kembali sepagang pedangnya di balik jubah
merah. Kiranya ketika Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama
yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik
kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan
Ki Tok Lama untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada
Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi.
Thay Ku Lama bangkit dari bangkunya, lalu
menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena kini yang maju adalah orang
pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku
Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang.
“Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu,
dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu
tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Sian-su?”
Sie Liong terkejut. Sungguh tajam pandang mata
Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu silat amat luas. Hal itu
saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh
dipandang ringan.
“Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima
bimbingan dari suhu Pek Sim Sian-su,” jawabnya jujur.
“Hemm, begitukah? Nah, sekarang katakan, apa
keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang
hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.”
Sie Liong memandang ke arah lima orang itu
bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Tibet Ngo-houw,
dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama
ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apa sesungguhnya yang
mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka! Jawablah sejujurnya, benarkah
kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal
Himalaya?”
Thay Ku Lama tertawa bergelak, perutnya yang
gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu terdengar bunyi
berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar. Pendeta Lama ini
memang memiliki ilmu yang amat hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, suatu
pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau dia pergunakan, selain
dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua kakinya ditekuk
dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap
hitam.
“Ha-ha-ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang
mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!”
“Pemberontakan apakah yang telah dilakukan
oleh para locianpwe, para pertapa terhadap Dalai Lama?” Sie Liong mengeluarkan
pertanyaan yang pernah diperbincangkan para gurunya itu.
“Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa
orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!” kata pula Thay Ku Lama
dengan sikap acuh.
“Nanti dulu, losuhu. Pernah aku mendengar
bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, seorang pertapa Himalaya, membela
penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Terjadi perkelahian antara Pek Thian
Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas.
Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan
pertapa Himalaya?” Sie Liong pernah mendengar cerita tiga orang gurunya, yaitu
Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu.
“Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa
bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah
maka mereka dianggap pemberontak.”
“Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek
Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki
yang hendak diculik oleh para para pdndeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian
menjadi Dalai Lama! Bagaimada mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu
berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu
bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai
Lama, bagalmana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar
malah memusuhi Dalai Lama?”
Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw
saling pandang dan They Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dan mukanya berubah
merah. Tak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan
segala rahasia mereka!
Akan tetapi Kim Sim Lama yang sejak tadi
mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa. “Ha-ha-ha! Omitohud....
Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi
penjelasan kepadamu. Memang, dahulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid
keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba
untuk mencegahnya karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama.
Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim itulah maka kami semua
meninggalkan Dalai Lama dan berdiri sendiri di sini, dan kami memang bermaksud
untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itulah sebabnya maka kini Tibet
Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai dan kami mempersilakan engkau
untuk bekerja sama dengan kami, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena
dia seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan
dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada
Dalai Lama akan tetapi malah dibalas dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan
masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan
berhasil, Sie Taihiap!”
Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan
alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua
yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak
terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama!
Dia tidak mau percauya begitu saja, pula dia tidak ingin melibatkan diri dalam
pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.
“Terima kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya
hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa
pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya
utusan dari Dalai Lama, biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk
bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu itu dengan
pengejaran dan penumpasan. Selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi
sekarang.”
Akan tetapi, agaknya telah ada isyarat dari
Kim Sim Lama, begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas itu, di ambang
pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagal macam senjata di
tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia melirik ke
arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sanapun sudah tertutup oleh
tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga dan jelas mereka semua itu tidak
akan memberi jalan keluar padanya.
“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba Kim Sim
Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi walaupun masih lembut.
Sie Liong menatap tajam wajah pemimpin
Kim-sim-pai itu. “Ada apa lagi, losuhu?”
“Orang muda, engkau datang ke sini tanpa kami
undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami
kepadamu. Oleh karena itu, kalau engkau mau bekerja sama dengan kami untuk
menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi, kalau engkau
menolak dan hendak pergi begitu saja, membawa semua rahasia kami, sudah tentu
kami merasa keberatan!”
Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim
Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawatir bahwa dia
telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk bekerja sama atau
dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!
“Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam
pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam
pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki mengapa para
pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.”
“Sie Liong!” Kim Sim Lama membentak, kini
terdengar marah. “Dengar baik-baik, pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama,
merupakan orang ke dua sesudah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan
sekarang pinceng adalah calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru!
Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!”
“Losuhu, mati hidup bukan di tangan siapapun,
melainkan di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa! Kalau Tuhan sudah menghendaki aku
harus mati, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu
mencegahnya, sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan
pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi baik
buruknya langkah hidup berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu,
aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa
ragaku kepada Tuhan. Aku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak,
apapun yang akan menjadi akibatnya!”
Semua pendeta Lama yang berada di situ,
diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum. Pemuda ini,
biarpun bongkok, ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus.
Akan tetapi, betapapun kagum hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong
pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya
serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat benar.
“Sie Liong, engkau masih muda akan tetapi
selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang agak berlebihan.
Agaknya engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaianmu sendiri sehingga merasa
bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanau. Nah,
ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka angkau
berani menentang kami! They Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang di antara
kalian mengujinya!” kata Kim Sim Lama.
Biasanya, kalau menghadapi lawan berat, Tibet
Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka hedapi hanya
seorang pemuda bongkok, betapapun lihainya, kalau mereka maju berlima
mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan nama
besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama! Bahkan Thay Ku Lama
sendiripun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu,
maka dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda diantara mereka
berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.
Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan
wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat dari suhengnya,
dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang
sebatang tombgk karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan di
atas lantai di bawah meja. Kini, dengan tombak berdiri di sebelah kirinya,
tangan kanannya bergerak ke depan, telunjuknya menuding ke arah muka Sie
Liong.
“Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu
engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang
mengganggu. Agaknya memang sudah dikehendaki Tuhan bahwa engkau akan mati di
tanganku! Nah, engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!”
Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap
sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan
pertolongan Tuhan saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman
bahaya maut.
“Thay Bo Lama, sudah kukatakan bahwa aku tidak
ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga di sini. Maka, tentu aku
tidak akan menyerang siapapun, dan hanya akan membela diri kalau aku
diserang.”
“Sombong! Sambutlah serangan tombakku ini!”
Dia segera menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara bersiutan karena
tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Ketika menyerang dengan
tusukan, tombak itu meluncur seperti anak panah saja, menusuk ke arah dada
Sie Liong! Sie Liong melihat gerakan ini dapat menduga bahwa lawannya yang
kurus kering seperti cecak mati kering itu agaknya memiliki tenaga yang amat
besar. Untuk meyakinkan dugaannya, diapun mengerahkan tenaganya pada tongkat
yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.
“Trranggg....!”
Dugaan Sie Liong memang tepat. Biarpun
lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata di dalam lengan
yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga raksasa yang
mengejutkan. Untung bahwa dia telah menduga sebelumnya sehingga tidak merasa
terkejut. Juga tidak sampai terpental karena diapun sudah mengerahkan tenaganya
ketika menyambut dengan tangkisan tadi. Di lain pihak, Thay Bo Lama yang
terkejut. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya dan tongkat yang dipegang
bocah itu tidak sampai terpental atau patah, bahkan kedudukan kakinya sendiri
yang menjadi goyah karena dia merasa seolah tombaknya bertemu dengan pagoda
baja yang amat kuatnya!
“Bogus! Bocah bongkok kiranya engkau telah
mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Sian-su dan karenanya menjadi sombong! Akan
tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di tangan pinceng!” bentak Thay Bo
Lama sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
“Thay Bo Lama, ingatlah bahwa engkau yang
memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari permusuhan!” jawab Sie Liong
dengan sikap yang amat tenang.
“Hyeeeeeehhhh.... haittt....!” Thay Bo Lama
mengeluarkan teriakan nyaring, lengan kirinya membuat gerakan memutar di depan
dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan di kedua lengan. Kakek
yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternyata memang masih amat
kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan
kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah Sie Liong.
“Wyuuuuuutt.... singgggg....!”
Ketika dielakkan, senjata itu
menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi dan selain mendatangkan
sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan dan
bardesing. Namun, Sie Liong dapat selalu menghindairkan diri dengan tidak
terlampau sulit, menggunakan gerakan kedua kakinya yang lincah untuk membuat
tubuhuya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak, dan
kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat
sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri
terhuyung!
Sie Liong maklum bahwa dia berada di dalam
bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama melayani Thay Bo
Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di situ masih terdapat banyak lawan
yang tentu akan maju satu demi satu. Sebaliknya, kalau terlalu cepat dia
mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mereka menjadi semakin
penasaran dan marah kepadanya! Jalan lari tidak mungkin lagi karena dia sudah
terperosok ke dalam sarang mereka. Bagaimanapun juga, dia harus menghadapi ancaman
bahaya itu dengan gagah. Tiba-tiba dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dia
mainkan Thian-te Sin-tung di bagian yang menekan dan menyerang.
Begitu Sie Liong mengubah gerakannya dan mulai
menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa tongkat itu seperti
berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian pula
menyerangnya bagaikan gelombang lautan yang menyarbu dirinya! Beberapa kali
tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya
sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan! Cepat
dia mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Dia hendak
menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda itu.
“Hyaaaahh, orang muda berlututlah engkau!”
Namun, biar masih muda, Sie Liong adalah murid
yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim Sian-su, maka tentu saja dirinya
sudah “berisi” dan segala macam kekuatan sihir tidak akan mudah mempengaruhi
batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir itu, namun cepat Sie
Liong mengerahkan sin-kang melindungi dirinya dan sekali tongkatnya
berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya. Thay Bo Lama
mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya menjadi lumpuh dan
tanpa dapat dicegah lagi, diapun jatuh berlutut! Ternyata jeritannya mengandung
perintah tadi disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan lawannya.
“Thay Bo Lama, tidak berani aku menerima
penghormatan itu!” kata Sie Liong sambil melangkah mundur dan menghadap ke
samping. Sikapnya wajar dan sedikitpun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap
ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan main. Setelah rasa
kesemutan yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, diapun bangkit
berdiri dengan muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu
penuh kebencian.
“Hyaaatt-ahh....!” Tiba-tiba Thay Bo Lama,
pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan senjatanya yang ampuh,
yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat sekali. Rantai itu menyambar
ganas ke arah kepala Sie Liong. Pendekar Bongkok sudah mengenal sejak dahulu
akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini, maka melihat rantai menyambar ganas, diapun
merendahkan tubuhnya dan rantai itu lewat di atas kepalanya, kemudian diapun
melangkah maju mendekat. Rantai itu panjangnya ada tiga meter sehingga kalau
berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan dapat mencapai dirinya
sedangkan tongkatnya yang hanya satu setengah meter panjangnya tidak akan
dapat mencapai lawan.
Akan tetapi, Thay Bo Lama sudah menyambutnya
dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang berbau amis manyambar
ke arah Sie Liong. Pemuda ini meloncat ke kiri, maklum bahwa itu adalah pukulan
yang mengandung racun. Memang, pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu,
selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang panjang dan berat, juga
terkanal memiliki pukulan beracun, juga pandai mempergunakan racun sebagai
senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya.
Sambil melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan
tongkatnya menusuk ke arah perut lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja
itu ditekuk menjadi dua dan ternyata pendeta Lama itu kini memegang rantai di
bagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi
dua rantai pendek karena dipegang bagian tengahnya! Dan dua batang rantai itu
berputar menangkis tongkat, bahkan membalas dengan serangan dari kanan kiri,
dua helai rantai baja itu melakukan gerakan menggunting. Kembali Sie Liong
melangkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari guntingan sepasang rantai
baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin bersiut ke arah kepalanya dari
belakang. Cepat dia merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut
penyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang sudah menyerangnya
dengan curang sekali. Thay Bo Lama yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah
kepala Sie Liong, kini berbalik malah diancam tongkat yang menusuk ke arah
lambungnya dari samping. Cepat dia melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki
Sie Liong menyambar dan diapun terpelanting! Untung bahwa tendangan itu tidak
mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan
tidak terluka.
Pada saat itu, Thay Hok Lama sudah pula
menyerang dengan rentai bajanya. Ketika Sie Liong menggerakkan tongkat
menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay Hok Lama
tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat tongkat di
tangan pemuda itu terlepas. Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan dengan
pengerahan sin-kangnya, diapun membalas, menarik dan..... tubuh Thay Hok Lama
melayang terbawa tarikan itu, melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok Lama
pelepaskan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah.
Melihat betapa dua orang rekan mereka masih
terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat kepada dua orang
sutenya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini serentak
berloncatan turun ke gelanggang dan merekapun sudah menggerakkan senjata
masing-masing melakukan pengepungan. Thay Ku Lama yang bermuka codet dan
berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka bopeng
mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang barmuka pucat
memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet)
mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!
Sie Liong tersenyum dan terbayanglah peristiwa
beberapa tahun yang lalu ketika dia masih kecil. Ketika itu, diapun melihat
Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya atau juga dapat
disebut suhengnya, yaitu Himalaya Sam Lojin. Mereka adalah gurunya karena dia
menerima gemblengan silat pertama dari mereka bertiga, akan tetapi merekapun
kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim Sian-su yang
terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin. Masih terbayang olehnya
betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam Lojin, lima orang
melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan dahsyat dan dia
masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet Ngo-houw yang lihai
itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Sian-su dan juga sute dari kakek sakti
itu, Koay Tojin yang aneh dan Tibet Ngo-houw dapat dikalahkan dan diusir.
Dan kini, dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan
lima orang Lama yang amat lihai itu! Namun, dia sudah monerima gemblengan
lahir batin dari Pek Sim Sian-su dan dia tidak merasa gentar sedikitpun juga.
“Hemm, aku datang mewakili para tosu yang
dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka yang tidak berdosa itu
dimusuhi, dan ternyata sekarang Tibet Ngo-houw juga berusaha keras untuk
mengeroyok aku! Apakah inipun termasuk perintah Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah
nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan nama Dalai Lama?
Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan kalian terhadap
Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!” Sie Liong berkata. Karena maklum bahwa dia
telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos, maka diapun
tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.
Ucapan ini membuat lima orang pendeta Lama itu
saling pandang dan tentu saja mereka merasa betapa janggalnya dan memalukan
keadaan mereka di saat itu. Lima orang datuk besar persilatan yang namanya
sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang usianya sudah mendekati
enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan mereka di tangan, kini
mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok dan hanya memegang
senjata sebatang tongkat kayu pula! Betapa memalukan keadaan ini. Akan tetapi
mereka berada di sarang sendiri, tidak ada orang luar yang menyaksikan
peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ hanyalah para rekan mereka, yaitu
Kin Sim Lama, yang tentu maklum bahwa mereka harus maju bersama menghadapi
musuh yang demikian lihainya, meskipun masih amat muda dan bongkok pula.
Betapapun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri mereka dan
kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka lakukan
atas isyarat Thay Ku Lama orang pertama di antara mereka.
Mereka hendak menggunakan tenaga gabungan
mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan kelihatan terlalu
mengepung dan mengeroyok! Mereka berdiri berjajar sambil bergandeng tangan,
Thay Ku Lama di ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama di sebelah kiri
paling ujung sebagai ekor. Mereka membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan
sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua).
Memang barisan atau “tin” ini mirip garakan ular yang berkepala dua. Mereka
berlima dengan bergandeng tangan menghadapi lawan dengan gerakan
melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah
sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penyerang
utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama yang
lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya
membantu dengan tendangan-tendangan saja.
Menghadapi lima orang lawan yang sudah
menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan itu, Sie Liong
mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta
Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik sekali. Maka, dia pun menduga
bahwa mereka tentu akan mempergunakan suatu cara penyerangan yang istinewa, dan
melihat cara mereka bergandeng tangan, diapun dapat menduga bahwa ini tentu
semacam tin (barisan) dan cara bergandeng tangan itu menunjukkan bahwa mereka
berlima tentu akan menyatukan tenaga sin-kang mereka. Ini berbahaya bukan main.
Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih dapat menandingi
kekuatan sin-kang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi kalau
tenaga sin-kang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali,
terutama kalau hendak mengadu tangan!
“Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat
apakah engkau mampu menandingi barisan kami!” teriak Thay Ku Lama dan
“barisan” lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan seperti ular
berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala
dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat lima orang pendeta Lama
ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh
merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil
bermain-main saja. Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggap
demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang
matanya, juga pandengaran telinganya, tak pernah melepaskan gerakan lima
orang lawan itu. Ketika lima orang itu mengelilinginya, dia tidak ikut
memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan mengikuti mereka
dan setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, diapun memutar leher dari arah
lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tak
pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan
menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja sudah tidak
berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini
mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan
melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan
berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka
lawan yang berputaran di dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan
juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah. Namun, Pendekar Bongkok itu
tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja.
Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung,
pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah,
mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti arah, yang tadinya ekor
menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi beberapa kali, kemudian,
atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tenang
saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandeng
dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan tangan kanan untuk
menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt....!” Sie Liong cepat mengelak karena
dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat.
Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan
kini “ekornya”, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan
tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini sudah mencengkeram ke arah
dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong
terkejut. Dia cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt....!” Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh
cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada
itu, dan bekas robekan menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi, Sie Liong yakin
bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga sin-kang dan dia seolah
menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat. Akan
tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu,
Siang-thouw Coa-tin telah bergerak lagi dan dengan dahsyat dan cepatnya, juga
dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan
hantaman-hantaman tangan yang mengandung sin-kang amat kuat. Sukar diduga siapa
yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong
sudah cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek
Sim Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang
membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biarpun dia
terdesak hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan
lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak
sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya diapun tahu
bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang
berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka
itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan
sebaliknya. Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan. Dan
diapun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung
dan penyalur tenaga sin-kang yang disatukan, tidak dapat banyak berbuat
sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya
kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki, akan tetapi
karena tubuh mereka tidak bebas, dengan kedua tangan saling bergandengan itu
mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tldak banyak
artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang cerdik inipun menemukan suatu
kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa di bagian “tubuh” atau tengah yang
dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt....!” Thay Ku Lama sudah menyerang
lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika
pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin
pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan
kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak dua meter. Dia tentu
saja tidak berani menyambut langsung, maklum betapa hebatnya tenaga gin-kang
yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia berani
mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sin-kang
yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sin-kang jelas
jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu, jauh kalah.
“Desss....!” Dua pasang tangan itu tidak
sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sin-kang yang menyambar
sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan bertumbuk di udara.
Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin
taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah memperhitungkan sehingga dia
membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat
tubuhnya berguling-guling ke sana-sini sehingga mematahkan tenaga luncuran
sambil memperhatikan keadaan barisan lawan. Seperti yang diduganya, lima orang
Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka, dan mereka itu sudah datang
menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggpk seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu
tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara
melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya menjadi banyak
dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah!
Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek
Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut
bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor
barisan itu terkejut. Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie
Liong terluka. Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang
dengan hebat ke arah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu
hanya mampu membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat
menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit!
Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main
karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!
“Lepaskan ikatan!” bentak Thay Ku Lama yang
melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang
digerakkan secara lihai sekali itu. Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan
dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki
tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera bargerak, ada yang mengelak
dan ada yang menangkis. Namun, gerakan mereka malepaskan diri dari ikatan
barisan tadi terlambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan
pundak tertotok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga terpelanting karena kakinya
menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya, sedangkan
Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dadanya kena didorong tangan kiri Sie Liong
sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri. Masih untung bagi tiga orang
pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-thouw
Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun tangan
kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, jelas bahwa
barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri
dengan muka berubah merah karena malu dan marah. Tiga orang pendata Lama yang
tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah
menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan
Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong menjura. “Apakah ucapan
Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan
berhasil memecahkannya, kenapa kalian malah mengeluarkan senjata?”
“Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?” Thay
Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sutenya mengeluarkan
suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya
tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah.
Mendengar ini, tiba-tiba saja Sie Liong
menekuk punggungnya yang bongkok ke belakang dan dia monangadah, memandang
langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara ketawa yang
membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat
nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti gelombang,
mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan
itu! Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia
bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat
sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa
sekali tabah dan beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya dan menyambut
tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya!
Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam
hatinya dan betapa akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung
atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Sie Liong menghentikan
ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu menudingkan tongkatnya ke
arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah
lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan. “Tibet
Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok
aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatangkara yang
tidak memiliki apa-apa, tubuhpun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke
tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia
busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran
dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, matipun tidak apa-apa! Kematian
hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya,
kalian ini biarpun berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka,
menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret
kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga suara ketawanya tadi, kini
ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk
mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa malu dan
penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay Ku Lama, mereka
sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan Sie Liong
berada di tengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia
dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia kalau hanya
mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan
diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi
datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan
mengambil sikap menyerang dan mengamuk!
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat
dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama
yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat
Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main. Thay Bo Lama
menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya
juga mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang Sie
Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya
diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan
dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.
“Tar-tar-tarrrr!” Thay Si Lama menggerakkan
cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie Liong itu bagaikan
seekor lalat menyambar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu betapa hebatnya
totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk diapun melindungi
dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga menggerakkan
siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suhengnya dan membalas serangan Sie
Liong.
Ketika pedang itu menyambar pinggang dan
leher, Sie Liong melempar tubuh ke bawah dan bergulingan ke arah Thay Ku Lama.
Begitu melompat, tongkatnya sudah menyerang dengan tusukan ke perut orang
pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat memutar golok menjaga dirinya. Akan
tetapi Sie Liong sudah membalik ke belakang lagi untuk menyerang Thay Hok
Lama!
Amukan Sie Liong itu mangejutkan Tibet
Ngo-houw. Gerakan pemuda itu demikian cepat, membagi-bagi serangan sehingga
mereka tidak sempat menyusun kekuatan untuk mengepung dan menghimpit. Melihat
ini, dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring.
“Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!”
Mendengar bentakan ini, para sutenya sadar dan
mereka segera berlompatan menjauhi Sie Liong dan membuat berisan segi lima!
Dan merekapun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat
dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit. Sie Liong tidak berani lagi
menyerang seperti tadi karena maklum bahwa begitu dia menyerang seorang di
antara mereka, yang empat orang akan menubruk dan menyerangnya dari empat
jurusan secara berbareng! Dia pernah mendengar dari Pek Sim Sian-su tentang
beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan barisan yang berbahaya,
apalagi karena lima orang anggautanya mempergunakan lima macam senjata sehingga
sukar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan mereka. Akan tetapi diapun teringat
pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek Sim Sian-su pernah
menceritakan sifat dan kehebatan Ngo-heng-tin. “Dalam Ngo-heng-tin terdapat
unsur Im-yang pula, demikian kata kakek sakti itu. Lima unsur itu saling bantu,
sehingga kalau ada seorang anggauta diserang, selain dia sendiri dapat membela
diri, juga ada anggauta lainnya yang melindunginya, sedangkan tiga orang
lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam lawan. Memang kalau
lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu memiliki tenaga dan kepandainn yang
setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan
Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah ajaib, tentu engkau akan dapat
mempertahankan diri. Kalau engkau bisa memecahkan unsur yang paling membantu itu,
baru engkau akan dapat mengacaukan pertahanan mereka. Usahakan agar engkau
mengenal siapa di antara mereka itu yang saling melindungi, siapa yang memegang
unsur air, api, kayu, tanah dan angin.” Demikianlah petunjuk yang diperolehnya
dari Pek Sim Sian-su.
Terdengar seruan keras ketika Thay Ku Lama
membuka serangan pertama! Golok di tangannya itu mula-mula diacungkan ke atas,
dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut gendut itu ditekuk
sehingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari perutnya berbunyi suara berkokokan
seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu bergoyang-goyang, kemudian
tubuhnya meloncat ke depan dan tangan kirinya dengan jari terbuka mendorong ke
arah Sie Liong. Uap hitam disertai angin keras menyambar ke arah Sie Liong.
Itulah pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Hitam) yang
amat berbahaya. Sie Liong mengenal pukulan ampuh, maka diapun melempar tubuh
ke kiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar golok di tangan kanan
Thay Ku Lama menyambar, dia menggerakkan tongkatnya menangkis, lalu membalas
dengan totokan-totokan ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh
lawan!
Menghadapi jurus hebat dari Thian-te Sin-tung
ini yang membuat dirinya terancam maut oleh totokan-totokan, Thay Ku Lama
menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk melindungi tubuhnya. Thay Si
Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain melindungi sehengnya, juga ujung
cambuk itu berusaha membelit tongkat untuk merampasnya!
Sie Liong mulai merasakan keampuhan barisan
Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama diserangnya, Thay Si Lama
sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula menyerangnya.
Dia meloncat tinggi melewati tubuh para
pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok Lama, akan tetapi begitu lima orang
pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan, dirinya sudah dikepung
lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat menubruk ke depan, menggerakkan
pedangnya yang mula-mula menusuk ke arah sepasang mata Thay Pok Lama, kemudian
ujung tongkat digetarkan untak menghantam leher dan ubun-ubun secara
bergantian. Thay Hok Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis, dan
pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama sudah menggunakan rantai
bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang pendeta Lama ini bergabung
dan menyerang Sie Liong.
Setelah mencoba untuk mengamuk beberapa belas
jurus lamanya, tehulah Sie Liong bahwa benar seperti dikatakan gurunya, lima
orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung
dalam barisan itu. Tiba-tiba dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia
tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan melindungi suhengnya itu. Dan benar
saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi
ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah
membalik secara tiba-tiba dan diapun sudah menyerang Thay Bo Lama! Dia sudah
memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda
dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, diapun menarik kembali
serangannya dan tiba-tiba dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu! Serangannya
sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan
beruntun yang dahsyat, juga tangan kirinya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya
melakukan hantaman dengan ilmu Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), ilmu
pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.
Thay Hok Lama terkejut bukan main dan memutar
rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti
telah menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu, namun baru saja Thay Bo
Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata hanya pura-pura
itu, maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melinduagi diri sendiri dan tidak
mempunyai pelindung lain. Akan tetapi, serangan Sie Liong itu terlampau hebat.
Dia mampu monangkis tongkat, akan tetapi tidak mampu manghindarkan diri sama
sekali dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang memukulnya. Namun dia masih
berusaha menangkis dangan tangan kirinya.
“Desss....!” Tubuh Thay Hok Lama terpelanting
keras dan terbanting sampai terguling-guling.
Tentu saja para Lama yang lain menjadl
terkejut bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin akan dapat
dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga
puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!
Tiba-tiba nampak bayangan merah berkelebat dan
tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat pendeta telah berada di
tempat di mana tadi Thay Bo Lama berdiri.
“Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang)!”
serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. Empat orang Lama itupun
bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk barisan
Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang
berkedap-kedip karena senjata mereka digerak-gerakkan berkilauan dan kedudukan
mereka selalu berubah. Tiba-tiba mareka berlima itu menyerang dari lima
penjuru! Sie Liong cepat memutar tongkatnya melindungi diri, dan tangan
kirinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk membingungkan
para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang amat kuat sehingga semua
senjata terpental kalau hendak menerobos ke dalam lingkaran benteng sinar itu.
Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong
merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.
“Trakkk!” Pertemuan antara tongkat di tangan
Sie Liong dan tongkat pendeta berkepala naga yang besar di tangan Kim Sim Lama
amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar, juga Kim Sim Lama tercengang
dan jelas nampak betapa wajahnya dibayangi kekaguman dan keheranan karena dia
mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu mampu menandingi kekuatan sing-kangnya!
Sie Liong tidak membiarkan dirinya dilanda
kekagetan, melainkan cepat dia menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo
Lama yang menusuk ke arah lehernya. Dia merendahkan dirinya dan tangan kirinya
mendorong ke arah penyerangnya itu, cepat sekali.
“Hyaaaattt....!” Hawa yang amat dingin menyambar
ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar Bongkok telah mempergunakan
Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin,
seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan ini memang mengandung sin-kang
yang berhawa dingin seolah-olah ada hawa salju yang menyambar ganas.
Thay Bo Lama terkejut dan menangkis dengan
lengan kirinya pula.
“Plakkk!” Dan akibatnya, tubuhnya terguling
dan diapun menggigil kedinginan!
Saat itu dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk
menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan
mukanya dan menggerakkan tongkat menangkis. Pada saat yang sama, tongkat naga
di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang maklum akan kehebatan
pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat yang tadi membalik
ketika menangkin golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi sambaran tongkat naga
Kim Sim Lama.
“Dukkk!” Sekali ini, demikian kuatnya Kim Sim
Lama menghantamkan tongkatnya, pula karena Sie Liong baru saja menangkis golok
Thay Ku Lama sehingga tenaganyapun tidak sepenuhnya. Akibatnya Sie Liong
terpelanting!
Kesempatan itu dipergunakan oleh Thay Si Lama
untuk manghantamkan cambuknya ke arah kepala Sie Liong. Cambuk itu melecut
dengan cepat seperti kilat menyambar! Sie Liong masih berhasil menggerakkan
tongkatnya menangkis walaupun dia sudah terpelanting. Namun, ujung cambuk itu
membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie Liong mengerahkan tenaga
dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah Thay Si
Lama. Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang
bukan saja mengandung tenaga sin-kang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung
ilmu sihir itu, tidak gentar dan diapun menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.
“Desss....!” Hebat buken main pertempuran dua
telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjengkang dan diapun muntah
darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena kedudukannya tadi tidak
menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya
tidak kokoh karena dia tadi dalam keadaan terpelanting dan terhuyung.
Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat di
tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie Liong terkulai
lemas dan roboh pingsan!Melihat betapa Thay Si Lama muntah darah, empat orang
rekannya menjadi marah dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk melumatkan
tubuh Pendekar Bongkok.
“Tahan!” Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya
diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet itu kini
memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap
darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
“Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi
Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!”
katanya dengan nada tidak senang.
“Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas,
mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan
dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah
yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa
untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat
kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita?
Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk
memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.”
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh
perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, “Susiok, manfaat
apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,” katanya
kepada belasan orang pembantu utamanya. “Tanpa pimpinan pinceng, kalian sama
seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau
tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai
jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda
dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan
kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua,
kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu
betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu
gerakan kita.”
“Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid
Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana
mungkin dia mau membantu gerakan kita?” Thay Si Lama mencela.
“Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar
dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?” kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. “Memang
benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun
tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu.”
“Pinceng dapat membuatkan racun perampas
ingatan....” kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya.
“Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk
membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita?
Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak,
agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan
tenaganya.”
“Lalu untuk apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama
bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah
kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong,
berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Kita dapat mempergunakan dia untuk
memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu.
Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah
kematiannya ada gunanya untuk kita.”
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk
dan merekapun melihat manfaat itu. “Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia
dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya
disebabkan oleh Dalai Lama?”
“Tentu saja satu-satunya jalan adalah agar
dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!” kata Kim Sim Lama.
“Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan
dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. “Tidak percuma
pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah kita menanti kesempatan
yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.”
“Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali,
susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana
kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?”
Thay Ku Lama berseru khawatir.
“Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh?
Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang
racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.”
Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat
berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. “Ingatannya dihilangkan
sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?”
“Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.
“Pinceng mempunyai dua butir pel racun
perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan
selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke
perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan
di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.”
Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.
“Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan
dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa
meminumkannya sebutir lagi.”
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang
masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut
pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak
yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa
diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
“Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa
segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?”
tanya Thay Hok Lama.
“Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau
tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat,
hal itu tetap saja membahayakan.”
“Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai
racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan
sin-kangnya dia akan roboh sendiri,” kata Thay Hok Lama dan kembali dia
mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui
mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan
yang berpintu besi.
“Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia
tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang
berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie
Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di
atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar
itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan
senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam
obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara!
“Tahan!” Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya
diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet itu kini
memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap
darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
“Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi
Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!”
katanya dengan nada tidak senang.
“Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas,
mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan
dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah
yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa
untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat
kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita?
Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk
memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.”
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh
perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, “Susiok, manfaat
apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,” katanya
kepada belasan orang pembantu utamanya. “Tanpa pimpinan pinceng, kalian sama
seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau
tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai
jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda
dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan
kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua,
kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu
betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu
gerakan kita.”
“Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid
Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana
mungkin dia mau membantu gerakan kita?” Thay Si Lama mencela.
“Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar
dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?” kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. “Memang
benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun
tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu.”
“Pinceng dapat membuatkan racun perampas
ingatan....” kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya.
“Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk
membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita?
Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak,
agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan
tenaganya.”
“Lalu untuk apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama
bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah
kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong,
berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Kita dapat mempergunakan dia untuk
memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu.
Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah
kematiannya ada gunanya untuk kita.”
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk
dan merekapun melihat manfaat itu. “Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia
dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya
disebabkan oleh Dalai Lama?”
“Tentu saja satu-satunya jalan adalah agar
dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!” kata Kim Sim Lama.
“Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan
dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. “Tidak percuma
pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah kita menanti kesempatan
yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.”
“Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali,
susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana
kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?”
Thay Ku Lama berseru khawatir.
“Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh?
Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang
racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.”
Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat
berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. “Ingatannya dihilangkan
sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?”
“Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.
“Pinceng mempunyai dua butir pel racun
perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan
selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke
perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan
di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.”
Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.
“Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan
dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa
meminumkannya sebutir lagi.”
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang
masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut
pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak
yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa
diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
“Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa
segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?”
tanya Thay Hok Lama.
“Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau
tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat,
hal itu tetap saja membahayakan.”
“Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai
racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan
sin-kangnya dia akan roboh sendiri,” kata Thay Hok Lama dan kembali dia
mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui
mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar
tahanan yang berpintu besi.
“Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia
tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang
berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie
Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di
atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar
itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan
senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam
obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara!
Bayangan itu berkelebat cepat sekali
meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan
sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari
wuwungan genteng rumah penginapan itu. Dia seorang pemuda tampan sekali,
dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya
mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya
mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah
penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
“Selamat tidur, suci yang manis,” bisiknya
sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang
melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha untuk mencari
Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritdkan di bagian depan, mereka
memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang
Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang
Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so. Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan
pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa
mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk
dan di mana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu.
Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan
sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Tadi, di rumah
makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga
membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan
berahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi
jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu
demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk
tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, melainkan wanita itupun
jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus
dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga! Sebelum dia dan sucinya
meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat
hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah
penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar
sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Ke mana dia
harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik
hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman
mawar demiktan menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya?
Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di
situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi.
Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan....
benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan
tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal
mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan
berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan
pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu
berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan
sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi
karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ketawa kecil
masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia
terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik
manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur
dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan
main!
“Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?” terdengar
suaranya yang merdu dan penuh godaan.
“Karena aku tergila-gila kepadamu, nona.
Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cinta padamu,
nona!” jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya
karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang
membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang
wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai
seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong
Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda
ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah
bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu. Sayang pemuda itu sudah mempunyai
pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini
bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang!
Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan
dan gagah, narnun sudah tua itu.
Malam itu, setelah ia tadi membayangi pemuda
dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi
rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang
turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut dan heran, dan
lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi
itulah bayangan yang amat gesit itu. Hatinya menjadi semakin bergairah.
Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu memancing
pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai
kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan
pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.
“Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku?
Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat
berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!” Dan tiba-tiba Pek Lan sudah
melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga
mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya
bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia
cukup jantan dan gagah untuk dapat “berdekatan” dengan wanita cantik yang
menantang ini. Cepat diapun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan
diapun membalas. Tarnyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan
Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan
bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Kalau
tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa
wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan!
Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu
silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang,
namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut
Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul IbliS). Begitu dia memainkan ilmu
silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan
memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan
kagum. Namun, biarpun agak terdesak, ia masih dapat mengindarkan semua
rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu,
maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in
Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
“Tahan dulu....!” serunya sambil melompat ke
belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang
karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat
Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.
Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan
pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan
gagah sekali. “Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum.
Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata.
Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan,
aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.”
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan
maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun
mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan
dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru
setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa
senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam
karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang
bersenjata sekalipun. Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu
dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang
sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada
umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan
tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal
ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon
sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter
itu dia berkata, “Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita
adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk
mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. “Engkau memandang
rendah kepadaku?”
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang
diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak
suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,
“Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu,
nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah
tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah?
Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah
tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan
memilih sebatang tongkat.”
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang
hitam panjang melengkung indah itu. “Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat
ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan iapun menyerang dengan gerakan
cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak berani memandang
rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat
menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti
yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada
tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi
Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor
naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo,
seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah
dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan
juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek
Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan
senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi
kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong
Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan
dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan
amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang
Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang
dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak
menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnyapun, dengan
ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi
diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru
di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan
kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus
Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan
menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga
di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha
memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh
dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar
pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan
tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba
dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya
bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang,
Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga
sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan
menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada
saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya
dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
“Plakkk!” Dua buah tangan dengan jari terbuka
itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak
bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka
dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum. “Nona, engkau sungguh
cantik jelita....”
Pek Lan juga tersenyum. “Dan engkau perayu
besar!”
“Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau
memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku
tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan
ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu....”
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah
berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan
minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia menggerakkan kepalanya.
Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke
depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika
dua mulut itu berternu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat
jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas
rumput!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok
oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya
mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling
menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas. Tiba-tiba, masing-masing
terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah
dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
“Kau.... kau.... Bong Gan....?”
“Kau.... Pek Lan....?
Tadinva mereka memang hanya merasa pernah
saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat
dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek
Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat
belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang,
sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi
remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali
tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu
silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling
mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa
girang sekali!
“Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku....”
“Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!”
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi,
seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa
kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka
saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya
terpakea harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah
ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu
berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya,
lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
“Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? “Aku.... amat
rindu kepadamu....” Bong Gan berbisik, terengah-engah.
“Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis
cantik itu. Isterimukah ia?” tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin
tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa
Pek Lan menghentikan percumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal
itu. “Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak
seperguruanku.”
“Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai
sekali.”
“Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain?
Engkau mengganggu saja....!” Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke
dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri
mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa
sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan,
nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali
mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling
menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
“Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata
Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku
masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian,
ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai
engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kauceritakan tadi, dan aku menjadi
murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertem, kita saling tertarik lagi tanpa
saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta.”
“Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong
Gan,” kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. “Dan engkau sampai tiba di
Lasha ada keperluan apakah?”
“Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari
musuh besarnya.”
“Hemm, siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar
Bongkok.”
Pok Lan melepaskan rangkulannya, bahkan
bangkit duduk seperti orang terkejut. “Pendekar Bongkok? Dia....?”
Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai
menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan
tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu,
tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
“Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?”
“Mengenalnya....?” Pek Lan tersenyum getir.
Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang
paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main.
Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya,
adik ibu kandungnya.”
“Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong
Gan,” kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia
menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana
mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali
pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora
disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian
dan perjalanan mereka ke Lasha.
“Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena
Sie Liong itu adik kandung ibunya....”
“Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”
“Memang selisih usia mereka tidak banyak.
Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu
subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh,
dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar
Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta
bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha.”
“Hemm, kalau begitu, kita mempunyai
kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap
sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu
keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak
ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!”
Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu.
“Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada
kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan
selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci? Kalau ia marah
kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah
musuh yang amat berbahaya bagi kita.”
“Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi
Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku
dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dangan kalian.”
“Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di
rumah makan itu?” Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. “Jadi dia
itu gurumu yang baru?”
“Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini
mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula.”
“Dan kalian hendak pergi ke manakah? Mengapa
sampai pula di Lasha?”
“Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama,
ketua Kim-sim-pai....”
“Ah! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke
sana!”
“Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai,
sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang Suhu, adalah seorang
sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan
Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”
“Cita-cita bagaimana?” Bong Gan mulai
tertarik.
“Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa
seluruh Tibet!”
“Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu
dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!”
“Bong Gan, engkau bodoh. Kaukira akupun suka
membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan
membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal
pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke
timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak,
emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan mengerutkan alisnya. “Jadi engkau dan
Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan
mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?”
“Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan
mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan
kesenangan?”
Bong Gan mengangguk-angguk. “Hem, aku tertarik
sekali, Pek Lan. Akan tetapi.... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kauajak saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia
keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu
Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong
untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”
“Hi-hik, kaumaksudkan ia seorang pandekar
wanita?”
Bong Gan mengangguk. “Begitulah! Guru kami,
Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan....”
“Dan kau sendiri?”
Bong Gan menyeringai. “Aku lebih suka mencari
kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.”
“Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang
pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan
persetan dengan gadis itu!”
“Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan
ia begitu saja? Ah, aku.... aku....”
“Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada
suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!”
“Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong
Gan membalas.
“Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar
suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan
Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.”
“Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja,
pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak,
akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta
sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya.
Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat
menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher
kekasihnya. “Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang
tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang!
Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu
menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah
engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung
dengan kami!”
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main.
“Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukankah dengan
bekerja mama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?”
“Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus
melayaniku dengan taat!”
Bong Gan tertawa. “Tentu saja, dengan segala
senang hati!”
“Nah, kalau begitu, sekarang aku
menginginkan....”
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam
ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.
***
Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun
kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong memandang ke
kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng
bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat
daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang
yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerutkan alisnya dan merasa
khawatir.
“Lie-toako, di tempat besar seperti ini, ke
mana kita harus mencari puteriku dan adikku?”
Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita
itu dengan sinar mata lembut dan menghibur. “Jangan khawatir, Hong-moi. Yang
kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak
banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, tentu ada yang
melihat mereka.”
“Sekarang, kita ke mana toako?”
“Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa
dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita
membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau
berusaha agar dapat diterima menghadap Dalai Lama.”
“Menghadap Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah
mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir seperti kaisar kita,
dan tidak akan mudah menghadap beliau.”
“Benar, akan tetapi aku yakin akan dapat
diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu
beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau.”
“Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi
mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai
Lama?”
“Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas
dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu,
bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar
akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka,
kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang
sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan
keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira
orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah
kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya
untuk menyelidiki dan mencari.”
Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu
bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik
dan juga berpengalaman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping
pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung. Alangkah bedanya ketika ia masih
menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa
aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang
bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap
demikian baiknya! Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu
yang istimewa dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini,
seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia
hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis
muda! Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan
budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin.... ah, ia
telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu!
Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek
mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang
berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi
makan. Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih
menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah
makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri
saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak
menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju luarnya.
Atas nasihat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya
sehingga tidak terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek,
maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju,
dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada kalanya ujung itu menonjol
keluar.
Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu
juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh
nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan
tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang jalan dengan mereka,
bersikap hormat dan ramah.
Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu
gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama menghadang
mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas mengatakan
bahwa orang luar tidak diperkenankan memasuki daerah itu tanpa ijin.
“Harap kalian memaafkan kami,” kata kepala
jaga dengan sikap hormat. “Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan,
harap lakukan itu di luar daerah istana. Tak seorangpun, tanpa ijin,
diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang.”
Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan
hormat, diikuti pula oleh Lan Hong. “Harap saudara sekalian suka memaafkan
saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai Lama. Harap
saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap
Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting.”
“Omitohud....!” Kepala jaga itu berseru. “Apakah
sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau?
Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya)
sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan
yang cukup kuat.”
“Sobat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa
saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang
teramat penting untuk Dalai Lama,” kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan
suaranya yang tenang berwibawa.
Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para
pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih
hormat. “Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu
menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama
melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan
masuk menghadap.”
Akan tetapi Lie Bouw Tek menggeleng
kepalanya. “Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek
murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, tentu beliau
akan sudi menerimaku.”
Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang
usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah dalam.
Begitu melihat Lie Bouw Tek, diapun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap
hormat.
“Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada
di sini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa
taihiap datang berkunjung ke Lasha?”
Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu,
akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang
dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Diapun cepat memberi
hormat dan berkata dengan lembut.
“Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk
mohon menghadap Dalai Lama karena ada suatu hal yang amat penting harus saya
sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar
saya diperkenankan menghadap sekarang juga.”
“Baik, taihiap. Tunggulah sebentar di sini!”
kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana yang megah itu.
Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek
dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.
Tak lama kemudian, muncullah enam orang
pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat
itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini
tersenyum ramah.
“Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung
mengundang taihiap.”
“Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio
ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama.”
Pendeta itu mengerutkan alisnya. “Tidak
biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini
datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sendiri nanti
setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini
diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan.”
Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong,
dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk
jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah
satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong.
Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu.
Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia
merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar,
perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya,
selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.
Ketika mereka tiba di luar sebuah pintu besar
yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan mereka menanti
sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu,
dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu
keluar lagi dengan wajah cerah.
“Taihiap dan toanio dipersilakan masuk untuk
menghadap Yang Agung Dalai Lama!”
Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu
mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak
gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak sunyi karena
kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah
kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup
topi pendeta.
“Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek
dan toanio! Silakan duduk!”
Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan
merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong
juga memberi hormat, akan tetapi ia merasa heran bukan main. Tadinya ia
membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu
seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama
sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendiri itu usianya hanya
beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih!
Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang
terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesabaran, keagungan dan
kebesaran hati.
Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas
kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai
Lama, nampaklah oleh mereka bahwa di belakang Dalai Lama terdapat sehelai
kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta
Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja. Bouw Tok maklum bahwa
sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan
pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendirl memiliki
ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini,
dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja
tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati
perintah Dalai Lama.
“Nah, menurut laporan tadi engkau datang
sebagai utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua keperluanmu berkunjung ke
sini, taihiap.”
Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat
kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu. “Mohon dimaafkan
kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya
menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya
tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai
adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi karena saya merasa yakin
akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka
untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan.”
Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang
matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar disebutnya nama
Tibet Ngo-houw tadi.
“Tibet Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah
dengan Tibet Ngo-houw?”
Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu
memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet
Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu
Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun berada di balik
sutera putih di belakang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai Lama masih bertanya
lagi?
“Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk
mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki
mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan
menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang berasal dari
Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu
memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku diutus oleh paduka, maka saya
kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak
terjang Tibet Ngo-houw itu.”
Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya sama
sekali tidak heran atau terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan
terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. “Hemm, sampai begitu
jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?” Dalai Lama bertepuk tangan dua
kali dan muncullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia
seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah
enam puluh tahun lebih, mukanya persegi seperti muka singa, membayangkan
kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya lembut. Dia menjura di
depan Dalai Lama, menanti perintah.
“Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada
Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah yang akan menceritakan
semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi,
maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama.” Setelah berkata
demikian, Dalai Lama bangkit berdiri. Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti
oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka Dalai Lama lalu
melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan
Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu.
Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang
mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali, barulah Kong Ka Lama
menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan tangan menunjuk pintu
samping dan berkata, “Taihiap dan toanio, mari kita bicara di ruangan sebelah.”
Mereka bertiga keluar dari ruangan itu,
melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang tidak begitu
besar. Ruangan inipun kosong dan hanya ada sebuah meja dan beberapa buah
kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan dia sendiripun
duduk menghadapi mereka.
Tentu saja Lie Bouw Tek masih ingat kepada
pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di
antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama
dalam perjalanan keluar Lasha dihadang para pemberontak yang menyerangnya,
Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi
Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itulah kebetulan dia
melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu
para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat
diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan
masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka dapat
dibayangkan kelihaiannya.
“Taihiap, pinceng (saya) memenuhi perintah
Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada taihiap tentang
sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal dari Himalaya dan
yang kini mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa
yang mulia Dalai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa
beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pandeta Lama yang
ketika itu dipimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon
Dalai Lama baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh seorang pertapa
Himalaya dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela orang-orang dusun
yang hendak mempertahankan anak itu sehingga akibatnya, tiga orang pendeta
Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa ke sini. Kemudian, dengan
bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menjadi Dalai Lama.”
Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong mendengarkan
dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa heran karena dia pernah
mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia menolongnya baberapa tahun
yang lalu bahwa Dalai Lama ketika kecilnya menimbulkan keributan karena dia
dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet sehingga timbul pertempuran antara
para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang mempertahankannya.
“Itulah yang aneh, lo-suhu,” katanya. “Kalau
sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa membela Dalai Lama ketika masih
kecil, kenapa sekarang Dalai Lama yang mulia dan adil bahkan menyuruh Tibet
Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari Himalaya, bahkan memusuhi para tosu
Kun-lun-pai?”
Kong Ka Lama menarik napas panjang.
“Omitohud.... memang demikianlan agaknya yang dikehendaki mereka yang hendak
merusak nama baik yang mulia Dalai Lama. Dengarkah, taihiap, akan pinceng
lanjutkan penjelasan itu.” Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu melanjutkan
ceritanya.
“Karena ketika diangkat menjadi Dalai Lama,
pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka kekuasaan dipegang sementara oleh
wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang sudah berpengalaman. Adalah Kim Sim
Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim para pendeta Lama ke Himalaya dan
menyerang para tosu dan pertapa Himalaya. Tindakan itu dia lakukan karena
dendam, yaitu karena kematian tiga orang pendeta Lama ketika terjadi
pertempuran memperebutkan Dalai Lama ketika masih kecil. Perbuatan itu
mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan pertapa tewas, terluka dan
lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan Himalaya. Di antaranya
banyak yang mengungsi ke Kun-lun-san.”
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Akan tetapi,
kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan plhak
Kun-lun-pai, lo-suhu.”
“Omitohud, memang tidak ada hubungannya. Harap
taihiap dengarkan selanjutnya, nanti taihiap akan mengerti. Beberapa tahun kemudian,
setelah Dalai Lama menjadi dewasa dan mengerti, beliau mendengar tentang segala
sepak terjang Kim Sim Lama yang menjadi wakil, juga pembimbingnya ketika beliau
masih kecil. Beliau terkejut sekali. Pertama, beliau adalah penjelmaan Dalai
Lama yang selalu hidup suci, maka tentu saja beliau tidak suka mendengar
tentang permusuhan, apalagi dendam kebencian dan bunuh membunuh. Apalagi yang
dikejar-kejar adalah para pertapa, para tosu karena dahulu seorang di antara
mereka pernah membantu penduduk dusun yang mempertahankan dirinya yang hendak
dibawa dengan paksa oleh para pendeta Lama. Juga masih banyak kebijaksanaan
yang diambil Kim Sim Lama tidak disetujuinya. Beliau menegur Kim Sim Lama dan
terjadilah bentrokan!”
“Hemm, terjadi pemberontakan, begitukah maksud
lo-suhu?”
Pendeta Lama itu mengangguk. “Semacam itulah.
Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa itu, karena hanya akan memukul nama
baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat ditundukkan dan dia pun meninggalkan
Lasha, tidak mau lagi membantu Dalai Lama. Bahkan dia membentuk suatu
perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat di sekitar Telaga Yam-so,
sebelah selatan Lasha. Akan tetapi, karena sampai sekarang mereka tidak pernah
melakukan gerakan pemberontakan, Dalai Lama mendiamkan saja, bahkan memesan
kepada kami semua agar tidak membuat keributan dengan Kim-sim-pai, apalagi
mengingat bahwa Kim Sim Lama adalah seorang tokoh tua di sini dan sudah banyak
jasanya dahulu ketika menjadi wakil Dalai Lama.”
“Akan tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw
yang mengamuk di Kun-lun-san?”
“Omitohud....! Sungguh hal itu sama sekali
tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu
memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba saatnya untuk menghentikan
nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui banwa Tibet Ngo-houw
merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas
bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan, bukan lagi uutuk
membalas dendam sekarang, melainkan terutama sekali untuk memburukkan nama baik
Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai,
memusuhi Dalai Lama.”
“Ah, betapa liciknya!” Bouw Tek berseru.
“Sekarang baru saya mengerti, lo-suhu. Untung bahwa saya langsung datang menghadap
Dalai Lama sehingga memperolen keterangan yang teramat penting ini.”
“Omitohud, sukurlah kalau taihiap sudah dapat
mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai dan para
tosu di pegunungan Kun-lun-san dan suka memberitahukan keadaan yang
sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak memusuhi para tosu, dan bahwa
semua itu, sejak dahulu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama.”
“Akan tetapi, apakah perbuatan itu harus
didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama melakukan perbuatan menyeleweng dan
jahat terhadap nama baik Dalai Lama....”
“Lie-taihiap, hal itu merupakan urusan dalam
kami sendiri. Dalai Lama tentu akan mengambil kebijaksanaan dan apapun yang
diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh
karena itu, kami harap agar taihiap juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin
bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup
jelas, taihiap. Sekarang kami persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau
mungkin secepatnya meninggalkan Lasha agar jangan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.”
Pendeta Lama itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan
Lan Hong bangkit berdiri. “Maaf, lo-suhu. Ada sedikit lagi pertanyaan dari
kami. Harap saja lo-suhu suka membantu kami.”
“Hemm, urusan apakah itu, taihiap?”
“Sie-toanio ini datang ke Lasha untuk mencari
dua orang, lo-suhu. Yang pertama adalah puterinya, seorang gadis bernama Yauw
Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan yang ke dua adalah
adiknya yang bernama Sie Liong dan terKenal dengan julukan Pendekar Bongkok.
Kami perkirakan merekapun datang ke Lasha. Kalau barangkali lo-sunu dapat
memberi keterangan tentang mereka....”
Pendeta Lama itu mengelus jenggotnya yang
dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk sambil
memandang kepada Sie Lan Hong.
“Hemm, jadi, toanio ini kakak dari Pendekar
Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang puteri toanio ini, kami tidak
pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok.... hemm, namanya sudah
sampai pula ke dalam istana ini. Memang dia pernah berada di Lasha, kabarnya
bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan pula menurut kabar
yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggauta Kim-sim-pai.”
“Aih, terima kasih, lo-suhu. Dapatkah lo-suhu
memberitahu, di mana dia sekarang?” tanya Lan Hong yang sejak tadi tidak
pernah ikut bicara.
“Menurut penyelidikan para anak buah kami yang
diam-diam kami taruh di mana-mana untuk menjaga keamanan Lasha, ada yang
melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak
bush kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dalam urusan
Kim-sim-pai, dan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, maka kamipun
tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah, kiranya cukup keterangan kami,
taihiap dan toanio.”
Lie Bouw Tek tidak berani mengganggu lagi dan
diapun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana itu bersama Lan
Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah mereka keluar dari
istana itu, Lan Hong berkata dengan suara mengandung kekhawatiran.
“Aih, toako. Apa yang hurus kulakukan
sekarang? Aku ingin cepat menyusul dan mencari Sie Liong. Aku harus lebih
dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku membayangkan
mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku....”
“Tenanglah, Hong-moi. Biar aku akan melakukan
penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari Pendekar Bongkok dan aku
akan mengajaknya ke sini menemuimu.”
“Tidak! Aku harus ikut, toako. Aku harus cepat
menemukannya. Sekarang juga.”
“Akan tetap hal itu berbahaya sekali,
Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong Ka Lama. Daerah
telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah para pendeta Lama
yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti di sana, Hong-moi. Lebih baik
engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku yang akan mencari
adikmu di sana.”
“Toako, tidak boleh begitu. Yang mempunyai
kepentingan adalah aku, bagaimana mungkin engkau yang susah payah menempuh
bahaya dan aku yang enak-enak menanti sambil tiduran di kamar? Tidak, aku harus
ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku
sendiri, toako!”
“Akan tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan
keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagaimana kalau sampai datang ancaman bahaya dan
aku sampai tidak mampu melindungi dirimu? Aih, Hong-moi, tak dapat aku
membayangkan hal itu terjadi....” Suara pendekar perkasa itu tiba-tipa agak
gemetar. “.... tidak, aku tidak dapat membiarkan engkau terancam bahaya.
Aku.... aku akan merasa menyesal selama hidupku!”
Melihat pendekar itu bicara seperti itu,
seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia hatinya, tiba-tiba wajah
Lan Hong berubah merah dan iapun tersipu. Kalau saja tidak sedang menghadapi
keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu malu, walaupun ada rasa
bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya.
“Toako, banyak terima kasih atas perhatianmu
kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako. Kalau engkau pergi sendiri
meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi sesuatu dengan dirimu,
maka akupun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku
menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja....”
Keduanya menunduk dan dalam saat seperti itu,
biarpun mereka tidak secara langsung mengucapkan pengakuan, namun keduanya
merasa benar betapa keduanya saling membutuhkan, saling manyayang, saling
mencinta dan merasa ngeri kalau-kalau saling kehilangan!
“Baiklah, Hong-moi. Kita pergi bersama, akan
tetapi kita harus berhati-hati dan membuat persiapan. Aku akan melakukan
penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat ke Telaga
Yam-so.”
“Terima kasih, toako. Selama hidupku, aku
tidak akan pernah dapat melupakan semua budi kebaikanmu ini,” kata Lan Hong
lirih dengan suara mengandung isak haru.
***
Telaga Yam-so merupakan sebuah telaga yang
besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya dalam Bahasa Tibet
sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yamso). Letaknya di sebelah selatan sungai besar
Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir di sepanjang negara Tibet
sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan negara Bangladesh sebelah
timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso,
menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat sunyi, penuh dengan hutan
belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, sampai ke
Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan
ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India. Namun
mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak
mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya
mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada
pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga
Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir ini bermunculan
banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang
mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah
itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Nepal pelarian yang
kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu
dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama
yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, sedangkan pihak Kim-sim-pai juga
berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah menguasai Tibet, mereka akan
membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan
Nepal.
Gangguan para orang Nepal itu kadang amat
menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta dengan paksa
beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh
para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu
wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih,
diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari daerah itu, terutama
mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan
antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda
tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat
Telaga Yam-so.
“Sute, berhenti dulu!” kata Bi Sian menahan
kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri
suci-nya.
“Ada apakah, suci?” tanyanya, sambil memandang
ke sekeliling dengan khawatir.
“Lihat, sute, betapa indahnya pemandangan di
sini. Lihat telaga di bawah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi
bukit menghijau. Indah sekali!”
Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah
mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia
dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti,
dia khawatir kalau-kalau sucinya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu
hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.
“Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya
nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal
beberapa lamanya di tempat seindah ini!”
Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang
mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara yang amat menyegarkan
itu. Ia tersenyum.
“Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ke
tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?”
“Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci.
Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat
menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempunyai banyak
waktu untuk menikmati tempat indah ini.”
Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak.
Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayangan orang, akan
tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak orang di sekitar
tempat itu.
“Ada orang....!” bisiknya.
“Mereka mengepung kita!” Bong Gan juga
berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, di dalam hatinya dia
bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek
Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti
Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka telah
dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang. Bukan orang Han, bukan pula orang
Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap,
bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup
kepala berupa sorban putih yang tebal.
“Mereka orang-orang asing....” kata pula Bong
Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa
yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang mengepung dan maju
mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu
melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan, “Sute,
turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!”
Keduanya sudah melompat turun dari atas
punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiapsiagaan, kakak adik
seperguruan ini berdiri dengan saling membelakangi.
“Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka,”
bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar
tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tigapuluh orang lebih perajurit Nepal
itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang melihat pakaiannya
tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia seorang pria berusia
empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan
hidungnya yang panjang itu agak bengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan
seperti mengejek selalu.
“Hei, kalian dengarlah baik-baik!” Bi Sian
berseru dengan suara lantang. “Kami dua orang pelancong dari timur, tidak
ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan
mengepung kami yang tidak bersalah?”
Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu
menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya aneh dan lucu.
“Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua
tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami
membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di
antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda,
menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada
pemimpin kami!”
Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup
gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penjahat yang kejam.
Maka, iapun berkata lantang. “Maafkan kalau tanpa disengaja kami melanggar
wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan
perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.”
Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya
yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang,
dan dia berkata dengan tegas, “Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau
tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian
menyerah dengan damai!”
“Kalau kami tidak mau menyerah?” tanya Bi Sian
yang sudah mulai marah dan penasaran.
“Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk
menangkap kalian!”
“Singg....!” Nampak sinar putih berkilauan
ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih). “Bagus!
Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena
tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian
hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian
menjadi korban pedangku!”
Bong Gan juga sudah menyambar sebatang dahan
pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang
sebatang tongkat.
“Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!”
Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan sucinya, dia
melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.
“Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi
terpaksa harus menangkap kalian!” bentak pemimpin rombongan itu dan diapun
mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan
senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu
makin mendesak.
“Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan
tetapi jangan bunuh!” kata Bi Sian. Dara itu menganggap mereka itu bukan orang
jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh, oleh karena itu iapun tidak
ingin sutenya melakukan pembunuhan sehingga menanam permusuhan yang semakin
dalam.
“Baik, suci,” kata Bong Gan.
Pada saat kepungan itu sudah makin dekat dan
dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang pengeroyok terdekat,
tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
“Tahan....! Jangan bertempur!”
Para pengepung itu menahan senjata mereka dan
mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka
melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis
dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang
kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan
gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan
tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga
mawar.
Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu,
wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya.
Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu,
tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya.
Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian
mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang
menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu
dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para
pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat
itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam wanita cantik yang
sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di
depan dadanya.
“Hemm, kiranya kalian berdua, seorang gadis
cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian
menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak
menawan kami?” Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak
merasa gentar. Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada
suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan
diam-diam Thai-yang Suhu mengamati pedang di tangan gadis itu. Pedang itu
bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh
merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi
pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih),
sekiranya pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.
Pek Lan tersenyum dan nemang ia memiliki
deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ketika
tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat. Diam-diam
Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian amat
manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya
tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya untuk
menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian. Bi Sian seorang
gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah
seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat
menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang,
tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
“Adik yang baik, engkau sungguh cantik jelita
dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah kami melakukan
penghadangan, hal itu terjadi karena kalian telah melanggar wilayah kekuasaan
kami. Akan tetapi, kami dapat pula menghargai orang-orang gagah. Melihat
kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan orang-orang kami, tentu
kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin sekali berkenalan melalui adu
silat. Kalau memang kalian pantas menjadi kenalan kami, tentu akan kami
persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang menjadi tuan rumah kami.
Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar aku yang menguji pemuda
ini,” katanya kepada Thai-yang Suhu. Memang Pek Lan cerdik. Ia sudah mendengar
dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih tinggi dibandingkan
pemuda itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia hanya mampu
mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai kalah! Maka
ia sengaja menyuruh Thai-yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan
menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main tidak bertanding
sungguh-sungguh. Biarpun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itupun
tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya pendeta
itu memiliki kekuatan sihir untuk melindungi diri.
Thai-yang Suhu memang sudah tertarik sekali,
bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali tertarik melihat pedang
di tangan gadis itu. Kini dia memperoleh kesempatan untuk menguji apakah
pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh ataukah pedang biasa saja.
Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pedangnya merupakan
pedang yang baik dan dia khawatir pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang di
tangan gadis itu benar pedang pusaka ampuh. Maka diapun meminjam sebatang
pedang yang dipegang oleh seorang perajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi
Sian.
“Siancai.... harap maafkan pinto (saya), nona.
Kami memang hanya ingin menguji, karena hanya melalui pertandingan silat maka
perkenalan menjadi erat. Nah, silakan, nona!”
Melihat sikap dua orang itu cukup hormat dan
sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap keras. Biarpun tadi pasukan
itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan penyerangan.
“Aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan
dengan siapapun juga, dan akupun tidak sengaja melanggar wilayah siapapun juga.
Wilayah ini bukan pekarangan, tidak dipagari, melainkan pegunungan dan
telaga. Bagaimana aku tahu bahwa tempat ini ada orang yang memilikinya? Akan
tetapi, biarpun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!”
“Siancai....! Nona memang gagah perkasa,
karena itu pinto ingin sekali menguji kepandaianmu, bukan berkelahi atau
bermusuhan. Nona, lihat pedang!” kata Thai-yang Suhu sambil menggerakkan
pedang pinjamannya, mengirim serangan gertakan ke arah kepala gadis itu. Bi
Sian mengelak dengan cepat dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam
sudah menyambar ke depan, menusuk ke arah dada merupakan sinar putih
berkelebat.
Thai-yang Suhu terkejut dan cepat dia juga
melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian menyerang lagi dengan
berhati-hati karena biarpun hanya menguji kepandaian, kalau ilmu pedang lawan
itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang
ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya.
Sementara itu, Bong Gan juga sudah
menggerakkan ranting di tangannya dan menyerang Pek Lan yang menyambut dengan
pedangnya. Merekapun bertanding dengan seru, tentu saja hanya nampaknya
demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak
sungguh-sungguh bertanding.
Thai-yang Suhu mendapatkan kesempatan untuk
menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu
menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya dan mengerahkan
tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.
“Trangggg....!” Terdengar bunyi nyaring
disusul pijaran bunga api dan.... pedang di tangan pendeta Pek-lian-kauw itu
tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang perajurit
Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.
Thai-yang Suhu berseru. “Lihai sekali!” dan
diapun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. “Nona yang
lihai, pinto kagum sekali kepadamu!”
Pada saat itu, Pek Lan juga mengeluarkan jerit
tertahan dan iapun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan.
“Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum sekali. Perkenalkanlah, kami berdua
adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai lembah
ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai-yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui,
siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini?
Ataukah sekedar melancong saja?”
Sebelum Bi Sian menjawab, dengan cepat sesuai
dengan rencana Bong Gan sudah menjawab, “Kami kakak beradik seperguruan. Namaku
Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan
sekedar melancong, melainkan hendak mencari seorang musuh besar kami yang
bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok....!”
Bi Sian memberi isyarat kepada sutenya agar
diam, akan tetapi sudah terlambat karena sutenya telah memperkenalkan nama
mereka dan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua
orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan
semakin ramah.
“Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok?
Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang kuat karena kamipun
menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik
Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian
menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!”
Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya.
Biarpun Pek Lan dan Thai-yang Suhu memperlihatkan sikap yang ramah dan
bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.
“Enci Pek Lan,” kata Bong Gan yang agaknya
hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi
Sian, “Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup
berterima kasih kalau engkau dapat memberitahu kepada kami di mana adanya
Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?” Pertanyaan ini berkenan di hati
Bi Sian dan iapun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali.
“Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak
sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya kalau ji-wi
menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita sudah menjadi
sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua
rahasia, termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok. Nah, kami ulangi undangan
kami kepada ji-wi.”
Bong Gan menoleh kepada sucinya seperti orang
minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, “Suci, kita tidak mengenal
daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati untuk menunjukkan
di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi
undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?”
Bi Sian tidak melihat pilihan lain kecuali
mengangguk. Ia menyarungkan pedangnya kembali. Thai-yang Suhu segera memberi
hormat kepadanya. “Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto
mengetahui apa nama pedang pusaka itu, nona.”
Bi Sian merasa bangga dengan pedangnya. Ia
menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, “Totiang (bapak pendeta),
pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.”
Makin giranglah rasa hati Thai-yang Suhu.
Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bahkan menjadi
lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia
menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimanapun juga, pedang
itu harus dapat menjadi miliknya!
Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali
ketika memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan
di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali,
seperti rumah raja-raja maja layaknya. Dan di sekeliling gedung itu terdapat
banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah
benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang
menjadi buruan pemerintahnya, karena telah memberontak itu. Dia tinggal di
perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para perajurit anggauta
pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.
Bong Gan dan Bi Slan dijamu oleh Pangeran itu
yang menyambut mereka dengan ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan
kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira karena pihak tuan
rumah sungguh ramah kepadanya.
“Harap jangan khawatir tentang Pendekar
Bongkok,” kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan
gigi putih di balik mukanya yang kehitaman dan kumisnya yang melintang panjang
itu bergerak-gerak ketika dia bicara. “Kalau dia berani datang ke daerah ini,
sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini telah kami kuasai bersama
Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan dapat
menangkapnya.”
“Apa yang diucapkan Pangeran Maranta Sing ini
benar, adik-adikku yang baik,” kata Pek Lan. “Betapapun lihainya Pendekar
Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apalagi di sini
terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi
berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!”
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap
dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran
Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan
Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemeribtah Dalai Lama di
Tibet. Kalau diam-diam Bong Gan merasa amat tertarik oleh janji-janji dan
harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu maupun
Thai-yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan
ia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting
adalah menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!
“Nona, cicipilah masakan ini!” kata Pangeran
Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong
Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mau mencicipi
masakan yang asing baginya itu. “Ini adalah masakan aseli dari Nepal, lezat
sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!”
Bi Sian tertarik, dan merasa tidak enak untuk
tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu adalah masakan
kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
“Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?”
tanyanya, masih merasa ragu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah
seperti darah walaupun baunya sedap dan masih mengepul panas.
“Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar
diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung biruang salju yang
besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan sebuah binatang raksasa,
maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk
kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus
mencicipinya!” Pangeren itu mempergunakan sebuah sendok yang bersih,
mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. “Dan
engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.”
Bong,Gan tersenyum. “Sudah sejak tadi saya
memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, akan tetapi
masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di
dalam dada dan perut. Cobalah, suci!”
Bi Sian semakin tertarik, juga untuk
menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba
mencicipi masakan itu. Memang lezat!
“Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan dan
ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat dan
ahli masak! Masakan sumsum tulang punggung biruang itu memang hebat dan aku
sendiripun sudah mesanakan khasiatnya!” kata Pek Lan.
“Siancai, memang benar sekali,” kata pula
Thai-yang Suhu. “Pinto yang makan masakan itu merasa seperti muda kembali!
Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat
tenaga sin-kang!”
Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian
semakin tertarik dan iapun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu
cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu kehormatan, maka
semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua dan mereka pun
memakannya sampai habis! Bi Sian mulai merasa bergembira dan merasa mendapatkan
teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih banyak dari pada
biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur
Nepal yang baik.
Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi
Sian yang cantik itu telah berubah kemerahan dan mulutnya pun hampir tak
pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang kepalanya dan
kepala itu terkulai ke atas meja, Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya
dan menghampirinya.
“Suci, kau kenapakah....?” katanya lembut
sambil menyentuh pundak gadis itu.
Bi Sian mengangkat muka, tersenyum dan pandang
matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan juga pandang matanya
itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.
“Sute.... aku.... ah, agaknya terlalu banyak
minum anggur, kepalaku agak pening....”
Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya
kepada Bong Gan, lalu berkata, “Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Stan mabok.
Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.”
Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan
memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata
Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang Suhu mengangguk-angguk
puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat
beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi
Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula
obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang
besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek
Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti.
“Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan.
Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang.
Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun sudah minum terlalu banyak, adik
Bong Gan. Kalian mengasolah!”
“Tapi, enci Pek Lan!” Bong Gan membantah.
“Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?”
“Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja
untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup besar, tempat tidurnyapun
cukup luas untuk kalian bardua. Nah, selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun
pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.
Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa
yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak perduli lagi
bahwa ia berada sekamar dengan sutenya.
“Aku.... aku pening.... mau tidur....!”
katanya dan ia hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung
dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.
“Marilah, suci, mari kubantu engkau.... akupun
agak pening.... mari kita beristirahat....!”
Bong Gan memapah suci-nya ke tempat tidur,
lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya
melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba
sute-nya dan sepatunya dilepaskan.
“Sute.... kenapa.... kau di sini....? Aku mau
tidur, pergilah....”
Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan
duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang.
“Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”
Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda
itu. Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah sute-nya itu tampak
tampan luar biasa.
“.... kenapa begitu.... ah.... sudahlah, aku
mau tidur....”
Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena
merasa betapa wajahnya dibelai tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya
meraba dun membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur
lembut.
“Sute.... jangan begitu....”
“Suci, alangkah cantiknya engkau. Aih, suci,
aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan
menciumi muka gadis itu.
Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan
tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya. “Jangan, sute....
jangan....” mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul
leher pemuda itu.
Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan
dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil
menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan
gadis itu, di luar kesadarannya, telah membalas semua kemesraanya dengan penuh
gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya tidur pulas kelelahan,
masih saling rangkul.
Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat
bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian dan ketika gadis
itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dirinya
dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sutenya yang juga berbugil! Dan
seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah
terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri!
Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya,
kemudian meloncat turun dari atas pembaringan.
Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong
Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya sudah berpakaian dan berdiri
membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.
“Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara
sucinya membentak dan jelas bahwa sucinya marah bukan main.
“Ehh.... kenapa kita.... kenapa aku di
sini.... kenapa tidur di sini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan ini....?”
Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.
“Cepat pakai pakaianmu kataku!” Bi Sian
membentak lagi. Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas
pembaringan. “Sudah.... sudah kupakai, suci....”
Bi Sian membalik dan pedangnya menyambar, dan
sudah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.
“Suci.... kenapa.... kau hendak
membunuhku....?”
“Coa Bong Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa
yang telah kaulakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang
telah kaulakukan? Keparat engkau!”
“Suci! Apa.... apa yang kulakukan....? Suci,
seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku.... aku sendiri tidak tahu,
suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita....” lalu
dengan hati-hati dia menambahkan, “.... suci, sayup-sayup aku teringat....
bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam....?”
Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali
dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi
pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.
“Aku.... aku berada dalam pengaruh obat bius
dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau.... kau menggunakan
kesempatan itu untuk.... untuk....”
“Suci, engkau sungguh tidak adil! Kalau aku
sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri!
Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku tidak? Akupun sama saja
seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dalam keadaan setengah
sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau
menyalahkan aku kalau keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab,
dan aku.... eh, cinta padamu, suci....”
“Jangan sentuh aku!” bentak Bi Sian ketika tangan
Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini menangis terisak-isak. Ia
kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah. Sutenya juga minum pembius
dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita
genit itu!
“Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!”
katanya dan iapun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari
keluar.
“Suci....!” Bong Gan berseru dan mengejar dari
belakang. Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat
itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke
arah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik, sudah mandi dan
mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan,
Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.
“Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat
pagi....!” katanya dengan suara merdu dan gembira.
“Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah
aku!” bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan dada.
Pek Lan terbelalak. “Adik Bi Sian, ada apakah
ini? Apa artinya sikapmu ini?”
Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek
Lan. “Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku
akan membunuhmu begitu saja!”
“Tapi.... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong
Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling
berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi,
kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.
Bong Gan segera berkata, “Enci Pek Lan. Siapa
orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kauundang untuk makan minum.
Setelah makan minum, kami berdua.... kehilangan kesadaran, terbius dan
terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran....”
Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh
kemarahan. “Pek Lan, engkau menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini
hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua
tangan ke atas.
“Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi
Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Ingatlah,
bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di
sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan
dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan
hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat
bius dan obat perangsang dalam mekanan dan minuman kalian bukan kami.”
“Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu,
suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang
meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian termenung, lalu iapun
mengangguk-angguk, dan berkata, “Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu,
pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan....”
Pek Lan menggeleng kepala. “Tahan dulu, adikku
yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu.
Ingat, kita berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang perajurit
Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan
dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ. Terpaksa
Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan iapun mengikuti Pek Lan masuk
ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga
mewah dan prabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi
Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk,
Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. “Ketahuilah kalian
bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat
perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu
untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.”
Dua orang kakak beradik seperguruan itu
terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranzn. “Akan tetapi,
enci Pek Lan!” seru Bong Gan. “Bagaimana mungkin kami dapat percaya itu?
Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan
pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil....”
“Aku tidak percaya!” Bi Sian juga berseru.
Pek Lan tersenyum. “Akan tetapi,
sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara
lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum
tulang punggung biruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan
mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini diberikan kepada
sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun amat keras,
hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya merupakan
hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”
“Akan tetapi, kalau pangeran itu tahu akan
pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia menyuguhkan kepada kami? Dan kami
diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan
menghina kami?”
Pek Lan menggeleng kepalanya. “Sama sekali dia
tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang
melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian memiliki
hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua
orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu
dan menyenangkan kalian.”
“Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah
kakak dan adik seperguruan!” Bi Sian berseru. “Kami belum menikah....!”
“Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian!
Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang pemuda dan seorang gadis
melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat
lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik sudah menikah atau belum.
Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak
bermaksdd buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang
pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau memang kalian saling mencinta,
apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”
“Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus
dnegan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah! Pangeran Maranta Sing
harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!” Bi Sian berteriak dan ia
sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.
“Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain
pangeran itu tidak berniat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat
menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana
mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit Nepal! Bukankah itu sama
halnya dengan bunuh diri?”
“Aku tidak perduli! Aku tidak takut! Bagiku,
kehormatan lebih penting daripada nyawa!” Bi Sian berkata dengan air mata
bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib.
“Suci.... ah, harap dengarkan apa yang
dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng mereka, kita tidak
mungkin mampu melawan mereka....” Bong Gan berkata.
Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya
dengan mata berapi saking marahnya. “Sute! Engkau masih berani berkata
demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang
laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaun seorang wanita yang telah
menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku
sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”
Melihat sikap suci-nya itu, tiba-tiba saja
Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis! “Suci,
semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku mendatangkan aib
bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya
maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal
sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, satu-satunya orang yang
telah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta
sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci,
kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat
penderitaanmu.”
“Sute, cukup....!” Bi Sian berseru dan
tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya
berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya.
“Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup
kalau melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau
membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku agar rasa penaaaran
di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci....!” Bong Gan menyambar
pedang milik Pek Lan di atas meja, mencabutnya dan menggerakkan pedang
menggorok leher sendiri! Tentu saja semua ini sudah diatur sebelumnya dan
merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-siam sudah siap siaga mencegahnya kalau
Bi Sian diam saja. Andaikata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri,
demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun
tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.
Akan tetapi, permainan sandiwara itu berhasil
mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga
sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke
arah pergelangan tangan sutenya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari
pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.
“Suci, kalau engkau tidak dapat mengampuni
aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?” ratapnya. Bi Sian
tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya seperti ditusuk-tusuk
rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada
peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati. Iapun tahu bahwa sutenya
amat mencintanya dan kini, sutenya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang
amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya.
Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah sutenya sendiri, orang yang amat
mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini,
setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti pemuda ini akan
menjadi suaminya.
“Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi
Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta antara kalian, terutama sekali
apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan
biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan
kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua
ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan
Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu
dengan Pendekar Bongkok.”
Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini.
Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada
suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada
dalam kekuasaannya!
“Jangan main-main, enci!” kata Bi Sian sambil
mengerutkan alisnya. “Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu
kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani
tanggung? Aku tidak mau tertipu!”
Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja ia berani
bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar
Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama! “Aku tanggung. Bahkan aku berani
menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”
Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut
sambil menutupl mukanya. “Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia
telah digariskan Tuhan. Aku tidak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya
menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku menolak
cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu....”
“Suci! Terima kasih....!” Bong Gan berseru
gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi
tidak lagi menutupi mukanya.
“Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi
suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, kalau kita sudah berhasil
membunuh Pendekar Bongkok, baru kita malangsungkan pernikahan. Akan tetapi
sebelum itum engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”
“Baik.... baik....” Bong Gan kini bangkit
berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. “Akan tetapi,
setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)?
Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”
Wajah Bi Sian menjadi kemerahan akan tetapi
untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, iapun mengangguk.
Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat memberi hormat kepada
mereka bergantian sambil berseru, “Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”
Biarpun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian
terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan
dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan
terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh
merasa berterima kasih kepada Pek Lan. Pek lan yang telah mengatur kesemuanya
itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan dia berjanji di dalam
hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.
“Nah, marilah kita berangkat sekarang juga.
Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit
dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita
berangkat sekarang bersama suhu.”
Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu
berpamit dari Pangeran Maranta Sing, karena biarpun ia dapat mengerti bahwa
pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat
buruk, namun totap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan
sukar menahan kemarahannya. Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek
Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka
meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so. Mereka
menunggang empat ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang
amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam
yang dianggapnya sebagai malapetaka. Ia dapat menerima kenyataan itu dan
menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan
maka terjadi peristiwa memalukan itu. Tak sedikit pun terlintas dalam
pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang telah
diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran
Maranta Sing!
***
Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan
tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya
sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah
arca mati, tidak bergerak-gerak. Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi
seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang
dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia
kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga,
dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari kamar
tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga menghadangnya.
“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini
tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman akan
diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh
keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”
Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di
situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia banya
tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang
jumlahnya sampai belasan orang, menJaga di luar pintu kamar itu. Dia sudah
mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar,
seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini.
Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.
“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus
kupaksa?”
Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah
Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Dan memang
pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biarpun dia
merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan
kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai uruman dengan kalian, maka kuharap
engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,” katanya dan dia nekat
melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.
“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!”
bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia
lalu mendorong dada Sie Liong. Biarpun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu
silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sin-kang dari pusar
menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sin-kang itu
bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otomatis dia membiarkan
dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak
bertenaga itu, diapun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan
kembali! Penjaga itu tertawa.
“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar
tanpa ijin. Sekali lagi, aku bukan hanya mendorong melainkan memukulmu!”
Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru
yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh
orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena
begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak begitu
bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali
di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan yang dipaksakan masuk
ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan.
Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan
tetapi apa gunanya? Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah
memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali
mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri.
Darahnya telah keracunan.
Sambil duduk bersila, pengaruh racun
penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai
teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong,
bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru dapat
diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan
itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar
dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari itu, datanglah
Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan
Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar
hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang
yang bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melalui pintu
yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat
Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para
pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua
orang tamunya, apalagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi
Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri
sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai-yang
Suhu.
“Omitohud....! Kami sungguh merasa beruntung
sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai.
Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan
akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka
berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang Suhu, adalah dua orang
petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Maaf, lo-suhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran enci Pek Lan untuk
bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”
Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim
Sim Lama. “Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini
mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar
Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan membantu mereka
menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai gantinya, mereka akan membantu
perjuangan kita.”
Kim Sim Lama tertawa girang. “Ha-ha-ha,
kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng
(saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum
memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?”
Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia
menggeleng kepala. Pek Lan tersenyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku
berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah,
ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim Sim Lama dan
kini berada dalam tahanan.”
Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan
main. “Ah, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!
“Nanti dulu, aku masih belum percaya benar
bahwa dia telah tertawan di sini. Bagaimana demikian mudahnya?” Bi Sian meragu,
khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang
baru dikenalnya.
“Omitohud.... nona itu terlalu bercuriga dan
berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong,
mari pinceng ikut mengantarkan.”
Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama,
Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu.
Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.
“Nah, kalian berdua lihat baik-baik siapa yang
berada di dalam kamar tahanan itu!”
Bong Gan dan Bi Blan memandang ke dalam kamar
yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di
atas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok yang bukan lain adalah Sie
Liong!
“Tidak mungkin....” Bi Sian barkata lirih
melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu ditahan begitu saja di dalam sebuah
kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu....
begitu.... jinak?”
“Ha-ha-ha, tidak perlu heran, nona. Dia
kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia menjadi seorang yang
lemah, ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata
mencorong. Dia amat takut daa benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan
bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar,
tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan
aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong. Kini,
mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, dia
melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok
besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik
seorang di antara para pendeta penjaga.
“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak
dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah
menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu
terbuka.
Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini,
Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak
dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan
mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Sie
Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan
naluri Sie Liong mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.
“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim
Lama yang merasa terkejut sekali. Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan
itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengnn lengan kiri Sie Liong
yang menangkisnya.
“Crokkkk!” Lengan kiri yang menangkis itu,
lengan yang tidak mengandung tenaga sin-kang, mana mungkin kuat menahan golok
besar yang amat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan
buntungan lengan terlempar ke atas lantai. Sie Liong terbelalak, tidak
mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan
darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan di atas pembaringan!
Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke
arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan
merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.
“Tranggg....!” golok yang berlumur darah itu
terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan
terkejut sekali.
“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang
menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup!” tegur Pek Lan,
sementara itu Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang
rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia
tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan
pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasaan iba kepada pamannya
itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong
yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan bahwa Sie
Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras
mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie
Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang
buntung, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dap menyuruhnya
memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama
bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. “Orang
muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok ini
adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan
kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa
engkau masih hendak membunuhnya?”
“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membencinya
dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan
tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”
Kim Sim Lama menyeringai. “Untung pinceng
masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh.
Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak
mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari
kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak
tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apalagi ketika
pendeta itu menggumam kepada Pek Lan. “Untung bahwa dia bermaksud membantu
gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”
Penjaga yang diutus tadi sudah datang bersama
seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya
tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandang matanya lembut, akan tetapi
dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak
menderita tekanan batin.
“Camundi Lama, cepat engkau obati luka di
lengannya yang buntung itu. Kami tidak ingin melihat dia cepat-cepat mati.”
Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, lalu menghampiri Sie Liong dan
memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.
“Dia kehilangan cukup banyak darah, dan detik
jantungnya amat lemah. Dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan
merawatnya, harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan.
Juga bekas-bekas darah dibersihkan.”
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada
semua orang, “Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang
pandai.” Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan
lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim
Sim Lama meninggalkan kamar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi
Sian untuk kembali ke kamar mereka. Thai-yang Suhu juga kembali ke kamarnya
sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian. Di
dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa
geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa
lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan,
mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi
dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil
menemukan Pendekar Bongkok.
“Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi
sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dulu sebelum
melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah,
siapapun tidak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.”
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam
hatinya, dia marah dan penasaran karena dipandang rendah. Akan tetapi tentu
saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apalagi karena sejak tadi Bi
Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu
selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
“Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?” dia
bertanya, seolah-olah hendak membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang penuda yang sejak
masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak
tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh
Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biarpun kalian berdua juga amat lihai,
namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, kita bertiga ini
mengeroyok Kim Sim Lama seorang diripun kita akan kalah.”
“Ah, demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru
dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata
dengan nada suara kesal. “Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan
Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah
kehilangan ingatan dan tenaganya!”
“Aihh, Sian-moi, kenapa engkau berkata
demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu
terhadap dia?”
Bi Sian bersungut-sungut. “Aku paling tidak
suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat
perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara
orang gagah!”
“Sian-moi, engkau tidak adil....”
“Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan
bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimanapun, adik Bong Gan belum
membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh
Pendekar Bongkok?”
“Kenapa, enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya
karena iapun tertarik sekali. Ia mulai merasa heran mengapa kini kebenciannya
terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, terganti rasa iba dan khawatir! Yang
terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, melainkan semua
kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka
masih kecil!
“Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok
hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lasha, bukan di sini,
sehingga Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim
Sim Lama.”
“Kenapa begitu?” Bi Sian bertanya sambil
mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu
dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. “Kalian memang perlu diberi
penjelasan agar kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan
yang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya
kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya
dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan
tetapi setelah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan
pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama mengutus para pembantunya untuk
membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet
Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama,
maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama meninggalkan Lasha,
membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan
Tibet Ngo-houw akhirnya juga membantu perjuangan Kim Sim Lama.”
“Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah
perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.
“Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi
bagi kami, kami sedang mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang
kelaliman Dalai Lama.”
“Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar
Bongkok? Dan mangapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa
Pendekar Bongkok terbunuh di Lasha oleh Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena
ia merasa tertarik sekali.
“Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili
para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas
perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya
terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Mgo-houw sampai ke sini.
Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas saja
mentaati Dalai Lama, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim
Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang
kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau bahkan menyerang Tibet
Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan baru dia dapat tertawan
setelah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya.
Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama tidak mau membunuh
Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang
menjadi biang keladi.”
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian
membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya seorang
pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan
Pek Sim Sian-su. Pamannya adalah seorang pendekar yang melaksanakan tugas di
Tibet ini dan kini ditimpa malapetaka. Sedangkan ia? Ia dibantu Bong Gan
hanya untuk melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu. “Aih, paman,”
keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”
“Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan
dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lasha
itu?” tanya Bong Gan dan sekali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang
menjadi sutenya dan juga tunangannya itu terdengar amat tidak sedap di telinga
Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap
pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa
ia dan sutenya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa
harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki
itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik
pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi
selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat pamannya buntung lengan kirinya oleh
sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tak dapat melawan itu saja sudah membuat
hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini ia merasa heran mengapa ia pernah
begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
“Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong
Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap Pendekar
Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya.
Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan
baik. Nah, sekarang mengasolah dan harap jangan dilanjutkan pertengkaran yang
tidak ada gunanya itu.”
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa
berubah sikap suci-nya stau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah
terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali
memandang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang karena setelah
lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan
diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan
yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapapun juga, melihat sikap
wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin,
hatinya merasa kesal dan mendongkol juga. Memang sejak terjadi hubungan badan
antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia
selalu memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya
itu. Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam
ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di
sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu,
dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian
rebah miring manghadap ke dinding membelakangi dia yang duduk di atas lantai,
hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya,
teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan baginya di malam itu,
ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak
seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah
sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya.
Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun
bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi....” panggilnya lirih. Tubuh itu
tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi....” kembali dia memanggil lembut
dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai
tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Stan melirik. “Hem, mau apa
engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku?
Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa menyesal sekali,
aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa benar cintaku
kepadamu....”
“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi.
Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku....
ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah aku menyentuhmu,
aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi
suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah.
“Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan sebelum kita menikah,
angkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. “Akan
tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya
mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau
engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong
tewas.”
“Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau
Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan dan
doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan
sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah
lagi kepadaku....” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan
berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu
yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa
sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak
pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan
menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun
tidak diperkenankan. Sambil menarik napas panjang diapun mundur, lalu berkata
dengan nada suara kesal.
“Daripada tersiksa tidur di lantai dan
memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.” Setelah
berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun
pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan
tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih
di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak
terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbulkan kecurigaan
hatinya. Juga ia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan
untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh
Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu
mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia
akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki
ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak
berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian
cepat meloncat turun dari atas pembaringan, dengan hati-hati sekali sehingga
tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka
sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan
di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka
menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa
yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama
sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak
perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini. Akan tetapi mendapat kenyataan
betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu
ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang
berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan
memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia
harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam
dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia menjaai isteri seorang
laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan
penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak
terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin
berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!” Dan kembali ia teringat betapa
ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku.
Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya
terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan
Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan
bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara kedua orang itu. Dan
peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan terangsang oleh racun
yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada
Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula di
dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara
Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di
luar pengetahuannya.
Bagaimana juga, ia sudah mengambil keputusan
untuj tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih
janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peritiwa malam ini dapat dijadikan alasan
mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian
tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa
seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau
selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan
adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan! Kini, setelah ia memperoleh
alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan
tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata
masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!
“Omitohud.... Orang muda yang
malang....” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan
merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya. Camundi Lama adalah seorang
pendeta yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus
dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet
dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap
Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di situ adalah karena dia
memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ. Karena
dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya menjadi tabib
untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan
menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang
keras dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau
ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar
tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan
kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi
memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya
setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan
sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain
keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah
minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
“Kasihan, orang muda yang malang....” untuk ke
sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih
belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu
sudah mulai berkurang. Walaupun dia belum ingat semua peristiwa yang lalu,
namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia
memandang ke kanan kiri.
“Ling Ling.... dimana Ling Ling....”
Camundi Lama membungkuk untuk memeriksa
pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya.
“Siapakah Ling Ling, orang muda?”
Kini Sie Liong memandang kakek itu.
Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya. “Ah, Ling Ling....?
Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan....
ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi....”
Pendeta Lama itu semakin iba. “Omitohud....
engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”
Sie Liong yang tadi memejamkan mata,
membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa
lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu
adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya
dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila.
“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau
kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata Camundi Lama, terheran-heran
melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan
kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan
kirinya yang buntung dan diapun tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu
apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tidak akan tumbuh kembali
karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara prabot-prabot
perlengkapan badan saja.”
“Omitohud....! Banyak orang mengeluarkan
ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya akan tetapi
semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau,
engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang
dan seenak ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kiri, akan
tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu
telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu
terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum,
demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang dialaminya itu
seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
“Kenapa sedih dan menyesal, loshu? Badan ini
hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau
seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan, mengapa baru kehilangan yang
sedikit itu harus berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap
hidup, dan kalau Tuhan manghendeki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”
“Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi
penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kaupergunakan,
bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita sengsara ini dengan
senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.
“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara
penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada
Tuhan sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan
kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena
semua ini sudah dikehendaki oleh Tuhan, dan segala kehendak Tuhan pun jadilah,
dan tidak ada kekeliruan.”
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan merangkul Sie
Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar
darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun
penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan
tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau
mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kauminumlah obat
ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga
untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat
penawar racun di tubuhmu.”
Dengan taat Sie Liong meminum obat itu,
kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu sibuk pula membuat ramuan
obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di luar kamar
tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga,
melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah
Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari
Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh,
disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia
muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari. Melihat
munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang
yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim
Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim
Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama
sambil lalu, dan dia melangkah mondekati Sie Liong yang masih duduk bersila,
seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut
kain putih oleh tabib itu.
“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak
monotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan
tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu dan
begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama, diapun terkulai
lemas di atas pembaringan.
“Ehh? Kenapa....?” Camundi Lama berseru heran
dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan,
Kim Sim Lama sagera berkata kepada Camundi Lama. “Camundi, sebagai seorang
tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa janazah
untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lasha. Nah, engkau kami tugaskan untuk
melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lasha itu bersama beberapa orang
yang akan memikul peti matinya. Jangan khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu
dan melindungimu.”
“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?”
Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong
yang terkulai di atas pembaringan. “Dia itu! Kami menghendaki agar tubuhnya
dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan
engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya
perjuangan kita!”
Melihat sinar mata mencorong dari Kim Sim
Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak
berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama. Dia sama
sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak!
Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan
membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya,
kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi
Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas
wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah
peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang
pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
“Agar tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada
lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap
bersungguh-sungguh. Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah
lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie
Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang
pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan di antara mereka
itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama
memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka
tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak seorangpun
menaruh curiga.
Karena orang-orang dapat menduga bahwa yang
dimakamkan itu tentulah seorang anggauta Kim-sim-pang, maka tak seorangpun
berani bertanya-tanya, bahkan mendekatpun tidak berani. Biarpun pihak
pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak
karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua orang sudah
tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim
Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun tidak secara
terang-terangan.
Peti mati itu dikubur. Para pendeta Lama yang
melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja.
Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan
suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu
berbuat sesuatu. Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie
Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia henya mengatakan
kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak
segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung,
Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu
bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati
pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari
bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu
mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja
diletakkan di atas tanah kuburan. “Tabung ini untuk memasukkan hawa agar
mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim Lama,” katanya
kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka semua tidak
ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu
menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama
melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankon
hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi
mana mungkin? Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka.
Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah
kepada Tuhan! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Tuhan bahwa Sie Liong
masih dibiarkan hidup, apa anehnya? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha
Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya
seperti mati, tidak sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal
pikoran, maka yang bakerja adalah kekuasaan-Nya! Teringat akan ini, mulut yang
tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu sagera meninggalkan
tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian.
Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus
melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya
meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah
menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan
ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka
kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu diangkur keluar, Pek Lan
berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan. “Dia sudah mati.... dia sudah
mati....” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya
Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan
dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung
apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek
Lan.
“Apa....?” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri
dan dengan mata terbelalak den muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan.
“Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dan suaranya agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon
isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,”Sian-moi? Kalau dia matipun,
mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau
berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku
merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama
membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari
dalam kamarnya.
“Sian-moi....!” Bong Gan hendak mengejar, akan
tetapi lengennya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda
itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia
akan mampu menghadapinya. Ada aku do sini, perlu apa engkau mengejar calon
isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama
dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan samadhi di belakang. Ia
tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk.
Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi,
dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya
sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun
masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun memberi hormat kepada Kim
Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan
tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar
Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi
Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini,
Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun
berkata kepada gadis itu,
“Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari
kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun
segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi
atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh
Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,”
kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali,
losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar
Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia
mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah
itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekareng, tahu-tahu
sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok
itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang
ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak
bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau
kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah
menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh
besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap
dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu
terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar
Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya
tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah
membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku....”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri,
“Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?” Bi Sian menengok
ke kiri dan ia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata
mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan
tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu
mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi
Tibet Ngo-houw telah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan
mulai menguasainya.
“Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok....”
Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan
tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang bertentangan dengan suara
hatinya! Ia sendlri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak!
Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk
membenci Sie Liong walaupun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih
kepada Kim Sim Lama yang telah menewan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi
suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima
orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan
di luar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata, “Aku berterima
kasih....”
“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim
Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan
jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini
engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang....” kata pula
Bi Sian.
“Nona, engkau akan mentaati segala yang
diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu,
pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia marasa
setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan
Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam
cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang
dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang
suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke
kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama. Bi Sian mengangguk, bangkit
berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya
berbisik-bisik seperti anak sekolah menghafalkan pelajarannya. “Aku akan
membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan
ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar
dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke dalam kamar,
merebahkan diri di pembaringan den memejamkan mata untuk tidur, mulutnya
masih mengulang kedua kalimat itu, “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan
mentaati Kim Sim Lama....”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan
itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan
untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.
***
Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan
benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan
Tuhan dapat melakukan apa saja yang menurut akal pikiran tidak mungkinpun dapat
terjadi dengan mudahnya kalau Tuhan menghendaki. Kebenaran yang mutlak ini
terjadi setiap saat di alam semesta, akan tetapi manusia tidak
memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi
adalah akibat daripada usaha manusia. Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang
terkandung dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran itu sedang
terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekelilingnya. Dia tidak menyadari
bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang dipergunakan Tuhan untuk
menyelamatkan Sie Liong. Ketika Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia
tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua
matanya kembali dan mengingat-ingat. Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh
sisa pengaruh racun penghilang pikiran dan ingatannya kembali lagi.
Kewaspadaan timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia
sedang melaksanakan tugasnya menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat
akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim
Lama membantu mengeroyoknya. Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia
tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini!
Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya gelap. Sudah butakah
kedua matanya? Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada
di dalam sebuah peti! Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta,
hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat gelap. Kembali dia mencoba untuk
mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah
kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama, dan teringat pula dengan hati terkejut
bahwa dia pernah diserang searang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan
kirinya dan lengan kiri itu buntung. Cepat tangan kanannya bergerak lagi
meraba lengan kiri. Buntung! Lengan kirinya benar buntung! Tinggal sisa pangkal
lengan saja sedikit.
“Ya Tuhan....!” Dia berseru lirih. Sampai beberapa
lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa
lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan diri
kepada kekuasaan Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki, jangankan hanya sebuah
lengan kirinya, biar seluruh tubuhnya dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia
rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini,
diapun merana aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
Tanpa mengingat sedikitpun lagi tentang lengan
kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia
menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti
itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu
tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia
tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari tabung itu! Dia
mencoba untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mancoba
kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaggnya lemah sekali. Dan teringatiah
dia bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya
lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu telah
sembuh! Akan tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sin-kanghya
lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya. Camundi
Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan.
Ah, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim
Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
“Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah
peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bauh tanah
ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemm.... agaknya peti ini berada di
dalam tanah!” Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita. “Ah, merka telah
menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!” Kembali perasaan khawatir
dan takut menghantuinya, namun hampir barbareng, kesadaran menyerahkan diri
kepada Tuhan mengusir itu semua. Dia harus panrah, percaya sepenuhnya akan
kekuasaan Tuhan.
“Kekuasaan Tuhan berada di manapun juga,”
demikian pernah Pek Sim Sian-su berkata, “di tempat yang paling tinggi maupun
paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang paling kecil, di atas
langit maupun di bawah bumi....”
“Di bawah bumi.... ah, di sini pun terdapat
kekuasaan Tuhan! Ya Tuhan, hamba menyerah, hamba pasrah, apapun yang Tuhan
kehendaki jadilah!” Hati Sie Liong bersorak dan pikirannya semakin terang. Dia
mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti
dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang
memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati. Tentu ini
parbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tidak
berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang
harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini. Kembali dia menggerakkan
kedua kaki dan sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti. Akan tetapi
ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganyapun terlalu kecil. Percuma saja,
pikirnya. Dan pula, andaikata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di
dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan
tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang
mengerikan. Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan.
Kalau orang memasang tabung itu, berarti mereka tidak menghendaki dia mati dan
tentu merekapun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia mengingat-ingat percakapannya dengan tabib
Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi agaknya racun itu
telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi.
Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan. Darahnya keracunan sehingga dia
kehilangan tenaga sin-kangnya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya
dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun
tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun
belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga
sin-kangnya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan
ke arah peti. “Krek.... krekk....!” Peti itu retak oleh dorongannya. Tenaga
biasa, bukan tenaga sin-kang, akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang
terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti
sedikit terbuka dan ada tanah dan pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan
cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan muka.
Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan
tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak
berani bargerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah
dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan
akal budimu. Akal budi juga pemberian Tuhan yang harus dipergunakan pada saat
yang dibutuhkan, seperti sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah
sepenuhnya kepada Tuhan namun di samping itu dia harus berikhtiar, berusaha
menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang
ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Tuhan membimbing, akan tetapi bimbingan
itupun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.
Diapun mengingat-ingat. Dia berada di dalam
bumi! Di dalam tanah. Dan tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah
diberikan Pek Sim Sian-su kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga
mujijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam
api, dalam air, dalam hawa, dalam logam dan dalam tanah! Dalam tanah terdapat
tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga
inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda di dunia
ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas, yang
mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini
berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung
tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam
bumi, dalam tanah, tedapat kekuasaan Tuhan, yaitu energi yang maha dahsyat itu!
Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Tuhan menghendaki, maka
tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cukup untuk
membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui
lubang dalam tabung itu, mulai dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan
tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan kepada Tuhan Yang
Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuh melalui
napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah
membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa
murni yang terhisap olehnya itu kini bercampur dengan sesuatu yang belum
pernah dirasakannya. Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan
di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin,
kadang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam
pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai
menghimpun Tenaga Inti Bumi! Itulah kekuasaan Tuhan yang sudah diyakininya. Agaknya
Tuhan menghendaki demikian sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan
saja, Sie Liong dapat menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur
hidup-hidup dalam peti! Dan kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan
kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Tuhan, pada
saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke
dalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika
tenaga sin-kangnya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan
pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga
sin-kang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Namun Sie Liong tidak merasakan semua itu. Dia
hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya, sambil menyerahkan segalanya
kepada Tuhan, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati.
***
Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah
perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie
Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa
yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang
menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak
di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama,
agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak perduli akan semua itu.
Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai
Lama, juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan
Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga
mencari puterinya, Yauw Bi Sian. Karena tidak bermaksud mencampuri urusan
pemberontakan malainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw Tek tidak ragu-ragu atau
takut-takut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap
Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan
ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun
itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu melakukan
perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih
masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang selain
membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan
perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar matahari lebih
cerah, warna-warna lebih terang, suara apapun majadi lebih merdu. Dunia nampak
lebih indah daripada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah itu, mereka tiba di
lereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah dan
pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu
mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar
matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu penuh dengan warna kehijauan
dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan di bukit-bukit
itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.
Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar
keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang
itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi
mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar
suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta
Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan,
namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walaupun
dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia
menjura kepada mereka semua, lalu berkata, “Maafkan kalau kami menganggu cu-wi
suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi
bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil
itu?” Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang
itu tersembunyi di belakang sebuah kuil Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya
merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak Lan Hong untuk
mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari
jalan dari belakang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw Tek, belasan orang
pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang
di antara mereka yang memimpin rombongan berkata, “Jalan menuju ke kuil
adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil
jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di sini merupakan wilayah
kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung di sini tanpa seijin
kami.”
Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi
hormat. “Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melanggar wilayah
kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka
kami berdua tidak melalui jalan raya dan....”
“Katakan apa keperluan ji-wi yang
sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak
menghadap pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.”
Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah
menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh lengannya dan iapun
melangkah maju dan berkata dengan lembut. “Harap cu-wi suhu memaafkan. Kami
sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk
bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok
bernama Sie Liong dan....”
“Pendekar Bongkok!” seru seorang di antara
mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.
“Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami
cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkan cuwi memberitahu di mana dia?”
Akan tetapi begitu mendengar bahwa yang
datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang
Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud
membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka
sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju ke sarang untuk melapor.
Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek
mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
“Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang!
Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini
adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak
mempunyai urusan dengan Kim-sim-pani, kami hanya mencari adik kami itu!”
Akan tetapi, para pendeta itu mengepung
semakin ketat. “Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada
pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah
tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan kekerasan!”
“Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian
pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti perampok-perampok
saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus menyerah menjadi orang
tangkapan? Kami tidak mau menyerah!” Barkata demikian, Lie Bouw Tek sudah
mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga mencabut pedangnya,
karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan
diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang
tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap mengamuk di
samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
“Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!”
bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka
kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong.
“Trang-trang-tranggg....!” Bunga api berpijar
ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebaten
dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan mundur karena senjata
mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar
Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga
mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu mampu mengelak dan
menangkis, bahkan membalas dengan hebat dan sebuah tandangan kakinya sempat
membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan
tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat
berwibawa, “Tahan semua senjata....!”
Para pendeta mengenal suara Kim Sim Lama dan
mereka segera berloncatan ke belakang dan menghentikan serangan mereka. Lie
Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar dapat saling
bantu jika mereka dikeroyok lagi. Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan
Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti
hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan
selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi
kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu biarpun sudah tua, mukanya kemerahan
dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang
lebar.
Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan
dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga dengan siapa
dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi
hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat
kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun
mengandung penghormatan.
“Kalau kami tidak salah duga, locianpwe
tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe.”
Kim Sim Lama membungkuk sedikit. “Omitohud....
orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan kalian berdua orang-orang
muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan
ada keperluan apa kalian berkeliaran di sini?” Tadi dia sudah mendengar
pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok
itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, diapun cepat keluar
melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan
Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan
diri. “Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang menerima perintah
para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama
telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan
sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan
ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim
Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan
tentang kedua hal itu.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan
mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata, “Omitohud, tidak keliru kalau
Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara
di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita bicara di dalam dan
pinceng akan maberi keterangan yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian
pertanyakan itu.”
Biarpun dia maklum bahwa mereka berdua
memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap
tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang
sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai.
Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa
yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki ruangan di belakang
kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk
menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki
Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah
memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim
Lama lalu berkata dengan suara tenang.
“Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin
lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para
tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk
itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk
hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang Suhu ke sini.”
Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu
keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama
seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada tosu itu. Seorang
kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan
rambut pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan
wajahnya tampan. Di punggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang Suhu memberi
hormat kepada Kim Sim Lama, lalu dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh
pemimpin itu.
“Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan
Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang Suhu, dan dia adalah
seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang
telah terjadi.”
“Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya
ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, yang selamanya
tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Urusan lain dengan
pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw Tek.
“Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini ada
hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu,
pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan
sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk
memberi penjelanan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”
They Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama
dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya. “Sicu
Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai
sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami
mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami
sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk
sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela
penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud
baik walaupun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama
tewas. Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas,
menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin
dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan
pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri
mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan
Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami
menyadari hal itu dan kamipun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu
suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah
bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terhadap para tosu,
pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh
keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama!
Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang
lembut.
“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu
benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para
tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh
Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai
Lama. Setelah mereka itu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan
pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itulah maka pinto
bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai
Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk
menghadapi Dalai Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau
Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta
Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali?
Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya,
bertanya.
“Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe
tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk
locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang.”
“Omitohud.... harap toanio menguatkan hati.
Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh
Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh....!” Sepasang mata Lan Hong
terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak mungkin....!” Lie Bouw Tek juga berseru
kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa
tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta
Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama
memusuhi para tosu dan pertapa.
“Omitohud.... pinceng selamanya tidak pernah
berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dandam para pertapa dan
para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan tewas. Kalau ji-wi (kalian)
hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.”
“Ahhh.... Liong-te (adik Liong)....
benarkah.... engkau sudah tewas....?” Lan Hong menahan tangisnya, kemudian
bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
“Marilah, pinto antarkan kalau ji-wi hendak
menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!” kata Thai-yang Suhu. Mendengar
ini, Lan Hong segera bangkit berdiri.
“Lie toako, aku ingin menengok kuburan
adikku!”
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita
yang dikasihinya itu. Barsusah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh
untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Diapun
mengangguk kepada Thai-yang Suhu.
“Totiang, terima kasih sebelumnya atas
kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat.”
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama,
kemudian bersama Thai-yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu
samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan
tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan
dari Thai-yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai
Lama dan kaki tangannya.
“Siancai.... bagaimana pinto dapat
mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap
Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu
Himalaya yang mangungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah
tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya dimakamkan di kuburan itu.
Hanya itulah yang pinto ketahui. Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana
matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te....!” Lan Hong mengeluh dan ia
menggunakan ujung langan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu.
Sunyi sekali di situ karena teman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan
pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak ada orang lain kecuali
mereka bertiga yang herkunjung ke situ. Sebelum meninggalkan kuil tadi,
Thai-yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin.
Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek bersama Sie Lan
Hong melakuknn upacara sembahyang dengan sederhana, namun khidmat diiringi
tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek
berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua
tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang
demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang berada di bawah
gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar ucapan itu yang merupakan penumpahan
resa penamaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari mulut pendekar
Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutknn alisnya.
“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan
kebenaran keterangan kami semuA? Kalau sicu masih belum percaya, sekarang juga
boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar
Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw
Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula
dalam keharuan dan penasaran, apalagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia
menjatuhken diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara
berduka.
“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah
mati, berilah tanda kepndaku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku....
ah, adikku Sie Liong....!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah
menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itupun
terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun di luar. Sudah tujuh hari
lamanya Sie Liong “bertapa” di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat
bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang
merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada
kekuasaan Tuhan! Kekuasaan Tuhan berada di manapun di dalam yang paling dalam,
di luar yang paling luar, di dalam segala benda yang nampak maupun tidak, dan
di dalam tanah itupun terdapat pula kekuasaan Tuhan! Bahkan kekuasamn Tuhan
amatlah kuatnya di situ. Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu
berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga
bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya
mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi,
mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga
Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan
oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan
dahsyat yang timbul melalui kepesrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh
hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mujijat itu. Dia sudah pasrah. Tubuhnya
lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya keracunan. Dia
pasrah dalam arti yang sedalam-dalamnya. Bukan pasrah namanya kalau di dalam
batin masib mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih
terdapat rasa takut. Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah
berarti tidak adanya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh
ketawakalan, penuh keikhlasan, menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Tanpa
diketahuinya sendiri, terjadi keajaiban di dalam tubuh Sie Liong, kemujijatan
yang menjadi bukti kekuasaan Tuhan! Tenaga Inti Bumi, di luar kesadarannya,
telah merasuk ke dalam tubuhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus
mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan
tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia
hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup
sehingga rasanya menggembung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya
seperti hendak meledak!
Dia tidak tahu betapa pada saat itu, di atas
sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan memanggil-manggil
namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Dia hanya merasa tubuhnya
seperti akan meledak, maka tanpa memperdulikan apapun yang akan terjadi, dia
menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meronta dan mendorong,
menendang.
“Blaaaaarrrrr....!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang
yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar
suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu pecah dan bagaikan ada bahan
peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu
berikil berhamburan. Sie Lan Hong menjerit, Lie Bouw Tek sudah menarik lengan
wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah dan batu kerikil yang
muncrat berhamburan. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang meloncat
keluar dari dalam lubang di bawah gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan
berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun ke atas tanah.
“Keparat....! Kau.... iblis....!” Terdengar
Thai-yang Suhu membentak. Pendeta palsu inipun terkejut bukan main ketika
melihat gundukan tanah itu tiba-tiba meledak dan dari dalannya meloncat
seorang yang dikenalnya sebagai Pendekar Bongkok! Masih presis Pendekar
Bongkok seminggu yang lalu, hanya pakaian dan rambutnya kusut dan kotor
berlumpur dan kini mukanya merah seperti udang direbus, matanya mencorong
seperti bukan mata manusia. Melihat ini, Thai-yang Suhu yang khawatir kalau
rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang
pedangnya! Dia langsung saja melakukan serangan maut, menusukkan pedang kanan
ke arah tenggorokan dan pedang kiri ke arah lambung Pendekar Bongkok!
Pada saat itu, Sie Liong masih belum
mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya dan dia bergerak tanpa perhitungan
pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mujijat yang tarhimpun di
dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai-yang Suhu itu meluncur ke arah
tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh,
melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar pedang yang
menyambarnya.
“Bresss....!” Tubuh Thai-yang Suhu terlempar
beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali karena kedua
pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk menyerang, entah bagaimana
telah membalik dan menancap di dada dan lehernya sendiri! Dia tewas seketika!
“Liong-te....!” Lan Hong meloncat menghampiri
Sie Liong. Akan tetapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong
melarikan diri. Dia balum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjdi
wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia
terkejut sendiri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti
terbang saja! Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa
itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan mengejar.
“Liong-te, tunggu....! Liong-te....!”
Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan
saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri bingung, tidak tahu
ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar
Kun-lun-pai ini berkata.
“Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya
dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana. Dia.... dia.... seperti dapat
terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusulnya.” Dia masih
terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita
yang dikasihinya itu. Dia sudah mendangar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu
kepandaian tinggi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui
dugaannya. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak
lumrah manusia!
“Aih, Lie-toako.... apakah engkau tidak
melihat lengan kirinya tadi? Dia.... dia buntung! Aihh, adikku, apa yang telah
mereka lakukan kepadamu? Aku harus mencari Kim Sim Lama, aku harus
membalaskan adikku, akan kuminta pertaggungan jawabnya!” Lan Hong menangis.
“Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu
masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali ke sana, tentu mereka
tidak akan menerina kita sebaik tadi. Apalagi Thai-yang Suhu telah tewas. Kita
bahkan harus cepat pergi dari sini. Aku hendak menghadap Dalai Lama dan
melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan para pengikutnya itu jelas hendak
melempar fitnah kepada Dalai Lama dan dia berbahaya sekali. Mari, Hong-moi,
mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari jejak adikmu
Sie Liong dan puterimu....”
“Bi Sian....! Ah, di mana anakku Bi Sian? Apa
yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang menimpa diri adikku, aku
sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.”
“Hong-moi, kita tetap berusaha untuk
mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di
samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan
hutimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi? Kuraaa ia mampu menjaga diri sendiri.”
“Memang benar, toako. Ia lihai dalam ilmu
silat. Akan tetapi, ia masih muda, kurang pengalaman, dan di dunia ini terdapat
demikian banyak orang yang jahat dan keji.”
Lie Bouw Tek menghiburnya. Mereka berdua
menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah itu
kosong dan pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah
pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu
membuangnya jauh-jauh. Kemudian, dia menyeret mayat Thai-yang Suhu dan
mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh
Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua
ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang
melihatnya. Kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana
Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.
Gadis itu dikenal oleh semua orang yang biasa
bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang
lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau
wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya kotor dan seperti
seorang jembel gila. Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apak lagi.
Rambutnya lekat dan kotor, awut-awutan seperti rambut siluman yang
menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur.
Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbelalak
menakutkan, ada kalanya merah karena tangis. Orang melihat ia kadang menangis
tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata
yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa
ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang jembel
menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik karena
ulahnya. Tak seorang priapun yang dapat merasa tertarik oleh seorang
perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik
karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan
merangkul mereka!
Ia makan apa saja yang ia temukan. Ikan-ikan
kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan
hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya.
Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tak seorangpun tahu bahwa baru sebulan yang
lalu, wanita itu merupakon seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam
manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan. Dan tak seorangpun tahu bahwa
gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi jembel menjijikkan! Ia
adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yanig telah yatim piatu itu. Ia
tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling
membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walaupun ia
merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali
menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling
minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria,
bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak
berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah,
apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebib besar lagi
mengancm dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila,
mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur,
kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan
menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun pria sudi
mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia berkeliaran di sekitar pantai telaga
yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang. Akan
tetapi makin hari semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang
dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Untuk
bertanya-tanya, ia tidak berani karena ia maklum bahwa Pendekar Bongkok amat
dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang.
Ia hanya mampu menangis dengan sedih, akan tetapi kalau ada orang melihat ia menangis,
ia sengaja lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis,
tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin
berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak
pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tidak
mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja. Ia tahu bahwa Sie
Liong hanya bongkok punggugnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong
adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan
untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus
hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko.... ah, Liong-koko.... engkau berada
di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa aku mencarimu, betapa
aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukannu? Liong-koko....” demiklan ia
meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mangharapkan. Kalau matahari
muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan
bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun mengharap bahwa besok hari
ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu. Ia tidak pernah putus asa.
Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang keras
dan sukar, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi
bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup
dalam kekurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain
untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, di bawah pohon di balik semak
belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa
takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang
menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai
bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah guha di tepi telaga. Guha
kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan malam, tidak
begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam. Tubuhnya terasa
nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang membawa mekanan dan
makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi
putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan harapan baru
muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa tahu di antara
mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya segar,
malam itu iapun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong.
Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan mendengar betapa
dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis
kebahagiaan yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya
terjadi dalam mimpi!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru
saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah
berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, ia hendak membersihkan badannya pada
bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan setelah
mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!
Ketika ia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba ia melihat
bayangannya sendiri. Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demiktan
buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan!
Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat
dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan
bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari
pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong
jijik kepadanya saja, hatinya audah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main!
Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh
pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini,
karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku....”
keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat ke dalam air
yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya
sudah terendam air. Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah
pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan
seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah-olah ia hendak mandi
sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong. Ia mencuci
rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu
dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biarpun agak kurus, kini
nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis seperti
tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai
panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudaranya
yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Dalam kegembiraannya karena ia hanya
membayangkan pertemuannya yang amat membahagiakan dengan Sie Liong, Ling Ling
lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu betapa tak jauh dari
situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalam suntuk
berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan
hasil pekerjaan mereka semalam. Ketika mereka lewat dekat guha kecil itu,
mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya berdiri
bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian,
mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis.... gila itu....!” bisik seorang di
antara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci
pakaiannya yang butut.”
“Tapi.... ia cantik! Lihat wajahnya itu.
Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu!
Ah, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu.... hemmm....!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci
pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa di sekitar
tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat. Tubuhnya yang
telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan
sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia
melangkah ke arah guhanya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata
melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam guhanya.
Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak
kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma
satu-satunya itu. Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi
walaupun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai
rambutnya agar kering pula, ia membeberkan pakaiannya dekat api agar kering.
Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi “kegilaannya”.
Tiba-tiba in terbelalak dan terpekik ketika
tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya yang kecil. Otomatis
kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan
seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau. Melihat
keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukanlah penjahat,
melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail
ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang
suka melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita. Akan tetapi, keadaan
pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak
berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu,
jembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka hindari, kini ternyata berubah
menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah
menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan menguasai hati dan
pikiran. Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbanganpun lenyap.
Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang
melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he, engkau cantik menggairahkan!” kata
tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila....!
Jangan ganggu aku!”
Ling Ling berteriak-teriak, akan tetapi tiga
orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang
memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu. Ling Ling
ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit.
Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang
pemuda itu, bahkan membuat nafsu berahi mereka semakin berkobar. Mereka tidak
perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini
cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapapun dengan nekatnya Ling Ling meronta,
apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga
tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia
akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa
tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci
itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus
berteriak-teriak.
“Jangan....! Lepaskan aku.... Aku orang gila,
aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!”
Seorang di antara tiga orang itu cepat
mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih
mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia
sudah ditelentangkan di lantai guha dan seorang di antara tiga pemuda buas itu
menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam guha.
“Aduuuhh....!”
“Auhhh....!”
“Heiii, aduhh....!”
Demikian cepat terjadinya sehingga Ling Ling
sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan
tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti terseret keluar dari
dalam guha sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila.... Jangan ganggu aku,..... aku
jelek dan gila....!” Ia cepat meraih tanah dari sudut guha dan melumuri muka
dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya, bahkan ia menyambar
pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding guha yang
lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya, dengan rambut yang kotor,
muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali
seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan
merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua
lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa
yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka
telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam guha dengan kasar.
Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin
nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala
mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja
diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh dari guha. Mereka
merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah
seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu menggunakan sebelah
tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu
dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Melihat bahwa yang menyeret mereka hanyalah
seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri
nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan
rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari
itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan di dalam
kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa
lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya. Tadi, ketika dia
berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama
ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong. Dengan kecepatan yang
sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat
dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti
seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan. Dengan
ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu
melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah
mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka
keluar dari dalam guha.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong
melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan
berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan
main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga
karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan. Tanpa banyak cakap lagi,
tiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya
hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan
mereka itu penuh kemarahan.
“Ehhh....?” Mereka terbelalak karena yang
diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan
berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada
di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi
tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga
orang itupun terjengkang, terbanting keras!
“Hemm, kalian ini tiga orang jahat, patut
dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan
tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri
yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan mereka merasa seperti
disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka
berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami...., taihiap, jangan bunuh
kami....!” Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka
sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Kalian
penjahat atau perampok?” tanyanya ragu karena dia melihat betapa mereka
berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami.... kami bukan
penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan....”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan
tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!” Kakinya
menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit
dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir
diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah
perlahan menuju ke guha kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu.... aku jelek.... aku gila....
aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu aku....”
Terdengar suara wanita itu dalam guha itu. Sie
Liong cepat menyelinap di balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita
itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang wanita jembel gila!
Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor
berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor
menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang
pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit
gairah berahinya melihat wanita jembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila.... ha-ha.... jangan
ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!” Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah
tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya
menjadi jembel gila lagi, baru ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya
dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi, setelah ia melihat
bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia
berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi.
Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi
ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan
selalu melindunginya.
Sementara itu, Sie Liong dari tempat
pengintaiannya tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang jembel gila. Akan
tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, kemudian
menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri
berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita
itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang
sekarang inilah baru aseli! Dia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya
ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-huu.... Liong-ko.... ahhh, Liong-koko....
uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega.... Liong-ko.... uhu-huuu.... kalau ada
engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku.... aih, Liong-koko.... di
mana engkau....?”
Sie Llong merasa seperti kepala disambar kilat
ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang,
tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah wanita yang berlutut sambil
menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya mukanya lalu tangan
yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka.
Dipandangnya muka yang kotor itu. Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie
Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi....! Ling Ling.... ah, Ling Ling....
kenapa engkau jadi begini....?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali,
diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan
kiri yang buntung.... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus
tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek
ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah
baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko....? Engkau.... engkau....” matanya
memandang lengan kiri yang buntung. “.... engkau Liong-koko....?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong....”
“Liong-koko....!” Gadis itu menubruk,
merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie
Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ah, Ling-moi.... kaumaafkan aku,
Ling-moi....!” Sie Liong merangkul dan mencimm pipi yang kotor dengan lumpur
itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu. Kecerdikannya membuka
pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan
pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu
bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah
bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan agaknya, dangan cerdik Ling
Ling telah menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan godaan para
pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa
tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah
merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Ling
Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, ia
sudah berseru gelisah, “Liong-ko, di mana engkau....?” Dan ia pun serentak
bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari samping. “Aku di
sini, Ling Ling....”
Ling Ling menoleh. “Aihhh, Liong-koko....
engkau benar Liong-koku....!”
Ia merangkul dan menangis seaunggukan di atas
dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan ia
melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut
bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air
mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah
pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak
layu dan muram seperti tadi. “Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ah,
Liong-koko, jangan kau tinggal aku lagi. Lebih baik aku mati saja daripada
harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko....” Tiba-tiba in teringat, lalu
memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya
terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang
kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu. “Liong-ko.... di mana
lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi....? Engkau.... lengan kirimu....
buntung....?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia
tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi diapun
sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia memiliki
tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam.
Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih melindungiku,
Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko.... ah, Liong-koko, kasihan sekali
engkau....” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu. Melihat
betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu
kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi
pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah hendak
membersihkan luka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya dengan terharu.
“Ling-moi, kenapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku?
Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung
lengan kiriku. Apa yang kaulihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang
kauharapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku.... aku cinta padamu, koko.
Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan
engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang
kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang
sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan
gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja....
kalau.... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk,
yatim piatu pula.”
“Ling Ling....” Sie Liong merangkul dan
mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu
dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan
benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya, melalui sikapnya,
melalui suaranya, melalui sentuhannya. “Ling Ling, akupun cinta padamu. Aku....
aku ingin memperisterimu....”
“Liong-koko! Betapa bahagia hatiku. Aku mau
melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum. “Sekarang yang paling
penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, bereskan rambutmu dan
pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah
bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali
kegembiraannya. Ia bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie
Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia
berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan
tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tak lama kemudian, mereka sudah pergi dari
tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu
kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Karena Sie Liong
sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalan kuburan, maka
keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah
ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di
Lasha sambil bercakap-cakap Ling Ling menceritakan semua pengalamannya, betapa
karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia
melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa
menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan
pria-pria jahat, presis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai
kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai
seorang jembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie
Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu. “Salahku sendiri. Tadi
malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin
bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air,
aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan
seperti jembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi, aku lalu mandi bersih dan
mencuci pakaianku, lalu memasuki guha. Agaknya, ketika mandi itu, mereka telah
melihatku, dan ketika aku memasuki guha, mereka lalu menyerangku dan hendak
memaksaku....”
“Ah, kita harus berterima kasih kepada Tuhan
atas segala berkah-Nya kepada kita!” seru Sie Liong dan gadis itu demikian
terheran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan
heran.
“Berkah? Koko, engkau nyaris tewas, lengan
kirimu buntung, dan aku menderita sengsara, menjadi jembel gila kemudian nyaris
diperkosa orang, dan engkau mengatakan bahwa kita berterima kasih kepada Tuhan
atas segala berkah-Nya?”
Sie Liong juga memandang kepada kekasihnya dan
tersenyum sambil mengangguk. “Benar, Ling-moi. Itulah berkah-Nya.
Bagaimanapun juga ternyata kita berdua masih selamat dan masih dapat saling
bertemu, dan yang lebih membahagiakan lagi bagiku, biarpun kini lengan kiriku
buntung, engkau masih tetap mencintaku.”
“Liong-koko....” Ling Ling berkata penuh haru.
“Sampai matipun cintaku kepadamu tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang.
Akan tetapi pendapatmu tentang berkah Tuhan itu sungguh membingungkan hatiku.
Jelas bahwa kita berdua baru saja tertimpa kesengsaraan, dan engkau masih
menganggapnya sebagai berkah.”
“Betapa tidak, Ling-moi? Kita hidup di dunia
inipun merupakan berkah Tuhan! Lihat saja sinar matahari yang menghidupkan,
hawa udara untuk bernapas, lihat air, angin dan tanah yang menumbuhkan segala
keperluan hidup kita! Lihat panca indria kita, mata, telinga, hidung, mulut
dan segala perasaan, masih dilengkapi lagi dengan hati akal pikiran. Semua itu
berlimpah dengan berkah-Nya. Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah
dikehendaki oleh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala
kehendak Tuhan merupakan berkah. Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk
mengukur, untuk menilai, untuk membuka tabir rahasia yang menyelubungi
pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikiran kita bergelimang nafsu
daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan
tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik
buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah artinya suatu peristiwa yang
menimpa diri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung
hikmah, mengandung berkah tersembunyi. Yang nampak baik belum tentu seperti
yang dinilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada
diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh kepasrahan,
dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan.”
Ling Ling hanya mengangguk, akan tetapi ia
masih bingung untuk dapat menerima maksud dari ucapan itu.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan
tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung
pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu
adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun kini lengan kirinya
buntung, ia masih merasa takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya
bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana ia
pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan.... ih, pakaiannya
seperti ini....”
Sie Liong tersenyum. “Kami tidak menyalahkan
engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini
pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, ke dua kalinya
sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari
saja.”
“Liong-koko! Apa artinya kata-katamu ini?
Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku lagi?” suara itu
sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh
protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi
Cili. “Pergilah, bibi. Carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan
Ling-moi. Jangan khawatir, kalau urusanku sudah selesai, pasti harganya akan
kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihiap.
Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberikan uang berapa saja yang
kubutuhkan untuk keperluanmu.” Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah
nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya
gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu
bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai
bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu
mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang
mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku harus menemui Kim Sim
Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus
membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itulah terpaksa aku harus
meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku
berangkat pagi, sorenya tentu kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko.... setelah apa yang
kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana
kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diri, Ling Ling. Andaikata
terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan
engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu mencegahnya.”
“Biarpun aku tidak dapat menolongmu, akan
tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun, kalau bersamamu, aku
tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku....”
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia
belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu.
Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh suruh bibi
Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apakah?” tanyanya melepaskan
rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci.... celaka, cici.... bibi
Cici.... bibi.... Cili....”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya
kepada anak itu.
“Ia.... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang
dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan keluar kota....”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang
melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan
hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi
Cili....” katanya dan sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah
meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah
lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera
meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahaya
sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang
di telinganya. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu.
Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya. Gerombolan penjahat itu telah
menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, tentu pendekar itu tidak akan
mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi
tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu mementingkin diri sendiri. Tidak
mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah
milik masyarakat, milik mereka yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara
karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya
bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut
karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang
adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang
tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling hendak menjerit akan
tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh terkulai dalam keadaan
tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong
oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan
cepat sekali.
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat
keluar kota. Tak lama kemudian, tepat diduganya, dia melihat sebuah kereta
kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya
dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan sekali dia melompat, dia
telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan biarpun dia hanya mempunyai
sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung tenaga dahsyat itu sekali
tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan keluar empat
orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka barlima sudah
memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan
mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri
yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak....!”
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak
mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka
mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka
hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi. Sie Liong
tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Bibi
Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan menangis.
Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.
“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya. Wanita itu hanya mengangguk,
dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya.
Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan,
dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili,
barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan
sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap
sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat,
datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan
kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih, “Kim Sim
Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!” Dan tubuhnya
berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi semakin ketakutan.
***
“Omitnhud.... sampai sedemikian jauhkah
tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi keamanan dan
ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil
tindakan.”
Dalai Lama bicara dengan nada suara serius,
setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang menghadap bersama
Sie Lan Hong. Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana mereka melihat
kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan
kirinya itu membunuh Thai-yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek
mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali. Dalai Lama
adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang
dikuasai amarah. Akan tetapi mendengar laporan dari Lie Bouw Tek tentang
perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja melempar fitnah kepadanya, apa lagi
mendengar betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan barbuat
kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalal Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama
untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi.
Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek kagum. Ternyata Dalai
Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan
untuk ikut dalam perundingan itu, karena pendekar Kun-lun-pai ini telah
dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari duapuluh empat orang
pimpinan Lama, dikepalai oleh Konga Sang sendiri, memimpin kurang lebih
seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang
Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan.
Dan di belakang, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke
sarang itu pula, mengambil jalan lain untuk melakukan pengepungan.
Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya
membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok.
Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai-yang Suhu tewas
dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah kosong, sedangkan
Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para penyelidik untuk
mencari di mana adanya Pehdekar Bongkok.
Para penyelidik ini yang melihat kemunculan
Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita jembel gila dari gangguan tiga
orang nalayan. Mereka melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat
mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali
mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam
kuburan! Bahkan telah membunuh Thai-yang Suhu! Tadinya, ketika mendengar bahwa
mayat Thai-yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap,
dia manduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan
terhadap pembantunya itu dan melarikan mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi,
ketika dia mendengar laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar
Bongkok yang menolong gadis jembel gila, dia terkejut bukan main. Dia segera
memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
“Ahh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?”
Thai Hok Lama, orang ke empat Tibet Ngo-houw dan ahli racun itu berseru.
“Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan tetapi bagaimana
mungkin dia hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama beberapa hari?
Ini tentu ada yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu
tentu Camundi Lama!”
“Hemmm, benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama,
sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami memang sejak dahulu tidak percaya
kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai
ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Diapun curiga
kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke sini!” teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar akan lolosnya
Pendekar Bongkok, bukan main kaget dan marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya
Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasianya tentu
akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok
buntung lengan kiri pendekar itu, dan tentu dia tidak akan tinggal diam saja,
dan tentu akan membalas dendam. Pendekar Bongkok harus didahului!
“Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat
dibasmi, dan saya tahu bagaimana caranya!” kata Coa Bong Gan. Yauw Bi Sian yang
hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa menyesal bahwa calon
suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya
lemah, dan pula bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok adalah pembunuh ayah
kandungnya.
“Bagaimana cara itu?” tanya Kim Sim Lama,
tertarik.
“Dia harus dipaksa datang ke sini. Saya akan
memancingnya keluar dari rumah pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis
jembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk
membunuhnya!”
Kim Sim Lama tersenyum cerah. “Bagus sekali!
Lengan kirinya sudah kaubuntungi, betapapun lihainya, dia tidak ada artinya
lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!”
Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat
orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong
keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh empat orang pembantunya itu
menculik bibi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong
diberitakan orang tentang penculikan itu. Dan tepat seperti yang telah dia
perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar
bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang dipergunakan Bong Gan
untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil meninggalkan surat
tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim
Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil tersenyum. Dia sudah
mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari dalam kuburan. Tidak
sia-sialah usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang
harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.
“Camundi Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan
sinar mata tajam mencorong. “Engkau pengkhianat! Apa yang telah kaulakukan
ketika engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”
Camundi Lama tersenyum dan merangkap kedua
tangan di depan dadanya. “Omitohud.... pinceng (aku) hanya melakukan yang
benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan.
Engkaulah yang menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati
kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan
keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia
dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung.”
“Keparat jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama
dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar
pengakuan Camundi Lama itu.
“Tangkap dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai
mati!”
Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama
bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. “Ha-ha-ha, tidak perlu kalian
repot-repot. Sekarangpun pinceng akan meninggalkan kalian orang-orang yang
menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih
kejahatan yang kelak hanya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin.” Setelah
berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksanya, dia
telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini
telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.
Ketika Coa Bong Gan datang memondong Ling
Ling, Kim Sim Lama menjadi girang sekali. “Ah, pantas kalau Pendekar Bongkok
mencinta gadis ini,” katanya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan.
“Kiranya gadis ini bukan jembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan
manis. Coa-sicu, biar kami serahkan gadis ini dalam pengawasanau. Jangan
sampai ia dapat lolos sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan
kami.”
Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa
Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang dengan alis
berkerut, namun tidak perduli. Kini ia tidak perduli apa-apa lagi, tidak
perduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya
menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta
Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, juga ahli dalam
ilmu sihir. Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah
gadis perkasa ini dikuasai ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya
sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam
dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia
merasa iba. Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada
rasa suka yang timbul dari nafsu berahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan
muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan
khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat
karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri
Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim Lama, dan para pembantunya, juga
Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok
datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk menyelamatkan Ling Ling?
Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan tetapi Bi Sian sendiri
diam-diam meragukannya. Begaimana Sie Liong akan berani datang? Selain Kim Sim
Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga kini Pendekar
Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga tentu saja kelihaiannya berkurang
banyak! Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan
nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat
cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimanapun juga, ia ikut merasa
tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya, saat menegangkan yang mereka
tunggu-tunggu itupun tibalah. Dan munculnya Pendekar Bongkok sungguh
mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak penculikan
terhadap Ling Ling dilakukan dan semenjak kemunculan Sie Liong si Pendekar
Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua anak buah
pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim
Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas
yang juga dipergunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk
mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar
suara keras pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang
turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Dan bayangan ini bukan lain
adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya!
Sie Liong kini yakin bahwa pengalamannya di
dalam kuburan telah mendatangkan suatu tenaga sakti yang luar biasa baginya.
Dia telah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi! Dengan tenaga sakti yang
dahsyat itu, dia mampu bergerak dangan kecepatan yang berlipat ganda
dibandingkan sebelum dia menguasainya. Karena itu, maka dia merasa yakin akan dirinya
karena walaupun sebelah lengannya telah buntung, namun keadaannya jauh lebih
kuat daripada sebelum lengan kirinya buntung. Dengan tenaga sakti dahsyat itu,
dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga dia mampu menyelinap cepat
memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga dan setelah
mengetahui bahwa Kim Sim Lama dan para pembantunya berada di ruangan silat,
diapun meloncat naik ke atas genteng, lalu memasuki ruangan itu memalui atap
yang dijebolnya.
“Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi
undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!” kata Sie Liong, suaranya juga
mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga
yang menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya. Sikapnya tenang
saja walaupun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Dan karena dia
belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang melekat di tubuhnya masih
pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena
lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak, ucapannya itu bergema di dalam
ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali, sunyi
yang menegangkan. Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya dan diapun
mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar
Bongkok. Ketika tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, melainkan
mengisinya dengan khi-kang, sehingga suara ketawanya juga bergema dan
menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang
menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, engkau
datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku akan yakin bahwa engkau akan
benar-benar mati, karena sekali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di
tanganku sendiri!”
Biarpun menghadapi ancaman dan berhadapan
dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi anak buahnya
yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap
tenang.
“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling
Ling, menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, aku sudah
datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan
Ling Ling!”
“Orang she Sie yang sombong!” Tiba-tiba Thay
Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu sudah
moloncat dan memaki. “Tidak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang
ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di
depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang
mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau
tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit.
Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biarpun pernah mereka berlima
mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim
Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong, akan tetapi kini
mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan
mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan
lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh
Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak,
kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim Sim Lama, apakah omongan Tibet
Ngo-houw dan engkau sendiri dapat kupercaya? Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok
aku, apakah engkaupun akan turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari
sekarang berterus terang apakah engkau ingin maju sendiri dan mengeroyokku
dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak
buahmu!” Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak
pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang
berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya
sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Ucapan ini mengobarkan
kemarahan dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Memang
dia harus mengakui bahwa seorang diri saja, dia pernah dikalahkan Pendekar
Bongkok. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok kehilangan lengan kirinya!
Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diripun agaknya dia akan mampu
merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar Bongkok, dengarlah! Kami, Tibet
Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapapun! Biarlah kami berlima mampus
di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus
ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar! Nah,
terimalah....!” Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan tiba-tiba dia merendahkan
tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam
perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain
perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan
kemudian tiba-tiba saja dia meloncat ke depan, kedua lengannya menyerang dengan
dorongan kedua telapak tangan ke arah dada Sie Liong! Sesungguhnya,
orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka
sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat
atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku
Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai). Kekuatan
yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor
katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka terciptalah
gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi
uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie
Liong.
Sejak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang
pertama Tibet Ngo-houw itu menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang
hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan
tangan kanannya menyambut.
“Desss....! Plakkk!” Lengan baju kiri itu
menyusul dengan kecepatan kilat ketika tangan kanannya menyambut serangan
lawan. Pertemuan tenaga sakti yang amat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar
Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thai Ku Lama, dan pada saat itu, Thay Ku
Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai
kesakitan. Dia merasa seolah semua tenaganya membalik dan menghantam isi
perutnya sendiri. Pada saat itu, nampak sinar putih menyambar dan mengenai
tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan
ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat
orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah
tewas! Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah
tewas di tangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu
yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukin
main. They Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang
pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar
tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Somentara itu, Kim Sim Lama memandang dengan
wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejukan hatinya bukan
main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw
dangan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu. Akan tetapi dalam segebrakan
saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok
sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya.
Sebelum lengan kirinya buntungpun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat
menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru?
Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat sejak
Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Sagaimana mungkin dalam waktu beberapa
hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya!
Akan tetapi, kini sepasang matanya terbelalak
penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar
Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan
serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok
hanya menggerakkan tangan kanan yang mendorong-dorong, dan lengan baju kirinya
menyambar-nyambar. Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu
terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu
ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam
tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya.
Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah hendak
menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking
tinggi dan tubuhnya membungkuk ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan
tubuh atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram
ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk
garis lurus seperti seekor naga meluncur, tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang
agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik
dan robohnya ernpat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Kim Sim Lama
terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak
bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang
lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa
mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh
lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian
singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar melihat
kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh
dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiripun akan sukar untuk dapat
menandingi Pendekar Bongkok. Maka tanpa malu-malu lagi dia lalu mengeluarkan
aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia
berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku
tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie Liong, bukan khawatir akan
pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang
terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak
memperdulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apalagi
sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan
kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan
tangan, matanya berkilat marah. Semua pembantunya sudah menghunus senjata,
kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan
main melihat pamannya yang dapat membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian mudahnya.
Pamannya yang telah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti!
Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya
itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk
membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Ia akan rela
mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan
tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya, kini ia
termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia telah bersumpah untuk
membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi
mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi
pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di
antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang
pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang
gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apalagi ketika seorang
perajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka diserbu oleh pasukan
yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama, Kim Sim Lama cepat
melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya!
Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan panik
mendengar bahwa tempat itu diserbu pasukan Dalai Lama sehingga mereka seperti
telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa.
Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ
akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan
melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas
panjang.
“Bi Sian....” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri
hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan
nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan
pemuda bongkok ini yang membuat ia meninggalkan ibunya, merantau sampai bertemu
dengan Song Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sutenya sendiri.
Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong!
Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai
terjadi semua ini!
“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan
satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!” Bi Sian
mencabut pedang Pek-lian-kiam. Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan
menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih
menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami encinya.
Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling
Ling. Aku akan membebaskannya kemudian pergi dari sini.”
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan
sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling
Ling, Sie Liong segera menghampirinya. “Lepaskan Ling Ling....!”
Bong Gan tersenyum mengejek. “Mundur kamu,
bongkok! Atau.... akan kubunuh gadis ini di depan matamu!”
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan
diapun menahan langkahnya. Dia dapat menyerang Bong Gan, akan tetapi dia
khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling.
Melihat sutenya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi sandera,
Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Sute, lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali,
kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!” Tanpa malu-malu Bong
Gan berseru.
“Pengecut!” Bi Sian memaki. “Akupun tidak
membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biar aku sendiri
yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis itu kataku!”
Bong Gan memandang dengan bingung. Dia
menoleh ke luar dan mendengarkan suara pertempuran yang tengah berlangsung di
luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau
tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!” Tentu saja dia merasa
takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat
membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia
bukanlah lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia
sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka dia merasa jerih
kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan
sinar mata mencorong. “Kalau engkau tidak mengganggu gadis itu dan
membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau
mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke manapun engkau, akan
kukejar sampai dapat!”
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong
itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong. Gadis itu yang sejak
tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan suka pucat, terhuyung
ke arah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan penuh kasih sayang.
“Ling Ling....”
“Liong-koko.... ahh, Liong-koko....!” Dan
tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air
matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan
muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, membuatnya sesenggukan dan
tersedu-sedu.
“Suci, mari kita pergi. Pertempuran terjadi di
luar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu. Kalau terlambat, kita
celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut, engkau boleh pergi. Aku tidak akan
pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah membunuh ayah, maka
dia harus menebus nyawa ayah, aku akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu....” Sie
Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.
“Tidak perlu bohong! Tidak perlu menyangkal,
Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggung
jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari
kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama
Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu....!” Bi Sian berseru, memburu kepada
ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?”
“Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan
pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu....!” Bi Sian memandang kepada ibunya
penasaran. “Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?”
“Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah
orangnya!” Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan
terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan
tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang
membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku bingung, aku tidak
mengerti....” Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
“Tidak benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan
mencoba untuk membantah, walaupun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
“Diam kau!” bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan
menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti.”
“Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu
melakukan penyelidikan tentang kematian ayahmu. Dan hasilnya sungguh
mengejutkan. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan
ayahmu di tempat itu minum sampai mabok. Akan tetapi, menurut keterangan para
pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu
melihat tamu itu, dan tamu itulah yang telah membunuh ayahmu.”
“Siapa...., siapa dia, ibu?”
“Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!” teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku
membunuh ayahmu, suci?”
“Hemm, apa perlunya?” Sie Lan Hong berkata.
“Suamiku telah melihatmu di rumah pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut
kalau sampai suamiku menceritakan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku.
Engkau jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin
puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah
pelacuran, maka engkau membunuh suamiku yang sedang mabok. Dan untuk
menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di
dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh, pantas dia bersikeras untuk membunuhku,
dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan sama
sekali jejaknya.” kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya
terbelalak memandang kepada Bong Gan, saking kagetnya, herannya dan marahnya ia
sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie
Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. “Liong-koko, jadi dia itulah yang
telah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam....!” Ling Ling berlari menghampiri
Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan
cakaran dan gigitan.
“Ling Ling, ke sinilah....!”
Namun, seruan Sie Liong itu terlambat. Bong
Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini
tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang.
“Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi
tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie
Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing,
tidak berani maju. Akan tetapi, Bi Sian tidak perduli. Ia melangkah mnju
menghampiri sutenya, pedang Pek-lian-kiam masih di tangannya, matanya tak
pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong Gan.... kau.... kau..... yang telah
membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu
dan tidak percaya.
“Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini
kalau engkau tidak mau mundur!” bentak Bong Gan.
“Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!”
Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia nekat meneakar dan
menggigit. “Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah
membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku....!” Dan bagaikan gila Ling
Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan. Pemuda ini kewalahan juga
ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika dia hendak
menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis
itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat menubruk
ke arah pedang. Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat
ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Bong Gan terbelalak dan meloncat ke
belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi....!” Secepat kilat Pendekar Bongkok
meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi datah. Sekali memeriksa,
tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam sekarat!
“Ling Ling.... ahhh, Ling Ling.... kenapa
kaulakukan itu....?” Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan
menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata
lirih. “.... aku.... aku lebih baik mati.... koko.... aku tidak berharga
lagi.... dia.... dia telah monodaiku....” Dan iapun terkulai, tewas dan tak
bernyawa lagi.
“Ling-moi.... Ling-moi....!” Sie Liong
mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan
lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak perduli betapa pakaian dan
tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia
merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa
dia amat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam engkau, Coa Bong Gan!” sekali
meloncat, Bi Sian telah berada di depan pemuda itu, sepasang matanya seperti
dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh seorang manusia berhati iblis! Aku
yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid!
Ternyata engkau lebih rendah daripada seekor binatang! Eagkau telah membunuh
ayahku, engkau telah membuntungi lengan kiri tangan kiri paman Sie Liong! Engkau
telah menodai aku dengan tipu muslihat, kini aku tahu! Dan engkau masih
begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong Gan, kalau
aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia
tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk menyelamatkan diri,
akan tetapi tak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menolch
ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu. Di situ telah berdiri Sie Lan Hong
dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk menghadangnya dan mencegah
dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis
sambil mendekap mayat Ling Ling! Kalau saja dia dapat merobohkan sucinya, masih
ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik
menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakuti hanya Pendekar Bongkok. Biarpun
dia tahu akan kelihaian sucinya, bagaimanapun juga dia sanggup menandinginya.
“Bi Sian, ingat, engkau sudah menjadi
isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai
suami isteri yang berbahagia berdua....” Dia masih mencoba untuk membujuk, akan
tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi Sian. Memang
pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi
Sian lengah dan hampir dia berhasil. Bi Sian yang mendengar ajakannya itu
merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan
pedangnya secara tiba-tiba, ia terkejut. Tidak ada kesempatan lagi untuk
menangkis dan ia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi
ujung pundak, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju
dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.
“Jahanam!” Bi Sian memaki dan kini ia menyerang
dengan pedangnya. Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan
dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jerih itu, menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute
ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri. Bi Sian
menggerakkan pedangnya penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu
membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan peraaaan gentar
dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar memberi kesempatan
kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan
Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik daripada keadaannya. Mereka itu
sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama
sendiri yang dibantu banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak
buah pemberontak itupun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang
roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi.
Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia
mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong
Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan
Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan. Betapa
jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian
melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk
dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban
kejahatannya. Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia
dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian.
Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu
untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke
arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Iapun merasa iba
kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang jahat, bukan
hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya telah
dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia dapat merasakan
betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya,
akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar
Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi.
Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat
puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek. Dia sendiri juga tidak
berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian,
sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu.
Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita
yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini
sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan
walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih
mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walaupun paha kirinya telah
terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi Sian
sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya
robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam
lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang
menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin
menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang
luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun
melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt....!” Untuk ke sekian kalinya,
pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke
arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada
pemuda itu.
Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian
adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay
Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung
Tulang Iga. Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar
pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang
ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan
jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga
sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!” Biarpun Bong Gan sudah miringkan
kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit
mengerikan dan tubuhaya terpelanting. Saat itu, Bi Sian menubruk dan melihat
ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan....!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong
Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp....!” Pedang itu menembus dada Bi Sian
dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian
merintih-rintih.
“Bi Sian....!” Sie Lan Hong lari menubruk
puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu.... maafkan.... aku....”
“Bi Sian.... anakku....!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan
dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian
dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling
tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang. Pedang di tangan
Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar menyelamatkan nyawa gadis
itu.
“Bi Sian, kenapa kaulakukan itu?” tegur Sie
Liong. Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang.
Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya
dengan jelas.
“Aku.... untuk apa aku.... hidup lebih
lama....? Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu.
“Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang....”
Bi Sian tersenyum walaupun wajahnya pucat
sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya. “Paman.... kalau
aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin.... menyesali
kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada ayah....
engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik....”
“Bi Sian....” Sie Liong memeluk dan mendekap
kepala keponakannya itu. “Sudahlah.... jangan banyak cakap.... aku memaafkanmu,
engkau keponakanku yang baik....”
“Paman, engkau amat mencinta.... Ling
Ling....?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak
tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa
butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. “Aku.... cinta padanya,
Bi Sian. Aku.... aku cinta....”
“Dan.... aku? Kau.... sayang padaku,
paman....? Bukan? Kausayang kepadaku....?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang
demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang
membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia mengangguk-angguk
saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku....!” Sie Lan Hong yang baru
saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong.
Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu.... katakanlah, engkau.... memaafkan aku,
ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan aku....”
Bi Sian merangkul di antara isaknya ia
berbisik. “Ibu memaafkanmu.... nak....” Dan terdengar Bi Sian melepas napas
panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas
terakhir.
“Bi Sian....!” Sie Lan Hong kembali jatuh
pingsan.
***
Pertempuran telah selesai. Kim Sim Lama dalam
keadaan luka-luka berat menjadi tawanan. Dia akan menjalani hukuman di dalam
tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya.
Dalai Lama sendiri datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah
dimasukkan peti mati dan disembahyangi.
Juga para pendeta Lama datang melayat ketika
dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit
dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan
Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan
kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di
sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Kini tiga
orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu
keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun
dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua
riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, dipaksa
menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak
pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara. Suaminya
kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya
yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong
menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan
membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa
dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya. Akan tetapi,
perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu
pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara,
dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam
hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun.
Alangkah jantannya pria itu. Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat
menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan
mulus, penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga
membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh
malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap
wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang
akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri.
Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan
sentuhan cinta kasih seorang wanita. Selama ini dia tidak pernah tertarik
kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik,
bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat bagi seorang
calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai
suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa
ada gunanya hidup di dunia ini!
Betapa setiap orang manusia selalu INGIN
menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan
kepribadiannya. Betapa setiap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang kanak-kanak
sampai tua renta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua
orang takut akan kehilangan arti dirinya, takut untuk menjadi sesuatu yang
BUKAN APA-APA. Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang
terpenting, terpandai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah
yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbulkan konflik dan perebutan,
persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang
“ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang
berarti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini
bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat
memasukinya. Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang
menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada, melainkan menerima apa
adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri
kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat
memenuhinya? Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh
kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki
kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuhnya bahwa kita ini sesungguhnya
“bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini
hanyalah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah? Mungkinkah
membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang
berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hubungan kontak dengan Tuhan?
Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melakukan ini, karena pikiran
hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang
nafsu daya rendah!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah,
pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti
awan berarak di angkasa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan,
segala kesenangan, hanya selewat. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua
yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan. Akhirnya, semua itu
akan musna, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya
dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama ini? Hanya kepahitan,
hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu
semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka
kembar ke dua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak
terpisahkan.
Apakah dia harus menjadi patah semangat,
menjadi mandeg dan mogok, malas melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali
tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi saat. Dia
harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya. Dia akan berjalan terus dengan
tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati
setiap langkah hidupnya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut
disyukuri, tak perlu dikeluhkan. Kehendak Tuhan jadilah! Dia melangkah terus
dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan
akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Tuhan yang akan
membimbingnya, dan kekuasaan Tuhan yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan
natsu daya rendah. Kekuasaan Tuhan yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga
dia akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal
darah daging yang dijadikan boneka oleh nafsu daya rendah.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam
lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Dia
mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia
hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa
pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako....”
katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di
dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak
berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkan
encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah
meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas
dendam kematian orang tua kita....”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika
manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya! “Sudahlah, enci Hong. Tidak
perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke
tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang
penyelidikannya kemudian tentang perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan
puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh
segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan
kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan membantuku untuk mencari
engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan
mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di
sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk, tidak tertarik
lagi akan cerita mesa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan
hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil
berkata, “Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa engkau telah
menolong enciku, Lie-toako.”
“Ah, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang
pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada pertolongan, yang ada hanyalah
pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban
kejahatan.”
“Lie-toako, setelah apa yang kaulakukan
kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terina kasih atas
keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat,
engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur.
Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua
menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup
bersama dengan bahagia, adikku,” Kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut
membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan
manghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin
bebas. Aku ingin manuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku,
aku pasrah kepada Tuhan ke manapun aku akan dibimbing.”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan
denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin
menghiburmu....”
Sie Liong tersenyum, bukan senyum bahkan
wajahnya nampak cerah. “Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan?
Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Kehendak Tuhan terjadilah!
Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi kepadaku, akan tetapi Tuhan sudah
menghendaki demikian dan aku hanya dapat menerima, penuh keikhlasan dan
ketawakalan. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku
melihat bahwa ada seorang yang patut kausayangi, kauhormati, dan kauharapkan
perlindungannya.” Sie Liong menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemerahan.
Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan
diapun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau
selain memiliki ilmu yang amat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku
ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agaknya telah dapat kauduga,
aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggauta
keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk
minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong
menjadi isteriku?”
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia
semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan.
Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada
pendekar itu.
“Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali
kalau engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja aku merasa setuju
sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan kuserahkan kepada enci Lan Hong.
Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong.”
Biarpun dia merasa rikuh bukan main, namun
sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi
Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri
percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesempatan ini,
disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah
engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu
menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik
kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu
lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak
encinya, tanpa bicara. Dia membiarkan encinya menangis di pundaknya, pencurahan
dari semua keharuan dari hati encinya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik
dekat telinga encinya.
“Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini
engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enciku yang baik.”
Lan Hong mengusap air matanya. “Liong-te,
marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami...” Biarpun Lan
Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan “hidup bersama kami”
itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepaskan rangkulan
encinya. “Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku.
Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang
mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan
bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap jaga baik-baik enciku yang
kusayang ini, Enci Hong, selamat tinggal. Aku harus pergi sekarang.”
“Liong-te....!” Lan Hong berseru akan tetapi
ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah
lenyap dari depan mereka.
“Liong-te....!” Lan Hong berseru dengan isak,
dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati
kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, mari kita
menyongsong hidup baru. Engkaupun berhak untuk menikmati kebahagiaan hidup,
Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi
meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas di mana mereka
dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama
itupun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan menjalani hukuman. Semua
pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para
pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama. Juga pasukan Dalai Lama
menyerang dan memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran
Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya
menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram.
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah
Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan menyelimuti seluruh alam di
sekitarnya, namun Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening akan tetapi tidak
kesepian. Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada di
mana-mana, di dalam dan di luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah,
tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian dikenal di
seluruh dunia persilatan, walaupun jarang ada yang pernah bertemu dengan dia.
Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tidak pernah mau kembali ke selatan.
Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di manapun dia berada, dia selalu
menentang kejahatan, membela yang benar dan lemah. Para pedagang dan mereka
yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapatkan pertolongan
Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami marabahaya, ketika mereka diancam
gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama besar Pendekar Bongkok
di dunia kang-ouw di selatan. Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau
meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau
namanya sehingga orang-orang yang tidak mau mempergunakan julukan ejekan
Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama
dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan
keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, akan tetapi juga lengan kirinya
buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan
saja di dunia ramai. Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita,
karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta
nafsu, cinta berahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah.
Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali. Tidak mudah
menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak
begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan melibatkan diri
dengan seorang wanita! Tentu saja lain halnya kalau memang Tuhan menghendaki
lain. Dia hanya pasrah.
Hanya kalau nafsu daya rendah yang membentuk
si-aku tidak lagi menguasai diri, hanya kalau hati dan akal pikiran tidak lagi
bersimaharajalela, jiwa akan mendapatkan kembali kontaknya dangan kekuasaan
Tuhan! Dan kalau sudah begitu, kekuasaan Tuban akan bekerja dalam diri. Keadaan
seperti ini tidak mungkin dapat ditimbulkan karena usaha pikiran, karena
pikiran adalah si-aku, yang lapuk, si-aku yang mengaku-aku. Hanya dengan
melenyapkan diri yang mengaku-aku, merendahkan dan mengecilkan diri, hanya
dengan pasrah yang tulus ikhlas, maka diri lahir batin akan dibersihkan oleh
kekuasaan Tuhan, kemudian kekuasaan Tuhan akan bersemayam, membangkitkan jiwa.
Hanya kalau sudah demikian, maka kita dapat htdup seutuhnya, bebas daripada
cengkeraman nafsu daya rendah yang telah kembali kepada kedudukan dan tugasnya
semula, yaitu menjadi alat dan pelayan.
Demikianlah, kisah ini ditutup dengan harapan
pengarang, semoga ada suatu manfaat yang dapat dipetik, dan semoga Tuhan
memberkahi dan membimbing kita sekalian. Sampai jumpa di lain kisah.
No comments:
Post a Comment